BAB 1: PERKENALAN TAK TERDUGA
Aldo duduk dengan gelisah di sudut kafe favoritnya. Pagi itu, hujan gerimis turun dengan lembut di luar jendela, menciptakan suasana yang sejuk dan tenang. Namun, perasaan di dalam dirinya justru bertolak belakang. Ia baru saja menerima telepon dari bosnya yang memberitahukan bahwa ada proyek baru yang harus ia kerjakan bersama rekan tim yang baru, dan salah satu dari mereka adalah Mira. Nama itu bergema di telinganya, meskipun ia belum pernah bertemu langsung dengannya.
Aldo adalah pria berusia dua puluh delapan tahun, bekerja di sebuah perusahaan konsultan terkenal di kota. Hidupnya cenderung teratur, penuh rutinitas dan ambisi. Ia bukan tipe orang yang mudah tertarik pada orang baru, terutama wanita. Selama bertahun-tahun, Aldo fokus pada kariernya dan menutup diri dari kehidupan pribadi. Tapi entah mengapa, ketika mendengar nama Mira, ada sesuatu yang membuat hatinya berdebar. Ia tidak tahu pasti apa yang membuatnya merasa seperti itu. Apakah itu hanya rasa ingin tahu atau ada sesuatu yang lebih dalam?
Hari itu, saat akhirnya Aldo bertemu Mira, semuanya berjalan begitu biasa. Mira adalah seorang wanita muda dengan penampilan yang sangat profesional. Pakaian formal yang dikenakannya memperlihatkan betapa seriusnya ia dalam bekerja. Wajahnya yang cantik namun tegas membuatnya terlihat percaya diri. Mata cokelatnya yang tajam memancarkan kesan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Mira menyapa Aldo dengan senyum kecil yang menunjukkan kesan ramah namun tetap menjaga jarak. Perkenalan mereka sangat sederhana, namun ada sesuatu yang aneh di udara. Aldo merasa seolah-olah ada ketegangan halus antara mereka, meskipun mereka tidak mengenal satu sama lain sebelumnya.
Aldo merasa canggung, seperti ada yang hilang dalam dirinya. Ia sudah terbiasa berinteraksi dengan rekan kerja lainnya, namun dengan Mira, perasaan itu terasa berbeda. Aldo mencoba berfokus pada proyek yang harus mereka kerjakan bersama, tetapi pikirannya terus kembali pada wanita itu. Setiap gerakan Mira, setiap kata yang keluar dari mulutnya, seolah-olah terngiang dalam benaknya. Aldo mencoba untuk menyembunyikan perasaan ini, namun entah bagaimana, ia tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di dalam dirinya.
Mira sendiri, meskipun terlihat profesional, tampak sedikit ragu. Ia baru beberapa bulan bergabung di perusahaan ini dan merasa belum sepenuhnya diterima. Sejak pertama kali bertemu dengan Aldo, ia merasa ada ketertarikan yang tidak bisa dijelaskan. Namun, Mira tidak ingin terburu-buru menilai seseorang hanya dari pertemuan pertama. Ia tahu betul bagaimana rasanya jika seseorang membuat penilaian terburu-buru tanpa mengenal lebih dalam. Tapi anehnya, ada rasa yang berbeda saat Aldo memandangnya. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuat Mira merasa sedikit canggung, meskipun ia berusaha untuk tetap tenang.
Proyek yang mereka kerjakan bersama mengharuskan mereka untuk sering berinteraksi. Setiap hari mereka bertemu untuk rapat, berdiskusi tentang berbagai hal teknis, dan mengerjakan tugas bersama. Meskipun Aldo berusaha untuk menjaga profesionalisme, ia tidak bisa menahan perasaan yang mulai tumbuh. Mira bukan hanya sekadar rekan kerja bagi Aldo. Ada rasa ingin mengenal lebih dalam tentangnya. Namun, perasaan ini juga disertai dengan rasa takut. Aldo tidak pernah tahu bagaimana cara menghadapi perasaan seperti ini, terutama terhadap seseorang yang baru ia kenal.
Pada suatu pagi, setelah rapat selesai, Aldo melihat Mira duduk sendirian di taman perusahaan, menatap layar ponselnya. Aldo merasa terdorong untuk mendekatinya, tapi ia merasa ragu. Ia menghela napas dalam-dalam dan memutuskan untuk berjalan ke arahnya. Tanpa ia sadari, langkah kakinya semakin mendekat, hingga akhirnya ia berdiri tepat di depan Mira.
“Hei, Mira,” ucap Aldo dengan suara sedikit canggung.
Mira mengangkat wajahnya dan tersenyum lembut. “Oh, Aldo. Ada apa?”
Aldo terkejut melihat senyum itu. Ia merasa seolah-olah senyum Mira bisa menenangkan seluruh kegelisahannya. Namun, ia berusaha tetap tenang dan berkata, “Hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja setelah rapat tadi.”
Mira menatap Aldo sejenak sebelum berkata, “Terima kasih, Aldo. Aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah saja.”
Ada sesuatu dalam cara Mira berbicara yang membuat Aldo merasa lebih dekat dengannya. Aldo tidak tahu apakah itu hanya perasaan sesaat ataukah ada yang lebih dari itu. Namun, yang pasti, hatinya mulai berdetak lebih cepat setiap kali ia berinteraksi dengan Mira.
Hari-hari berikutnya terasa seperti permainan tebak-tebakan bagi Aldo. Ia tidak tahu apakah Mira juga merasakan hal yang sama atau hanya bertindak profesional. Namun, Aldo mulai menyadari bahwa perasaan ini semakin sulit untuk diabaikan. Ia mulai merasakan sebuah ketertarikan yang tak bisa dijelaskan, yang membuatnya merasa bingung dan tidak menentu.
