• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
BAYANGAN DI TENGAH KABUT

BAYANGAN DI TENGAH KABUT

April 23, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
BAYANGAN DI TENGAH KABUT

BAYANGAN DI TENGAH KABUT

by SAME KADE
April 23, 2025
in Horor
Reading Time: 45 mins read

Bab 1 – Desa yang Hilang dari Peta

Langit sore mulai mengabu ketika Saka akhirnya menapakkan kaki di ujung jalan tanah yang lengket oleh lumpur. Di depannya, berdiri sebuah gerbang kayu tua dengan papan yang hampir lepas bertuliskan:

“Selamat Datang di Rawasari”

Namun, anehnya, tidak ada desa ini di peta digital, bahkan dalam arsip daerah yang ia periksa di kota sebelumnya. Rawasari seperti muncul dari celah waktu—dikenal oleh sebagian, tapi dilupakan oleh dunia.

Saka menarik napas panjang. Ia datang bukan tanpa alasan.

Sebagai jurnalis investigasi muda, ia sering mengejar cerita yang orang lain anggap tak masuk akal. Namun, surat misterius yang ia terima sebulan lalu benar-benar mengguncang pikirannya. Surat tanpa pengirim itu hanya berisi satu kalimat:

“Datanglah ke Rawasari sebelum kabut menelannya lagi.”

Ia kira itu hanya candaan. Sampai ia menemukan secarik artikel tua dari koran tahun 1973, yang membahas hilangnya seluruh penduduk desa Rawasari dalam kabut—dan tak pernah ditemukan kembali.

Kini, di sinilah ia. Kabut tipis mulai merayap perlahan dari balik pepohonan di tepi desa. Aneh, padahal belum malam.

Desa itu tampak kuno, sunyi, dan tak berubah oleh zaman. Rumah-rumah beratap rumbia berdiri berjejer seperti lukisan masa lampau. Tak ada listrik. Tak ada sinyal. Tapi ada sesuatu yang jauh lebih mencolok daripada keanehan visual: kesunyian yang terlalu sempurna.

Tidak ada suara ayam. Tidak ada anak-anak berlarian. Tidak ada aktivitas apa pun. Seakan-akan desa itu hanya menunggu… kedatangan seseorang.

Saka melangkah masuk melewati gerbang. Kakinya menjejak tanah yang lembap, dan hawa dingin segera memeluk tubuhnya. Ia menyapa seorang lelaki tua yang duduk di bangku depan rumah, namun lelaki itu hanya menatapnya datar, seakan tidak melihatnya sama sekali.

Perlahan, kabut mulai menebal. Tidak seperti kabut biasa. Kabut ini mengandung aroma tanah basah yang berlapis sesuatu yang lebih… basi. Seperti bau pakaian lama yang disimpan bertahun-tahun, tercampur aroma darah kering dan bunga melati.

Saka mulai merasa tak nyaman.

Ia berjalan lebih cepat, menuju bangunan terbesar di tengah desa—penginapan tua yang disebut-sebut dalam artikel lama. Di sana ia bertemu Bu Kirana, wanita tua berwajah keras tapi menyambutnya dengan senyum aneh, seperti seseorang yang sudah tahu ia akan datang.

“Kau datang tepat waktu,” ucap Bu Kirana sambil menatap langit yang makin kelam, “kabutnya belum turun sepenuhnya.”

Saka menoleh ke belakang. Kabut itu… kini sudah menutupi jalan masuk ke desa. Ia tidak bisa melihat jalan yang barusan ia lewati.

“Masuklah. Malam ini bukan waktu yang baik untuk berada di luar.”

Suara Bu Kirana menggema pelan. Suara kabut seperti berbisik di antara pohon.

Saka pun melangkah masuk, tak sadar bahwa di antara kabut di belakangnya… sebuah bayangan tanpa bentuk tengah memperhatikannya dari kejauhan.

Bab 2 – Rumah Penginapan dan Wanita Tua

Saka merasa seperti seseorang yang sudah lama kehilangan arah, meskipun dia belum tahu apa yang dicari. Begitu mobil yang membawanya berhenti di depan rumah penginapan tua milik Bu Kirana, perasaan tak nyaman mulai mengendap dalam hatinya. Rumah ini terbuat dari kayu tua yang hampir seluruhnya tertutup lumut hijau. Pintu depan rumah itu sudah setengah terbuka, dengan suara berderak yang terdengar setiap kali angin bertiup. Di sekitar rumah, kabut tampaknya semakin pekat, seperti menelan rumah itu satu per satu.

Wanita tua yang menyambutnya bernama Bu Kirana. Meskipun wajahnya keriput dan matanya kabur, ada ketegasan dalam suaranya yang membuat Saka sedikit terkejut.

“Selamat datang, anak muda. Kau pasti Saka, kan?” ujar Bu Kirana dengan senyum yang lebih mirip raut khawatir.

Saka hanya mengangguk. Ia merasa tak enak hati, meskipun seharusnya ia merasa lega bisa tiba di tempat yang dituju. Namun, ada sesuatu yang berbeda di sini. Seperti ada yang mengawasi, dan ia tak bisa memahaminya.

“Apakah kabut selalu seperti ini?” tanya Saka, berusaha memecah ketegangan.

Bu Kirana menatap kabut dengan pandangan kosong, seolah ia bisa melihat lebih dari sekadar kabut itu.

“Ya, kabut selalu datang dan pergi, tapi tak pernah benar-benar hilang. Seperti halnya yang ada di dalam desa ini, anak muda, tak ada yang benar-benar hilang, mereka hanya tersembunyi,” jawab Bu Kirana pelan, hampir berbisik.

Saka merasa ada yang aneh dengan cara Bu Kirana berbicara. Suaranya seperti terselip sebuah peringatan yang tak langsung diungkapkan. Namun, Saka memilih untuk tidak terlalu mendalaminya. Ia sudah lelah setelah perjalanan panjang, dan yang ia butuhkan sekarang adalah istirahat.

Bu Kirana menunjukkan kamarnya, sebuah ruangan yang sederhana namun nyaman, dengan jendela yang menghadap ke halaman belakang yang gelap dan kabut yang tebal. Saka mengangguk dan segera meletakkan tasnya di atas tempat tidur. Ketika ia berjalan menuju jendela untuk menatap pemandangan luar, matanya tertumbuk pada sebuah lukisan tua yang tergantung di dinding. Lukisan itu menggambarkan sebuah rumah yang serupa dengan penginapan ini, namun terlihat jauh lebih megah dan cerah, seolah itu diambil dari masa lalu.

Namun, ada sesuatu yang ganjil—di latar belakang lukisan itu tampak kabut yang begitu tebal, menyelimuti segala sesuatu dalam jangkauannya.

“Ah, itu hanya kenangan lama,” kata Bu Kirana, yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu, membuat Saka terkejut. “Kabut… selalu ada di sini.”

Saka menoleh dan ingin bertanya lebih lanjut, namun Bu Kirana mengangkat tangan dengan halus, memberi isyarat untuk diam.

“Malamlah nanti, jika kabut semakin pekat, kau akan mendengar banyak suara. Suara yang datang dari luar… atau mungkin… dari dalam rumah. Jangan hiraukan mereka,” lanjutnya dengan nada yang begitu serius.

Saka merasa tenggorokannya tercekat. Tidak hanya karena kata-kata Bu Kirana yang membekas di hati, tetapi juga karena perasaan tak nyaman yang semakin menguasai dirinya. Ketika Bu Kirana meninggalkan ruangan, Saka berdiri dekat jendela, menatap ke luar, berharap untuk menemukan jawaban.

Namun kabut semakin pekat, melingkupi dunia di luar seakan memisahkan Saka dari dunia nyata. Ia merasakan hawa dingin yang tidak wajar masuk ke dalam kamar, meskipun jendela terkunci rapat.

Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki dari luar jendela. Langkah itu lambat, seperti ada seseorang yang sedang berjalan mengelilingi rumah. Saka berusaha mengintip dari balik tirai, tapi yang ia lihat hanya kabut tebal yang bergerak-gerak seolah hidup. Tidak ada siapa-siapa di luar.

Ia merasa tubuhnya kaku. Hawa dingin semakin meresap, membuatnya sulit bernafas. Tiba-tiba, ia mendengar suara bisikan—seperti seseorang yang memanggil namanya dari kejauhan.

“Saka… Saka…”

Saka menegakkan tubuhnya, mencoba meresapi suara itu. Suara ibu? Suara yang sudah lama hilang? Tapi… itu datangnya dari luar, dari kabut yang semakin tebal.

Saka menggigil, tetapi ia memutuskan untuk menunggu—termasuk menghadapi segala hal yang akan datang malam ini. Bukankah ia datang ke sini untuk mencari kebenaran?

Bab 3 – Larangan Tertulis di Dinding

Saka terbangun dari tidurnya dengan terengah-engah. Entah karena mimpi buruk atau karena suara-suara aneh yang ia dengar sepanjang malam, ia merasa tubuhnya tak benar-benar beristirahat. Kabut di luar kamar semakin tebal, dan melalui celah-celah jendela, ia melihat kabut itu seperti bergerak, menari mengikuti irama angin yang entah datang dari mana. Ada sesuatu yang aneh dalam kabut itu—sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Saat ia beranjak untuk mengambil air minum, ia melihat jam dinding di kamarnya sudah menunjukkan pukul dua pagi. Ruangan itu terasa dingin dan suram. Suasana sunyi itu menambah rasa mencekam yang tak bisa ia hindari.

Namun, sebelum ia melangkah keluar, matanya tertumbuk pada sesuatu di balik lukisan tua yang tergantung di dinding—di dekat pintu kamar. Saka mendekat, merasakan ketegangan yang makin menguat dalam dirinya. Lukisan itu terlihat sudah sangat usang, namun garis-garis dalam gambar masih tampak jelas: sebuah rumah besar dengan halaman yang luas, entah itu rumah Bu Kirana atau rumah lainnya yang pernah ada di desa ini. Tetapi, apa yang membuatnya merasa aneh adalah tulisan yang tampak seperti dicoret-coret di balik bagian belakang lukisan.

Dengan hati-hati, Saka mengangkat lukisan itu. Di belakangnya, terdapat selembar kertas kuno yang dipasangkan dengan pin yang hampir berkarat. Kertas itu tampak sudah lama terlupakan, menguning dan berdebu. Saka merasa ada ketegangan di dalam dadanya, tetapi rasa penasaran akhirnya mengalahkan rasa takut yang menggigitnya. Ia melepaskan pin itu dengan pelan dan mengambil kertas tersebut.

Ketika ia membacanya, sebuah rasa dingin yang tak terperikan menyelimuti tubuhnya. Tulisan tangan di atas kertas itu berbunyi:

“Jangan keluar saat kabut turun. Jangan menatap bayangan di kabut. Jangan panggil nama yang kau dengar dari dalamnya.”

Saka membaca kata-kata itu berulang kali, mencoba mencerna maknanya. Kata-kata itu terasa seperti peringatan, namun dari siapa? Apakah ini terkait dengan kabut yang ia lihat semalam? Ia merasa semakin terperangkap dalam misteri ini, namun juga semakin ingin menggali lebih dalam.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia melipat kembali kertas itu dan menaruhnya kembali di balik lukisan. Ketika ia berbalik untuk pergi, ia mendengar suara langkah kaki dari luar. Saka berhenti sejenak, merasakan ketegangan di udara. Hanya saja, kali ini, langkah itu terdengar lebih jelas, lebih dekat.

Ia mendekat ke jendela dengan hati-hati, berharap tidak ada yang melihatnya. Dari balik tirai, ia bisa melihat seseorang berdiri di tengah halaman penginapan. Pria itu mengenakan pakaian yang aneh—seperti pakaian lama, lusuh, dan hampir tak terlihat di tengah kabut tebal. Apa yang aneh adalah wajah pria itu—bukan hanya samar, tetapi… tidak ada wajah sama sekali. Hanya sebuah kabut gelap yang menutupi tempat di mana wajahnya seharusnya berada.

Saka terperangah. Suara langkah kaki itu berhenti sejenak. Lalu, pria itu bergerak menuju pintu depan penginapan, tanpa ragu, seolah-olah ia tahu betul jalan yang harus dilalui.

Saka merasa darahnya berdesir. Wajah pria itu tidak memiliki ekspresi, seolah ia adalah sosok yang bukan manusia. Tiba-tiba, suara langkah kaki itu berhenti tepat di depan pintu kamar Saka. Saka merasa jantungnya hampir berhenti berdetak, tubuhnya kaku, dan matanya tak dapat melepaskan pandangannya dari bayangan pria itu.

Tapi, bayangan itu tak bergerak. Hanya berdiri di sana, seperti menunggu sesuatu. Tidak ada suara, hanya desiran angin dan kabut yang semakin tebal.

Tanpa sadar, Saka mundur menjauh dari jendela, mencoba menenangkan diri. Ia duduk di tempat tidur, berusaha untuk berpikir jernih. Tapi perasaan aneh yang ia rasakan membuatnya merasa semakin terisolasi. Kabut di luar semakin pekat, seolah menyelimuti seluruh desa. Ketika ia hendak berdiri untuk melihat keluar lagi, sebuah suara memanggilnya.

“Saka… Saka…”

Suara itu datang lagi. Lembut, mengundang, namun ada ketegangan di dalamnya. Seolah suara itu membawa rasa sakit yang dalam. Suara itu terdengar familiar, seperti suara ibunya yang sudah lama meninggal. Namun, ia tahu itu mustahil. Ibunya telah meninggal bertahun-tahun yang lalu.

