• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
CAHAYA DI UJUNG HUJAN

CAHAYA DI UJUNG HUJAN

February 23, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
CAHAYA DI UJUNG HUJAN

lonely silhouette walking trough darkness, depression

CAHAYA DI UJUNG HUJAN

by SAME KADE
February 23, 2025
in Misteri & Thriller
Reading Time: 15 mins read

Bab 1: Melodi di Tengah Hujan

Hujan turun deras, memukul-mukul atap halte bus tempat Reina berdiri. Dia merapatkan jaketnya yang tipis, merutuki dirinya sendiri karena lupa membawa payung. Jalanan kota yang biasanya penuh hiruk-pikuk kini sepi, hanya ada suara air yang mengalir di selokan dan kendaraan yang melintas tergesa-gesa.

Reina menatap kafe kecil di seberang jalan. Lampu kuning hangat di dalamnya terlihat kontras dengan dinginnya suasana luar. Dinding kaca kafe itu memperlihatkan meja-meja yang sebagian besar kosong, kecuali seorang pria yang duduk di depan piano tua di sudut ruangan. Reina terpaku.

Nada-nada lembut mulai mengalir keluar dari kafe itu, menyelinap di antara bunyi hujan. Lagu itu tidak dikenalinya, namun setiap nada terasa begitu menyentuh hati. Reina mendengarkan dengan seksama, merasa ada sesuatu yang menghubungkannya dengan melodi itu—seperti memori yang samar, sesuatu yang familiar tapi sulit diingat.

Tiba-tiba, dorongan aneh membuat Reina melangkah keluar dari halte, menerobos hujan tanpa pikir panjang. Dia berlari menyeberangi jalan basah, jaketnya sudah sepenuhnya basah ketika dia akhirnya tiba di depan pintu kafe. Tangannya ragu sejenak, tetapi kemudian dia mendorong pintu dan masuk.

Keheningan di dalam kafe langsung menyelimutinya, hanya suara piano yang terus mengalun lembut. Reina berdiri beberapa detik di pintu, memperhatikan pria di depan piano. Rambut hitamnya sedikit acak-acakan, tubuhnya condong ke depan seolah dia benar-benar tenggelam dalam musik yang dimainkan.

Seorang pelayan menghampirinya, membawa Reina keluar dari lamunannya. “Mau pesan sesuatu, Mbak?” tanyanya dengan senyum ramah.

Reina mengangguk cepat. “Kopi hitam saja,” jawabnya sebelum duduk di sudut ruangan, tepat di dekat jendela. Dari sana, dia bisa melihat dengan jelas pria itu memainkan pianonya. Jemarinya bergerak luwes di atas tuts piano, menciptakan melodi yang terdengar seperti campuran harapan dan kesedihan.

Tanpa sadar, Reina membuka buku sketsanya. Tangannya mulai bergerak, menggambar garis-garis yang membentuk wajah pria itu. Dia mengamati bagaimana mata pria itu sedikit menyipit saat bermain, bagaimana rahangnya tampak tegas, namun ada kelembutan dalam ekspresinya. Reina merasa tangannya bergerak sendiri, seolah pria itu adalah subjek sempurna untuk diabadikan.

Saat melodi berakhir, tepuk tangan kecil terdengar dari dua pelanggan lain di kafe. Reina ikut bertepuk tangan pelan, lalu menyadari bahwa pria itu kini memandang ke arahnya. Mata mereka bertemu sesaat, dan Reina merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Ada sesuatu dalam tatapan pria itu—bukan sekadar rasa penasaran, tapi seperti dia sedang mencoba membaca siapa Reina.

Dengan senyum tipis, pria itu meninggalkan pianonya dan berjalan ke meja bar. Reina menunduk, pura-pura fokus pada buku sketsanya. Namun, tak lama kemudian, sebuah suara terdengar dari sampingnya.

“Apakah aku jadi terlihat lebih tampan di gambar itu?”

Reina tersentak, menutup bukunya dengan cepat. Pria itu berdiri di sana dengan senyum jenaka di wajahnya. “Maaf, aku tidak bermaksud mengganggu,” katanya, suaranya dalam dan hangat.

“Ah, tidak… aku hanya… menggambar sesuatu,” balas Reina canggung.

Pria itu mengulurkan tangannya. “Ezra,” katanya singkat.

Reina ragu sejenak sebelum menjabat tangannya. “Reina.”

“Aku sering bermain di sini. Kalau kau ingin menggambar lagi, aku biasanya ada setiap sore. Tapi kalau kau butuh model lain, aku juga bersedia,” ujarnya sambil tertawa kecil.

Reina tersenyum tipis, merasa ada sesuatu yang aneh namun menarik dari pria ini. Saat Ezra kembali ke meja bar, Reina memandang sketsanya yang belum selesai. Ada perasaan baru yang muncul—perasaan yang tak pernah dia rasakan sejak lama.

