Story Of Day– Pemimpin redaksi suatu majalah menugaskan Edi melakukan investigasi penambangan ilegal di suatu desa di salah satu kabupaten.
Edi yang berprofesi sebagai Redaktur di Majalah Monitoring langsung membentuk tim investigasi. Namun, perusahaan hanya menganggarkan untuk dua orang.
Lelaki yang serius ketika mengerjakan sesuatu itu menelpon wartawannya. Tidak perlu waktu lama untuk melobi, karena wartawan kriminal yang bernama Iwang bersedia menemani.
Perusahaan dan para redaktur selalu mengandalkan Iwang dalam urusan pencarian data misteri. Iwang merupakan orang yang detail ketika meneliti. Berita-beritanya bernas dan kaya data serta narasumber.
Dalam perjalanan ini, tak sekali pun terpikir oleh Iwang dan Edi tentang liburan atau jalan-jalan. Sejak di kafe dan hingga di perjalanan, mereka berdua menyusun strategi pengambilan gambar dan data.
Mereka berhenti di SPBU sebelum terminal perbatasan kabupaten tujuan. Iwang berlari ke toilet. Lampu ruangan itu redup dan langit-langitnya bersawang.
Embusan angin terdengar ketika Iwang hendak menyiram. Suara ketukan berulang pun membuatnya kesal. Tapi tak ada apapun saat dia membuka pintu. Pandangannya hanya melihat mobil mereka yang terparkir di depan toilet.
Iwang terdiam di depan mobil. Edi heran memerhatikannya dari balik kaca. Iwang terus memerhatikan kelengangan SPBU.
Edisi majalah mengharuskan Edi ke luar kota. Pemimpin Redaksi menugaskan investigasi penambangan ilegal di Desa Legundi, yang terletak di salah satu Kabupaten.
Edi yang berprofesi sebagai Redaktur di Majalah Monitoring langsung membentuk tim investigasi. Namun, perusahaan hanya menganggarkan untuk dua orang.
Lelaki yang serius ketika mengerjakan sesuatu itu menelpon wartawannya. Tidak perlu waktu lama untuk melobi, karena wartawan kriminal yang bernama Iwang bersedia menemaninya.
Perusahaan dan para redaktur selalu mengandalkan Iwang dalam urusan pencarian data misteri. Iwang merupakan orang yang detail ketika meneliti. Berita-beritanya bernas dan kaya data serta narasumber.
Dalam perjalanan ini, tak sekali pun terpikir oleh Iwang dan Edi tentang liburan atau jalan-jalan. Sejak di kafe dan hingga di perjalanan, mereka berdua menyusun strategi pengambilan gambar dan data.
Mereka berhenti di SPBU sebelum terminal perbatasan kabupaten tujuan. Iwang berlari ke toilet. Lampu ruangan itu redup dan langit-langitnya bersawang.
Embusan angin terdengar ketika Iwang hendak menyiram. Suara ketukan berulang pun membuatnya kesal. Tapi tak ada apapun saat dia membuka pintu. Pandangannya hanya melihat mobil mereka yang terparkir di depan toilet.
Iwang terdiam di depan mobil. Edi heran memerhatikannya dari balik kaca. Iwang fokus memerhatikan kelengangan SPBU. Tidak ada yang lalulalang mengisi bahan bakar di sana, hanya ada kendaraan mereka.
Edi membuka kaca kemudian berteriak memanggil Iwang. Jurnalis kriminal itu berjalan seraya menyelimuti tangannya ke dalam kantung parka.
Iwang bercerita setelah mobil menyala. Dia merasa ada yang aneh dengan SPBU tersebut. Akan tetapi Edi tidak memerdulikan, justri menaikan volume musik.
Iwang menoleh ke belakang. Sekejap, Lampu SPBU itu tidak lagi menyala. Tapi kendaraan mereka telah melalui tikungan ketika Iwang menceritakan keanehan itu kepada Edi.
