• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
BAYANGAN TERKAHIR DI CERMIN RETAK

BAYANGAN TERKAHIR DI CERMIN RETAK

April 24, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
BAYANGAN TERKAHIR DI CERMIN RETAK

BAYANGAN TERKAHIR DI CERMIN RETAK

by SAME KADE
April 24, 2025
in Misteri & Thriller
Reading Time: 42 mins read

Bab 1: Cermin yang Retak

Arka menatap cermin besar yang tergeletak di tengah ruang tamu rumah tua itu. Cermin itu tampak seperti barang biasa—berbingkai kayu ukir dengan sentuhan artistik, namun ada sesuatu yang aneh pada permukaannya. Sebuah retakan panjang membelah kaca, memantulkan bayangan tak jelas yang bergerak lambat seperti sesuatu yang menunggu untuk keluar.

Ruangan itu terasa sunyi. Lampu tunggal yang tergantung di langit-langit berpendar redup, menciptakan bayangan panjang yang bergerak mengikuti setiap gerakan Arka. Angin malam yang meresap melalui celah-celah jendela menambah kesan angker, seperti menyambut kedatangannya dengan bisikan samar.

Arka mengerutkan kening. Ia bukan orang yang mudah terpengaruh oleh hal-hal tak masuk akal, namun kali ini ada yang mengusik. Cermin itu… tidak seperti cermin lainnya. Sejak pertama kali ia melangkah ke dalam rumah ini, ada rasa ganjil yang terus menggelayuti dirinya. Seolah cermin itu memiliki kehidupan sendiri, menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar refleksi.

“Saya ingin Anda memeriksanya,” suara lembut pemilik rumah, seorang wanita tua bernama Ibu Agung, mengganggu konsentrasi Arka. Ia memandang cermin itu lagi, seakan merasakan tatapan mata Ibu Agung yang khawatir di belakangnya.

“Kenapa cermin ini?” tanya Arka, sambil berusaha menahan rasa penasaran yang mulai menguasai dirinya.

Ibu Agung menghela napas panjang, seolah menyimpan beban berat. “Anak saya, Laksmi, membeli cermin ini beberapa bulan lalu. Sejak saat itu, hal-hal aneh mulai terjadi di rumah ini. Tidak ada yang benar-benar bisa dijelaskan. Saya… saya hanya ingin tahu apa yang terjadi.”

Arka menatap cermin itu dengan seksama. Retakan itu membagi kaca menjadi dua bagian, dan bayangan yang terpantul di permukaan cermin terlihat kabur, seolah terdistorsi oleh sebuah kekuatan yang tak tampak. Arka merasa seolah ada sesuatu yang hidup di dalamnya, bergerak di balik bayangan yang ada.

Tanpa sengaja, jemarinya menyentuh permukaan cermin. Detik berikutnya, bayangan di dalamnya bergerak lebih cepat, dan Arka terkejut melihat dirinya sendiri dalam pantulan itu—tetapi bukan Arka yang ia kenal. Bayangan yang terpantul menunjukkan sosoknya yang lebih gelap, lebih muram, seolah menyimpan rahasia yang dalam.

Namun, ketika ia cepat menarik tangannya, bayangan itu kembali seperti semula. Hanya ada keheningan.

Arka menarik napas dalam-dalam, mencoba mengabaikan sensasi yang membekas. “Cermin ini… tidak seperti cermin biasa,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.

Ibu Agung menatapnya dengan tatapan penuh harap. “Saya khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi. Saya tidak tahu bagaimana menghadapinya lagi.”

Arka merasa bahwa ia harus menyelidiki lebih dalam. Ada sesuatu yang lebih besar yang tersembunyi di balik cermin ini, dan Arka merasa seolah-olah ia baru saja membuka pintu menuju sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya. Keinginan untuk mengungkapkan kebenaran yang tersembunyi di balik cermin itu semakin kuat.

Dengan langkah pasti, Arka mulai membuka petunjuk pertama. Apakah ini hanya ilusi semata? Atau apakah cermin ini benar-benar menyimpan sebuah rahasia gelap yang menunggu untuk diungkap?

Bab 2: Petunjuk yang Terlupakan

Setelah kejadian di rumah Ibu Agung, Arka tidak bisa menghapus bayangan cermin itu dari pikirannya. Sesuatu yang begitu aneh dan tak terjelaskan telah terjadi di sana—sesuatu yang menggantung di udara, menuntut untuk ditemukan. Arka merasa seolah-olah dunia yang dikenalnya mulai retak sedikit demi sedikit, seperti pecahan kaca yang tersembunyi di balik permukaan yang tampak utuh.

Pada malam hari, ia duduk di ruang kerjanya yang sederhana, dikelilingi oleh tumpukan berkas dan catatan dari berbagai kasus yang telah diselesaikannya. Namun malam ini, pikirannya tidak terfokus pada pekerjaan biasa. Cermin itu, dengan retakannya yang tajam, terus menghantui. Arka tahu, kalau ia ingin menemukan kebenaran, ia harus menggali lebih dalam.

Ia memutuskan untuk mulai dari awal. Cermin itu, yang tampaknya biasa-biasa saja di permukaan, ternyata memiliki sejarah yang panjang. Setelah mengumpulkan keberanian, Arka menghubungi beberapa kolega lamanya yang memiliki pengetahuan tentang barang-barang antik. Salah satunya adalah Anton, seorang kurator museum seni kuno yang memiliki pengetahuan luas tentang benda-benda seni yang tak terhitung jumlahnya.

Anton mengangkat telepon dengan suara serak. “Arka, lama tak berjumpa. Ada apa?”

“Saya membutuhkan informasi tentang cermin antik, yang menurut saya sangat berbeda dari cermin biasa. Ada retakan besar di permukaannya,” jawab Arka, berusaha menjelaskan tanpa terkesan terlalu terburu-buru. “Sepertinya ada sesuatu yang lebih dari sekadar kaca dan kayu yang melingkupinya.”

Anton diam sejenak, dan Arka bisa merasakan ketegangan di ujung telepon. “Cermin… retak, ya? Hm, itu terdengar seperti cermin milik seniman terkenal yang menghilang beberapa tahun lalu. Anda tahu tentang dia?”

Arka segera mencatat nama yang disebutkan Anton—Rendra Kusuma, seorang seniman yang dikenal karena karya-karya seni yang penuh misteri dan simbolisme gelap. Seniman ini pernah menghidupkan kembali benda-benda sehari-hari menjadi karya yang memiliki kekuatan magis. Namun, setelah sebuah pameran yang kontroversial, Rendra menghilang tanpa jejak. Tidak ada yang tahu kemana ia pergi atau apa yang terjadi padanya. Sejak itu, banyak yang berusaha melupakan keberadaan Rendra, tetapi rumor tentang kecelakaan aneh dan kejadian-kejadian misterius tetap beredar.

Anton melanjutkan, “Cermin itu, saya yakin, adalah salah satu karyanya. Rendra sangat tertarik dengan konsep bayangan—bayangan yang tidak hanya mencerminkan, tetapi juga bisa mengubah realitas.”

Arka merasakan suhu tubuhnya naik sedikit. Konsep bayangan yang mengubah realitas? Itu terdengar seperti sesuatu yang tidak masuk akal, tetapi ada sebuah ketegangan di dalam dirinya yang membuatnya tidak bisa mengabaikan informasi ini begitu saja.

“Di mana saya bisa menemui seseorang yang tahu lebih banyak?” tanya Arka, suaranya semakin tegas.

“Cobalah ke galeri tua di ujung kota. Pemiliknya adalah salah satu orang terakhir yang mengenal Rendra,” kata Anton, sebelum menambahkan, “Tetapi hati-hati, Arka. Orang-orang yang terlibat dengan Rendra biasanya… tidak terlalu suka diganggu.”

Tanpa membuang waktu, Arka segera menyiapkan diri. Pagi-pagi sekali, ia sudah menuju galeri yang dimaksud. Galeri itu terletak di sebuah gedung tua yang hampir tak terjamah waktu. Lampu-lampu redup yang terpasang di sepanjang lorong menambah kesan misterius dan usang. Ketika Arka melangkah masuk, bau kayu yang sudah lapuk dan cat yang mulai mengelupas menyapa indra penciumannya.

Di dalam, ada beberapa lukisan dan patung yang dipajang dengan cermat, namun sebagian besar tampaknya terlupakan oleh waktu. Arka menghampiri meja penerima tamu, di mana seorang pria tua dengan rambut putih panjang dan mata yang tajam sedang duduk. Pria itu mengangkat pandangannya, seolah sudah menunggu kedatangan Arka.

“Saya tahu kenapa kamu datang, Detektif Arka,” katanya, suaranya bergetar namun penuh kekuatan. “Cermin itu… cermin milik Rendra. Kamu tidak akan keluar dari sini dengan jawaban yang mudah. Ini lebih besar dari yang kamu kira.”

Arka merasa jantungnya berdegup kencang. Apa yang sebenarnya tersembunyi di balik cermin itu? Dan mengapa pria tua ini begitu yakin bahwa ia tak akan keluar dengan jawaban yang mudah?

“Cermin itu adalah salah satu karya terakhir Rendra. Ia meyakini bahwa bayangan yang tercermin bukan hanya gambaran dari dunia luar, tetapi juga bisa merubah pikiran dan jiwa. Ada sesuatu yang dia coba simpan di dalamnya—sesuatu yang tidak bisa dipahami dengan logika biasa,” lanjut pria itu dengan nada yang semakin dalam.

Arka mulai merasakan ketegangan yang mengikat dirinya, seolah jalan yang ia pilih ini akan membawanya jauh ke dalam kegelapan yang tak terungkapkan.

Dengan informasi ini, Arka merasa semakin dekat pada kebenaran yang mengerikan. Namun, saat ia berbalik untuk meninggalkan galeri, pria tua itu menahan langkahnya.

“Jangan terlalu cepat memutuskan, Detektif. Cermin itu tidak hanya akan mengungkapkan masa lalu, tetapi juga bisa merusak masa depanmu. Berhati-hatilah,” peringatnya, sebelum Arka keluar dengan langkah tergesa-gesa.

Langkah Arka semakin mantap. Ia tahu, ia harus menggali lebih dalam. Meskipun setiap petunjuk membawa lebih banyak pertanyaan daripada jawaban, satu hal menjadi jelas—di balik cermin itu ada sesuatu yang sangat gelap, sesuatu yang bahkan Rendra Kusuma, sang seniman misterius, tidak bisa kendalikan.

Bab 3: Jejak Terhalang

Arka melangkah keluar dari galeri dengan perasaan yang semakin kacau. Informasi yang diperoleh tentang cermin itu—tentang kekuatan yang tersembunyi di dalamnya—hanya menambah kebingungannya. Setiap petunjuk yang ia temui semakin membawanya ke dalam labirin misteri yang tidak ada ujungnya. Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Siapa yang sebenarnya bermain di balik semua ini?

Ia memutuskan untuk mengunjungi lokasi terakhir yang sempat disebutkan oleh pria tua di galeri—sebuah tempat di luar kota yang diduga menjadi jejak terakhir Rendra Kusuma sebelum seniman itu menghilang. Tempat itu konon dikenal sebagai “Hutan Bayangan”, sebuah wilayah terpencil yang hanya bisa diakses melalui jalan setapak yang hampir tidak pernah dilewati.

Setibanya di sana, Arka merasa udara di sekitarnya berubah menjadi lebih berat. Langit mendung, dan angin yang berhembus membawa aroma tanah basah yang asing. Suasana itu terasa penuh misteri, seakan alam sekitar pun menyembunyikan rahasia yang tak ingin diungkapkan. Dengan langkah hati-hati, ia memasuki hutan, mengabaikan rasa takut yang mulai mengusik.

Semakin dalam ia melangkah, semakin tebal kabut yang menguar dari tanah. Cabang-cabang pohon menjulang tinggi, seolah menghalangi sinar matahari yang ingin menerobos. Hanya suara desiran angin dan langkah kaki Arka yang terdengar di antara keheningan.

Arka tahu ia harus mencari sesuatu yang tersembunyi di sini—sesuatu yang berhubungan dengan Rendra, dan lebih jauh lagi, dengan cermin yang menjadi pusat semua keganjilan ini. Namun, tak lama setelah ia memasuki hutan, ia mulai merasa ada yang mengawasinya. Rasa waspada itu bukan hanya perasaan biasa; ia benar-benar merasa seolah-olah ada mata yang tak terlihat mengintai dari balik pepohonan.

Tiba-tiba, ia mendengar suara gemerisik di balik semak. Dengan cepat, Arka menoleh, siap menghadapi apapun yang mungkin muncul. Namun, yang ia temui hanya sebuah sosok tua yang muncul dari balik bayangan pohon. Pria itu mengenakan pakaian lusuh, rambutnya kusut, dan wajahnya penuh dengan kerut, namun matanya masih menyala dengan kecerdasan yang tajam.

“Siapa kau?” tanya Arka, menahan rasa terkejut.

“Arka, Detektif yang mencari jawaban,” suara pria itu bergetar, namun penuh kekuatan. “Kau datang untuk menemukan sesuatu, bukan? Tetapi aku peringatkan, beberapa hal sebaiknya tetap terpendam.”