Hujan di luar kafe mulai reda, namun dalam hati Reina, melodi Ezra masih terus terngiang-ngiang.

Bab 2: Luka di Balik Senyum

Hari-hari berlalu, namun Reina tak bisa melupakan pertemuannya dengan Ezra di kafe kecil itu. Ada sesuatu tentang pria itu—tatapan matanya yang seolah menyimpan cerita, dan musiknya yang begitu emosional—yang membuat Reina merasa tertarik. Ia mulai rutin mengunjungi kafe itu setiap sore, membawa buku sketsanya dan berharap bisa bertemu Ezra lagi.

Dan seperti yang diharapkannya, Ezra memang ada di sana. Duduk di depan piano tua itu, ia memainkan lagu-lagu yang berbeda setiap kali. Namun, meskipun musiknya terdengar indah, Reina mulai menyadari sesuatu. Senyuman Ezra yang tampak santai di luar itu tak pernah sampai ke matanya. Di balik wajah hangatnya, ada luka yang tampaknya ia coba sembunyikan.

Hari itu, Reina memberanikan diri untuk mendekatinya. Setelah Ezra selesai memainkan sebuah lagu lembut yang membuat suasana kafe terasa hening, Reina berjalan ke arahnya, membawa dua cangkir kopi yang baru saja ia pesan.

“Aku rasa, setelah beberapa kali aku datang ke sini, aku seharusnya mentraktirmu sesuatu,” kata Reina sambil tersenyum kecil, meletakkan cangkir kopi di meja dekat piano.

Ezra mengangkat alis, lalu tersenyum tipis. “Traktiran dari seorang seniman? Aku merasa terhormat.”

Reina tertawa kecil, lalu duduk di kursi kosong di samping piano. “Kau selalu bermain di sini, ya? Apa ini semacam pekerjaan sampingan?” tanyanya, mencoba membuka obrolan.

Ezra memandangi cangkir kopi itu sejenak sebelum menjawab. “Bukan pekerjaan. Musik adalah… semacam pelarian bagiku,” katanya dengan nada datar, tapi Reina menangkap ada kesedihan dalam suaranya.

“Pelarian?” Reina mengulangi, penasaran.

Ezra menatap ke luar jendela, di mana hujan mulai turun perlahan. “Kau tahu, terkadang ada hal-hal yang tak bisa kita ungkapkan dengan kata-kata. Musik adalah cara terbaikku untuk mengatakan apa yang tidak bisa kuucapkan.”

Reina terdiam. Jawaban Ezra membuat pikirannya melayang ke masa lalu, ketika ia sendiri menggunakan seni sebagai cara untuk melupakan rasa kehilangan. Ia memahami apa yang Ezra maksud.

“Kalau begitu, aku rasa aku beruntung. Aku bisa mendengar semua yang ingin kau katakan lewat musikmu,” kata Reina pelan.

Ezra tersenyum kecil. Namun, sebelum Reina bisa mengatakan apa pun lagi, dia melihat Ezra merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah buku kecil. Reina memperhatikan bagaimana Ezra membolak-balik halaman buku itu sejenak, lalu menutupnya kembali.

“Apa itu?” tanya Reina, tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.

Ezra terlihat ragu, tapi akhirnya menjawab, “Hanya catatan kecil. Aku sering menulis lirik atau melodi di sini.”

Reina ingin bertanya lebih jauh, tapi ekspresi Ezra berubah dingin, seolah dia tidak ingin membahasnya lebih lanjut. Reina pun memutuskan untuk tidak memaksa.

Sebagai gantinya, dia berkata, “Aku suka caramu bermain. Rasanya seperti mendengar seseorang bercerita, tapi dalam bentuk melodi.”

Ezra menatap Reina, sedikit terkejut. “Itu salah satu hal terbaik yang pernah orang katakan padaku,” gumamnya.

Reina tersenyum kecil, merasa senang bisa memberikan komentar yang berarti. Namun, di saat yang sama, dia tak bisa menghilangkan rasa penasaran tentang buku kecil itu dan rahasia apa yang mungkin disimpan Ezra.

Ketika hujan mulai berhenti, Ezra berdiri dan mengambil jaketnya. “Aku harus pergi,” katanya.

“Terima kasih untuk musiknya,” ujar Reina sambil tersenyum.

Ezra menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Dan terima kasih untuk kopinya. Sampai jumpa lagi, Reina.”

Reina memperhatikan Ezra berjalan keluar dari kafe, meninggalkan aroma samar kopi dan nada-nada indah yang masih menggema di telinganya. Namun, di balik senyum ramahnya, Reina tahu Ezra menyimpan sesuatu yang lebih dalam—sebuah luka yang belum sembuh.