Saka berdiri terburu-buru, dengan naluri yang mendorongnya untuk mengecek kabut itu. Pintu kamar terbuka dengan sendirinya, seperti ada kekuatan yang menariknya keluar. Kakinya melangkah tanpa ia sadari, keluar dari kamar dan memasuki lorong yang gelap.

Saat kakinya menyentuh lantai penginapan, Saka merasa ada sesuatu yang salah. Lorong itu terlihat berbeda, lebih panjang dari yang ia ingat. Dinding-dindingnya seakan bergerak, bergoyang, menambah rasa mencekam di dalam hatinya. Setiap langkahnya terasa berat, seperti ada yang menariknya untuk terus maju.

Ia tiba di ujung lorong, di depan sebuah pintu yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Pintu itu terbuat dari kayu tua yang hampir lapuk. Tidak ada tanda bahwa pintu itu pernah dibuka. Tetapi, suara itu—suara yang memanggilnya—terdengar lebih jelas.

“Saka…” lagi, suara itu terdengar. Kali ini lebih jelas, lebih mendalam. Saka merasa tubuhnya gemetar, tetapi langkah kakinya membawa dirinya lebih dekat ke pintu itu.

Dengan tangan yang gemetar, Saka membuka pintu itu perlahan. Namun, begitu pintu terbuka, ia merasa angin dingin yang luar biasa mengalir ke luar, dan kabut mulai masuk ke dalam ruangan. Dalam kabut yang pekat itu, ia melihat bayangan-bayangan bergerak, seperti sosok-sosok yang melayang tanpa tubuh.

“Jangan pandang mereka,” kata sebuah suara, kali ini bukan suara yang memanggil, melainkan suara Bu Kirana yang terdengar di belakangnya.

Saka berbalik, tapi yang ia lihat bukan Bu Kirana—hanya bayangan samar wanita tua itu yang berdiri di lorong, di luar jangkauan cahaya.

“Jangan menatap bayangan itu,” Bu Kirana melanjutkan, suaranya semakin lemah. “Mereka bukanlah apa yang kau kira.”

Saka merasa tubuhnya terhenti, kebingungannya semakin dalam. Namun, dengan suara hatinya yang kuat, ia memutuskan untuk menutup pintu itu. Kabut mulai masuk ke dalam ruangan, dan saat ia menoleh, bayangan-bayangan itu mulai melayang ke arahnya.

Bab 4 – Bayangan Pertama

Kabut malam itu semakin pekat, melingkupi desa Rawasari dengan keheningan yang mencekam. Saka terbangun dari tidur yang gelisah. Perasaan tak tenang yang sudah menguasainya sepanjang malam kini berubah menjadi keresahan yang mendalam. Angin malam berbisik di sela-sela jendela kamar, seolah ingin memberitahukan sesuatu yang tak bisa diungkapkan kata-kata.

Ketika ia melangkah keluar dari kamar, suasana di luar tidak seperti yang ia bayangkan. Kabut menutupi segala sesuatu di sekitar penginapan. Jalanan yang sebelumnya tampak jelas kini hilang dalam putihnya kabut yang pekat. Semuanya menjadi kabur, seperti berada di antara dua dunia yang berbeda. Saka berdiri sejenak, mencoba menilai apakah itu hanya ilusi ataukah ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi.

Tak ada suara di sekitar, hanya bisikan angin yang berdesir halus. Langkah Saka terasa berat, seolah tanah di bawah kakinya menahan setiap gerakan. Ia merasakan hawa dingin yang semakin menggigit, mengusir rasa tenang yang sempat ia rasakan. Kabut ini bukan hanya menutupi pandangannya, tetapi juga pikirannya. Seakan ada yang berusaha membenamkannya dalam kegelapan yang semakin dalam.

Saka melangkah perlahan ke luar penginapan, menatap jalan yang seharusnya mengarah ke pusat desa. Namun, saat kakinya menyentuh tanah, sesuatu terasa tidak wajar. Kabut ini bergerak seperti hidup, menyelimuti dirinya secara perlahan. Ia berusaha untuk melangkah lebih jauh, tapi setiap langkahnya terasa seperti melewati lapisan tebal yang tak bisa ditembus.

Tiba-tiba, ia mendengar suara samar di kejauhan. Suara itu datang seperti derap langkah kaki yang berat, menginjak tanah dengan keras. Saka berhenti sejenak, mencoba memastikan sumber suara itu. Apakah itu hanya suara angin? Ataukah suara seseorang yang tengah berjalan di dalam kabut? Dalam kebingungannya, ia melangkah maju, berusaha mencari sumber suara tersebut.

Kemudian, di tengah kabut yang semakin tebal, ia melihatnya—sebuah bayangan. Tidak jelas apakah itu manusia atau hanya ilusi dari matanya, tetapi bayangan itu bergerak perlahan di tengah kabut, mengarah ke arahnya. Saka merasa tubuhnya kaku, matanya tak mampu beralih dari bayangan itu, yang tampaknya semakin jelas seiring dengan kedekatannya.

Bayangan itu bukanlah bayangan biasa. Bentuknya seperti seorang pria yang berjalan dengan langkah lebar, namun ada sesuatu yang aneh. Wajah pria itu tidak tampak. Hanya ada kabut hitam yang mengisi ruang kosong tempat wajah seharusnya berada. Tubuhnya tampak kabur, tak berbentuk jelas, namun Saka bisa merasakan keberadaan itu semakin mendekat, seolah-olah bayangan tersebut tahu persis bahwa ia sedang diawasi.

Rasa takut mulai merayapi setiap sel tubuh Saka. Ia ingin berbalik dan berlari ke dalam penginapan, namun kakinya terasa beku. Ia ingin berteriak, tetapi suara itu tertahan di tenggorokannya, terhalang oleh ketakutan yang semakin dalam.

Bayangan itu semakin mendekat. Saka bisa merasakan detak jantungnya yang semakin kencang, dan saat bayangan itu hanya beberapa langkah lagi darinya, kabut tiba-tiba menyelimuti tubuhnya dengan sangat cepat. Ketika kabut itu menutupi matanya, Saka merasa seperti berada dalam dunia yang berbeda—dunia yang penuh dengan rasa sesak, kabut yang menyelimuti segala rasa dan panca indera.

Tiba-tiba, suara yang begitu familiar terdengar dari dalam kabut.

“Saka… Saka…”

Suara itu terdengar seperti suara ibu yang sudah lama hilang. Suara itu begitu jelas, begitu nyata, namun juga penuh dengan kesedihan yang mendalam. Saka menahan napas, merasa tubuhnya semakin lemah. Apa yang terjadi? Apakah itu benar ibunya? Bagaimana mungkin suara itu terdengar lagi setelah bertahun-tahun?

Dengan langkah yang tak pasti, Saka melangkah lebih dalam ke dalam kabut, meskipun rasanya seperti menuruni jalan yang tak terhingga. Kabut itu semakin pekat, namun suara itu semakin jelas, semakin nyata.

“Saka… Ikutlah… Kami sudah menunggu…”

Suara itu semakin menarik, mengundang. Saka merasa dirinya semakin dekat dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Tiba-tiba, di balik kabut, sebuah cahaya samar muncul. Ia bergerak ke arah cahaya itu, merasa seperti terjebak dalam daya tarik yang tak bisa ia hindari.

Namun, ketika ia semakin dekat, bayangan itu muncul kembali—pria tanpa wajah yang menatapnya dari tengah kabut. Bayangan itu berdiri diam, seolah menunggu Saka untuk menghampirinya. Ketika Saka semakin dekat, ia bisa merasakan ketegangan yang luar biasa. Bayangan itu tak bergerak, tetapi ada sesuatu di dalam dirinya yang berteriak untuk berhenti.

Tapi itu terlambat.

Saka melangkah maju, dan bayangan itu tiba-tiba bergerak ke arah dirinya dengan kecepatan yang luar biasa. Dalam sekejap, ia merasa sesuatu yang berat menekan dadanya, menghalangi pernapasannya. Ia terjatuh, namun tak ada tanah yang terasa di bawah tubuhnya. Yang ada hanya kabut yang semakin mengelilinginya, seperti dunia yang mengisapnya ke dalamnya.

“Saka… Kau tidak bisa pergi…” Suara itu datang lagi, kali ini lebih dalam, lebih menyeramkan.

Saka berusaha membuka mata, berusaha untuk bergerak, tetapi tubuhnya seolah terkunci. Bayangan pria tanpa wajah itu kini berada di atasnya, menyelimuti dirinya dengan bayangannya yang semakin gelap. Saka bisa merasakan napasnya yang semakin sesak, dan dalam satu detik yang panjang, bayangan itu menghilang, meninggalkan Saka terkulai di tanah, terbujur kaku.

Namun, suara yang sama—suara yang memanggil namanya—masih terngiang di telinganya. Dalam kebingungannya, Saka mencoba untuk bangkit, namun ia tahu bahwa sesuatu yang lebih besar, lebih menakutkan, sedang menunggunya di balik kabut yang pekat.

Bab 5 – Cerita Lama dari Armin

Saka duduk di bangku kayu yang terletak di depan penginapan. Kabut yang masih tebal tampak melingkupi seluruh desa, seolah tak memberi ruang untuk sinar matahari menyusup. Suasana sepi menyelubungi Rawasari, hanya angin yang sesekali berdesir, membawa rasa dingin yang menggigit. Meski begitu, entah mengapa Saka merasa ada sesuatu yang semakin menegangkan di dalam dirinya. Pikirannya melayang pada peristiwa yang baru saja ia alami—bayangan tanpa wajah itu, suara yang memanggilnya, dan kabut yang semakin menyesakkan.

Ia mendekatkan tangan ke dahinya, merasakan keringat dingin yang mulai muncul. Kabut ini, kata Bu Kirana, bukan hanya fenomena alam biasa. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang harus dijauhi, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Namun, semakin ia mencoba untuk memahami, semakin banyak pula teka-teki yang tak terpecahkan. Ia merasa seolah-olah terperangkap dalam jaring yang semakin rapat.

Armin, pemuda yang sebelumnya menyelamatkan Saka dari kebingungannya dalam kabut, tiba-tiba muncul di depannya. Pria itu berjalan dengan langkah tenang, seakan tak terpengaruh oleh ketebalan kabut yang mengelilingi desa. Wajah Armin tampak serius, namun ada ekspresi kesedihan yang tak dapat disembunyikan. Dia duduk di samping Saka tanpa berkata-kata, seolah tahu bahwa saat ini, kata-kata mungkin tak akan cukup untuk menggambarkan apa yang sedang terjadi.

Beberapa saat hening, hanya terdengar suara desiran kabut yang bergerak. Saka, yang merasa tak nyaman dengan keheningan itu, akhirnya membuka suara.

“Armin, apa sebenarnya yang terjadi di desa ini?” tanya Saka, suaranya terdengar penuh ketegangan. “Kenapa kabut ini tak pernah pergi? Apa yang sebenarnya terjadi dengan orang-orang yang hilang?”

Armin menatapnya dengan tatapan kosong, seperti ada beban berat yang menggunung di dalam dirinya. Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian mengangguk pelan, seolah ia tahu bahwa pertanyaan ini suatu saat pasti akan muncul.

“Orang-orang di desa ini… kami semua tahu tentang kabut ini. Tapi, tak ada yang berani bicara tentangnya. Sudah bertahun-tahun lamanya, kabut ini datang dan pergi, namun selalu ada sesuatu yang lebih gelap di baliknya. Sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh mata, tapi bisa dirasakan oleh hati.”

Saka menatap Armin dengan penuh rasa ingin tahu, tapi pemuda itu masih terdiam, tampaknya menimbang-nimbang apakah ia harus melanjutkan cerita atau tidak. Saka merasakan ketegangan di udara, seolah-olah mereka sedang berada di ambang membuka sebuah rahasia yang akan mengubah segalanya.

“Ada cerita lama tentang desa ini,” Armin melanjutkan, akhirnya. “Cerita yang diceritakan oleh nenek moyang kami. Tentang sekelompok anak-anak yang menghilang di tengah kabut, beberapa tahun yang lalu. Mereka tidak hanya hilang begitu saja. Mereka menghilang tanpa jejak, tak ada yang tahu kemana perginya. Hanya satu yang kembali—anak itu bisu selamanya.”

Saka terdiam, mencerna apa yang baru saja didengarnya. Hilangnya anak-anak—itu mengingatkan pada banyak kasus serupa yang terjadi di tempat lain, tapi kabut yang meliputi desa ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang lebih mengerikan di balik cerita itu. Sesuatu yang mengikat antara masa lalu dan sekarang, antara kehidupan dan kematian.

“Siapa anak yang kembali itu?” tanya Saka, suaranya hampir terdengar ragu.

“Namanya Iskandar,” jawab Armin, wajahnya berubah lebih serius. “Dia satu-satunya yang kembali. Tapi ia tidak bisa bicara, tidak bisa memberi tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia hanya diam, duduk di sudut desa, dengan pandangan kosong. Tidak ada yang berani bertanya banyak padanya, dan tidak ada yang tahu apa yang terjadi padanya.”

Saka merasa sebuah gelombang dingin merayap naik ke lehernya. Iskandar—seorang anak yang kembali dari kegelapan kabut, namun dengan keheningan yang menghantuinya. Itu bukanlah hal yang wajar. Dan semakin Saka mendengarkan cerita Armin, semakin ia merasa bahwa ada hubungan yang sangat erat antara kabut ini dan hilangnya anak-anak itu. Ada kekuatan tak terlihat yang bersembunyi di baliknya, dan semakin dekat ia dengan misteri ini, semakin besar bahaya yang mungkin mengancamnya.