Pria itu tersenyum sinis, seakan tahu apa yang sedang dipikirkan Arka. Ia mendekat, langkahnya lambat namun pasti, dan dalam diam, ia mengulurkan sebuah buku kecil yang tampaknya sangat tua.

“Ini milik Rendra,” kata pria itu singkat, sebelum berbalik dan meng消消hilang di balik kabut, tanpa memberi Arka kesempatan untuk bertanya lebih lanjut.

Arka memandang buku itu dengan seksama. Sampulnya sudah pudar, tetapi ada simbol yang tercetak dengan tinta merah yang mencolok di tengahnya—sebuah cermin yang retak. Hatinya berdebar saat menyadari bahwa buku itu mungkin berisi kunci untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Arka membuka buku tersebut. Hal pertama yang ia temui adalah serangkaian catatan tulisan tangan yang tampak kacau, seakan ditulis dalam kondisi tergesa-gesa. Beberapa halaman bahkan tercabik, dan tulisan di dalamnya hampir tidak terbaca. Namun, satu kalimat di halaman pertama membuatnya terhenti.

“Bayangan bukan hanya pantulan. Bayangan adalah kehidupan yang tersembunyi.”

Arka mengusap dahi, mencoba mencerna makna dari kata-kata itu. Ia merasakan getaran di tubuhnya—sebuah perasaan tidak nyaman yang merayap perlahan, seolah ada sesuatu yang sangat besar yang sedang ia hadapi. Apakah ini yang dimaksud dengan eksperimen Rendra? Apakah cermin itu benar-benar menyimpan semacam dunia paralel, atau mungkin sesuatu yang lebih mengerikan?

Tiba-tiba, suara gaduh terdengar dari belakang. Arka menoleh cepat, hanya untuk menemukan dirinya dikelilingi oleh bayangan-bayangan aneh yang bergerak di antara pepohonan, bayangan yang tampak lebih dari sekadar permainan cahaya.

“Arka!” teriak seseorang dari kejauhan. Suara itu datang dari arah yang berbeda, dan Arka mengenalinya sebagai suara Anton, teman lamanya, yang sepertinya datang untuk mencari.

Namun, saat ia berbalik untuk menyambut Anton, bayangan itu berubah—menjadi lebih gelap, lebih padat, dan seakan ingin merenggutnya.

Ia berlari, buku itu masih erat digenggam di tangannya. Setiap langkahnya terasa semakin berat, dan bayangan-bayangan itu semakin mendekat, bergerak lebih cepat dari tubuhnya.

Anton muncul di depan, tampak terengah-engah, tapi ekspresinya penuh kecemasan. “Arka, berhenti!” teriaknya. “Ada yang tak beres dengan tempat ini!”

Namun Arka tidak bisa berhenti. Semakin ia berlari, semakin ia merasa sesuatu sedang mengincarnya. Bayangan-bayangan itu tidak hanya mengintai—mereka mulai mengisi setiap ruang di sekelilingnya, seolah ingin merasuki tubuhnya.

Dengan kekuatan terakhir yang dimilikinya, Arka akhirnya menerobos keluar dari hutan itu, napasnya terengah-engah. Bayangan-bayangan itu berhenti tepat di batas hutan, seolah tidak bisa melanjutkan lebih jauh.

Anton mendekat, menyentuh bahu Arka dengan lembut. “Kau selamat kali ini, tetapi kita tidak bisa lari selamanya, Arka. Cermin itu… itu bukan hanya sebuah objek. Ia adalah portal yang harus dihancurkan.”

Arka menatap Anton dengan tatapan kosong. “Apa maksudmu? Apa yang sebenarnya ada di balik semua ini?”

Anton menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya berkata, “Apa yang kau lihat dalam bayangan itu, Arka, adalah bagian dari dirimu. Tetapi ada satu hal yang lebih berbahaya—siapa pun yang mencoba memecahkan rahasia itu, akan dibawa ke dalamnya. Dan tak ada yang bisa keluar selamat.”

Arka merasa jantungnya berhenti berdetak sejenak. Rahasia itu ternyata lebih gelap dari yang ia bayangkan. Dengan setiap langkah yang ia ambil, semakin dekat ia dengan kehancuran.

Bab 4: Bayangan yang Tak Terlihat

Kejadian malam itu meninggalkan Arka dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Ia terjaga sepanjang malam, matanya tertuju pada langit-langit kamar yang gelap, pikiran berkecamuk seperti badai yang tak bisa ia tenangkan. Bayangan yang ia lihat di hutan, dan peringatan Anton tentang bahaya cermin itu, kini terbayang jelas dalam benaknya. Ada sesuatu yang lebih besar, lebih mengerikan, yang tersembunyi di balik semua ini. Arka tahu, jika ia tidak menemukan jawabannya, ia akan terperangkap dalam kegelapan ini.

Pagi itu, ia kembali ke rumah Ibu Agung. Rumah tua itu seolah menjadi tempat yang tak bisa ia hindari, meskipun setiap sudutnya memancarkan aura yang menakutkan. Cermin itu, yang sejak pertama kali ia lihat, terus mengusik pikirannya. Kini, ia tidak hanya penasaran, tetapi merasa bahwa jawabannya ada di sana—di balik kaca retak yang memantulkan bayangan-bayangan yang tak dapat dipahami.

Ibu Agung terlihat semakin cemas saat Arka tiba. Wajahnya yang pucat dan tangan yang gemetar memberi tanda bahwa ia juga merasakan beban yang berat. “Apakah kamu sudah menemukan sesuatu, Arka?” tanya Ibu Agung dengan suara lirih, seakan takut untuk mendengar jawabannya.

Arka menggelengkan kepala, meskipun ia tahu bahwa jawabannya semakin dekat. “Ada banyak yang harus saya selidiki, Bu. Tapi satu hal yang saya tahu, cermin ini lebih dari sekadar benda. Ia… menyimpan sesuatu.”

Ibu Agung menghela napas dalam-dalam. “Saya sudah tahu itu, Arka. Saya merasakannya sejak pertama kali Laksmi membawa cermin itu ke sini. Ada kekuatan yang tidak bisa dijelaskan yang mengikuti setiap orang yang mendekat. Laksmi, dia… dia selalu berubah setelah melihat cermin itu. Seperti kehilangan dirinya sendiri.”

Arka mengamati cermin yang tergeletak di sudut ruangan, terbungkus kain hitam. Retakan yang membelah permukaannya seolah menjadi penghalang antara dua dunia yang berbeda. Ada rasa cemas yang menyelubungi, tetapi juga dorongan yang kuat untuk mengungkap kebenaran.

“Boleh saya melihatnya?” tanya Arka, matanya tak bisa lepas dari cermin itu.

Ibu Agung terlihat ragu, namun akhirnya ia mengangguk, perlahan membuka kain penutup cermin itu. Ketika kain hitam itu tersingkap, seakan ada hawa dingin yang menyelimuti ruangan, dan Arka merasakan kekuatan tak terlihat yang mengalir dari cermin itu. Ia menatap permukaan kaca yang retak, dan untuk sekejap, ia merasakan ada yang mengamati dirinya dari balik bayangan.

“Tolong hati-hati,” kata Ibu Agung dengan suara bergetar. “Ada sesuatu yang sangat gelap di balik cermin itu. Laksmi—dia melihat sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Sejak saat itu, dia berubah. Dia menjadi berbeda.”

Arka menatap Ibu Agung dengan penuh perhatian. “Bagaimana dia berubah?”

Ibu Agung menghela napas lagi, wajahnya penuh kekhawatiran. “Laksmi mulai melamun, seolah terjebak dalam pikirannya sendiri. Dia berbicara tentang hal-hal yang tak masuk akal—tentang bayangan yang bisa bergerak sendiri, tentang dunia lain yang hanya bisa dilihat lewat cermin itu. Dan setiap kali dia mendekati cermin, dia terlihat semakin terperangkap dalam sesuatu yang tidak bisa kami pahami.”

Arka merasa beban yang lebih besar menghimpit dirinya. Cermin ini, yang tampaknya hanya benda biasa, menyimpan kekuatan yang dapat mempengaruhi pikiran dan jiwa orang yang melihatnya. Apakah mungkin ada dunia lain yang tersembunyi di dalamnya? Dan apakah cermin itu benar-benar dapat mengubah seseorang?

Ia mengalihkan perhatiannya ke permukaan cermin itu lagi. Bayangan yang tercermin semakin kabur, seolah-olah cermin itu menampakkan dunia lain yang tidak tampak dengan mata biasa. Arka merasa ada sesuatu yang sedang mengintai di balik retakan itu, menunggu untuk dikeluarkan.

Tanpa sadar, tangannya mendekat ke permukaan kaca. Saat jarinya hampir menyentuhnya, suara ketukan halus terdengar dari pintu. Arka menoleh, terkejut karena tidak ada yang pernah mengetuk pintu rumah ini sebelumnya. Ibu Agung terlihat panik, dan dengan cepat berjalan menuju pintu.

Ketika pintu dibuka, seorang pria muda berdiri di ambang pintu, wajahnya serius dan tampak tertekan. “Apakah ini rumah Ibu Agung?” tanyanya dengan suara tegas, namun ada kecemasan yang jelas terlihat di matanya.

Ibu Agung mengangguk, namun tidak berkata apa-apa. Arka berdiri, memandang pria itu dengan curiga. “Ada apa, Tuan?” tanya Arka, mencoba untuk menjaga jarak.

Pria itu melangkah masuk tanpa banyak bicara. “Saya Laksmi’s teman,” katanya, matanya cepat melirik ke arah cermin. “Ada hal yang harus kalian ketahui. Laksmi—dia hilang.”

Arka dan Ibu Agung saling bertukar pandang. “Hilang?” tanya Ibu Agung, suara yang penuh kecemasan.

“Ya, dia menghilang setelah malam pertama dia melihat cermin itu,” pria itu menjawab, nada suaranya semakin serius. “Saya sudah mencari kemana-mana, tetapi tidak ada jejak. Tetapi saya merasa dia tidak pergi begitu saja. Saya rasa ada sesuatu yang lebih buruk yang terjadi pada dia.”

Arka merasa tubuhnya terhuyung, otaknya mulai bekerja cepat. Laksmi, yang sudah terpengaruh oleh cermin itu, kini menghilang—dan cermin itu, yang sudah memberi petunjuk tentang kekuatan gelap di balik bayangannya, semakin menjadi fokus utama dalam pencariannya.

“Apa yang terjadi pada Laksmi?” tanya Arka, menatap pria itu dengan tajam.

Pria itu menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Dia terjebak di dalam cermin. Saya rasa, dia melihat sesuatu yang tidak seharusnya ada di sana. Cermin itu bukan hanya sekadar benda. Ini adalah portal.”

Arka merasa jantungnya berhenti sejenak. Portal? Sebuah dunia lain yang terkunci di balik kaca retak ini?

“Saya harus menemukan dia,” kata Arka, lebih kepada dirinya sendiri.

Ibu Agung mengangguk pelan. “Mungkin, hanya dengan mengungkap misteri ini, kita bisa membebaskan Laksmi. Tapi Arka, hati-hatilah. Apa yang tersembunyi di balik cermin ini bisa merubah segalanya.”

Arka menatap cermin itu sekali lagi, tekadnya semakin bulat. Apa pun yang ada di balik bayangan itu, ia harus menghadapinya. Untuk Laksmi, untuk dirinya sendiri, dan untuk mengungkap kebenaran yang sudah lama tersembunyi.

Bab 5: Dunia yang Terpecah

Hari itu, Arka kembali ke rumah Ibu Agung dengan tekad yang semakin kuat. Pencariannya semakin mengarah pada satu kesimpulan yang mengerikan: Laksmi tidak hanya menghilang, ia terperangkap dalam dunia yang tidak bisa dijangkau oleh dunia nyata. Cermin itu, yang sebelumnya tampak hanya sebagai benda antik biasa, kini menjadi pusat dari segala peristiwa aneh yang sedang berlangsung.

Langkah Arka terdengar berat di atas lantai kayu rumah yang sudah lapuk, meski ia berusaha untuk tetap tenang. Sebelumnya, pria yang mengaku teman Laksmi, yang kini telah pergi setelah memberikan petunjuk tentang “portal” dalam cermin, semakin menguatkan keyakinannya bahwa ada sesuatu yang lebih gelap sedang terjadi. Tidak ada pilihan lain. Ia harus mencari tahu apa yang terjadi pada Laksmi, dan untuk itu, ia harus menyelami rahasia cermin itu.

Ibu Agung masih di ruang tengah, matanya tampak cemas ketika Arka masuk. “Apakah kamu sudah memutuskan apa yang akan dilakukan, Arka?” tanyanya dengan suara lembut, namun ada ketegangan yang jelas terdengar.

Arka menatap cermin yang terbungkus kain hitam di sudut ruangan. Cermin itu seakan memanggilnya, mengundangnya untuk mengungkapkan misteri yang terkandung di dalamnya. Namun, meskipun rasa ingin tahu semakin menggebu, Arka juga merasakan ketakutan yang semakin mendalam. Cermin itu bukan hanya refleksi dunia, tetapi juga bisa menjadi jebakan yang memenjarakan jiwa.