Malam itu, Reina membuka buku sketsanya dan mulai menggambar lagi. Kali ini, bukan hanya potret Ezra yang ia buat, tetapi juga ekspresi sedih yang ia lihat sesaat di balik senyuman pria itu. Ada sesuatu tentang Ezra yang membuat Reina merasa ingin tahu lebih jauh, seperti memecahkan teka-teki yang rumit.

Dan tanpa ia sadari, rasa penasaran itu perlahan berubah menjadi keinginan untuk lebih mengenal Ezra, meskipun ia tahu bahwa mungkin, di balik kisah Ezra, ada luka yang jauh lebih besar daripada yang ia bayangkan.

Bab 3: Langit yang Sama, Rindu yang Berbeda

Matahari mulai condong ke barat, memancarkan sinar jingga yang melukis langit kota. Reina duduk di bangku taman kota, buku sketsanya terbuka di pangkuan. Dia telah menghabiskan beberapa sore terakhir di sini bersama Ezra, yang membawa gitarnya hari ini. Piano tua di kafe yang biasa ia mainkan sedang diperbaiki, jadi Ezra memutuskan untuk memetik melodi di tempat terbuka.

Suara gitar Ezra terdengar lembut, membaur dengan kicauan burung dan gemerisik angin. Reina mendengarkan dengan diam, jemarinya bergerak menggambar pemandangan taman dengan Ezra sebagai subjek utama.

“Aku rasa kau sudah menggambar terlalu banyak tentang aku, Reina,” Ezra tiba-tiba berkata, tanpa menghentikan permainannya.

Reina tersenyum kecil tanpa menatap Ezra. “Aku menggambar apa yang menarik bagiku. Dan saat ini, kau adalah subjek yang paling menarik.”

Ezra tertawa pelan. Namun, tawa itu terasa pendek, seperti ada sesuatu yang menghentikannya untuk benar-benar larut dalam kebahagiaan. Reina menyadari hal itu, tapi ia memilih untuk tidak berkomentar.

“Aku sering datang ke taman ini bersama Arya dulu,” kata Reina tiba-tiba, hampir tanpa berpikir. Kata-katanya menggantung di udara, menyelinap di antara melodi yang dimainkan Ezra.

Ezra berhenti bermain, menatap Reina dengan penasaran. “Arya?”

Reina mengangguk, senyum tipis menghiasi wajahnya, meskipun matanya dipenuhi kerinduan. “Dia cinta pertamaku. Kami selalu datang ke taman ini setiap sore, sebelum dia…” Reina menghentikan kata-katanya, seolah terlalu sulit untuk melanjutkan.

Ezra tidak mendesak. Dia hanya meletakkan gitarnya di samping dan duduk lebih dekat ke Reina. “Aku tidak ingin memaksamu bercerita, tapi jika kau ingin, aku di sini,” katanya lembut.

Reina menghela napas panjang, memandang langit yang kini perlahan berubah menjadi abu-abu, tanda hujan akan turun. “Dia meninggal lima tahun lalu. Kecelakaan mobil. Hari itu, kami bertengkar karena hal kecil yang bodoh. Aku marah dan meninggalkan dia sendirian di jalan. Beberapa jam kemudian, aku mendapat kabar dia meninggal.”

Ezra terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Tapi dari caranya menatap Reina, terlihat jelas bahwa dia memahami rasa bersalah dan penyesalan yang Reina rasakan.

“Sejak saat itu, hujan selalu mengingatkanku padanya. Seolah-olah alam mengingatkanku pada kesalahanku,” lanjut Reina, suaranya bergetar.

Ezra menunduk, jemarinya menyentuh buku catatannya yang selalu ia bawa. Reina memperhatikan gerakannya, merasa ada sesuatu yang ingin Ezra katakan tapi ia tahan.

“Aku tahu bagaimana rasanya hidup dengan rasa bersalah,” ujar Ezra akhirnya, suaranya hampir seperti bisikan. Reina menatapnya, menunggu Ezra melanjutkan, tapi dia hanya menggenggam buku catatan itu lebih erat, seolah takut jika rahasianya keluar.

“Kita semua punya cerita, Reina. Beberapa di antaranya terlalu sulit untuk diceritakan,” kata Ezra pelan.

Reina mengangguk, memahami perasaan itu. Dia tahu Ezra menyimpan luka, sama seperti dirinya. Namun, dia tidak ingin memaksa Ezra untuk berbagi sebelum dia siap.

Hujan mulai turun, tetesannya kecil tapi cukup untuk membuat mereka harus mencari tempat berteduh. Ezra berdiri, menawarkan tangannya kepada Reina. “Ayo. Ada kafe kecil di dekat sini. Kita bisa lanjut di sana.”

Reina menggenggam tangannya, merasa nyaman dengan kehangatan yang Ezra berikan. Mereka berlari kecil menuju kafe terdekat, tertawa saat hujan semakin deras. Di bawah atap kafe, Ezra menatap Reina yang tersenyum dengan pipi memerah karena udara dingin.

