BAB 1: PERJALANAN AWAL
Ariana memandangi layar laptopnya dengan pandangan kosong. Konferensi desain tahunan yang diadakan di Jakarta ini sudah menyita hampir seluruh waktunya dalam beberapa bulan terakhir. Sebagai seorang perancang grafis yang baru saja mendapat promosi di perusahaan kreatif miliknya, Ariana merasa ini adalah kesempatan besar untuk memperluas jaringan, namun entah kenapa hari ini, di tengah keramaian acara, ia merasa sedikit terasing. Jakarta, dengan segala kemegahannya, terkadang membuatnya merasa sendirian. Terlalu banyak orang, terlalu banyak harapan, dan terkadang, terlalu banyak kebisingan yang sulit dijelaskan.
“Ariana!” Sebuah suara tiba-tiba menyentaknya dari lamunannya. Ia menoleh, melihat seorang rekan kerjanya, Dara, yang datang dengan senyum lebar. Dara membawa dua cangkir kopi di tangannya. “Kau tidak akan percaya, aku melihat pemuda dari Sumatra itu lagi.”
Ariana mengerutkan kening. “Siapa?”
Dara terkekeh. “Aditya, pengusaha muda yang sedang naik daun itu. Kau ingat kan? Yang beberapa hari lalu jadi pembicara tentang desain digital di seminar? Aku rasa dia tertarik padamu.”
Ariana menatap Dara dengan penuh rasa ingin tahu, namun pada saat yang sama, ia merasa agak ragu. Memang, di acara seminar beberapa hari lalu, Ariana sempat bertemu dengan seorang pria bernama Aditya. Ia tidak begitu mendalami tentang siapa dia, hanya tahu bahwa Aditya adalah salah satu pembicara di acara tersebut. Seperti kebanyakan pembicara lain, Aditya berbicara dengan penuh percaya diri tentang topik yang sangat ia kuasai, desain dan teknologi digital, namun ada sesuatu yang menarik dari cara dia berbicara. Ketulusan dalam menyampaikan materi dan ketajaman ide-idenya membuat Ariana terkesan.
Aditya, pria berusia sekitar dua puluh delapan tahun, tampaknya telah sukses menapaki kariernya. Memiliki bisnis start-up yang berkembang pesat di bidang teknologi, Aditya dikenal sebagai sosok yang cerdas dan ambisius. Namun di luar itu, ada aura yang memikat. Senyum tipis yang tidak pernah lepas dari wajahnya, mata yang penuh semangat, dan suara yang tenang namun meyakinkan, membuat Ariana merasa bahwa ada sesuatu lebih dalam dari yang terlihat. Hanya saja, dengan banyaknya peserta seminar dan keterbatasan waktu, mereka tidak sempat lebih jauh berkenalan.
Dara menariknya keluar dari lamunan. “Ayo, kau harus berbicara dengannya. Siapa tahu dia tertarik bekerja sama dengan kita dalam proyek besar ini.”
Ariana menghela napas dan tersenyum, sedikit enggan. “Kita lihat saja,” jawabnya. Meskipun profesionalisme adalah prioritas Ariana, ia juga tidak bisa menghindari rasa penasaran yang menggelitik. Setelah sekian lama fokus pada pekerjaan dan karier, rasanya sesuatu yang baru bisa memberikan sedikit warna dalam hidupnya.
Tak lama kemudian, mereka berdua berjalan menuju area lounge, tempat para peserta konferensi bersantai. Dari kejauhan, Ariana melihat Aditya sedang berdiri bersama beberapa kolega, tertawa ringan sambil memegang secangkir kopi. Ada kehangatan dalam cara dia berbicara, seolah tidak ada jarak antara dirinya dan orang lain, meskipun dia jelas-jelas seorang pengusaha sukses yang telah mencapai banyak hal.
“Ini kesempatanmu,” Dara berbisik dengan semangat. Ariana mengangguk, sedikit ragu, namun langkahnya terarah menuju kelompok tersebut. Ia berusaha menenangkan diri, mengatur napas, dan mempersiapkan kata-kata terbaik.
Saat tiba di dekat mereka, Aditya tersenyum ramah dan langsung mengenali Dara. “Dara, kau datang juga?” katanya dengan nada hangat, lalu matanya beralih ke Ariana. “Ah, ini Ariana, bukan?”
Ariana mengangguk sedikit kikuk, namun kemudian berusaha tersenyum. “Iya, saya Ariana.”
Aditya tersenyum lebih lebar, seolah tidak ada yang lebih menyenangkan daripada bertemu dengan orang baru. “Senang bertemu denganmu, Ariana. Kau di sesi seminar kemarin, bukan? Pembicaraan tentang desain digital, bukan?” tanyanya.
Ariana merasa sedikit canggung, namun ia berhasil mengangguk. “Betul, saya sangat terkesan dengan pembicaraanmu. Topiknya menarik dan sangat relevan dengan pekerjaan saya.”
Aditya tertawa kecil. “Terima kasih, itu sangat berarti. Desain digital memang salah satu bidang yang sedang berkembang pesat, dan saya senang bisa berbagi sedikit wawasan.”
Percakapan pun mengalir lancar. Mereka berbicara tentang berbagai hal—dari perkembangan dunia desain, tren teknologi, hingga kehidupan pribadi. Ariana merasa semakin nyaman, meskipun tetap ada rasa gugup yang mengiringi. Aditya ternyata tidak hanya berbicara tentang teknologi, tetapi juga memiliki pandangan yang luas tentang dunia. Ia menyukai seni, budaya, dan bahkan bercita-cita untuk suatu saat dapat memadukan desain dan teknologi untuk menciptakan karya yang dapat mempengaruhi masyarakat.
Selama percakapan itu, Ariana mulai merasa ada koneksi yang kuat. Ia tidak bisa menafikan bahwa ada sesuatu dalam diri Aditya yang menarik perhatiannya. Kepercayaan dirinya, kehangatan dalam berbicara, dan cara ia melihat dunia membuat Ariana merasa nyaman. Namun, di balik rasa tertarik itu, ada keraguan yang muncul. Akankah hubungan mereka berjalan lancar? Apakah jarak antara Jakarta dan Padang—tempat asal Aditya—akan menjadi penghalang yang terlalu besar?
“Saya senang bisa berbicara denganmu, Ariana. Bagaimana kalau kita lanjutkan percakapan ini sambil makan malam?” Aditya menawarkan, dan meskipun ada keraguan dalam hati, Ariana tidak bisa menolak.
