• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
CINTA DALAM LENSA WAKTU

CINTA DALAM LENSA WAKTU

February 13, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
CINTA DALAM LENSA WAKTU

CINTA DALAM LENSA WAKTU

by SAME KADE
February 13, 2025
in Romansa
Reading Time: 24 mins read

Bab 1: Kamera Tua

Mia berdiri di depan toko barang bekas yang terletak di sudut jalan kecil di pinggir kota. Di luar toko itu, sebuah papan kayu menggantung dengan tulisan “Barang Antik dan Koleksi Langka”. Di dalamnya, suasana tampak remang, dengan tumpukan barang-barang yang sudah usang. Udara di dalam toko terasa lembap, dan bau kayu tua serta debu memenuhi hidung Mia begitu ia melangkah masuk.

Mia bukan tipe orang yang sering mengunjungi toko semacam ini, tetapi hari itu ia merasa seperti ada dorongan tak terucapkan yang mengarahkannya ke sana. Sebagai seorang fotografer muda, ia selalu tertarik pada benda-benda lama yang memiliki cerita tersendiri. Dia menatap berbagai barang: jam antik, lukisan tua, hingga perhiasan yang tampak usang. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatiannya di sudut ruangan—sebuah kamera tua yang terletak di atas rak kayu.

Kamera itu tampak sederhana, dengan bodi logam yang sudah mulai berkarat dan lensa kaca yang sedikit buram. Tidak ada label atau merek yang jelas, hanya ukiran kecil di bagian bawahnya yang menunjukkan angka tahun 1923. Mia merasa aneh, seolah kamera itu memanggilnya. Tanpa berpikir panjang, ia mendekati dan mengangkatnya dengan hati-hati.

Seorang pria tua yang berada di belakang meja di ujung toko menatap Mia dengan mata sayu. “Itu kamera yang agak unik,” katanya dengan suara serak. “Benda itu sudah ada di sini lebih dari 50 tahun. Konon, kamera itu bisa menangkap lebih dari sekadar gambar.”

Mia menoleh ke pria itu dengan rasa penasaran. “Maksud Anda, lebih dari sekadar gambar?”

Pria itu tersenyum tipis, lalu mengangkat bahu. “Cerita-cerita yang beredar tentang kamera itu agak… aneh. Ada yang bilang, foto-foto yang diambil dengan kamera itu bukan hanya potret momen, tapi potret masa depan. Hanya sedikit orang yang percaya.”

Mia tertawa pelan, meskipun ada rasa ingin tahu yang menggebu dalam dirinya. “Masa depan? Maksud Anda, seperti foto yang bisa meramalkan apa yang akan terjadi?”

“Entahlah,” pria tua itu berkata sambil mengangkat tangannya. “Ada yang menggunakannya dan merasa bahwa mereka melihat lebih dari sekadar kenangan. Tapi, siapa tahu? Bisa jadi itu hanya khayalan. Anda boleh mencobanya, jika tertarik.”

Tanpa berpikir panjang, Mia memutuskan untuk membeli kamera itu. Harga yang dipatok sangat murah, dan sepertinya, pria tua itu tidak benar-benar percaya pada cerita tentang kamera itu. Mia merasa, setidaknya, ia bisa memanfaatkannya untuk mencoba mengabadikan momen-momen indah dengan cara yang berbeda.

Begitu keluar dari toko, Mia berjalan kembali menuju apartemennya, memegang kamera itu dengan penuh rasa penasaran. Begitu sampai di rumah, ia langsung meletakkan kamera itu di atas meja dan mulai mempelajarinya lebih seksama. Ada sesuatu yang menenangkan dari benda itu, meskipun desainnya terlihat sangat usang.

Mia memutuskan untuk mencoba kamera itu, meskipun ia merasa agak ragu. Ia menyusun komposisi di depan jendela, dengan cahaya matahari sore yang menyinari meja kayu tempat beberapa foto lama yang tersebar. Dengan hati-hati, Mia memasukkan roll film ke dalam kamera, menekan tombol rana, dan mengarahkan lensa ke objek di depannya.

Setelah beberapa kali memotret, ia membuka penutup belakang kamera dan menemukan roll film yang tampaknya baru saja terpapar cahaya. Mia tersenyum, merasa sedikit puas dengan eksperimennya, meskipun ia tahu foto yang dihasilkan mungkin tidak sejelas yang diharapkan.

Beberapa hari kemudian, saat Mia mengembangkan film di ruang gelapnya, ia terkejut saat melihat hasilnya. Di antara foto-foto yang biasa, ada satu gambar yang membuatnya terkejut. Itu adalah gambar seorang pria berdiri di atas jembatan di tepi pantai, mengenakan jaket hitam dan memandang jauh ke depan. Di belakang pria itu, terlihat ombak yang menggulung dengan langit senja yang indah. Namun, yang membuat Mia terkejut adalah kenyataan bahwa pria itu adalah seseorang yang belum pernah ia temui sebelumnya.

Tak hanya itu, gambar itu tampak begitu nyata, seolah-olah itu adalah potongan waktu yang benar-benar ada di masa depan.

Mia merasa gelisah, namun juga tertarik. Apakah itu hanya kebetulan? Atau apakah kamera tua itu benar-benar bisa menangkap masa depan, seperti yang diceritakan oleh pria di toko barang bekas itu?

Malam itu, Mia tidak bisa tidur, memikirkan gambar itu. Ia merasa seolah ada sesuatu yang lebih besar yang sedang menunggunya. Begitu banyak pertanyaan yang muncul di benaknya, dan satu hal yang pasti: tak ada jalan mundur sekarang. Mia tahu, ia harus mencari tahu lebih banyak tentang kamera itu dan apa yang sebenarnya terjadi.

Begitu fajar menyingsing, ia memutuskan untuk kembali ke toko barang bekas dan mencari tahu lebih banyak tentang kamera itu. Namun, di dalam hatinya, ia sudah tahu satu hal: hidupnya akan segera berubah, entah bagaimana caranya.*

Bab 2: Potret yang Aneh

Mia duduk di meja kerjanya, menatap foto yang baru saja ia kembangkan. Foto itu masih tergeletak di atas meja, dan meskipun hari sudah larut malam, cahaya dari lampu meja kecil di sampingnya cukup untuk menyoroti detail yang tampak begitu jelas. Gambar pria di jembatan itu menimbulkan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Di dalam hati Mia, ada perasaan tak nyaman, namun juga rasa penasaran yang semakin menguat. Siapa pria itu? Apa artinya foto ini?

Ia menyentuh gambar itu dengan jari, memperhatikan tiap detail: pria yang mengenakan jaket hitam, pandangannya yang jauh, dan ombak yang tampak begitu nyata, seolah-olah ia bisa merasakan semilir angin yang menyapu wajahnya. Tidak ada yang terlihat aneh pada foto itu, selain kenyataan bahwa ia tidak mengenal pria tersebut.

Mia merasa gelisah, tetapi kemudian mengingat kata-kata pria tua di toko barang bekas. Kamera itu katanya bisa menangkap lebih dari sekadar gambar, bahkan bisa menangkap masa depan. “Itu pasti hanya kebetulan,” bisiknya pada diri sendiri, mencoba meyakinkan hatinya.