Pada akhirnya, Aldo menyadari bahwa ketertarikan ini bukanlah sesuatu yang bisa ia hindari begitu saja. Ini adalah sesuatu yang harus ia hadapi, meskipun ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah Mira juga merasakan hal yang sama? Atau apakah ini hanya perasaan sepihak yang harus ia lupakan?
Perkenalan mereka mungkin dimulai dengan cara yang biasa saja, namun Aldo tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Sebuah perjalanan emosional yang akan mengubah pandangannya tentang cinta dan kehidupan. Mungkin perasaan ini adalah takdir yang harus ia jalani, atau mungkin hanya sebuah kenangan singkat yang akan terlupakan. Namun, satu hal yang pasti: perkenalan ini akan mengubah segalanya.*
BAB 2: KETERTARIKAN YANG TAK TERKENDALI
Aldo duduk di meja kerjanya dengan pandangan kosong, matanya tertuju pada layar komputer, namun pikirannya jauh melayang. Rapat pagi tadi dengan Mira telah berakhir, tetapi bayangan wanita itu masih terus menghantui pikirannya. Aldo tidak tahu harus merasa senang atau cemas. Apa yang terjadi dengan dirinya? Kenapa perasaan ini begitu kuat, seolah-olah ia tidak bisa mengendalikannya?
Sejak pertemuan pertama mereka, Aldo mulai merasa ada yang berbeda. Mira bukan hanya sekadar rekan kerja yang baru. Ada sesuatu dalam diri wanita itu yang membuatnya terpesona, yang sulit ia jelaskan dengan kata-kata. Mungkin itu adalah cara Mira berbicara dengan penuh keyakinan, atau caranya mengerjakan tugas dengan penuh dedikasi, seolah-olah ia tidak pernah lelah. Aldo merasa seperti ada tarikan magnet antara mereka, meskipun mereka berusaha untuk tetap menjaga profesionalisme di tempat kerja.
Tapi semakin lama, perasaan itu semakin sulit untuk disembunyikan. Setiap kali mereka bertemu, Aldo merasa detak jantungnya berdetak lebih cepat. Ketika Mira tersenyum padanya, dunia seakan berhenti berputar, dan semua yang ada di sekitarnya menghilang. Hanya ada mereka berdua, dan Aldo merasa seperti terjebak dalam sebuah dunia yang hanya mereka yang mengerti. Bahkan sekedar berbicara dengan Mira membuatnya merasa lebih hidup.
Namun, ketertarikannya pada Mira bukanlah hal yang mudah. Aldo adalah seseorang yang terbiasa mengendalikan segalanya. Dalam dunia yang penuh dengan tekanan pekerjaan, ia selalu berusaha menjaga jarak dari segala macam perasaan yang bisa mengganggu fokusnya. Tapi Mira, dengan segala keunikannya, membuat segalanya terasa berbeda. Aldo tahu betul bahwa ia tidak bisa membiarkan perasaan ini merusak profesionalismenya, tapi entah mengapa ia merasa mustahil untuk mengabaikannya begitu saja.
Pagi itu, setelah rapat dengan tim, Aldo memutuskan untuk pergi ke kafe tempat mereka biasa bertemu setelah bekerja. Ia merasa perlu sedikit waktu untuk menyendiri dan meredakan pikirannya yang kacau. Tidak seperti biasanya, kafe itu terasa lebih ramai dari biasanya. Aldo duduk di sudut kafe, menatap secangkir kopi yang sudah mulai mendingin. Ia berharap Mira tidak melihatnya di sana, berharap bisa sedikit menenangkan dirinya.
Namun, tak lama setelah ia duduk, suara langkah kaki menghentikan lamunannya. Aldo menoleh, dan ternyata Mira berdiri di depan mejanya, dengan senyum khas di wajahnya. “Hei, Aldo. Aku pikir aku akan menemukanmu di sini,” kata Mira dengan suara lembut.
Aldo terkejut, tapi mencoba untuk tetap tenang. “Mira, kamu… Kenapa di sini?”
“Aku pikir aku butuh sedikit waktu untuk bersantai setelah rapat tadi,” jawab Mira sambil duduk di kursi yang ada di seberang meja Aldo. “Boleh aku duduk di sini?”
Aldo mengangguk, merasa sedikit canggung dengan kedatangan Mira. Ia merasa seluruh tubuhnya kaku, namun ia berusaha menunjukkan kesan santai. “Tentu, silakan.”
Mira memesan secangkir teh hangat dan duduk sambil mengamati Aldo. “Kamu terlihat agak lelah. Pekerjaanmu banyak belakangan ini?”
Aldo tersenyum, mencoba meredakan kegugupannya. “Iya, sedikit banyak. Tapi aku biasa saja, hanya sedikit sibuk dengan proyek yang datang begitu cepat.”
Mira mengangguk, lalu diam sejenak. Aldo merasakan ketegangan halus di udara antara mereka. Ia bisa merasakan perasaan yang sama dari Mira, meskipun wanita itu mencoba untuk bersikap santai. Entah kenapa, perasaan itu membuat Aldo semakin bingung. Ia ingin berbicara lebih banyak, mengenal lebih dalam tentang Mira, tapi di sisi lain, ia merasa takut untuk melangkah lebih jauh. Apa yang harus ia lakukan dengan perasaan ini? Apakah ia hanya merasakannya karena ketegangan kerja yang tinggi, ataukah ada sesuatu yang lebih dari itu?