“Aku harus masuk ke dalamnya,” kata Arka, suara tegasnya menggema di dalam ruangan sepi. “Aku tidak bisa membiarkan Laksmi terjebak begitu saja. Aku harus menemukan cara untuk membebaskannya.”

Ibu Agung menghela napas panjang, matanya penuh keprihatinan. “Itu keputusan yang berbahaya, Arka. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi jika seseorang benar-benar mencoba masuk ke dalam cermin itu. Laksmi mungkin tidak pernah kembali jika kita tidak hati-hati.”

Arka menatap Ibu Agung, mencoba memberi pengertian. “Aku tidak punya pilihan, Bu. Laksmi sudah hilang. Kita tidak bisa hanya diam saja, menunggu sesuatu yang buruk terjadi.”

Perasaan cemas menyelimuti Ibu Agung, namun ia tidak bisa menahan tekad Arka. Dengan ragu, ia mulai melangkah menuju cermin, tangan gemetar membuka kain hitam yang menutupi permukaannya. Saat kain itu terangkat, Arka merasakan hawa dingin yang menembus tubuhnya. Cermin itu, dengan retakan yang membelah permukaannya, seolah menyimpan jurang kosong di dalamnya—jurang yang siap menelan apa pun yang mencoba mendekat.

“Jangan terlalu lama menatapnya, Arka,” kata Ibu Agung dengan peringatan. “Bayangan dalam cermin itu bisa mengubah pikiran dan jiwa. Tidak ada yang bisa keluar utuh.”

Namun, kata-kata itu hanya sebatas peringatan yang semakin memperkuat keputusan Arka. Ia sudah terlalu jauh terjerat dalam misteri ini untuk mundur begitu saja. Dengan napas dalam, ia melangkah maju dan mendekati cermin. Di balik permukaan kaca, bayangan dirinya terlihat samar-samar. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Bayangannya tidak bergerak sesuai dengan gerak tubuhnya. Seakan ada dua sosok yang terekam di sana, dua dunia yang saling berinteraksi.

Tanpa sadar, Arka mengulurkan tangannya, merasakan permukaan cermin yang dingin dan kasar. Saat jarinya menyentuh kaca itu, dunia di sekitarnya bergetar. Ruangan yang semula gelap dan sunyi tiba-tiba terasa seperti berputar. Semua yang ada di sekitarnya mulai mengabur, dan dalam sekejap mata, Arka merasa dirinya terperangkap dalam kekosongan yang tak terdefinisikan.

Dan saat itu juga, cermin itu seperti menghisapnya, menarik tubuh Arka ke dalam dunia lain—dunia yang tak ia kenal.

Arka terjatuh ke tanah yang keras, kepalanya terasa berputar. Ketika ia membuka matanya, ia mendapati dirinya berada di sebuah ruangan yang asing. Suasana di sekitarnya suram, dengan dinding-dinding yang tampak retak dan runtuh. Cahaya yang masuk dari jendela yang rusak membuat bayangan panjang menghiasi setiap sudut. Arka merasakan hawa dingin yang menusuk, seakan dunia ini tidak memiliki kehidupan. Ini adalah dunia yang tidak nyata, tetapi juga bukan dunia yang sepenuhnya asing. Ia berada di tempat yang penuh dengan kenangan—sebuah tempat yang seharusnya tidak ada.

“Laksmi?” Arka memanggil dengan suara gemetar, berharap bahwa jawabannya datang dengan cepat. Namun, hanya keheningan yang menyambutnya. Ruangan itu seakan kosong, meskipun ada sesuatu yang tak terlihat mengintai.

Langkah Arka terdengar berat di lantai yang berderit. Setiap langkahnya terasa seperti menginjak tanah yang rapuh, seakan setiap gerakannya akan memecahkan dunia ini menjadi lebih banyak potongan.

“Laksmi, kamu di mana?” teriaknya lebih keras, rasa putus asa semakin menguasainya. Namun, hanya bayangan-bayangan yang tampak bergerak di antara kegelapan. Bayangan-bayangan yang begitu nyata, tetapi tidak bisa dijangkau.

Lalu, ia mendengar suara bisikan halus, seperti angin yang berbisik di antara dinding-dinding yang rusak. Suara itu membawanya ke sebuah sudut ruangan, di mana sebuah pintu terbuka sedikit, memperlihatkan lorong yang gelap dan panjang.

Arka ragu sejenak, tetapi dorongan untuk menemukan Laksmi lebih kuat. Ia mendekati pintu itu, menahan napas dan merasakan ketegangan yang semakin menekan. Begitu ia membuka pintu, sebuah bayangan melintas cepat, hampir tidak terlihat, hanya meninggalkan rasa dingin yang mencekam.

“Laksmi?” Arka memanggil lagi, suaranya menggema di lorong kosong. Namun, yang terdengar hanya suara teriakan pelan, seolah datang dari kejauhan.

Dengan langkah cepat, Arka memasuki lorong itu. Semakin dalam ia berjalan, semakin sempit dan gelap lorong itu. Suasana semakin menyesakkan, dan Arka merasa seperti ada sesuatu yang mengikuti di belakangnya. Setiap langkah yang ia ambil seolah mengundang bayangan-bayangan gelap yang berputar di sekitarnya. Tanpa disadari, ia mulai kehilangan orientasi, terjebak dalam dunia yang sepertinya terus berubah, tak pernah berhenti berputar.

Tiba-tiba, di ujung lorong, ia melihat sebuah sosok yang tak asing. Laksmi. Namun, sosok itu tampak berbeda—matanya kosong, seolah terperangkap dalam dunia yang tidak bisa ia pahami.

“Laksmi!” teriak Arka, berlari menghampirinya.

Namun, Laksmi hanya menatapnya dengan tatapan kosong, dan tiba-tiba, bayangan di sekeliling mereka berubah menjadi semakin gelap. Arka merasa sesuatu yang tak terlihat menggeram di dalam kegelapan itu, semakin mendekat, menunggu untuk mengambilnya.

Ia tahu, waktu semakin habis. Cermin itu bukan hanya sebuah benda antik—ia adalah gerbang yang menghubungkan dua dunia yang berbeda. Dunia yang terpecah, dan dunia yang sedang terancam hancur.

Bab 6: Di Ambang Kegelapan

Lorong panjang yang gelap itu seolah tak berujung. Arka merasakan setiap langkahnya semakin berat, seiring dengan semakin menipisnya udara di sekitarnya. Dunia yang ia masuki melalui cermin itu bukan hanya dunia lain—ini adalah dunia yang terbelah, penuh dengan kekosongan dan bayangan yang tak bisa dijelaskan. Langkahnya menggema dalam kesunyian yang menyesakkan, dan setiap detik yang berlalu membuatnya merasa semakin terperangkap.

Laksmi, yang berdiri di ujung lorong dengan tatapan kosong, bukanlah Laksmi yang ia kenal. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya—seolah ia tidak lagi sepenuhnya ada dalam dunia ini. Wajahnya pucat, matanya seperti terbelah antara dua dunia yang tak bisa dipahami, dan tubuhnya kaku seperti patung. Arka berlari mendekat, memanggil namanya dengan penuh harapan.

“Laksmi!” teriak Arka, suara yang bergetar karena kecemasan. Namun, Laksmi tidak menjawab. Ia hanya berdiri diam, seakan tidak mendengar panggilan itu, atau mungkin memang tidak lagi mengenali siapa pun.

Begitu Arka hampir sampai di hadapannya, sesuatu yang tak terduga terjadi. Laksmi tiba-tiba bergerak, namun bukan untuk menyambutnya. Sebaliknya, tubuhnya berbalik dengan cepat, dan dalam sekejap, ia melangkah ke belakang, menghilang ke dalam bayang-bayang yang lebih gelap di ujung lorong.

“Laksmi!” teriak Arka sekali lagi, tanpa peduli apakah ada yang mendengarnya. Ia berlari, mengabaikan rasa takut yang mulai menggerogoti jantungnya. Setiap langkah yang ia ambil seakan membawa dirinya semakin jauh dari kenyataan, semakin dalam ke dalam dunia yang tidak ia pahami.

Lorong itu berputar, seolah-olah tidak memiliki akhir. Dinding-dindingnya tampak berubah, retakan-retakan yang sebelumnya tidak ada mulai muncul, memanjang dan menghubungkan ruang yang semakin menyempit. Semua itu terasa seperti ilusi, seperti jebakan yang semakin erat mengurungnya.

Tiba-tiba, sebuah suara halus terdengar dari arah belakangnya. Suara itu tidak bisa dijelaskan, seolah berasal dari dalam dirinya sendiri. Seperti bisikan yang keluar dari kedalaman jiwanya. “Kamu tidak bisa melarikan diri.”

Arka berhenti sejenak, menoleh ke belakang. Di kejauhan, bayangan gelap mulai bergerak perlahan, mengikuti setiap gerakannya. Makin lama, bayangan itu semakin jelas—sebuah sosok yang tampaknya tidak manusiawi, tetapi lebih seperti sesuatu yang terlahir dari kegelapan itu sendiri. Sosok itu hanya diam, tetapi seolah ada kekuatan yang mencekam di sekelilingnya.

Arka merasakan hawa dingin yang semakin mencekam, membekukan setiap sendi tubuhnya. Sosok itu semakin mendekat, dan semakin nyata. Namun, ia tahu bahwa jika ia terus mundur, ia akan terperangkap dalam kegelapan itu selamanya. Ia harus terus maju, harus menemukan Laksmi dan mencari jalan keluar sebelum semuanya terlambat.

Setiap langkah Arka semakin berat, dan semakin dalam ia berjalan, semakin terperangkap perasaan aneh yang menguasai dirinya. Seolah-olah setiap sudut lorong ini adalah bagian dari dirinya sendiri, bagian dari pikirannya yang tersembunyi dan kini terungkap ke permukaan.

Akhirnya, Arka tiba di sebuah pintu besar yang tampak sangat kuno, terbuat dari kayu yang sudah lapuk, namun ada sesuatu yang menahan pintu itu agar tidak terbuka. Di atas pintu itu, terukir simbol yang tidak asing—sebuah cermin dengan retakan yang membelahnya. Arka merasakan perasaan dingin merayap kembali di sepanjang tulangnya, dan suara bisikan kembali terdengar di telinganya.

“Ini adalah tempat terakhir. Tidak ada jalan keluar setelah ini.”

Arka menelan ludah, tetapi hatinya tetap teguh. Ia tidak bisa mundur. Ia harus mengungkap kebenaran tentang cermin itu, tentang apa yang telah terjadi pada Laksmi, dan mengapa dunia ini terpecah begitu dalam. Dengan tangan yang gemetar, ia mengulurkan tangan ke pintu dan mendorongnya.

Pintu itu terbuka dengan suara berderit keras, mengungkapkan sebuah ruang yang luas namun kosong. Di dalamnya, hanya ada satu benda yang tampak menonjol—sebuah cermin besar yang tampaknya tidak tergores oleh waktu. Namun, cermin itu bukan hanya benda biasa. Retakan yang membelah permukaannya kini mengeluarkan cahaya yang menyilaukan, seolah memanggil Arka untuk mendekat.

Di dalam pantulan cermin itu, Arka melihat sosok Laksmi, tetapi bukan Laksmi yang ia kenal. Wajahnya kini dipenuhi dengan bayangan yang kabur, mata yang kosong seolah sedang terperangkap dalam dunia yang berbeda. Laksmi menatapnya, namun tidak ada pengakuan dalam tatapannya—seolah ia tidak lagi mengenali siapa pun.

“Laksmi!” Arka berteriak, matanya penuh harapan dan ketakutan. “Keluarlah! Ini tidak nyata!”

Namun, Laksmi hanya terdiam, dan tiba-tiba bayangan di balik cermin itu mulai bergerak, menciptakan gelombang gelap yang perlahan mengalir keluar dari permukaan kaca. Arka merasa tubuhnya mulai ditarik, seolah ada kekuatan yang luar biasa yang berusaha menyeretnya ke dalam cermin itu.

Ia berjuang, berusaha untuk melepaskan diri dari kekuatan yang semakin kuat itu. Setiap detik yang berlalu membuat tubuhnya semakin berat, dan segala yang ada di sekitarnya semakin gelap. Namun, dalam kegelapan itu, ia mendengar suara Laksmi, meskipun samar-samar.

“Jangan datang ke sini, Arka. Ini bukan tempatmu. Ini… tempat yang terkutuk.”

Suara itu semakin memudar, dan Arka tahu bahwa jika ia tidak segera bertindak, ia akan terperangkap seperti Laksmi. Hanya ada satu cara untuk menyelamatkan dirinya dan Laksmi—ia harus menghancurkan cermin itu.

Dengan segenap tenaga, Arka menarik dirinya mundur, menahan tarikkan yang semakin kuat dari dalam cermin. Ia mencari benda apa saja yang bisa digunakan, dan matanya tertumbuk pada sebuah batu besar yang tergeletak di sudut ruangan. Tanpa ragu, ia meraihnya dan dengan sekuat tenaga, melemparkannya ke arah cermin.