Namun, ada sesuatu yang membuatnya terus memikirkan foto itu. Ia mengambil kamera tua yang ia beli beberapa hari lalu dan melihatnya lagi. Kamera itu tampak biasa-biasa saja—sebuah benda tua yang penuh sejarah. Tapi entah mengapa, ia merasa ada sesuatu yang misterius tersembunyi di baliknya.

Malam itu, setelah memandangi foto untuk kesekian kalinya, Mia memutuskan untuk kembali ke tempat yang ada di dalam gambar—pantai dengan jembatan yang terlihat jauh di latar belakang. Meskipun ia tidak tahu siapa pria itu, ia merasa bahwa ada alasan yang lebih besar dari sekadar rasa penasaran.

Keesokan harinya, Mia membawa kamera tua itu dan pergi ke pantai. Ia berjalan perlahan, matanya menyusuri garis pantai yang panjang dan terbuka. Meskipun tempat itu terasa familier, Mia merasa seperti sesuatu yang aneh tengah menyelimuti dirinya. Begitu ia sampai di jembatan yang terlihat dalam foto, ia berhenti. Di hadapannya, suasana sepi dan angin laut yang dingin menyentuh kulitnya. Tak ada seorang pun di sekitar, hanya ia dan suara deburan ombak yang menghantam batu-batu pantai.

Mia mengeluarkan kamera dari tas dan mengarahkannya ke jembatan yang kini tampak begitu dekat. Ia memotret beberapa kali, berharap bisa menemukan jawaban atas semua perasaan aneh yang ia alami. Namun, setelah selesai, ia memeriksa hasil foto yang muncul—dan sekali lagi, ia terkejut. Gambar pria yang ada dalam foto sebelumnya kembali muncul, namun kali ini, ia berdiri tepat di jembatan itu, seolah-olah ia telah menunggu Mia datang.

Seketika, bulu roma Mia meremang. Ia menatap foto itu dengan cemas, membandingkannya dengan gambar yang diambil beberapa hari lalu. Tidak ada perbedaan—pria itu masih mengenakan jaket hitam dan berdiri di sana dengan ekspresi yang sama, memandang jauh ke depan.

“Ini… tidak mungkin,” gumam Mia. “Aku tidak melihat siapa pun di sini.”

Mia berlari kembali ke rumah, tidak sabar untuk mengembangkan foto itu dan melihat hasilnya. Ketika ia sampai di ruang gelap dan mulai memproses foto, perasaannya semakin cemas. Foto yang muncul kali ini sedikit berbeda. Ada sedikit kabur di bagian latar belakang, namun pria itu tetap jelas terlihat, berdiri di jembatan dengan tatapan yang penuh arti.

Mia menganggap ini sebagai kebetulan yang semakin sulit untuk dijelaskan, namun satu hal yang ia yakini: gambar itu menunjukkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar potret biasa. Sebuah perasaan bahwa takdir, entah bagaimana, berhubungan dengan pria itu—pria yang bahkan tidak ia kenal.

Keesokan harinya, saat Mia mengunjungi toko barang bekas untuk mencari tahu lebih lanjut tentang kamera tersebut, ia kembali bertemu dengan pria tua itu. “Ada apa lagi?” tanya pria itu sambil mengamati Mia yang tampak bingung dan cemas.*

Bab 3: Takdir yang Tertunda

Mia tidak bisa mengusir bayangan pria itu dari pikirannya. Setiap kali ia memejamkan mata, gambar pria dengan jaket hitam itu muncul dalam benaknya. Setiap foto yang ia ambil dengan kamera tua itu semakin memperkuat keyakinannya bahwa sesuatu yang besar akan terjadi. Namun, pertanyaannya masih tetap sama: siapa pria itu? Apa hubungannya dia dengan takdir yang tampaknya tidak bisa dihindari?

Hari itu, Mia memutuskan untuk kembali ke pantai—tempat yang selalu ia kunjungi saat merasa bingung atau terperangkap dalam perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Ia membawa kamera tua itu sekali lagi, berharap bisa menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang terus menghantuinya.

Setibanya di pantai, ia merasakan angin yang lembut berhembus, membawa aroma garam laut yang segar. Suasana sepi seperti biasa, dengan hanya suara deburan ombak yang mengisi keheningan. Mia berdiri di tepi jembatan, tempat di mana pria dalam foto itu selalu muncul. Namun, kali ini, ada perasaan yang berbeda. Ia merasa seolah-olah sedang menunggu sesuatu yang tak terlihat, sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.

Ketika Mia memandang ke arah jembatan, matanya menangkap sosok seorang pria yang berdiri di sana, persis seperti yang ada dalam foto. Pria itu mengenakan jaket hitam dan menatap ke depan dengan pandangan kosong. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia melihat Mia atau bahkan menyadari kehadirannya.

Mia berhenti sejenak, mencoba untuk mengumpulkan keberanian. Ia tahu bahwa pria itu—atau setidaknya seseorang yang sangat mirip dengannya—telah muncul dalam setiap foto yang ia ambil. Tidak ada cara lain untuk menjelaskan hal ini selain bahwa takdir mereka terhubung. Namun, ada perasaan cemas yang menggelayuti hatinya, seolah-olah ia sudah melihat masa depan mereka, namun tak tahu bagaimana melangkah ke depan.

Tanpa berpikir panjang, Mia mengarahkan kamera tua itu ke pria tersebut. Seperti sebelumnya, ia menekan tombol rana dan membiarkan kamera itu menangkap momen yang sepertinya telah ditentukan. Begitu foto itu tercetak, Mia segera memeriksa hasilnya, dan betul saja, gambar pria itu muncul dalam jembatan, memandang jauh ke depan, tetapi kali ini dengan ekspresi yang lebih suram.

Foto itu memperlihatkan sesuatu yang berbeda—sebuah ketegangan yang tak terucapkan, seolah pria itu tahu bahwa mereka sedang menuju pertemuan yang tak bisa dihindari. Mia memandang foto itu, merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang lebih besar daripada sekadar takdir yang tertulis di atas kertas.

Namun, saat Mia mulai melangkah lebih dekat untuk mendekati pria itu, ia terkejut melihat pria itu berbalik, memandangnya dengan mata yang tajam dan penuh pertanyaan. Tanpa berkata sepatah kata pun, pria itu berjalan mendekat, matanya tetap menatap Mia.

“Saya tahu Anda akan datang,” kata pria itu dengan suara rendah, hampir seperti bisikan yang terbawa angin. “Sudah lama saya menunggu.”

Mia terdiam. Kata-kata itu menggetarkan seluruh tubuhnya, membuat jantungnya berdebar kencang. “Siapa… siapa Anda?” tanya Mia dengan suara bergetar. “Kenapa Anda ada dalam setiap foto yang saya ambil?”

Pria itu menghela napas dan menatap jauh ke horizon laut. “Aku bukan siapa-siapa untukmu, setidaknya bukan untuk sekarang,” jawabnya. “Tapi kita memiliki hubungan, yang lebih dari sekadar kebetulan. Takdir kita sudah tertulis. Itu sebabnya, kau menemukan kamera itu. Itu sebabnya kamu bisa melihatku, walaupun seharusnya aku tidak ada di dunia ini… setidaknya bukan dalam bentuk ini.”

Mia merasa kebingungannya semakin dalam. “Takdir? Apa maksud Anda?” tanyanya, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. “Apa yang terjadi pada kita? Apa yang akan terjadi?”

