• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
CINTA DALAM SURAT

CINTA DALAM SURAT

March 18, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
CINTA DALAM SURAT

CINTA DALAM SURAT

by SAME KADE
March 18, 2025
in Romansa
Reading Time: 17 mins read

Bab 1: Surat Pertama

Di sebuah kota kecil yang tenang dan penuh kedamaian, hidup seorang gadis bernama Sari. Kota itu terletak di antara perbukitan hijau yang luas, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota besar. Setiap pagi, Sari berjalan melewati jalan setapak yang berkelok-kelok menuju sekolah, menikmati kesunyian pagi yang hanya terputus oleh kicauan burung dan angin yang berdesir lembut di antara pepohonan. Langkahnya ringan, hampir tak terdengar di atas tanah yang diselimuti dedaunan kering.

Hari itu seperti hari-hari biasa, ketika Sari tiba di taman kecil yang menjadi tempat favoritnya untuk duduk sejenak sebelum menuju sekolah. Bangku kayu yang ada di sudut taman itu sudah cukup akrab baginya. Di sana, dia sering membaca buku, atau hanya menghabiskan waktu untuk berpikir tentang berbagai hal—termasuk tentang dirinya sendiri dan kehidupan yang sedang dijalaninya.

Namun, hari itu berbeda. Ketika Sari duduk di bangku itu, menikmati hembusan angin yang menyejukkan, matanya tertumbuk pada sesuatu yang tak biasa. Sebuah surat, terlipat rapi dan diletakkan di samping bangku. Surat itu tidak ada nama pengirim atau penerima, hanya ada alamat yang tertulis kecil di sudut kiri bawah. Tidak ada tanda tangan atau petunjuk lebih lanjut tentang siapa yang mengirimkan surat itu. Sari memandangi surat tersebut sejenak, merasa ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang membuatnya merasa penasaran.

Dengan hati-hati, Sari membuka surat itu. Isinya sangat sederhana namun memikat hati.

“Kamu mungkin tidak mengenalku, tetapi aku selalu melihatmu dari jauh. Aku ingin mengenalmu lebih dekat.”

Sari terdiam sejenak setelah membaca kalimat itu. Ada perasaan yang aneh menyelinap di hatinya. Siapa yang menulis surat ini? Dan mengapa seseorang ingin mengenalnya lebih dekat, padahal mereka tidak pernah bertemu sebelumnya? Ia memutar surat itu di tangan, berharap menemukan petunjuk lebih lanjut, tetapi yang ada hanya kalimat-kalimat yang membuat rasa penasarannya semakin dalam.

Dia tidak tahu apa yang harus dipikirkan. Ada rasa gembira dan sekaligus bingung yang bercampur. Surat itu terasa begitu pribadi, dan rasanya seperti ada pesan tersembunyi yang ingin disampaikan. Namun, di sisi lain, dia juga merasa was-was. Bagaimana bisa seseorang menulis surat seperti ini tanpa memberikan nama atau petunjuk lebih lanjut?

Dengan hati yang penuh tanda tanya, Sari menyimpan surat itu di dalam tasnya. Dia tidak tahu apakah dia harus memberi perhatian lebih pada surat ini atau melupakan begitu saja. Namun, surat itu mengusik pikirannya sepanjang hari. Apakah ada seseorang di kota ini yang diam-diam mengamatinya? Apakah mungkin dia mengenal orang itu tanpa sadar? Rasa penasaran mulai menyelimuti dirinya.

Setelah pulang sekolah, Sari tidak bisa menahan untuk memikirkan surat itu. Dia membuka tasnya, mengambil surat tersebut, dan membacanya lagi. Setiap kalimat terasa lebih mendalam dan membingungkan. Siapa yang mengirimkan surat ini? Apa maksud dari kata-kata yang singkat namun begitu mempengaruhi perasaannya?

Sari mulai berkelana dengan pikirannya. Dia berpikir tentang siapa yang mungkin ingin mengenalnya lebih dekat. Apakah ada seseorang yang dia kenal secara tidak sengaja? Atau mungkin, ini adalah permainan dari teman-temannya? Tetapi, entah kenapa, dia merasa bahwa surat itu bukan berasal dari teman-temannya yang biasa bermain-main dengan hal-hal seperti ini.

Keingintahuan Sari semakin besar, dan di malam harinya, dia tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan—tentang siapa yang bisa menulis surat itu dan apa yang sebenarnya diinginkan oleh pengirimnya. Tidak bisa dipungkiri, ada sebuah ketegangan dalam dirinya yang membuatnya merasa seperti ada sesuatu yang besar yang sedang menunggunya.

Hari demi hari, Sari melanjutkan rutinitasnya seperti biasa. Namun, perasaan penasaran yang ditinggalkan oleh surat pertama itu tak pernah benar-benar hilang. Setiap kali dia melewati taman kecil itu, matanya akan mencari-cari surat lain yang mungkin saja akan datang. Namun, hari-hari berlalu tanpa ada surat tambahan.

