• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
BAYANG-BAYANG KEJAYAAN MAJAPAHIT

BAYANG-BAYANG KEJAYAAN MAJAPAHIT

February 25, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
BAYANG-BAYANG KEJAYAAN MAJAPAHIT

BAYANG-BAYANG KEJAYAAN MAJAPAHIT

Antara Ambisi, Perang, dan Kehilangan dalam Sejarah Kerajaan yang Terlupakan

by FASA KEDJA
February 25, 2025
in Sejarah
Reading Time: 20 mins read

Prolog:

Langit di atas ibu kota Majapahit mulai memerah, memberi tanda bahwa senja akan segera datang. Bumi yang luas ini menyimpan banyak cerita, dan salah satunya adalah cerita tentang sebuah kerajaan yang pernah bersinar begitu terang. Kerajaan yang dibangun di atas dasar keberanian, perjuangan, dan pengorbanan. Namun, seperti halnya matahari yang tenggelam di balik cakrawala, kejayaan itu pun mulai meredup, digantikan oleh bayangan konflik dan perpecahan yang semakin dalam.

Di tepi pantai, angin sore menyapa lembut wajah seorang wanita muda yang berdiri, memandang ke arah laut. Rambutnya terurai, mengalir mengikuti irama angin yang menenangkan. Matanya yang indah tampak jauh, menatap cakrawala yang penuh dengan kenangan dan harapan. Ia adalah Roro Diah, putri dari Blambangan, yang kini telah terikat oleh takdir dengan Majapahit.

Beberapa tahun yang lalu, ketika Majapahit berada di puncak kejayaannya, Roro Diah datang ke istana dengan penuh harapan. Ia tidak tahu bahwa dirinya akan menjadi bagian dari kisah besar yang penuh dengan ambisi dan pengkhianatan. Ia datang sebagai penghubung antara Blambangan dan Majapahit, membawa damai dan kemungkinan untuk sebuah aliansi yang kuat. Namun, apa yang ia temui bukanlah kerajaan yang harmonis seperti yang ia impikan, melainkan sebuah tempat yang penuh dengan intrik politik, perpecahan, dan ambisi pribadi yang bisa mengubah segalanya

Di balik kemegahan istana Majapahit, di balik para pemimpin yang berkuasa, ada sebuah dunia yang jauh lebih gelap. Kekuatan yang tampaknya tak terhentikan bisa dengan cepat berubah menjadi racun yang merusak segala yang ada di sekitarnya. Gajah Mada, pemimpin yang sangat dihormati, telah menjadikan dirinya sebagai orang yang sangat berkuasa. Namun, dengan segala ambisi dan kekuatan yang dimilikinya, Gajah Mada tidak pernah bisa menghindari kenyataan bahwa kekuasaan tidak pernah datang tanpa biaya.

Roro Diah pernah bertemu dengan Gajah Mada, saat ia pertama kali datang ke Majapahit. Pemimpin besar itu begitu yakin akan masa depan yang cerah bagi kerajaannya, tetapi ia tidak melihat keretakan yang perlahan mulai muncul di dalam tubuh Majapahit sendiri. Roro Diah merasa ada sesuatu yang tidak beres. Semua yang dilihatnya adalah bayangan dari sebuah kerajaan yang mulai terpecah-pecah.

“Majapahit akan menjadi kerajaan yang agung, lebih besar dari yang pernah ada di Nusantara,” kata Gajah Mada pada suatu kesempatan, saat ia berbicara tentang rencananya untuk memperluas pengaruh Majapahit ke seluruh kepulauan. “Dengan kekuatan dan persatuan, kita akan menaklukkan segala tantangan yang ada.”

Namun, Roro Diah merasakan ada sesuatu yang hilang dalam kata-kata itu. Ia melihat betapa ambisi Gajah Mada begitu besar, namun apakah itu cukup untuk menyatukan kerajaan yang penuh dengan berbagai kepentingan dan perbedaan? Ia bertanya-tanya apakah langkah besar yang diambil oleh Majapahit untuk menguasai wilayah-wilayah lain bisa tetap menjaga kedamaian dan kesejahteraan rakyatnya, atau justru akan memicu perpecahan yang lebih dalam.

Di tengah kebingungannya, Roro Diah juga bertemu dengan Arya Wijaya, seorang pemuda yang juga terperangkap dalam konflik kekuasaan ini. Arya, yang pada awalnya adalah sekutu Gajah Mada, perlahan mulai merasakan beban berat dari perjuangan yang mereka jalani. Ia percaya pada idealisme Gajah Mada, tetapi semakin lama, ia mulai melihat bagaimana kemenangan demi kemenangan yang diraih oleh Majapahit datang dengan pengorbanan yang besar, bukan hanya di medan perang, tetapi juga di dalam hati orang-orang yang terlibat di dalamnya.

“Apakah kita benar-benar tahu apa yang kita perjuangkan?” tanya Arya suatu kali kepada Roro Diah, setelah pertempuran besar yang melanda kerajaan mereka. “Kita memerangi musuh kita, tetapi apakah kita juga memerangi diri kita sendiri?”

Roro Diah tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Ia hanya bisa menatap wajah Arya yang penuh kebingungan, menyadari bahwa mereka berada di tengah perjalanan yang tidak lagi jelas arahnya. Perang telah membawa mereka pada kemenangan, tetapi pada saat yang sama, ia juga menghancurkan harapan-harapan yang mereka miliki.

Seiring berjalannya waktu, perpecahan di dalam Majapahit semakin besar. Gajah Mada yang dulu dianggap sebagai pahlawan kini mulai menjadi sosok yang lebih kontroversial. Ambisinya untuk menguasai seluruh Nusantara mulai dipandang sebagai ancaman, bahkan oleh mereka yang dulunya setia kepadanya. Ra Kuti, seorang pemimpin yang dahulu pernah menjadi sekutu Gajah Mada, kini bangkit untuk melawan, membentuk pasukan yang loyal padanya dan menantang kekuasaan yang sudah terlalu lama dijalankan oleh Gajah Mada.

Arya Wijaya, yang terjebak di tengah persaingan politik ini, kini harus memilih antara kesetiaannya pada Gajah Mada dan kebijaksanaan untuk melihat gambaran yang lebih besar. Ia tahu bahwa keputusan yang diambilnya akan mempengaruhi masa depan Majapahit, tetapi ia juga merasa bahwa pertempuran ini bukan hanya soal takhta dan kekuasaan. Ini adalah tentang bagaimana menjaga nilai-nilai yang selama ini mereka perjuangkan.