Malam itu, mereka duduk berdua di restoran hotel, berbicara tentang kehidupan, ambisi, dan impian masing-masing. Meskipun jarak yang memisahkan mereka tampaknya jauh, ada rasa saling tertarik yang mulai tumbuh, sebuah koneksi yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Namun, Ariana tahu, perjalanan mereka baru saja dimulai. Semua terasa seperti sebuah perjalanan yang penuh misteri. Dapatkah mereka saling mengenal lebih dalam dan membangun sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan biasa? Waktu yang akan menjawab, namun di malam itu, di Jakarta yang sibuk, Ariana merasakan sebuah langkah awal yang penuh tanda tanya.*
BAB 2: JARAK YANG MEMBATASI
Setelah beberapa minggu berlalu sejak pertemuan mereka di konferensi desain di Jakarta, Ariana mulai merasa ada perasaan yang tumbuh, meskipun perlahan. Aditya, dengan segala pesona dan ambisi yang dimilikinya, tetap menghantui pikirannya. Mereka terhubung melalui pesan singkat dan video call, tetapi meskipun demikian, Ariana tahu betul bahwa sesuatu yang lebih dari sekadar obrolan ringan sedang berkembang di antara mereka. Namun, satu hal yang menjadi pertanyaan besar baginya adalah jarak yang memisahkan mereka.
Aditya tinggal di Padang, sebuah kota yang jauh di pulau Sumatra, sementara Ariana terjebak dalam rutinitas pekerjaannya yang sibuk di Jakarta. Jarak geografis yang jauh menjadi masalah yang cukup besar, lebih besar daripada yang mereka kira di awal. Setiap kali Ariana merasa semakin dekat dengan Aditya melalui pesan atau percakapan, kenyataan akan jarak yang memisahkan mereka datang kembali menghantui pikirannya.
Di sisi lain, Aditya tampaknya tidak begitu mengkhawatirkan jarak tersebut. Pria itu terus mengirimkan pesan-pesan manis, merencanakan kunjungan, dan bahkan sempat mengajak Ariana untuk datang ke Padang dalam waktu dekat. Namun, Ariana yang terbiasa hidup dengan rutinitas yang padat merasa sulit untuk melepaskan diri dan membuat keputusan besar tersebut. Dia bertanya-tanya, apakah hubungan ini benar-benar bisa bertahan, atau apakah itu hanya sekadar ilusi yang diciptakan oleh rasa kesepian dan keinginan akan sesuatu yang baru dalam hidupnya.
Pada suatu sore yang hujan deras, ketika Ariana tengah duduk di meja kerjanya, ponselnya bergetar, mengingatkannya pada pesan yang baru saja masuk. Itu adalah pesan dari Aditya.
Aditya: “Aku tahu kita terpisah oleh jarak yang cukup jauh, tapi apakah kamu merasa hal yang sama tentang kita? Aku merasa koneksi ini penting, Ariana.”
Ariana menatap pesan itu dalam diam. Setiap kata terasa begitu dalam dan penuh makna, namun ia tahu bahwa di balik kata-kata manis tersebut ada kenyataan yang sulit dihadapi. Bagaimana mereka bisa melanjutkan hubungan ini, sementara setiap kali mereka berbicara, ada perasaan bahwa jarak itu bukan hanya soal fisik, tetapi juga perasaan yang belum sepenuhnya matang?
Ariana mengetik balasan, namun tangannya terhenti. Ia ingin memberikan jawaban yang jujur, tetapi di satu sisi, ia merasa terjebak dalam kebingungannya. Akhirnya, setelah beberapa menit ragu, ia memutuskan untuk memberi tahu Aditya tentang keraguannya.
Ariana: “Aku juga merasa ada sesuatu yang baik antara kita, Aditya. Tapi aku khawatir tentang jarak ini. Aku takut kita akan kesulitan mempertahankan hubungan jika kita terus terpisah seperti ini. Aku tidak tahu apakah ini hanya perasaan sementara atau sesuatu yang lebih.”
Tak lama setelahnya, pesan balasan Aditya masuk. Ariana menunggu dengan cemas, berusaha mengontrol perasaan yang mulai menguasainya. Aditya tidak membalas dengan kata-kata yang ia harapkan, tetapi dengan kalimat yang jauh lebih pendek, namun menyentuh hatinya.
Aditya: “Jarak bukan halangan, Ariana. Aku percaya jika kita berdua ingin, kita bisa membuatnya berhasil.”
Meskipun ada keteguhan dalam kata-kata Aditya, Ariana tetap merasa gelisah. Dia tidak tahu bagaimana cara merespons keraguannya ini. Bagaimana bisa sebuah hubungan bertahan jika mereka tidak berada di tempat yang sama? Bagaimana jika jarak itu akhirnya memisahkan mereka secara perlahan, tanpa mereka sadari?
Beberapa hari setelah percakapan tersebut, Ariana memutuskan untuk pergi ke Padang untuk beberapa hari, meskipun dalam pikirannya, perjalanan ini terasa penuh dengan ketidakpastian. Dia merasa ini adalah langkah yang tepat untuk melihat lebih dekat apakah hubungan ini memiliki masa depan atau hanya sebuah kenangan indah yang hanya bisa dikenang.
Saat tiba di Padang, Aditya menyambutnya dengan senyum lebar di bandara. Kesan pertama yang dirasakan Ariana adalah bagaimana kehadiran Aditya benar-benar menghilangkan rasa cemasnya, setidaknya untuk saat itu. Mereka berjalan bersama melewati bandara, menuju mobil yang telah menunggu. Perjalanan menuju kota itu terasa seperti sebuah petualangan baru, meskipun perasaan khawatir tetap ada di benaknya.
“Terima kasih sudah datang, Ariana,” kata Aditya sambil menyetir. “Aku tahu ini bukan perjalanan yang mudah, tapi aku yakin kita bisa membuat ini berhasil.”
Ariana hanya tersenyum tipis, meskipun hatinya tidak sepenuhnya percaya pada kata-kata tersebut. Setiap tempat yang mereka lewati, setiap bangunan yang mereka lewati, membuat Ariana semakin sadar bahwa Padang bukan hanya tempat yang jauh secara fisik, tetapi juga kota yang sangat berbeda dari kehidupan modern yang ia jalani di Jakarta.
Malam itu, mereka makan malam di sebuah restoran dengan pemandangan laut yang indah. Meskipun suasana romantis itu ada, Ariana merasa perasaan dalam dirinya belum sepenuhnya bisa diselesaikan. Setiap kali ia melihat Aditya, ada ketertarikan yang jelas, namun ada juga keraguan yang tak bisa diabaikan.
“Apakah kamu merasa nyaman di sini?” tanya Aditya tiba-tiba, mengangkat gelas anggurnya.