Pada suatu pagi yang cerah, setelah seminggu surat pertama itu diterimanya, Sari kembali duduk di bangku taman yang sama. Tiba-tiba, angin sepoi-sepoi membawa sesuatu yang tergeletak di dekat kakinya. Sebuah amplop lagi. Surat itu tampak serupa dengan yang pertama, terlipat rapi dan tanpa nama pengirim. Hati Sari berdebar kencang. Apakah ini surat kedua dari orang yang sama?

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Sari membuka amplop itu. Kali ini, suratnya lebih panjang. Isinya tidak lagi sekadar pengakuan singkat, melainkan sebuah pesan yang lebih mendalam.

“Aku tahu kamu sedang mencari jawaban, tapi aku tidak bisa memberikan jawabannya dalam sekejap. Percayalah, kita akan bertemu suatu saat nanti, dan kamu akan tahu siapa aku.”

Sari merasa seolah-olah ada sesuatu yang bergerak dalam hatinya. Kata-kata ini terasa sangat nyata, dan sekali lagi, dia tidak bisa mengabaikan perasaan yang tumbuh di dalam dirinya. Apa artinya surat ini? Siapa yang mengirimnya? Dan kenapa dia merasa semakin terhubung dengan pesan-pesan yang ditinggalkan orang ini?

Dari surat kedua ini, Sari mulai merasakan bahwa ada lebih dari sekadar permainan atau kebetulan. Ada sesuatu yang lebih dalam, dan dia merasa bahwa surat-surat itu bukan sekadar tulisan kosong. Mereka adalah pesan dari seseorang yang sangat peduli padanya, meskipun mereka belum pernah bertemu.

Sari menatap surat itu dengan tatapan penuh pertanyaan. Dalam hatinya, rasa ingin tahu semakin besar. Dia merasa seolah-olah sebuah perjalanan baru akan dimulai, perjalanan untuk menemukan siapa yang sebenarnya menulis surat-surat itu dan apa yang sebenarnya terjadi di balik semua ini. Namun, di satu sisi, dia juga merasa takut. Takut akan apa yang akan dia temui, dan apakah dia siap untuk menghadapi kebenaran yang tersembunyi.

Sari memutuskan untuk tidak terburu-buru mencari jawaban. Namun, setiap langkah yang diambilnya kini terasa berbeda. Surat-surat ini telah mengubah cara dia melihat dunia di sekitarnya. Ada sesuatu yang magis, yang tidak bisa dia jelaskan, tetapi yang pasti adalah bahwa perjalanannya baru saja dimulai.**

Bab 2: Jejak Sang Penulis

Sari tidak bisa menghilangkan rasa penasaran yang membelit hatinya setelah menerima surat pertama itu. Siapa sebenarnya yang mengirimkan surat itu? Mengapa ia merasa ada sesuatu yang istimewa dalam setiap kata yang tertulis? Sebuah pertanyaan yang mengganggu pikirannya setiap kali dia memandang surat tersebut. Rasanya seperti ada yang terselip di balik kata-kata itu, seperti sebuah pesan yang tersembunyi.

Hari pertama setelah membaca surat itu, Sari mencoba melanjutkan aktivitasnya seperti biasa. Namun, pikirannya terus kembali kepada surat itu. Di sekolah, saat duduk di kelas, dia sering merasa ada yang memperhatikannya. Namun, saat dia menoleh ke sekitar, tidak ada yang menunjukkan tanda-tanda menjadi pengirim surat itu. Begitu juga saat dia melangkah pulang, rasa ingin tahu tentang siapa yang menulis surat itu semakin menguat.

Sari kemudian memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan hal itu. Tentu saja, itu adalah hal yang tidak biasa. Bagaimana mungkin seseorang mengirimkan surat cinta tanpa diketahui identitasnya? Namun, surat kedua yang tiba pada minggu berikutnya kembali mengubah cara pandangnya. Pada pagi itu, setelah menuntaskan tugas sekolahnya, dia kembali menemukan surat yang tergeletak di bangku taman yang sama. Kali ini surat itu lebih tebal, dan sepertinya ada sesuatu yang lebih penting yang ingin disampaikan.

Sari membuka surat itu dengan hati-hati. Isi surat tersebut cukup panjang, berbeda dengan surat pertama yang hanya berisi beberapa kalimat singkat. Tertulis dengan tulisan tangan yang rapi dan penuh perhatian, surat itu berbunyi:

“Aku tahu kamu sedang mencari jawaban, tetapi aku tidak bisa memberikan jawabannya dalam sekejap. Percayalah, kita akan bertemu suatu saat nanti, dan kamu akan tahu siapa aku. Jangan terburu-buru mencari siapa aku. Aku hanya ingin kamu tahu, ada seseorang di luar sana yang memperhatikanmu dengan tulus.”

Membaca surat itu, Sari merasakan perasaan yang campur aduk. Sebuah perasaan yang sulit dijelaskan—antara rasa penasaran, cemas, dan sedikit juga rasa ingin tahu. Siapa penulis surat ini? Apa maksudnya dengan pertemuan yang akan datang? Sari mendesah panjang. Surat itu tak memberi petunjuk jelas tentang siapa pengirimnya, namun entah mengapa, ia merasa ada sesuatu yang sangat kuat dari kata-kata yang tertulis.