Pria itu melangkah lebih dekat, namun tetap menjaga jarak yang cukup. “Takdir tidak bisa dipaksakan,” jawabnya. “Ia datang dengan cara yang misterius. Kita tidak bisa melawannya, meskipun kita mungkin berusaha. Aku tahu kita seharusnya bertemu, tapi aku juga tahu bahwa apa yang harus terjadi tidak akan terjadi begitu saja. Kita berada di persimpangan waktu, dan ini adalah saat yang tepat. Tetapi ada hal-hal yang harus kau ketahui.”

Mia tertegun. Pria itu tampaknya tahu lebih banyak tentang dirinya daripada yang ia ketahui. Ada rasa ketidakpastian yang mendalam, tetapi juga ketertarikan yang kuat terhadap apa yang dia katakan.

“Siapa Anda?” Mia bertanya lagi, matanya tak lepas dari pria itu, berharap ada jawaban yang lebih jelas.

“Saya Damar,” jawabnya dengan suara yang tenang. “Dan Anda… Anda adalah orang yang seharusnya ada di samping saya, meskipun itu tak mudah.”

Mia merasa mulutnya kering. Damar—nama itu terdengar asing, tetapi juga seperti sesuatu yang sudah ia dengar sebelumnya. Mungkin dalam salah satu foto? Mungkin ini adalah pria yang ia lihat dalam setiap potret masa depan yang ditangkap oleh kamera tua itu. Tapi bagaimana ia bisa ada di sini? Apa yang membuat mereka terhubung.*

Bab 4: Cinta Belum Terjadi

Pagi itu, Mia terbangun dengan perasaan yang campur aduk. Mimpinya semalam aneh, penuh dengan bayangan Damar dan sosok-sosok yang tidak bisa ia kenali. Wajah Damar terus terngiang di kepalanya, meskipun dia baru bertemu pria itu sekali, di pantai. Setiap kali ia mencoba mengalihkan pikirannya, gambar pria itu muncul lagi—penuh misteri dan perasaan yang tak terjelaskan.

Mia memandang kamera tua yang kini terletak di samping tempat tidurnya. Setelah pertemuannya dengan Damar kemarin, dia merasa seolah takdir sedang mengarahkannya pada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang melampaui dunia yang bisa ia pahami. Tapi apakah itu berarti cinta? Ataukah hanya sekadar permainan waktu yang dipenuhi teka-teki?

Hari itu, ia kembali ke rutinitasnya sebagai fotografer freelance, tetapi otaknya terus melayang pada pikiran tentang Damar dan apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan “takdir yang tertunda.” Mia tahu bahwa sesuatu besar sedang terjadi, namun ia juga sadar bahwa perasaan itu belum cukup untuk menyebutnya cinta. Cinta—itu adalah kata yang ia hindari, terutama setelah perpisahannya yang menyakitkan beberapa tahun lalu dengan Ryan, mantan kekasihnya.

Mia mengenang Ryan dengan senyum pahit. Ryan adalah seseorang yang tampaknya sempurna pada awalnya, tetapi hubungan mereka berakhir dengan cara yang tidak mengenakkan. Saat itu, Mia merasa bahwa cinta sejati itu tidak ada, bahwa hubungan selalu memiliki ujung yang pedih. Maka, ketika Damar muncul, ia merasa tak ingin terjebak dalam perasaan yang sama.

Namun, mengabaikan Damar bukanlah hal yang mudah. Entah kenapa, meskipun ia mencoba untuk tetap tenang, ada kekuatan menariknya pada pria itu—sebuah daya tarik yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata.

Setelah selesai bekerja, Mia kembali ke rumah dengan langkah lesu. Pikirannya yang berkecamuk membuatnya ingin sekali menghilangkan kebingungannya, tetapi ia tidak tahu harus mulai dari mana. Penasaran dengan foto yang diambilnya kemarin, ia mengembangkan film baru yang sudah ia simpan di tas. Setelah beberapa menit, foto itu muncul. Seperti yang ia duga, pria itu kembali ada di dalam gambar, berdiri di jembatan dengan ekspresi yang tampak jauh lebih dalam dan penuh makna.

Namun, ada sesuatu yang berbeda—di balik pria itu, untuk pertama kalinya, terlihat bayangan seorang wanita. Bayangan itu samar dan buram, seolah-olah seseorang yang sedang berdiri dekat dengannya, namun tampak terhalang oleh waktu. Mia menatap gambar itu dengan penuh kebingungan. Siapa wanita itu? Apakah itu dirinya?

Rasa penasaran semakin menggelora dalam dirinya. Mia memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak, meskipun di dalam hatinya, ia merasa terpecah. Bagaimana jika Damar adalah takdirnya? Bagaimana jika ada hubungan yang lebih dalam dari sekadar pertemuan yang kebetulan? Tapi ada satu hal yang pasti—meskipun ia merasa tertarik, cinta belum terjadi. Takdir belum lengkap, dan Mia merasa bahwa cinta ini belum tumbuh sepenuhnya.

Hari berikutnya, Mia kembali ke pantai, dengan harapan bisa menemukan lebih banyak petunjuk. Namun, Damar tidak muncul. Hatinya kecewa, meskipun ia mencoba untuk tidak mengakuinya. Ia duduk di tepi jembatan, menatap ombak yang berdebur, membiarkan pikirannya mengalir begitu saja. Seperti biasanya, suasana pantai itu terasa sepi, menenangkan, tetapi juga membingungkan.

Tiba-tiba, dari kejauhan, ia melihat sosok pria yang mengenakan jaket hitam—Damar. Hatinya berdebar cepat, dan meskipun ia berusaha untuk tetap tenang, tubuhnya tak bisa mengabaikan kegugupan itu. Damar mendekat dengan langkah lambat, matanya menatap ke depan, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Wajahnya tampak lebih keras, lebih serius daripada terakhir kali mereka bertemu.*

Bab 5: Bayang-Bayang Masa Depan

Mia melangkah pelan menuju rumah, langkahnya berat. Setiap kata yang diucapkan Damar masih terngiang di telinganya, memutar dan berputar di dalam kepala. “Cinta tidak selalu datang dengan cara yang mudah. Terkadang ia membutuhkan waktu dan keberanian.” Kata-kata itu terasa seperti bayang-bayang yang melayang, mengitari dirinya tanpa pernah benar-benar menyentuh hatinya. Apa maksud Damar? Cinta? Apakah itu yang ia rasakan—sesuatu yang tak terlihat, namun terus merasuk dalam jiwanya?

Ketika Mia memasuki apartemennya yang sepi, suasana yang biasa terasa berbeda. Setiap sudut ruangan seperti dipenuhi oleh aura yang tak terjelaskan, sebuah ketegangan yang menggantung. Ia meletakkan tas kameranya di meja dan menatap kamera tua yang tergeletak di sana. Beberapa foto terbaru yang diambilnya masih tergeletak, menunggu untuk diproses.

Dengan rasa cemas, Mia mengambil satu foto yang tergeletak di meja dan mengamatinya dengan seksama. Kali ini, di gambar yang diambil di pantai, ia melihat sesuatu yang lebih jelas: bayangan dirinya sendiri, berdiri di samping Damar, namun sosoknya tampak samar, seperti hanya setengah nyata. Gambar itu tidak lengkap, seperti potongan puzzle yang belum selesai.

