Prolog
Di dalam setiap bab sejarah Indonesia, ada bagian-bagian yang selalu tersembunyi di balik kabut waktu. Cerita-cerita yang tidak tercatat dalam buku pelajaran sejarah, namun terus beredar melalui bisik-bisik masyarakat, mewariskan jejak-jejak misteri yang hanya sedikit orang yang berani mencari kebenarannya. Salah satunya adalah kisah yang terpendam di pulau-pulau yang jauh dari hiruk-pikuk dunia modern, sebuah cerita tentang kerajaan kuno yang hilang, kekuatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan, dan seorang pencari kebenaran yang tidak tahu apa yang akan ditemuinya.
Arga, seorang sejarawan muda yang terobsesi dengan sejarah Indonesia, telah menghabiskan bertahun-tahun mencari petunjuk tentang kerajaan kuno yang hilang. Kerajaan yang konon memiliki kekuatan luar biasa, kekuatan yang bisa mengubah jalannya sejarah jika ditemukan. Beberapa legenda menyebutkan bahwa kerajaan ini memiliki sebuah artefak yang dapat membuka gerbang menuju dunia yang lebih luas, dunia yang tersembunyi dari pandangan manusia biasa.
Namun, bukan hanya sejarah yang Arga cari. Lebih dari itu, ia mencari kebenaran yang lebih besar, sebuah kebenaran yang dapat menjelaskan banyak hal yang selama ini hanya menjadi misteri. Pencariannya membawanya ke berbagai pelosok Indonesia, dari hutan-hutan lebat di Sumatra hingga pulau-pulau kecil di Indonesia Timur. Setiap tempat yang ia kunjungi, Arga merasakan ada kekuatan yang lebih besar dari apa yang tampak di permukaan, sesuatu yang belum bisa dijelaskan oleh logika.
Perjalanan Arga dimulai di sebuah desa kecil di Jawa Tengah, di mana ia bertemu dengan seorang pria tua bernama Pak Sastro, yang memberinya petunjuk tentang sebuah batu kuno yang konon menyimpan rahasia kerajaan yang hilang itu. Batu tersebut berada di sebuah desa terpencil yang hampir terlupakan oleh dunia luar. Di desa itu, Arga bertemu dengan Rani, seorang wanita muda yang juga tertarik pada misteri yang mengelilingi sejarah Indonesia. Bersama-sama, mereka memutuskan untuk mengikuti petunjuk itu, meskipun mereka tahu bahwa perjalanan ini akan mengubah hidup mereka selamanya.
Saat mereka sampai di desa itu, mereka merasakan sebuah kekuatan aneh yang mengalir dari batu kuno yang mereka temui. Kekuatan yang seakan menghubungkan mereka dengan masa lalu, dengan sejarah yang telah lama terlupakan. Batu itu, meskipun tampak biasa di luar, ternyata menyimpan sebuah kunci untuk membuka gerbang menuju rahasia besar yang telah lama terkubur. Di sekitar batu itu, mereka menemukan petunjuk-petunjuk yang mengarah pada sebuah lokasi yang lebih besar—sebuah kuil kuno yang berada di puncak gunung, tempat yang diyakini sebagai gerbang menuju dunia lain, dunia yang hanya bisa dijangkau oleh mereka yang memiliki pengetahuan dan keberanian.
Namun, semakin mereka mendalami misteri ini, semakin banyak pertanyaan yang muncul. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Apa yang tersembunyi di balik kerajaan yang hilang itu? Apakah mereka akan mampu mengungkapkan kebenaran yang terkubur selama berabad-abad, atau apakah mereka akan menjadi bagian dari legenda yang hilang itu?
Sementara itu, di tempat lain, ada kekuatan gelap yang juga mengincar artefak dan kekuatan yang terkubur dalam sejarah Indonesia ini. Orang-orang yang telah lama mempelajari sejarah ini tahu bahwa mencari kebenaran bukanlah hal yang mudah. Bukan hanya karena tantangan fisik dan mental, tetapi juga karena ada pihak-pihak yang tidak ingin sejarah ini terungkap. Mereka yang berusaha mengejar kekuatan itu sudah lama bersembunyi di balik bayang-bayang sejarah, dan siap melakukan apa saja untuk menghentikan siapa pun yang mencoba membuka gerbang tersebut.
Arga dan Rani, dengan tekad yang kuat, berusaha mengungkap semua rahasia ini. Namun, mereka segera menyadari bahwa semakin dekat mereka dengan kebenaran, semakin berbahaya perjalanan mereka. Mereka harus menghadapi bukan hanya tantangan alam, tetapi juga kekuatan yang tidak bisa mereka duga sebelumnya. Dan ketika gerbang itu akhirnya terbuka, dunia yang mereka kenal mungkin tidak akan pernah sama lagi.*
Bab 1: Peta yang Hilang
Hujan rintik-rintik turun di luar jendela rumah tua Arga. Malam itu, angin bertiup dingin, membawa aroma tanah basah yang khas dari desa di Jawa Tengah ini. Rumah kayu yang sudah berusia lebih dari setengah abad itu, dengan dinding yang sedikit retak dan cat yang mulai mengelupas, tetap kokoh berdiri di tengah desa yang hampir terlupakan oleh dunia. Rumah ini, tempat Arga dibesarkan, adalah saksi bisu dari kisah panjang keluarganya.