Hari-hari berikutnya, surat-surat itu terus datang tanpa henti. Setiap minggu, dia menemukan surat baru di tempat yang sama—di bangku taman dekat sekolah, atau terkadang di kantin. Surat-surat itu selalu memberikan petunjuk, namun tetap saja pengirimnya tetap menjadi misteri. Di dalam surat-surat tersebut, pengirim selalu berbicara dengan cara yang lembut, seakan tahu apa yang Sari rasakan, namun tidak pernah mengungkapkan identitas dirinya. Sari merasa terjebak dalam perasaan aneh yang tak bisa ia jelaskan.

Suatu pagi, ketika Sari sedang membaca surat ketiga, dia merasa ada yang berbeda. Surat kali ini lebih dalam. Isinya membuat Sari berpikir lebih keras tentang siapa yang mungkin mengirimnya. Tidak hanya membahas perasaan penulis, tetapi juga berbicara tentang sebuah kenangan yang sepertinya hanya bisa diketahui oleh seseorang yang cukup dekat dengan dirinya. Surat itu berbunyi:

“Dulu, kita pernah bertemu di sebuah tempat yang tidak pernah kamu ingat. Kita duduk berdua di sebuah bangku taman dan berbicara tentang banyak hal. Aku mengingatnya dengan jelas, meskipun kamu mungkin tidak ingat. Aku tahu, kamu pasti bertanya-tanya siapa aku. Tapi tunggu dulu, kita akan bertemu suatu saat nanti, dan saat itu kamu akan ingat semuanya.”

Sari tertegun membaca kalimat itu. Taman? Bangku taman? Kenapa dia merasa seperti ini sudah pernah terjadi sebelumnya? Apakah dia benar-benar pernah bertemu dengan orang ini? Sari merenung, mencoba mencari jejak kenangan yang mungkin ia lupakan. Namun, semakin ia mencoba mengingat, semakin kabur ingatannya tentang pertemuan itu.

Setelah beberapa hari merenung, Sari mulai mengamati sekelilingnya dengan lebih cermat. Dia mencoba mencari petunjuk-petunjuk kecil di sekolah, di sekitar taman, atau bahkan di perpustakaan, tempat yang sering dia kunjungi. Namun, tidak ada satupun yang memberikan jawaban yang memadai. Semua orang di sekelilingnya tampak biasa-biasa saja, tak ada yang menunjukkan tanda-tanda sebagai pengirim surat yang misterius itu.

Di perpustakaan, Sari kembali duduk di meja favoritnya, tempat di mana dia sering menghabiskan waktu untuk membaca buku atau mengerjakan tugas. Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah buku lama yang tergeletak di meja. Buku itu tampak sudah agak usang, sampulnya sedikit pudar. Sari merasa tertarik dan mengambilnya. Buku itu tidak bertuliskan judul yang jelas, hanya terdapat gambar sebuah taman pada sampulnya.

Sari membuka halaman pertama, dan begitu ia mulai membaca, ada sesuatu yang langsung menarik perhatiannya. Cerita di dalam buku itu sangat mirip dengan isi surat-surat yang dia terima. Buku itu bercerita tentang dua orang yang jatuh cinta di sebuah taman, tetapi mereka tidak pernah mengungkapkan perasaan mereka satu sama lain. Salah satu dari mereka, sang penulis, menceritakan bagaimana dia selalu mengamati orang yang dia cintai tanpa pernah berani mendekati.

“Ini… mirip sekali,” gumam Sari pelan. Dia terus membaca dengan penuh perhatian, dan semakin ia menyelami cerita di dalam buku itu, semakin dia merasa ada hubungan antara kisah di dalam buku dengan dirinya. Apakah mungkin, pengirim surat itu adalah orang yang menulis buku ini?

Hari demi hari berlalu, dan Sari semakin terjebak dalam misteri ini. Dia tidak hanya terfokus pada surat-surat itu, tetapi juga pada buku yang telah dia temukan. Ada sebuah perasaan yang semakin kuat dalam dirinya bahwa buku ini bukan hanya kebetulan. Mungkin penulis buku ini adalah seseorang yang sangat mengenalnya, seseorang yang tahu banyak tentang dirinya tanpa dia sadari.

Sari pun memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut. Dia mulai mencari informasi mengenai buku itu, mencoba mengetahui siapa penulisnya. Ternyata, setelah mencari di internet, dia menemukan bahwa buku itu ditulis oleh seseorang yang sangat terkenal di kota itu beberapa tahun yang lalu, seorang penulis yang dikenal dengan karya-karya romantisnya.

Namun, meskipun demikian, identitas penulis itu tidak banyak diketahui oleh orang-orang. Sari merasa semakin bingung, apakah mungkin penulis itu adalah orang yang sama dengan pengirim surat-surat tersebut? Apakah ada hubungan antara kisah cinta dalam buku itu dengan kisah yang terjadi dalam hidupnya?