Ariana mengangguk. “Ya, aku senang bisa berada di sini, meskipun ini agak jauh dari rumahku. Tapi aku merasa ada banyak hal yang harus dipikirkan.”
Aditya menatapnya dengan tatapan serius, seolah ingin mengetahui apa yang ada dalam benaknya. “Kamu bisa bertanya apapun, Ariana. Aku tidak ingin ada yang belum kita bicarakan.”
Ariana menatap mata Aditya yang penuh harapan, namun ia merasa kebingungan yang semakin mendalam. Meskipun Aditya berusaha meyakinkannya, ia tahu bahwa perjalanan ini akan menguji kekuatan hubungan mereka. Jarak tidak hanya soal tempat, tetapi juga tentang bagaimana dua orang yang berbeda dunia ini mencoba untuk saling memahami dan menerima.
Di malam yang sepi itu, dengan langit Padang yang dipenuhi bintang, Ariana merasa hatinya terombang-ambing. Ia ingin sekali percaya pada kata-kata Aditya, tetapi hatinya tidak bisa sepenuhnya melepaskan ketakutan tentang masa depan. Namun satu hal yang ia sadari adalah, meskipun jarak itu terasa memisahkan, perasaan mereka belum sepenuhnya hilang. Mungkin, inilah awal dari perjalanan panjang yang penuh dengan misteri, harapan, dan keputusan yang harus diambil.*
BAB 3: KEPENTINGAN PRIBADI DAN PERBEDAAN
Setelah beberapa minggu berjuang dengan perasaan dan ketidakpastian, Ariana dan Aditya kembali berada di persimpangan jalan. Pertemuan mereka di Padang memberikan sedikit kejelasan, tetapi semakin lama mereka bersama, semakin banyak perbedaan yang muncul di permukaan. Tidak hanya mengenai jarak yang masih memisahkan mereka, tetapi juga tentang bagaimana cara mereka memandang kehidupan, karier, dan yang terpenting, tujuan mereka masing-masing.
Ariana selalu memandang hidupnya dengan sangat realistis. Dia adalah seorang wanita yang sangat ambisius, berfokus pada karier, dan tahu persis apa yang dia inginkan dalam hidup. Jakarta, dengan segala keramaian dan kesibukannya, adalah tempat yang membuatnya merasa hidup, berkembang, dan mencapai semua impiannya. Tidak ada tempat di sana untuk keraguan atau kebimbangan. Semua keputusan yang dia ambil selama ini berlandaskan pada logika, dan ia selalu membuat pertimbangan matang sebelum mengambil langkah lebih jauh. Tidak ada ruang untuk hidup yang penuh ketidakpastian, terutama jika itu menyangkut hati.
Di sisi lain, Aditya memiliki pendekatan yang sangat berbeda terhadap hidup. Lahir dan dibesarkan di Padang, sebuah kota yang lebih tenang dan jauh dari hiruk-pikuk Jakarta, Aditya melihat dunia dengan cara yang lebih santai dan penuh keyakinan. Sebagai seorang desainer grafis yang juga memiliki bisnis kecil-kecilan, Aditya lebih cenderung mengikuti alur hidup dengan hati dan perasaan, bukan hanya sekedar rasionalitas. Ia percaya bahwa segala sesuatu yang baik dalam hidup akan datang dengan sendirinya jika seseorang cukup sabar dan membuka hati. Ini adalah filosofi yang telah ia peluk sejak lama, dan itulah sebabnya ia merasa hubungan mereka bisa berhasil, meski terpisah oleh jarak.
Namun, semakin lama Ariana mengenal Aditya, semakin dia menyadari bahwa perbedaan ini bukanlah sesuatu yang bisa dia abaikan. Saat mereka berbicara tentang masa depan, Aditya sering kali berbicara tentang impian-impian yang berkaitan dengan kehidupan yang lebih sederhana—rumah dengan taman luas, pekerjaan yang lebih santai, dan waktu yang lebih banyak untuk keluarga dan orang-orang terdekat. Sebaliknya, Ariana merasa bahwa impian-impian tersebut terlalu jauh dari kenyataan yang ia inginkan. Ia tidak melihat dirinya bisa tinggal di tempat yang jauh dari Jakarta, jauh dari pusat kehidupan yang dinamis. Ia ingin berkarier lebih tinggi, mengejar kesempatan lebih luas, dan membangun dirinya di tengah keramaian kota.
Ariana tidak bisa menutupi kegelisahannya saat mendiskusikan hal ini. “Aditya, aku rasa kita punya pandangan yang sangat berbeda tentang masa depan. Aku ingin terus berkembang di Jakarta, mengejar setiap kesempatan yang datang. Tapi kamu… kamu tampaknya lebih suka tinggal di sini, menjalani hidup yang lebih tenang. Apa kita benar-benar bisa berjalan seiring dengan perbedaan seperti ini?”
Aditya menatapnya dengan penuh perhatian, mencoba untuk memahami kekhawatiran Ariana. “Ariana, aku paham kenapa kamu merasa begitu. Tapi hidup bukan hanya tentang kerja keras dan pencapaian yang tinggi. Kadang, yang lebih penting adalah keseimbangan. Hidup yang sederhana, di tempat yang tenang, bisa memberikan lebih banyak kebahagiaan daripada kejaran tanpa henti yang kamu jalani di Jakarta.”
Kata-kata itu menyentuh hati Ariana, tetapi juga membuatnya semakin bingung. Bagaimana mungkin ia bisa mengorbankan mimpinya untuk hidup yang lebih sederhana? Jakarta adalah tempat yang ia kenal, tempat di mana segala peluang terbuka lebar. Tetapi, di sisi lain, Aditya selalu mengingatkannya bahwa ada cara lain untuk mencari kebahagiaan, cara yang lebih dekat dengan hati.
Hari-hari berikutnya, Ariana mulai merasakan ketegangan yang semakin meningkat antara mereka. Meskipun mereka berdua berusaha untuk menjaga hubungan ini, rasa tidak nyaman itu tidak bisa dihindari. Setiap kali mereka berbicara tentang masa depan, mereka selalu berada di jalur yang berbeda. Ariana mulai merasa bahwa hubungan ini semakin lama semakin tidak seimbang. Di satu sisi, ia merasa dihadapkan pada pilihan yang sangat besar: apakah ia harus memilih untuk mengikuti impian pribadinya yang ada di Jakarta, ataukah ia harus menerima kehidupan yang lebih sederhana yang ditawarkan oleh Aditya?