Arga memegang sebuah buku tua yang telah terkikis waktu. Buku itu adalah milik kakeknya, Hadiwijaya, seorang pejuang yang turut berjuang melawan penjajahan Belanda. Hadiwijaya bukan hanya seorang pejuang di medan perang, tetapi juga seorang yang memiliki minat besar terhadap sejarah. Kakeknya sering bercerita tentang perjalanan-perjalanan aneh yang dilaluinya, tempat-tempat yang tak banyak orang tahu, dan informasi yang tak ditemukan di buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah. Namun, cerita-cerita itu selalu disertai dengan sebuah kalimat yang penuh tanda tanya: “Ada hal-hal yang lebih besar yang tak bisa diungkapkan.”
Arga merasakan sesuatu yang aneh ketika menemukan buku itu di perpustakaan pribadi kakeknya beberapa bulan yang lalu, setelah Hadiwijaya meninggal. Buku itu tampaknya sudah tua, dengan kulit keras yang sudah mengelupas dan halaman-halaman yang mulai menguning. Namun, di balik tampilan luarnya yang lusuh, buku itu memancarkan sesuatu yang penuh misteri. Sebuah peta tua terselip di antara halaman terakhir buku tersebut, seolah-olah peta itu bersembunyi di sana selama puluhan tahun.
“Peta ini…” gumam Arga pelan, sambil mengamati setiap detailnya.
Peta itu menggambarkan pulau Jawa, tetapi ada satu bagian yang tak biasa. Di bagian tengah pulau, di antara hutan-hutan lebat dan pegunungan yang terhalang kabut, terdapat sebuah simbol yang tidak pernah Arga temui sebelumnya. Sebuah lingkaran dengan dua garis silang yang saling bersilangan di tengahnya. Di sekitar lingkaran itu, ada tulisan yang menggunakan aksara kuno yang sulit dibaca. Namun, di bagian bawah peta, tertulis sebuah kalimat yang cukup jelas, “Di sini tersembunyi kerajaan yang tak pernah dikenal oleh dunia.”
Arga merasa ada sesuatu yang aneh dengan peta ini. Ada perasaan yang kuat bahwa kakeknya tahu lebih banyak tentang tempat yang digambarkan di peta itu, tapi entah mengapa, dia tidak pernah bercerita lebih lanjut. Apakah ini hanya sebuah legenda? Atau ada sesuatu yang lebih besar yang selama ini disembunyikan?
Tanpa sadar, Arga sudah berada dalam keheningan panjang, seolah terhipnotis oleh peta tersebut. Seperti ada dorongan yang tak terelakkan untuk mengetahui lebih banyak. Mungkin ini adalah petunjuk pertama untuk mengungkap rahasia yang selama ini tertutup rapat dalam keluarganya. Peta ini bisa jadi adalah kunci untuk memecahkan misteri yang telah mengelilingi kakeknya, atau bahkan sejarah Indonesia yang selama ini terlupakan.
“Peta ini milikmu,” suara Rani, teman lama Arga, tiba-tiba terdengar, memecah keheningan malam. Rani sudah sering menemani Arga dalam banyak pencarian dan riset sejarah. Mereka berdua adalah sahabat sejak kecil, dengan minat yang sama dalam menggali sejarah, meskipun Rani lebih tertarik pada sisi jurnalistiknya.
Arga menoleh dan melihat Rani duduk di kursi dekat jendela, memandangi hujan dengan pandangan kosong. Rani selalu tahu kapan Arga membutuhkan bantuan, bahkan tanpa dia minta. Arga meletakkan peta itu di meja dan menggelengkan kepala.
“Aku tidak tahu, Ran. Tapi ada sesuatu yang aneh tentang peta ini,” jawab Arga, suaranya penuh ketegangan. “Aku rasa kakekku tahu sesuatu. Ini bukan sembarang peta.”
Rani mendekat, lalu duduk di samping Arga. Matanya tajam meneliti peta yang tergeletak di atas meja. Dia memiringkan kepala, seolah mencoba memahami apa yang tidak bisa dipahami oleh orang lain.
“Ada tulisan yang harus kita baca,” kata Rani, menunjuk pada aksara kuno yang ada di sekitar simbol lingkaran. “Aksara ini… ini seperti semacam kode. Mungkin kita bisa cari tahu lebih banyak jika kita bisa mengartikannya.”
Arga mengangguk, meskipun hatinya terasa berat. Bagaimana bisa dia tahu jika itu adalah sebuah petunjuk untuk sesuatu yang lebih besar? Jika kakeknya benar-benar terlibat dalam sesuatu yang luar biasa, apa yang harus mereka lakukan dengan pengetahuan ini?
Malam itu, Arga dan Rani memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut. Mereka membuka sejumlah buku sejarah dan ensiklopedia, berusaha menerjemahkan aksara kuno yang ada di peta tersebut. Namun, meskipun mereka berdua cukup mahir dalam bahasa kuno, aksara yang ada di peta itu tampaknya berbeda dari yang biasa mereka temui. Tidak ada satu pun referensi yang bisa membantu mereka memahami arti tulisan tersebut.
Keesokan harinya, setelah mencoba berbagai cara untuk memecahkan kode di peta, Arga merasa frustasi. Tapi, saat matanya kembali tertuju pada peta, ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Di bagian tepi peta, ada sebuah catatan kecil yang ditulis dengan tinta merah pudar. Tulisannya hampir tak terbaca, namun setelah beberapa kali memperhatikan, Arga bisa menangkap satu kalimat yang terlihat jelas: “Jangan biarkan peta ini jatuh ke tangan yang salah.”
Arga merasa darahnya berdesir. Siapa yang menulis pesan itu? Apakah itu pesan dari kakeknya atau dari orang lain yang juga tahu tentang kerajaan yang hilang ini?
“Ran, ada yang aneh. Lihat ini!” seru Arga, menunjukkan catatan kecil itu pada Rani.