Dahi Iwang mengkerut karena penasaran atas situasi ini. Tapi tidak lama kemudian dia tertidur dan saat dibangunkan Edi, mereka telah sampai di rumah tujuan.
Berulang kali Edi dan Iwang mengetuk pintu rumah yang terletak agak jauh dari pemukiman. Tapi tak juga ada yang keluar.
Edi berusaha menghubungi Pemimpin Redaksi (Pemred) karena pemilik rumah sekaligus orang yang memberi informasi tambang ilegal di daerah itu bernama Sumenep, adik dari Pemred Majalah Monitoring.
Edi masih berusaha mencari signal seraya berjalan ke sana ke mari, sedangkan Iwang mencari tahu hingga berjalan ke samping rumah. Dia merasa ada yang berjalan dari arah sumur yang gelap menuju pintu dapur. Dia juga mendengar suara ayunan pintu. Namun tak dapat menutupi khawatir karena bulu punggung yang merinding.
Sementara Edi tak berhasil menghubungi Pemrednya, maka dia kembali ke pintu dan berbarengan dengan Iwang.
Bulan terus meninggi sedangkan di sekitar tidak ada orang dan jauh dari pemukiman. Namun karena lelah, kantuk dan lapar, Edi mengajak Iwang kembali ke mobil. Tapi baru mereka hendak melangkah, pintu rumah terbuka.
Seorang lelaki berwajah putih pucat berdiri di depan pintu. Wajahnya agak datar dan langsung memersilahkan mereka masuk.
“Silahkan, kalian sudah ditunggu dari tadi hingga banyak yang hilang,” ujar lelaki itu namun tanpa ekspresi dan langsung masuk ke dalam rumah.
Edi tak banyak pikir, karena sudah lelah. Sedangkan Iwang memikirkan keanehan orang itu karena tak melakukan basa-basi sebagaimana biasa orang baru pertama bertemu dan menyambut tamu.
Saat mereka duduk, orang itu juga duduk. Tapi dia hanya mengatakan letak kamar tidur mereka.
“Saya kembali ya, kalau perlu minum atau makan, anggap saja rumah sendiri. Besok hingga seterusnya, kalian tinggal berdua di rumah ini. Saya dan keluarga kembali,” katanya kemudian meninggalkan Edi dan Iwang.
Edi dan Iwang masih duduk di sofa. Pandangan mereka tertuju pada lelaki itu yang menutup pintu dapur. Pikiran mereka berdua sama, hendak ke mana laki-laki itu, padahal hari sudah terlampau malam.
Fokus mereka terpecah ketika Iwang nguap. Letih dan lesu membunyikan tulang punggung serta lengan ketika mereka meregangkan tubuh.
Di atas kasus yang sedikit berantakan, mereka rebah dan berusaha tidur. Namun di malam yang sunyi, mereka mendengar suara tangis anak kecil dan perempuan dewasa. Saat Iwang hendak bangun dan mengatahui yang sedang terjadi, Edi melarang.
“Jangan gegabah. Kita tak punya senjata, dan baru datang. Tunggu sampai ada suara gaduh atau keributan, baru kita bertindak,” Bisik Edi.
Tak lama dari perkataan Edi, suara tersebut hilang di tengah berisik serangga. Karena merasa tak ada yang aneh, Iwang bilang kepada Edi hendak buang air kecil dan mencuci wajah sebab itu kebiasaannya sebelum tidur.
Di kamar mandi, Iwang mendengar keanehan suara serangga. Analisanya berpendapat, ada sesuatu yang mengusik ketenangan hewan malam. Tapi dia belum berpikir gaib. Arah pikirannya justru masuk dalam gerak-gerik tambang ilegal.
Namun Edi yang juga ingin buang air kecil memergoki Iwang. Iwang yang sedang memerhatikan pintu belakang rumah secara terkejut ketika tangan Edi menyentuh pundaknya.