Pada suatu malam, setelah makan malam yang cukup tenang, Ariana memutuskan untuk mengutarakan perasaan terbesarnya. “Aditya, aku merasa kita sudah sampai pada titik di mana perbedaan kita terlalu besar untuk diabaikan. Aku sudah mencoba untuk berpikir tentang kita, tentang masa depan bersama, tapi aku rasa kita punya prioritas yang sangat berbeda. Aku ingin sukses di Jakarta, sementara kamu ingin hidup dengan lebih sederhana di sini. Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
Aditya terdiam sejenak, mencerna setiap kata yang baru saja Ariana ucapkan. “Aku tahu ini sulit, Ariana. Tapi aku juga tidak ingin kehilanganmu hanya karena kita berasal dari dua dunia yang berbeda. Kita berdua punya impian yang besar, tetapi aku percaya kita bisa menemukan titik tengah. Tidak ada salahnya jika kita saling menyesuaikan sedikit. Bukankah hubungan yang baik itu tentang kompromi?”
Ariana menghela napas panjang, merasa hatinya terombang-ambing. Di satu sisi, ia ingin percaya pada Aditya. Namun, di sisi lain, hatinya terus berkata bahwa dia tidak bisa mengorbankan apa yang telah ia bangun selama ini. Dia bekerja keras untuk mendapatkan tempat di Jakarta, membangun karier yang ia dambakan, dan mengejar impian yang sudah lama ia miliki. Apakah semuanya itu harus dilepaskan demi sebuah janji yang belum terbukti?
Kedua hati yang terikat oleh perasaan ini kini berada di persimpangan yang sulit. Tidak ada jawaban yang mudah, tidak ada jalan pintas untuk mengatasi perbedaan yang semakin besar. Ariana tahu, semakin lama ia berpikir, semakin jelas bahwa hubungan ini tidak hanya tentang cinta, tetapi juga tentang siapa mereka sebenarnya dan bagaimana mereka melihat dunia. Jarak tidak hanya terletak di antara dua pulau, tetapi juga dalam cara mereka memandang kehidupan.
Bagaimana mereka akan menyelesaikan perbedaan ini? Akankah Ariana memutuskan untuk mengikuti Aditya dan memilih kehidupan yang lebih sederhana, ataukah ia akan bertahan dengan dunia yang telah ia bangun di Jakarta? Semua itu akan tergantung pada bagaimana mereka bisa menemukan titik keseimbangan antara cinta dan kepentingan pribadi masing-masing.*
BAB 4: CINTA YANG DITES
Hari demi hari berlalu, dan hubungan antara Ariana dan Aditya mulai memasuki fase yang lebih penuh tantangan. Perbedaan pandangan mengenai masa depan kini tak hanya menjadi isu yang dibicarakan dalam percakapan ringan, tetapi mulai menguji ketahanan cinta mereka. Setiap pertemuan mereka dipenuhi dengan ketegangan yang tak terlihat, dan meski masih ada cinta di antara mereka, ada rasa khawatir yang terus merayapi hati Ariana. Apakah cinta mereka cukup kuat untuk mengatasi segala perbedaan yang ada?
Di Jakarta, Ariana semakin sibuk dengan pekerjaannya. Proyek-proyek besar yang ia kerjakan mulai membawa banyak tekanan, dan tuntutan dari atasan serta klien semakin menambah beban pikirannya. Namun, ia merasa bahwa kesibukannya di kota besar adalah satu-satunya cara untuk tetap berada di jalur yang ia impikan. Dunia yang penuh dengan kompetisi dan peluang besar ini sudah begitu melekat dalam dirinya. Keinginan untuk maju, mencapai puncak kesuksesan, dan membangun masa depan yang mapan adalah dorongan utamanya.
Di sisi lain, Aditya terus menunggu di Padang. Walaupun ia merindukan Ariana, hidup di kota yang lebih tenang memberinya waktu untuk merenung dan berfokus pada bisnis kecil-kecilan yang ia jalani. Namun, ada satu hal yang tidak pernah bisa ia hilangkan dari pikirannya: Ariana. Ia tahu bahwa perbedaan yang ada di antara mereka semakin besar, dan semakin sering mereka berbicara, semakin jelas bahwa mereka harus menghadapi kenyataan. Kapan cinta mereka akan diuji? Seberapa besar mereka sanggup berkorban demi satu sama lain?
Pada suatu malam, setelah berhari-hari tak ada kabar dari Ariana karena sibuknya pekerjaan, Aditya memutuskan untuk menghubunginya. Ia tahu bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk membicarakan segala sesuatu yang mengganjal dalam hati mereka. Panggilan video diterima dengan segera, dan wajah Ariana yang terlihat lelah muncul di layar. Meski terlihat sedikit terkejut, Ariana tetap tersenyum dan menyapanya.
“Aditya, lama tidak ada kabar darimu,” kata Ariana dengan suara yang sedikit tegang.
Aditya mengamati wajahnya, tampak jelas bahwa Ariana sedang kelelahan. Tentu saja, Jakarta dengan segala kesibukannya membuatnya tidak punya banyak waktu untuk diri sendiri. “Aku tahu kamu sibuk, tapi aku ingin berbicara denganmu, Ari. Tentang kita,” ujar Aditya dengan nada yang lebih serius.
Ariana menatapnya dengan penuh perhatian. Tentu saja, dia tahu bahwa pembicaraan seperti ini sudah lama tertunda. Namun, ia merasa tidak siap untuk menghadapi kenyataan jika perbedaan di antara mereka semakin jelas. “Tentang kita?” Ariana bertanya, mencoba untuk tetap tenang. “Apa maksudmu, Aditya?”
Aditya menarik napas dalam-dalam. Ia tahu ini adalah momen penting yang bisa menentukan arah hubungan mereka ke depan. “Ari, kita sudah lama bersama, tapi aku merasa semakin banyak hal yang menghalangi kita untuk terus melangkah. Jarak, pekerjaan, pandangan hidup yang berbeda… Apa kita benar-benar siap untuk itu semua?”
Ariana menatapnya dalam-dalam. Hatinya serasa terhimpit mendengar kata-kata itu, namun ia tahu bahwa Aditya benar. Selama ini, ia berusaha menepis perasaan ini, berharap cinta mereka bisa mengatasi semuanya. Tetapi, semakin lama mereka bersama, semakin ia sadar bahwa cinta saja tidak cukup untuk bertahan. “Aku tahu, Aditya. Aku juga merasakannya. Hidupku di Jakarta terlalu sibuk untuk memberi ruang bagi perasaan ini. Aku ingin memberi yang terbaik untuk kita, tapi sepertinya aku terlalu terjebak dalam rutinitas.”
Aditya mengangguk, mencoba memahami kebingungannya. “Aku tahu kamu ingin sukses, Ari. Tapi aku juga merasa bahwa kita perlu membuat keputusan. Apa kita akan terus berjuang untuk hubungan ini, ataukah kita akan membiarkan perbedaan ini membentengi kita?”