Mira membuka pembicaraan lagi, “Kamu tahu, Aldo, aku sebenarnya merasa cukup canggung di sini. Aku baru beberapa bulan bekerja di sini, dan semuanya terasa seperti tantangan besar bagiku.”
Aldo menatap Mira dengan lebih intens. “Aku bisa mengerti. Kadang-kadang kita memang merasa kesulitan di awal, apalagi di lingkungan kerja yang penuh persaingan seperti ini.”
Mira tersenyum sedikit. “Benar, tetapi aku mencoba untuk tetap bertahan. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa melakukan pekerjaan ini dengan baik.”
Aldo terkesan dengan semangat Mira. Ia mulai merasa lebih terbuka untuk mengenal lebih jauh tentang wanita itu, meskipun ada rasa ragu yang masih menggelayuti pikirannya. Ia tahu bahwa ketertarikan ini bukanlah sesuatu yang sederhana, dan mungkin saja perasaan itu tidak akan pernah terbalas.
Namun, semakin lama mereka berbicara, Aldo merasa semakin dekat dengan Mira. Mereka membahas berbagai hal, mulai dari pekerjaan, hobi, hingga pandangan hidup masing-masing. Aldo merasa seperti menemukan seseorang yang bisa mengerti dirinya, yang bisa melihat lebih dalam dari sekadar penampilan luar. Mira, dengan segala kerendahan hatinya, bercerita tentang masa lalu dan perjuangannya, tentang bagaimana ia harus meninggalkan kampung halamannya demi mengejar mimpi.
Aldo mulai merasakan ketertarikan yang tak bisa ia kendalikan. Meskipun ia berusaha untuk menahan diri, perasaan itu semakin kuat. Bagaimana mungkin ia bisa berpikir rasional jika setiap kali Mira tersenyum padanya, hatinya berdebar lebih cepat? Bagaimana mungkin ia bisa melupakan perasaan ini jika setiap kali mereka berbicara, ia merasa semakin terhubung?
Namun, di balik semua perasaan ini, Aldo tahu bahwa ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. Ia bekerja di lingkungan yang profesional, dan hubungan seperti ini bisa saja merusak karier dan reputasinya. Akankah ia memilih untuk mengikuti kata hatinya dan menjalin hubungan dengan Mira, ataukah ia akan tetap fokus pada pekerjaannya dan mengabaikan perasaan yang semakin sulit dikendalikan?
Hari itu, Aldo merasa seperti berada di persimpangan jalan. Ketertarikannya pada Mira semakin besar, tetapi ia tidak tahu apakah itu adalah keputusan yang tepat untuk melangkah lebih jauh. Dengan hati yang ragu, Aldo tahu bahwa ia harus segera membuat pilihan—untuk tetap menjaga jarak atau untuk mengambil langkah berani menuju sesuatu yang tidak pasti.*
BAB 3: PENGHARGAAN DAN TANTANGAN
Pagi itu, Aldo merasa sedikit lebih ringan dari biasanya. Setelah pertemuan panjang dengan tim proyek, ia merasa bangga atas pencapaian yang mereka raih selama beberapa minggu terakhir. Proyek besar yang telah ia tangani akhirnya berhasil melewati berbagai tahap evaluasi, dan sekarang, tinggal menunggu persetujuan akhir. Kabar baik ini mengangkat semangatnya. Namun, meskipun demikian, ada satu hal yang terus mengganggu pikirannya—Mira.
Di kantor, Mira tampak lebih serius dari biasanya. Aldo bisa merasakan aura ketegangan yang mengelilinginya. Sejak pertemuan mereka di kafe beberapa waktu lalu, hubungan mereka berdua semakin terasa dekat, namun juga semakin rumit. Mereka berbicara lebih banyak, tertawa lebih sering, dan mulai berbagi cerita pribadi. Namun, di balik kedekatan itu, Aldo merasa adanya perbedaan yang mencolok—Mira seperti menjaga jarak, seolah takut untuk benar-benar membuka hati. Aldo tak bisa menahan rasa penasaran yang semakin membesar.
Namun, pekerjaan tak bisa ia abaikan. Sebagai seorang manajer, ia tahu betul bahwa tanggung jawab yang lebih besar selalu datang bersama tantangan yang lebih berat. Aldo harus menjaga keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesionalnya. Tetapi, meskipun ia merasa terjebak antara perasaan dan pekerjaannya, ia berusaha untuk tetap fokus.
Hari itu, perusahaan mengadakan sebuah acara penghargaan tahunan untuk menghormati karyawan yang telah memberikan kontribusi luar biasa. Acara ini tidak hanya menjadi sebuah ajang penghargaan, tetapi juga menjadi kesempatan bagi para karyawan untuk bersantai dan merayakan hasil kerja keras mereka. Aldo merasa sedikit cemas, karena ia tahu ini akan menjadi momen penting dalam kariernya. Ia telah berhasil menyelesaikan beberapa proyek besar, dan ia sangat berharap dapat meraih penghargaan.
Di tengah acara tersebut, Mira datang mendekat dan memberi selamat padanya. “Aldo, aku mendengar kamu mendapat penghargaan hari ini. Aku benar-benar bangga denganmu,” ucap Mira sambil tersenyum tulus. Aldo merasakan kehangatan dalam suaranya, meskipun masih ada secercah rasa canggung yang mengambang di antara mereka.
“Terima kasih, Mira,” jawab Aldo dengan tersenyum. “Tanpa tim yang solid, ini tidak mungkin tercapai.”
Mira mengangguk, kemudian menambahkan, “Kamu memang seorang pemimpin yang hebat, Aldo. Semua orang di sini mengagumimu.”