Rani membaca pesan tersebut dan mengangguk pelan. “Sepertinya ini bukan hanya tentang sejarah biasa. Ini lebih dari sekadar mencari tahu kerajaan yang hilang. Mungkin ada orang lain yang juga mencari ini, Arga.”
Arga menelan ludah, merasa beban berat di pundaknya. Peta ini bukan hanya sekadar petunjuk tentang masa lalu, tetapi juga bisa menjadi kunci untuk masa depan—sebuah perjalanan yang penuh bahaya dan rahasia yang siap terungkap.
Arga tahu satu hal pencarian ini baru saja dimulai, dan dia tak bisa mundur. Ke mana perjalanan ini akan membawa mereka, itu yang belum bisa dia pastikan. Namun, satu hal yang pasti, tidak ada yang bisa menghentikan pencariannya untuk mengungkap misteri yang telah bersembunyi selama lebih dari seratus tahun.*
Bab 2: Jejak Kekuatan Tersembunyi
Pagi itu, udara desa terasa lebih sejuk dari biasanya. Arga dan Rani duduk di teras rumah, membicarakan langkah selanjutnya. Setelah menemukan catatan kecil yang tersembunyi di peta, rasa penasaran mereka semakin besar. Mereka tahu, pencarian ini bukan hanya tentang sejarah, tapi juga tentang kekuatan yang lebih besar yang mungkin telah lama tersembunyi dalam bayang-bayang masa lalu.
“Mungkin kita perlu mengunjungi orang-orang yang tahu lebih banyak tentang peta ini,” kata Rani, menyodorkan secangkir kopi hangat kepada Arga. “Kakekmu pasti pernah bertemu dengan orang-orang yang memiliki pengetahuan lebih dalam. Mungkin dia menyembunyikan informasi ini untuk alasan tertentu.”
Arga memikirkan usulan Rani. Kakeknya, Hadiwijaya, memang terkenal sebagai pribadi yang penuh misteri. Selama masa penjajahan Belanda, kakeknya terlibat dalam banyak pertempuran, tetapi ada banyak hal yang disembunyikan oleh kakeknya, hal-hal yang Arga hanya bisa tebak. Rasa penasaran menggelayuti pikirannya. Ada sesuatu di balik peta ini yang lebih besar daripada yang mereka kira.
“Mungkin kita bisa mulai dengan mengunjungi Pak Sastro,” kata Arga, mengingat seorang sesepuh desa yang dikenal sebagai orang yang sering berbicara tentang cerita-cerita lama. “Dia mungkin tahu lebih banyak tentang sejarah tempat ini.”
Pak Sastro adalah seorang pria tua yang telah hidup di desa ini selama lebih dari delapan dekade. Sejak kecil, Arga sering mendengar cerita-cerita dari Pak Sastro tentang perang kemerdekaan dan kisah-kisah para pejuang yang terdengar seperti legenda. Tetapi bagi Arga, Pak Sastro adalah sumber yang tepat untuk menggali lebih dalam tentang hal-hal yang lebih terselubung dalam sejarah.
Mereka berdua memutuskan untuk mengunjungi rumah Pak Sastro yang terletak tidak jauh dari rumah Arga. Rumah Pak Sastro sederhana, seperti rumah kebanyakan penduduk desa lainnya. Atap jerami yang mulai lapuk, dinding bambu yang sudah berusia puluhan tahun, dan halaman yang penuh dengan tanaman rambat. Arga mengetuk pintu dengan hati-hati, dan tak lama kemudian, seorang pria tua dengan rambut putih yang sudah hampir tak terlihat muncul di balik pintu.
“Selamat pagi, Pak Sastro,” kata Arga, tersenyum hormat.
“Selamat pagi, Nak. Ada yang bisa saya bantu?” Pak Sastro menjawab dengan suara berat yang penuh kebijaksanaan.
“Kami ingin berbicara dengan Pak Sastro tentang sejarah desa ini,” kata Rani, yang sejak tadi terdiam, merasa sedikit canggung di hadapan pria tua tersebut. “Kami menemukan sesuatu yang menarik, dan kami pikir Pak Sastro mungkin bisa membantu kami.”
Pak Sastro mengangguk pelan, lalu mempersilakan mereka masuk. Ruangan di dalam rumah itu penuh dengan benda-benda tua yang tampak sudah berusia ratusan tahun. Lukisan-lukisan lama, peta-peta, dan buku-buku sejarah yang tergeletak rapi di rak kayu yang dipenuhi debu. Arga dan Rani duduk di kursi bambu yang sudah agak lapuk, menunggu Pak Sastro membuka percakapan.
“Apa yang kalian temukan?” tanya Pak Sastro, memandang peta yang tergeletak di meja Arga.
Arga menghela napas dalam-dalam sebelum mulai menceritakan penemuan mereka. Ia mengeluarkan peta yang telah mereka temukan di buku kakeknya dan menunjukkan simbol-simbol yang ada di peta tersebut.
“Pak Sastro, ini peta yang kami temukan di buku milik kakek saya,” jelas Arga. “Ada simbol-simbol yang tidak biasa, dan sepertinya peta ini menunjuk pada lokasi yang sangat penting. Apakah Pak Sastro tahu tentang kerajaan yang hilang di Jawa Tengah?”
Pak Sastro memandangi peta itu dengan serius. Wajahnya yang sudah keriput menunjukkan tanda-tanda kebingungan dan kekhawatiran. Ia terdiam cukup lama, seolah mencerna apa yang baru saja didengar.