Armin melanjutkan, suaranya kini terdengar lebih lembut, penuh kepedihan. “Sejak saat itu, desa ini tak pernah sama lagi. Setiap kali kabut datang, beberapa orang akan menghilang. Beberapa ditemukan di tempat yang sama sekali berbeda, dalam keadaan yang sangat lemah, tanpa ingatan tentang apa yang telah terjadi. Mereka hanya bisa bercerita tentang kabut yang mengelilingi mereka, dan bayangan-bayangan yang mengintai dari dalamnya.”

Saka merasa perasaan aneh menghampirinya, sebuah perasaan bahwa dirinya mungkin akan menjadi bagian dari cerita lama ini. Armin menatapnya dengan tatapan yang sulit dipahami, seolah-olah ia tahu bahwa Saka sedang terjerat dalam jaring yang sama.

“Ada satu hal lagi yang perlu kau tahu, Saka,” Armin berkata pelan, wajahnya menjadi semakin serius. “Bayangan itu bukan hanya sesuatu yang mengganggu. Mereka adalah roh-roh yang terlupakan—jiwa-jiwa yang tak pernah mendapatkan kedamaian, tak pernah dimakamkan dengan layak. Mereka ada di sini karena mereka menunggu. Menunggu jiwa yang bisa mengantarkan mereka ke tempat yang seharusnya mereka tuju.”

Saka mendengar kata-kata itu, namun rasa takut mulai merayap masuk ke dalam pikirannya. Ia merasa seperti sudah terlalu dalam terjerat dalam teka-teki ini, terlalu banyak yang ia pelajari dan terlalu sedikit yang ia ketahui tentang apa yang sedang terjadi. Kabut ini, bayangan itu, semuanya mengarah pada satu kesimpulan: desa ini tidak aman. Dan ia mungkin hanya beberapa langkah lagi dari memahami kebenaran yang sangat mengerikan.

“Apa yang harus aku lakukan, Armin?” tanya Saka, suaranya terdengar penuh kebingungannya. “Aku sudah terperangkap dalam ini, bukan?”

Armin menatapnya dalam diam. Setelah beberapa detik, ia akhirnya berkata, “Ada satu cara untuk menghentikan semuanya. Tapi itu tidak mudah. Dan mungkin, kita harus siap untuk mengorbankan sesuatu yang sangat berharga.”

Saka menelan ludah, perasaan takut dan penasaran bergumul dalam dirinya. Apa yang harus ia korbankan? Dan apakah itu berarti ia harus siap menghadapi sesuatu yang jauh lebih buruk dari yang ia bayangkan?

Di bawah kabut yang semakin tebal, Saka merasa dirinya semakin terperangkap dalam jaring tak kasat mata yang membelitnya. Tak ada jalan mundur. Ia harus mencari tahu lebih banyak, bahkan jika itu berarti ia harus menghadapi kegelapan yang tersembunyi di balik bayangan.

Bab 6 – Cermin Tertutup Kain Hitam

Pagi hari di desa Rawasari dimulai dengan kabut yang tak juga menghilang, meski matahari sudah mulai memanjat langit. Kabut itu seperti tidak mau pergi, melingkupi setiap sudut desa dengan keheningan yang mencekam. Saka berdiri di jendela kamar penginapan, memandangi desa yang tampak suram di bawah lapisan kabut. Ada perasaan aneh yang tak bisa ia jelaskan—seperti ada sesuatu yang sedang menunggu, menunggu untuk terungkap.

Hari ini, Saka memutuskan untuk lebih menggali tentang misteri desa ini. Ia tak bisa terus terjebak dalam rasa takut yang melanda. Ia harus tahu lebih banyak, terlebih setelah percakapan dengan Armin yang membuka sedikit tabir dari rahasia yang tersembunyi. Ia harus mencari jawaban atas pertanyaan yang menggantung di kepalanya: apa yang sebenarnya terjadi di desa ini? Mengapa kabut itu datang, dan apa hubungannya dengan bayangan yang semakin sering muncul?

Dengan tekad yang bulat, Saka mendekati Bu Kirana di ruang depan penginapan. Wanita tua itu sedang membersihkan meja kayu usang dengan sapu tangan kecil, seakan tak peduli dengan kabut yang masih tebal di luar. Saka berdiri di ambang pintu, merasa tak tahu harus mulai dari mana. Namun, sebelum ia bisa berkata-kata, Bu Kirana menatapnya dengan mata yang tajam, seperti sudah tahu apa yang ada dalam pikiran Saka.

“Ada sesuatu yang ingin kau ketahui, Saka?” tanya Bu Kirana, suaranya rendah dan lembut, namun ada ketegangan yang tersembunyi di baliknya.

Saka mengangguk perlahan, lalu berkata, “Saya ingin tahu lebih banyak tentang desa ini… tentang kabut yang tidak pernah hilang, dan tentang cermin di penginapan ini. Apa sebenarnya cermin itu, Bu Kirana?”

Wanita tua itu berhenti sejenak, lalu matanya tampak mengalihkan pandangan, seolah sedang mengingat sesuatu yang sudah lama terkubur. Setelah beberapa saat, ia kembali menatap Saka dengan ekspresi yang serius.

“Cermin itu… cermin itu bukanlah benda biasa,” jawab Bu Kirana pelan. “Ia adalah gerbang. Gerbang menuju tempat yang tak seharusnya kita kunjungi. Dan jika kau ingin tahu lebih lanjut, kau harus siap untuk menghadapi apa yang ada di baliknya.”

Saka merasa seolah waktu berhenti sejenak. Gerbang? Ke mana gerbang itu membawa mereka? Apa yang ada di baliknya? Sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, Bu Kirana sudah berdiri dan melangkah menuju ruang belakang penginapan. Saka mengikuti dengan langkah terburu-buru, penasaran dengan apa yang akan ia temui.

Di ujung lorong, Bu Kirana berhenti di depan sebuah pintu kayu tua yang terlihat usang dan terjaga rapat. Dengan tangan yang gemetar, Bu Kirana membuka pintu itu dan melangkah ke dalam ruangan yang tampaknya telah lama ditinggalkan. Saka mengikuti di belakangnya, dan begitu ia melangkah masuk, rasa dingin langsung menyentuh kulitnya. Ruangan itu dipenuhi dengan debu tebal, dan di tengahnya terdapat sebuah cermin besar yang tertutup kain hitam tebal.

Saka merasa ada yang aneh. Cermin itu tampak begitu besar dan tua, bingkai kayunya sudah pudar dimakan usia. Namun, ada sesuatu yang tak biasa. Kabut yang menyelimuti desa itu seolah masuk ke dalam ruangan, mengalir di sekitar cermin seperti makhluk hidup yang mencari jalan keluar. Hawa dingin semakin menusuk, dan Saka merasa seperti ada sesuatu yang menunggunya di balik kain hitam yang menutupi cermin itu.

Bu Kirana berdiri diam di sampingnya, matanya menatap cermin yang tertutup itu dengan ekspresi penuh keraguan. “Cermin ini adalah penjara,” katanya dengan suara bergetar. “Ia menahan sesuatu yang sangat kuat, sesuatu yang tidak boleh dilepaskan. Tetapi, jika kau ingin mengerti lebih banyak tentang apa yang terjadi di sini, kau harus melihatnya sendiri. Hanya dengan begitu kau akan tahu.”

Saka menelan ludah, jantungnya berdebar kencang. Ia merasakan ketegangan yang luar biasa, seolah segala sesuatu di ruangan itu berpusat pada cermin tersebut. Bu Kirana menyentuh kain hitam yang menutupi cermin itu dengan tangannya yang sudah keriput. Tiba-tiba, suara gemerisik terdengar saat kain itu mulai terangkat. Dalam ketegangan yang menggantung, Bu Kirana menarik kain itu perlahan, dan pada saat kain itu terangkat sepenuhnya, cermin itu terbuka.

Namun, Saka tidak segera melihat apa yang ada di dalamnya. Cermin itu tampak kosong, tetapi ada bayangan samar yang melintas di permukaannya—bayangan yang bergerak begitu cepat, seolah ingin menyembunyikan dirinya. Saka merasa ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan, sesuatu yang membuat seluruh tubuhnya terasa kaku.

Bu Kirana menatap cermin itu dengan tatapan kosong. “Itulah gerbang yang kutakutkan. Cermin ini adalah penghubung antara dunia ini dan dunia lain—dunia tempat mereka berada. Bayangan-bayangan itu… mereka tidak berasal dari tempat ini. Mereka adalah roh-roh yang terperangkap di antara dua dunia, dan kabut itu adalah penutup yang mereka gunakan untuk meloloskan diri.”

Saka tidak bisa berkata-kata. Ia mencoba memahami apa yang baru saja dijelaskan oleh Bu Kirana, tetapi kata-kata itu terasa seperti teka-teki yang lebih membingungkan daripada jawaban. Jika kabut dan bayangan itu adalah sesuatu yang datang dari dunia lain, apakah itu berarti mereka tidak bisa dihentikan? Apa yang harus dilakukan untuk menghentikan teror ini?

“Namun,” Bu Kirana melanjutkan, “ada cara untuk menutup gerbang ini. Hanya dengan mengorbankan seseorang yang telah melihat semua bayangan—seseorang yang telah menyentuh dunia mereka—barulah gerbang ini bisa ditutup. Tapi tak ada yang bisa melakukannya tanpa kehilangan sesuatu yang berharga.”

Saka terdiam. Pikiran-pikirannya mulai berlarian, mencoba mencari jalan keluar. Mengorbankan seseorang? Apakah itu berarti ia harus memberikan dirinya sendiri untuk menutup gerbang ini? Ataukah ada cara lain untuk menghentikan teror ini tanpa harus membayar harga yang begitu besar?

Sebagai seorang jurnalis, Saka terbiasa mencari jawaban, menggali kebenaran dari informasi yang tersembunyi. Tapi kali ini, ia merasa seperti berada di ujung jurang yang dalam, di mana setiap langkah yang diambil bisa membawa bahaya yang lebih besar.

Tiba-tiba, terdengar suara desisan halus dari dalam cermin. Saka menoleh, dan di sana, bayangan itu kembali muncul—bayangan gelap yang bergerak dengan cepat, mengisi ruangan dengan kehadirannya yang mengerikan. Dalam sekejap, bayangan itu menghilang kembali ke dalam cermin, meninggalkan rasa dingin yang mencekam.

Saka mengangkat tangan, gemetar. “Apa yang harus saya lakukan sekarang?” tanyanya, suara hampir tak terdengar.

Bu Kirana hanya bisa menggelengkan kepala, wajahnya penuh rasa takut. “Itu tergantung pada pilihanmu, Saka. Kau harus memilih, apakah kau akan melawan bayangan itu, atau membiarkannya menguasai desa ini. Namun, ingatlah—setiap pilihan memiliki harga yang harus dibayar.”

Bab 7 – Jejak di Kabut

Pagi itu, kabut kembali menutupi desa Rawasari. Tidak seperti kabut biasa yang muncul setelah hujan, kabut ini terasa lebih pekat dan berat, seolah-olah dunia sedang terbungkus dalam selimut ketakutan. Saka berdiri di depan jendela penginapan, menatap desa yang diselimuti kabut tebal. Udara terasa dingin, dan setiap hembusan angin membawa desiran halus yang seolah mengingatkan pada suara bisikan yang jauh.

Sejak pertemuannya dengan Bu Kirana kemarin, perasaan takut Saka semakin membesar. Cermin yang tertutup kain hitam itu, dengan bayangan-bayangan gelap yang seolah hidup, semakin menghantuinya. Ada sesuatu yang sangat tidak beres di desa ini—sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, tapi bisa dirasakan oleh setiap indera. Kabut ini bukan hanya fenomena alam; ia adalah penjaga, penghalang, dan sekaligus ancaman.

Saka tahu bahwa dirinya semakin terperangkap dalam misteri yang semakin dalam. Semakin ia mencoba untuk menggali kebenaran, semakin banyak pula pertanyaan yang tidak terjawab. Apa yang sebenarnya terjadi dengan desa ini? Mengapa kabut tidak pernah hilang? Dan mengapa cermin di penginapan ini bisa menjadi gerbang menuju dunia lain?

Hari itu, Saka memutuskan untuk keluar dan mencari petunjuk lebih lanjut. Mungkin, hanya dengan melihat lebih dekat pada apa yang terjadi di sekitar desa, ia bisa menemukan jawaban. Namun, ia juga tahu bahwa semakin jauh ia melangkah, semakin dekat ia dengan bahaya yang mengintai. Sesuatu di dalam kabut itu menunggu, dan Saka mulai merasakan kehadiran sesuatu yang tak kasat mata, yang seolah mengikutinya.

Dengan langkah yang penuh keraguan, Saka keluar dari penginapan. Kabut menyambutnya dengan pelukan dingin yang langsung menggigit kulit. Di kejauhan, ia bisa melihat bentuk-bentuk samar dari rumah-rumah desa, semuanya tersembunyi di balik lapisan kabut tebal. Tak ada suara yang terdengar selain desiran angin, seolah dunia ini sedang tidur dalam kesunyian yang menakutkan.

Ia berjalan perlahan, berusaha untuk menembus kabut yang semakin pekat. Setiap langkahnya terasa berat, seperti ada sesuatu yang menariknya kembali, mencoba mencegahnya untuk melangkah lebih jauh. Namun, Saka tetap melanjutkan perjalanannya, berharap bisa menemukan sesuatu yang bisa menjelaskan semua ini.