Namun, di saat yang sama, Roro Diah merasa bahwa peranannya di Majapahit semakin sulit. Ia datang dengan harapan untuk membawa perdamaian, tetapi apa yang ia hadapi justru sebaliknya—kerajaan yang terpecah, rakyat yang tersiksa, dan para pemimpin yang saling berperang. Ia merasa terperangkap dalam sebuah kisah yang tidak pernah ia inginkan.

Dari sudut pandang Roro Diah, kejayaan Majapahit kini hanyalah bayang-bayang dari masa lalu yang tak akan pernah kembali. Kerajaan yang dulu berdiri megah kini sedang berjuang untuk bertahan hidup, dan di dalam hati setiap orang yang terlibat, ada pertanyaan besar: Apakah perjuangan ini sebanding dengan apa yang telah hilang? Atau, dalam mengejar kejayaan dan kekuasaan, mereka telah kehilangan jati diri mereka sendiri?

Ketika malam tiba, dan langit yang dulu penuh dengan cahaya bintang kini tertutup awan gelap, Majapahit berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada harapan untuk membangun kembali kerajaan yang pernah berkuasa. Di sisi lain, ada ketakutan bahwa Majapahit, yang dibangun dengan darah dan air mata, mungkin sudah terlalu terlambat untuk diselamatkan.

Roro Diah menutup matanya, membiarkan angin laut membawa pikirannya jauh. Ia tahu bahwa perjalanan ini, meskipun penuh dengan kebingungannya, belum berakhir. Apa pun yang terjadi, ia akan tetap berjuang untuk apa yang ia percayai—bahwa kedamaian, meski sulit dicapai, adalah sesuatu yang layak untuk diperjuangkan. Namun, ia juga tahu bahwa dunia ini tidak selalu berpihak pada mereka yang ingin menjaga kedamaian.

Di ujung cakrawala, matahari yang pernah menjadi simbol kejayaan Majapahit perlahan tenggelam, meninggalkan kerajaan itu dalam bayang-bayang masa

depan yang penuh ketidakpastian.*

Bab 1: Puncak Kejayaan

Pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit, di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk, kerajaan ini dikenal sebagai salah satu kerajaan terbesar dan paling berpengaruh di Nusantara. Keberhasilan Majapahit dalam memperluas wilayahnya hingga ke hampir seluruh Indonesia dan wilayah luar negeri, seperti Semenanjung Malaya, Sumatra, Bali, bahkan hingga ke beberapa bagian Filipina, membuat kerajaan ini dihormati dan dipuji oleh berbagai bangsa. Namun, di balik gemerlap kejayaan itu, kehidupan di istana Majapahit penuh dengan intrik dan konflik yang tak terlihat oleh rakyat biasa. Di tengah suasana penuh ambisi dan kebijakan kerajaan, muncul seorang pemuda yang tidak tahu betapa besar takdir yang sedang menunggunya.

Arya Wijaya, seorang pemuda yang baru berusia dua puluh lima tahun, adalah seorang prajurit yang sedang meniti karier di kerajaan Majapahit. Lahir dari keluarga bangsawan kecil di wilayah timur Majapahit, Arya dikenal sebagai pemuda yang cerdas, tangguh, dan penuh dedikasi. Sejak kecil, ia dilatih dalam seni bela diri dan taktik perang, yang mengasah keterampilannya. Walaupun ia bukan bagian dari garis keturunan kerajaan, Arya memiliki ambisi besar untuk melayani Majapahit, karena ia percaya bahwa kejayaan kerajaan ini akan membawa kesejahteraan bagi rakyat dan melindungi tanah kelahirannya.

Arya pertama kali menarik perhatian Raja Hayam Wuruk saat pertempuran besar melawan kerajaan Singasari yang ingin kembali bangkit. Dalam pertempuran tersebut, Arya bertempur dengan gigih dan menunjukkan keberanian luar biasa. Ia berhasil menyelamatkan salah satu komandan utama dari serangan mendadak musuh, meskipun dirinya terluka parah. Hayam Wuruk yang menyaksikan pertempuran tersebut segera memerintahkan agar Arya dipromosikan ke posisi yang lebih tinggi. Keberanian dan dedikasi Arya menarik perhatian sang raja, yang melihat potensi besar dalam diri pemuda itu.

Bersama dengan pasukannya, Arya sering bertugas di wilayah perbatasan kerajaan, menjaga kedamaian dan memperluas wilayah Majapahit dengan merebut kerajaan-kerajaan kecil yang ada di sekitar Majapahit. Salah satunya adalah kerajaan Blambangan, yang terletak di ujung timur Pulau Jawa. Kerajaan ini cukup kuat dan berpengaruh, dan selama bertahun-tahun telah menjadi tantangan besar bagi Majapahit. Namun, berkat kepiawaian Arya dalam merancang strategi perang, Blambangan berhasil ditaklukkan tanpa banyak darah yang tertumpah.

Di tengah pertempuran demi pertempuran, Arya bertemu dengan seorang wanita yang tak akan pernah bisa dilupakan sepanjang hidupnya, Roro Diah. Putri dari kerajaan Blambangan ini, yang dikenal cantik dan cerdas, memiliki peran penting dalam upaya perdamaian antara dua kerajaan. Sebelum Blambangan jatuh, Roro Diah dijodohkan dengan seorang bangsawan Majapahit sebagai simbol perdamaian. Namun, karena kecerdasannya dan pengaruhnya di kalangan rakyat Blambangan, ia lebih memilih berjuang bersama rakyatnya, meskipun itu berarti menentang kehendak orang tuanya.

Saat Majapahit berhasil menaklukkan Blambangan, Arya diutus untuk mengantarkan Roro Diah ke ibu kota Majapahit. Dalam perjalanan itu, mereka mulai saling mengenal. Arya yang dikenal tegas dan disiplin, mulai membuka diri kepada Roro Diah, yang memiliki pemikiran lebih bebas dan idealis. Roro Diah yang awalnya enggan menyerahkan diri, mulai memahami bahwa kedamaian antara Majapahit dan Blambangan bisa terwujud hanya dengan menghormati satu sama lain. Melalui perbincangan panjang selama perjalanan, keduanya mulai saling menghargai dan menumbuhkan rasa cinta yang tak terduga.