“Kerajaan yang hilang… itu bukanlah hal yang bisa dibicarakan dengan sembarangan,” kata Pak Sastro, suaranya serak. “Ada banyak cerita tentang kerajaan-kerajaan kuno di tanah ini, tapi sangat sedikit yang diketahui oleh orang luar. Tidak semua orang siap mendengar kisah sebenarnya.”
Rani mengernyitkan dahi. “Apa maksudnya, Pak? Apakah kerajaan itu benar-benar ada? Apa yang terjadi padanya?”
Pak Sastro meletakkan tangannya di atas meja, menatap mereka dengan tatapan serius. “Kerajaan yang kalian maksud mungkin ada. Tetapi, kalian harus tahu bahwa ada kekuatan yang melindungi tempat itu. Kerajaan ini bukan hanya tempat yang kaya akan sejarah, tapi juga menyimpan rahasia yang berbahaya. Jika kalian benar-benar berniat untuk menemukannya, kalian harus siap menghadapi konsekuensinya.”
Arga merasa tubuhnya tiba-tiba kaku. “Apa yang dimaksud dengan ‘kekuatan yang melindungi’ itu, Pak?”
Pak Sastro menghela napas panjang. “Ada orang-orang yang masih mencari tempat itu hingga sekarang. Beberapa di antaranya berusaha menggunakan kekuatan yang ada di kerajaan kuno itu untuk kepentingan pribadi. Kekuatan itu bukan sekadar harta atau kekayaan, tetapi sesuatu yang lebih berbahaya. Sesuatu yang bisa mengubah jalannya sejarah.”
Rani menatap Arga, matanya penuh pertanyaan. “Apakah maksud Pak Sastro, kerajaan ini menyimpan kekuatan magis?”
Pak Sastro mengangguk perlahan. “Magis atau tidak, yang pasti ada kekuatan yang sangat besar di sana. Dulu, kerajaan itu dihancurkan, dan sejarahnya sengaja disembunyikan. Banyak orang percaya bahwa kekuatan itu bisa mengubah peradaban, bahkan bisa mengendalikan masa depan.”
Suasana di ruangan itu semakin mencekam. Arga dan Rani merasa beban yang lebih berat kini menyelimuti perjalanan mereka. Mereka tidak hanya mencari sebuah kerajaan kuno yang hilang, tetapi juga sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar sejarah.
“Bagaimana kami bisa menemukannya?” tanya Arga, hampir berbisik.
Pak Sastro melihat mereka dengan tatapan penuh amaran. “Jika kalian ingin menemukan tempat itu, kalian harus berhati-hati. Kekuatan itu akan menjaga kerajaannya dengan cara yang tak terduga. Banyak yang telah mencoba, tapi tidak ada yang kembali dengan utuh. Peta yang kalian temukan hanya permulaan. Kalian harus siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.”
Dengan kata-kata itu, Pak Sastro berdiri, dan Arga serta Rani tahu bahwa pembicaraan mereka sudah selesai. Mereka harus melanjutkan perjalanan, namun kali ini, mereka tak hanya membawa peta tua, tetapi juga pemahaman baru tentang bahaya yang mengintai. Kekuatan yang melindungi kerajaan yang hilang itu bukan hanya sesuatu yang harus mereka cari, tapi sesuatu yang harus mereka hadapi, dan mungkin juga harus mereka lawan.
Setelah berpamitan dengan Pak Sastro, Arga dan Rani melangkah keluar dari rumahnya, namun langkah mereka terasa lebih berat. Mereka tahu, pencarian ini akan membawa mereka ke dalam dunia yang jauh lebih gelap dan penuh misteri daripada yang pernah mereka bayangkan.*
Bab 3: Misteri Kerajaan Kuno
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan semakin hari Arga merasa semakin terjerat dalam misteri yang semakin membingungkan. Setelah percakapan dengan Pak Sastro, ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang lebih besar dari yang bisa ia pahami, dan ia harus segera menemukan jawaban atas semua tanda tanya itu. Peta yang mereka temukan bukan sekadar petunjuk, tetapi juga sebuah ancaman yang tak terlihat—misteri yang telah bersembunyi dalam sejarah Indonesia selama berabad-abad.
Pagi itu, Arga dan Rani memutuskan untuk melanjutkan pencarian mereka. Mereka memutuskan untuk mengunjungi sebuah lokasi yang disebutkan dalam peta: sebuah desa terpencil di kaki gunung, yang menurut Pak Sastro, memiliki hubungan dengan kerajaan kuno yang hilang. Tidak ada yang tahu pasti tentang desa ini, kecuali beberapa cerita rakyat yang masih beredar di sekitar kawasan pegunungan.
Mereka berangkat lebih awal, menyewa sepeda motor untuk perjalanan menuju desa itu. Jalanan yang mereka lewati semakin lama semakin sempit, dengan pepohonan besar yang melingkupi jalanan berkelok-kelok. Udara di pegunungan terasa lebih segar, namun ada rasa sunyi yang menyelimuti, seperti ada sesuatu yang mengintai dari balik kabut yang turun perlahan.
Perjalanan mereka berlangsung hampir sepanjang hari, melewati hutan lebat dan desa-desa kecil yang tampaknya sudah lama tak terjamah oleh dunia luar. Arga merasa seperti sedang berjalan menyusuri lorong waktu, menuju tempat yang telah lama terlupakan. Setiap belokan jalan terasa membawa mereka lebih jauh ke dalam misteri yang belum terpecahkan. Peta yang mereka bawa seolah menjadi kunci untuk membuka pintu ke sebuah dunia lain yang tersembunyi di balik bayang-bayang sejarah.