Aldo merasa sedikit tersentuh, namun ada perasaan yang lebih dalam yang mulai terbangun. Entah mengapa, setiap pujian dari Mira seolah menjadi lebih berarti daripada yang lainnya. Ia merasa bahwa penghargaan ini bukan hanya tentang pekerjaannya, tetapi juga tentang pengakuan Mira terhadap dirinya.
Setelah beberapa saat, Aldo dipanggil ke atas panggung untuk menerima penghargaan. Ketika namanya disebutkan, suasana di ruang acara seketika menjadi hening. Semua mata tertuju padanya. Dengan langkah mantap, ia berjalan ke panggung dan menerima trofi yang telah menunggu di atas meja. Tepuk tangan riuh bergema, tetapi di antara semua perhatian itu, Aldo hanya bisa memikirkan satu hal—apakah Mira benar-benar melihatnya?
Setelah acara selesai, beberapa rekan kerja menghampirinya untuk memberi selamat. Namun, Aldo lebih memilih untuk mencari Mira. Ia merasa bahwa hari ini adalah kesempatan yang baik untuk berbicara lebih banyak dengannya, dan mungkin, menyelesaikan beberapa pertanyaan yang sudah berputar di kepalanya.
Aldo menemukan Mira sedang berdiri di dekat pintu keluar, matanya terfokus pada layar ponsel. Ketika melihat Aldo mendekat, Mira tersenyum. “Kamu sudah mendapatkan penghargaan yang pantas, Aldo. Aku tahu kamu pasti bisa melakukannya.”
“Terima kasih, Mira. Tapi aku juga tahu bahwa keberhasilan ini tidak hanya milikku, melainkan milik tim yang hebat ini,” jawab Aldo, mencoba tetap rendah hati meskipun di dalam hati, ia merasa bangga.
Mira mengangguk, dan keduanya terdiam sejenak, meresapi suasana acara yang mulai mereda. Aldo merasa seperti ada sesuatu yang tak terungkapkan antara mereka berdua. Perasaan yang mengambang, perasaan yang sulit untuk diungkapkan dalam kata-kata. Mira, meskipun tampak ceria, Aldo bisa merasakan adanya keraguan di dalam dirinya.
“Mira, aku ingin mengajakmu bicara sebentar. Ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan,” kata Aldo dengan nada yang lebih serius.
Mira memandangnya dengan ragu sejenak. “Ada apa, Aldo?”
“Aku tahu kita sudah cukup sering berbicara akhir-akhir ini, tapi ada sesuatu yang aku rasa penting untuk diungkapkan,” jawab Aldo, menatapnya dengan tatapan penuh arti. “Aku ingin kau tahu bahwa aku menghargai semua yang telah kau lakukan, bukan hanya sebagai rekan kerja, tetapi sebagai seseorang yang luar biasa. Dan aku rasa aku mulai merasakan hal yang lebih dari itu, Mira.”
Mira terdiam, menundukkan kepala sejenak, seolah mencerna kata-kata Aldo. “Aku… Aldo, aku tidak tahu harus berkata apa.”
Aldo merasa sedikit cemas, tapi ia berusaha untuk tetap tenang. “Kita sudah dekat, Mira. Tapi aku merasa seperti ada sesuatu yang menghalangi kita untuk melangkah lebih jauh. Apa itu?”
Mira mengangkat wajahnya, matanya terlihat sedikit bingung. “Aku juga merasa ada sesuatu, Aldo. Tapi aku takut, aku takut jika kita tidak bisa mempertahankan hubungan ini, terutama di tempat kerja. Aku tidak ingin semuanya berantakan hanya karena perasaan yang datang begitu mendalam.”
Aldo merasa hatinya sedikit terhenyak, namun ia tahu bahwa perasaan Mira adalah hal yang wajar. Mereka berdua berada dalam posisi yang sulit, dan pekerjaan mereka adalah prioritas utama. Namun, dalam hatinya, Aldo merasa bahwa ada kesempatan untuk menjaga kedekatan ini, meskipun tantangan yang ada tak bisa dianggap sepele.
“Mira, aku tahu ini bukan hal yang mudah,” kata Aldo pelan. “Namun, aku juga tidak ingin melewatkan kesempatan ini begitu saja. Aku hanya ingin kita berbicara dengan jujur satu sama lain, tanpa ada yang disembunyikan.”
Mira menghela napas panjang, lalu mengangguk pelan. “Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa, Aldo, tapi aku akan berpikir lebih banyak tentang ini.”
Aldo tersenyum, meskipun hatinya masih penuh dengan berbagai pertanyaan. Ia tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir, dan tantangan yang akan datang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Tetapi, satu hal yang pasti—ia tidak akan menyerah begitu saja pada perasaan yang telah tumbuh di dalam hatinya.*
BAB 4: KERAGUAN YANG MENYISAKAN TANDA TANYA
Minggu-minggu setelah percakapan dengan Mira di acara penghargaan itu, Aldo merasa ada sesuatu yang aneh mengambang di udara. Meski mereka masih berinteraksi di kantor, ada jarak yang sulit dijelaskan antara mereka. Mira tampak semakin tertutup, lebih memilih untuk berbicara dengan rekan-rekan lainnya daripada dengan Aldo. Sementara Aldo, meskipun berusaha keras untuk tetap profesional, tidak bisa mengabaikan perasaan yang semakin besar terhadapnya.
Keraguan itu tumbuh seperti benih yang tidak bisa dihentikan. Di satu sisi, Aldo merasa hubungan mereka bisa berjalan lebih jauh, bahwa ada kesempatan untuk lebih dari sekadar teman kerja. Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa Mira menyembunyikan sesuatu—sesuatu yang membuatnya enggan untuk mengambil langkah lebih jauh. Aldo terus bertanya-tanya, apakah Mira juga merasakan hal yang sama ataukah perasaannya hanyalah sekadar ilusi yang ia bangun dalam pikirannya.