Namun, di istana Majapahit, ketegangan mulai berkembang. Di bawah kepemimpinan Raja Hayam Wuruk, kerajaan ini semakin berkembang, namun juga semakin banyak musuh tersembunyi di dalam istana. Gajah Mada, senapati agung yang sangat ambisius, menjadi salah satu tokoh yang berusaha untuk memperoleh lebih banyak kekuasaan. Ambisinya tidak hanya terbatas pada perluasan wilayah Majapahit, tetapi juga mencakup pengaruh politik di dalam kerajaan. Ia tahu bahwa dengan menjadi orang yang paling berkuasa, ia dapat mengubah nasib kerajaannya.

Kedekatan antara Arya Wijaya dan Roro Diah mulai mencuri perhatian beberapa pihak di istana. Beberapa pejabat kerajaan yang merasa terancam dengan popularitas Arya mulai memainkan taktik licik untuk menjatuhkannya. Mereka tahu bahwa jika Arya terus mendapatkan perhatian dari Raja Hayam Wuruk, ia bisa saja menjadi pesaing berat Gajah Mada dalam perebutan kekuasaan.

Di sisi lain, Gajah Mada sendiri merasa terancam dengan keberadaan Arya. Sebagai seorang pemimpin militer yang telah mengantarkan Majapahit pada kemenangan demi kemenangan, ia merasa harus menjaga kendali sepenuhnya atas kerajaan. Gajah Mada percaya bahwa tanpa kekuatan militer yang tangguh, kerajaan Majapahit akan mudah hancur. Ia pun mulai merancang strategi untuk memanfaatkan Arya sebagai alat politik, tanpa menyadari bahwa Arya memiliki ambisi yang lebih besar dari sekadar menjadi alat kekuasaan.

Sementara itu, hubungan antara Arya dan Roro Diah semakin dalam. Mereka berdua menyadari bahwa kedamaian di antara mereka berdua bisa menjadi simbol besar bagi seluruh kerajaan. Namun, kedamaian itu harus dibayar dengan pertaruhan yang tinggi. Roro Diah harus menerima kenyataan bahwa pernikahannya dengan Arya bisa memicu konflik besar di dalam kerajaan, terutama dengan Gajah Mada yang sudah mulai menunjukkan taringnya.

Dalam suatu malam yang mencekam, ketika Arya sedang mempersiapkan pasukannya untuk perjalanan kembali ke medan perang, ia mendapat undangan pribadi dari Raja Hayam Wuruk. Raja ingin berbicara dengannya tentang masa depan Majapahit, dan untuk itu, ia ingin mendengar langsung dari Arya. Di hadapan Raja, Arya merasa gemetar, namun juga terhormat. Raja yang bijaksana itu menyatakan bahwa ia melihat banyak potensi dalam diri Arya, dan berharap Arya akan menjadi salah satu pemimpin besar di masa depan.

Namun, meskipun pujian itu manis di telinga, Arya tahu bahwa masa depan kerajaan Majapahit penuh dengan ketidakpastian. Setiap langkah yang diambilnya akan berimbas pada takdir seluruh bangsa. Dalam kebingungan dan perasaan campur aduk, Arya pun menyadari bahwa ia harus membuat pilihan besar: antara tetap setia pada kerajaan yang telah membesarkannya, atau melawan ketidakadilan yang ada di dalam istana demi masa depan rakyatnya.

Begitu banyak jalan yang terbentang di depannya, namun hanya satu yang bisa dipilih. Dengan hati yang penuh tekad, Arya Wijaya menatap langit malam, mengetahui bahwa takdirnya tidak hanya tergantung pada dirinya sendiri, tetapi juga pada seluruh kerajaan Majapahit yang terancam gelapnya intrik politik dan ambisi kekuasaan.*

Bab 2: Perebutan Takhta

Setelah kematian Raja Hayam Wuruk, kerajaan Majapahit yang besar dan megah mulai goyah. Kepergian sang raja meninggalkan kekosongan yang dalam, sebuah ruang yang siap diisi oleh mereka yang berambisi untuk menguasai takhta yang pernah menjadi simbol kejayaan. Di tengah ketidakpastian ini, muncul dua tokoh yang akan mengubah arah sejarah Majapahit: Ra Kuti, adik dari Hayam Wuruk, dan Gajah Mada, sang senapati agung yang telah menjadi simbol kekuatan militer kerajaan.

Kerajaan yang telah dibangun dengan susah payah selama puluhan tahun, dengan pertempuran yang tak terhitung jumlahnya, kini berada di ambang kehancuran akibat perselisihan internal. Ra Kuti, sebagai saudara kandung dari Hayam Wuruk, merasa bahwa ia berhak atas takhta kerajaan, meskipun banyak yang meragukan kemampuannya untuk memimpin. Ra Kuti dikenal sebagai pribadi yang cenderung tenang, tetapi sifatnya yang tidak terlalu ambisius membuat banyak orang di kerajaan meragukan kemampuannya untuk mengendalikan situasi yang penuh ketegangan. Namun, sebagai anggota keluarga kerajaan, ia mendapatkan dukungan dari sebagian besar kalangan bangsawan yang ingin melihat Majapahit tetap berada dalam kendali keluarga kerajaan.

Di sisi lain, Gajah Mada, senapati besar yang selama ini menjadi tangan kanan Hayam Wuruk, memandang kekosongan takhta ini sebagai peluang untuk memantapkan dirinya sebagai penguasa yang tak terbantahkan. Gajah Mada memiliki visi besar untuk Majapahit, yakni menjadikannya kerajaan yang lebih luas dan lebih kuat, dengan mengendalikan seluruh wilayah Nusantara. Namun, ambisi Gajah Mada tidak hanya terbatas pada perluasan wilayah, tetapi juga pada penguasaan politik kerajaan itu sendiri. Ia merasa bahwa Majapahit hanya akan mencapai kejayaannya yang sesungguhnya jika ia memegang kendali penuh atas kerajaan, dan untuk itu, ia membutuhkan takhta.

Sementara perebutan takhta ini semakin memanas, Arya Wijaya yang sebelumnya hanya seorang prajurit muda, kini dihadapkan pada pilihan yang tak terelakkan. Sebagai seorang tokoh militer yang memiliki reputasi besar di kalangan pasukan, ia menyadari bahwa takdir Majapahit sangat bergantung pada bagaimana ia memilih untuk berpihak. Jika ia mendukung Ra Kuti, ia mungkin akan mendukung kestabilan kerajaan, tetapi jika ia mendukung Gajah Mada, ia harus bersiap untuk terjun lebih dalam ke dalam politik istana yang penuh dengan tipu daya.