“Arya pasti pria yang hebat jika dia membuatmu mencintainya sedalam itu,” kata Ezra tiba-tiba.

Reina menatap Ezra, mata mereka bertemu. Ada sesuatu di sana—sebuah pemahaman mendalam, seolah-olah mereka berbicara tanpa perlu kata-kata. Reina merasa hatinya mulai terbuka lagi, meski dia tahu bayang-bayang Arya masih menghantui.

Di sisi lain, Ezra menatap Reina dengan perasaan yang bercampur aduk. Dia merasa dekat dengannya, tetapi luka masa lalunya sendiri menjadi tembok yang terus menghalanginya untuk maju.

Hujan semakin deras di luar, namun di dalam kafe, mereka berdua merasa hangat dalam keheningan yang penuh arti. Reina menyadari, meskipun mereka memandang langit yang sama, rindu mereka berbeda. Namun, entah bagaimana, rindu itu perlahan mulai menyatukan mereka.

Bab 4: Surat di Bawah Hujan

Langit kelabu menyelimuti kota, dan hujan kembali turun dengan derasnya. Reina duduk di sudut kafe, menatap kosong ke luar jendela. Ezra tak terlihat sore itu, padahal biasanya dia selalu ada di kafe setiap sore, memainkan piano atau sekadar berbincang dengannya. Perasaan gelisah mulai menjalari hatinya. Ezra adalah teka-teki yang mulai ingin dia pecahkan, tetapi pria itu terlalu pandai menyembunyikan bagian dirinya yang rapuh.

Tepat saat Reina akan beranjak pulang, pintu kafe terbuka, dan Ezra muncul dengan jaket basah kuyup. Dia membawa ransel yang tampak penuh, dan ekspresinya sedikit kusut, berbeda dari biasanya. Namun, dia segera tersenyum saat melihat Reina.

“Kau di sini lagi,” katanya sambil berjalan ke arahnya.

Reina tersenyum tipis. “Kau terlambat hari ini. Apa hujan menghalangimu?”

Ezra mengangguk, melepaskan jaketnya dan menggantungnya di sandaran kursi. Dia meletakkan ranselnya di lantai, tampak gugup untuk sesaat. “Ya, hujan membuatku terjebak di rumah lebih lama dari yang kuharapkan.”

Namun, Reina menangkap sesuatu dalam cara Ezra berbicara—seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan. Tak ingin memaksanya, Reina membiarkannya duduk dan mengambil napas.

Obrolan mereka berjalan seperti biasa, tetapi Ezra terlihat lebih pendiam hari itu. Reina mencoba menghidupkan suasana dengan bercanda, namun Ezra hanya tertawa kecil tanpa semangat. Hingga akhirnya, ketika Ezra pergi ke toilet, Reina melihat ransel pria itu terbuka sedikit. Tanpa sengaja, sebuah buku kecil jatuh ke lantai. Itu adalah buku catatan Ezra, yang selalu ia bawa ke mana pun.

Reina memungutnya, hendak meletakkannya kembali ke dalam ransel, tetapi sebuah halaman terbuka dan menarik perhatiannya. Tertulis sebuah kalimat pendek dengan tinta yang tampaknya belum lama kering:

“Maafkan aku, Lila. Aku tidak cukup kuat untuk menyelamatkanmu.”

Jantung Reina berdegup kencang. Nama itu—Lila—terdengar seperti seseorang yang berarti bagi Ezra. Tapi siapa dia? Reina membuka beberapa halaman lain, menemukan potongan-potongan surat yang tampaknya tidak pernah dikirim. Setiap surat berisi penyesalan dan rasa bersalah yang begitu mendalam.

“Aku seharusnya ada di sisimu, tapi aku malah pergi. Kalau saja aku mendengarkanmu waktu itu, mungkin semuanya akan berbeda.”
“Lila, apakah kau bisa memaafkanku, di mana pun kau berada?”

Reina merasa dadanya sesak membaca tulisan-tulisan itu. Rasa bersalah Ezra begitu terasa dalam kata-katanya. Namun, sebelum Reina bisa membaca lebih jauh, Ezra kembali ke meja.

“Apa yang kau lakukan?” suaranya rendah tapi tegas, membuat Reina terlonjak.

Reina segera menutup buku itu dan menyerahkannya. “Maaf… buku ini jatuh, dan aku tidak sengaja membacanya.”

Ezra mengambil buku itu dengan gerakan cepat, memasukkannya kembali ke ranselnya. Wajahnya berubah dingin, jauh dari kehangatan yang biasanya dia tunjukkan. “Itu bukan untuk dibaca orang lain.”

Reina merasa bersalah, tetapi ia juga ingin tahu lebih banyak. “Ezra… siapa Lila?” tanyanya hati-hati.