Hari itu, Aldo terpaksa berhadapan dengan kenyataan. Ia harus memutuskan apakah akan terus mengejar perasaan ini atau membiarkannya menguap begitu saja, karena apa yang terjadi di antara mereka tidak dapat dipaksakan. Pagi itu, di ruang rapat, Aldo duduk di samping Mira. Meski mereka duduk berdampingan, ada perasaan dingin yang seolah menghalangi kedekatan mereka.
“Mira,” Aldo memulai pembicaraan, berusaha untuk terlihat santai, meskipun dalam hatinya, ia merasa gelisah. “Bagaimana menurutmu tentang proyek yang akan datang? Apakah ada ide yang bisa kita kembangkan?”
Mira menoleh ke arah Aldo, namun matanya hanya bertemu dengan mata Aldo sekilas, sebelum beralih ke layar laptop di depannya. “Aku rasa semuanya sudah tercakup dalam proposal yang kita buat minggu lalu. Aku akan mengirimkan revisinya setelah rapat ini,” jawabnya singkat.
Aldo mengangguk, namun hatinya merasa lebih berat daripada sebelumnya. Jawaban Mira terasa dingin, seperti ada tembok yang menghalangi percakapan mereka. Perasaan cemas itu semakin dalam, dan Aldo tidak bisa lagi menahan rasa ingin tahunya. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh Mira, dan Aldo merasa itu berhubungan dengan apa yang terjadi di antara mereka.
Selesai rapat, Aldo memutuskan untuk mengikuti Mira keluar dari ruangan. “Mira, tunggu sebentar,” panggilnya, suaranya penuh harapan.
Mira berhenti sejenak, menoleh ke belakang. “Ada apa, Aldo?”
“Aku ingin bicara, Mira,” jawab Aldo, suara pelan namun penuh keyakinan. “Kenapa akhir-akhir ini kamu terasa jauh? Apa ada sesuatu yang tidak aku ketahui?”
Mira terdiam, wajahnya tampak bingung sejenak. “Aku tidak tahu apa yang kamu maksud, Aldo,” jawabnya perlahan, “Aku hanya sibuk dengan pekerjaan. Itu saja.”
Aldo menatap Mira dengan tatapan tajam, mencoba menilai apakah ada kebenaran dalam kata-katanya. Namun, ia bisa melihat bahwa ada sesuatu yang berbeda dalam cara Mira berbicara, seperti ada kecanggungan yang tidak bisa disembunyikan. Aldo merasa bahwa Mira sedang menahan sesuatu, sebuah rahasia yang ia simpan rapat-rapat.
“Mira, aku bisa merasakannya. Ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku,” kata Aldo dengan suara yang sedikit lebih keras, namun masih berusaha untuk tetap tenang. “Aku hanya ingin tahu, apakah kita masih berada di jalur yang sama, atau apakah aku hanya membuang-buang waktu?”
Mira menarik napas dalam-dalam dan menatap Aldo sejenak, seolah berpikir keras tentang apa yang harus dia katakan. Kemudian, dengan suara yang rendah dan hati-hati, Mira berbicara, “Aldo, aku tidak ingin mengecewakanmu, tapi ada hal-hal yang aku rasa belum siap untuk kamu ketahui.”
“Apa itu?” tanya Aldo, suara penuh keinginan untuk mengungkapkan kebenaran.
Mira menggelengkan kepala. “Ini bukan tentang kamu, Aldo. Ini lebih tentang diriku sendiri. Aku belum siap menghadapi perasaan ini. Aku belum siap membuka diri sepenuhnya, dan aku takut jika aku terus melanjutkan ini, kita akan terluka nantinya.”
Aldo terdiam, kalimat Mira seolah menampar wajahnya. Rasa kecewa dan bingung memenuhi hatinya. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Mira? Kenapa perasaan mereka yang semula tampak begitu baik, tiba-tiba menjadi sebuah misteri yang sulit dipecahkan?
“Jadi, kamu merasa kita harus berhenti di sini?” tanya Aldo dengan suara yang hampir tak terdengar.
Mira tidak langsung menjawab. Ia menundukkan kepala dan terdiam beberapa saat, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku tidak tahu, Aldo. Aku… aku hanya tidak ingin memberikan harapan palsu. Aku takut kita berdua terluka lebih dalam lagi.”
Kata-kata Mira membuat Aldo merasa seperti ada potongan-potongan kecil dalam hatinya yang hancur satu per satu. Di satu sisi, ia memahami kekhawatiran Mira. Tetapi, di sisi lain, ia merasa bahwa apa yang mereka miliki bisa menjadi sesuatu yang lebih. Mereka berdua tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa ada perasaan yang kuat di antara mereka, meskipun hal itu menyisakan keraguan yang begitu besar.
“Aku mengerti, Mira,” jawab Aldo akhirnya, meski suaranya terasa berat. “Aku hanya ingin kita jujur satu sama lain. Jika memang ini harus berakhir, aku ingin tahu kenapa. Jika ada sesuatu yang membuatmu ragu, aku ingin kita bicarakan itu.”
Mira mengangkat kepala, menatap Aldo dengan mata yang penuh kesedihan. “Aku takut, Aldo. Takut jika kita terjebak dalam sebuah hubungan yang tidak bisa kita jalani dengan baik, takut jika kita saling menyakiti.”