Tiba-tiba, ia berhenti. Di depan matanya, di atas tanah yang basah, terdapat jejak-jejak kaki yang tampak baru. Jejak itu membentuk lingkaran yang mengelilingi salah satu rumah penduduk, kemudian berhenti di depan pintu. Namun yang mengejutkan, jejak kaki itu tidak mengikuti arah yang normal. Jejaknya tampak tidak wajar—beberapa di antaranya kabur, seolah-olah ada sesuatu yang mengganggu jejak tersebut. Saka mendekati jejak itu dengan hati-hati, mencoba memeriksa lebih dekat.

Jejak-jejak kaki itu tidak hanya tampak basah, tetapi juga terasa dingin saat ia menyentuh tanah di sekitarnya. Saka merasa ada sesuatu yang salah. Ia melihat sekeliling, memastikan tidak ada orang lain yang terlihat. Semua rumah tampak terkunci rapat, dan tidak ada jejak manusia lain selain yang ada di sekitarnya. Lalu, ia memutuskan untuk mengikuti jejak itu.

Jejak kaki yang aneh itu membawanya lebih jauh ke dalam kabut, dan semakin ia mengikuti jejak tersebut, semakin terasa beban berat yang mengikat langkahnya. Ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengawasinya, mengikuti setiap gerakan tubuhnya. Kadang, ia mendengar desiran halus, seperti bisikan di telinganya, namun saat ia menoleh, tidak ada siapa pun di sana.

Setelah beberapa lama berjalan, jejak itu berhenti di depan sebuah rumah tua yang tampak lebih usang daripada rumah lainnya. Rumah itu terletak di ujung desa, jauh dari keramaian. Pintu rumah itu terbuka sedikit, dan dari celah pintu yang terbuka, Saka bisa merasakan hawa dingin yang keluar, menyelimuti seluruh tubuhnya. Ia merasa ada sesuatu yang janggal di dalam rumah itu, sesuatu yang menariknya masuk.

Dengan hati yang berdebar, Saka melangkah menuju pintu rumah tersebut. Setiap langkahnya terdengar sangat keras di telinganya, seperti ada yang mengintai di dalam kegelapan. Begitu sampai di depan pintu, ia mengulurkan tangannya untuk mendorong pintu tersebut.

Namun, sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, terdengar suara langkah kaki di belakangnya. Saka menoleh cepat, dan di sana, di tengah kabut, tampak sosok seorang pria tua berdiri. Pria itu mengenakan pakaian lusuh, dengan wajah yang tertutup sebagian oleh jubahnya. Matanya tampak kosong, seperti melihat sesuatu yang jauh di luar jangkauan manusia.

Saka merasa tubuhnya kaku. Ia berusaha berbicara, namun suara yang keluar dari mulutnya terasa berat, hampir tak terdengar. Pria tua itu tidak bergerak, hanya berdiri di sana, menatap Saka dengan tatapan kosong yang tak bisa dipahami.

“Siapa… siapa kamu?” Saka akhirnya berhasil mengucapkan kata-kata itu, meski suaranya terdengar terputus-putus.

Pria tua itu tidak menjawab. Ia hanya berdiri diam, lalu perlahan-lahan mulai bergerak mendekat, melangkah ke arah Saka dengan langkah yang lambat namun pasti. Saka merasa jantungnya hampir berhenti berdetak. Ada sesuatu yang sangat tidak wajar tentang pria ini, sesuatu yang membuatnya merasa sangat takut.

“Jangan… jangan datang lebih dekat!” teriak Saka, mencoba menjaga jarak. Namun, pria tua itu tetap bergerak, seolah tidak mendengar peringatan itu.

Tiba-tiba, suara desisan halus terdengar dari dalam rumah tua itu. Saka menoleh, dan di dalam rumah, ia melihat sesuatu yang bergerak cepat, seperti bayangan yang menyusup melalui celah-celah pintu. Bayangan itu sangat cepat, seolah-olah tidak terikat oleh hukum fisika.

Saka mundur beberapa langkah, ketakutan semakin melanda dirinya. “Apa yang terjadi di sini?” tanyanya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada pria tua itu.

Pria tua itu berhenti sejenak, menatap Saka dengan tatapan yang lebih dalam. “Kau sudah melihatnya… Bayangan itu tidak akan pernah pergi. Kau sudah terperangkap di dalamnya.”

Saka merasa perasaannya kacau. Apa maksud pria itu? Apakah bayangan yang dimaksud adalah yang selama ini mengintainya? Kabut, jejak kaki yang aneh, dan cermin yang menyimpan rahasia—semuanya terhubung. Dan sekarang, Saka mulai merasakan bahwa dirinya bukan hanya saksi, tapi juga bagian dari cerita yang lebih besar dari yang ia bayangkan.

Dengan langkah yang lebih cepat, pria tua itu bergerak menuju rumah, menghilang ke dalam kabut dan kegelapan. Saka berdiri di sana, tubuhnya gemetar. Apa yang harus ia lakukan? Kabut semakin tebal, dan jejak kaki yang ia ikuti terasa semakin memeluknya dalam kegelapan yang semakin pekat.

Bab 8 – Suara dari Kabut

Saka merasa terperangkap dalam kabut yang semakin menebal. Setiap langkah yang ia ambil terasa lebih berat dari sebelumnya, seperti ada yang menghalangi jalannya, menariknya mundur ke dalam bayang-bayang yang tersembunyi. Perasaan gelisah yang menghantuinya semakin menjadi-jadi, dan kali ini, ia tidak bisa lagi mengabaikannya. Kabut di sekitar desa Rawasari bukan hanya fenomena alam. Ada sesuatu yang lebih dari itu, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, sesuatu yang mengikat dan mengendalikan.

Hari itu, kabut turun lebih cepat dari biasanya. Ketika Saka keluar dari penginapan pagi itu, ia merasa seperti dunia di sekelilingnya semakin lama semakin sunyi. Seolah tidak ada kehidupan selain dirinya. Jalan-jalan di desa yang biasanya ramai dengan suara manusia kini tampak sepi. Tidak ada seorang pun di luar. Rumah-rumah tampak tertutup rapat, dan suara angin yang berdesir seperti bisikan-bisikan halus yang datang dari kejauhan membuatnya semakin cemas.

Saka tidak bisa mengabaikan suara yang terus berbisik di dalam kepalanya. Ada sesuatu yang ingin ia ketahui, sesuatu yang mengharuskannya untuk terus mencari jawabannya. Namun, perasaan takut dan kecemasan itu semakin menekan, seolah menghalangi setiap langkahnya.

Ia berjalan menuju rumah Bu Kirana, berpikir untuk bertanya lebih banyak lagi. Namun, ketika ia tiba di depan rumah itu, pintu rumah yang biasanya selalu tertutup rapat tampak sedikit terbuka. Hal itu membuat Saka semakin khawatir. Ia memanggil-manggil, tetapi tidak ada jawaban. Pintu itu terbuka begitu saja, seperti ada yang menunggu di dalam.

Saka ragu sejenak, tetapi akhirnya ia melangkah masuk. Begitu ia memasuki rumah itu, suasana di dalam terasa berbeda. Hawa dingin yang menusuk langsung menyambutnya, seolah kabut dari luar telah masuk dan menguasai ruangan itu. Di ruang tengah, lampu minyak yang biasanya menyala kini padam, menyisakan kegelapan yang mencekam. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar, keras dan jelas, di tengah keheningan yang menyesakkan.

“Saka…” suara itu terdengar begitu jelas, meskipun tidak ada orang di sana.

Saka menoleh, gemetar. Suara itu… suara yang sangat mirip dengan suara ibunya yang sudah lama meninggal. Panggilan itu seperti datang dari dalam kabut, seperti bisikan yang menyusup ke dalam pikirannya. Saka merasa tubuhnya kaku, seolah ada sesuatu yang menariknya untuk mengikuti suara itu.

Dengan langkah yang ragu, Saka berjalan menuju arah suara itu, menembus ruangan yang semakin gelap. Langkahnya terasa berat, namun ia terus maju, seperti ada dorongan yang kuat untuk menemukan sumber suara itu. Ketika ia memasuki ruang belakang, kabut seakan mengalir masuk dari jendela yang sedikit terbuka. Di balik kabut itu, Saka melihat sosok wanita berdiri dengan punggung menghadapnya. Sosok itu mengenakan pakaian yang tampak seperti milik ibunya, tetapi tubuhnya terlihat transparan, kabur, seperti bayangan.

“Ibu?” suara Saka terhenti di tenggorokannya. Ia merasa seperti ada sesuatu yang menghalangi suaranya.

Sosok itu berbalik perlahan, dan wajahnya muncul dalam kabut. Wajahnya tidak sepenuhnya jelas, tetapi ada sesuatu yang sangat mengganggu—matanya kosong, tanpa ekspresi, hanya kekosongan yang mengerikan. “Saka… datanglah…” suara itu terdengar begitu dekat, tetapi wajah itu semakin menjauh.

Saka merasa tubuhnya kaku. Ia tahu bahwa ini bukan ibunya. Ini adalah sesuatu yang lebih jahat, sesuatu yang mencoba mengelabui perasaannya, untuk membuatnya tergoda keluar dan menghilang bersama bayangan. Namun, perasaan ingin mengikuti suara itu semakin kuat, seolah ada kekuatan lain yang mengendalikan pikirannya. Ia mencoba menahan diri, tetapi langkahnya terasa lebih ringan, lebih mudah untuk diambil.

“Tidak…” Saka bergumam pelan. Ia memegangi kepalanya, berusaha melawan godaan yang semakin mendalam. Ia tahu, jika ia mengikuti suara itu, ia akan kehilangan dirinya sendiri, tenggelam dalam kabut yang tidak akan pernah hilang.

Tiba-tiba, suara itu berhenti. Hening. Saka merasa sesuatu yang berat menghinggapi dadanya. Ia menoleh ke belakang, dan di sana, di balik kabut, tampak bayangan gelap yang semakin mendekat. Sosok itu—sosok yang tak punya wajah, hanya bayangan yang bergerak seperti dikejar angin—tiba-tiba muncul begitu dekat di depannya. Wajahnya yang kosong mengerikan, tanpa mata atau mulut, hanya kekosongan yang tampak menghisap semua cahaya di sekitarnya.

“Jangan lari…” suara itu kembali terdengar, lebih dalam, lebih menggema. “Kau sudah melihatnya. Kau tak bisa lari dari bayangan ini.”

Saka merasa seluruh tubuhnya gemetar. Kabut itu semakin tebal, memenuhi seluruh ruang di sekitarnya. Sosok itu semakin mendekat, dan Saka bisa merasakan hawa dingin yang menusuk tulang. Ia tahu bahwa ini bukan sekadar halusinasi. Ini adalah sesuatu yang nyata, sesuatu yang datang dari dimensi lain, dimensi yang terhubung dengan kabut yang tidak pernah hilang ini.

Dengan segenap tenaga, Saka berbalik dan berlari, mencoba melarikan diri dari bayangan itu. Namun, setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat, seolah tanah di bawah kakinya berubah menjadi lumpur yang menghisap setiap gerakan. Suara langkahnya semakin jauh, semakin tergantikan oleh suara yang lebih aneh—suara-suara yang datang dari kabut.

Saka terus berlari, berusaha menembus kabut yang semakin pekat. Namun, di ujung jalan, ia berhenti. Di depannya, sebuah cermin besar berdiri tegak, di tengah kabut yang begitu tebal. Cermin itu memantulkan bayangan dirinya, tetapi wajahnya tampak kabur dan terganggu. Ia melihat sesuatu yang mengerikan di balik bayangannya—sosok yang tak punya wajah, bergerak perlahan ke arahnya.

“Ini… apa yang kau inginkan?” Saka berteriak, tidak tahu lagi apakah itu dirinya yang berbicara, ataukah sesuatu yang menguasai tubuhnya.

Cermin itu bergetar, dan dalam sekejap, bayangan itu melesat keluar, menggapai tubuh Saka dengan cepat. Di saat yang sama, ia merasakan seakan seluruh dunia terhisap ke dalam kegelapan yang pekat.

Namun, tepat saat bayangan itu hampir menyentuh tubuhnya, sebuah suara keras terdengar, memecah keheningan. Kabut mulai bergetar, dan bayangan itu menghilang dalam semilir angin.

Saka terjatuh ke tanah, nafasnya terengah-engah. Apakah ia berhasil menghindar? Apakah kabut itu akhirnya surut? Atau… akankah ia tetap terjebak di dalamnya, bersama bayangan yang tak pernah berhenti mengejarnya?

Bab 9 – Yang Bersembunyi di Balik Kabut

Hari-hari di Rawasari terasa semakin lama semakin berat. Saka merasa seolah-olah dirinya terperangkap dalam dunia yang tak bisa dijelaskan oleh logika. Kabut yang menyelimuti desa ini bukanlah fenomena alam biasa. Ia seperti makhluk hidup, menunggu untuk menyelimuti siapa pun yang berani melangkah terlalu jauh. Suara-suara aneh, bayangan-bayangan yang muncul tiba-tiba, dan perasaan bahwa ada sesuatu yang mengawasi—semua itu semakin mencekam pikiran Saka.

Namun, hari itu, ada sesuatu yang berbeda. Armin, pemuda yang sempat menolongnya di tengah kabut, datang dengan wajah serius. Saka bisa melihat dari matanya bahwa ada sesuatu yang ingin disampaikan, tapi Armin tampak ragu untuk melakukannya. Ia mengundang Saka untuk berjalan bersamanya menuju tempat yang lebih sepi, jauh dari penduduk desa yang semakin tampak cemas.