Ezra menghela napas panjang, menunduk, seolah menimbang-nimbang apakah ia harus menjawab atau tidak. Akhirnya, dia berkata, “Lila adalah tunanganku. Dia meninggal tiga tahun lalu.”

Reina terkejut, tapi ia tidak menyela. Ezra melanjutkan, suaranya sedikit bergetar. “Hari itu, kami bertengkar hebat. Aku pergi meninggalkannya karena aku tidak tahan dengan argumennya. Tapi beberapa jam kemudian, aku mendapat kabar dia kecelakaan. Dan aku… aku tidak pernah mendapat kesempatan untuk meminta maaf.”

Reina menatap Ezra yang kini terlihat rapuh. Untuk pertama kalinya, ia melihat sisi lain dari pria itu, sisi yang penuh rasa bersalah dan luka mendalam. Ia ingin berkata sesuatu, tetapi tak ada kata yang terasa cukup tepat.

“Aku mencoba melupakan, tapi setiap kali aku bermain musik, aku merasa seperti sedang berbicara dengannya. Musik adalah caraku meminta maaf, meskipun aku tahu dia tidak bisa mendengarnya,” lanjut Ezra.

Hujan di luar semakin deras, menjadi latar bagi keheningan yang melingkupi mereka. Reina merasa hatinya tertarik semakin dalam ke dunia Ezra. Ia tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang dan hidup dengan rasa bersalah. Dalam banyak hal, mereka serupa.

“Ezra,” kata Reina akhirnya, suaranya lembut. “Aku tidak tahu apakah kata-kata ini cukup berarti, tapi… aku yakin Lila akan memaafkanmu. Dan aku yakin dia ingin kau memaafkan dirimu sendiri.”

Ezra menatap Reina, matanya berkaca-kaca. Dia tidak berkata apa-apa, hanya mengangguk pelan. Reina tahu bahwa luka itu tidak akan sembuh dalam semalam.

Bab 5: Bayang-Bayang Masa Lalu

Sejak perbincangan terakhir mereka, hubungan Reina dan Ezra semakin dalam, namun juga semakin rumit. Reina merasa semakin dekat dengan pria itu, seolah-olah luka mereka saling terhubung dalam cara yang sulit dijelaskan. Namun, di balik kehangatan yang mulai terjalin, ada bayang-bayang masa lalu yang terus menghantui mereka berdua.

Hari itu, Ezra mengundang Reina ke apartemennya. “Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan,” katanya sambil mengayuh sepedanya di samping Reina yang berjalan kaki. Hujan rintik-rintik turun, namun tidak cukup deras untuk membuat mereka mencari tempat berteduh.

Apartemen Ezra sederhana, tetapi penuh dengan karakter. Buku-buku musik berserakan di meja, gitar tersandar di sudut ruangan, dan di dinding terdapat beberapa foto hitam putih yang sepertinya diambil oleh Ezra sendiri. Namun, yang paling menarik perhatian Reina adalah sebuah bingkai foto kecil di atas piano. Itu adalah foto Ezra bersama seorang wanita muda dengan senyum manis, yang Reina tebak adalah Lila.

“Kau sering bermain piano di sini?” tanya Reina sambil melirik piano tua itu.

Ezra mengangguk. “Ya. Piano ini dulunya milik Lila. Dia yang mengajariku bermain sejak awal.”

Reina menyentuh permukaan piano itu dengan lembut, membayangkan sosok Lila yang pernah duduk di sana, memainkan melodi yang mungkin juga kini dimainkan Ezra. “Dia pasti sangat berbakat,” ujar Reina.

Ezra tersenyum kecil, tapi senyumnya terlihat pahit. “Dia tidak hanya berbakat. Dia adalah jiwa dari setiap melodi yang pernah kumainkan.”

Reina terdiam, tidak ingin mengganggu kenangan Ezra. Namun, saat ia menoleh, ia melihat Ezra sedang membuka sebuah kotak kayu kecil di rak dekat piano. Dari dalamnya, ia mengeluarkan beberapa surat yang tampak sudah usang.

“Apa itu?” tanya Reina hati-hati.

“Surat-surat dari Lila,” jawab Ezra pelan. “Dia menulisnya untukku selama kami bersama. Tapi ada satu surat terakhir yang tidak sempat dia serahkan padaku. Aku menemukannya di apartemennya setelah dia meninggal.”

Ezra menyerahkan surat itu kepada Reina. Kertasnya sudah agak menguning, namun tulisan tangan Lila masih terlihat jelas. Reina membuka surat itu dengan hati-hati, membaca setiap kata dengan perlahan.