Aldo merasa kesal, tapi juga tidak bisa memaksakan dirinya untuk memaksa Mira mengambil keputusan yang lebih cepat. “Aku tidak ingin kamu merasa terjebak, Mira,” katanya dengan suara lembut. “Aku hanya ingin kita sama-sama punya kesempatan untuk mencoba. Tapi jika kamu merasa itu terlalu berat, aku akan menghargai keputusanmu.”
Mira menghela napas panjang, dan dalam diam yang panjang itu, Aldo merasa perasaan mereka berdua semakin tersesat dalam keraguan. Kebenaran yang mereka cari semakin kabur, dan pertanyaan yang dulu ingin dijawab kini menjadi lebih banyak. Di tengah kesunyian itu, mereka tahu bahwa mereka harus menghadapi kenyataan yang pahit: hubungan mereka, meskipun penuh potensi, mungkin harus berhenti di sini—atau setidaknya, beristirahat sementara waktu untuk mencari tahu apakah mereka benar-benar ingin melanjutkan.*
BAB 5: PERTEMUAN TAK TERDUGA
Hari itu, langit di luar terlihat mendung, seolah mencerminkan perasaan yang tengah menguasai Aldo. Beberapa minggu berlalu sejak percakapan mendalam dengan Mira yang masih terus mengusik pikirannya. Keraguan yang menggantung antara mereka seperti awan kelabu yang tak kunjung pergi. Aldo, meskipun berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya, tetap saja merasa ada sesuatu yang belum selesai. Namun, takdir seolah punya cara sendiri untuk mempertemukan mereka kembali.
Pagi itu, Aldo memutuskan untuk pergi ke sebuah kafe yang cukup terkenal di sudut kota. Ia membutuhkan ruang untuk berpikir, jauh dari rutinitas kantor dan tekanan pekerjaan yang semakin meningkat. Tanpa diduga, kafe yang biasa ia kunjungi ternyata penuh. Dengan sedikit kecewa, ia memutuskan untuk mencari tempat lain.
Saat melangkah keluar dari kafe, ia melihat sebuah gerai buku yang terletak di seberang jalan. Bukunya yang begitu menarik perhatian membuat Aldo tanpa sadar menyeberang dan memasuki toko kecil itu. Suasana di dalam gerai buku tersebut begitu tenang, dengan aroma kopi yang dipadukan dengan wewangian kertas, menciptakan suasana yang sempurna untuk menenangkan pikiran. Aldo menyusuri rak demi rak buku, mencari buku yang bisa membantunya melupakan kekusutan pikirannya untuk sementara.
Tiba-tiba, suara langkah kaki menarik perhatian Aldo. Ia menoleh dan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Di hadapannya berdiri Mira, mengenakan jaket berwarna biru tua yang membuatnya tampak begitu berbeda, namun tetap memikat. Aldo terkejut, matanya bertemu dengan mata Mira yang juga tak kalah terkejut.
“Mira?” Aldo memanggil dengan suara terbata-bata, tak yakin apakah dirinya benar-benar melihatnya.
Mira berhenti sejenak, seolah ragu-ragu. “Aldo… Aku tidak menyangka kita akan bertemu di sini,” jawab Mira dengan nada canggung.
Aldo tersenyum, meskipun dalam hati masih ada sedikit rasa bingung dan cemas. “Aku juga tidak menyangka. Apa yang membawamu ke sini?” tanya Aldo, berusaha untuk terdengar santai meskipun rasa penasaran itu begitu kuat.
Mira tertawa kecil. “Aku hanya ingin mencari buku baru untuk dibaca. Ternyata tempat ini lebih menyenangkan dari yang aku bayangkan,” jawabnya sambil menyentuh beberapa buku yang ada di dekatnya.
“Aku juga. Terkadang, tempat seperti ini bisa memberikan ketenangan yang hilang di tempat lain,” jawab Aldo, mencoba mencari topik pembicaraan yang lebih ringan.
Ada keheningan beberapa detik di antara mereka. Aldo merasa canggung, namun tak bisa menahan perasaan yang tiba-tiba muncul begitu saja. Entah kenapa, meskipun mereka berdua tidak membicarakan apa yang terjadi beberapa minggu terakhir, pertemuan ini membawa kembali kenangan akan percakapan mereka sebelumnya. Ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka—sesuatu yang seolah membekas dalam hati, namun belum siap untuk diungkapkan.
“Mira, apakah kamu masih… ragu tentang kita?” tanya Aldo dengan hati-hati. Pertanyaan itu keluar begitu saja, tanpa bisa ia tahan lagi. Ia sudah terlalu lama merasakan keraguan yang menggelayuti hubungan mereka.
Mira menghela napas panjang, matanya menatap ke arah rak buku tanpa benar-benar melihatnya. “Aldo, aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku merasa bingung dengan perasaanku sendiri,” jawab Mira pelan, suara itu terdengar penuh keraguan. “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan perasaan ini. Aku ingin melangkah maju, tapi aku takut kalau itu akan membuat semuanya lebih rumit.”
Aldo merasa sedikit lega mendengar Mira mengungkapkan kebingungannya, meskipun hatinya tetap terasa berat. “Aku mengerti, Mira. Aku juga tidak ingin kita terjebak dalam kebingunganku. Aku hanya ingin kita bisa berbicara dengan jujur, saling mendengarkan, dan mungkin mencari solusi bersama.”
Mira menatap Aldo dengan tatapan yang dalam, seolah mencari kejujuran dalam setiap kata-kata Aldo. “Tapi, Aldo, aku khawatir… kita terlalu berbeda. Keputusan-keputusan yang kita ambil, bahkan dalam hal-hal kecil, bisa saja membawa kita pada jalan yang berlawanan.”
