Bab 1: Pertemuan dengan Takdir
Di sebuah lembah yang tandus, jauh dari peradaban, Sisyphus berjuang melawan takdirnya. Setiap hari, ia harus mendorong batu besar ke puncak bukit, hanya untuk melihatnya terguling kembali ke bawah ketika ia hampir mencapainya. Hukuman ini diberikan oleh para dewa, hasil dari kelicikan dan kebanggaan Sisyphus semasa hidup.
Suatu hari, saat Sisyphus sedang berjuang keras mendorong batu, seorang pemuda yang tampaknya datang dari perjalanan jauh mendekatinya. Pemuda itu adalah Atlas, yang sedang melintasi dunia untuk menyelesaikan tugasnya. Melihat Sisyphus yang kelelahan, Atlas merasa kasihan.
“Apakah kamu membutuhkan bantuan?” tanya Atlas, mendekat dengan wajah penuh empati.
Sisyphus menatapnya dengan pandangan kosong. “Bantuan? Aku sudah ratusan tahun melakukan ini sendiri. Tidak ada yang bisa membantu. Takdirku sudah ditentukan.”
Atlas, meskipun merasa ragu, tetap mendekat. “Aku mungkin tidak bisa mengubah takdirmu, tetapi aku bisa menemanimu. Mungkin, jika kita mendorong batu ini bersama-sama, perjalananmu akan sedikit lebih mudah.”
Sisyphus tertawa pahit. “Kamu tidak tahu apa yang kamu katakan. Batu ini jauh lebih berat daripada yang kamu kira. Ini bukan sekadar fisik. Ini adalah penderitaan abadi yang tak akan berakhir.”
Namun, Atlas tidak mundur. “Aku tidak mengerti hukumanmu, tapi aku tahu satu hal—mungkin kita bisa mencoba melakukan ini bersama. Apa yang lebih buruk dari kesendirian?”
Sisyphus terdiam sejenak. Meskipun ia merasa ragu, ada sesuatu dalam diri Atlas yang membuatnya merasa sedikit lebih baik. “Baiklah, jika kamu bersikeras, mari kita coba.”
Bab 2: Langkah Bersama
Atlas dan Sisyphus mulai mendorong batu itu bersama. Batu yang awalnya tampak mustahil untuk digerakkan kini sedikit lebih mudah, meskipun tidak banyak perubahan yang terjadi. Setiap langkah mereka terasa berat, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Sisyphus merasakan kehadiran Atlas yang memberi kekuatan baru.
“Kamu tahu,” kata Sisyphus di tengah perjalanan, “selama ratusan tahun aku melakukannya sendirian. Aku sudah kehilangan harapan bahwa ada cara untuk mengakhiri hukuman ini.”
Atlas, yang tak terbiasa dengan beban fisik sebesar ini, mulai merasa lelah, tetapi ia berusaha keras untuk tetap menjaga semangat. “Terkadang, hanya dengan memiliki seseorang di samping kita sudah cukup untuk memberi kekuatan, bukan?”
Sisyphus menatapnya dengan keheranan. “Aku tidak pernah berpikir seperti itu. Aku selalu berfokus pada batu ini, pada hukuman yang tidak ada habisnya. Aku tidak pernah berhenti untuk melihat sekeliling.”
Namun, perlahan, Atlas menyadari bahwa beban batu itu bukan hanya fisik, tetapi juga mental. Kekuatan terbesar Sisyphus bukanlah pada kemampuannya untuk mendorong batu, melainkan pada tekadnya untuk terus berjuang meskipun tak ada harapan.
Bab 3: Kesulitan yang Tak Terhindarkan
Meski bekerja sama, batu itu tetap saja sangat berat dan sulit untuk didorong. Ketika mereka hampir sampai di puncak, batu itu kembali mengguling dan jatuh ke bawah. Kecewa, mereka harus memulai lagi dari bawah. Namun kali ini