Cermin itu pecah dengan suara keras yang menggema di seluruh ruangan, dan dalam sekejap mata, bayangan-bayangan yang semula bergerak dalam cermin itu menghilang. Namun, Arka tahu bahwa meskipun cermin itu hancur, dunia yang terpecah ini belum selesai. Bayangan gelap itu masih ada, dan ia belum sepenuhnya keluar dari jebakan yang telah dipasang di dalam cermin.

Dengan napas terengah-engah, Arka berbalik, mencari jalan keluar dari dunia yang gelap dan terbelah ini. Namun, ia tahu bahwa apa yang terjadi di sini hanyalah permulaan dari sebuah perjalanan yang jauh lebih berbahaya. Cermin itu mungkin telah hancur, tetapi kegelapan yang ia bebaskan mungkin akan mengejarnya selamanya.

Bab 7: Jejak yang Terhapus

Arka berdiri di tengah ruangan yang gelap, nafasnya masih terengah-engah setelah perjuangan melawan kekuatan yang berasal dari cermin yang hancur. Seketika, segala yang ada di sekitarnya terasa semakin sunyi, seperti dunia ini terputus dari segala sesuatu yang nyata. Meski cermin itu sudah hancur, jejak-jejak kegelapan itu masih terasa menggantung di udara, seperti bayangan yang tak pernah benar-benar hilang.

Dia menatap pecahan kaca yang tersebar di lantai, setiap serpihan mengkilat seperti jendela menuju dunia yang lain. Arka tahu, meskipun ia berhasil keluar dari perangkap cermin, ia belum benar-benar bebas. Sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, kini terlepas dari tempat yang terkunci itu, dan dunia ini terasa semakin berbahaya.

Hatinya berdebar cepat, dan meskipun ia ingin melangkah maju, ia merasa ada sesuatu yang menghalangi. Sesuatu yang lebih dari sekadar ketakutan—sebuah kesadaran akan bahaya yang lebih besar yang sedang mengintainya. Namun, ia tahu ia tidak bisa mundur. Laksmi masih terperangkap, dan ia harus menemukan cara untuk membebaskannya sepenuhnya.

Arka berbalik dan meninggalkan ruangan itu. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat. Lorong yang tadinya panjang dan gelap kini terasa seperti sebuah dunia yang menekan, seakan menyerap setiap energi yang ada di tubuhnya. Meskipun cermin itu telah pecah, kegelapan masih tetap ada. Ia merasa ada sesuatu yang mengikutinya, bergerak di bayangannya, meski tidak ada suara yang terdengar.

Ketika ia tiba kembali di tempat pertama kali ia masuk ke dunia ini, ia melihat sosok Ibu Agung yang berdiri di tengah ruangan, menunggu. Wajahnya tampak tegang, matanya mencerminkan kecemasan yang mendalam.

“Arka…” Suara Ibu Agung terdengar pelan, namun ada kesan urgensi yang jelas. “Kamu baik-baik saja? Apa yang terjadi di sana?”

Arka mengangguk, meski rasa lelah dan ketakutan masih jelas terasa. “Cermin itu bukan hanya pintu masuk ke dunia lain, Bu. Itu adalah gerbang yang menghubungkan dua dunia yang saling terhubung dalam kegelapan. Ada sesuatu yang lebih buruk dari yang kita kira—sesuatu yang terlepas setelah cermin itu hancur.”

Ibu Agung menghela napas panjang, seakan mengerti sepenuhnya apa yang dimaksud Arka. “Aku tahu. Itu adalah salah satu rahasia besar yang selama ini terkubur dalam sejarah. Dunia ini memang terhubung dengan dimensi lain, dan cermin itu adalah salah satu cara untuk mengaksesnya. Tapi ada satu hal yang lebih berbahaya dari yang bisa dibayangkan—ada entitas yang menjaga keseimbangan antara kedua dunia itu. Dan saat cermin itu hancur, mereka akan datang.”

Arka terdiam. Apa yang Ibu Agung katakan semakin menambah beban di pikirannya. Entitas? Kekuatan yang menjaga keseimbangan? Semua ini terasa semakin jauh dari yang bisa ia pahami. Namun, satu hal yang pasti—kegelapan itu semakin mendekat, dan Laksmi masih terjebak di dunia yang tak bisa dijangkau oleh siapa pun.

“Apakah ada cara untuk menghentikan semuanya ini?” tanya Arka dengan suara yang serak. “Aku harus membawa Laksmi kembali, Bu. Dia masih ada di sana.”

Ibu Agung menatapnya dengan tatapan penuh makna. “Kamu harus tahu bahwa jalan ini penuh dengan bahaya. Apa yang terlepas dari cermin itu bukanlah sesuatu yang bisa dihadapi dengan mudah. Kamu mungkin akan kehilangan lebih dari sekadar tubuhmu jika kamu terus melangkah. Tapi jika kamu ingin menyelamatkan Laksmi, kamu harus masuk kembali ke dalam dunia itu.”

Arka menatapnya, seolah mencoba mengerti kata-kata Ibu Agung. Ia tahu betul bahwa ini adalah pilihan yang berbahaya, namun ia juga tahu bahwa ia tidak bisa mundur. Laksmi adalah satu-satunya orang yang masih memiliki hubungan dengan masa lalunya, dan ia tidak akan membiarkan gadis itu terperangkap dalam dunia yang gelap itu selamanya.

“Tolong beri aku petunjuk, Bu,” kata Arka, dengan nada lebih tegas. “Apa yang harus aku lakukan?”

Ibu Agung menghela napas lagi, seolah mengambil keputusan besar dalam hatinya. “Di dunia yang terbelah itu, waktu tidak berjalan seperti di dunia kita. Kamu tidak akan menemukan jalan yang jelas, Arka. Dunia itu penuh dengan ilusi, jebakan, dan pengkhianatan. Laksmi ada di sana, namun dia mungkin sudah berubah. Jangan berharap untuk menemukan dia seperti yang kamu ingat.”

Arka menelan ludah. “Aku akan menghadapi apa pun yang ada di sana. Tidak ada yang lebih penting dari ini.”

Ibu Agung mengangguk pelan, kemudian berjalan ke arah meja kecil di sudut ruangan. Ia membuka sebuah kotak kayu tua yang terlihat sangat tua, hampir terkelupas warnanya. Dari dalam kotak itu, ia mengeluarkan sebuah benda yang tampak biasa, sebuah kalung dengan liontin berbentuk cermin kecil.

“Ini adalah benda yang pernah dimiliki oleh para penjaga dunia ini,” kata Ibu Agung, menyerahkan kalung itu pada Arka. “Kalung ini memiliki kekuatan untuk membuka kembali gerbang dunia yang terpecah, tapi hanya jika kamu benar-benar siap menghadapi apa pun yang ada di sana. Jangan pernah lupakan apa yang telah terjadi. Kamu mungkin akan bertemu dengan orang-orang yang sudah hilang, tapi ingat, mereka bukanlah mereka yang kamu kenal.”

Arka menerima kalung itu dengan tangan gemetar. Ia bisa merasakan getaran aneh dari benda itu, seakan ada kekuatan yang tersembunyi di dalamnya. Ini adalah petunjuk terakhir, dan mungkin satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Laksmi.

Setelah menatap kalung itu sejenak, Arka memutuskan. Ia harus kembali ke dunia yang terbelah, melangkah lebih dalam ke kegelapan yang menunggu. Ia tahu bahaya menanti, tetapi tidak ada jalan lain. Laksmi harus diselamatkan, apapun yang terjadi.

Dengan tekad yang bulat, Arka berbalik dan melangkah menuju pintu, siap untuk kembali ke dalam dunia yang sudah hancur. Dunia yang penuh dengan bayangan, rahasia, dan kekuatan yang tidak bisa dijelaskan. Tetapi di balik semua itu, ada satu harapan yang harus ia pegang—Laksmi, dan kesempatannya untuk membawanya pulang.

Sebuah perjalanan baru dimulai.

Bab 8: Pintu yang Tak Terlihat

Arka menggenggam kalung kecil yang diberikan Ibu Agung dengan erat. Cahaya liontin yang berbentuk cermin kecil itu berpendar samar, seakan memberikan petunjuk tentang jalan yang akan ia tempuh. Meskipun ia merasa ragu, hatinya dipenuhi tekad yang lebih kuat dari sebelumnya. Ia tidak bisa kembali tanpa Laksmi. Ia tidak bisa membiarkan dunia ini terbelah lebih lama lagi, terperangkap dalam bayangan yang terus tumbuh.

Dengan langkah berat, ia mendekati ruang yang dulu menjadi tempat pertemuannya dengan cermin besar. Kali ini, bukan hanya sekadar cermin yang harus ia hadapi—ini adalah dunia yang penuh ilusi, jebakan, dan bahaya yang tak terlihat. Arka merasakan perasaan aneh yang menjalari tubuhnya, seperti ada sesuatu yang mengawasi gerak-geriknya.

Di depan Arka, sebuah pintu besar yang tampak seperti pintu biasa, tetapi dengan aura yang sangat berbeda, menunggu. Pintu itu tidak mencerminkan realitas yang biasa. Bahkan, udara di sekitarnya terasa lebih tebal, seakan ruang itu sendiri menjadi lebih padat.

Arka menatap pintu itu dalam-dalam, merasakan ketegangan yang semakin kuat. Ia tahu ini adalah jalan yang tidak bisa ia mundur dari—jalan yang hanya akan membawanya lebih dalam ke dunia yang tak bisa ia pahami. Namun, di balik semua ketakutan itu, ada satu hal yang pasti. Laksmi masih ada di sana, terperangkap, menunggu.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Arka meraih gagang pintu. Ketika ia menyentuhnya, sebuah sensasi dingin merayapi kulitnya, dan suara bisikan halus terdengar di telinganya. “Kamu tidak akan pernah kembali… jangan buka pintu itu.”

Bisikan itu menghilang begitu cepat, seakan tak ada, tetapi Arka merasakannya—ada ancaman yang tersembunyi di balik kata-kata itu. Namun, ia tahu jika ia berhenti sekarang, semua yang telah ia perjuangkan akan sia-sia. Ia harus membuka pintu itu, apapun yang akan terjadi.

Dengan satu dorongan kuat, pintu itu terbuka. Namun, apa yang ia temui di baliknya jauh dari yang ia bayangkan. Sebuah dunia yang begitu asing, seperti sebuah ruang yang terdistorsi—semua warna dan bentuknya terbalik, seakan waktu dan ruang tidak lagi memiliki makna. Seperti melangkah ke dalam mimpi buruk yang tidak ada ujungnya.

Arka melangkah masuk, kalung yang ia pegang mengeluarkan cahaya lembut, menerangi langkahnya. Setiap gerakannya terasa seolah diatur oleh hukum yang berbeda, di dunia yang tak lagi mengikuti aturan normal. Langit di atasnya tampak terbalik, dengan awan-awan gelap berputar seperti pusaran air. Tanah yang ia injak terasa lembut, namun tidak nyata. Ada rasa takut yang menggerayangi hatinya, tetapi ia menekan perasaan itu.

Laksmi—apakah ia benar-benar ada di sini? Arka memanggil namanya pelan, tetapi suara yang ia hasilkan terbungkam oleh kegilaan dunia ini. Tidak ada jawaban. Tidak ada suara lain selain angin yang berdesir pelan di antara bayangan yang bergerak di sekitar.

Sebuah suara terdengar lagi, kali ini lebih jelas. Seperti gema yang datang dari jauh, namun ia bisa merasakannya di dalam hatinya. “Arka…” suara itu memanggil, lembut namun penuh keputusasaan. Suara itu adalah suara Laksmi, tapi ada sesuatu yang aneh dalam cara ia berbicara. Suara itu terdengar seperti terjebak, terhalang oleh sesuatu yang lebih besar, lebih gelap.

Arka berjalan lebih cepat, mencoba mencari sumber suara itu. Semakin ia melangkah, semakin aneh dunia ini menjadi. Beberapa langkah di depannya, bayangan bergerak, membentuk sosok-sosok yang tidak bisa ia kenali. Mereka tidak berbentuk manusia, hanya bayangan kabur yang tampak mengamati dengan tatapan yang penuh arti. Mereka tidak bergerak, tetapi mata mereka mengikutinya dengan tajam.

Tiba-tiba, sebuah sosok muncul di hadapannya—Laksmi. Namun, Laksmi yang ia lihat bukanlah gadis yang ia kenal. Wajahnya tampak pucat, matanya kosong, seolah tidak ada jiwa yang mengisi tubuh itu. Tubuhnya berdiri tegak, namun ada sesuatu yang tidak wajar, seolah ia terjebak dalam dunia yang tidak bisa ia keluar.

“Laksmi!” teriak Arka, suaranya penuh dengan harapan yang hampir hilang. “Apa yang terjadi padamu? Kamu harus kembali, ini bukan tempatmu!”

Namun, Laksmi tidak menjawab. Ia hanya berdiri diam, menatap Arka dengan tatapan kosong, tidak bergerak sedikit pun. Ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk berkomunikasi, seolah-olah dunia ini telah memisahkan mereka.