Saat matahari mulai terbenam, mereka akhirnya tiba di desa yang mereka cari. Desa itu tampak sepi, dengan rumah-rumah yang terbuat dari kayu dan atap jerami. Tidak ada tanda-tanda kehidupan yang terlihat, hanya suara burung hantu yang terdengar dari kejauhan. Namun, yang membuat Arga merasa aneh adalah perasaan seolah-olah desa itu terperangkap dalam waktu. Seakan-akan, desa ini belum pernah berubah sejak zaman dahulu.
“Ini tempatnya, Ran,” kata Arga, memandang peta di tangan. “Desa ini disebut dalam peta, meskipun tak ada informasi lebih lanjut tentangnya.”
Rani mengangguk, meskipun dia merasa sedikit cemas. “Anehnya, tak ada seorang pun yang kita temui di jalan. Sepertinya tidak ada orang yang tahu banyak tentang desa ini.”
Arga dan Rani memutuskan untuk mencari seseorang yang bisa mereka ajak bicara, berharap menemukan petunjuk lebih lanjut tentang desa ini. Mereka berjalan ke tengah desa, dan akhirnya, mereka menemukan seorang pria tua yang sedang duduk di depan rumahnya. Pak Sastro sebelumnya sudah memberi mereka gambaran tentang orang-orang yang tinggal di desa ini—mereka adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang sejarah lama, namun jarang berbicara kepada orang luar.
Pria tua itu menatap mereka dengan pandangan tajam saat mereka mendekat. Wajahnya dipenuhi keriput, tetapi matanya masih tajam seperti elang. Dia mengenakan pakaian sederhana, dengan kain sarung yang terikat di pinggangnya, dan sebuah ikat kepala yang menunjukkan bahwa dia adalah salah satu tokoh masyarakat desa.
“Halo, Pak,” sapa Arga dengan hati-hati, mencoba membuka percakapan. “Kami sedang mencari informasi tentang desa ini dan sejarahnya. Apakah Pak tahu sesuatu tentang kerajaan kuno yang mungkin ada di sekitar sini?”
Pria itu tetap diam sejenak, memandangi mereka dengan tatapan yang sulit diartikan. Kemudian, dengan suara serak yang dalam, dia berkata, “Kerajaan itu… tidak boleh dicari. Banyak yang sudah mencarinya, tapi mereka tak kembali utuh. Jika kalian mencari, kalian akan menemukan hal-hal yang tak bisa kalian pahami.”
Arga dan Rani merasa lidah mereka kelu mendengar kata-kata itu. Semua yang dikatakan pria tua itu mengingatkan mereka pada kata-kata Pak Sastro tentang kekuatan yang melindungi kerajaan kuno tersebut. Namun, mereka tidak bisa mundur sekarang. Mereka harus tahu lebih banyak.
“Kami hanya ingin mengetahui kebenarannya,” kata Rani, berusaha meyakinkan pria itu. “Kami tidak takut dengan apa pun yang mungkin kami temui. Kami harus tahu lebih banyak.”
Pria tua itu menghela napas panjang, lalu berdiri dengan perlahan. “Jika kalian tidak takut, ikuti aku,” katanya dengan suara rendah. “Aku akan menunjukkan kalian sesuatu. Tapi setelah itu, kalian harus siap untuk menerima konsekuensinya.”
Arga dan Rani mengikuti pria itu dengan hati-hati, menelusuri jalanan sempit menuju sebuah rumah tua yang terletak di ujung desa. Rumah itu tampak seperti tidak berpenghuni, tetapi ada sesuatu yang menarik perhatian mereka. Di depan rumah, terdapat sebuah batu besar yang tampak seperti memiliki ukiran-ukiran kuno di permukaannya. Batu itu terlihat usang, namun masih jelas terukir simbol yang sama dengan yang ada pada peta yang mereka bawa.
“Ini adalah batu penjaga,” kata pria itu, menunjuk batu besar tersebut. “Batu ini sudah ada sejak zaman dahulu. Dulu, kerajaan itu melindungi dirinya dengan kekuatan yang terkandung di dalamnya. Setiap orang yang mencoba mengakses kekuatan itu akan mendapat peringatan, tetapi tidak banyak yang mendengarnya.”
Arga mendekati batu itu dengan hati-hati, mencoba mengamati ukiran yang ada di permukaannya. Ada beberapa simbol yang terlihat familiar, dan ada pula yang tampak sangat asing. Sebuah lingkaran besar dengan dua garis silang di tengahnya, sama persis dengan yang ada di peta. Namun, di bawahnya, ada sebuah tulisan yang sulit terbaca. Arga mencoba mengartikannya dengan bantuan pengetahuan tentang aksara kuno yang dia miliki, namun ada sesuatu yang menghalangi pikirannya untuk benar-benar memahaminya.
“Tunggu,” kata Arga, merasakan ada sesuatu yang aneh di sekitar batu tersebut. “Ada sesuatu yang berbeda di sini.”
Tiba-tiba, dengan suara gemuruh yang menggelegar, batu itu bergetar, seolah-olah ada kekuatan yang sedang dibangkitkan. Arga dan Rani mundur beberapa langkah, terkejut oleh kejadian yang tak terduga. Pria tua itu hanya berdiri diam, seolah sudah terbiasa dengan kejadian seperti itu.
“Kekuatan itu sudah mulai bangkit,” kata pria tua itu dengan suara bergetar. “Kerajaan itu… akan menunjukkan dirinya pada kalian, jika kalian benar-benar siap.”
Suasana di sekitar mereka semakin mencekam, dan Arga bisa merasakan ketegangan di udara. Sesuatu yang besar dan tak terduga sedang terjadi. Sesuatu yang tak bisa mereka hindari.