Aldo mengangguk, meskipun ia merasa bahwa perbedaan itu bukanlah halangan yang tidak bisa diatasi. “Mira, perbedaan itu selalu ada dalam setiap hubungan, kan? Yang penting adalah bagaimana kita menyikapinya, bagaimana kita belajar untuk saling memahami dan mendukung. Aku percaya kita bisa melakukannya,” ujar Aldo, mencoba meyakinkan dirinya sendiri dan Mira.
Mira tersenyum tipis, namun senyum itu tampak penuh dengan ketidakpastian. “Aku ingin percaya itu, Aldo. Tapi kadang aku merasa terlalu takut untuk berharap.”
Aldo merasa jantungnya berdebar lebih cepat, seolah ada sesuatu yang tersirat dalam kata-kata Mira. “Aku tidak ingin membuatmu merasa terbebani, Mira. Aku hanya ingin kita berjalan bersama, meskipun jalannya sulit.”
Mira terdiam, menatap Aldo dengan mata yang penuh harapan dan ketakutan yang terpendam. “Aku takut jika aku terlalu berharap, aku akan kecewa. Dan jika kita terus berada di jalan ini, aku tidak tahu apakah aku bisa menghadapi kenyataan jika kita tidak berhasil.”
Aldo merasakan beban yang berat di hati Mira. Ia tahu bahwa rasa takut itu bukan hanya tentang mereka, tetapi tentang banyak hal dalam hidup Mira yang mungkin belum ia ungkapkan. Namun, meskipun ada ketakutan, Aldo merasa bahwa perasaan mereka yang telah tumbuh selama ini masih layak untuk diperjuangkan.
“Jika kita tidak mencoba, bagaimana kita bisa tahu apakah itu bisa berhasil?” Aldo berkata dengan tegas, namun dengan lembut. “Aku siap untuk melangkah bersamamu, Mira. Apa pun yang terjadi nanti.”
Mira menundukkan kepala, sejenak meresapi kata-kata Aldo. Kemudian, ia mengangkat wajahnya dan menghela napas panjang. “Aku akan mencoba, Aldo. Aku akan berusaha lebih terbuka, lebih jujur. Aku tidak tahu apakah itu akan mudah, tapi aku ingin kita mencoba.”
Mereka berdua terdiam, berhadapan di tengah-tengah tumpukan buku yang menjadi saksi bisu percakapan mereka. Di tengah keraguan dan ketakutan yang menyelubungi hati mereka, ada secercah harapan yang mulai tumbuh—harapan untuk sebuah kesempatan kedua, harapan untuk menemukan jawab dari tanda tanya yang selama ini mengganggu.
Aldo tersenyum, meskipun ada rasa campur aduk dalam dirinya. “Terima kasih, Mira. Aku akan menunggu, dan kita akan berjalan bersama. Perlahan, tapi pasti.”
Mira tersenyum kembali, meskipun senyum itu masih mengandung keraguan. Namun, di mata mereka berdua, ada harapan yang mulai menyala. Dan dalam pertemuan yang tak terduga ini, mungkin mereka telah menemukan titik awal dari sebuah perjalanan baru yang tak hanya menyentuh hati mereka, tetapi juga memulai langkah-langkah yang lebih pasti ke arah kebersamaan.*
BAB 6: PENGHARGAAN ATAS KEBERSAMAAN
Hari-hari berjalan perlahan, namun bagi Mira dan Aldo, perasaan mereka mulai berkembang dengan cara yang tak terduga. Setiap langkah yang mereka ambil, setiap percakapan yang mereka lalui, semakin mengokohkan hubungan mereka. Tak ada lagi keraguan yang membayangi, meski tantangan tetap datang dari arah yang tak terduga. Namun, mereka kini melihatnya sebagai bagian dari perjalanan bersama. Dalam ketidakpastian, mereka justru menemukan kekuatan dalam kebersamaan yang semakin erat.
Aldo dan Mira, meskipun datang dari latar belakang yang berbeda, kini mulai belajar untuk saling memahami lebih dalam. Aldo, yang awalnya merasa terjebak dalam kebingungannya, mulai merasakan kedamaian dalam keberadaan Mira. Senyum Mira yang selalu memberikan ketenangan, mata yang penuh harapan, dan sikapnya yang tulus—semua itu membuat Aldo semakin yakin bahwa mereka berada di jalur yang benar. Meskipun belum sempurna, hubungan mereka kini terasa lebih stabil, lebih dewasa.
Mira, di sisi lain, mulai melepaskan ketakutannya. Perlahan, dia mulai percaya bahwa setiap keputusan yang mereka ambil bersama bisa membawa mereka ke arah yang lebih baik. Mungkin tidak ada jaminan akan kesuksesan, namun perasaan mereka saat ini lebih kuat dari sebelumnya. Dan itu adalah sebuah hal yang patut dihargai.
Sore itu, Aldo mengajak Mira untuk berkumpul di taman kota—tempat yang selalu menjadi pilihan mereka untuk berbicara. Taman itu tampak lebih hidup dengan suara angin yang berdesir di antara pepohonan yang rindang. Suasana sore yang tenang seakan menjadi latar yang sempurna untuk merenung, berbicara, dan saling menghargai.
“Mira,” Aldo memulai percakapan setelah beberapa detik mereka duduk bersama di bangku taman, “Kita sudah melalui banyak hal, dan aku ingin berterima kasih atas segala yang kamu lakukan selama ini. Terutama, atas kepercayaan yang kamu berikan kepadaku. Aku tahu hubungan kita tak selalu mudah, tapi aku merasa kita mulai menemukan jalan kita bersama.”