Tiba-tiba, bayangan yang mengelilingi mereka bergerak. Dari balik kegelapan, sosok-sosok lain mulai muncul. Mereka bukanlah manusia—mereka adalah sesuatu yang lebih menakutkan, entitas yang terlahir dari kegelapan itu sendiri. Mereka bergerak perlahan, mendekati Arka dan Laksmi, dengan tatapan kosong yang mengerikan.

Arka merasa ada kekuatan yang lebih besar yang sedang mengontrol semuanya—sesuatu yang tidak bisa ia lawan dengan kekuatannya sendiri. Ia harus cepat bertindak, tapi apa yang bisa ia lakukan melawan bayangan-bayangan ini?

Dengan kalung yang masih menyala di tangannya, Arka berteriak, “Laksmi, bangunlah! Kita harus keluar dari sini!”

Namun, tidak ada jawaban. Hanya bayangan gelap yang semakin mendekat, seakan siap untuk menelan mereka berdua. Arka merasakan tubuhnya mulai terhimpit oleh kekuatan yang tak terlihat, seolah dunia ini mencoba untuk menelannya.

Ia tahu satu hal—jika ia tidak segera bertindak, dunia ini akan menghisapnya dan Laksmi selamanya, menghapus jejak mereka dari keberadaan. Dunia yang terpecah ini tidak bisa dibiarkan terus berkembang. Ada sesuatu yang harus dihentikan. Arka mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya, menatap bayangan-bayangan itu, dan bersiap untuk menghadapi apapun yang datang.

Semua yang ia ketahui tentang dunia ini, tentang kegelapan yang terlepas dari cermin itu, kini berada dalam genggamannya. Ia harus melawan, harus bertahan, jika ia ingin menyelamatkan Laksmi dan mengembalikan dunia ini ke tempat yang seharusnya.

Bab 9: Cermin yang Pecah

Arka berdiri di tengah kegelapan yang mencekam, tubuhnya terasa kaku oleh ketakutan yang merayapi setiap bagian dari dirinya. Namun, di balik ketakutan itu, ada satu hal yang memotong kebimbangan—tekad yang kuat untuk menyelamatkan Laksmi. Dunia ini telah berubah, dan dengan setiap langkahnya, Arka semakin menyadari bahwa ia bukan hanya bertarung untuk menyelamatkan seorang teman, tetapi untuk mengembalikan keseimbangan dunia yang terpecah.

Sosok-sosok bayangan yang mengelilinginya semakin mendekat, mata mereka kosong dan penuh keputusasaan, namun tetap memancarkan ancaman yang menakutkan. Setiap langkah yang mereka ambil seakan menghancurkan kedamaian yang tersisa. Arka menahan nafas, berusaha untuk tetap tenang meskipun semua rasa takut di dalam dirinya berusaha mengambil alih.

Laksmi masih berdiri diam di depannya. Wajahnya yang pucat dan kosong itu memantulkan cahaya kalung yang ia pegang, tetapi tidak ada reaksi. Arka merasa ada kekuatan gelap yang menguasai tubuh Laksmi, seolah ia terperangkap dalam dunia yang tak pernah ia pilih.

“Saat ini bukanlah waktu untuk ragu,” bisik Arka pada dirinya sendiri. “Aku harus mengeluarkan Laksmi dari sini, atau semuanya akan sia-sia.”

Tanpa pikir panjang, Arka mengangkat kalung itu di depan Laksmi, berharap bisa mengembalikan sedikit dari cahaya yang hilang. Tetapi, bukannya memberikan harapan, kalung itu justru berpendar lebih terang, seakan menyedot kekuatan dari dunia ini. Cahaya yang keluar dari liontin itu tidak hanya menerangi sekeliling mereka, tetapi juga memperkuat bayangan yang semakin mendekat.

“Kamu tidak akan pernah bisa membebaskannya,” suara yang dalam dan berat itu bergema, datang dari arah kegelapan. “Dia sudah menjadi bagian dari dunia ini. Dan kamu? Kamu hanya seorang pengganggu.”

Arka menoleh, berusaha mencari sumber suara itu. Di antara bayangannya, sebuah sosok muncul, melangkah perlahan keluar dari kegelapan. Sosok itu mengenakan jubah hitam yang berkilau, wajahnya tertutup oleh topeng, namun dari celah di antara topeng dan jubah, mata yang merah menyala menatap tajam ke arah Arka.

Siapakah dia? Arka bertanya-tanya. Tapi, sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, suara itu berbicara lagi, lebih dalam, lebih menghantui.

“Ini adalah dunia yang terpecah, Arka. Dunia yang sudah lama tidak bisa dipulihkan. Kamu tidak bisa membawa Laksmi kembali. Dia milik kami sekarang.”

Sosok itu melangkah lebih dekat, dan Arka merasakan hawa dingin yang menusuk. Tanpa disadari, tubuhnya mulai terasa semakin berat, seolah dunia ini mengekangnya dengan kekuatan yang tak terlihat.

“Tidak!” teriak Arka, mencoba mengatasi rasa takut yang mulai merayapi dirinya. “Aku akan membawa Laksmi kembali, dan aku akan menghentikanmu.”

Sosok itu tertawa pelan, suara tawanya menggema di seluruh dunia yang terdistorsi ini. “Kamu masih berpikir kamu bisa menghentikan kami? Kami adalah bagian dari kegelapan yang ada sejak dunia ini pertama kali tercipta. Kami tidak bisa dihentikan.”

Arka merasakan semakin kuatnya tekanan dari bayangan-bayangan yang mengelilinginya. Namun, dalam hatinya, ada satu pikiran yang menguatkan langkahnya—keinginan untuk tidak menyerah. Ia tahu, jika ia menyerah sekarang, maka dunia ini akan benar-benar hancur, dan Laksmi akan hilang selamanya.

Arka mengangkat tangan, memegang kalung itu lebih erat, dan mencoba menyalurkan seluruh kekuatannya melalui liontin kecil yang tampaknya begitu biasa. “Aku tidak akan menyerah. Dunia ini harus diselamatkan!”

Cahaya dari kalung itu tiba-tiba memancar lebih terang, dan dalam sekejap, seluruh dunia sekitar mereka berubah. Bayangan-bayangan itu berlarian menghindar dari cahaya yang semakin kuat, terpekik kesakitan saat cahaya itu menyentuh mereka. Namun, sosok yang mengenakan jubah hitam itu tetap berdiri tegak, tidak terpengaruh sedikit pun oleh kekuatan cahaya itu.

“Kamu benar-benar ingin melawan kami?” tanya sosok itu dengan suara yang penuh ejekan. “Kamu masih bisa merasakan bahwa dunia ini telah terpecah, Arka. Setiap tindakanmu, setiap langkah yang kamu ambil, hanya memperburuk keadaan.”

Arka tidak menjawab. Ia tahu bahwa kata-kata tidak akan bisa menghentikan sosok itu. Hanya satu cara yang bisa ia lakukan—berjuang dengan segala yang ia miliki. Dengan segenap kekuatan yang tersisa, Arka menatap Laksmi yang masih terperangkap di tengah dunia yang terpecah ini, dan merasakan tekadnya semakin kuat.

“Ini bukan hanya tentang kita, Laksmi,” bisik Arka pelan, hampir tidak terdengar. “Ini adalah tentang seluruh dunia ini. Kita harus bersama, keluar dari kegelapan ini.”

Dengan satu tarikan napas dalam, Arka melangkah maju, kalung yang bersinar terang di tangannya. Ia tahu, ini adalah momen yang menentukan. Sekarang, atau tidak sama sekali.

Ketika ia melangkah lebih dekat ke sosok itu, sesuatu yang aneh terjadi—sebuah retakan muncul di udara, dan dunia di sekitar mereka mulai bergetar. Cermin besar yang dulu menjadi pintu gerbang dunia ini muncul kembali, hancur, tetapi tampaknya sedang memperbaiki dirinya sendiri.

Arka tidak menyia-nyiakan waktu. Ia melompat maju, melemparkan kalung itu ke dalam retakan yang semakin membesar. Dengan suara gemuruh yang memekakkan telinga, cahaya yang datang dari kalung itu memenuhi seluruh ruang. Bayangan-bayangan itu terhimpit, hilang satu per satu, dan sosok berjubah hitam itu pun terguncang, hampir jatuh.

Namun, sebelum Arka bisa menyelesaikan langkahnya, sebuah tangan besar muncul dari dalam retakan, menggenggam kalung itu dengan kekuatan yang luar biasa. Semua cahaya yang terpancar segera meredup, dan dunia ini kembali menjadi gelap.

“Ini belum selesai, Arka,” suara yang berat dan mengancam itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat dan lebih mengerikan.

Arka merasakan dunia ini kembali terperangkap dalam bayangan yang tak bisa ia hindari. Namun, dengan keyakinan baru, ia tahu satu hal—ia tidak akan mundur. Sebab, ini adalah pertempuran terakhirnya, dan ia akan bertarung sampai akhir.

Bab 10: Retakan yang Memisahkan

Dunia di sekitar Arka tampak seperti menggigil, gempa kecil yang terasa di seluruh tubuhnya. Udara yang tebal dan dingin mengelilinginya, membawa rasa tercekik yang semakin kuat. Kalung yang ada di tangannya berpendar semakin redup, seolah menyerap seluruh kekuatan yang dimilikinya. Semua yang ada di sekitar Arka terasa semakin jauh, seakan terpisah oleh tirai gelap yang tak terlihat.

Dengan tangan yang gemetar, Arka menatap retakan besar yang menganga di depan matanya. Dunia ini semakin terbelah, seolah satu-satunya pemisah antara dimensi ini dan dunia lain adalah keretakan itu. Sebuah pintu yang menghubungkan dua dunia yang sudah hampir hancur.

“Laksmi…” Arka berbisik, suaranya terhimpit oleh tekanan yang begitu kuat. Ia bisa merasakan keberadaannya, meski tubuhnya seperti tak mampu bergerak. Dalam keheningan yang menggantung di udara, Arka merasa bahwa sesuatu yang lebih besar sedang mengamati mereka, mengawasi setiap gerakan dengan ketelitian yang menakutkan.

Sekitar mereka, bayangan-bayangan gelap kembali muncul, bergerak dengan lincah, seakan mengikuti setiap langkah Arka. Tidak ada wajah, hanya mata yang menyala merah, memandang tajam seakan menunggu momen yang tepat untuk menyerang. Arka bisa merasakan mereka, lebih dekat dari sebelumnya, lebih berbahaya.

“Sial,” Arka menggeram, menatap kalung yang kini hampir padam. Jika ia tidak bertindak segera, semuanya akan hilang. Bahkan Laksmi, yang terperangkap dalam dunia yang terpecah ini, mungkin akan hilang selamanya. Semua yang ia perjuangkan, perjalanan yang telah ditempuh, akan sia-sia.

Tiba-tiba, sosok berjubah hitam itu muncul kembali, kali ini lebih dekat dan lebih menakutkan. Senyumnya yang terbalut di balik topengnya tampak semakin sinis, seperti tahu bahwa Arka berada di ujung kekalahannya.

“Apakah kamu masih berharap bisa mengalahkan kami, Arka?” suara itu menggema, membelah kesunyian yang mencekam. “Kamu memang berani, tapi berani bukan berarti cukup kuat. Dunia ini sudah terkunci, dan kamu hanyalah pengganggu.”

Arka menggigit bibir, mencoba menahan ketakutan yang mendorongnya untuk mundur. Dia tidak bisa mundur sekarang. Tidak setelah sejauh ini.

“Ini belum selesai,” jawab Arka dengan suara yang lebih keras, menatap tajam sosok itu. “Aku akan menghentikanmu, meski aku harus mengorbankan segalanya.”

Sosok itu tertawa pelan, suaranya penuh penghinaan. “Kamu tidak mengerti, Arka. Cermin itu adalah penghubung antara dunia kita, dan sekarang kamu malah menghancurkannya. Kamu mengganggu keseimbangan yang sudah ada ribuan tahun. Dunia ini harus terpecah, karena hanya dengan cara inilah kami bisa menguasainya.”

Di balik kata-kata itu, Arka merasakan sesuatu yang sangat menakutkan—bahwa kegelapan yang mengelilinginya bukanlah sesuatu yang bisa dihentikan dengan kekuatan biasa. Ini lebih besar dari sekadar entitas yang bersembunyi di dalam dunia yang terpecah. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih tua, yang menjaga keseimbangan antara dunia nyata dan dunia yang gelap ini.

“Semuanya akan berakhir,” sosok itu melanjutkan, menatap Arka dengan mata merah yang menyala. “Ini adalah takdirmu, Arka. Kamu dan Laksmi adalah bagian dari rencana yang lebih besar. Kalian berdua tidak akan bisa melarikan diri.”

“Tidak! Aku tidak akan menjadi bagian dari permainanmu,” teriak Arka, berlari menuju retakan besar yang terbuka di depan matanya. Dengan satu gerakan cepat, ia melemparkan kalung itu kembali ke dalam retakan. Cahaya dari liontin itu menyala lebih terang dari sebelumnya, membentuk lingkaran cahaya yang menyelimuti seluruh ruang di sekitar mereka.