Di luar perpolitikan istana, hati Arya terus dihantui oleh perasaannya terhadap Roro Diah. Wanita yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya itu, kini terjebak dalam situasi yang semakin sulit. Roro Diah adalah putri dari Blambangan, kerajaan yang baru saja ditaklukkan oleh Majapahit. Sebagai seorang wanita yang cerdas dan memiliki pemikiran bebas, ia selalu berpikir bahwa kedamaian antara Majapahit dan Blambangan akan tercapai hanya melalui pengertian dan saling menghormati. Namun, kini ia harus menghadapi kenyataan bahwa masa depannya terancam oleh ketidakpastian politik yang semakin berkembang.

Roro Diah tidak hanya berjuang untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk rakyatnya di Blambangan, yang kini menjadi bagian dari kerajaan Majapahit. Ia merasa bahwa takdirnya tidak hanya tergantung pada pilihan politik di istana, tetapi juga pada bagaimana ia bisa memastikan agar tanah kelahirannya tidak menjadi korban dari ambisi para penguasa yang hanya melihat kepentingan pribadi mereka.

Seiring waktu, ketegangan semakin meningkat, dan tak lama setelah Hayam Wuruk wafat, Ra Kuti akhirnya dinobatkan sebagai raja Majapahit. Namun, kekuasaannya tidak dapat bertahan lama. Banyak pihak yang merasa bahwa Ra Kuti tidak memiliki kekuatan untuk memimpin Majapahit dengan efektif, terutama di tengah ketidakstabilan yang melanda kerajaan. Keputusan-keputusan politik yang diambil oleh Ra Kuti sering kali dianggap lemah, dan hal ini memicu kerusuhan dan ketidakpuasan di kalangan para pejabat kerajaan dan rakyatnya.

Di tengah ketidakpastian ini, Gajah Mada memutuskan untuk mengambil langkah berani. Sebagai senapati, ia mengumpulkan pasukan yang setia kepadanya dan memulai pemberontakan untuk merebut kekuasaan. Dengan ambisi besar untuk mengendalikan takhta Majapahit, Gajah Mada menganggap bahwa hanya dengan menguasai kerajaan secara mutlak ia bisa mewujudkan visinya untuk memperluas wilayah dan memastikan kejayaan Majapahit di seluruh Nusantara.

Di luar istana, Arya Wijaya menyadari bahwa ia tidak bisa tinggal diam. Sebagai seorang prajurit yang setia pada kerajaan, ia merasa terikat untuk melindungi Majapahit, tetapi ia juga sadar bahwa situasi ini jauh lebih rumit dari yang terlihat. Meskipun ia memiliki banyak alasan untuk mendukung Gajah Mada yang telah memberinya banyak kesempatan, Arya tidak bisa menutup mata terhadap cara-cara licik yang digunakan oleh Gajah Mada untuk mencapai tujuannya. Arya merasa bahwa jika Gajah Mada benar-benar memegang kendali, kerajaan ini akan lebih mementingkan ekspansi dan kekuasaan pribadi daripada kesejahteraan rakyat.

Sementara itu, perasaan Arya terhadap Roro Diah semakin dalam. Wanita itu bukan hanya simbol perdamaian bagi Majapahit dan Blambangan, tetapi juga sumber kekuatan emosional bagi Arya. Di tengah kerusuhan yang semakin berkembang, Arya mulai mempertanyakan pilihan hidupnya. Apakah ia akan terus mengikuti ambisi politik yang tak terelakkan, ataukah ia akan berjuang untuk kedamaian dan rakyatnya, bahkan jika itu berarti menentang pihak-pihak yang lebih berkuasa?

Pada suatu malam yang penuh ketegangan, Arya dipanggil ke istana untuk menghadiri pertemuan penting antara para bangsawan dan pejabat kerajaan. Ra Kuti yang merasa terancam oleh pemberontakan Gajah Mada, menginginkan dukungan dari semua pihak untuk mempertahankan kekuasaannya. Namun, Arya sudah merasa ragu dengan kemampuan Ra Kuti untuk memimpin kerajaan. Di sisi lain, Gajah Mada yang berusaha untuk merebut perhatian para pejabat kerajaan, menggunakan kekuatan pasukannya untuk menekan setiap orang yang menentangnya.

Ketegangan semakin memuncak ketika Ra Kuti mengeluarkan sebuah keputusan besar yang dianggap sebagai langkah terakhirnya untuk mempertahankan kekuasaan. Ra Kuti mengusulkan sebuah aliansi dengan beberapa kerajaan tetangga Majapahit, dengan harapan bisa memperkuat pertahanannya. Namun, keputusan ini justru memicu reaksi keras dari Gajah Mada, yang merasa bahwa aliansi ini akan melemahkan posisinya.

Dalam situasi yang semakin kritis, Arya akhirnya harus memutuskan di pihak mana ia akan berpihak. Dilema antara kesetiaan kepada kerajaan dan kepentingan pribadinya semakin kuat. Sementara itu, Roro Diah, yang mengetahui akan semakin rumitnya situasi politik di istana, berusaha untuk tetap mendukung Arya dalam perjalanan berat ini, meskipun ia tahu bahwa masa depan mereka berdua sangat tidak pasti.*

Bab 3: Sumpah Setia

Majapahit kini terperangkap dalam ketegangan yang tidak terelakkan. Kekuatan besar di dalam kerajaan saling berhadap-hadapan, dan kedamaian yang pernah menjadi simbol kejayaan Majapahit kini mulai pudar. Arya Wijaya, yang selama ini dikenal sebagai prajurit setia dan terhormat, kini berdiri di persimpangan jalan, terjebak dalam dilema yang akan menentukan nasib dirinya dan kerajaan yang telah membesarkannya.

Ra Kuti, yang baru saja dinobatkan sebagai raja, merasa terancam oleh kekuatan Gajah Mada yang semakin berkembang. Meskipun Ra Kuti memiliki legitimasi sebagai adik dari Hayam Wuruk, ia tidak memiliki karisma dan kepemimpinan yang diharapkan oleh banyak pihak. Para pejabat kerajaan yang merasa tidak puas dengan kebijakan Ra Kuti mulai mendekati Gajah Mada, yang telah lama dianggap sebagai pahlawan militer dan penguasa tak terbantahkan di medan perang. Gajah Mada, dengan ambisi besar untuk menjadikan Majapahit sebagai kerajaan yang lebih kuat dan luas, semakin percaya diri bahwa takhta Majapahit seharusnya berada di tangannya, bukan di tangan seorang raja yang lemah.