Karena terpergok, Iwang kembali ke kamar. Namun di dalam kamar dia mendengar orang menangis dari balik tembok. Jarak tangisan itu tidak terlalu jauh dari tempatnya tidur. Tapi saat Edi kembali dan rebah di sisinya selama beberapa menit mengajaknya tidur dan tidak memerdulikan suara-suara itu.
Sampai ketika pagi, bunyi tulang dari tubuh yang diregangkan mengiringi mereka menyambut matahari. Tapi tidak ada siapa-siapa di dalam rumah itu.
Edi yang kelaparan mengajak Iwang lekas mandi untuk mencari sarapan. Iwang yang mendapat jatah kedua mulai bergerilya. Dia kaget ketika membuka pintu belakangan. Pohon-pohon besar serta semak belukar tumbuh subur di sekitar rumah itu. Tapi dia juga melihat ada babatan semak-semak serta tanah galian.
“Kemana perginya laki-laki itu semalam?” batin Iwang.
Pintu kamar mandi terbuka dan membuyarkan yang sedang dibayangkan Iwang. Di dalam kamar mandi, dia kembali merasa heran karena tidak lagi mendengar keanehan. Di sana, dia mulai memikirkan kegaiban.
Edi mendapat panggilan dari Pemred saat sedang menikmati kopi buatan sendiri. Pemred menanyakan keberadaan kakaknya dan kabar mereka. Handpone Sumenep ternyata tidak aktif sejak sore hari.
Merasa ada yang tak beres, Edi mengetuk pintu kamar mandi, mengajak Iwang lekas mencari sarapan kemudian menyelesaikan tugas ini segera.Saat mereka hendak masuk ke dalam mobil, tidak ada pemandangan yang aneh di sekitar. Kaum ibu dan bapak terlihat di jalan desa. Mereka semua mengerjakan aktivitas sebagaimana biasa.
Dalam benak Edi dan Iwang, hanya tentang mencari tempat makan dan mencari informasi pertama perihal penambangan liar. Ini semua diluar rencana. Sumenep ditetapkan sebagai informan mereka pada rencana awal. Namun karena dia menghilang, Edi dan Iwang terpaksa mandiri.
“Itu warung makan. Udah berhenti di sana, kita makan apa pun yang ada. Untuk nanti malam dan siang, kita stok mie instan,” kata Edi.
Mereka banyak bertanya kepada pemilik warung tentang keluarga Sumenep. Namun pemilik warung tidak mengenalnya. Hanya saja dia mengetahui, orang yang tinggal di ujung pemukiman merupakan pendatang dan bekerja di pertambangan.
“Cocok,” batin Edi.
“Lha di sini ada pertambangan bu? Di mana ya bu? Kayaknya asyik kalau ngobrol-ngobrol dengan penambangnnya,” tanya Edi.
Pemilik warung memberi tahu mereka letak pertambangan itu di dalam hutan. Kalau ingin ke sana, mesti berjalan kaki dan kudu hati-hati karena tidak ada denah lokasi. Tapi sudah ada jalan setapak yang mengarah ke pertambangan dan itu hanya akses menuju tambang.
Edi dan Iwang segera menghabiskan makanan mereka karena telah mengetahui informasi akurat. Mereka memberitahu lokasi tambang itu ke Pemred agar bisa mencari andai terjadi sesuatu pada Redaktur dan wartawan itu. Tidak lupa, mereka juga membeli persediaan makanan untuk dua hari.
Sampai di lokasi, mereka kaget karena hampir tidak ada aktivitas di gerbang hutan. Berarti, aktivitas pertambangan itu memang hanya di dalam hutan.
Mereka memarkirkan mobil di pinggir jalan yang letaknya jauh dari gerbang hutan. berlagak hendak liburan, mereka menggunakan tas kemudian memasuki hutan.
Dalam hutan ini sudah ada jalan setapak yang kanan dan kirinya pohon rindang, alang-alang serta semak belukar. Iwang menggerutu, baru kali ini melakukan investigasi ke dalam hutan. Sedangkan Edi fokus memikirkan arah tujuan mereka.