“Bagaimana kabutnya hari ini?” tanya Armin pelan, matanya menatap kabut yang semakin tebal di sekeliling mereka.

Saka menghela napas. “Tidak ada yang berubah. Seperti biasa, kabut datang lebih cepat. Aku merasa semakin sulit untuk membedakan siang dan malam.”

Armin menunduk. Ia tampak berpikir keras sebelum akhirnya berbicara dengan suara yang lebih rendah, seolah takut ada yang mendengar. “Ada yang ingin aku ceritakan. Sesuatu yang tak banyak orang di desa ini tahu.”

Saka menatapnya dengan penuh perhatian. “Apa itu?”

Armin menarik napas panjang, lalu memulai ceritanya. “Kau tahu, kan, tentang kabut yang selalu ada di desa ini? Itu bukan hanya fenomena alam. Itu adalah gerbang. Gerbang menuju dunia lain. Dunia tempat roh-roh yang terlupakan bersemayam—yang tidak pernah diberi penghormatan atau dimakamkan dengan benar.”

Saka merasa tubuhnya kaku mendengar penjelasan itu. “Roh-roh yang terlupakan? Apa maksudmu?”

“Dahulu, desa ini pernah dihuni oleh sekelompok orang yang sangat terikat dengan ilmu hitam. Mereka membuat perjanjian dengan makhluk lain, makhluk dari dunia kabut itu, untuk mendapatkan kekuatan. Tapi perjanjian itu membawa bencana. Makhluk-makhluk itu meminta pengorbanan—jiwa manusia—sebagai bayaran atas kekuatan yang diberikan.”

Armin berhenti sejenak, menatap jauh ke dalam kabut yang menyelimuti desa. “Anak-anak. Mereka yang hilang itu… mereka adalah korban pertama. Mereka pergi ke dalam kabut dan tidak pernah kembali. Satu-satunya yang kembali adalah seorang anak perempuan yang kini tak bisa berbicara. Dia bisu, karena rohnya sudah diambil. Itu adalah harga yang harus dibayar.”

Saka terdiam, terkejut oleh kisah yang baru saja didengarnya. “Jadi, ini bukan hanya tentang kabut yang menghalangi pandangan kita? Kabut itu… itu adalah tempat yang membawa roh-roh itu ke dunia kita?”

“Betul,” jawab Armin pelan. “Setiap kali kabut turun, itu adalah tanda bahwa gerbang itu terbuka. Dan semakin lama kabut itu ada, semakin banyak roh yang melintasi dunia ini. Mereka mencari tubuh yang bisa mereka masuki. Mereka mencari orang-orang yang rentan, orang yang sudah melihat mereka—seperti kamu.”

Saka merasa tubuhnya gemetar. Ia mulai menyadari betapa dekatnya ia dengan bahaya. “Aku… aku sudah melihat mereka. Bayangan itu. Apakah itu… salah satu dari mereka?”

Armin mengangguk perlahan. “Ya. Bayangan itu adalah roh-roh yang terlupakan, yang terperangkap dalam kabut. Mereka tidak bisa melangkah ke dunia manusia kecuali mereka memiliki tubuh yang bisa mereka kontrol. Itulah sebabnya mereka mencoba untuk menggoda kita. Menarik kita keluar dari tempat aman kita.”

Saka merasa keringat dingin membasahi tengkuknya. “Tapi… jika kabut itu adalah gerbang, bagaimana cara menutupnya? Bagaimana kita bisa menghentikan mereka?”

Armin menatapnya dengan tatapan yang penuh keputusasaan. “Ada satu cara, satu cara yang sangat berbahaya. Kamu harus menutup gerbang itu dengan mengorbankan seseorang—seseorang yang sudah melihat bayangan-bayangan itu. Hanya dengan pengorbanan itulah gerbang bisa ditutup. Tapi, itu akan membebaskan mereka dari kabut, dan mereka akan bebas berjalan di dunia kita.”

Saka merasa perasaannya kacau. Ia tahu, jika ia tidak melakukan sesuatu, kabut ini tidak akan pernah hilang. Namun, pengorbanan yang diminta sangat besar. Menutup gerbang berarti mengorbankan nyawa, dan ia harus memilih siapa yang akan menjadi korban.

“Apa yang terjadi pada desa ini?” tanya Saka, suaranya hampir terputus-putus. “Mengapa tidak ada yang mencoba melawan atau menghentikan semua ini?”

Armin menunduk, wajahnya gelap. “Orang-orang di sini sudah menyerah. Mereka percaya bahwa ini adalah kutukan yang tak bisa dihindari. Mereka tahu bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan semuanya adalah dengan pengorbanan. Namun mereka juga tahu bahwa mereka harus memilih siapa yang akan berkorban, dan tidak ada yang mau mengambil keputusan itu.”

Saka menggigit bibirnya, mencoba mengumpulkan pikirannya. Semua yang dikatakan Armin semakin membuka tabir misteri desa ini. Kabut, roh-roh yang terlupakan, pengorbanan—semua itu adalah bagian dari permainan yang lebih besar, dan Saka merasa seolah-olah ia telah terjebak di dalamnya tanpa bisa keluar.

“Kamu bisa melawan mereka, Saka,” Armin berkata, seolah membaca pikiran Saka. “Tapi itu akan membutuhkan keberanian yang lebih besar daripada yang kamu bayangkan. Tidak ada jalan yang mudah di sini.”

Saka menarik napas dalam-dalam. “Aku tidak tahu apakah aku bisa… tetapi aku harus melakukannya. Kalau tidak, mereka akan terus menguasai desa ini, terus mencari orang-orang yang bisa mereka ambil.”

Armin menatapnya dengan tatapan penuh penghormatan. “Jika itu yang kamu pilih, maka aku akan membantumu. Tapi ingat, ini adalah jalan yang sangat berbahaya. Tidak ada yang pernah berhasil keluar dari kabut ini tanpa membawa korban.”

Dengan langkah yang berat, Saka mengangguk. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi ia tidak bisa membiarkan desa ini terus dihantui oleh makhluk-makhluk dari dunia kabut. Ia harus menemukan cara untuk menutup gerbang itu dan mengusir bayangan-bayangan yang telah merusak kehidupan di Rawasari.

Namun, di dalam hatinya, ada rasa takut yang mendalam. Apakah ia siap untuk mengorbankan sesuatu yang sangat berharga? Apakah ia bisa mengalahkan mereka sebelum semuanya terlambat? Kabut terus menyelimuti desa, dan semakin tebal. Waktu tidak berpihak pada mereka, dan Saka tahu, tidak ada pilihan selain bertarung hingga akhir.

Bab 10 – Ritual Penutupan Gerbang

Saka duduk termenung di dalam kamar penginapan, matanya kosong menatap cermin besar yang terletak di sudut ruangan. Kabut luar masih menebal, mencekam seluruh desa Rawasari, dan meskipun ia tahu akan bahaya yang mengintainya, ia tetap merasa terperangkap dalam takdir yang tak bisa dihindari. Armin sudah pergi, meninggalkannya untuk mempersiapkan sesuatu yang penting. Dalam keheningan yang melingkupi penginapan tua ini, hanya suara detak jam dinding yang terdengar, seolah menandakan berlalunya waktu yang tak pernah bisa dihentikan.

Saka merasa cemas, seolah segala keputusan yang ia ambil selama ini membawa dirinya semakin dekat pada sesuatu yang gelap dan tidak dapat dilawan. Kabut yang terus turun seperti gerbang yang terbuka, mengundang roh-roh dari dunia lain untuk masuk. Dan satu-satunya cara untuk menutup gerbang itu adalah dengan melakukan pengorbanan.

Pikirannya kembali kepada kata-kata Armin yang menakutkan: “Kamu harus mengorbankan seseorang yang telah melihat bayangan itu.” Kata-kata itu menghantui setiap langkah Saka, membebani hatinya. Siapa yang harus ia pilih? Siapa yang rela menjadi korban untuk menutup gerbang ini? Saka tahu, semakin ia menunggu, semakin banyak nyawa yang akan terancam. Desas-desus yang beredar di desa mengatakan bahwa kabut tidak akan pernah hilang, bahwa gerbang itu akan terbuka selamanya jika tidak ada yang berani bertindak.

Perasaan cemas berubah menjadi tekad. Saka tidak bisa membiarkan semua orang di desa ini hidup dalam ketakutan. Ia harus mengambil langkah berani, meskipun itu berarti mengorbankan dirinya sendiri. Tetapi pengorbanan itu bukan hanya untuk dirinya. Jika ia bisa menutup gerbang ini, maka kabut akan surut, dan desa Rawasari bisa bebas dari teror yang sudah bertahun-tahun menghantui mereka.

Tiba-tiba, suara ketukan keras terdengar dari pintu kamar. Saka segera berdiri, terkejut, dan dengan cepat membuka pintu. Di hadapannya berdiri Bu Kirana, pemilik penginapan yang selalu tampak tenang namun penuh rahasia. Wajahnya yang keriput dan matanya yang tajam menatap Saka dengan serius.

“Ada sesuatu yang perlu kau ketahui, Saka,” suara Bu Kirana dalam terdengar serak namun penuh ketegasan.

Saka mengangguk, mempersilakan Bu Kirana masuk. “Apa yang ingin Ibu katakan?”

Bu Kirana duduk di kursi dekat meja, menatap cermin besar yang terletak di sudut ruangan. Hening sejenak sebelum ia mulai berbicara lagi, suaranya semakin berat. “Kamu sudah mendekati titik di mana pilihanmu tidak akan bisa mundur. Gerbang itu harus ditutup, tetapi untuk melakukannya, ada satu hal yang perlu kamu pahami. Pengorbanan itu bukan sekadar memilih siapa yang akan menjadi korban. Itu adalah pilihan yang akan menentukan apakah kamu akan kembali ke dunia ini ataukah terjebak di dalamnya selamanya.”

Saka menatapnya bingung. “Apa maksud Ibu?”

Bu Kirana menarik napas dalam-dalam, seolah mengumpulkan kekuatan untuk mengungkapkan sesuatu yang sudah lama ia pendam. “Gerbang itu bukan hanya saluran yang menghubungkan dunia manusia dengan dunia bayangan. Ia adalah sesuatu yang lebih dari itu. Ia adalah takdir yang sudah ditentukan, dan setiap gerbang yang terbuka akan menarik lebih banyak roh untuk mengisi dunia kita. Tapi ada yang lebih gelap dari itu. Kabut ini—semua ini—terhubung dengan ritual kuno yang sudah ada sejak dulu. Sebuah ritual untuk memanggil dan menahan roh-roh terkutuk agar mereka tidak menguasai dunia kita. Untuk menutup gerbang ini, kamu harus melakukan lebih dari sekadar mengorbankan seorang jiwa. Kamu harus menjadi bagian dari ritual itu.”

Saka tercengang. “Aku… aku harus menjadi bagian dari ritual itu? Apa maksudnya?”

Bu Kirana menunduk, seakan takut pada kata-kata yang akan keluar. “Iya, kamu harus menjadi pengorbanan terakhir. Bukan hanya tubuhmu, tetapi juga jiwamu. Kamu harus membuka pintu gerbang itu lebih lebar, sampai kabut menyelimuti dunia ini sepenuhnya, dan dengan begitu, kamu akan menahan roh-roh itu di dalamnya untuk selamanya. Ini adalah harga yang harus dibayar.”

Saka merasa tercekik oleh kata-kata Bu Kirana. “Jadi, untuk menutup kabut ini… aku harus mengorbankan diriku sendiri?” Suaranya pecah, seolah tak percaya.

Bu Kirana menatapnya dengan tatapan penuh rasa iba. “Tidak ada pilihan lain, Saka. Jika kamu ingin menyelamatkan desa ini, jika kamu ingin mengakhiri penderitaan orang-orang yang terperangkap di dalam kabut, ini adalah jalan yang harus ditempuh.”

Saka merasa perasaan berat menekan dadanya. Ia tahu bahwa ini bukanlah jalan yang mudah. Mengorbankan dirinya berarti ia harus melupakan semua yang ia kenal, semua yang ia cintai. Tetapi, apakah ada pilihan lain? Kabut itu tidak akan pernah hilang, dan para roh yang terperangkap di dalamnya tidak akan berhenti mencari korban. Hanya ada satu cara untuk menghentikan semua ini.

Saka merasakan sebuah ketegasan dalam dirinya. Ia tahu apa yang harus dilakukan, meskipun itu berarti ia harus kehilangan segalanya. “Jika ini yang harus dilakukan, maka aku akan melakukannya.”

Bu Kirana mengangguk perlahan. “Kamu harus siap. Ritual ini tidak akan mudah, dan tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi setelahnya. Tapi ingat, Saka, ini adalah pengorbanan yang bukan hanya untuk desa ini, tetapi untuk semua jiwa yang terjebak di dalam kabut.”

Saka menatap Bu Kirana dengan penuh tekad. “Aku siap.”

Dengan langkah yang berat, Saka berjalan menuju pintu penginapan, siap untuk menjalani ritual yang akan menutup gerbang itu sekali dan untuk selamanya. Di luar, kabut semakin pekat, menutupi seluruh dunia, dan saat langkahnya melangkah lebih jauh, ia tahu bahwa takdirnya sudah digariskan. Semua yang bisa ia lakukan sekarang adalah melangkah maju, menuju pengorbanan yang telah menanti.