Sari menghela napas panjang. Sebuah perasaan aneh mencengkramnya. Apakah dia siap untuk menemukan siapa yang sebenarnya mengirimkan surat-surat itu? Dan lebih penting lagi, apa yang akan terjadi jika dia akhirnya bertemu dengan orang itu.**

Bab 3: Temuan Tak Terduga

Hari-hari berlalu begitu cepat, namun rasa penasaran Sari tentang siapa pengirim surat-surat misterius itu semakin membesar. Setiap kali ia mendapatkan surat baru, hatinya terasa campur aduk—antara kecemasan, kebingungan, dan sedikit kegembiraan yang aneh. Bahkan di sekolah, saat duduk di kelas, Sari sering merasa seolah-olah semua mata mengarah padanya. Tetapi saat dia menoleh, tak ada yang menunjukkan tanda-tanda menjadi pengirim surat itu. Suasana seolah biasa, namun ada sesuatu yang mengendap di dalam dirinya, yang membuatnya merasa ada yang tak biasa terjadi.

Sari semakin terobsesi dengan surat-surat tersebut, dan tidak bisa lagi menahan rasa ingin tahunya. Tidak hanya surat yang ditulis tangan dengan tinta hitam, tetapi juga buku yang ia temukan di perpustakaan. Buku itu seakan menyimpan petunjuk-petunjuk yang semakin mengarah pada satu titik: sebuah pertemuan yang sangat dinantikan. Tetapi, pertemuan itu bukan pertemuan biasa—ada sesuatu yang jauh lebih dalam yang dirasakan Sari, seperti sebuah cerita yang belum selesai, yang ingin ia ungkapkan.

Hari itu, setelah pulang sekolah, Sari kembali ke perpustakaan. Buku itu masih berada di meja yang sama, seperti sudah menunggu kedatangannya. Setelah beberapa menit mencari-cari, Sari kembali membuka buku tersebut, mencoba mencari tahu lebih banyak lagi tentang penulisnya. Namun kali ini, Sari merasa ada sesuatu yang berbeda. Ada sebuah catatan kecil yang terlipat di antara beberapa halaman buku yang sudah ia baca. Catatan itu tidak tertulis seperti surat sebelumnya—tidak ada tulisan tangan. Hanya ada sebuah gambar kecil yang digambar dengan pensil, gambar sebuah taman yang sangat mirip dengan taman tempat dia sering duduk.

Dengan gemetar, Sari membuka lipatan kertas itu dan menemukan sebuah pesan singkat:

“Aku tahu kamu sedang mencari jawaban. Aku menunggumu di tempat yang sama. Datanglah. Aku ingin kamu tahu, kita sudah saling mengenal lebih lama daripada yang kamu kira.”

Pesan itu begitu singkat, namun membuat Sari merasa kalut. Perasaannya bercampur aduk antara rasa takut dan rasa penasaran yang semakin kuat. Apa maksud dari kata-kata itu? Apa yang dimaksud dengan “lebih lama daripada yang kamu kira”? Apa yang ingin pengirim sampaikan? Sari merasa bahwa setiap pesan dalam surat-surat tersebut dan catatan yang ia temukan itu adalah bagian dari teka-teki besar yang harus ia pecahkan.

Setelah beberapa lama merenung, Sari memutuskan untuk kembali ke taman tempat dia pertama kali menemukan surat itu. Setiap petunjuk seakan mengarah ke sana. Taman itu bukan hanya tempat yang dia kenal sejak kecil, tetapi juga tempat yang menyimpan banyak kenangan. Tempat yang seakan menjadi saksi bisu dari kehidupan dan perasaan yang telah terpendam.

Ketika Sari tiba di taman itu, suasana sangat tenang. Hanya ada beberapa orang yang sedang berjalan-jalan santai di sana. Namun, Sari merasa ada sesuatu yang mengendap di udara, seperti ada seseorang yang sedang menunggunya. Matanya mulai mencari-cari jejak, berharap ada sesuatu yang bisa membantunya mengungkap misteri ini.

Tiba-tiba, matanya tertuju pada sebuah bangku kayu di sudut taman. Bangku itu terlihat sangat biasa, namun ada sesuatu yang menarik perhatian Sari—sebuah amplop putih tergeletak di atas bangku itu, dengan tulisan tangan yang sangat rapi dan familiar. Tanpa ragu, Sari mendekati bangku itu dan mengambil amplop tersebut. Jantungnya berdegup kencang, seperti ada rasa tak sabar yang semakin mendalam.

Di dalam amplop itu terdapat surat baru. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Sari membuka surat itu dan membaca dengan seksama:

“Sari, aku tahu kamu sedang bertanya-tanya siapa aku, dan aku juga tahu kamu sedang berusaha mencari jawabannya. Tapi percayalah, jawabannya tidak akan datang dalam sekejap. Aku ingin kamu mengetahui satu hal, Sari. Kita sudah saling mengenal lebih lama dari yang kamu kira. Ingatlah kembali kenanganmu di taman ini. Ingatlah siapa yang sering duduk bersamamu, berbicara tentang hal-hal kecil, berbagi cerita yang tak pernah terungkap. Aku tahu kamu akan ingat.”