*”Ezra,
Aku tahu akhir-akhir ini kita sering bertengkar. Aku tahu aku keras kepala, dan aku tahu kau lelah. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku mencintaimu lebih dari apa pun. Jika aku tidak pernah mengatakan ini sebelumnya, aku minta maaf. Aku hanya takut kehilanganmu, Ezra. Kau adalah musik dalam hidupku, dan aku tidak bisa membayangkan dunia tanpamu.
Dengan cinta,
Lila.”*

Air mata menggenang di mata Reina saat dia selesai membaca surat itu. Dia menatap Ezra yang kini menunduk, matanya kosong menatap lantai.

“Aku menemukan surat itu sehari setelah pemakamannya,” kata Ezra, suaranya berat. “Dan sejak saat itu, aku tidak bisa berhenti bertanya-tanya… apakah aku cukup baik untuknya? Apakah aku membuatnya bahagia, atau aku hanya menjadi beban baginya?”

Reina menelan ludah, merasa dadanya sesak mendengar pengakuan Ezra. Dia tahu rasa bersalah itu seperti racun yang pelan-pelan menggerogoti Ezra, sama seperti rasa bersalahnya sendiri terhadap Arya.

“Ezra,” kata Reina pelan, mencoba menahan getaran di suaranya. “Lila mencintaimu, bahkan sampai akhir. Kau harus berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Dia tidak ingin kau hidup seperti ini.”

Ezra menggeleng pelan. “Mudah untuk dikatakan, tapi sulit untuk dilakukan. Setiap kali aku bermain musik, aku merasa seperti berbicara dengannya, tapi sekaligus merasa gagal karena aku tidak bisa melakukan lebih banyak untuknya.”

Reina berjalan mendekat, memegang tangan Ezra dengan lembut. “Aku mengerti. Aku tahu bagaimana rasanya hidup dengan penyesalan. Tapi kau harus ingat, hidupmu masih berjalan, Ezra. Dan aku yakin Lila ingin kau melangkah maju, meskipun itu sulit.”

Ezra mengangkat pandangannya, menatap Reina dalam-dalam. Mata mereka bertemu, dan Reina bisa melihat keraguan dan rasa sakit yang begitu dalam di sana. Tapi di balik semua itu, dia juga melihat secercah harapan kecil, seperti cahaya yang mencoba menembus kegelapan.

Hening melingkupi mereka selama beberapa saat, hingga akhirnya Ezra berkata, “Terima kasih, Reina. Untuk tetap di sini. Untuk mendengarkan.”

Reina tersenyum kecil. “Aku akan selalu di sini, Ezra. Selama kau membutuhkanku.”

Namun, di balik senyum itu, Reina juga merasakan bayang-bayang masa lalunya sendiri kembali menghantuinya. Rasa bersalah terhadap Arya, kerinduan yang tak pernah hilang, semuanya seperti kembali menghantamnya saat ia melihat luka di mata Ezra.

Malam itu, Reina pulang dengan hati yang penuh pergolakan. Dia menyadari bahwa dirinya dan Ezra sama-sama terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu mereka. Namun, di tengah kerumitan itu, Reina juga merasakan sesuatu yang baru—sebuah keinginan untuk saling menyembuhkan, meskipun mereka tidak tahu apakah itu mungkin.

Dan di bawah hujan yang terus turun, mereka masing-masing membawa luka yang perlahan-lahan mulai terhubung, seperti melodi yang mencari harmoni di tengah kekacauan.

Bab 6: Cahaya di Ujung Hujan

Hujan kembali turun dengan derasnya sore itu, seperti menjadi latar yang selalu mengiringi pertemuan Reina dan Ezra. Namun, hari ini berbeda. Reina berdiri di depan panggung kecil di kafe tempat mereka sering bertemu. Ezra sedang mempersiapkan piano dan gitarnya, sementara Reina menatapnya dari jauh. Ada ketegangan di udara, tetapi juga sebuah tekad yang tak tergoyahkan di mata Ezra.

“Aku ingin memainkan sesuatu yang berbeda hari ini,” kata Ezra ketika Reina mendekatinya.

Reina tersenyum lembut, duduk di bangku terdekat. “Aku yakin apa pun yang kau mainkan, itu akan indah.”

Ezra menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil. “Kali ini, aku ingin memainkan sesuatu untukmu.”

Reina terkejut, tetapi ia tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap Ezra dengan hati yang berdebar, bertanya-tanya melodi apa yang akan pria itu ciptakan.

Ezra duduk di depan piano, menutup matanya sejenak sebelum jemarinya mulai bergerak. Nada pertama yang keluar begitu lembut, seperti hujan yang baru mulai turun. Perlahan, melodi itu berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam, lebih kompleks, dan penuh emosi. Reina bisa merasakan setiap nada seperti berbicara langsung padanya, menyampaikan perasaan yang tak pernah diungkapkan Ezra dengan kata-kata.

Ketika Ezra berhenti bermain, kafe menjadi hening. Semua orang terpaku oleh keindahan musik itu, tetapi Reina tahu, lagu itu hanya untuknya.