Bab 11 – Kamar 9 yang Tak Pernah Dibuka

Malam semakin larut, dan kabut di luar semakin tebal, menggulung-gulung seperti lengan tangan yang dingin dan penuh misteri. Saka berjalan menyusuri lorong penginapan yang gelap. Suasana di dalamnya sepi, hanya terdengar suara langkah kaki Saka yang bergema di dinding kayu yang berderak. Ia merasa seolah-olah setiap langkahnya dipantau oleh mata yang tak terlihat, seolah bayangan-bayangan dari dunia lain sedang mengamatinya.

Langkahnya terhenti di depan pintu kamar 9. Kamar ini selalu terkunci. Tidak ada yang pernah membicarakannya secara terbuka, tetapi Saka bisa merasakan ada sesuatu yang mengerikan tersembunyi di balik pintu itu. Kamar ini adalah satu-satunya tempat di penginapan yang tak pernah dikunjungi. Bu Kirana sering menatapnya dengan ekspresi aneh, seolah mengingatkan Saka untuk tidak mendekatinya. Namun, semakin banyak waktu yang ia habiskan di Rawasari, semakin besar rasa ingin tahunya untuk tahu apa yang tersembunyi di dalamnya.

Saka menarik napas dalam-dalam dan memeriksa pintu kamar 9. Terkunci, seperti biasa. Ia mengeluarkan kunci tua yang diberikan Bu Kirana padanya beberapa hari lalu. Kunci itu terasa dingin di tangannya, seolah memiliki energi sendiri yang membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Ia menyelipkan kunci itu ke dalam lubang kunci dan memutar perlahan. Suara klik keras terdengar saat pintu terbuka sedikit, memberi akses ke dalam kamar yang telah lama terkunci itu.

Pintu terbuka dengan perlahan, seolah menahan setiap detik yang berlalu, memberinya kesempatan untuk mundur, tetapi Saka tidak bisa mundur sekarang. Ia sudah terlalu jauh. Dengan hati yang berdebar, ia melangkah masuk ke dalam kamar yang gelap dan berdebu ini.

Begitu masuk, bau apek dan lembap langsung menyambutnya. Kamar itu tampaknya tak terjamah selama bertahun-tahun. Dindingnya terlapisi jamur, dan jendela kecil di sebelah kiri tertutup rapat, menambah kesan suram pada ruangan itu. Saka membuka jendela perlahan, membiarkan udara dingin masuk. Cahaya bulan yang lemah menyinari ruangan itu, memperlihatkan benda-benda yang berserakan di sana-sini.

Di sudut kamar, sebuah meja kecil dengan berbagai benda tertata rapi—sebuah buku catatan tua, beberapa foto hitam putih yang sudah pudar warnanya, dan sebuah cermin kecil yang tergores. Namun, yang paling mencolok adalah sebuah kotak kayu besar yang diletakkan di atas meja. Kotak itu terlihat tua dan usang, dan meskipun sudah berdebu, ada aura misterius yang menyelimuti benda tersebut.

Saka mendekat dan membuka kotak itu perlahan. Begitu tutupnya terbuka, aroma busuk yang kuat langsung tercium. Di dalamnya terbaring beberapa benda yang sangat aneh—sebuah boneka kayu kecil yang tampak rusak, sehelai kain hitam yang sudah robek, dan sebuah cincin tua yang terbuat dari logam hitam. Namun, benda yang paling menarik perhatian Saka adalah sebuah buku kecil yang terbungkus kain merah.

Saka mengangkat buku itu, merasakan dinginnya kain yang menutupinya. Ia membuka halaman pertama buku itu dengan hati-hati. Di dalamnya terdapat tulisan tangan yang sangat rapi, meskipun agak pudar. Tulisan itu berbunyi: “Jangan pernah membuka pintu yang telah terkunci. Ini adalah kunci untuk semua yang terperangkap.”

Pesan itu membuat Saka merasa semakin terperangkap dalam misteri yang semakin dalam. Ia melanjutkan membaca halaman demi halaman. Buku itu berisi catatan tentang ritual-ritual kuno yang dilakukan oleh orang-orang di desa ini. Ritual-ritual yang dahulu pernah digunakan untuk menenangkan roh-roh yang mengganggu, namun seiring waktu, ritual-ritual tersebut berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih gelap dan berbahaya.

Tiba-tiba, suara gemericik air terdengar dari sudut ruangan, di mana sebuah pipa bocor meneteskan air ke lantai. Saka menoleh cepat, merasa seolah ada sesuatu yang bergerak di balik bayangan di sudut ruangan. Namun, tidak ada apa-apa. Hanya kegelapan yang menyelimuti bagian ruangan itu. Saka mencoba untuk menenangkan dirinya, namun rasa takut yang semakin menggelayuti hatinya semakin sulit untuk diabaikan.

Ia kembali menatap buku itu, dan matanya terhenti pada sebuah halaman yang menggambarkan sebuah cermin besar—persis seperti yang ada di penginapan. Di bawah gambar itu tertulis: “Cermin adalah portal. Ia adalah pintu menuju dunia lain yang tak terlihat. Hanya mereka yang berani menatapnya yang bisa membuka gerbang itu. Tetapi hati-hati, karena mereka yang menatap akan kehilangan dirinya, terjebak di antara dunia kita dan dunia yang mereka ciptakan.”

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di luar kamar. Saka menoleh dengan cepat, merasa seolah ada seseorang yang mengamatinya dari luar. Ia menutup buku itu dan kembali mengunci kotak kayu dengan cepat, menyembunyikannya di bawah meja. Perasaan waspada semakin mendalam. Siapa yang ada di luar kamar ini?

Dengan cepat, Saka melangkah menuju pintu, memeriksa apakah pintu terkunci dengan baik. Namun, sebelum ia sempat membuka pintu, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku. Di sudut ruangan, bayangan hitam samar mulai bergerak, mengelilingi dirinya. Bayangan itu bergerak dengan kecepatan yang tidak wajar, seolah mengikuti setiap gerakan Saka. Dalam hitungan detik, bayangan itu semakin mendekat.

Saka mundur dengan cepat, berusaha untuk keluar dari kamar itu, namun pintu yang tadi terbuka kini seolah terkunci kembali. Ia menekan gagang pintu berulang kali, namun tak ada yang terjadi. Bayangan itu semakin mendekat, dan kini Saka bisa merasakan hawa dingin yang sangat mencekam. Bayangan itu mulai membentuk sosok manusia, meskipun wajahnya tetap kabur, tak bisa dikenali.

“H–hanya satu cara untuk keluar,” bisik suara yang terdengar begitu dekat di telinganya. Suara itu seolah berasal dari bayangan itu. “Menatap kami… atau menjadi kami.”

Saka merasa tubuhnya gemetar. Dalam kebingungannya, ia mencoba berlari menuju jendela, berharap bisa melarikan diri melalui sana. Tetapi jendela itu tertutup rapat, dan kabut di luar semakin tebal, membuatnya tidak bisa melihat apa-apa. Bayangan itu semakin mendekat, menyelubungi dirinya dalam kegelapan yang tak terhindarkan.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar lagi—lebih keras kali ini, dan lebih banyak. Suara itu datang dari luar kamar, mendekat. Saka memutar kepala dengan panik. “Siapa itu? Siapa yang ada di luar?” teriaknya, tetapi tak ada yang menjawab.

Kamar itu semakin gelap, dan bayangan itu akhirnya menutup dirinya dalam kegelapan yang sempurna. Saka tahu bahwa ia tidak akan bisa lari kali ini. Ia harus menemukan cara untuk keluar dari tempat ini, atau terjebak selamanya dalam dunia bayangan yang tak terlihat.

Bab 12 – Kabut Masuk ke Dalam Rumah

Saka terbangun di tengah malam, disambut oleh kesunyian yang mencekam. Kabut di luar tampak semakin pekat, mengaburkan segala hal di luar jendela. Dalam beberapa hari terakhir, kabut itu semakin menebal, dan meskipun Saka merasa seperti sudah berada di batas kemampuannya, ia tahu bahwa perasaan terperangkap ini adalah bagian dari takdir yang harus ia hadapi.

Di luar kamar, sepi menyelimuti penginapan. Bu Kirana sudah tidak tampak sejak sore, seakan menghilang begitu saja. Armin, yang selalu menemani dan memberikan penjelasan tentang desa ini, juga tidak terlihat lagi. Hanya ada suara angin yang menekan kaca jendela, seolah berusaha masuk, seperti roh-roh yang terperangkap dalam kabut.

Saka duduk di tepi tempat tidurnya, matanya menatap kosong ke luar jendela. Kabut itu semakin menyelimuti desa Rawasari, menggerogoti setiap sudut dan menggenggam tiap jiwa yang terjebak di dalamnya. Hati Saka dipenuhi rasa cemas yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ia tahu, waktu semakin sempit. Setiap malam yang berlalu membawa kabut yang lebih dalam, dan semakin banyak penduduk desa yang menghilang tanpa jejak. Saka tahu, satu-satunya cara untuk mengakhiri semua ini adalah dengan menutup gerbang, seperti yang telah dijelaskan Bu Kirana. Namun, ia juga tahu bahwa untuk menutup gerbang itu, ia harus mengorbankan dirinya.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki pelan di luar kamar. Saka menegakkan tubuhnya, merasa gelisah. Ia bergegas membuka pintu dan melihat lorong penginapan yang gelap, namun tak ada siapa pun. Hanya ada kabut yang menggantung di setiap sudut, menambah kesan angker pada ruangan yang sudah penuh dengan ketegangan ini.

Saka kembali menutup pintu dan berjalan ke jendela. Ia membuka sedikit tirai jendela, berharap bisa melihat sesuatu yang lebih jelas di luar. Namun, kabut itu, yang dulunya hanya meliputi desa, kini perlahan mulai masuk ke dalam penginapan. Dengan perlahan, kabut itu merayap masuk melalui celah-celah jendela, menutupi lantai kamar dengan lapisan dingin yang makin tebal.

Suasana di dalam kamar menjadi semakin gelap. Saka merasa udara di sekelilingnya semakin dingin, seolah ada yang menghisap panas tubuhnya. Ia menatap kabut yang semakin masuk, seperti sesuatu yang tak kasat mata namun sangat nyata, merayap di sekitar kakinya. Kabut itu semakin mendekat, memenuhi ruang dengan keheningan yang menakutkan.

“Ini sudah dimulai,” gumam Saka, suara terpotong oleh perasaan cemas yang mendalam.

Tiba-tiba, terdengar suara geraman pelan, seperti suara bisikan yang datang dari dalam kabut. Saka menoleh dengan cepat, namun tidak ada yang tampak. Hanya kabut yang bergerak perlahan di sekelilingnya, seolah bergerak mengikuti setiap gerakan Saka. Ketakutan mulai merayap ke dalam dirinya, dan ia merasa terjebak. Kabut ini bukan hanya udara dingin. Ia seperti sesuatu yang hidup, memiliki kesadaran dan tujuan yang tidak bisa dipahami oleh pikiran manusia.

Tanpa sadar, Saka mundur selangkah demi selangkah, sampai ia terhenti di ujung ruangan. Seiring dengan langkah mundurnya, kabut itu terus mengikuti, bergerak semakin cepat seolah mengejarnya. Dalam keheningan yang mencekam, suara langkah itu semakin jelas. Bukan hanya suara langkah kaki manusia, tetapi juga suara berat, seperti langkah yang tidak berasal dari tubuh manusia.

Saka berusaha membuka pintu, tetapi pintu itu tak bergerak. Seolah ada sesuatu yang menahannya dari luar. Pintu yang sebelumnya bisa dibuka dengan mudah kini terkunci rapat. Kabut itu, yang sebelumnya hanya menyelimuti luar penginapan, kini meresap ke dalam ruangan, memenuhi setiap sudut dengan aura yang menekan dan tak terelakkan.

Di balik kabut yang semakin tebal, Saka mendengar suara bisikan halus, hampir seperti sebuah nyanyian. Suara itu terdengar familiar, namun aneh. Makin lama, suara itu makin jelas, dan tiba-tiba Saka mengenali suara itu—suara ibunya. Suara yang sudah lama tidak ia dengar sejak kematian ibunya bertahun-tahun lalu.

“Anakku… Saka… Aku di sini, dekat denganmu… Aku memanggilmu…”

Suara itu semakin mendalam, seolah memanggil dari dalam kabut. Hati Saka berdebar kencang. Ia tahu itu adalah ilusi, suara yang dibuat oleh kabut, tetapi rasa rindu terhadap ibunya yang telah lama meninggal membuatnya hampir tergoda untuk keluar dan mengikuti suara itu. Ia hampir melangkah, namun suara yang berbisik itu berubah menjadi jeritan tajam, memecah keheningan malam.

“Jangan keluar! Jangan ikuti suara itu!” teriak Saka pada dirinya sendiri, berusaha menahan dirinya untuk tidak terperangkap dalam ilusi yang mengerikan ini.

Namun, jeritan itu berubah menjadi tangisan memilukan, seolah-olah ada sesuatu yang sangat berharga hilang di luar sana. Dengan rasa takut yang menyelubungi dirinya, Saka berlari ke jendela, berharap bisa melarikan diri dari suara itu, dari kabut yang semakin memerangkapnya. Tetapi begitu ia menatap keluar, ia melihat sesuatu yang jauh lebih mengerikan dari yang ia bayangkan.

Di luar jendela, di tengah kabut yang semakin tebal, ia melihat bayangan-bayangan manusia bergerak perlahan. Mereka berjalan dengan langkah-langkah pelan, tubuh mereka kabur dan tak terdefinisi. Mereka adalah orang-orang yang pernah menghilang, yang terjebak dalam kabut yang tak bisa keluar. Beberapa dari mereka mengenakan pakaian yang familiar, namun wajah mereka kosong, tak memiliki ekspresi, seolah-olah mereka telah kehilangan jiwa mereka.