Sari membacanya berulang kali. Kata-kata itu membekas di dalam benaknya. “Kita sudah saling mengenal lebih lama dari yang kamu kira,” kata-kata itu bergema di dalam pikirannya. Seperti ada sesuatu yang tersirat dalam surat itu. Sari merasa semakin bingung, namun juga semakin dekat dengan jawaban yang dia cari. Namun, ada satu hal yang membuat hatinya semakin berat: kenangan yang dimaksud dalam surat itu. Kenangan apa yang dimaksudkan oleh pengirim surat? Kenapa dia merasa seperti ada yang hilang?

Sari duduk di bangku itu, memandang sekeliling taman dengan tatapan kosong. Tiba-tiba, sebuah kenangan muncul begitu saja di benaknya. Suatu ketika, saat ia masih kecil, dia sering datang ke taman ini bersama seorang teman—seorang teman yang sangat dekat dengannya. Mereka sering duduk bersama di bangku yang sama, berbicara tentang hal-hal kecil, bercanda, dan menikmati kebersamaan. Tetapi seiring berjalannya waktu, dia mulai kehilangan kontak dengan teman tersebut. Bahkan, nama teman itu pun kini semakin kabur di dalam ingatannya. Siapa dia? Mengapa kenangan itu terasa semakin samar?

Hati Sari mulai berdebar. Apakah mungkin pengirim surat itu adalah teman lama yang telah lama hilang? Apakah mungkin dia adalah seseorang yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya, tetapi karena suatu hal, mereka terpisah dan terlupakan?

Tiba-tiba, Sari merasa ada seseorang yang berdiri di dekatnya. Ketika ia menoleh, ia melihat seorang pemuda yang tampak familiar. Pemuda itu tersenyum padanya dengan penuh perhatian. Sari terkejut. Pemuda itu adalah Raka, teman masa kecilnya yang sudah lama tidak ia temui.

“Sari, aku tahu kamu pasti bingung,” kata Raka pelan. “Aku adalah orang yang menulis surat-surat itu. Aku tidak tahu bagaimana cara lain untuk mengungkapkan perasaan ini, selain melalui surat. Aku ingin kamu tahu bahwa aku selalu ada di sini, menunggumu untuk mengingat kembali kita yang dulu.”

Sari terpana. Semua teka-teki itu kini terjawab sudah. Raka, teman masa kecil yang ia lupakan, adalah pengirim surat-surat itu. Semua kenangan yang terlupakan kini kembali hadir, dan dengan perlahan, hati Sari mulai memahami bahwa perasaan yang tertulis dalam surat-surat itu bukan hanya sebuah cinta, tetapi juga sebuah ikatan yang telah ada sejak lama.**

Bab 4: Pengakuan yang Menyentuh

Sari terdiam, tatapannya terkunci pada sosok yang kini berdiri di hadapannya. Raka. Teman masa kecil yang dulu pernah berbagi kebahagiaan dan tawa bersamanya. Raka, yang kini tampak seperti orang asing baginya, namun entah mengapa ada sesuatu dalam dirinya yang terasa begitu familiar, begitu dekat. Dulu mereka sering duduk bersama di bangku taman ini, mengobrol tanpa beban, menikmati waktu bersama seperti dua sahabat sejati. Namun, setelah sekian lama, jalan hidup membawa mereka pada arah yang berbeda, dan kenangan itu perlahan memudar.

“Sari,” Raka berkata pelan, suaranya seperti menggetarkan udara di sekitar mereka. “Aku tahu ini pasti mengejutkanmu. Aku tidak pernah berani mengungkapkan perasaanku, karena aku tahu kamu mungkin tidak akan merasakannya juga. Tapi aku tak bisa lagi menahan perasaan ini. Semua surat-surat itu… mereka semua untukmu.”

Sari masih terdiam, berusaha mencerna kata-kata Raka yang baru saja mengalir. Ada perasaan campur aduk dalam dirinya—terkejut, bingung, dan sedikit terluka. Dulu mereka dekat, sangat dekat. Namun, kenapa dia baru mengungkapkan semua ini sekarang? Mengapa dia tidak pernah mencoba untuk mengatakan hal ini bertahun-tahun yang lalu, ketika mereka masih bisa berkomunikasi tanpa rasa canggung?

Raka menghela napas, seolah tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Sari. “Aku tahu, mungkin kamu merasa bingung, Sari. Aku bahkan tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa sejak dulu, aku sudah memiliki perasaan ini. Aku menyukaimu, Sari. Dan setiap kali aku melihatmu, aku merasa ada bagian dari diriku yang hilang, yang hanya bisa kembali jika aku bisa mengungkapkan semuanya kepadamu.”

Sari menundukkan kepala, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Dia merasa seperti ada luka lama yang perlahan terbuka kembali, sebuah luka yang dulu mungkin tak pernah benar-benar sembuh. Tetapi, di saat yang sama, ada juga perasaan hangat yang mulai muncul di dalam hatinya. Sebuah perasaan yang seolah memberi harapan bahwa mungkin, hanya mungkin, dia juga merasakan hal yang sama.