Mia memandangi gambar itu lama sekali, matanya mulai berkunang-kunang. Kenapa dirinya bisa ada dalam foto itu? Bukankah ia baru saja berada di pantai beberapa jam lalu, berdiri di hadapan Damar yang masih begitu misterius? Tapi bagaimana bisa bayangannya tercetak di sana—seolah-olah ia telah berada di sana lebih lama daripada yang ia sadari?

Setelah beberapa lama terdiam, Mia memutuskan untuk kembali ke pantai keesokan harinya. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan aneh ini. Sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa ada lebih banyak yang harus dipahami. Apakah ini pertanda sesuatu? Sebuah peringatan? Atau mungkin—mungkin takdir benar-benar sedang mengarahkan langkahnya ke arah yang tak bisa ia hindari?

Mia sampai di pantai menjelang senja, ketika langit mulai merona dengan warna jingga dan ungu yang menakjubkan. Angin laut berhembus lembut, membawa aroma asin yang biasa, namun hari ini terasa berbeda. Setiap langkah yang diambilnya seolah menggema lebih lama dari biasanya, dan ia merasa, entah kenapa, langkah-langkah itu membawa dirinya lebih dekat dengan takdir yang tertunda.

Ia kembali ke jembatan tempat pertemuan pertama kali dengan Damar. Senja mulai menggelapkan cakrawala, menyelimuti pantai dalam nuansa misterius. Mia melangkah pelan, matanya tertuju pada jembatan itu, namun Damar tidak ada di sana. Terkadang, ketidakhadiran seseorang bisa membuat seseorang merasa lebih tertekan, dan Mia merasakannya. Ada kekosongan yang menggelayuti hatinya—seperti ada bagian dari dirinya yang hilang.

Kemudian, suara langkah kaki memecah kesunyian, dan Mia menoleh. Damar muncul dari balik bayang-bayang, tampak lebih nyata malam ini. Wajahnya dipenuhi dengan ekspresi yang sulit dibaca, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam yang terpantul di matanya—sesuatu yang membuat Mia merasakan gelombang emosi yang tak bisa dijelaskan.

“Kenapa kamu kembali?” tanya Damar, suaranya lembut namun tegas, seolah-olah ia sudah menunggu kedatangannya.

Mia menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar ketertarikan atau rasa penasaran. Ada perasaan yang lebih dalam, perasaan yang mulai mengguncang dasar keyakinannya tentang cinta. “Aku melihat bayanganku di foto,” jawabnya, suara bergetar. “Bayanganku ada di sana, berdiri di sampingmu, meskipun aku baru saja datang. Bagaimana bisa itu terjadi? Apakah aku sudah ada di masa depan*

Bab 6: Saling Memahami

Pagi itu, Mia terbangun dengan perasaan yang campur aduk. Semalam, percakapan dengan Damar masih terngiang di benaknya. Kata-katanya yang lembut dan penuh makna tentang cinta yang belum datang terasa begitu nyata, namun sulit untuk ia pahami. Mia selalu berusaha menghindari keterikatan emosional, namun Damar menghadirkan perasaan yang berbeda—perasaan yang begitu dalam dan kompleks. Ia merasa seolah-olah ada sebuah ikatan yang tak terucapkan, sesuatu yang sudah ada di dalam dirinya, meski ia belum siap untuk menyebutnya dengan nama.

Mia memandang dirinya di cermin, merapikan rambutnya, dan berpikir, Apa yang harus aku lakukan? Cinta masih terasa seperti konsep yang jauh, yang ada di luar jangkauan pemahamannya. Meskipun demikian, ada satu hal yang jelas—kehadiran Damar dalam hidupnya tidak bisa ia hindari. Dan mungkin, itu adalah awal dari perjalanan yang belum ia pahami sepenuhnya.

Setelah selesai sarapan, Mia memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan fotografinya, meskipun pikirannya masih berkecamuk. Ia membawa kamera tua itu ke sebuah taman kota, mencoba mencari inspirasi untuk foto-foto barunya. Pekerjaan itu, bagaimanapun, adalah cara terbaik untuk mengalihkan perhatian dari perasaan yang semakin tumbuh. Tetapi meskipun ia berusaha fokus pada pekerjaannya, bayang-bayang Damar tetap menghantuinya.

Pukul tiga sore, saat Mia sedang duduk di bangku taman, seseorang menghampirinya. Tanpa melihat, Mia tahu siapa yang datang. Suara langkah kaki itu—tentu saja, itu adalah Damar.

“Selamat sore, Mia,” suara Damar terdengar hangat, namun masih ada kesan keragu-raguan yang terpendam di dalamnya.

Mia menoleh, melihat pria itu dengan tatapan yang penuh tanda tanya. “Apa yang membawamu ke sini?” tanya Mia dengan nada yang lembut, berusaha menyembunyikan perasaan yang mulai muncul di dalam hatinya.

Damar duduk di sampingnya tanpa menjawab, membiarkan keheningan beberapa detik terjaga. Ia memandang kamera tua di tangan Mia, lalu berkata pelan, “Aku tahu kamu sedang berpikir banyak tentang kita, tentang apa yang sedang terjadi.”

Mia terdiam. Ada sesuatu dalam pandangan Damar yang membuatnya merasa seperti ia bisa membaca setiap pikiran di benaknya. Seakan-akan, pria itu tahu betul apa yang sedang ia rasakan, meskipun Mia belum bisa menjelaskan apa itu.

“Apa yang kamu rasakan sekarang, Mia?” Damar melanjutkan, dengan suara yang penuh perhatian. “Aku tahu kita belum memiliki banyak waktu bersama, tapi aku ingin kita saling memahami.”

Mia merasa sedikit terkejut. Ia jarang berbicara tentang perasaan dengan orang lain, apalagi dengan seseorang yang baru ia temui. Namun, ada sesuatu dalam tatapan Damar yang membuatnya merasa aman, membuatnya merasa bahwa mungkin kali ini ia bisa berbicara tanpa takut disalahpahami.

“Aku… aku merasa bingung,” Mia akhirnya mengaku, suaranya hampir tak terdengar. “Semua ini terasa begitu cepat. Aku tidak tahu apakah aku siap untuk apa yang sedang terjadi, tapi aku juga tidak bisa mengabaikan perasaan ini.”

Damar menatapnya dengan lembut, menyimak setiap kata yang diucapkan Mia. “Perasaan itu wajar, Mia. Kita semua pernah merasa seperti itu—takut pada sesuatu yang baru, takut pada hal yang belum kita pahami sepenuhnya. Tapi terkadang, kita harus memberi ruang untuk perasaan itu berkembang. Tak semua hal bisa dipaksakan.”

Mia menunduk, merasakan beban yang lebih ringan saat kata-kata itu mengalir. Ia tidak tahu kenapa, tetapi ada kedamaian yang mengalir begitu saja di dalam dirinya. Mungkin, ini adalah momen yang ia butuhkan untuk membuka diri, untuk menerima kenyataan bahwa tidak semuanya bisa ia kendalikan.