Sementara itu, di medan pertempuran dan politik istana, Arya Wijaya merasa terhimpit. Ia dikenal sebagai seorang prajurit yang setia, tetapi kini, di hadapan kenyataan yang semakin rumit, ia merasakan beratnya tanggung jawab untuk memilih jalan yang benar. Sebagai seorang pemimpin militer yang dihormati, ia tahu bahwa tindakannya akan mempengaruhi banyak pihak, bukan hanya pasukan yang dipimpinnya, tetapi juga nasib rakyat Majapahit. Namun, yang lebih berat lagi, ia tahu bahwa pilihannya juga akan mempengaruhi hubungannya dengan Roro Diah, wanita yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya.

Roro Diah, putri Blambangan yang telah dijodohkan dengan Arya oleh perjodohan politik, kini mendapati dirinya terjerat dalam jaring konflik yang semakin tidak terhindarkan. Ia telah jatuh cinta pada Arya, tetapi di tengah pertempuran politik yang sengit, ia merasa khawatir bahwa masa depan mereka berdua terancam oleh ambisi-ambisi yang lebih besar. Roro Diah adalah simbol perdamaian antara Majapahit dan Blambangan, dan meskipun hatinya ingin hidup dalam kedamaian bersama Arya, ia tahu bahwa kedamaian itu hanya bisa tercapai jika Majapahit tetap stabil dan kuat.

Namun, bagi Gajah Mada, stabilitas kerajaan tidak bisa dicapai tanpa menghapuskan mereka yang dianggap lemah. Ra Kuti, yang seharusnya menjadi raja, kini semakin terpojok. Gajah Mada tahu bahwa untuk memperluas pengaruhnya dan memastikan kejayaan Majapahit, ia harus mengendalikan semua aspek kerajaan, termasuk takhta itu sendiri. Dengan perencanaan yang matang dan kekuatan militernya yang besar, Gajah Mada memulai langkah untuk menggulingkan Ra Kuti dan merebut takhta yang seharusnya menjadi milik Raja Hayam Wuruk.

Di tengah kekacauan yang semakin memuncak, Arya akhirnya dipanggil ke istana untuk bertemu dengan Ra Kuti. Raja yang baru itu terlihat cemas dan tertekan. Ia tahu bahwa ia tidak bisa mengendalikan situasi tanpa bantuan para pejabat dan jenderalnya, namun ia juga sadar bahwa banyak dari mereka sudah berpihak pada Gajah Mada. Ra Kuti dengan putus asa meminta bantuan Arya, yang dianggapnya sebagai satu-satunya orang yang masih memiliki kesetiaan dan integritas untuk melindungi kerajaan.

“Arya, aku membutuhkanmu,” ujar Ra Kuti dengan suara lemah, “Majapahit membutuhkanmu untuk tetap teguh. Kita harus bersatu melawan Gajah Mada dan para pengikutnya yang ingin menghancurkan apa yang telah kita bangun. Aku tidak bisa melakukan ini sendirian.”

Arya, yang mendengar kata-kata itu, hanya bisa terdiam. Ia memandang wajah Ra Kuti dengan penuh perasaan campur aduk. Meski ia merasa simpati terhadap Ra Kuti, namun ia tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa Gajah Mada adalah sosok yang jauh lebih kuat dan memiliki visi yang lebih besar. Ra Kuti hanya melihat kejayaan Majapahit dalam hal mempertahankan apa yang sudah ada, sementara Gajah Mada melihatnya dalam kerangka perluasan dan kekuasaan yang lebih besar.

“Tuan, saya mengerti kekhawatiran Anda,” jawab Arya pelan. “Namun, saya juga tahu bahwa Majapahit sudah berubah, dan perubahan itu datang dengan harga yang sangat besar. Saya ingin melindungi kerajaan ini, tetapi saya juga harus berpikir tentang masa depan Majapahit. Apakah kita akan bertahan dalam keadaan stagnasi, atau kita akan maju untuk mencapai kejayaan yang lebih besar?”

Ra Kuti terdiam mendengarkan jawaban Arya. Ia tahu bahwa tidak ada jalan keluar yang mudah dari situasi ini. Di sisi lain, Gajah Mada semakin memperlihatkan kekuasaannya dengan cara-cara yang lebih keras. Ia memperkuat pasukannya dan mengambil kendali lebih besar atas wilayah-wilayah yang sebelumnya masih di bawah pengaruh Ra Kuti. Dengan kedekatannya dengan para pejabat kerajaan, Gajah Mada pun mulai mengubah kebijakan Majapahit, menggantikan pejabat-pejabat yang dianggapnya tidak loyal, dan menggantinya dengan orang-orang yang lebih setia padanya.

Keputusan Arya untuk memilih antara Ra Kuti dan Gajah Mada akhirnya tiba. Tidak ada jalan tengah yang bisa diambil. Jika ia memilih Ra Kuti, ia akan tetap mempertahankan kestabilan kerajaan, tetapi itu berarti menantang kekuasaan Gajah Mada yang sudah sangat besar. Jika ia memilih Gajah Mada, ia akan mengambil risiko menghancurkan apa yang masih tersisa dari kekuasaan Ra Kuti, tetapi ia juga akan berada di jalur menuju kejayaan Majapahit yang lebih besar.

Dalam kesendirian malam itu, Arya merenung panjang. Pikirannya berkelana, memikirkan semua yang telah ia alami, dan semua yang telah terjadi. Dalam benaknya terlintas gambaran Roro Diah yang berdiri di sisi lain. Ia tidak ingin menyakiti Roro Diah dengan keputusan yang diambilnya. Namun, ia tahu bahwa takdirnya terikat dengan keputusan yang harus ia buat.

Keesokan harinya, Arya mengambil keputusan besar yang akan mengubah jalannya sejarah Majapahit. Ia memutuskan untuk bergabung dengan Gajah Mada. Meski hatinya berat, ia tahu bahwa Gajah Mada adalah orang yang memiliki visi untuk membawa Majapahit lebih jauh lagi, meskipun harus menghadapi tantangan besar.

“Saya akan berjuang untuk Majapahit,” ujar Arya dengan suara mantap, ketika ia berdiri di hadapan Gajah Mada. “Saya berjanji setia untuk kerajaan ini, dan akan melakukan apa yang perlu dilakukan demi masa depannya.”