“Kenapa sekarang, Raka?” akhirnya Sari bertanya, suara terdengar serak, seperti terhambat oleh perasaan yang terlalu dalam. “Kenapa baru sekarang kau mengungkapkan ini semua? Dulu kita begitu dekat. Tapi kemudian, kita terpisah begitu saja. Aku… aku tidak tahu harus bagaimana.”

Raka mengangguk, wajahnya tampak penuh penyesalan. “Aku tahu aku telah membuatmu bingung. Sari, aku merasa takut. Aku takut jika aku mengungkapkan perasaanku, itu akan merusak hubungan kita. Aku tidak ingin kita terpisah karena itu. Aku pikir, dengan diam-diam mencintaimu dari jauh, mungkin itu akan cukup. Tapi aku salah. Aku tidak bisa lagi menyembunyikan perasaanku, terutama setelah aku mulai mengirimkan surat-surat itu.”

Sari terdiam, mencerna kata-kata Raka. Mengingat kembali masa kecil mereka, dia ingat betul bagaimana mereka berbagi cerita, tertawa bersama, dan bahkan saling berbagi impian. Tetapi, tiba-tiba, Raka menghilang begitu saja dari hidupnya. Tanpa alasan yang jelas, tanpa perpisahan yang memadai. Dan kini, setelah sekian lama, dia datang kembali, membawa seluruh perasaan yang terkubur dalam surat-surat yang tak pernah ia duga.

“Aku tahu, Sari, kamu mungkin merasa canggung dengan semua ini. Tapi aku tak bisa lagi menyembunyikan apa yang aku rasakan. Aku ingin tahu apakah kamu juga merasakan hal yang sama. Mungkin kita bisa mulai dari sini. Dari pertemuan ini. Aku ingin kita berbicara lagi, seperti dulu. Dan mungkin… mungkin kita bisa melihat ke depan, membangun sesuatu yang baru. Aku ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini, dan aku akan selalu ada untukmu.”

Sari terdiam, hatinya berdebar kencang. Perasaan itu datang begitu cepat, begitu kuat, dan menggelisahkan. Semua kata-kata Raka yang keluar dari bibirnya terasa begitu tulus. Tetapi di dalam dirinya, ada rasa bingung yang besar. Kenapa Raka baru mengungkapkan perasaannya sekarang? Mengapa dia memilih surat-surat itu sebagai cara untuk mendekatinya, bukannya berbicara langsung?

Sari memejamkan matanya sejenak, mencoba untuk mengendalikan perasaan yang bergejolak dalam dirinya. Beberapa tahun yang lalu, dia dan Raka begitu dekat. Mereka berbagi banyak hal, namun entah kenapa, kehidupan masing-masing membawa mereka ke jalan yang berbeda. Kini, setelah bertahun-tahun berpisah, Raka kembali muncul dalam hidupnya, membawa perasaan yang tidak bisa lagi disembunyikan.

Dengan perlahan, Sari membuka matanya dan menatap Raka. “Aku tidak tahu, Raka,” jawabnya pelan. “Aku bingung. Kenapa kau tidak memberitahuku ini dulu? Kenapa harus dengan surat-surat itu? Aku merasa terasing. Semua ini terlalu mendalam, terlalu mendalam untuk aku pahami.”

Raka mengangguk, dan wajahnya menunjukkan penyesalan yang mendalam. “Aku paham, Sari. Aku hanya takut. Aku takut jika aku mengungkapkan perasaan ini, semuanya akan berubah. Aku tidak ingin merusak apa yang sudah kita miliki. Aku takut kalau kamu tidak akan merasakannya juga, dan itu akan membuat kita semakin jauh. Itu sebabnya aku menulis surat-surat itu, berharap suatu saat kamu akan mengerti.”

Sari menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Rasa terkejut dan kebingungannya masih melanda, namun ada satu hal yang membuat hatinya sedikit lebih tenang: ketulusan yang ada dalam mata Raka. Dia bisa melihat bahwa Raka benar-benar tulus dalam perasaannya, meskipun cara yang dia pilih untuk mengungkapkannya terasa terlalu lambat dan berliku.

“Aku tidak tahu, Raka,” kata Sari pelan, masih merasa bingung. “Aku sudah lama tidak mendengar dari kamu. Kita seperti dua orang asing yang tiba-tiba bertemu kembali. Aku tidak tahu harus mulai dari mana.”

Raka menatap Sari dengan penuh pengertian. “Aku tahu, Sari. Aku tidak ingin memaksamu untuk segera merasakannya. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini, dan aku bersedia menunggu. Jika kamu butuh waktu untuk mencerna semuanya, aku akan menunggu. Aku ingin kita mulai perlahan-lahan, dan mungkin kita bisa mencoba lagi untuk saling mengenal. Aku tidak ingin membuatmu merasa terbebani.”