Pertanyaan itu menghantam hati Ariana dengan keras. Bagaimana mungkin mereka menghadapi kenyataan ini? Cinta yang mereka rasakan sudah sangat dalam, namun jalan yang mereka pilih sangat berbeda. Ariana tahu, tanpa ada upaya nyata dari keduanya, hubungan ini akan semakin terseret arus perbedaan yang tak teratasi.
“Aditya, aku tidak tahu apa yang harus aku pilih. Aku mencintaimu, itu pasti. Tapi aku juga takut kehilangan apa yang telah aku bangun di Jakarta. Aku tidak bisa meninggalkan semuanya begitu saja,” kata Ariana dengan suara pelan, hampir seperti sebuah pengakuan.
Aditya menghela napas panjang. Ia menyadari bahwa pilihan sulit ini bukan hanya milik Ariana, tetapi juga miliknya. Cinta memang sebuah perjalanan, dan terkadang perjalanan itu harus mengharuskan seseorang untuk memilih. Tetapi, apakah ia bisa benar-benar melepaskan Ariana jika hubungan mereka tidak bisa berjalan seperti yang ia harapkan?
“Ari, aku tidak ingin kamu merasa terpaksa. Aku ingin kamu bahagia. Jika kebahagiaanmu ada di Jakarta, aku akan mendukungmu. Tapi, jika kamu merasa bahwa kita bisa memiliki masa depan bersama, mungkin kita bisa mencari jalan tengah,” ujar Aditya, mencoba berbicara dengan penuh pengertian.
Ariana terdiam, mencoba mencerna setiap kata yang baru saja diucapkan Aditya. Cinta yang dia rasakan begitu kuat, tetapi realitas hidup sering kali membawa seseorang pada pilihan yang sulit. Apakah ia harus melepaskan impian-impian besarnya di Jakarta untuk mempertahankan hubungan ini, ataukah ia akan terus berjuang untuk masa depan yang telah ia tetapkan?
Tiba-tiba, Ariana merasa seolah-olah dunia sekitarnya berhenti berputar. Ia tahu bahwa perasaan ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan kata-kata, tetapi harus dengan tindakan nyata. Jika mereka ingin hubungan ini bertahan, maka keduanya harus siap berkompromi dan menerima kenyataan bahwa tidak ada yang sempurna.
Dengan mata yang sedikit berkaca, Ariana berkata, “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, Aditya. Tetapi aku ingin berusaha, aku ingin kita mencoba lagi.”
Aditya tersenyum, meskipun hatinya juga penuh dengan keraguan. Mereka berdua tahu bahwa ini adalah ujian terbesar dalam hubungan mereka. Cinta mereka kini benar-benar diuji, bukan hanya oleh jarak atau perbedaan, tetapi oleh keberanian mereka untuk berkompromi dan bertahan di tengah segala ketidakpastian.
Malam itu, mereka berdua mengakhiri percakapan dengan perasaan campur aduk. Tidak ada kepastian, hanya janji untuk terus berusaha. Cinta mereka kini berada di persimpangan yang menentukan—apakah mereka akan memilih untuk bertahan dan melangkah bersama, ataukah mereka akan terpisah karena perbedaan yang terlalu besar untuk diatasi? Waktu akan menjawabnya.*
BAB 5: PERSIMPANGAN JALAN
Setelah percakapan berat itu, Ariana dan Aditya merasa terjebak dalam dilema yang sulit dihadapi. Meskipun perasaan cinta di antara mereka tak pernah pudar, kenyataan bahwa hidup mereka bergerak ke arah yang berbeda semakin terasa jelas. Ariana masih terikat pada kehidupannya yang sibuk di Jakarta, dengan karir yang terus menanjak, sementara Aditya semakin tertarik dengan kehidupan yang lebih sederhana dan lebih tenang di Padang. Mereka sudah sampai di persimpangan jalan, tempat di mana pilihan harus dibuat.
Ariana merasa ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya. Ia tahu bahwa karir yang ia jalani di Jakarta adalah hasil dari usaha kerasnya selama bertahun-tahun. Pekerjaannya yang semakin berkembang memberi tantangan dan peluang yang tak terhitung jumlahnya, dan ia merasa bangga bisa mencapainya. Namun, dalam beberapa bulan terakhir, ia semakin merasakan kesepian yang mendalam. Hubungannya dengan Aditya, yang awalnya penuh semangat dan kebahagiaan, kini dipenuhi dengan keraguan. Apakah ia benar-benar bisa mencapainya tanpa merelakan hal lain yang lebih penting dalam hidupnya?
Di sisi lain, Aditya tidak bisa berhenti memikirkan Ariana. Meskipun hidupnya di Padang lebih tenang dan jauh dari hiruk-pikuk kota besar, ia merasa kehilangan sebagian besar dari dirinya tanpa kehadiran Ariana. Setiap kali ia berjalan di sepanjang pantai atau menikmati waktu di kedai kopi kecil di pusat kota, ia merindukan tawa dan kehadiran Ariana yang selalu memancarkan semangat. Namun, semakin ia memikirkan hal itu, semakin ia menyadari bahwa hubungan mereka hanya bisa bertahan jika mereka menemukan jalan tengah. Cinta saja tidak cukup, terutama jika dunia yang mereka hadapi sangat berbeda.
Hari-hari berlalu dengan perasaan yang semakin berat di hati Ariana. Pekerjaan yang semakin menumpuk, pertemuan-pertemuan yang terus bergulir, serta tuntutan-tuntutan dari atasan membuatnya merasa terperangkap dalam rutinitas. Ia merasa seperti robot yang bergerak tanpa henti, tanpa ada waktu untuk merasakan kebahagiaan sederhana. Setiap kali ia mencoba menelepon Aditya, ia merasa seperti berbicara pada seseorang yang semakin jauh darinya. Obrolan mereka selalu berakhir dengan keraguan, tanpa ada solusi yang jelas.
Suatu hari, di tengah kesibukannya, Ariana menerima pesan singkat dari Aditya. “Ari, aku sudah memutuskan untuk datang ke Jakarta. Aku ingin kita bicara langsung, tanpa ada jarak.” Pesan itu begitu sederhana, namun membawa begitu banyak perasaan. Ada kegembiraan, tetapi juga ketegangan yang mengikutinya. Apakah ini berarti hubungan mereka akan segera berakhir, ataukah ini adalah kesempatan terakhir untuk memperbaikinya?