“Aku takut,” Mia melanjutkan, “takut terluka lagi. Aku sudah pernah merasakannya sebelumnya, dan itu sangat menyakitkan. Aku tidak ingin mengulanginya.*

Bab 6: Saling Memahami

itu, Mia terbangun dengan perasaan yang campur aduk. Semalam, percakapan dengan Damar masih terngiang di benaknya. Kata-katanya yang lembut dan penuh makna tentang cinta yang belum datang terasa begitu nyata, namun sulit untuk ia pahami. Mia selalu berusaha menghindari keterikatan emosional, namun Damar menghadirkan perasaan yang berbeda—perasaan yang begitu dalam dan kompleks. Ia merasa seolah-olah ada sebuah ikatan yang tak terucapkan, sesuatu yang sudah ada di dalam dirinya, meski ia belum siap untuk menyebutnya dengan nama.

Mia memandang dirinya di cermin, merapikan rambutnya, dan berpikir, Apa yang harus aku lakukan? Cinta masih terasa seperti konsep yang jauh, yang ada di luar jangkauan pemahamannya. Meskipun demikian, ada satu hal yang jelas—kehadiran Damar dalam hidupnya tidak bisa ia hindari. Dan mungkin, itu adalah awal dari perjalanan yang belum ia pahami sepenuhnya.

Setelah selesai sarapan, Mia memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan fotografinya, meskipun pikirannya masih berkecamuk. Ia membawa kamera tua itu ke sebuah taman kota, mencoba mencari inspirasi untuk foto-foto barunya. Pekerjaan itu, bagaimanapun, adalah cara terbaik untuk mengalihkan perhatian dari perasaan yang semakin tumbuh. Tetapi meskipun ia berusaha fokus pada pekerjaannya, bayang-bayang Damar tetap menghantuinya.

Pukul tiga sore, saat Mia sedang duduk di bangku taman, seseorang menghampirinya. Tanpa melihat, Mia tahu siapa yang datang. Suara langkah kaki itu—tentu saja, itu adalah Damar.

“Selamat sore, Mia,” suara Damar terdengar hangat, namun masih ada kesan keragu-raguan yang terpendam di dalamnya.

Mia menoleh, melihat pria itu dengan tatapan yang penuh tanda tanya. “Apa yang membawamu ke sini?” tanya Mia dengan nada yang lembut, berusaha menyembunyikan perasaan yang mulai muncul di dalam hatinya.

Damar duduk di sampingnya tanpa menjawab, membiarkan keheningan beberapa detik terjaga. Ia memandang kamera tua di tangan Mia, lalu berkata pelan, “Aku tahu kamu sedang berpikir banyak tentang kita, tentang apa yang sedang terjadi.”

Mia terdiam. Ada sesuatu dalam pandangan Damar yang membuatnya merasa seperti ia bisa membaca setiap pikiran di benaknya. Seakan-akan, pria itu tahu betul apa yang sedang ia rasakan, meskipun Mia belum bisa menjelaskan apa itu.

“Apa yang kamu rasakan sekarang, Mia?” Damar melanjutkan, dengan suara yang penuh perhatian. “Aku tahu kita belum memiliki banyak waktu bersama, tapi aku ingin kita saling memahami.”

Mia merasa sedikit terkejut. Ia jarang berbicara tentang perasaan dengan orang lain, apalagi dengan seseorang yang baru ia temui. Namun, ada sesuatu dalam tatapan Damar yang membuatnya merasa aman, membuatnya merasa bahwa mungkin kali ini ia bisa berbicara tanpa takut disalahpahami.

“Aku… aku merasa bingung,” Mia akhirnya mengaku, suaranya hampir tak terdengar. “Semua ini terasa begitu cepat. Aku tidak tahu apakah aku siap untuk apa yang sedang terjadi, tapi aku juga tidak bisa mengabaikan perasaan ini.”

Damar menatapnya dengan lembut, menyimak setiap kata yang diucapkan Mia. “Perasaan itu wajar, Mia. Kita semua pernah merasa seperti itu—takut pada sesuatu yang baru, takut pada hal yang belum kita pahami sepenuhnya. Tapi terkadang, kita harus memberi ruang untuk perasaan itu berkembang. Tak semua hal bisa dipaksakan.”

Mia menunduk, merasakan beban yang lebih ringan saat kata-kata itu mengalir. Ia tidak tahu kenapa, tetapi ada kedamaian yang mengalir begitu saja di dalam dirinya. Mungkin, ini adalah momen yang ia butuhkan untuk membuka diri, untuk menerima kenyataan bahwa tidak semuanya bisa ia kendalikan.

“Aku takut,” Mia melanjutkan, “takut terluka lagi. Aku sudah pernah merasakannya sebelumnya, dan itu sangat menyakitkan. Aku tidak ingin mengulanginya.”*

Bab 7: Misteri yang Terungkap

Mia tidak tahu kapan tepatnya ia mulai merasa bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang menghubungkannya dengan Damar. Setiap pertemuan, setiap percakapan mereka, seolah membuka lapisan baru dari sebuah rahasia yang belum sepenuhnya terungkap. Meski mereka terus berbicara tentang cinta yang belum terjadi, ada sebuah perasaan di dalam hatinya—bahwa Damar tidak hanya sekadar pria biasa. Ia adalah bagian dari sebuah cerita yang lebih besar, sebuah misteri yang mulai terungkap perlahan.

Beberapa hari setelah percakapan mereka di taman, Mia kembali ke pantai tempat mereka pertama kali bertemu. Ia tidak tahu kenapa, tetapi ada dorongan kuat yang mengarahkannya kembali ke sana, seperti sebuah panggilan yang tidak bisa ia abaikan. Kamera tua itu selalu berada di sisinya, menjadi saksi bisu dari setiap momen yang terjadi, dari setiap bayangan yang tertangkap dalam lensa.

Saat Mia berjalan menyusuri pasir, matanya tertuju pada sebuah benda yang tampak tak biasa—sebuah kunci kecil yang tergeletak di dekat air, dikelilingi oleh serpihan ombak yang perlahan menariknya kembali ke laut. Tanpa berpikir panjang, Mia mengambil kunci itu, merasakannya dengan telapak tangan, seolah ada energi aneh yang mengalir melalui benda kecil itu.

Kunci itu terasa berat, meskipun ukurannya kecil. Ada sesuatu yang familiar tentangnya—sesuatu yang membuatnya merasa seperti ini bukanlah pertama kalinya ia menemui benda itu. Apakah kunci ini ada hubungannya dengan Damar? Dengan foto-foto yang ia ambil? Dan, lebih penting lagi, dengan perasaan yang semakin sulit untuk dipahami?

Mia memutuskan untuk mencari Damar. Ia ingin tahu apakah kunci ini memiliki arti yang lebih dalam. Setelah beberapa menit berjalan, akhirnya ia melihat sosok Damar di kejauhan, berdiri di bawah pohon pinus yang tampak menjulang tinggi. Wajahnya tampak tenang, namun Mia tahu bahwa pria itu menyimpan banyak hal yang belum ia ungkapkan.

“Hey,” panggil Mia pelan, sambil melambaikan tangan. Damar menoleh, matanya langsung bertemu dengan matanya.

“Mia,” kata Damar, suaranya penuh kehangatan, namun ada sedikit keheranan di balik tatapan itu. “Ada apa? Kamu tampak terburu-buru.”

Mia mengangkat tangan, menunjukkan kunci kecil yang baru saja ia temukan. “Aku menemukannya di pantai,” katanya dengan suara yang sedikit gemetar. “Apa ini? Kenapa rasanya seperti ini milikku? Aku merasa ini penting, Damar.”