Gajah Mada, yang sudah menunggu keputusan Arya, tersenyum tipis. “Kamu telah membuat keputusan yang benar, Arya. Bersama kita akan menjadikan Majapahit kerajaan yang tak terkalahkan. Kejayaan kita hanya akan dimulai dari sini.”

Dengan perasaan yang campur aduk, Arya mengikat sumpah setianya pada Gajah Mada dan Majapahit. Namun, ia juga tahu bahwa ia telah memasuki jalan yang penuh dengan pengorbanan dan intrik. Sumpah setia yang diucapkannya bukan hanya untuk kekuasaan dan kejayaan, tetapi juga untuk masa depan yang akan menentukan takdir seluruh kerajaan.*

Bab 4: Perang Besar

Langit Majapahit mendung, menyimpan pertanda akan datangnya badai besar yang tak terelakkan. Kerajaan yang dulu bersatu dalam kedamaian dan kemakmuran kini terpecah, dihantui oleh perpecahan internal yang semakin dalam. Setelah pengakuan resmi Arya Wijaya terhadap Gajah Mada sebagai pemimpin Majapahit, kerajaan ini terpecah menjadi dua kekuatan besar. Di satu sisi, ada Gajah Mada dengan kekuatan militer yang luar biasa dan ambisi yang meluas, sementara di sisi lain, ada Ra Kuti, yang meskipun kurang memiliki keahlian politik, tetap mempertahankan klaimnya atas takhta kerajaan.

Perebutan kekuasaan ini tak hanya melibatkan para elit kerajaan, tetapi juga mempengaruhi seluruh lapisan masyarakat Majapahit. Perang besar yang sudah lama diprediksi akhirnya meletus. Masing-masing pihak mulai mengumpulkan pasukan mereka, dan seluruh wilayah kerajaan Majapahit terpecah menjadi wilayah yang loyal kepada salah satu pihak. Sementara itu, di tengah gejolak ini, Roro Diah, yang berada di antara kedua kekuatan besar tersebut, terus berusaha menemukan cara untuk menyelamatkan kerajaannya dan rakyat Blambangan yang kini menjadi bagian dari Majapahit.

Gajah Mada, dengan segala kekuatan pasukan yang ia miliki, merasa yakin bahwa hanya dengan menghancurkan Ra Kuti dan para pengikutnya, ia bisa mewujudkan visinya untuk memperluas Majapahit ke seluruh Nusantara. Ia percaya bahwa wilayah yang pernah dikuasai Majapahit di bawah Hayam Wuruk akan kembali menjadi kerajaan yang agung jika ia memegang kendali penuh. Namun, meski pasukannya sangat besar dan disiplin, Gajah Mada menyadari bahwa jalan menuju kemenangan tidak akan mudah. Ra Kuti memiliki banyak pendukung di kalangan bangsawan dan para pemimpin daerah yang loyal kepadanya, dan pasukannya meskipun lebih kecil, tetap memiliki semangat juang yang tinggi.

Sementara itu, Arya Wijaya merasa terjebak dalam perang yang tidak ia inginkan. Meskipun ia telah memilih untuk mendukung Gajah Mada, ia tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa perang ini mengancam kehancuran Majapahit. Selama ini, Arya selalu berjuang demi kerajaan, tetapi kini ia harus menghadapi kenyataan bahwa pertempuran ini akan menghancurkan banyak nyawa dan merusak kedamaian yang telah lama terjaga.

Arya menatap medan perang yang sudah mulai terlihat di depan mata. Pasukan Gajah Mada bersiap untuk melancarkan serangan besar-besaran, sementara pasukan Ra Kuti pun tidak tinggal diam. Kedua belah pihak menyiapkan diri untuk pertempuran yang akan menentukan nasib Majapahit. Arya, sebagai seorang pemimpin militer, tahu bahwa medan perang adalah tempat yang penuh dengan ketidakpastian, dan setiap keputusan yang ia ambil akan mempengaruhi hasil dari pertempuran ini.

Namun, di dalam hatinya, Arya terus bergumul dengan perasaan pribadi. Ia tahu bahwa Roro Diah tidak ingin perang ini terjadi, dan ia pun merasakan beban yang besar ketika ia memikirkan nasib wanita itu. Roro Diah, yang selama ini berdiri di tengah-tengah antara Ra Kuti dan Gajah Mada, kini menjadi simbol perdamaian yang semakin sulit untuk dicapai. Meski Arya berjanji akan berjuang demi Majapahit, ia merasa khawatir bahwa perang ini akan memisahkan mereka selamanya.

Pada malam sebelum pertempuran dimulai, Arya mengunjungi Roro Diah di kediamannya. Roro Diah, yang juga tidak bisa menghindari ketegangan politik ini, menyambut Arya dengan ekspresi yang penuh keprihatinan.

“Arya, apakah kita benar-benar harus melalui ini?” tanya Roro Diah dengan suara lembut, namun penuh dengan kekhawatiran. “Kita tahu bahwa Majapahit telah terbagi, dan perang ini hanya akan menyebabkan kehancuran. Saya tidak ingin melihat lebih banyak darah tertumpah. Apakah ini jalan yang harus kita pilih?”

Arya menatapnya dalam-dalam, merasa hancur dengan pertanyaan itu. Ia menginginkan kedamaian, seperti halnya Roro Diah, tetapi ia tahu bahwa perang ini adalah kenyataan yang tak bisa dihindari lagi. Dengan berat hati, ia menggelengkan kepala.

“Saya ingin lebih dari apapun agar kita bisa menghindari perang ini, Roro. Tapi, keadaan tidak memungkinkan. Saya harus mengikuti jalan yang telah saya pilih, meskipun saya tahu bahwa ini akan menghancurkan semuanya. Bukan hanya Majapahit, tetapi juga hubungan kita.”

Roro Diah menundukkan kepala, merasa hati kecilnya retak mendengar kata-kata Arya. Meskipun ia tahu bahwa Arya berjuang untuk kejayaan Majapahit, ia juga tidak bisa menutup mata terhadap kehancuran yang akan ditimbulkan oleh perang ini. Namun, apa yang bisa mereka lakukan? Majapahit telah terpecah, dan pilihan mereka hanyalah bertahan atau mengalah.