Saka berusaha menahan napas, berusaha untuk tidak panik. Tetapi kabut itu semakin merayap masuk, memenuhi ruangan, dan kini Saka merasa hawa dingin itu merasuk ke dalam tubuhnya. Dengan hati berdebar, ia menyentuh dada, mencoba untuk menenangkan diri. Ia tahu, ini adalah titik tak balik. Jika ia tidak segera menemukan cara untuk menutup gerbang ini, maka kabut ini akan melahap semuanya—dan ia tidak akan pernah bisa kembali lagi.

Suara jeritan semakin keras, kini semakin banyak yang terdengar. Beberapa suara terdengar sangat dekat, seperti bisikan dari mulut yang tak terlihat. Saka merasa tubuhnya semakin lemah, tak bisa melawan lagi. Kabut itu kini mengepungnya, membungkusnya dalam kegelapan yang pekat.

Tiba-tiba, suara itu berhenti. Semua menjadi sunyi. Saka membuka matanya dan melihat sekelilingnya. Kabut telah menghilang, tetapi rasa takut yang menghimpitnya tetap ada. Ia tahu bahwa kabut itu hanya menunggu saat yang tepat untuk kembali, lebih kuat dari sebelumnya.

Namun, Saka tak bisa berdiam diri. Ia harus segera bertindak, karena kabut ini bukan hanya tentang ketakutan, tetapi juga tentang pengorbanan. Pengorbanan yang lebih besar dari yang pernah ia bayangkan.

Dengan langkah mantap, ia melangkah keluar dari kamar, siap menghadapi apa pun yang menanti di luar, karena ia tahu, hanya dengan menghadapi teror ini, ia bisa menutup gerbang yang membawa kehancuran ini untuk selamanya.

Bab 13 – Cermin Retak, Bayangan Lepas

Malam itu terasa lebih tegang dari biasanya. Kabut yang menutupi desa Rawasari semakin pekat, dan udara yang biasanya terasa segar kini dipenuhi dengan keheningan yang mencekam. Saka berdiri di depan penginapan, menatap langit yang gelap, merasa seolah dunia di sekitarnya terjebak dalam kesunyian yang abadi. Ia merasakan sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan, seolah ada kekuatan besar yang mengintai dari dalam kabut, mengawasi setiap gerakannya.

Beberapa hari terakhir, ia semakin merasakan bagaimana kabut itu bukan hanya sekadar cuaca aneh. Kabut itu adalah sesuatu yang lebih. Sesuatu yang hidup. Sesuatu yang memiliki kekuatan untuk mengubah realitas, mengendalikan pikiran, dan bahkan memanipulasi waktu. Saka tahu ia tidak bisa lagi bersembunyi atau lari. Ia harus menghadapi kebenaran yang semakin mendekat.

Di dalam penginapan, suasana lebih mencekam dari biasanya. Saka berjalan perlahan menuju ruang tamu. Cermin besar yang terletak di tengah ruangan itu kini semakin mencurigakan. Dulu, cermin itu hanya menjadi hiasan tanpa arti. Namun, sejak pertemuannya dengan Bu Kirana dan penjelasan tentang gerbang yang ada di baliknya, Saka tahu bahwa cermin itu lebih dari sekadar benda dekorasi.

Ketika ia pertama kali melihatnya, cermin itu tampak seperti cermin biasa—bersih dan utuh, memantulkan gambar dirinya dengan jelas. Tetapi saat kabut mulai menyelimuti desa, cermin itu berubah. Gambaran yang terpantul di dalamnya semakin kabur, seolah ada sesuatu yang tersembunyi di balik permukaannya. Sesuatu yang mencoba keluar, namun terperangkap di dalamnya.

Kini, cermin itu tampak berbeda. Cahayanya memudar, permukaannya tampak retak-retak halus, seperti kaca yang sudah tua dan rapuh. Saka merasa ada sesuatu yang mengintai di balik retakan itu. Sesuatu yang sangat kuat, sangat gelap, dan sangat berbahaya.

Saka mendekati cermin dengan hati-hati, matanya terfokus pada retakan kecil di sudut bawah. Perlahan-lahan, ia menyentuh permukaan cermin, merasakan dinginnya yang menusuk. Saat jarinya menyentuh kaca, sebuah suara keras terdengar, membuat Saka terlonjak mundur. Cermin itu retak lebih dalam, seolah ada kekuatan besar yang merobeknya dari dalam.

Dalam sekejap, bayangan di dalam cermin mulai berubah. Apa yang sebelumnya tampak seperti gambaran dirinya, kini mulai bergeser dan menciptakan bentuk yang tidak dikenalnya. Wajahnya di cermin mulai kabur, dan bentuk tubuhnya mulai terdistorsi. Namun, ada satu hal yang membuat Saka terperangah—bayangan itu tidak hanya mencerminkan dirinya, tetapi juga bentuk-bentuk lain yang bergerak di dalamnya. Bayangan manusia, namun tak ada wajah, hanya gelap yang membentuk tubuh yang tinggi dan ramping.

Saka mundur langkah demi langkah, matanya terbelalak, tak bisa melepaskan pandangan dari cermin itu. Sesuatu yang mengerikan mulai terungkap di balik kaca itu. Bayangan-bayangan itu bukan manusia biasa, mereka adalah bayangan dari dunia yang berbeda. Dunia yang tersembunyi di balik kabut, yang kini semakin lepas dan keluar dari cermin.

“Jangan lihat!” teriak suara dari belakangnya. Saka berbalik cepat dan melihat Bu Kirana berdiri di ambang pintu, wajahnya pucat dan penuh ketakutan. “Kau sudah melihatnya, Saka. Tidak ada jalan mundur lagi.”

Saka tergagap, “Apa yang terjadi? Apa yang mereka inginkan?”

Bu Kirana melangkah masuk ke dalam ruangan dengan cepat, menutup pintu di belakangnya. Wajahnya tampak lebih tua dan lelah daripada sebelumnya, dan matanya penuh dengan kecemasan yang mendalam. “Mereka adalah orang-orang yang terjebak. Jiwa-jiwa yang tak bisa beristirahat. Mereka adalah bayangan yang terperangkap dalam dimensi ini, menunggu untuk keluar dan mengklaim dunia ini sebagai milik mereka.”

Saka mengerutkan kening. “Tapi, bukankah aku bisa menutup gerbang itu? Bukankah itu yang harus aku lakukan?”

Bu Kirana menggelengkan kepala perlahan, wajahnya semakin muram. “Menutup gerbang itu bukan perkara mudah, Saka. Hanya mereka yang telah melihat bayangan dan menghadapinya secara langsung yang bisa melakukan pengorbanan yang diperlukan. Namun, kau harus berhati-hati. Semakin dekat kau dengan bayangan itu, semakin banyak bagian dari dirimu yang akan hilang. Mereka bukan hanya mengejar tubuhmu, mereka ingin merenggut jiwamu. Mereka akan terus mengikutimu, menciptakan ilusi yang tak terbayangkan, hingga kau tak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak.”

Saka merasa hatinya semakin berat. Ia tahu Bu Kirana berkata dengan penuh pengetahuan yang diperoleh melalui penderitaan dan pengalaman. “Jadi, bagaimana caranya aku bisa menghadapinya? Apakah aku harus mengorbankan diriku sendiri seperti yang kau katakan?”

Bu Kirana menatap cermin dengan cemas, dan untuk pertama kalinya, Saka melihat rasa takut di matanya. “Tidak hanya dirimu yang akan terlibat dalam pengorbanan ini, Saka. Ada banyak nyawa yang telah terperangkap di sini, termasuk nyawa-nyawa yang kau kenal. Mereka akan datang untuk menuntut apa yang menjadi milik mereka. Mereka akan datang dalam bentuk yang sangat familiar.”

Saka merasa dunia di sekitarnya mulai berputar. “Apa maksudmu? Siapa mereka?”

Bu Kirana menunduk, menggenggam kedua tangannya dengan erat. “Armin, Saka. Dia salah satu dari mereka. Dia terperangkap di sini. Ia sudah lama mati, namun jiwanya terperangkap dalam bayangan. Dia tidak tahu siapa dia sebenarnya, dan setiap kali kau melihatnya, kau semakin dekat dengan kehilangan dirimu. Dia adalah bagian dari mereka.”

Saka terdiam, kebingungannya semakin dalam. Armin? Bagaimana bisa? Selama ini, ia mengira Armin adalah satu-satunya yang bisa membantunya memahami desa ini. Ternyata, semuanya adalah bagian dari rencana yang lebih besar, sesuatu yang sudah ada jauh sebelum ia datang ke sini.

Cermin itu tiba-tiba bergetar, seolah mendengarkan percakapan mereka. Bayangan-bayangan yang ada di dalamnya mulai bergerak lebih cepat, semakin mendekatkan diri ke permukaan cermin. Saka bisa merasakan hawa dingin yang semakin tajam. Mereka semakin dekat, dan ia tahu waktu semakin sedikit.

“Bagaimana caranya menutup gerbang ini?” tanya Saka, suaranya hampir tidak terdengar karena ketegangan yang mencekam.

Bu Kirana menatapnya dengan serius. “Ada satu cara. Tetapi untuk melakukannya, kau harus siap. Kau harus menghadapinya, dan hanya dengan mengorbankan sesuatu yang paling berharga bagimu, gerbang itu bisa tertutup. Kau harus memberi mereka apa yang mereka inginkan, sebuah pengorbanan. Tanpa itu, mereka akan terus menerus menerobos masuk ke dunia kita.”

Saka menatap cermin dengan penuh tekad. Di balik permukaannya, bayangan itu semakin jelas, semakin nyata, dan semakin dekat. Ia tahu, tak ada pilihan lain. Ia harus menutup gerbang itu—apapun yang harus ia korbankan.

Dengan hati yang penuh ketegasan, ia melangkah lebih dekat ke cermin, siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.

Bab 14 – Pengorbanan

Malam itu, kabut Rawasari tampak lebih pekat daripada sebelumnya. Saka bisa merasakannya, bagaimana udara yang semula sejuk dan segar kini terasa lebih berat, seperti ada sesuatu yang mengintai di setiap sudut desa. Kegelapan tidak hanya menguasai langit, tetapi juga merayap perlahan masuk ke dalam dirinya. Kabut itu bukan hanya fisik; ia menjadi beban, menjadi ancaman yang terus mengikis semangatnya. Setiap napas terasa lebih sulit, seolah-olah kabut itu mencoba menyelimutinya, menariknya ke dalam kegelapan yang tak terelakkan.

Di hadapannya, cermin besar di ruang tengah penginapan tampak lebih mengerikan dari sebelumnya. Retakan di permukaan kaca semakin lebar, seolah menantang siapapun yang berani mendekat untuk menyentuhnya. Bayangan-bayangan yang bergerak di dalam cermin itu semakin nyata, semakin dekat dengan dunia nyata. Tidak ada lagi ruang untuk bersembunyi.

Saka berdiri di depan cermin, tubuhnya gemetar. Hatinya berdebar keras, namun ia tahu, tak ada lagi jalan mundur. Setiap langkah yang diambilnya kini membawa dia lebih dekat ke titik yang tak bisa dihindari—pengorbanan yang harus dilakukan untuk menutup gerbang ini.

Ia memutar tubuhnya, menghadap Bu Kirana yang berdiri di belakangnya dengan wajah penuh kecemasan. Wanita tua itu tampak lelah, usianya yang sudah sangat lanjut semakin terlihat di balik kekuatan yang ia coba sembunyikan. Namun, di matanya ada rasa khawatir yang mendalam, sesuatu yang tak dapat disembunyikan lagi. “Kau sudah siap, Saka?” tanya Bu Kirana, suaranya penuh harap dan ketakutan.

Saka tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap cermin itu dengan penuh tekad. Dalam pikirannya, semua yang terjadi di Rawasari, semua yang ia pelajari, semua yang ia alami, terputar dengan cepat. Mimpi buruk yang ia alami, suara-suara yang memanggilnya, bayangan-bayangan yang mengintai. Semua itu adalah bagian dari takdir yang tak bisa dihindari. Namun ada satu hal yang Saka tahu pasti—untuk mengakhiri teror ini, ia harus membuat pengorbanan. Pengorbanan yang tidak hanya menyelamatkan dirinya, tetapi juga desa ini dari ancaman yang lebih besar.

Saka menatap Bu Kirana, dan dengan suara yang hampir tak terdengar, ia berkata, “Apa yang harus aku lakukan?”

Bu Kirana berjalan perlahan menghampirinya. Tangannya yang keriput terulur dan menyentuh pundaknya. “Kau harus memanggil mereka, Saka. Bayangan-bayangan itu tidak akan pergi hanya dengan kau melihatnya. Kau harus menghadapinya langsung. Mereka membutuhkan sesuatu, dan hanya dengan memberi mereka apa yang mereka inginkan, gerbang ini bisa tertutup.”

“Dan apa yang mereka inginkan?” tanya Saka, suaranya serak. Ia sudah merasa hampir putus asa, namun ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan desa ini.

“Jiwa,” jawab Bu Kirana dengan lirih. “Mereka ingin jiwa. Tapi ada sesuatu yang lebih dari itu. Mereka membutuhkan jiwa yang benar-benar ikhlas mengorbankan dirinya. Tanpa itu, mereka akan terus menguasai dunia ini, terus hidup di antara kita.”