“Mari kita pergi,” kata pria tua itu dengan tegas. “Sekarang, lebih baik kalian pergi. Kerajaan itu tidak bisa ditemukan begitu saja. Ia hanya akan menunjukkan dirinya pada mereka yang pantas… dan kalian harus siap untuk menghadapinya.”
Arga dan Rani saling berpandangan. Mereka merasa ada jalan yang terbuka di depan mereka, namun jalan itu juga penuh dengan bahaya yang tak terlihat. Terkadang, untuk menemukan kebenaran, seseorang harus berani menghadapinya—meskipun itu berarti menghadapi sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri.*
Bab 4: Menyusuri Lorong Waktu
Arga dan Rani meninggalkan desa itu dengan perasaan yang campur aduk. Kekuatan yang baru mereka rasakan di dekat batu penjaga terus membayangi pikiran mereka. Tidak ada penjelasan rasional yang bisa menjelaskan getaran yang mereka rasakan, tetapi yang jelas, sesuatu telah berubah. Sesuatu yang sangat besar dan penuh misteri tengah mengintai mereka.
Setelah beristirahat sejenak, mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka ke lokasi yang lebih jauh, yang menurut petunjuk dalam peta tersebut, adalah titik berikutnya dalam pencarian mereka. Meski begitu, mereka merasa bahwa mereka belum sepenuhnya siap untuk menghadapi apa yang akan mereka temui di sana. Namun, keinginan untuk mengungkap kebenaran, untuk menemukan jejak sejarah yang telah lama terlupakan, mendorong mereka untuk terus melangkah maju.
Di perjalanan pulang, suasana di sekitar mereka tampak semakin sunyi. Di jalan yang berliku-liku dan dikelilingi hutan lebat, tidak ada tanda-tanda kehidupan selain suara angin yang berdesir di pepohonan dan suara langkah kaki mereka yang menggema di jalanan yang sepi. Rani merasakan ketegangan yang menghinggapi tubuhnya, namun ia tidak bisa mengungkapkan perasaannya secara terbuka. Ia merasa bahwa setiap langkah mereka mendekati sesuatu yang jauh lebih besar daripada apa pun yang pernah mereka bayangkan.
Sesampainya di penginapan kecil di pinggir kota, mereka memutuskan untuk menyusun kembali langkah mereka. Mereka membuka peta tua itu, memperhatikan setiap simbol dan tanda yang ada, berusaha mencari hubungan antara satu titik dengan titik lainnya. Mereka mendiskusikan apa yang mereka pelajari dari percakapan dengan Pak Sastro dan pria tua di desa, namun ada satu hal yang terus membekas di pikiran Arga.
“Pak Sastro berkata bahwa ada banyak orang yang berusaha mencari kekuatan itu, tapi tidak ada yang berhasil,” kata Arga, mengingat kembali kata-kata yang disampaikan oleh Pak Sastro. “Bahkan, dia mengatakan bahwa orang-orang yang mencoba mendapatkan kekuatan itu sering kali tidak kembali utuh. Ada sesuatu yang melindungi tempat itu, sesuatu yang bisa mengubah sejarah.”
Rani menatap peta, merasa ada sebuah pola yang mulai terbentuk. “Mungkin kekuatan yang dimaksud bukan hanya tentang kekayaan atau harta karun. Mungkin itu sesuatu yang lebih besar, lebih gelap dari yang kita kira.”
Arga mengangguk. Ia menyadari bahwa pencarian ini bukan hanya tentang mencari lokasi kerajaan kuno yang hilang, tetapi juga untuk mengungkap sebuah rahasia yang telah terkubur dalam sejarah Indonesia, rahasia yang seharusnya tetap tersembunyi.
“Apa yang harus kita lakukan selanjutnya?” tanya Rani, memecah keheningan yang tercipta di antara mereka.
Arga menghela napas panjang. “Kita harus mencari lebih banyak petunjuk. Peta ini hanya sebagian dari gambaran besar. Ada banyak tempat yang harus kita kunjungi, dan setiap tempat mungkin akan memberikan kita petunjuk lebih lanjut.”
Mereka kemudian merencanakan perjalanan berikutnya ke sebuah kota tua di Jawa Tengah, yang dikenal dengan nama Kota Angker. Nama kota ini sudah tidak asing lagi bagi Arga. Sejak kecil, ia sering mendengar cerita tentang kota tersebut dari kakeknya, yang mengatakan bahwa kota itu menyimpan banyak rahasia yang bahkan para ahli sejarah pun tidak tahu. Kota Angker memiliki sejarah yang sangat gelap, dengan banyak cerita tentang kejadian-kejadian aneh yang terjadi di sana, serta koneksinya dengan kerajaan-kerajaan kuno yang hilang.
Pada pagi hari berikutnya, mereka memulai perjalanan ke Kota Angker. Mereka berangkat lebih awal untuk menghindari kemacetan, karena kota itu terletak cukup jauh dari tempat mereka. Selama perjalanan, pikiran Arga dan Rani terus terfokus pada apa yang akan mereka temui di kota itu. Jika memang ada kebenaran yang tersembunyi di balik kerajaan kuno, mungkin kota ini memiliki informasi yang mereka cari.
Setelah menempuh perjalanan yang panjang, mereka akhirnya tiba di Kota Angker saat matahari mulai tenggelam. Kota ini terlihat sepi, dengan bangunan-bangunan tua yang hampir rubuh, serta jalan-jalan sempit yang dipenuhi debu. Suasana kota ini terasa seperti tempat yang dilupakan waktu, seakan-akan kota ini pernah menjadi saksi peristiwa besar yang kini telah terkubur dalam sejarah. Arga merasakan sebuah ketegangan yang tidak biasa, seperti ada sesuatu yang menunggu mereka di balik dinding-dinding berdebu ini.