Sari terdiam, matanya terasa basah, meskipun dia berusaha untuk menahan air mata. Ada begitu banyak perasaan yang bertabrakan dalam dirinya, namun ada satu hal yang semakin jelas—Raka, teman masa kecilnya, memang orang yang paling tulus yang pernah ia kenal. Tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk merangkai kembali hubungan mereka, dia tahu bahwa Raka adalah seseorang yang sangat berarti baginya.

“Raka…” Sari akhirnya bisa mengucapkan kata-kata itu dengan pelan. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Tapi aku ingin memberi kesempatan pada diri kita. Mungkin kita memang perlu waktu untuk memulai lagi. Mungkin kita bisa mulai dari sini, dan melihat kemana arah ini membawa kita.”

Raka tersenyum, senyuman yang begitu lebar dan tulus. “Terima kasih, Sari. Aku akan menunggu, apapun yang terjadi. Aku akan ada di sini, menunggumu untuk membuka hatimu, seperti dulu.”

Dengan itu, keduanya duduk di bangku taman yang sama, tempat di mana semuanya bermula. Surat-surat yang pernah menghubungkan mereka kini menjadi kenangan, dan mereka mulai membangun kembali jembatan yang pernah runtuh, perlahan-lahan, dengan setiap kata dan setiap tatapan yang penuh harapan.**

Bab 5: Cinta yang Terungkap

Beberapa minggu setelah pertemuan mereka di taman, Sari merasa ada perubahan yang perlahan terjadi dalam dirinya. Setiap kali dia bertemu dengan Raka, ada sesuatu yang mulai terbangun kembali dalam hatinya. Meskipun awalnya kebingungannya masih menguat, dan setiap percakapan terasa seperti langkah pertama yang hati-hati, Sari mulai merasa lebih nyaman dengan kehadiran Raka. Mereka berbicara tentang banyak hal—tentang masa lalu mereka yang hilang, tentang kenangan yang dulu mereka bagi, dan tentang perjalanan hidup yang telah membawa mereka ke titik ini.

Raka, dengan segala ketulusan dan kesabarannya, selalu memberi ruang bagi Sari untuk menemukan jalannya sendiri. Dia tidak pernah memaksa, tidak pernah menginginkan segalanya terjadi dengan cepat. Dia hanya ingin Sari tahu bahwa dia ada, bahwa dia siap untuk menunggu, dan bahwa dia percaya pada hubungan ini.

Suatu sore, ketika mereka duduk berdua di bangku taman yang sudah menjadi saksi bisu perjalanan cinta mereka, Sari menatap Raka dengan penuh perasaan.

“Raka,” katanya, suaranya lembut namun penuh arti. “Aku ingin mengucapkan terima kasih. Terima kasih karena sudah sabar, karena tidak pernah memaksaku untuk segera merasa apa yang kamu rasakan. Aku tahu aku banyak bingung, banyak ragu, tetapi kamu tetap ada di sini. Menungguku.”

Raka tersenyum, senyum yang selalu memberi ketenangan pada Sari. “Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku selalu ada, Sari. Tidak ada yang lebih penting bagiku selain melihat kamu bahagia, dan jika aku bisa menjadi bagian dari kebahagiaan itu, aku akan merasa cukup.”

Sari memejamkan matanya sesaat, merasakan ketulusan dalam kata-kata Raka. Ada sesuatu yang begitu murni dalam perasaan Raka yang tidak bisa ia pungkiri. Rasa takut yang pernah menghalangi hatinya untuk terbuka kini mulai menghilang, perlahan. Seiring berjalannya waktu, Sari mulai menyadari bahwa apa yang ia rasakan bukan hanya sekadar kebingungan atau ketakutan, tetapi juga cinta. Cinta yang sudah lama tertahan, cinta yang seakan terlupakan, namun kini muncul kembali, lebih kuat dan lebih nyata dari sebelumnya.

“Aku… aku tidak tahu kenapa aku begitu takut dulu,” ujar Sari, dengan suara yang agak bergetar. “Aku takut kalau aku mengizinkan diriku untuk mencintaimu, aku akan kehilangan diriku sendiri. Aku takut jika kita saling mencintai, semuanya akan berubah, dan aku tidak siap menghadapi itu.”

Raka menatap Sari dengan penuh pengertian. “Aku mengerti, Sari. Cinta itu memang membuat kita merasa rapuh. Tapi percayalah, mencintai seseorang tidak harus membuat kita kehilangan diri sendiri. Justru, itu membuat kita menemukan sisi terbaik dalam diri kita. Aku ingin kita tumbuh bersama, bukan terjebak dalam ketakutan. Kita bisa belajar mencintai dengan cara yang sehat, cara yang membuat kita lebih kuat, bukan lemah.”

Sari mengangguk perlahan, mulai merasa ada sesuatu yang menenangkan di dalam dirinya. Kata-kata Raka membantunya melihat cinta bukan sebagai sesuatu yang mengancam, tetapi sebagai sebuah perjalanan yang bisa mereka jalani bersama. Seiring dengan berjalannya waktu, Sari merasa semakin yakin bahwa dia tidak perlu takut lagi. Cinta itu memang menantang, tetapi itu juga membuat hidup lebih hidup, lebih berarti.