Saka menghisap napas dalam-dalam, merasakan seberkas ketakutan menyelusup ke dalam dirinya. Jiwa. Pengorbanan. Semua ini terlalu besar, terlalu mengerikan. Namun ia tahu bahwa tak ada lagi pilihan lain. Semua yang ia lihat dan rasakan di Rawasari telah mengarah pada satu titik. Bahwa hanya dengan mengorbankan jiwa, hanya dengan memberi mereka apa yang mereka inginkan, kabut ini bisa surut.

Ia menundukkan kepalanya, berusaha menenangkan pikirannya. Saka tahu bahwa pengorbanan ini bukan hanya untuk menutup gerbang, tetapi juga untuk membebaskan jiwa-jiwa yang terperangkap di dunia bayangan. Ia mengingat Armin, anak muda yang telah menolongnya, yang ternyata juga terjebak dalam dunia ini. Armin adalah salah satu dari mereka, yang sudah lama mati namun jiwanya terperangkap dalam kabut. Dan kini, giliran Saka yang harus menyelesaikan tugas ini.

Saka mengangkat wajahnya, menatap Bu Kirana dengan penuh tekad. “Aku akan melakukannya. Aku akan mengorbankan diriku. Demi desa ini, demi orang-orang yang terperangkap di sini.”

Bu Kirana memandangnya dengan mata penuh haru. “Kau memiliki hati yang murni, Saka. Tapi ingat, pengorbanan ini bukan tanpa harga. Kau akan kehilangan sebagian dari dirimu. Kau tidak akan pernah kembali sepenuhnya seperti dulu. Jiwa-jiwa yang terperangkap di sini akan mengambil bagian darimu.”

Saka mengangguk pelan. “Aku tahu. Tapi ini adalah satu-satunya cara.”

Dengan hati yang berat, ia melangkah maju menuju cermin. Setiap langkahnya terasa semakin berat, semakin dekat dengan takdir yang sudah digariskan. Ketika ia berdiri di depan cermin, ia melihat bayangan dirinya di dalamnya. Namun, kali ini, bayangan itu tidak sama. Ada sesuatu yang lain di sana. Sesuatu yang gelap, yang berputar-putar di balik permukaan kaca. Saka tahu bahwa ini adalah saat yang paling krusial. Saat di mana ia harus melepaskan semua yang ia miliki—jiwa, tubuh, dan bahkan kenangan yang ada dalam dirinya.

Saka menatap bayangan di dalam cermin dan mengucapkan kata-kata yang sudah ia persiapkan. “Aku mengorbankan diriku untuk menutup gerbang ini. Aku rela meninggalkan segala yang aku miliki, demi mereka yang terperangkap di dunia ini.”

Dengan kata-kata itu, cermin itu mulai bergetar. Retakan di permukaannya semakin membesar, dan dari dalamnya, bayangan-bayangan mulai bergerak keluar. Saka merasakan tubuhnya semakin lemah, seolah-olah sesuatu sedang menarik kekuatan hidupnya. Namun, ia tidak mundur. Ia tahu, inilah saatnya. Inilah takdir yang harus ia jalani.

Kabut di luar semakin menyelimuti penginapan. Kabut itu semakin meresap ke dalam, memenuhi ruangan dengan hawa dingin yang semakin tajam. Saka merasa tubuhnya semakin dingin, jiwanya semakin menghilang, dan ia tahu bahwa ia tidak akan pernah kembali seperti semula. Tetapi ia tidak takut. Ia sudah siap.

Bayangan-bayangan yang keluar dari cermin itu bergerak perlahan, seolah mengitari tubuh Saka, mengelilinginya dengan penuh keheningan. Dalam keheningan itu, Saka merasa dirinya terlepas. Seperti ada bagian dari dirinya yang tercabut, diambil oleh bayangan-bayangan itu. Namun, meskipun ia merasa kehilangan, ia tahu bahwa ini adalah bagian dari pengorbanan yang harus dilakukan.

Dengan satu hembusan napas terakhir, kabut itu mulai surut. Bayangan-bayangan itu menghilang, seolah tertelan oleh kegelapan. Dan dengan itu, Rawasari mulai terbebas dari cengkeraman kabut yang mengerikan.

Saka terjatuh ke lantai, tubuhnya lemas. Namun, ia merasa ada kedamaian yang datang setelahnya. Sesuatu yang telah hilang, kini digantikan oleh rasa tenang yang luar biasa. Pengorbanan yang telah ia lakukan bukan hanya untuk menutup gerbang, tetapi juga untuk membebaskan jiwa-jiwa yang terperangkap di dunia bayangan.

Di luar, kabut mulai surut, dan desa Rawasari yang semula tertutup dalam ketakutan kini mulai kembali ke kehidupan yang lama. Namun, bagi Saka, ia tahu bahwa ia tidak akan pernah bisa kembali sepenuhnya. Pengorbanan ini telah mengubahnya selamanya.

Bab 15 – Surat Terakhir dan Desa yang Hilang Lagi

Pagi itu, kabut Rawasari tampak sudah mulai surut, meskipun masih ada serpihan tipis yang melayang-layang di udara. Keheningan menyelimuti desa yang dulunya dipenuhi dengan teror yang mencekam. Desa yang penuh dengan cerita kelam, yang tak akan pernah terlupakan oleh siapa pun yang menginjakkan kaki di sana. Kini, Rawasari tampak sepi, terlalu sepi untuk sebuah desa yang pernah mengalami teror yang begitu mengerikan.

Seorang jurnalis muda bernama Ario berdiri di depan sebuah rumah penginapan tua yang hampir roboh. Ia memegang sebuah amplop cokelat berdebu, yang tak lain adalah surat terakhir dari Saka, jurnalis yang telah hilang bertahun-tahun lalu. Surat itu ditemukan di antara catatan lama yang diselipkan di dinding rumah penginapan—surat yang telah lama tertinggal, tapi tak pernah terungkap hingga sekarang.

Ario memandang surat itu dengan hati-hati. Ia sudah mendengar banyak cerita tentang Rawasari, namun semua cerita itu selalu berakhir dengan ketidakpastian. Tak ada yang benar-benar tahu apa yang terjadi di desa ini. Namun, surat Saka yang ia temukan kini seperti kunci untuk memahami kisah yang belum pernah terungkap. Kisah tentang kabut abadi yang menutupi desa, bayangan yang mengintai, dan pengorbanan yang tak terhitung jumlahnya.

Dengan perlahan, Ario membuka amplop itu. Di dalamnya, terdapat selembar kertas yang tampak sudah usang. Tulisannya tergurat dengan tangan yang goyah, seolah ditulis dalam keadaan terdesak. Ario membaca setiap kata dengan cermat, meskipun ia merasa ada rasa takut yang mulai menggelayuti dirinya.

“Jika kau membaca surat ini, maka kau sudah terlambat. Aku sudah menjadi bagian dari mereka—bagian dari kabut yang mengelilingi Rawasari. Aku tidak bisa kembali lagi. Aku tidak bisa melarikan diri dari takdir yang telah kutemui di desa ini.”

“Bayangan itu sudah keluar, mereka sudah bebas. Dan sekarang, mereka datang untukmu, Ario. Kau yang menemukan surat ini, kau yang akan menjadi bagian dari kisah ini. Jangan biarkan kabut itu menutupi jalanmu. Aku telah mengorbankan diri, dan sekarang, tugasmu untuk mengakhiri semua ini. Aku tidak tahu apakah kau akan berhasil, atau apakah kau akan menjadi bagian dari mereka yang terperangkap dalam kabut ini, tetapi satu hal yang pasti—Rawasari tidak akan pernah bisa lepas dari bayangannya. Aku hanya bisa berharap kau bisa menutupnya, menutup gerbang yang telah aku buka.”

Ario terdiam sejenak, mencerna setiap kalimat dalam surat itu. Jantungnya berdebar kencang. Di dalam surat itu, Saka tampaknya sudah tahu bahwa dirinya tidak akan pernah bisa keluar dari Rawasari. Ia sudah menjadi bagian dari bayangan, bagian dari teror yang tidak akan pernah berakhir. Ario bisa merasakan kengerian yang pernah dialami Saka. Dan sekarang, ia merasa beban itu berpindah kepadanya.

Namun, ada satu hal yang membuat Ario semakin bingung. Desa Rawasari, menurut surat itu, sudah lepas dari bayangannya. Kabut itu mulai surut, tetapi ada yang tidak beres. Ario merasakan bahwa ada yang salah. Ia menoleh ke sekeliling, mencoba mencari petunjuk lebih lanjut tentang apa yang sebenarnya terjadi di desa ini. Tapi, seolah-olah, Rawasari tampak kosong. Hanya ada kehampaan yang melingkupi setiap sudut desa.

Desa ini, yang dulu begitu mencekam, kini tampak hanya sebagai kenangan gelap yang tak ingin dikenang. Semua rumah-rumah itu tampak usang, beberapa bahkan sudah roboh. Tak ada suara anak-anak bermain di jalanan. Tak ada tawa atau obrolan penduduk desa. Rawasari kini terasa seperti kota mati, sebuah tempat yang telah dikutuk untuk terpendam dalam waktu yang abadi.

Ario berjalan lebih jauh, menyusuri jalan setapak yang sempit. Di sisi jalan, ia melihat sebuah batu nisan yang hampir tertutup rerumputan liar. Batu nisan itu tampaknya baru saja dipasang, meskipun tak ada siapa pun yang terlihat merawatnya. Di atasnya terukir nama yang tidak asing bagi Ario—Saka.

Ia berhenti sejenak, menatap batu nisan itu dengan rasa tak percaya. Di bawah nama Saka, terukir sebuah tulisan kecil: “Pengorbanan yang terlupakan.” Ario merasa seolah sebuah beban berat menimpa hatinya. Ia tahu bahwa Saka tidak akan pernah benar-benar pergi. Jiwa Saka kini terperangkap di antara dunia nyata dan dunia bayangan, terperangkap dalam kabut yang tak bisa lepas.

Tiba-tiba, angin dingin berhembus, membawa kabut tipis yang mulai turun kembali ke desa. Ario merasakan perubahan yang tak terduga. Kabut itu bukan hanya cuaca, tetapi sesuatu yang lebih besar, lebih gelap. Ia merasakan hawa dingin yang menjalar di tulang punggungnya. Suara angin membawa bisikan samar, suara yang tidak jelas, tetapi terasa seperti panggilan yang memaksa.

Ario menoleh cepat, mencoba mencari sumber suara itu. Tetapi yang ia temui hanya kabut yang semakin menebal, seolah menutupi seluruh dunia. Ario merasa ketakutan menyelusup ke dalam dirinya. Ia tahu bahwa kabut itu bukan hanya sebuah fenomena alam biasa. Kabut itu adalah gerbang, gerbang yang menghubungkan dunia ini dengan dunia bayangan yang tak terjangkau oleh akal manusia.

Ia melangkah mundur, berusaha menghindari kabut yang semakin mendekat. Namun, semakin ia bergerak, semakin kabut itu menyelimuti sekitarnya. Kabut itu tidak hanya menutupi pandangannya, tetapi juga mulai merasuk ke dalam pikirannya, menelan seluruh eksistensinya.

Tiba-tiba, ia mendengar suara yang begitu jelas, suara yang membuat darahnya membeku. “Ario… Ario…” Suara itu datang dari dalam kabut, terdengar familiar. Itu adalah suara Saka. Tetapi Saka sudah mati. Atau begitulah yang ia kira.

Ario memandang ke sekelilingnya dengan panik. Tidak ada orang di sana, hanya kabut yang semakin tebal. Dan kemudian, ia melihatnya. Sebuah bayangan bergerak di tengah kabut, bentuknya samar, tetapi jelas terlihat seperti sosok manusia. Saka. Tetapi bukan Saka yang ia kenal. Ini adalah sesuatu yang lebih gelap, lebih menakutkan.

Bayangan itu semakin mendekat, dan Ario merasa tubuhnya kaku. Ia tahu bahwa ini adalah akhir. Desa Rawasari yang dulu penuh dengan teror kini kembali hidup, dengan bayangan yang telah lepas dari cermin. Saka mungkin telah berkorban untuk menutup gerbang itu, tetapi pengorbanan itu tidak akan pernah benar-benar menghentikan mereka.

“Jangan lari, Ario,” suara Saka terdengar lebih jelas, lebih nyata, dan semakin mengerikan. “Semua orang di sini sudah menjadi bagian dari mereka. Kamu juga.”

Ario merasa tubuhnya semakin terjebak dalam kabut, merasa terperangkap dalam dunia yang tak pernah ia pahami. Ia tahu bahwa Rawasari, dengan segala kekejamannya, tidak akan pernah bisa lepas dari bayangan itu. Desa ini akan terus hilang, terus terperangkap dalam kabut, dan semua yang ada di dalamnya akan menjadi bagian dari kisah yang tak berujung.

Dan dengan itu, kabut semakin menyelimuti Rawasari, membawa segala kisahnya yang hilang ke dalam kegelapan yang abadi.***

———————–THE END———————–

Source: Shifa Yuhananda
Tags: #Bayangan#KisahHoror#PengorbananJiwaTerperangkapKabutRawasariKegelapanAbadiTakdirYangTertutupTerorDesa
Previous Post

JEJAK SUNYI DI UJUNG LORONG

Next Post

JEJAK DARAH DI PADANG NERAKA

Next Post
JEJAK DARAH DI PADANG NERAKA

JEJAK DARAH DI PADANG NERAKA

BAYANGAN TERKAHIR DI CERMIN RETAK

BAYANGAN TERKAHIR DI CERMIN RETAK

DARAH DALAM CERMIN

DARAH DALAM CERMIN

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In