Edi cemas mereka tidak bisa pulang. Mereka tidak tahu berapda dalam hutan ini dan mereka juga tidak ada yang ahli GPS. Tapi tekadnya sebagai jurnalis sudah bulat.
Mereka terus berjalan memasuki hutan. Sementara waktu terus berlalu dan suasana kian gelap karena hutan yang masih rimbun. Tepat ketika mereka akan melalaui dua pohon yang cabang-cabangnya membentuk terowongan, terdengar suara-suara kesibukan.
“Suussstt. Kita hampir sampai,” kata Edi. Iwang menangguk dan mengikuti Edi yang mengendap ke kanan berusaha mencari tahu yang terjadi di depan sana dari balik rerimbunan.
Edi dan Iwang mendengar suara teriakan. Saat mereka terus melangkah dan melihat-lihat yang terjadi, ada suara keributan disusul suara letusan senjata api.
Edi meminta Iwang untuk diam. Mereka menukan sesuatu yang dicari. Dari celah dahan dan daun pohon yang rimbun, aktivitas tambang mereka lihat.
Orang yang melakukan pertambangan ada sekitar kurang lebih 10 orang. Terdiri dari 7 pekerja tambang dan tiga orang sebagai mandor. Tapi para mandor itu menggenggam senjata api.
Ada satu pekerja tambang yang jongkok seraya kedua tangannya menggenggam kepala layaknya orang yang menerima hukuman. Tak jelas apa yang mereka katakan, namun tiga mandor itu menembak kepala, dada dan rahang pekerja itu.
Iwang mendapat potret tragedi itu tanpa kesulitan karena bunyi dan flash telah dimatikan. Namun persembunyian mereka hampir ketahuan karena dahan pohon kering jatuh dan nyaris menimpa mereka. Walau mereka tak mengeluarkan suara, tapi bidikan mereka melihat ke arah sesuatu yang jatuh itu.
Melihat kengerian yang terjadi, Edi mengajak Iwang kembali, terlebih hari mulai agak gelap. Pelan mereka meninggalkan persembunyian, sementara aktivitas tambang masih berlanjut.
Di dalam mobil, wajah mereka pucat lantaran lelah, lapar dan agak ngeri. Bagaimana pun keberanian mereka, tapi seorang pun mereka kenal. Setelah sampai dan selesai mandi, Iwang mengajak Edi meninggalkan kampung ini. Mereka sudah mendapat fakta lapangan, bukti foto pembunuhan dan bukti aktivitas tambang yang merusak hutan register.
Sebagai redaktur, nyawa Iwang jadi tanggung jawabnya. Edi pun berpikir, tidak mungkin meminta tanggapan dari lurah, camat atau pun pihak kepolisian. Pikirannya untuk meminta tanggapan tertuju pada anggota DPRD provinsi dan Gubernur serta Bupati. Karena itu, besok pagi mereka berencana meninggalkan rumah Sumenep.
Tapi keputusan itulah yang membuka tragedi mengerikan yang dialami Sumenep hingga nyawanya melayang.
Sumenep adalah salah satu Mandor di pertambangan itu. Dia sudah bertahun-tahun. Bahkan, tiga nyawa telah melayang karena tembakannya. Tapi dia menerima hidayah ketika kembali ke kampung halaman istrinya. Di sana dia menyadari kesalahannya lantaran melihat seorang pemecah batu berusia 67 tahun yang terus mendaki bukit dan bekerja di bawah siang terik hanya demi sesuap nasi. Sumenep teringat perkataan pekerja terakhir yang dibunuhnya. Sebelum pelor Sumenep menyiksanya, pekerja itu berkata seraya memandang Sumenep
“Saya ini meninggalkan kampung halaman untuk membiayi hidup istri, orang tua dan tujuh anak saya. Sampai di sini, saya kamu bunuh. Apa yang membuatmu tega melakukan ini kepada sesama?”