Mereka memutuskan untuk mencari penginapan di kota itu, dan memilih sebuah rumah penginapan yang tampaknya sudah cukup lama tidak terjamah. Pemilik penginapan adalah seorang pria tua yang ramah, namun matanya menyimpan keraguan yang dalam. Seolah-olah ia tahu sesuatu yang tidak ingin diungkapkan.
“Kalian datang untuk mencari kebenaran, bukan?” tanya pria tua itu saat mereka mulai mengobrol di ruang makan penginapan. Suaranya terdengar bijaksana, namun ada kekhawatiran yang terpendam di dalamnya.
Arga dan Rani terkejut mendengar pertanyaan itu. Mereka tidak mengatakan apapun yang bisa memicu pria itu untuk bertanya seperti itu. “Kami hanya… mencari informasi tentang kota ini,” jawab Arga, mencoba terdengar tenang.
Pria tua itu mengangguk, dan tatapannya semakin tajam. “Kota ini memiliki sejarah yang kelam. Banyak yang datang mencari, tetapi tidak ada yang kembali dengan utuh. Ada tempat yang sangat tua di luar kota ini, sebuah kuil yang dibangun oleh kerajaan kuno. Banyak yang menganggap tempat itu terkutuk.”
Rani dan Arga saling berpandangan. “Apakah Anda tahu di mana tempat itu?” tanya Rani, berbisik hampir tak terdengar.
Pria itu menatap mereka sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Saya tahu. Tapi saya peringatkan kalian, tempat itu bukan untuk orang biasa. Kekuatan yang ada di sana bisa mengubah segalanya—dan kalian tidak akan tahu siapa atau apa yang akan kalian temui.”
Kata-kata pria tua itu menggema di telinga mereka saat mereka kembali ke kamar penginapan malam itu. Mereka tahu bahwa mereka semakin dekat dengan sesuatu yang sangat besar. Sesuatu yang bisa mengubah hidup mereka, atau bahkan sejarah Indonesia itu sendiri. Peta yang mereka bawa, bersama dengan petunjuk yang baru saja mereka dapatkan, membawa mereka ke titik yang tak terhindarkan. Mereka harus pergi ke kuil itu—tempat yang disebut-sebut sebagai pusat dari segala rahasia kerajaan kuno yang hilang.
Namun, perasaan takut juga mulai merayapi mereka. Mereka tidak tahu apa yang akan mereka temui di sana, dan apa akibat dari perjalanan ini. Tetapi satu hal yang pasti—perjalanan mereka akan membawa mereka pada sebuah keputusan yang akan menentukan nasib mereka, serta mengungkap rahasia besar yang telah terkubur selama berabad-abad.*
Bab 5: Gerbang Dimensi
Keesokan harinya, pagi yang cerah menyambut Arga dan Rani dengan udara segar yang berhembus dari pegunungan. Namun, dalam hati mereka, ada ketegangan yang semakin membesar. Kota Angker, yang sebelumnya terlihat sunyi dan misterius, kini terasa semakin berat dengan bayangan-bayangan yang mengintai dari balik sejarah kelamnya. Petunjuk yang mereka terima malam sebelumnya mengarahkan mereka pada kuil kuno di luar kota, yang dikenal oleh penduduk setempat sebagai Gerbang Dimensi. Kuil itu sudah lama terlupakan, namun di balik kegelapannya tersembunyi sebuah kekuatan yang mampu mengubah sejarah. Arga dan Rani merasa mereka semakin dekat dengan kebenaran yang selama ini dicari.
Mereka memutuskan untuk berangkat setelah sarapan, membawa perbekalan secukupnya dan memastikan bahwa mereka siap menghadapi segala kemungkinan. Pria tua pemilik penginapan memberi mereka petunjuk arah dengan ragu, menambahkan, “Hati-hati. Banyak yang tidak pulang setelah mengunjungi kuil itu. Apa yang kalian cari di sana adalah sesuatu yang tidak boleh dimiliki oleh sembarang orang.”
Kata-kata itu menggema di kepala Arga, namun dia berusaha mengabaikannya. Misi mereka lebih besar dari rasa takut yang menggerogoti hati. Mereka harus menemui apa yang ada di balik gerbang itu.
Perjalanan menuju kuil berlangsung lancar, meskipun jalannya semakin sulit dan terjal seiring mereka mendekati daerah pegunungan yang lebih tinggi. Setelah berjalan beberapa kilometer, mereka mulai memasuki hutan yang lebih lebat. Suasana hutan ini terasa begitu mencekam, seakan-akan setiap langkah yang mereka ambil di bawah rindangnya pohon-pohon raksasa membawa mereka lebih dalam ke dalam lorong waktu yang tersembunyi.
Setelah beberapa jam berjalan, mereka tiba di sebuah area terbuka di mana mereka melihat sebuah bangunan tua yang terletak di puncak bukit. Kuil itu tampak seperti sudah lama ditinggalkan, namun arsitekturnya menunjukkan bahwa itu pernah menjadi tempat yang penting pada zamannya. Tembok-temboknya dipenuhi lumut dan tanaman merambat, dan udara di sekitarnya terasa dingin dan berat. Tidak ada suara binatang yang terdengar di sekitar kuil, hanya keheningan yang mengerikan.
“Kita sudah sampai,” kata Arga, matanya tak bisa lepas dari bangunan yang tampaknya memancarkan energi aneh. “Ini tempatnya. Kuil yang disebut oleh pria tua itu.”
Rani mengangguk dengan wajah serius, meskipun ada rasa takut yang jelas tergambar di matanya. “Aku merasakannya, Arga. Ada sesuatu yang… berbeda di sini.”