Ariana merasakan kecemasan menyelimuti dirinya. Ia tahu bahwa pertemuan ini akan menjadi titik balik dalam hubungan mereka. Jika mereka bisa menemukan solusi bersama, mungkin mereka masih punya kesempatan untuk bertahan. Tetapi jika mereka gagal, perasaan yang mereka miliki bisa berubah menjadi kenangan pahit.
Beberapa hari kemudian, Aditya tiba di Jakarta. Ariana sudah menunggunya di sebuah kafe yang mereka pilih sebagai tempat bertemu. Tempat itu memiliki kenangan indah bagi mereka, karena pertama kali mereka bertemu di kafe yang sama. Waktu terasa berjalan lambat saat Ariana menunggu kedatangan Aditya. Semua pertanyaan dan kebimbangan berkecamuk dalam pikirannya. Apa yang akan mereka bicarakan? Apa yang harus dia katakan?
Aditya tiba dengan wajah yang lebih serius dari biasanya. Begitu ia melihat Ariana, ia langsung menuju mejanya. Ada perubahan yang terlihat pada dirinya, entah itu dari sikapnya atau cara ia membawa dirinya. Meskipun tetap tersenyum, ada kerut-kerut kekhawatiran di matanya.
“Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk bertemu, Ari,” kata Aditya, mengangkat cangkir kopi yang telah disiapkan oleh pelayan.
Ariana hanya tersenyum tipis, tak tahu harus mulai dari mana. “Aku juga senang kita bisa bertemu lagi. Ini penting untuk kita, kan?” jawabnya.
Aditya mengangguk. “Aku merasa kita sudah terlalu lama berlarut-larut dengan ketidakpastian ini. Aku tidak ingin kita terus seperti ini, bingung dan ragu. Kita perlu membuat pilihan.”
Ariana menatapnya dengan tatapan penuh makna. “Aku tahu, Aditya. Aku merasakannya juga. Tapi semakin kita berbicara, semakin aku sadar bahwa perbedaan kita tidak bisa diabaikan begitu saja. Aku tahu aku mencintaimu, tetapi Jakarta—pekerjaanku, kehidupanku di sini—sudah jadi bagian dari diriku yang sulit untuk dilepaskan.”
Aditya menghela napas panjang, menatap Ariana dengan penuh pengertian. “Aku mengerti. Aku tahu kamu ingin sukses, Ari. Tetapi aku juga merasa bahwa kita perlu memikirkan apa yang lebih penting dalam hidup kita. Aku bisa menerima kenyataan bahwa kita berbeda, tetapi apakah kita siap untuk berjuang bersama? Aku tidak bisa memaksa kamu untuk memilih Padang atau aku, Ari. Aku hanya ingin tahu apakah ada jalan untuk kita berdua.”
Tegangan di udara semakin terasa. Ariana merasa hatinya semakin berat. Ia tahu bahwa setiap keputusan yang ia buat akan mengubah jalan hidup mereka. Ia bisa tetap di Jakarta, mengejar impian karirnya, tetapi di sisi lain, ia takut jika semakin lama menjauh dari Aditya, ia akan kehilangan dirinya yang sebenarnya—kebahagiaan yang didapatkan bersama seseorang yang mencintainya.
“Aditya,” Ariana mulai berbicara dengan suara yang lebih pelan, “aku ingin kita mencoba mencari solusi bersama. Aku tidak bisa berjanji bahwa segalanya akan mudah, tapi aku ingin kita memberi kesempatan untuk bertahan.”
Aditya tersenyum lega. Ia tahu bahwa mereka masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka, tetapi jalan yang mereka hadapi tidak akan pernah mudah. Cinta mereka berada di persimpangan jalan, dan keputusan yang mereka buat akan menentukan apakah mereka akan berjalan bersama atau memilih jalan yang terpisah. Namun satu hal yang jelas: mereka berdua masih ingin berjuang untuk cinta ini.
Mereka menghabiskan waktu beberapa jam di kafe itu, berbicara tentang apa yang mereka inginkan dari kehidupan, dan bagaimana mereka bisa mengatasi perbedaan yang ada. Ketika pertemuan itu berakhir, Ariana merasa sedikit lega. Meskipun tidak ada solusi pasti, mereka telah memulai langkah pertama untuk menemukan jalan tengah. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, mereka berdua merasa bahwa ada harapan.*
BAB 6: PELAJARAN DARI KEHIDUPAN
Hari-hari setelah pertemuan itu terasa berbeda bagi Ariana dan Aditya. Meskipun hubungan mereka masih diwarnai keraguan, ada satu hal yang kini menjadi jelas bagi keduanya: mereka tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian. Mereka harus memilih, bukan hanya antara satu sama lain, tetapi juga antara mimpi dan kenyataan, antara cinta dan ambisi, antara apa yang mereka inginkan dan apa yang sebenarnya mereka butuhkan.
Ariana merasa dunia yang ia kenal kini menjadi lebih kabur. Sejak pertemuan dengan Aditya, ia mulai menyadari betapa kosongnya hidupnya di Jakarta. Pekerjaan, meskipun penting, terasa tidak lagi memberikan kebahagiaan yang selama ini ia harapkan. Semakin ia memanjat tangga kesuksesan, semakin ia merasa terasing dari dirinya sendiri. Dunia yang dipenuhi oleh jadwal ketat, rapat-rapat panjang, dan deadline yang tak pernah berakhir ini seakan-akan menggerogoti kedamaian hatinya. Di dalamnya, ia merasa ada ruang kosong yang tak bisa diisi oleh apapun—selain Aditya, yang kini jauh darinya.
Di sisi lain, Aditya pun mulai memikirkan kembali pilihan hidupnya. Ia tahu betul bahwa ia tidak bisa memaksakan orang lain untuk mengikuti jalannya. Kehidupannya di Padang memang penuh ketenangan, tetapi juga penuh keterbatasan. Tanpa Ariana, ia merasa ada bagian dari dirinya yang hilang, tetapi ia juga tahu bahwa ia harus memberi ruang bagi Ariana untuk menemukan kebahagiaannya sendiri. Hidup di kota besar, mengejar impian dan cita-cita, adalah perjalanan yang sulit dan penuh pengorbanan. Namun, ia merasa bahwa jika cinta mereka memang sejati, tidak ada jarak yang cukup jauh untuk memisahkan mereka.
Keduanya kini berada pada titik di mana mereka mulai merenung lebih dalam. Ariana yang dulu hanya fokus pada karir dan pencapaian pribadi mulai mempertanyakan tujuan hidupnya yang sebenarnya. Apakah segala yang ia capai selama ini benar-benar membawa kebahagiaan? Apa artinya semua keberhasilan itu jika ia merasa terasing dan kesepian? Ia merasa bahwa selama ini ia berlari mengejar sesuatu yang tidak pernah benar-benar ia pahami. Dan yang lebih menyedihkan lagi, ia merasa bahwa dalam perjalanan itu, ia telah kehilangan bagian penting dari dirinya: kebahagiaan dalam menjalani hidup.