“Ezra… itu luar biasa,” bisik Reina, matanya berkaca-kaca.

Ezra menatapnya, dan kali ini, tidak ada senyuman yang ia sembunyikan. Wajahnya serius, tetapi lembut. “Aku menulis lagu itu untukmu, Reina. Kau adalah alasan aku bisa mulai menatap masa depan lagi. Kau membantuku menyadari bahwa aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu.”

Kata-kata Ezra menghantam hati Reina. Ia merasa jantungnya berdebar keras, tetapi juga ada sesuatu yang lain—sebuah rasa takut. Karena ia tahu, meskipun ia membantu Ezra, bayang-bayang masa lalunya sendiri masih terus menghantuinya.

“Aku senang jika aku bisa membantumu, Ezra. Tapi… aku tidak yakin aku sekuat itu,” kata Reina, suaranya bergetar. “Aku sendiri masih terjebak dalam masa lalu. Aku masih merasa bersalah karena meninggalkan Arya.”

Ezra berdiri, berjalan mendekati Reina. Dia menggenggam tangan Reina dengan lembut, memaksanya untuk menatap langsung ke matanya. “Reina, aku tahu rasa bersalah itu sulit untuk dilepaskan. Aku tahu bagaimana rasanya hidup dengan penyesalan. Tapi kau tidak harus melakukannya sendirian. Aku ingin berada di sisimu, seperti kau yang ada di sisiku.”

Air mata mulai mengalir di pipi Reina. Ia merasa hatinya terbuka, seperti sebuah pintu yang selama ini ia tutup rapat-rapat. Kata-kata Ezra menembus setiap tembok yang ia bangun, membuatnya merasa lebih ringan meski hanya sedikit.

“Ezra…” bisiknya, tidak tahu harus berkata apa.

Ezra tersenyum kecil, untuk pertama kalinya terlihat benar-benar damai. “Mungkin kita tidak bisa menghapus masa lalu, Reina. Tapi kita bisa belajar untuk hidup berdampingan dengannya. Dan mungkin, kita bisa menciptakan sesuatu yang baru—sesuatu yang lebih indah.”

Reina mengangguk pelan, akhirnya tersenyum di tengah air matanya. “Mungkin kau benar.”

Di luar, hujan mulai mereda, dan cahaya matahari perlahan muncul di balik awan. Itu seperti simbol dari perjalanan mereka berdua—melewati badai dan akhirnya menemukan secercah cahaya di ujung hujan.

Hari itu, Reina dan Ezra memutuskan untuk melangkah bersama. Mereka tahu perjalanan mereka tidak akan mudah, tetapi mereka percaya bahwa selama mereka saling mendukung, mereka bisa menemukan kebahagiaan di tengah bayang-bayang masa lalu mereka.

Dan di bawah langit yang masih basah, mereka mulai menulis bab baru dalam hidup mereka—sebuah kisah yang penuh harapan, cinta, dan melodi indah yang tidak lagi terasa sedih, tetapi penuh dengan kehidupan.

Bab 7: Pertemuan di Ujung Hujan Pengembangan

Alisa terus menatap hujan yang turun deras di luar jendela. Sambil menggenggam cangkir kopi yang sudah mulai dingin, pikirannya kembali melayang. Hujan, bagi sebagian orang, adalah simbol kesedihan atau bahkan pelarian, tapi bagi Alisa, hujan adalah teman lama. Ia selalu merasa ada keheningan yang mendalam ketika hujan datang, seolah-olah dunia ikut terdiam, memberi ruang bagi kenangan yang seolah tak bisa pergi.

Saat pandangannya beralih ke pria yang duduk di meja seberangnya, Alisa tidak bisa menahan rasa penasaran. Rey, namanya, adalah seseorang yang terlihat asing dan dekat sekaligus. Dalam setiap gerak tubuhnya, ada sesuatu yang membuat Alisa ingin tahu lebih banyak, meski ia merasa bahwa mengenal orang baru bukanlah hal yang mudah baginya. Ia sudah lama menutup dirinya dari dunia luar, menjauh dari segala jenis pertemuan yang bisa mengguncang kenyamanan yang ia bangun. Namun malam ini, ada yang berbeda. Sebuah ketertarikan yang halus, yang seolah memberi jalan bagi sesuatu yang baru.

“Rey,” kata pria itu lagi setelah beberapa detik hening, memecah keheningan yang terjaga antara mereka. “Aku kira aku akan merasa lebih bebas setelah meninggalkan kota ini. Tapi justru sekarang, rasanya aku malah lebih terperangkap.”

Alisa mendapati dirinya tertarik pada ungkapan itu. Ia menundukkan kepala, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Meninggalkan tempat yang kita kenal tidak selalu berarti kita akan menemukan kebebasan,” jawabnya perlahan. “Kadang, justru tempat itu yang tidak pernah benar-benar meninggalkan kita.”