Beberapa hari setelah perbincangan mereka itu, Sari merasa dirinya semakin siap untuk menghadapi segala hal yang akan datang. Dia memutuskan untuk membuka hatinya sepenuhnya, memberi kesempatan pada cinta yang sempat ia lupakan. Sari tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, dan mungkin ada tantangan yang akan mereka hadapi bersama, tetapi dia juga tahu bahwa bersama Raka, dia merasa lebih kuat. Bersama Raka, dia merasa dirinya bisa menjadi lebih baik.

Pada suatu malam yang cerah, saat mereka duduk di bawah langit berbintang, Raka memegang tangan Sari dengan lembut. “Sari, aku tahu kita telah melewati banyak hal, dan aku tahu kita masih punya banyak yang harus dipelajari. Tapi aku ingin kamu tahu satu hal—aku akan selalu ada untukmu. Aku ingin kita menjalaninya bersama, dan aku ingin kamu merasa aman dengan perasaan ini. Aku mencintaimu, Sari, dan aku ingin menghabiskan sisa hidupku denganmu.”

Sari menatap mata Raka, matanya berbinar, hati berdebar. Ada perasaan yang begitu dalam, yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Di depan Raka, di bawah langit malam yang penuh bintang, dia merasa begitu nyaman, begitu diterima. Cinta yang dulu dia takutkan kini terasa begitu alami, begitu benar. Dia merasakan ada sebuah kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

“Aku juga mencintaimu, Raka,” jawab Sari, suaranya penuh kepercayaan. “Aku tidak tahu bagaimana semuanya bisa begitu rumit sebelumnya, tetapi sekarang aku tahu. Aku siap untuk memulai babak baru bersama kamu. Aku siap untuk mencintaimu dengan sepenuh hati.”

Raka tersenyum, senyuman yang begitu tulus dan penuh kebahagiaan. “Terima kasih, Sari. Aku tahu ini bukan perjalanan yang mudah, tetapi aku percaya kita bisa melaluinya bersama. Aku percaya kita akan tumbuh bersama, saling mendukung, dan saling menguatkan.”

Malam itu, di bawah langit yang penuh bintang, Sari merasa hidupnya telah berubah. Cinta yang dulu datang begitu diam-diam dalam bentuk surat-surat kini telah mengungkapkan dirinya dengan indah. Setiap kata yang tertulis dalam surat-surat itu kini menjadi nyata, dan Sari merasa bahwa setiap langkah yang mereka ambil menuju cinta ini adalah langkah yang benar.

Mereka mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama, berbicara tentang masa depan mereka, saling merencanakan hari-hari yang akan datang. Raka, yang dulunya hanya seorang teman masa kecil, kini menjadi seseorang yang begitu berarti dalam hidupnya. Meskipun mereka masih belajar untuk menyesuaikan diri, dan kadang-kadang menghadapi tantangan, Sari merasa lebih yakin daripada sebelumnya bahwa cinta ini adalah sesuatu yang nyata.

Surat-surat yang pernah menjadi jembatan antara mereka kini hanya tinggal kenangan. Mereka telah melewati perjalanan yang penuh dengan kebingungan, ketakutan, dan penantian. Namun, sekarang, dengan hati yang terbuka, mereka siap untuk menghadapi masa depan bersama.

Sari menyadari bahwa cinta tidak selalu datang dengan cara yang mudah, tetapi itu datang dengan cara yang paling indah. Seperti sebuah surat yang ditulis dengan tangan penuh perhatian, cinta itu memerlukan waktu dan kesabaran untuk berkembang. Dan sekarang, dia tahu bahwa cinta itu adalah sesuatu yang harus dirayakan, bukan ditakuti.

Dengan senyum di wajahnya, Sari meraih tangan Raka, menggenggamnya erat. Mereka duduk bersama di bangku taman, tempat di mana segala sesuatu bermula. Dan di sana, di tengah malam yang tenang, Sari merasa bahwa cinta mereka, yang dulu tersembunyi dalam surat-surat, kini akhirnya terungkap—lebih kuat, lebih indah, dan lebih nyata daripada yang pernah dia bayangkan.

Akhirnya, mereka tahu bahwa cinta itu tidak hanya ditemukan dalam kata-kata, tetapi dalam setiap tindakan, dalam setiap keputusan yang diambil bersama. Cinta yang mereka bangun akan menjadi cerita mereka, sebuah cerita yang tak akan pernah berakhir.***

————————THE END——————

Tags: 1. #CintaMasaLalu 2. #Romansa 3. #SuratCinta 4. #CintaTerpendam #PerjalananCinta
Previous Post

CINTA YANG TAK TERDUGA

Next Post

Mantan, Tolong Jangan Nga ! jak Balikan

Next Post
Mantan, Tolong Jangan Nga ! jak Balikan

Mantan, Tolong Jangan Nga ! jak Balikan

PELUKAN YANG TERTUNDA

PELUKAN YANG TERTUNDA

SAAT LANGIT MENYAKSIKAN JANJI

SAAT LANGIT MENYAKSIKAN JANJI

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In