Ariana sering teringat akan nasihat ibunya. Ibunya pernah berkata bahwa hidup ini bukan hanya tentang apa yang kita capai, tetapi juga tentang bagaimana kita merasakan setiap langkah yang kita ambil. “Cinta itu bukan sekadar kata-kata, sayang, tapi bagaimana kita saling mendukung dan memberi makna pada hidup satu sama lain,” kata ibunya dengan lembut. Sekarang, kata-kata itu terasa begitu dalam dan relevan. Ariana merasa seperti ada jendela yang terbuka dalam pikirannya. Mungkin, kebahagiaan tidak datang dari kesuksesan semata, tetapi dari hubungan yang kita jalin dengan orang-orang yang kita cintai.
Di sisi lain, Aditya juga mulai melihat kehidupan dengan cara yang berbeda. Dulu, ia sering kali berpikir bahwa kebahagiaan hanya bisa ditemukan dalam kesederhanaan. Namun, ia kini menyadari bahwa hidup tidak selalu semudah itu. Ada hal-hal yang lebih besar yang perlu dipertimbangkan, seperti perjuangan dan komitmen. Ia tidak bisa hanya memikirkan dirinya sendiri. Jika ia ingin hidup bahagia, ia harus bersedia untuk memberi ruang bagi orang lain untuk tumbuh dan berkembang, meskipun itu berarti melepaskan sebagian dari dirinya.
Pada suatu sore yang cerah, Ariana memutuskan untuk mengunjungi Aditya di Padang. Ia merasa bahwa inilah saat yang tepat untuk benar-benar mengerti apakah mereka bisa menjalani kehidupan bersama atau jika perbedaan yang ada lebih besar daripada yang mereka kira. Ia memutuskan untuk menghabiskan beberapa hari di kota kecil itu, untuk merasakan hidup dengan cara yang berbeda—tanpa tekanan pekerjaan, tanpa hiruk-pikuk kota besar, dan tanpa ketakutan akan kegagalan. Ini adalah kesempatan baginya untuk belajar kembali, untuk merasakan hidup tanpa batasan yang ia buat sendiri.
Setibanya di Padang, suasana yang tenang dan damai langsung menyambutnya. Padang, dengan segala keindahan alamnya, menawarkan kedamaian yang sangat berbeda dengan kehidupan kota Jakarta. Laut yang membiru, pantai yang sepi, dan udara segar seakan memberi ruang bagi Ariana untuk bernapas lega. Aditya menyambutnya dengan hangat, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Ariana merasa seperti pulang ke rumah. Di sinilah, di antara kebisuan alam dan kehangatan hati, ia mulai merasakan sesuatu yang hilang dalam hidupnya.
Mereka berjalan-jalan di sepanjang pantai, berbicara tentang segala hal yang selama ini belum sempat mereka ungkapkan. Ariana mulai membuka diri tentang perasaannya yang terpendam, tentang rasa takut yang ia rasakan terhadap masa depannya. Ia menceritakan bagaimana ia selalu merasa terjebak dalam ekspektasi orang lain, dan bagaimana ia sering kali merasa tidak puas meskipun sudah meraih banyak hal. “Aku merasa seperti burung yang terkurung dalam sangkar, Aditya,” katanya dengan suara pelan. “Aku selalu berpikir bahwa kebahagiaan datang dari kesuksesan, tapi sekarang aku mulai merasa bahwa aku kehilangan diri sendiri di dalamnya.”
Aditya mendengarkan dengan seksama, merasa empati yang dalam. Ia menyadari bahwa mereka berdua telah melalui banyak hal dalam hidup ini, dan kini mereka harus memilih untuk melepaskan beban yang selama ini mereka bawa. “Kehidupan ini memang penuh dengan ujian, Ari,” kata Aditya. “Terkadang kita harus belajar melepaskan apa yang kita anggap penting untuk menemukan kebahagiaan sejati.”
Pada malam itu, setelah berjalan sepanjang pantai, mereka duduk di tepi laut. Ariana memandang bintang-bintang yang berkelip di langit, merasa seolah-olah ada sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Untuk pertama kalinya, ia merasa damai dengan dirinya sendiri. Ia tahu bahwa hidup bukan tentang memilih antara satu jalan atau lainnya, melainkan tentang bagaimana kita menghadapi setiap pilihan dengan hati yang terbuka. Dalam keheningan itu, ia akhirnya mengerti bahwa kebahagiaan datang bukan hanya dari pencapaian atau hubungan, tetapi juga dari pemahaman tentang diri sendiri dan apa yang benar-benar penting dalam hidup.
Di Padang, di bawah langit yang berbintang, Ariana dan Aditya mulai melihat bahwa cinta sejati tidak datang dengan cara yang mudah. Itu datang dengan pengertian, kesabaran, dan keberanian untuk memilih bersama meskipun ada banyak hal yang harus dikorbankan. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi satu hal yang pasti: mereka telah belajar banyak dari perjalanan ini, dan pelajaran itu akan menjadi panduan hidup mereka ke depan.
Kehidupan ini, seperti ombak yang tak pernah berhenti, terus membawa mereka ke tempat yang lebih baik—tempat di mana cinta, pengorbanan, dan pemahaman menjadi satu kesatuan yang indah.*
BAB 7: CINTA YANG KEMBALI
Setelah pertemuan mereka di Padang, segalanya terasa berbeda bagi Ariana dan Aditya. Ada sesuatu yang mengalir di antara mereka, sebuah pemahaman yang tumbuh perlahan, lebih kuat daripada kata-kata yang bisa mereka ucapkan. Cinta mereka yang dulu tampak rapuh kini berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam dan lebih matang, seperti tanaman yang tumbuh setelah musim dingin yang panjang. Mereka tahu bahwa perjalanan hidup mereka masih panjang, namun mereka juga tahu bahwa apapun yang akan terjadi, mereka kini memiliki pemahaman yang lebih baik tentang apa yang benar-benar penting dalam hidup ini.
Ariana kembali ke Jakarta dengan perasaan yang berbeda. Meski jauh dari Aditya, ia merasa lebih kuat, lebih yakin akan arah hidupnya. Ia mulai melihat dunia yang penuh dengan kemungkinan, bukan hanya pekerjaan dan kesuksesan. Di Jakarta, ia mulai lebih memperhatikan diri sendiri, mengeksplorasi minat dan hobi yang sempat ia tinggalkan. Cinta terhadap dirinya sendiri menjadi hal yang tak kalah penting untuk dikuatkan.