Namun, ketika cahaya itu menyentuh retakan, sesuatu yang lebih kuat, lebih gelap, muncul. Bayangan besar, hitam pekat, keluar dari retakan, merayap perlahan ke luar seperti sosok yang ingin menelan semuanya. Arka merasa tubuhnya mulai terangkat oleh kekuatan yang sangat besar, seolah gravitasi dunia ini tidak lagi berlaku.

“Ini… apa?” Arka bergumam, merasa tercekik oleh kekuatan yang tak terjangkau akal. “Apa yang sedang terjadi?”

Sosok berjubah hitam itu hanya tersenyum, senyum yang penuh kepuasan. “Inilah yang kami tunggu. Ini adalah akhir dari dunia ini. Kami akan kembali, Arka, dan kalian… kalian akan menjadi bagian dari dunia yang baru.”

Namun, sebelum Arka bisa merespon, sebuah suara melengking keluar dari dalam bayangan yang muncul—suara yang sangat familiar, suara Laksmi. “Arka! Tolong aku!”

Suara itu begitu jelas, menggema dalam hatinya. Laksmi… dia masih ada. Hanya satu langkah lagi untuk menyelamatkannya, hanya satu kesempatan terakhir.

Arka berusaha meraih kalung itu, berjuang keras melawan kekuatan yang semakin kuat. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia melompat ke dalam retakan, membawa kalung itu bersama dirinya. Cahaya kalung yang menyala terang akhirnya meledak, memecah kegelapan yang menyelimuti dunia ini.

Dan di saat yang sama, suara Laksmi terdengar lagi, kali ini lebih dekat, lebih nyata. “Arka… Aku di sini… Tolong aku!”

Cahaya dari kalung itu akhirnya menerobos kegelapan, menciptakan sebuah ledakan besar yang mengguncang seluruh dunia terpecah ini. Arka merasa tubuhnya dihentak, tubuhnya terlempar ke udara, dan semua yang ada di sekitarnya mulai pecah, retakan semakin melebar, menelan segala sesuatu yang ada di sekelilingnya.

Namun, sebelum semuanya benar-benar hancur, Arka merasakan sebuah tangan memegangnya. Tangan itu lembut, tetapi penuh dengan kekuatan yang membimbingnya. Laksmi. Ia berhasil menemukan Laksmi.

“Ayo, kita keluar dari sini!” teriak Arka, meraih tangan Laksmi dengan erat.

Mereka berdua melangkah bersama menuju cahaya yang semakin membesar, keluar dari dunia yang terpecah ini. Dunia yang telah lama terkunci dalam kegelapan. Sebuah langkah terakhir menuju kebebasan yang tak pernah mereka bayangkan.

Bab 11: Bayangan yang Mengikuti

Arka dan Laksmi akhirnya berhasil keluar dari dunia yang terpecah itu. Namun, meski mereka telah melangkah keluar, ketenangan yang mereka harapkan tidak datang begitu saja. Dunia yang mereka kenal tampak berbeda. Udara di sekitar mereka terasa lebih dingin, dan suasana yang biasanya hidup kini terasa sunyi, seolah ada sesuatu yang hilang dari tempat yang biasa mereka sebut rumah.

Mereka berdiri di tengah sebuah lapangan terbuka yang sunyi, dengan langit kelabu yang tampak tidak berpihak. Angin berhembus perlahan, namun tidak ada tanda-tanda kehidupan di sekitar mereka. Tanah di bawah kaki mereka terasa keras, seolah-olah dunia ini telah berubah menjadi keras dan tidak ramah. Dunia yang mereka tinggalkan masih terbayang jelas di benak mereka, tetapi dunia yang mereka hadapi sekarang terasa lebih asing dan lebih menakutkan.

Laksmi menggenggam tangan Arka dengan erat, matanya yang sebelumnya kosong kini mulai menunjukkan kehidupan kembali. Namun, meskipun mereka bebas dari dunia yang terpecah itu, ada sesuatu yang mengganjal di hati Arka. Sesuatu yang masih membayangi mereka, sesuatu yang belum selesai.

“Apakah kita benar-benar keluar, Arka?” tanya Laksmi pelan, suaranya penuh dengan kebingungannya sendiri.

Arka menatap sekeliling, mencoba mencari petunjuk yang bisa meyakinkannya bahwa mereka benar-benar berada di dunia yang mereka kenal. Tapi, semakin ia memerhatikan, semakin ia merasa ada yang salah. “Aku rasa, kita belum sepenuhnya keluar,” jawabnya, suaranya penuh keraguan.

Tidak jauh dari tempat mereka berdiri, Arka melihat sesuatu yang aneh. Sebuah bayangan bergerak cepat di antara pepohonan yang mengelilingi lapangan itu. Bayangan itu seakan menyusup ke dalam kegelapan, menghilang begitu saja sebelum Arka sempat memastikan apa yang ia lihat.

“Laksmi,” bisik Arka, “kita tidak sendiri.”

Laksmi menatapnya dengan cemas. “Apa itu? Apa yang kita hadapi?”

Arka menghela napas, berusaha menenangkan dirinya. “Aku tidak tahu. Tapi aku merasa kita masih berada di bawah pengaruh dunia yang kita tinggalkan. Ada sesuatu yang mengikuti kita.”

Bayangan itu kembali muncul, kali ini lebih jelas, lebih nyata. Arka merasa ada sesuatu yang mengawasi mereka, seolah setiap langkah mereka dipantau oleh mata yang tidak terlihat. Suasana semakin mencekam, dan setiap suara di sekitar mereka terdengar seperti gema yang tak berujung.

“Tunggu,” kata Arka dengan suara pelan, matanya tetap fokus pada bayangan yang semakin mendekat. “Kita harus hati-hati.”

Laksmi memegang tangan Arka lebih erat, merasa takut akan hal yang tidak bisa mereka lihat, tetapi bisa mereka rasakan. “Apa yang akan kita lakukan sekarang?”

“Saatnya kita hadapi itu,” jawab Arka, bertekad untuk tidak mundur lagi. “Kita sudah keluar dari dunia itu, tapi aku rasa, dunia itu belum sepenuhnya meninggalkan kita.”

Bayangan itu kini bergerak lebih cepat, meluncur di antara pepohonan dengan kecepatan yang luar biasa. Arka dan Laksmi tidak bisa lagi bersembunyi dari itu. Bayangan itu datang dengan tujuan yang jelas—mereka, Arka dan Laksmi, adalah sasaran.

Dengan kecepatan yang memuncak, bayangan itu tiba-tiba menembus langit, muncul di atas mereka dengan bentuk yang tidak bisa dijelaskan. Sosok itu terlihat seakan terbuat dari kabut hitam, dengan mata yang menyala merah menyala. Sosok itu mengarah langsung ke mereka, dan Arka bisa merasakan hawa dingin yang merayapi tubuhnya. Terlalu cepat untuk dihindari, terlalu kuat untuk dilawan.

“Laksmi, kita harus melawan!” seru Arka, meraih kalung yang masih menggantung di lehernya, berharap bisa menemukan cara untuk mengalahkan bayangan itu. Cahaya kalung itu kembali bersinar terang, meskipun hanya sedikit, seolah memberikan mereka sedikit harapan.

Namun, sosok itu tidak terpengaruh oleh cahaya itu. Dengan gerakan yang lebih cepat dari yang bisa Arka bayangkan, sosok itu menabrak mereka berdua, menghempaskan mereka ke tanah dengan kekuatan yang luar biasa. Arka merasakan tubuhnya terhantam keras, tetapi ia berusaha bangkit dengan cepat, mencoba menyelamatkan Laksmi.

“Laksmi!” teriak Arka, melihat Laksmi terkapar di tanah. Cahaya dari kalung itu mulai meredup, seolah terhisap oleh kekuatan gelap yang datang dari sosok itu. Arka bisa merasakan dunia ini kembali dihimpit oleh kegelapan yang tak terlihat, dan ia tahu—ini bukan hanya tentang menyelamatkan dirinya sendiri. Dunia yang mereka tinggalkan itu masih ada, dan bayangan itu adalah manifestasi dari kekuatan gelap yang terus mengejar mereka.

Dengan kekuatan yang tersisa, Arka bangkit dan berlari ke arah Laksmi. Ia meraih tangan gadis itu dan menariknya ke arah dirinya. “Kita tidak bisa berhenti, Laksmi. Kita harus melawan ini, apapun yang terjadi!”

Namun, sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, bayangan itu kembali menyerang, menembus ruang di sekitar mereka, dan membungkus tubuh mereka dalam kegelapan yang tak terbayangkan. Arka merasakan dirinya hampir terperangkap, dan Laksmi, yang masih lemah, menggenggam tangannya dengan takut.

Tapi Arka tidak akan menyerah. Ia tahu, jika mereka tidak melawan sekarang, dunia ini akan terperangkap dalam bayangan selamanya.

Dengan sisa kekuatan yang ada, Arka mengangkat kalung itu sekali lagi, dan cahaya yang keluar darinya membentuk sebuah lingkaran perlindungan di sekitar mereka. Bayangan itu meronta, tetapi tetap saja, bayangan itu terlalu kuat. Arka tahu mereka membutuhkan lebih banyak kekuatan, lebih banyak harapan, untuk menghentikan bayangan itu sekali dan untuk selamanya.

“Kita tidak akan kalah,” Arka berbisik pada dirinya sendiri. “Dunia ini masih punya harapan. Kita masih punya harapan.”

Bab 12: Kegelapan yang Menjalar

Arka merasakan tubuhnya terhuyung ketika bayangan itu semakin mendekat, seperti gelombang gelap yang siap menelan segala sesuatu. Cahaya dari kalung yang ia genggam semakin pudar, seolah tak sanggup lagi bertahan melawan kekuatan gelap yang datang dari dalam bayangan tersebut. Setiap detik terasa seperti jam, dan di balik rasa takut yang semakin dalam, ada satu hal yang jelas di dalam benaknya—ia dan Laksmi tidak bisa mundur. Dunia ini, yang kini terancam, harus diselamatkan.

“Laksmi, pegang erat kalung ini!” perintah Arka, suaranya tegas meski ada ketegangan yang mengguncang hatinya. Ia meraih tangan Laksmi, menyuruhnya menggenggam kalung itu yang mulai memancarkan cahaya remang-remang. Mereka harus bertahan, mereka harus mencari cara untuk melawan.

Laksmi hanya mengangguk, matanya tampak penuh ketakutan, tetapi di balik ketakutannya, ia menyadari betul bahwa Arka adalah satu-satunya orang yang bisa membimbingnya keluar dari situasi ini. Tanpa ragu, Laksmi menggenggam kalung itu dengan segenap kekuatan, berusaha memberikan sedikit tenaga yang ia miliki.

Namun, bayangan itu tidak berhenti mendekat. Sosok hitam pekat yang tampak tidak berbentuk itu bergerak dengan kecepatan yang mematikan. Arka bisa merasakan setiap langkahnya terasa semakin berat, tubuhnya dipenuhi rasa dingin yang membekukan, seolah kekuatan dari bayangan itu menyerap segalanya, termasuk keberanian yang sempat ada dalam dirinya.

Tiba-tiba, bayangan itu berhenti, seakan menilai Arka dan Laksmi dengan tatapan kosong yang mengerikan. “Kalian tidak akan bisa mengalahkan kami,” suara itu terdengar rendah dan berat, namun mengandung ancaman yang sangat nyata. “Dunia ini sudah tak ada harapan lagi. Semuanya akan terpecah, termasuk kalian.”

Arka tidak mengizinkan dirinya terhanyut dalam kata-kata itu. Dalam kekalutan yang hampir menyelimuti dirinya, satu hal yang masih mampu ia pikirkan adalah bagaimana cara menghadapi bayangan itu—bagaimana bisa keluar dari kegelapan yang semakin menjalar ini.

“Tidak,” jawab Arka dengan suara yang lebih tegas dari yang ia kira. “Kami tidak akan menyerah. Kalian yang sudah terperangkap dalam bayangan ini, bukan kami.”

Kalung yang digenggam Laksmi mulai bersinar lebih terang, dan Arka merasa ada kekuatan yang kembali muncul, sedikit demi sedikit. Namun, ia tahu bahwa cahaya itu tidak akan cukup lama bertahan jika mereka tidak menemukan cara untuk memecahkan kutukan yang mengikat dunia ini.

“Sekarang, atau tidak sama sekali,” bisik Arka pada dirinya sendiri. Ia menatap bayangan itu dengan mata yang penuh tekad. “Jika kau menginginkan dunia ini hancur, aku akan mengalahkanmu.”

Bayangan itu tertawa. Suaranya seperti gelombang ombak yang menghantam karang—terdengar begitu berat dan menakutkan. “Keberanianmu terlalu kecil, Arka. Kau berpikir hanya dengan cahaya ini kau bisa mengalahkan kami? Kami adalah bagian dari dunia yang terpecah ini, dan kami akan tetap ada.”