Dari situ, Sumenep langsung berhenti. Dia hendak menyerahkan diri kepada polisi, tapi nanti setelah Majalan Monitoring mendapat data dan fakta. Namun na’as, malam itu Sumenep dibunuh oleh teman-teman seprofesi.
Tidak ada yang tahu tentang laporan Sumenep kepada kepada Majalah Monitoring. Bos tambang meminta anak buahnya membunuh Sumenep lantaran tak boleh ada orang yang hidup tapi tidak lagi bekerja dalam tambangnya.
Akan tetapi kematian Sumenep belum diketahui Iwang dan Edi, sehingga kekuatan tertentu mengajak dua orang itu bermain teka-teki gaib.
Malam tiba. Jangkrik berderik beriringan dengan desir alam. Waktu sudah jam sembilan malam. Meski mereguk kopi, tapi lelah siang tadi tak bisa mereka tutupi.
Edi lebih dulu tertidur, sedangkan Iwang terbangun. Dia memindahkan kartu memori kamera ke dalam wadah yang aman.
Iwang mendengar suara hantaman benda tumpul. Suara itu nyaring. Dia pun mulai membayangkan bagaimana kepala orang yang terkena hantaman kencang itu.
Karena merasa terganggu, Iwang keluar kamar untuk merebus air dan membuat kopi. Di ruang tamu, dia menyalakan rokok dan melamunkan yang terjadi di hutan serta gangguan yang kerap di terima saat bermukim di rumah Sumenep.
Wes. Gorden tersingkap, dan dari luar seperti ada orang melangkah. Indera-Indera Iwang bergerak mencari sesuatu yang terjadi di luar rumah. Dari balik kaca jendela, Iwang melihat tiga orang membawa cangkul pergi meninggalkan rumah itu.
Iwang melihat gagang cangkul itu berlumur darah. Satu orang yang memegang cangkul sibuk membersihkan darah itu.
Tapi semua itu hanya halusinasi, karena sesaat ketika dia berkedip, jalanan di depan rumah Sumenep hanya terisi pendar lampu jalan yang tidak benar-benar terang.
Seteguk demi seteguk kopi Iwang teguk. Tapi matanya belum mengantuk meski ia telah pindah ke dalam kamar. Sambil rebah, dia memikirkan kejadian aneh saat berada di dalam kamar mandi sekaligus memikirkan kepergian Sumenep yang melalui pintu belakang, padahal di belakang rumah ini hanya hutan.
Lama kelamaan akhirnya Iwang tertidur. Keringatnya tak sekadar di kening, tapi peluh membasahi bajunya. Sampai di tengah malam, Edi mesti menampar Iwang karena terus mengigau ketakutan.
Saat terbangun, Iwang seperti orang kebingungan. Tapi dia sama sekali tidak mengingat mimpi.
Tok. tok. pintu rumah mereka digedor. Saat mereka berdua melangkah hendak melihat ke pintu depan, pintu belakang pun diketuk.
Edi berinisiatif membuka pintu depan sedangkan Iwang pintu belakang. Namun tak mereka temukan apapun di sana kecuali embusan angin beraroma gaib. Bulu punggung mereka bergidik.
Edi tak mampu menutupi kecemasan karena detak jantung yang berdebat, apalagi siang tadi mereka nyaris ketahuan ketika ke hutan mengecek aktivitas tambang.
Mereka kembali ke dalam kamar dan menutup pintu. Tadinya hendak mengatur strategi bila kriminalitas terjadi. Namun pintu kamar mereka diketuk.
Iwang dan Edi saling menatap. Tapi sebagai bawahan, Iwang memahami raut wajah Edi. Dia membuka pintu. Mereka semua lega karena yang berada di depan pintu, yakni Sumenep.
“Kalian belum pulang?” Tanya Sumenep berwajah datar dan pucat.
“Rencananya besok. Dari mana man baru kelihatan? Kami sudah dapat informasi itu,” kata Edi keluar kamar dan menuju ruang tamu, diikuti Iwang.