Damar terdiam sejenak, memandangi kunci itu dengan ekspresi yang sulit dibaca. Mata Damar tampak tajam, seolah mencerna setiap detail dalam pikiran Mia. “Itu… adalah kunci untuk sebuah misteri yang sudah lama tertunda,” jawab Damar akhirnya, suaranya rendah, penuh makna.

“Misteri?” tanya Mia, terkejut. “Misteri apa yang kamu maksud?”

Damar menarik napas panjang, seolah-olah ia sedang berjuang untuk menemukan kata-kata yang tepat. “Kunci itu… kunci itu bukan hanya sebuah benda biasa, Mia. Itu adalah kunci menuju masa lalu kita. Atau lebih tepatnya, kunci untuk membuka pintu yang menghubungkan kita dengan takdir yang telah ditulis sebelum kita lahir.”

Mia merasa seolah dunia berhenti berputar sejenak. “Apa maksudmu?” tanyanya, suaranya bergetar. “Apakah kamu sedang mengatakan bahwa kita sudah saling mengenal sebelumnya? Bahwa kita memiliki hubungan yang lebih dari sekadar pertemuan kebetulan?”

Damar menatapnya dalam diam. “Aku tahu ini mungkin terdengar gila,” kata Damar perlahan, “tapi ini adalah bagian dari takdir yang tertunda, Mia. Sebelum kita bertemu di pantai, kita pernah bertemu dalam kehidupan yang lain. Takdir kita selalu saling berhubungan, meskipun kita tidak ingat apa yang telah terjadi.”

Mia terdiam, memandang Damar dengan penuh kebingungan dan rasa takut. “Tapi bagaimana mungkin? Aku tidak ingat apapun. Aku bahkan tidak tahu siapa kamu sebelumnya.”

“Karena ingatan kita terhapus, Mia. Ada alasan mengapa kita tidak bisa mengingat masa lalu kita, meskipun ada ikatan yang kuat antara kita. Kamera itu—kamera tua yang kamu bawa—adalah bagian dari kekuatan yang menghubungkan kita. Itulah yang membuatmu bisa melihat bayangan di foto-foto itu, dan itulah yang membuatmu merasa bahwa kita sudah saling mengenal, meskipun kita baru bertemu.”

Mia merasa hatinya berdegup kencang. Semua yang Damar katakan terdengar seperti sebuah cerita yang tidak masuk akal, namun ada sesuatu yang membuatnya merasa bahwa semuanya mungkin saja benar. Kamera tua, kunci misterius, foto-foto yang tampaknya memperlihatkan bayangan masa depan—semua itu mulai saling berkaitan, mengarah pada sebuah kebenaran yang belum sepenuhnya ia pahami.

“Apakah kamu mencoba mengatakan bahwa kita pernah hidup bersama dalam kehidupan sebelumnya?” Mia bertanya dengan suara yang hampir tak terdengar.

Damar mengangguk perlahan. “Ya. Kita pernah saling mencintai, Mia. Namun sesuatu menghalangi kita untuk bersama, dan kita terpisah. Kunci ini adalah simbol dari janji yang belum ditepati, dari takdir yang belum selesai. Tapi kali ini, kita diberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya.”

Mia menggenggam kunci itu erat-erat, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa semua pertanyaan yang ada di dalam dirinya mulai mendapatkan jawaban. Namun, jawaban itu datang dengan harga yang tinggi—perjalanan ini tidak akan mudah, dan mungkin akan mengungkap lebih banyak kebenaran yang sulit diterima.

“Tapi kenapa sekarang?” Mia bertanya, suara yang penuh kebingungan. “Kenapa kita baru bertemu sekarang, setelah semua waktu yang berlalu?”

“Karena waktu yang tepat telah datang, Mia,” jawab Damar dengan lembut. “Kita dipertemukan untuk menyelesaikan apa yang sudah dimulai. Takdir ini sudah menunggu kita untuk membuka pintu yang terkunci, dan kali ini, kita harus melakukannya bersama.”

Mia menatap kunci itu sekali lagi, merasakan berat tanggung jawab yang tiba-tiba jatuh di pundaknya. Ada banyak hal yang belum ia mengerti, banyak bagian dari cerita yang masih tersembunyi di balik kabut masa lalu. Tetapi satu hal yang jelas: takdir mereka, yang telah tertunda begitu lama, sekarang mulai terungkap. Dan mereka harus siap menghadapi apa pun yang akan datang.

Dengan perlahan, Mia mengulurkan tangan, menyerahkan kunci itu pada Damar. “Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanyanya, suaranya penuh tekad.*

Bab 8: Kehilangan dan Harapan

Pagi itu, Mia terbangun dengan rasa hampa yang tak bisa ia jelaskan. Sejak pertemuannya dengan Damar, dunia seolah berubah bentuk—semuanya terasa lebih berat, lebih nyata. Kunci yang ia temukan di pantai, serta pengakuan Damar tentang takdir mereka yang telah lama tertunda, semakin mendalamkan kebingungannya. Meski Mia mencoba untuk menenangkan dirinya, ada perasaan yang terus menggelisahkan hatinya—sebuah perasaan kehilangan yang menyakitkan, meski ia tidak tahu apa yang hilang.

Setelah sarapan, Mia memutuskan untuk kembali ke apartemennya, mencoba menyusun kembali pikirannya. Namun, langkahnya terhenti saat ia menemukan sebuah surat yang tergeletak di meja, dengan tulisan tangan yang familiar. Surat itu berasal dari Damar.

Mia duduk di meja, membuka surat itu dengan hati-hati. Tulisannya berbunyi:

*”Mia,
Aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi aku merasa kita sudah berada di persimpangan yang tak bisa kita hindari. Apa yang kita miliki bukanlah sekadar pertemuan biasa. Cinta yang kita rasakan, meskipun masih samar, adalah bagian dari takdir yang lebih besar. Namun, ada sesuatu yang harus aku ungkapkan—sesuatu yang akan mengubah segalanya.
Aku harus pergi.
Ini bukan keputusan yang mudah, tapi aku harus menyelesaikan apa yang tertunda. Aku berharap kamu mengerti. Mungkin, suatu hari nanti, takdir kita akan bertemu lagi. Tapi untuk sekarang, aku harus meninggalkanmu.
Damar.”*

Mia merasa seolah seluruh dunia berhenti berputar. Surat itu seperti petir yang menyambar hatinya. Mengapa? Kenapa Damar harus pergi? Bukankah mereka baru saja memulai perjalanan bersama? Kenapa takdir itu harus terhenti begitu saja, seperti sebuah cerita yang diputus di tengah jalan?

Air mata mulai mengalir tanpa bisa ia tahan. Perasaan kehilangan yang begitu dalam datang begitu cepat, menyelimuti setiap sudut hatinya. Mia merasa seperti ia baru saja menemukan satu-satunya orang yang bisa ia percayai, dan tiba-tiba orang itu hilang tanpa alasan yang jelas. Ke mana Damar pergi? Apa yang harus ia lakukan sekarang?