Dengan satu gerakan yang cepat, bayangan itu bergerak menghampiri mereka. Arka dan Laksmi tidak punya banyak waktu. Segala sesuatu terasa begitu cepat. Dalam kegelapan itu, mereka seperti terperangkap dalam ruang yang tak berujung.

“Laksmi, ambil kalung itu!” Arka berteriak, menyadari bahwa satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan memusatkan semua energi mereka ke dalam kalung tersebut. Kalung itu adalah satu-satunya benda yang tersisa yang bisa menghancurkan bayangan ini.

Laksmi menggenggam kalung itu erat-erat. Cahaya yang memancar dari kalung semakin terang, melawan kegelapan yang semakin menyelimuti mereka. Arka merasakan bahwa mereka semakin dekat dengan titik puncak—saat yang menentukan. Dengan sekuat tenaga, Laksmi memejamkan mata dan memusatkan seluruh perhatian ke dalam kalung yang bersinar terang.

Tiba-tiba, cahaya yang memancar dari kalung itu membesar, mengelilingi tubuh mereka berdua. Bayangan itu terhenti sejenak, terperangkap dalam pusaran cahaya yang semakin besar. Arka bisa merasakan getaran yang kuat di dalam tubuhnya. “Sekarang, Laksmi!” teriak Arka, hampir putus asa. “Kita bisa melakukannya!”

Laksmi membuka matanya, dan dalam sekejap, ia mengangkat kalung itu lebih tinggi, mengarahkannya langsung ke bayangan yang semakin mendekat. Dalam kilatan cahaya yang luar biasa, bayangan itu terpecah, tubuhnya bergetar dan hancur, seolah-olah sedang dihancurkan oleh cahaya yang lebih kuat daripada apapun yang pernah ada.

Namun, sebelum bayangan itu hancur sepenuhnya, suara yang dalam dan bergetar kembali terdengar. “Kalian tidak akan pernah benar-benar bisa menghancurkan kami,” bisik suara itu, seolah berasal dari kedalaman bumi. “Kami akan selalu kembali. Kegelapan tidak akan pernah benar-benar pergi.”

Cahaya dari kalung itu meledak, dan dalam sekejap, bayangan itu hilang begitu saja, terhapus oleh kilatan yang begitu terang. Dunia yang terpecah itu mulai kembali menyatu, meskipun tidak sepenuhnya sempurna. Namun, mereka telah berhasil. Kegelapan yang mengancam dunia ini akhirnya terkalahkan, setidaknya untuk sementara.

Arka dan Laksmi berdiri dalam keheningan, saling memandang dengan napas yang terengah-engah. Mereka tahu bahwa mereka telah melewati ujian yang sangat berat. Dunia ini, meskipun belum pulih sepenuhnya, masih memiliki harapan.

“Kita berhasil,” kata Laksmi pelan, matanya yang biasanya penuh ketakutan kini memancarkan kedamaian.

Arka mengangguk, meskipun hatinya masih penuh dengan tanda tanya. “Tapi ini belum berakhir. Kita harus memastikan dunia ini tetap aman.”

Mereka berdua saling berpandangan, menyadari bahwa meskipun kemenangan ini penting, perjalanan mereka belum selesai. Dunia yang telah terpecah ini masih memerlukan perlindungan mereka. Dan di belakang mereka, bayangan yang hancur mungkin saja akan kembali suatu saat nanti. Tapi untuk sekarang, mereka telah mengalahkan kegelapan, dan itu cukup untuk memberi mereka harapan.

Akhirnya, langkah pertama menuju pembebasan dimulai.

Bab 13: Ketika Bayangan Kembali

Sebuah angin sepoi-sepoi menerpa wajah Arka, menyadarkan dirinya dari kebingungannya. Dunia yang kini mereka pijak tidak lagi terasa sama. Keheningan yang menggantung di udara memberikan rasa sunyi yang luar biasa, namun tidak ada ketenangan di dalamnya. Hati Arka berdegup kencang, rasa cemas yang tak bisa ia hindari mengalir dalam pembuluh darahnya. Mereka baru saja mengalahkan bayangan itu, tapi entah mengapa, ia merasa seperti ada yang tertinggal, ada yang belum selesai.

Laksmi berdiri di sampingnya, matanya yang semula penuh ketakutan kini menunjukkan keteguhan. Meski demikian, Arka bisa melihat ketegangan yang sama di wajahnya. Mereka berdua tahu bahwa kemenangan mereka atas kegelapan bukanlah akhir dari perjalanan ini, melainkan permulaan dari sebuah ancaman yang lebih besar.

“Arka,” suara Laksmi pecah, “apakah kita benar-benar aman sekarang? Aku merasa… ada yang salah.”

Arka menatap langit yang kini mulai berwarna abu-abu, tanda-tanda malam semakin mendekat. “Aku juga merasa begitu, Laksmi. Seperti ada sesuatu yang belum selesai. Sesuatu yang jauh lebih besar dari apa yang baru saja kita hadapi.”

Bayangan yang mereka hadapi sebelumnya, meski telah terpecah, bukanlah entitas yang mudah hilang. Arka tahu, dunia yang mereka tinggalkan memiliki rahasia yang lebih gelap, kekuatan yang tak bisa dihancurkan dengan hanya sebuah pertarungan. Sesuatu yang terpendam dalam kegelapan itu akan kembali, mungkin bukan dalam bentuk yang sama, tetapi dengan cara yang lebih mengancam.

Mereka melangkah perlahan menuju jalan setapak yang terbuka di hadapan mereka. Laksmi masih menggenggam kalung itu, kini cahaya yang ada di dalamnya mulai redup, tapi Arka tahu kalung itu bukan sekadar benda biasa. Kalung itu adalah kunci, bukan hanya untuk membuka dunia yang terpecah, tetapi juga untuk mengendalikan kekuatan yang ada di balik dunia itu.

“Arka, kita harus mencari jawaban,” kata Laksmi, suaranya penuh tekad. “Aku tidak bisa terus hidup dalam ketakutan seperti ini. Kita harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

Arka menoleh padanya, matanya yang tajam mencerminkan sebuah tekad yang sama kuatnya. “Aku tahu, Laksmi. Aku juga merasa kita tidak bisa berdiam diri. Kita harus mencari tahu siapa yang ada di balik semua ini.”

Mereka berdua berjalan menyusuri jalan yang sunyi, menuju tujuan yang belum jelas. Tidak ada arah pasti, hanya insting yang membawa mereka. Setiap langkah mereka terasa berat, seolah-olah dunia itu sendiri menahan mereka, menantang mereka untuk terus maju. Arka merasakan ketegangan yang semakin meningkat, dan dalam setiap detiknya, ia semakin yakin bahwa ancaman yang akan datang jauh lebih besar dari apa yang bisa mereka bayangkan.

Tidak jauh dari tempat mereka berdiri, terdengar suara-suara aneh yang datang dari dalam kegelapan. Laksmi berhenti sejenak, menatap Arka dengan raut wajah yang penuh kecemasan. “Apa itu?”

Arka mengangkat tangannya, meminta agar mereka tetap diam. Suara itu terdengar semakin jelas—seperti bisikan yang melayang-layang di udara, suara yang tidak bisa mereka pahami. Dalam keheningan yang mencekam, Arka merasa sesuatu yang lain mulai mengawasi mereka.

Laksmi menggenggam kalung itu dengan lebih erat, seolah berusaha menarik kekuatan dari dalamnya. “Arka, kita harus berhati-hati. Aku merasa… ada yang mengikutinya.”

Arka mengangguk pelan, matanya tetap terfokus pada sumber suara yang semakin mendekat. Dalam kegelapan, sesuatu mulai bergerak, sosok-sosok yang tidak bisa mereka lihat dengan jelas. Bayangan itu, meski telah dihancurkan, masih meninggalkan jejak yang sangat kuat.

Tiba-tiba, sosok hitam muncul di depan mereka, bergerak dengan kecepatan yang mematikan. Arka dan Laksmi terperangkap, tidak bisa bergerak atau melarikan diri. Arka berusaha melindungi Laksmi dengan tubuhnya, tetapi sosok itu lebih cepat dari yang ia bayangkan. Dalam sekejap, sosok itu menghantam mereka, menyentuh kalung yang ada di tangan Laksmi.

Cahaya dari kalung itu mulai berkedip, dan dalam kilatan terang, Arka merasakan rasa sakit yang luar biasa. Seolah kalung itu menarik seluruh kekuatan dari tubuhnya. Ia merasakan tubuhnya lemas, hampir terjatuh ke tanah, tetapi Laksmi berhasil mendorongnya dengan sekuat tenaga.

“Arka, jangan jatuh sekarang!” seru Laksmi, matanya penuh dengan ketakutan, tetapi juga tekad. “Kita masih bisa melawan!”

Arka menggigit bibirnya, mencoba untuk mengendalikan dirinya. Ia tahu, kali ini bukanlah pertarungan biasa. Ini adalah pertarungan melawan kegelapan yang lebih dalam, yang sudah lama terpendam. Kegelapan yang tidak akan berhenti sampai dunia ini benar-benar hancur.

Dengan segenap kekuatan yang tersisa, Arka bangkit. Ia tidak bisa menyerah begitu saja. Tidak setelah semua yang telah mereka lalui. Tidak setelah Laksmi bersamanya.

“Laksmi, aku butuh kau,” kata Arka, suaranya hampir tidak terdengar. “Berikan aku kekuatan itu, kalung itu, sekarang!”

Laksmi tidak ragu. Dengan satu gerakan cepat, ia melepaskan kalung itu dan mengarahkannya ke arah sosok hitam yang semakin mendekat. Dalam sekejap, cahaya dari kalung itu meledak lebih terang dari sebelumnya, membentuk sebuah pelindung yang menyelimuti mereka berdua. Sosok itu terhentak mundur, terhimpit oleh cahaya yang begitu kuat, namun itu tidak cukup untuk menghentikan bayangan itu sepenuhnya.

“Dunia ini masih milik kami,” bisik suara dari dalam bayangan itu. “Kalian hanya seonggok harapan yang rapuh.”

Arka merasa tubuhnya kembali terhuyung, tetapi kali ini ia tidak merasa takut. Cahaya kalung itu mulai menembus bayangan itu, semakin kuat, semakin terang, meskipun ia tahu mereka masih belum menang.

“Kita belum selesai,” kata Arka dengan penuh tekad. “Jika kita harus bertarung sampai akhir, maka kita akan melakukannya. Dunia ini masih punya harapan, dan aku tidak akan membiarkan siapa pun merampasnya.”

Cahaya dari kalung itu semakin terang, dan dalam sekejap, Arka merasa dirinya menguasai kekuatan yang lebih besar dari sebelumnya. Ia tahu ini adalah ujian terakhir mereka. Jika mereka gagal, kegelapan akan menyelimuti dunia ini selamanya.

Namun, saat itu juga, Arka menyadari bahwa meskipun mereka sudah hampir menang, ancaman ini bukanlah yang terakhir. Bayangan itu adalah hanya satu dari banyak yang akan datang, dan perjalanan mereka belum selesai. Dunia ini, yang mereka perjuangkan, masih membutuhkan perlindungan mereka.

Bab 14: Pengorbanan di Balik Cermin

Kegelapan itu, meskipun sudah semakin menyusut, masih menyisakan rasa takut yang mencekam. Arka dan Laksmi berdiri di tepi jurang dunia yang terpecah. Meskipun bayangan itu telah hancur untuk sementara, mereka tahu ini hanya permulaan dari sebuah ancaman yang lebih besar. Dunia ini, yang mereka kenal dan cintai, masih bergetar dengan ketidakpastian.

“Arka, apa yang sebenarnya kita hadapi?” Laksmi bertanya, suaranya meresap dengan kecemasan yang tak bisa disembunyikan. “Aku merasa ada yang lebih besar lagi, sesuatu yang belum kita temukan.”

Arka menatap jauh ke depan, matanya yang penuh keteguhan berusaha menangkap setiap gerakan di dalam kegelapan. Ia merasakan ada sesuatu yang lebih mendalam, lebih berbahaya dari sekadar bayangan yang telah mereka hadapi. Dunia ini bukan hanya terancam oleh kekuatan gelap yang terlihat, tetapi oleh sesuatu yang jauh lebih halus—sebuah misteri yang terpendam, sebuah kebenaran yang tersembunyi.

“Sesuatu yang lebih besar, Laksmi,” jawab Arka pelan, matanya tajam. “Kegelapan yang kita hancurkan itu adalah bagian dari teka-teki yang lebih rumit. Dunia ini… tidak akan bisa sembuh jika kita tidak mencari inti dari masalah ini.”

Mereka melangkah lebih jauh, dengan kalung yang masih bersinar redup di tangan Laksmi. Cahaya itu, meskipun lemah, memberi mereka sedikit harapan. Arka merasakan bahwa kekuatan kalung itu sudah tidak seperti sebelumnya, namun ia tahu masih ada sesuatu yang dapat diperjuangkan. Kalung itu adalah kunci, dan mereka harus menemukan cara untuk menggunakannya dengan bijak, sebelum kegelapan kembali menelan dunia ini.