Keputusan besar pun tiba. Pada pagi hari yang penuh ketegangan itu, pasukan Gajah Mada melancarkan serangan besar-besaran terhadap pasukan Ra Kuti. Pertempuran berlangsung sengit, dan darah mulai mengalir di medan perang. Gajah Mada, yang telah mempersiapkan pasukannya dengan baik, dengan cepat berhasil memukul mundur pasukan Ra Kuti. Namun, meskipun pasukannya lebih kuat, Ra Kuti tidak menyerah begitu saja. Ia dan pasukannya bertahan habis-habisan, memanfaatkan setiap taktik untuk melawan serangan Gajah Mada.

Pertempuran ini tidak hanya melibatkan pasukan di medan perang, tetapi juga perang strategi yang mempengaruhi arah pertempuran. Arya Wijaya, yang memimpin pasukan Gajah Mada di salah satu sayap pertempuran, menyadari bahwa meskipun mereka menang dalam jumlah, semangat juang pasukan Ra Kuti tidak bisa dianggap remeh. Setiap langkah yang mereka ambil, setiap pergerakan, harus dipikirkan dengan sangat hati-hati.

Selama pertempuran yang berlangsung berhari-hari itu, Arya mulai merasakan dampak dari pilihan yang telah ia buat. Di satu sisi, kemenangan di medan perang akan membawa kejayaan Majapahit, namun di sisi lain, ia merasa semakin jauh dari prinsip-prinsip yang dulu ia pegang. Saat melihat tentara yang gugur di kedua belah pihak, ia tidak bisa mengabaikan kenyataan pahit bahwa banyak dari mereka yang seharusnya tidak terlibat dalam pertempuran ini.

Dalam satu pertempuran yang sangat menentukan, pasukan Gajah Mada berhasil mengepung pasukan Ra Kuti. Ra Kuti, yang merasa terdesak, memutuskan untuk mundur, meninggalkan pasukannya untuk bertahan sendirian. Gajah Mada, dengan kemenangan yang semakin dekat, mulai mengarahkan serangannya ke jantung pertahanan Ra Kuti.

Namun, meskipun pasukan Ra Kuti akhirnya terpecah, Ra Kuti sendiri tidak menyerah begitu saja. Dalam suatu upaya terakhir, ia berusaha melarikan diri melalui jalur yang tersembunyi, bertekad untuk mempertahankan hidupnya dan suatu hari kembali untuk mengambil alih Majapahit. Sementara itu, Gajah Mada, yang tahu bahwa pertempuran ini adalah kemenangan besar, memandang medan perang dengan penuh kelelahan. Ia tahu bahwa meskipun kemenangan telah diraih, Majapahit masih harus membayar harga yang sangat mahal untuknya.

Arya Wijaya, setelah pertempuran yang melelahkan itu, kembali ke istana dengan perasaan yang campur aduk. Ia telah memenangkan pertempuran, tetapi ia merasa kehilangan. Dalam sekejap, kerajaan yang dulu ia cintai telah berubah, dan ia tidak tahu apakah kemenangan ini benar-benar membawa Majapahit

menuju kejayaan yang sebenarnya.*

Bab 5: Akhir Sebuah Zaman

Dengan berlalunya perang besar, Majapahit merasakan dampak yang tak terelakkan. Meski kemenangan militer telah dicapai oleh pasukan Gajah Mada, kedamaian yang pernah menghiasi kerajaan itu kini terasa jauh. Gajah Mada, yang dulu dikenal sebagai seorang pahlawan, kini dipandang dengan dua mata: satu yang penuh kekaguman terhadap kejayaannya, dan satu lagi yang penuh kebencian atas cara-cara yang digunakan untuk meraih kemenangan. Setiap kemenangan yang ia raih datang dengan harga yang sangat tinggi.

Arya Wijaya, yang menjadi tangan kanan Gajah Mada di medan perang, kini merasakan beban tak terungkapkan di pundaknya. Pada awalnya, ia yakin bahwa dukungannya kepada Gajah Mada adalah langkah yang tepat, bahwa kejayaan Majapahit hanya bisa dicapai melalui penguatan kekuasaan dan ekspansi yang lebih besar. Namun kini, setelah melihat kehancuran yang ditimbulkan oleh perang, ia mulai meragukan pilihan tersebut.

Di tengah kebingungannya, Arya kembali ke rumahnya, tempat yang pernah menjadi kedamaian baginya. Namun, kedamaian itu kini terasa jauh. Roro Diah menunggunya, meskipun hubungan mereka telah diuji oleh perpecahan dan konflik yang tiada henti. Roro Diah adalah simbol dari kedamaian yang pernah ada, dan meskipun ia tahu betul betapa beratnya keputusan Arya, ia tetap menunggu.

“Arya, apakah ini yang kita perjuangkan?” Roro Diah bertanya saat Arya memasuki ruangannya. Wajahnya menunjukkan tanda-tanda kelelahan, tetapi ada sedikit harapan di matanya, harapan yang telah lama hilang di tengah perang dan konflik.

Arya duduk di sampingnya, terdiam. “Saya tidak tahu lagi, Roro. Saya hanya tahu bahwa kami menang, tetapi tidak ada rasa kemenangan dalam hati saya. Kejayaan yang kami cari datang dengan darah yang tumpah. Banyak nyawa yang hilang, banyak keluarga yang hancur. Saya bertanya pada diri saya sendiri, apakah itu sebanding dengan apa yang kami capai?”

Roro Diah menatapnya, merasakan kesedihan yang mendalam di hati Arya. Ia tahu bahwa perang bukanlah jawaban untuk segala masalah, tetapi kadang-kadang, dalam sejarah, jalan menuju kedamaian harus melalui penderitaan dan pengorbanan yang besar. Namun, apakah pengorbanan itu akan membawa kebahagiaan? Atau justru akan membawa kehancuran lebih lanjut?

“Majapahit memang telah menang, tetapi apa yang kita bangun kembali setelah itu?” tanya Roro Diah. “Apakah kita masih bisa menjaga Majapahit sebagai tempat yang penuh dengan kedamaian, atau apakah kita sudah terlalu jauh dalam perang untuk kembali ke awal?”

Arya menggenggam tangannya dengan lembut. “Saya tidak tahu jawabannya, Roro. Saya hanya tahu satu hal, bahwa Majapahit telah berubah. Kerajaan ini tidak akan pernah sama lagi, apapun yang terjadi. Kami telah mencapai tujuan kami, tapi dalam prosesnya, kami telah kehilangan sesuatu yang jauh lebih penting.”