Hari-hari setelah surat itu terasa seperti masa-masa penuh kabut. Mia mencoba untuk bekerja, berusaha melanjutkan kehidupannya seperti biasa, namun setiap sudut ruang terasa kosong tanpa kehadiran Damar. Foto-foto yang ia ambil dengan kamera tua itu tampak seperti kenangan yang jauh, seolah-olah berada di masa lalu yang tak terjangkau.

Di dalam kesendirian, Mia teringat akan semua percakapan mereka, saat Damar berbicara tentang takdir yang tertunda, tentang hubungan yang telah terjalin di kehidupan sebelumnya. Ia merasa bingung dan terluka, namun ada satu hal yang selalu menguatkan—perasaan bahwa, meskipun Damar pergi, mereka memiliki ikatan yang tak bisa diputuskan oleh jarak.

Satu minggu berlalu tanpa kabar dari Damar. Mia mulai merasa putus asa, seolah-olah semua yang mereka rasakan hanyalah ilusi. Namun, pada suatu malam yang sunyi, ketika langit penuh bintang dan angin laut berhembus lembut, Mia menerima sebuah pesan singkat di ponselnya.

“Mia, aku tahu ini tidak mudah. Aku minta maaf jika aku membuatmu bingung dan terluka. Tapi percayalah, ada alasan mengapa aku harus pergi. Aku akan kembali. Aku janji. Jangan berhenti berharap.”

Pesan itu begitu singkat, namun terasa seperti sebuah janji yang sangat berarti. Mia memandang layar ponselnya, merasa ada secercah harapan yang kembali muncul di dalam dirinya. Mungkin, ini bukan akhir dari semuanya. Mungkin, hanya sementara saja mereka terpisah.

Keputusan itu harus dibuat. Mia tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang kehilangan tanpa mencari jalan untuk menghadapinya. Ia memutuskan untuk mengikuti suara hatinya, untuk tetap berharap, meskipun segalanya terasa tak pasti.

Hari-hari berikutnya, Mia mulai menata ulang hidupnya. Ia kembali ke tempat-tempat yang pernah ia kunjungi bersama Damar—pantai, taman kota, dan jembatan tempat mereka berbicara tentang takdir. Setiap langkahnya penuh dengan harapan, meski sedikit kesedihan menyelimuti hatinya. Ia tahu bahwa ini adalah perjalanan yang harus ia jalani, meski tanpa kepastian.

Damar tersenyum, meski senyum itu tampak sedikit lelah. “Mia,” katanya dengan suara yang penuh penyesalan. “Aku tahu aku telah membuatmu khawatir, tapi percayalah, aku harus melakukan ini untuk kita. Aku tidak ingin meninggalkanmu, tetapi aku harus menyelesaikan apa yang sudah dimulai.”

Mia menatapnya dengan campuran perasaan—kecewa, rindu, dan harapan. “Aku tidak mengerti, Damar. Kenapa kamu pergi? Kenapa tidak memberi aku kesempatan untuk ikut bersamamu?”

Damar duduk di sampingnya, menarik napas panjang. “Aku pergi karena aku harus mencari jawaban, Mia. Ada bagian dari diriku yang hilang, dan aku harus menemukannya. Tapi aku tahu satu hal—takdir kita belum selesai. Aku akan kembali. Aku janji.”

Mia merasa hatinya kembali terisi dengan harapan, meskipun ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Kehilangan yang ia rasakan masih ada, namun kini ia tahu bahwa harapan itu bukanlah hal yang sia-sia. Takdir mereka belum selesai, dan Mia siap menunggu—meski waktu harus berjalan dengan lambat.

Dalam diam, mereka duduk bersama di taman itu, memandang matahari yang perlahan tenggelam di balik cakrawala. Kehilangan dan harapan, keduanya hadir bersamaan, tetapi Mia tahu bahwa untuk cinta yang sejati, waktu dan kesabaran adalah kunci. Takdir mereka akan terungkap, dan bersama-sama, mereka akan menemui jawaban yang telah lama tertunda.*

Bab 9: Cinta yang Terakhir

Beberapa bulan telah berlalu sejak pertemuan terakhir Mia dengan Damar di taman. Selama itu, kehidupan Mia berjalan seperti biasa, meskipun perasaan di hatinya tidak pernah sepenuhnya tenang. Kehilangan yang ia rasakan setelah Damar pergi masih menghantuinya, namun ada harapan yang tetap hidup—harapan bahwa suatu saat Damar akan kembali, dan cinta mereka akan terwujud dalam bentuk yang lebih jelas.

Hari itu, Mia duduk di kafe yang selalu mereka kunjungi bersama, sendirian, dengan secangkir kopi yang hampir habis. Suara riuh orang-orang di sekitarnya terdengar samar, seperti melodi latar yang tidak terlalu penting. Mia menatap keluar jendela, memandangi jalanan yang sibuk dengan kerumunan orang, namun pikirannya jauh lebih dalam—terperangkap pada kenangan bersama Damar yang tak pernah benar-benar pergi.

Saat itu, ponselnya bergetar. Mia menoleh dengan cepat, melihat nama yang tertera di layar. Itu adalah Damar. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka pesan yang baru saja diterima.

“Mia, aku tahu ini sudah lama, tapi aku ingin kamu tahu satu hal: aku tidak pernah berhenti mencintaimu. Aku akan kembali. Cinta kita, yang kita tunggu selama ini, akhirnya tiba. Aku sudah menemukan jawabannya. Dan aku ingin berbagi hidupku dengamu. Jika kamu siap, kita bisa memulai dari sini.”

Mia menatap layar ponselnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Kata-kata Damar itu begitu penuh arti, dan meskipun waktu yang telah berlalu membuatnya merasa sedikit ragu, hatinya tahu bahwa ini adalah kesempatan yang mereka tunggu bersama. Cinta yang telah tertunda begitu lama akhirnya menemukan jalannya. Damar kembali, dan ini bukan hanya tentang pertemuan kembali mereka—ini adalah tentang cinta yang tidak pernah benar-benar hilang, hanya tertunda oleh waktu.

Ia segera membalas pesan itu, dengan jari yang sedikit gemetar.

“Aku siap, Damar. Lebih dari siap. Kita mulai dari sini.”

Tak lama setelah itu, Mia mendapatkan kabar bahwa Damar akan kembali ke kota mereka dalam beberapa hari. Perasaan berdebar semakin kuat dalam dirinya. Tidak ada lagi keraguan, hanya antisipasi dan kebahagiaan yang mulai meresap ke dalam setiap bagian dirinya. Ia tahu bahwa cinta mereka telah melalui banyak rintangan—kehilangan, kebingungan, dan jarak. Tetapi, pada akhirnya, mereka sampai di sini.

Beberapa hari kemudian, Mia duduk di bangku taman tempat mereka pertama kali berbicara tentang takdir, menunggu kedatangan Damar. Semua perasaan yang sempat ia pendam kini mengalir dengan bebas. Setiap detik terasa seperti sebuah perjalanan yang panjang, namun dengan keyakinan bahwa pertemuan ini adalah titik akhir dari semua penantian mereka.

Dan akhirnya, Damar muncul di kejauhan. Senyumannya, senyum yang sama seperti yang Mia ingat, menyentuh hati Mia dengan cara yang tidak bisa dijelaskan. Damar berjalan mendekat, dan hati Mia berdebar lebih cepat. Tanpa kata-kata, Damar berhenti tepat di hadapannya, dan mereka saling menatap sejenak—dalam diam, semuanya terasa begitu penuh makna.