Mereka terkejut ketika tak lama setelah duduk tapi mengetahui Sumenep sudah tidak di tempat. Kepala buntung duduk di depan mereka. Sontak kedua lelaki itu melompat ketakutan namun tak berlari karena sekejap mata, sosok itu menghilang.
“Kalian belum pulang?” tanya Sumenep yang telah berada di belakang kalian. Seketika Iwang dan Edi sadar, mereka dikerkaji sosok astral.
Sumenep melangkah ke pintu belakang meninggalkan mereka. Iwang berdiri mengikuti Sumenep, meski jantung masih berdebar. Edi pun tak mau kalah. Tapi sosok kepala buntung muncul ketika mereka masuk ke ruang leter e yang mengarah ke belakang rumah itu.
Mereka bukan hanya menghentikan langkah, tapi mundur perlahan. Karena kaki bergetar dan tak tahu harus apa, mereka terjatuh.
Sosok kepala buntung itu juga berjalan mundur. Bagian depan tubuhnya mengarah kedua wartawan yang mentalnya terguncang.
Naluri jurnalis Edi berontak di tengah kengerian. Dia ngotot mengajak Edi memeriksa kamar Sumenep yang berada di depan kamar mereka.
Tak ada tanda-tanda apapun di sana karena semua yang ada di dalam masih rapi. Tapi Iwang mengingat sesuatu.
“Aku pernah ke belakang, di sana ada bekas semak yang terpotong dan bekas galian tanah.”
Edi langsung berlari ke sana, disusul Iwang. Hanya menggunakan kamera ponsel, Iwang memotret lokasi yang tadi disebutkan.
Jangkrik berhenti berbunyi, dan angin pelan berembus. Sosok kepala buntung memerhatikan mereka dari dalam rumah. Tapi mereka tidak menyadari itu.
Karena kesulitan menggali tanah, Iwang berusaha kembali ke dalam rumah. Tapi di sana dia melihat Sumenep. Dia berhalusinasi, Sumenep yang baru membuka pintu langsung mengucurkan darah dari leher karena pukulan cangkul lalu saat tergeletak, satu orang menebas lehernya menggunakan parang tajam berkilau.
Edi melompat mundur ketika tangannya mengangkat kepala yang masih basah darah setelah menggali tanah sedalam setengah meter. Dia memanggil-manggil Iwang, tak ada jawaban karena wartawannya itu tergeletak di tanah berembun.
Edi mengambil HP Iwang, kemudian memotret temuan itu. Lalu, dia menyeret Iwang ke dalam mobil. Bergegas ia melajukan kendaraan untuk sampai ke kota mereka untuk melaporkan yang terjadi kepada Pemimpin Redaksi.
Kurang lebih 5 jam menempuh perjalanan panjang mengerikan dalam keadaan jantung berdebar dan bayang gelagapan, Edi pun sampai di kantor. Tapi dia tak sanggup mengatakan apapun sehingga rekan-rekannya yang heran langsung memeriksa mobil dan membuatkannya minum. Tapi Edi pingsan dan terbangun pada siang setelah dokter menyuntikan infus.
Edi dan Iwang menceritakan kengerian malam itu dan menyerahkan bukti kepada Pemred yang juga terpukul atas kematian Sumenep. Artikel tambang ilegal yang kejam mereka publish dan menjadi berita perbincangan publik.
Majalah Monitoring pun menggandeng polisi, Gubernur dan DPRD Provinsi memecahkan kasus itu. Namun Bos tambang itu mengetahui operasi polisi sehingga ia memerintahkan para mandor membunuh semua pekerja. Bos bangsat itu juga meminta mandor meninggalkan tambang dan kabur ke luar daerah.
Kasus ini hilang tanpa jejak. Namun perjuangan Edi dan Iwang mengangkat popularitas perusahaan.
Selain itu, karena kerja mereka, tambang ilegal itu tidak lagi beroperasi.
2022