Gajah Mada, setelah meraih kemenangan, kembali ke ibu kota Majapahit dengan penuh kebanggaan. Namun, di balik senyum kemenangan itu, ada sebuah kerisauan yang menghantui dirinya. Pasukannya telah merebut hampir seluruh wilayah yang ingin ia kuasai, namun ia juga tahu bahwa penguasaannya terhadap Majapahit semakin rapuh. Banyak dari mereka yang mendukungnya hanya karena kekuatan yang ia miliki, bukan karena kesetiaan sejati. Bahkan, para pejabat kerajaan yang dulu setia kini mulai meragukan kepemimpinannya.

Dengan keberhasilannya menumbangkan Ra Kuti, Gajah Mada menganggap dirinya sebagai orang yang paling kuat di Majapahit, namun di dalam hatinya, ia tahu bahwa kekuatan semacam itu tidak bisa bertahan lama. Ia tahu bahwa ia harus mengubah cara pemerintahannya, atau Majapahit akan jatuh ke dalam kehancuran lebih dalam lagi. Namun, apakah ia bisa berubah? Ataukah ia hanya akan menjadi tiran yang dipuja karena kekuasaannya?

Pada suatu hari, Gajah Mada mengundang Arya Wijaya untuk bertemu di ruang istana yang sunyi. Ketegangan di antara mereka sangat terasa. Arya datang dengan wajah yang datar, penuh dengan pikiran dan kebingungan yang mendalam.

“Arya, kau adalah orang yang telah mengantarkan kemenangan ini. Tanpa bantuanmu, Majapahit tidak akan berada di titik ini,” kata Gajah Mada dengan suara berat. “Namun, aku merasa ada sesuatu yang hilang dalam kemenangan ini. Majapahit telah berubah, dan aku tahu kau merasa hal yang sama. Apa yang akan kita lakukan setelah ini?”

Arya menatapnya dalam-dalam, merasakan beratnya pertanyaan itu. “Apa yang bisa kita lakukan, Tuan? Kita telah memenangkan perang, tetapi kita kehilangan banyak hal di sepanjang jalan. Banyak orang yang harus membayar harga terlalu mahal. Kerajaan ini mungkin telah berkembang dalam ukuran, tetapi hati kami kosong.”

Gajah Mada menghela napas panjang, merasa kenyataan yang baru saja disadari menghantamnya. Ia tahu bahwa ia tidak bisa terus memimpin dengan tangan besi. Kekuatan yang ia raih memang luar biasa, tetapi seiring berjalannya waktu, ia semakin merasa bahwa Majapahit tidak hanya membutuhkan kekuatan fisik, tetapi juga keharmonisan dan keseimbangan yang telah lama hilang.

“Kau benar, Arya. Selama ini aku hanya fokus pada perluasan dan kekuasaan. Aku ingin Majapahit menjadi kerajaan yang agung, tetapi aku lupa bahwa sebuah kerajaan yang agung bukan hanya tentang kekuatan, tetapi juga tentang bagaimana kita menjaga kepercayaan dan hubungan antar manusia. Kita harus membangun kembali kerajaan ini, bukan hanya dengan pedang, tetapi dengan hati.”

Namun, meskipun kata-kata Gajah Mada menggambarkan penyesalan, ia juga tahu bahwa banyak dari mereka yang telah mendukungnya selama ini akan melihat kelemahan dalam dirinya jika ia berubah. Perjalanan Majapahit yang sudah dia mulai akan sulit untuk dihentikan begitu saja. Ia merasa terperangkap dalam ambisi yang telah lama ia perjuangkan, dan kini, keinginannya untuk mengubah Majapahit menjadi kerajaan yang lebih baik harus berhadapan dengan kenyataan pahit tentang apa yang telah ia korbankan.

Di sisi lain, Roro Diah, yang selama ini berusaha menjaga perdamaian, juga merasa kesulitan. Setelah bertahun-tahun berada di antara konflik politik dan peperangan, ia merasakan bahwa hatinya semakin terkikis. Ia ingin melihat Majapahit kembali ke masa kejayaannya, tetapi ia juga tahu bahwa perubahan yang diinginkan tidak akan datang dengan mudah. Setiap langkah yang diambil, baik oleh Gajah Mada maupun oleh Arya, kini membawa dampak yang tak terhitung jumlahnya.

“Apakah kita akan tetap bertahan dalam keinginan untuk membangun kejayaan yang lama?” tanya Roro Diah, mengingatkan Arya tentang perjalanan panjang yang mereka hadapi. “Atau apakah kita akan berhenti sejenak, berusaha memperbaiki yang telah hancur dan menjaga yang masih ada?”

Arya, dengan segala kebingungannya, akhirnya membuat keputusan besar. “Majapahit harus berubah, Roro. Tapi perubahan itu tidak bisa datang hanya dengan perang atau kekuasaan. Kita harus menemukan cara untuk membangun kembali kedamaian ini, meskipun sulit. Jika tidak, Majapahit akan kehilangan apa yang paling berharga.”

Pada akhirnya, meskipun perubahan dan kedamaian yang dicari terasa jauh, ada sedikit harapan bahwa Majapahit, meskipun dilanda peperangan dan pengkhianatan, masih memiliki kesempatan untuk kembali ke jalur yang benar. Namun, jalan itu tidak akan mudah. Mungkin Majapahit akan tetap berjuang, dengan banyak pengorbanan, tetapi seiring berjalannya waktu, sebuah pelajaran akan tertanam dalam hati setiap orang yang terlibat dalam sejarah kerajaan ini: bahwa kejayaan sejati tidak pernah datang hanya dengan darah, tetapi dengan kebijaksanaan, keadilan, dan rasa saling menghormati.

Di ujung perjalanan panjang ini, mungkin Majapahit tidak akan pernah sama lagi. Namun, harapan akan masa depan yang lebih baik tetap hidup, seiring dengan keinginan untuk membangun kembali apa yang telah hilang.***

———–THE END———-

 

 

 

Source: Jasmine Malika
Tags: #SejarahIndonesia #Majapahit #PerangDanKehilangan #KejayaanDanKehancuran #AmbisiPemimpin #IntrikPolitik #PerjuanganDanPengorbanan
Previous Post

MATAHARI DALAM SENJA

Next Post

TERIKAT TANPA CINTA

Next Post
TAKDIR BONEKA AJAIB

TERIKAT TANPA CINTA

CINTA DI ANTARA HUJAN

CINTA DI ANTARA HUJAN

JARAK YANG MENGHALANGI

JARAK YANG MENGHALANGI

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In