Namun, ketika mereka berjalan lebih jauh, sebuah suara halus memecah keheningan. Suara itu datang dari sebuah arah yang tidak bisa mereka pastikan, berbisik dengan kata-kata yang sulit dipahami. Arka berhenti, matanya membesar. “Kamu mendengarnya, kan?”

Laksmi mengangguk pelan, ketegangan semakin jelas di wajahnya. “Apa itu?”

Suaranya datang lagi, kali ini lebih jelas. “Cermin itu… akan memanggilmu… jangan pergi ke sana.”

Arka merasa sebuah rasa dingin merayapi tubuhnya. Cermin. Kata itu bergaung di kepalanya, seperti sebuah peringatan. “Laksmi, aku rasa kita harus pergi ke sana. Ini bukan kebetulan.”

Laksmi menatap Arka dengan cemas. “Cermin apa yang kau maksud? Kita baru saja keluar dari dunia yang terpecah. Apa yang kita cari sekarang?”

“Jawabannya ada di dalam cermin itu,” jawab Arka dengan keyakinan yang tak bisa dijelaskan. “Kita harus menemukan apa yang tersembunyi di baliknya. Dunia ini belum selesai. Masih ada yang harus kita perbaiki.”

Tanpa kata-kata lebih lanjut, mereka berdua melangkah menuju arah suara itu, berusaha mengikuti bisikan yang memandu mereka. Semakin mendekat, semakin jelas pula bentuk cermin yang mulai terlihat di kejauhan. Cermin besar, berdiri tegak di tengah ruangan kosong yang gelap, dikelilingi kabut tipis yang melayang rendah di tanah.

“Apakah ini?” tanya Laksmi, suaranya bergema dalam kegelapan. “Arka, aku merasa kita telah melangkah ke dalam sesuatu yang tidak bisa kita kontrol.”

Arka tidak menjawab, matanya terpaku pada cermin itu. Ada sesuatu yang aneh di dalamnya. Refleksi mereka tidak tampak seperti yang seharusnya. Wajah mereka terpantul dengan bayangan yang lebih gelap, lebih suram, seolah cermin itu bukan hanya sekadar kaca, tetapi jendela ke dunia lain—dunia yang jauh lebih berbahaya dan penuh rahasia.

Ketika Arka melangkah lebih dekat, sebuah suara terdengar lagi, kali ini lebih keras, lebih mendalam, seperti bisikan yang datang dari dalam cermin itu sendiri. “Kalian datang lebih cepat dari yang aku kira…”

Arka terhenti, merasa sesuatu yang gelap dan asing mulai menguasai ruang di sekitarnya. Laksmi menoleh padanya, matanya penuh kebingungan. “Apa yang terjadi, Arka? Kenapa kita merasa seperti ini?”

“Sesuatu yang lebih besar sedang mengintai kita, Laksmi,” jawab Arka, suaranya hampir terdengar tidak pasti. “Dan itu ada di balik cermin ini.”

Tiba-tiba, cermin itu mulai bergetar. Kilatan cahaya merah menyala di dalamnya, dan dalam sekejap, Arka dan Laksmi terhisap ke dalam dunia lain. Mereka merasakan sensasi yang luar biasa—seperti jatuh ke dalam jurang yang tak terhingga, dengan waktu yang terasa terhenti di sekitar mereka.

Saat mereka membuka mata, mereka mendapati diri mereka berada di dalam sebuah ruang yang asing—gelap dan penuh bayangan yang bergerak perlahan, seolah-olah dunia itu sendiri hidup, bernafas dengan rasa takut. Di tengah ruang itu, sebuah sosok besar berdiri tegak, bayangannya panjang dan tak terdefinisi. Sosok itu mengenakan mantel hitam yang panjang, dan matanya—meskipun tersembunyi—memancarkan aura kekuatan yang luar biasa.

“Selamat datang di dunia yang sebenarnya,” suara itu menggelegar, membuat Arka dan Laksmi terdiam. “Kalian telah melewati ujian pertama, namun ujian yang sesungguhnya baru dimulai.”

Arka merasakan ketegangan semakin membara. Dunia ini, dunia yang mereka masuki, bukanlah tempat yang bisa mereka kuasai dengan mudah. Semua yang mereka alami sejauh ini—semua pertempuran dan pengorbanan—hanya permulaan dari perjalanan yang jauh lebih sulit.

“Kalian ingin tahu siapa yang memanggil kalian?” tanya sosok itu, suaranya semakin dalam dan menggema. “Aku adalah cermin itu, dan dunia yang kalian kenal hanyalah bayangan dari kenyataan yang lebih gelap. Kalian belum siap untuk menghadapi kebenaran yang ada di balik semuanya.”

Laksmi menatap Arka dengan cemas. “Arka… kita tidak bisa mundur sekarang, bukan?”

Arka menghela napas panjang, matanya penuh tekad. “Tidak, Laksmi. Kita sudah terlalu jauh untuk mundur. Kita akan menghadapi ini, apapun itu.”

Sosok itu tertawa, suara tawa yang menggetarkan dinding-dinding ruang tersebut. “Maka bersiaplah, Arka. Karena kamu dan Laksmi akan menjadi bagian dari sejarah yang jauh lebih besar—sebuah sejarah yang akan mengubah dunia ini selamanya.”

Cermin itu, yang sebelumnya hanya sebuah objek diam, kini menjadi pintu gerbang menuju sebuah kenyataan yang jauh lebih mengerikan. Dunia ini, yang mereka perjuangkan, ternyata lebih rumit dan lebih berbahaya dari yang bisa mereka bayangkan.

Langkah Arka dan Laksmi belum selesai. Misi mereka baru saja dimulai, dan pengorbanan mereka akan menguji batas keberanian dan harapan mereka. Dunia yang mereka kenal kini berada di ambang kehancuran, dan hanya mereka yang bisa menyelamatkannya.

Namun, apakah mereka cukup kuat untuk menghadapi kegelapan yang akan datang?

Bab 15: Bayangan yang Menghapus Semuanya

Sosok besar itu berdiri di depan mereka, dengan bayangan gelap yang semakin menebal, seakan memakan setiap sudut ruang. Arka dan Laksmi merasa tubuh mereka terhimpit oleh kekuatan yang tak terlihat, seolah dunia di sekitar mereka terdistorsi. Suara sosok itu terus menggema, memenuhi seluruh ruang dengan ketegangan yang memuncak.

“Selamat datang di akhir perjalanan kalian,” suara itu berbisik, rendah namun penuh kekuatan. “Kalian telah melewati segala ujian, namun kalian masih belum memahami apa yang sebenarnya kalian hadapi. Kalian pikir kalian bisa mengubah dunia ini? Kalian salah.”

Arka menatap sosok itu dengan tatapan penuh kebencian. Setiap kata yang keluar dari mulut sosok itu hanya memperburuk perasaan kesal yang mulai menumpuk di dalam dirinya. Laksmi berdiri di sampingnya, matanya yang biasanya tenang kini menunjukkan ketegangan yang luar biasa. Mereka berdua tahu ini adalah saat terakhir mereka—pertarungan terakhir yang akan menentukan nasib dunia.

“Jangan dengarkan kata-kata itu,” ujar Arka pelan, namun penuh tekad. “Kita tidak akan menyerah. Kita sudah terlalu jauh. Dunia ini, meskipun penuh dengan kegelapan, masih bisa diselamatkan.”

Laksmi menggenggam erat kalung yang ada di tangannya, cahaya yang dulu memudar kini mulai kembali bersinar, meskipun redup. Arka merasa kekuatan itu mulai mengalir kembali, mengalir dalam aliran darah mereka, menumbuhkan harapan yang sempat pudar.

“Apa yang kamu katakan itu tidak benar,” jawab Laksmi, suaranya tegas meskipun ada rasa takut yang tersembunyi. “Kami akan melawan sampai titik darah penghabisan. Dunia ini layak untuk diperjuangkan.”

Sosok itu tertawa, tawa yang seolah berasal dari kegelapan yang terdalam, menggetarkan seluruh ruang dan jiwa mereka. “Kalian tidak tahu apa yang kalian hadapi. Kegelapan ini bukan hanya sebuah kekuatan, tapi sebuah kebenaran yang terpendam dalam sejarah dunia ini. Kalian hanya seonggok harapan yang rapuh, yang takkan mampu mengalahkan apa yang telah ada sejak awal.”

Arka merasa seakan dunia ini berputar di sekitarnya. Ketegangan semakin mencekam, setiap kata dari sosok itu seperti pisau yang menusuk dalam-dalam. Tapi, di dalam hatinya, ia merasakan ada sesuatu yang lebih kuat—keinginan untuk bertahan, keinginan untuk melawan apapun yang mencoba merenggut dunia yang mereka kenal.

“Jika kegelapan itu adalah kenyataan yang harus kita hadapi,” kata Arka dengan suara yang lebih keras, “maka kita akan menghadapi kenyataan itu. Kami tidak akan membiarkan dunia ini dihancurkan oleh bayanganmu. Kami adalah bagian dari dunia ini, dan kami akan melawannya!”

Cahaya kalung yang ada di tangan Laksmi kini semakin terang. Seperti sebuah panggilan, cahaya itu berkembang menjadi sebuah sinar yang memancar dengan kekuatan luar biasa. Arka merasakan tubuhnya dipenuhi dengan energi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Keinginan untuk bertahan hidup, untuk melindungi dunia ini, mengalir dalam dirinya dengan deras. Ini adalah saat mereka harus bertarung dengan segala yang mereka miliki.

Dengan sebuah teriakan, Arka dan Laksmi bersatu, bergerak maju. Cahaya kalung itu, yang kini bagaikan sebuah matahari kecil, membakar ruang yang mengelilingi mereka, mengusir kegelapan yang begitu mencekam. Sosok besar itu terhenti sejenak, terkejut oleh kekuatan yang muncul dari kedua manusia ini.

“Tidak… tidak mungkin!” teriak sosok itu, suara kekuatannya mulai bergetar. “Kalian tidak tahu apa yang kalian lakukan!”

Namun, Arka dan Laksmi tidak mundur. Mereka tahu ini adalah satu-satunya cara. Mereka tahu hanya dengan menggabungkan kekuatan mereka—kekuatan dari kalung itu dan kekuatan dalam diri mereka—mereka bisa mengalahkan bayangan yang mengancam dunia ini.

Cahaya dari kalung itu semakin memancar, mengarah langsung ke tubuh sosok itu. Dalam hitungan detik, tubuh gelap itu mulai hancur, tercabik-cabik oleh sinar yang tak terhentikan. Teriakan sosok itu semakin memudar, seiring dengan hilangnya kekuatan kegelapan yang dulu menguasai dunia ini.

Arka dan Laksmi berdiri di tengah ruang itu, terengah-engah, tubuh mereka lelah oleh pertempuran yang begitu berat. Kegelapan yang mengancam dunia kini mulai menghilang, membawa serta bayangannya yang menakutkan. Tapi meski begitu, mereka tahu ini bukan akhir dari segalanya.

“Selesai?” tanya Laksmi, suaranya penuh keletihan, namun masih ada sedikit harapan yang bersinar di matanya.

“Belum,” jawab Arka dengan keyakinan. “Ini baru permulaan. Kegelapan yang kita hadapi mungkin sudah pergi, tapi kita harus memastikan bahwa dunia ini tidak jatuh lagi ke dalam kegelapan.”

Mereka berdiri di tengah ruangan yang kini mulai menyusut. Cahaya kalung itu mulai meredup, seolah menandakan bahwa mereka telah berhasil menyelesaikan satu bagian dari perjalanan ini. Tapi Arka tahu, dunia ini membutuhkan lebih dari sekedar kekuatan. Mereka membutuhkan keseimbangan yang baru, dan itu akan menjadi tugas mereka untuk menjaga dunia ini dari ancaman yang tidak terlihat.

“Ayo, Laksmi,” kata Arka, suaranya penuh tekad. “Kita masih punya banyak hal yang harus dilakukan.”

Laksmi mengangguk, senyum tipis terukir di wajahnya. Mereka tahu perjalanan mereka belum selesai. Kegelapan mungkin telah terhapus untuk sementara, tetapi dunia ini akan selalu menghadapi tantangan baru. Dan Arka serta Laksmi, kini lebih kuat dari sebelumnya, siap untuk melangkah ke depan, menjaga dunia ini dengan segenap jiwa mereka.

Dalam keheningan yang menyelubungi dunia yang telah mereka selamatkan, hanya ada satu hal yang pasti: mereka telah menunjukkan bahwa meskipun bayangan bisa datang dan pergi, harapan dan cahaya akan selalu menemukan jalannya.***

————————-THE END————————

Source: Shifa Yuhananda
Tags: #CahayadanKegelapan#Kegelapan#Pengorbanan#Petualangan#ThrillerkeberanianmisteriPertarungan
Previous Post

JEJAK DARAH DI PADANG NERAKA

Next Post

DARAH DALAM CERMIN

Next Post
DARAH DALAM CERMIN

DARAH DALAM CERMIN

LANGIT TAK SELALU BIRU

LANGIT TAK SELALU BIRU

BAYANGAN DI BALIK PELURU

BAYANGAN DI BALIK PELURU

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In