“Sudah lama, ya,” kata Damar, suaranya penuh kehangatan.

Mia hanya mengangguk, tak mampu menahan senyum lebar yang tiba-tiba muncul di wajahnya. “Terlalu lama.”

Damar menyentuh lembut tangan Mia, dan seakan dunia berhenti berputar. Semua kekhawatiran dan pertanyaan yang pernah ada dalam diri Mia menguap begitu saja, digantikan oleh perasaan yang begitu kuat—rasa cinta yang telah lama tertunda, yang kini akhirnya muncul kembali dengan sempurna.

“Aku kembali, Mia,” kata Damar, “untuk kamu. Untuk kita. Aku takkan pernah meninggalkanmu lagi.”

Mia mengangguk, matanya berbinar. “Aku tahu. Aku merasa ini adalah akhir dari perjalanan panjang kita. Tapi sebenarnya, ini baru awal.”

Damar tersenyum, senyum yang penuh harapan. “Ya, ini baru awal. Awal dari cinta kita yang terakhir.”*

Bab 10: Menyusun Kembali Takdir

Malam itu, di bawah langit yang dipenuhi bintang, Mia dan Damar berdiri di tepi jembatan tempat mereka pertama kali berbicara tentang takdir. Hujan gerimis turun perlahan, memberi suasana yang tenang, namun penuh harapan. Meskipun takdir mereka telah tertunda begitu lama, kini keduanya tahu bahwa mereka memiliki kekuatan untuk menyusunnya kembali. Segala hal yang mereka alami—kehilangan, pertemuan, keraguan—telah membentuk mereka menjadi siapa mereka sekarang. Mereka tahu, takdir mereka tidak hanya ditentukan oleh masa lalu, tetapi juga oleh pilihan yang mereka buat di masa kini.

Damar memandang Mia dengan tatapan yang penuh makna. “Mia,” katanya, suara lembut, namun penuh tekad. “Kita sudah melalui perjalanan panjang. Setiap langkah, setiap keputusan, semuanya membawa kita ke sini. Aku tahu kita belum selesai. Takdir kita bukanlah sesuatu yang harus ditunggu, tapi sesuatu yang harus kita bentuk bersama.”

Mia menatap Damar, merasakan beban dan kebahagiaan yang sama. “Aku tahu,” jawabnya dengan penuh keyakinan. “Dulu, aku merasa seperti takdir kita sudah dituliskan jauh sebelum kita lahir, tapi sekarang aku sadar, kita bisa mengubahnya. Kita bisa membentuknya. Takdir itu bukan sesuatu yang pasrah. Kita punya kekuatan untuk menyusun kembali setiap bagian dari itu.”

Damar tersenyum, senyum yang tulus dan penuh dengan kebanggaan. “Kita tidak perlu menunggu lagi, Mia. Kita tidak perlu hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Apa pun yang terjadi, kita punya kesempatan untuk menciptakan masa depan kita sendiri. Dan aku ingin itu bersama kamu.”

Mia menggenggam tangan Damar dengan erat, merasakan kehangatan dan keteguhan dari sentuhannya. Ada kekuatan yang mengalir di antara mereka, seperti aliran energi yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya. Semua ketakutan dan keraguan yang dulu menghantui hati mereka kini sirna. Mereka tidak lagi terikat oleh takdir yang tertunda, karena mereka tahu bahwa mereka sendiri yang bisa menentukan arah hidup mereka.

Mereka berdiri diam di sana, di bawah hujan yang semakin lebat, merasa dunia seperti berhenti sejenak untuk memberi mereka waktu untuk merenung. Semua yang mereka lewati—semua yang mereka rasakan—sekarang terasa seperti bagian dari cerita yang lebih besar, sebuah cerita yang mereka tulis bersama, tanpa hambatan, tanpa ketakutan.

“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di depan kita,” kata Mia dengan lembut, menatap mata Damar yang penuh dengan harapan. “Tapi aku yakin, selama kita bersama, kita bisa menyusun takdir kita kembali. Kita bisa membuatnya menjadi lebih indah daripada yang pernah kita bayangkan.”

Damar memegang wajah Mia dengan lembut, mengusap air mata yang mulai mengalir di pipinya. “Kamu benar, Mia. Kita tidak perlu takut pada ketidakpastian. Kita sudah cukup kuat untuk menghadapi apapun yang datang. Bersama, kita bisa menyusun kembali takdir kita. Tidak ada yang bisa menghentikan kita.”

Mia tersenyum, sebuah senyum yang penuh dengan kedamaian. “Kita akan berjalan bersama, Damar. Tidak peduli berapa lama waktu yang diperlukan, takdir kita akan kita ciptakan dengan tangan kita sendiri.”

Malam itu, di bawah hujan yang terus turun, mereka berdua berjalan bersama, meninggalkan jejak kaki mereka di atas jalanan yang basah. Setiap langkah yang mereka ambil terasa lebih pasti, lebih penuh makna. Mereka tahu bahwa perjalanan ini belum selesai—ini baru permulaan. Takdir yang dulu terasa seperti sebuah teka-teki yang tak terpecahkan kini mulai terlihat lebih jelas. Mereka adalah pembuat takdir mereka sendiri.

Dengan setiap hari yang berlalu, mereka semakin memahami bahwa cinta mereka bukan hanya tentang pertemuan atau perpisahan, bukan hanya tentang waktu yang terbuang atau janji yang belum ditepati. Cinta mereka adalah kekuatan untuk mengubah takdir, untuk mengubah dunia mereka. Takdir itu tidak terbuat dari serangkaian kejadian yang tak bisa diprediksi, tetapi dari pilihan-pilihan yang mereka buat bersama.

Saat mereka berjalan bersama di bawah hujan malam itu, Mia merasa bahwa takdir mereka bukanlah sesuatu yang akan datang begitu saja, tetapi sesuatu yang akan mereka ciptakan, membentuknya dengan tangan dan hati mereka, seiring waktu. Mereka tidak lagi takut pada masa depan, karena mereka tahu bahwa bersama, mereka akan menyusunnya kembali—takdir yang lebih indah dan penuh dengan cinta yang abadi.

Dan dalam keheningan malam, mereka tahu satu hal: Takdir mereka tidak lagi tertunda. Ini adalah saatnya untuk memulai hidup baru—hidup yang mereka ciptakan bersama, penuh dengan harapan dan kemungkinan yang tak terbatas. Cinta mereka, yang telah melalui begitu banyak ujian, kini menjadi pondasi yang kuat untuk masa depan yang akan mereka bangun bersama. Tak ada yang bisa menghentikan mereka. Takdir mereka, yang sejati, akhirnya dimulai.***

———THE END——–

Source: AGUSTINA RAMADHANI
Tags: #RomansaCinta yang Tertunda*Kehilangan dan Harapan*Menentukan Masa DepanTakdir yang Diciptakan
Previous Post

CINTA YANG TERTUNDA

Next Post

GAGAL JADI SULTAN SUKSES JADI BABU

Next Post
GAGAL JADI SULTAN SUKSES JADI BABU

GAGAL JADI SULTAN SUKSES JADI BABU

CINTA YANG TERLUPAKAN

CINTA YANG TERLUPAKAN

SEPATU HILANG CINTA DATANG

SEPATU HILANG CINTA DATANG

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In