Namun, meskipun ia merasa lebih tenang dalam hatinya, ada kerinduan yang terus mengganggu. Setiap kali ia melihat laut atau mendengar ombak di media, hatinya akan teringat pada Padang. Ada bagian dari dirinya yang merasa seperti separuh dari dirinya tertinggal di sana, di kota yang sederhana dan damai itu. Ariana pun mulai bertanya-tanya, apakah hubungan mereka memang bisa bertahan dengan jarak yang memisahkan mereka? Apakah cinta yang mereka miliki akan tetap kuat ketika kenyataan kembali menyapa mereka?
Di sisi lain, Aditya juga merasakan hal yang sama. Kehidupan di Padang yang tenang tidak bisa menghapuskan perasaan rindu terhadap Ariana. Setiap kali ia mendengar kabar tentang Jakarta, setiap kali ia melihat pemandangan laut yang indah, hatinya teringat pada Ariana. Ia tahu, meski ia menikmati hidup yang sederhana di sana, namun cinta yang ia miliki untuk Ariana adalah sesuatu yang lebih kuat daripada sekedar kenyamanan tempat tinggal.
Aditya tidak bisa menahan diri lebih lama. Setelah berbulan-bulan berpisah, ia memutuskan untuk kembali mengunjungi Ariana di Jakarta. Ia ingin melihat dengan mata kepala sendiri apakah cinta mereka bisa kembali tumbuh, apakah mereka bisa memulai babak baru bersama, meskipun dengan segala perbedaan yang mereka hadapi.
Pagi itu, ketika Ariana sedang sibuk mempersiapkan presentasi di kantornya, ponselnya bergetar. Nama Aditya muncul di layar. Hatinya berdebar-debar. Selama beberapa bulan ini, mereka hanya berkomunikasi melalui pesan singkat atau panggilan telepon singkat. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda dalam suara Aditya saat ia menyapanya.
“Ari, aku di Jakarta,” kata Aditya dengan suara yang penuh harapan.
“Apa?” Ariana terkejut. “Serius? Kamu di sini?”
“Iya, aku baru saja mendarat. Aku ingin bertemu, kalau kamu punya waktu,” jawab Aditya.
Ariana merasa cemas sekaligus bahagia. Ia tahu bahwa pertemuan ini bisa jadi sangat penting, mungkin menjadi titik balik dalam perjalanan hubungan mereka. Tapi ia juga merasa khawatir. Apakah semuanya akan berjalan lancar? Apakah mereka bisa melupakan jarak dan waktu yang telah berlalu?
Setelah beberapa jam, mereka bertemu di sebuah kafe di pusat kota. Ketika Ariana memasuki kafe, matanya langsung mencari sosok Aditya. Ia melihatnya di sudut ruangan, tersenyum dengan tatapan yang sama seperti dulu, penuh dengan kehangatan dan ketulusan. Ada perasaan nyaman yang langsung hadir begitu mata mereka bertemu. Ariana merasa seperti kembali ke rumah, tempat yang selama ini ia cari, meskipun tak pernah ia sadari.
Aditya berdiri dan menyambutnya dengan pelukan hangat. “Aku rindu, Ari,” katanya dengan suara yang lembut.
Ariana menatapnya dalam-dalam. “Aku juga rindu,” jawabnya. “Tapi, ini… ini semua terasa begitu cepat. Aku takut jika kita terlalu cepat melompat ke sesuatu yang belum tentu bisa kita jaga.”
Aditya tersenyum dan duduk kembali. “Aku tahu, Ari. Aku tidak ingin membuatmu merasa terburu-buru. Tapi aku datang ke sini untuk satu hal—untuk memberitahumu bahwa aku siap. Aku siap untuk menjalani hidup ini bersamamu. Aku siap untuk mencintaimu lebih dari sebelumnya.”
Ariana menatapnya dengan serius. Ia merasa perasaan itu kembali muncul, sesuatu yang hangat dan mengalir di dalam dirinya. Namun, ia juga merasa kebingungan. “Tapi, bagaimana dengan segala perbedaan kita? Bagaimana dengan mimpi kita yang berbeda? Aku merasa seolah-olah kita selalu berjuang melawan jarak, melawan waktu, melawan kenyataan.”
Aditya menggenggam tangan Ariana, memandangnya dengan penuh keyakinan. “Ari, kita mungkin tidak punya semua jawaban sekarang. Tetapi yang aku tahu adalah aku tidak bisa hidup tanpa kamu. Aku telah belajar bahwa hidup ini bukan hanya tentang mencapai tujuan atau mencari kebahagiaan di tempat yang tepat. Hidup ini tentang bagaimana kita belajar menerima kekurangan dan perbedaan, bagaimana kita berusaha untuk menjadi lebih baik bersama. Aku siap menjalani perjalanan ini, meskipun itu tidak akan mudah.”
Ariana merasa ada kekuatan baru yang tumbuh dalam dirinya. Selama ini ia terlalu banyak berpikir tentang bagaimana segala sesuatunya harus berjalan. Ia terlalu banyak merencanakan masa depan, seolah-olah semuanya harus sempurna. Namun, kini ia sadar bahwa cinta tidak membutuhkan kesempurnaan. Cinta membutuhkan usaha, pengertian, dan komitmen untuk menghadapi setiap tantangan bersama-sama.
“Aditya,” kata Ariana setelah beberapa saat terdiam, “aku siap untuk mencoba lagi. Aku tahu kita punya banyak hal yang perlu kita selesaikan, dan aku tidak bisa menjanjikan semuanya akan sempurna. Tapi aku ingin kita mencoba, untuk melihat apakah cinta kita cukup kuat untuk melewati semua ini.”
Aditya tersenyum, merasakan beban yang terangkat dari hatinya. “Aku percaya kita bisa, Ari. Bersama-sama, kita bisa.”
Hari itu, di kafe yang ramai, Ariana dan Aditya memulai perjalanan baru mereka. Cinta mereka yang sempat pudar kini kembali terjalin. Mereka menyadari bahwa perjalanan mereka tidak akan mudah, tetapi mereka juga tahu bahwa selama mereka bersama, mereka akan menemukan cara untuk menghadapinya. Cinta yang kembali hadir di tengah perjalanan hidup yang penuh dengan tantangan ini adalah bukti bahwa cinta sejati tidak mengenal waktu atau jarak. Cinta sejati adalah tentang saling mendukung, belajar dari pengalaman, dan berusaha untuk menjadi lebih baik setiap hari.***
————-THE END————-