Rey menatapnya dengan tatapan tajam, seolah baru saja menemukan sesuatu dalam kata-kata Alisa. Ada sesuatu yang hangat dalam pandangannya, meski matanya tetap menyiratkan kesedihan yang dalam.

“Benar juga,” Rey berkata, suara rendahnya menggema di ruangan sepi itu. “Aku kira aku bisa melupakan semua hal yang menyakitkan dengan pergi jauh. Ternyata, aku hanya membawa semua itu bersamaku. Mungkin aku yang salah. Mungkin aku terlalu takut untuk kembali.”

Alisa terdiam, seakan ada beban berat yang ikut datang bersamanya. Ia tahu bagaimana rasanya, meski tidak semua orang bisa merasakannya dengan jelas. Keputusan untuk meninggalkan sesuatu atau seseorang memang sering kali datang dengan rasa sesal yang tak terucapkan. Bahkan perjalanan sejauh apa pun tidak akan menghapus jejak-jejak masa lalu yang tertinggal dalam hati.

Hujan di luar semakin deras, suara gemuruhnya terasa seperti irama dalam hati Alisa. Ia menggigit bibirnya, mencoba mengusir kekhawatiran yang mulai merayapi pikiran. “Mungkin kita tidak perlu melupakan masa lalu,” katanya, suara lembutnya hampir tenggelam dalam gemuruh hujan. “Kadang, kita hanya perlu menerima bahwa itu bagian dari perjalanan kita. Menjadi siapa kita sekarang.”

Rey terdiam, sejenak. Kemudian ia mengangguk, seperti mencerna kata-kata Alisa. “Tapi bagaimana jika masa lalu itu begitu menyakitkan sehingga sulit untuk menerima?”

Alisa menarik napas dalam-dalam, merasa ada sesuatu yang lebih dalam yang mengikat mereka. Ia tahu betul bagaimana rasanya. Ia sendiri pernah berada di titik terendah, menghadapi kenangan yang begitu berat, hingga ia merasa tak mampu untuk bangkit. Tapi di saat-saat seperti itu, hanya ada satu pilihan—untuk bertahan, meski sulit.

“Aku tidak punya jawabannya,” kata Alisa, tersenyum samar. “Tapi aku percaya, kita bisa memilih untuk melihat ke depan. Mungkin itu bukan solusi instan, tapi perlahan kita akan menemukan jalan keluar, meski hanya seberkas cahaya.”

Rey menatapnya lebih lama, seolah meresapi setiap kata yang Alisa ucapkan. Lalu, ia tersenyum tipis, sebuah senyuman yang mengandung banyak arti, meski tidak pernah diucapkan secara langsung. “Mungkin kamu benar,” katanya dengan suara yang lebih ringan, seolah beban yang selama ini ia bawa sedikit berkurang.

Alisa merasa ada perubahan dalam suasana hati mereka. Hujan yang terus mengguyur seakan menyapu kekhawatiran yang tak terlihat. Di kedai kopi ini, dalam malam yang sunyi dan penuh hujan, mereka berdua seakan menemukan kenyamanan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Namun, meski percakapan mereka mulai lebih mengalir, ada satu hal yang masih mengganjal di hati Alisa. Sebuah pertanyaan yang belum terucapkan. Mengapa ia merasa seperti mengenal Rey lebih lama dari yang seharusnya? Ada sesuatu dalam tatapan matanya yang membuatnya merasa, mungkin, ia bukan hanya sekadar orang asing.

Alisa tidak tahu jawabannya, dan mungkin Rey juga tidak tahu. Namun, di bawah cahaya lampu yang redup dan hujan yang tak kunjung berhenti, keduanya tahu satu hal—kadang, tak ada yang lebih berharga daripada sebuah pertemuan yang tak direncanakan. Bahkan di tengah hujan, mungkin ada sesuatu yang baru yang sedang dimulai.

Dan cahaya itu, yang mereka sebut sebagai harapan, mungkin saja ada di ujung hujan yang mereka hadapi bersama.***

—————-THE END ———————

Source: AGUSTINA RAMADHANI
Tags: #Cinta dan Kehilangan #Romansa di Tengah Hujan #Melodi yang Menyembuhkan #Luka dan Penebusan #Masa Lalu yang Menghantui
Previous Post

Wajah Fans Manchester United Berlumur Tahi Kucing Basah Pasca-Imbang Lawan Everton

Next Post

HATI YANG TAK SELESAI

Next Post
HATI YANG TAK SELESAI

HATI YANG TAK SELESAI

MATAHARI DALAM SENJA

MATAHARI DALAM SENJA

BAYANG-BAYANG KEJAYAAN MAJAPAHIT

BAYANG-BAYANG KEJAYAAN MAJAPAHIT

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In