Mereka mulai menaiki anak tangga yang terbuat dari batu besar menuju pintu kuil. Ketika mereka sampai di atas, mereka berdiri di depan sebuah pintu batu besar yang terkunci rapat, dihiasi dengan ukiran-ukiran yang sulit dipahami. Pintu itu tidak memiliki pegangan atau kunci, hanya ukiran yang tampak sangat kuno dan mengandung simbol-simbol yang familiar bagi Arga. Setelah melihat sekilas, ia merasa yakin bahwa simbol-simbol itu berhubungan dengan peta yang mereka temukan di desa sebelumnya.
“Tunggu,” kata Arga, berusaha memeriksa lebih dekat ukiran di pintu itu. Ia menyentuh salah satu simbol dan tiba-tiba merasa sebuah getaran halus menyebar melalui tubuhnya. Ukiran itu tampak bergerak, seolah merespon sentuhan tangannya.
“Arga… apa yang terjadi?” tanya Rani dengan nada cemas.
Namun, Arga tidak menjawab. Ia merasakan sesuatu yang jauh lebih kuat daripada yang pernah ia bayangkan. Getaran itu semakin kuat, dan tiba-tiba pintu itu terbuka dengan sendirinya, seakan merespons kehadiran mereka. Di depan mereka terbentang sebuah lorong gelap yang menuju ke dalam. Di ujung lorong, mereka bisa melihat cahaya yang meredup, tetapi tidak ada suara lain yang terdengar.
“Kita harus masuk,” kata Arga, matanya berkilat-kilat penuh tekad. Ia tahu bahwa ini adalah ujian mereka. Mereka tidak bisa mundur lagi.
Dengan langkah hati-hati, mereka memasuki kuil itu. Setiap langkah yang mereka ambil terasa berat, seolah-olah ada sesuatu yang mengawasi mereka dari kegelapan. Mereka mengikuti lorong yang semakin dalam, dikelilingi oleh dinding batu yang dihiasi dengan ukiran-ukiran misterius yang semakin sulit dipahami.
Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di sebuah ruangan besar yang penuh dengan batu-batu besar dan patung-patung kuno yang mematung. Di tengah ruangan, terdapat sebuah altar besar yang tampaknya sudah sangat tua, tertutup dengan debu tebal. Cahaya yang mereka lihat sebelumnya berasal dari sebuah kristal besar yang terletak di atas altar, memancarkan cahaya yang aneh dan menyilaukan.
Arga dan Rani mendekati altar itu dengan hati-hati. Mereka tahu bahwa mereka berada di titik yang sangat penting dalam perjalanan mereka. Namun, begitu mereka berada di dekat altar, sesuatu yang tak terduga terjadi. Cahaya kristal itu mulai berkedip-kedip dengan cepat, dan suara gemuruh terdengar dari dalam tanah. Seluruh kuil bergetar hebat, dan ruangan itu dipenuhi dengan energi yang begitu kuat, membuat mereka hampir kehilangan keseimbangan.
“Arga… apa yang terjadi?” teriak Rani, berpegangan pada salah satu batu besar di dekatnya.
Arga hanya bisa menatap altar itu, matanya melebar dengan ketegangan. Ia merasakan ada sesuatu yang sangat kuat di dalam kristal itu, sesuatu yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya. Sebuah suara dalam pikirannya berbisik, suara yang datang entah dari mana, namun begitu jelas dan kuat, seolah berasal dari masa lalu yang jauh.
“Kerajaan itu adalah pintu gerbang bagi kekuatan yang lebih besar. Hanya mereka yang siap yang dapat mengendalikannya.”
Pernyataan itu berputar-putar dalam benaknya. Arga tidak tahu siapa yang mengatakannya, tetapi ia tahu bahwa kata-kata itu memiliki makna yang sangat dalam. Apakah ini yang dimaksud oleh Pak Sastro? Apakah kerajaan kuno itu benar-benar memiliki kekuatan yang mampu mengubah dunia?
Tiba-tiba, cahaya kristal itu melesat keluar dari altar, membentuk sebuah pusaran energi yang berputar di udara. Pusaran itu semakin besar dan semakin kuat, mengeluarkan suara yang menggetarkan seluruh kuil. Arga dan Rani mundur beberapa langkah, merasa terhimpit oleh kekuatan yang melingkupi mereka.
“Arga, kita harus pergi!” teriak Rani, namun Arga tidak bisa bergerak. Ia terpesona oleh pusaran energi itu, seolah terikat oleh kekuatan yang luar biasa. Sebuah dorongan kuat datang dari dalam dirinya, dorongan untuk menyentuh kristal itu, untuk merasakan kekuatan yang ada di dalamnya.
“Tidak… kita harus mengerti ini,” kata Arga dengan suara tegas, mencoba mengendalikan dirinya. “Ini adalah jawaban yang kita cari. Kita tidak bisa mundur sekarang.”
Rani merasa takut, namun ia tahu bahwa Arga sudah membuat keputusan. Keduanya berdiri di tengah pusaran energi itu, siap menghadapi apa pun yang akan datang. Pusaran itu semakin cepat berputar, dan tiba-tiba, sebuah suara keras terdengar, seolah membuka sebuah gerbang yang tak terlihat.
Dan dalam sekejap, semuanya berubah.
Gerbang dimensi terbuka, dan Arga serta Rani terhisap ke dalam kegelapan yang tak terhingga. Mereka tidak tahu ke mana mereka akan dibawa, namun mereka tahu bahwa mereka tidak akan pernah sama lagi setelah ini.***
…………………….THE END…………………….