Mira menoleh, wajahnya menunjukkan ekspresi yang penuh perasaan. “Aku juga merasa demikian, Aldo. Kamu membuatku merasa lebih dihargai dari sebelumnya. Mungkin awalnya aku ragu, tapi sekarang aku menyadari betapa pentingnya kita berdua. Kepercayaan itu tak datang dengan mudah, tapi kamu telah membuktikan bahwa kamu bisa diandalkan.”
Aldo tersenyum mendengar kata-kata Mira. “Aku ingin kita selalu menjadi tim, Mira. Aku tahu terkadang kita berbeda pendapat, tapi justru dari perbedaan itu aku belajar banyak. Kita belajar untuk saling mengerti, untuk saling mendukung meskipun jalan yang kita pilih tidak selalu lurus.”
Mira mengangguk perlahan. “Aku juga merasa begitu. Selama ini, aku terlalu takut untuk benar-benar membuka diri. Tapi kamu, Aldo, kamu membuatku merasa aman. Aku tahu kita masih punya banyak hal yang harus diperbaiki, tapi aku merasa kita sudah cukup kuat untuk menghadapi semuanya.”
Aldo menatap Mira dengan tatapan yang penuh harapan. “Aku ingin menjadi orang yang selalu ada untukmu, Mira. Tidak hanya di saat-saat baik, tetapi juga ketika kita menghadapi tantangan. Aku percaya kita bisa menghadapinya bersama.”
Suasana di sekitar mereka seakan mendukung kata-kata itu. Langit mulai berwarna oranye, menciptakan pemandangan yang begitu indah. Sebuah simbol bahwa dalam setiap perjalanan ada momen-momen indah yang perlu disyukuri.
Mira menunduk sejenak, meresapi kata-kata Aldo. Ada sesuatu yang sangat dalam di hatinya, sesuatu yang kini mulai ia sadari. “Aku tahu, Aldo. Aku ingin kita terus berjuang bersama. Kita telah melewati banyak hal, dan aku percaya hubungan ini layak diperjuangkan. Tapi aku juga sadar, kita harus saling memberi ruang untuk tumbuh, untuk berkembang bersama, tanpa merasa terbebani.”
Aldo memegang tangan Mira dengan lembut. “Itulah yang aku harapkan, Mira. Kita tidak harus sempurna, tapi kita bisa saling memperbaiki diri. Kita bisa berjuang untuk hal-hal yang lebih besar daripada hanya diri kita sendiri.”
Mira tersenyum, bibirnya melengkung lembut. “Aku senang bisa berada di sini denganmu, Aldo. Aku merasa dihargai dan dihormati. Kita sudah jauh datang, dan aku tidak ingin melewatkan kesempatan ini.”
Mereka berdua terdiam, menikmati kebersamaan yang begitu berarti. Taman kota yang awalnya terlihat biasa kini terasa penuh makna. Setiap langkah yang mereka ambil, setiap kata yang terucap, semuanya terasa lebih dalam, lebih berarti. Kebersamaan mereka bukan hanya tentang berbagi momen indah, tetapi juga tentang belajar dari satu sama lain, mendukung satu sama lain, dan memberi ruang untuk berkembang bersama.
Seiring waktu, Aldo dan Mira semakin menyadari bahwa penghargaan atas kebersamaan ini bukan hanya dilihat dari apa yang mereka capai, tetapi dari cara mereka saling menghargai satu sama lain—dari setiap momen kecil yang mereka lewati bersama. Mereka menyadari bahwa cinta bukan hanya tentang mendapatkan, tetapi tentang memberi. Memberi waktu, memberi perhatian, dan memberi kepercayaan.
Aldo menatap Mira sekali lagi, dengan rasa syukur yang mendalam. “Mira, terima kasih telah mengizinkan aku untuk berada di sisimu. Aku tahu kita masih banyak belajar, tapi aku percaya kita bisa menghadapinya bersama.”
Mira mengangguk, matanya bersinar penuh harapan. “Terima kasih juga, Aldo, untuk selalu ada. Kita mungkin tidak tahu apa yang akan datang, tapi kita tahu kita tidak akan menghadapinya sendirian.”
Mereka berdua tersenyum, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, keduanya merasa tenang. Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi rasa takut yang menghalangi. Mereka tahu, kebersamaan ini adalah hal yang sangat berharga—sesuatu yang layak untuk dipertahankan, dihargai, dan dijaga.
Hari itu, di taman yang sunyi, mereka bukan hanya menemukan kedamaian, tetapi juga penghargaan yang tulus terhadap hubungan yang sedang mereka bangun bersama. Sebuah awal baru dari perjalanan mereka, yang penuh dengan harapan, tantangan, dan tentu saja, cinta yang terus tumbuh.*
BAB 7: AKHIR YANG MENANTI
Waktu terus berjalan, dan seiring dengan itu, hubungan Mira dan Aldo berkembang menuju titik di mana banyak hal yang telah mereka alami kini menjadi kenangan yang sangat berarti. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka juga sadar bahwa setiap hubungan harus menghadapi realitasnya. Ada kalanya kebersamaan diuji, dan keputusan besar harus diambil untuk menentukan arah yang harus diambil bersama.
Hari itu, di sebuah kafe kecil yang sering mereka kunjungi, Aldo mengajak Mira untuk berbicara serius. Kafe yang biasa ramai dengan tawa dan cerita-cerita ringan, kali ini terasa sepi dan hening. Hanya suara sendok yang terkadang menyentuh tepi cangkir terdengar. Mira sudah merasa ada yang berbeda sejak awal mereka duduk. Aldo tampak lebih tenang dari biasanya, dengan sorot mata yang lebih dalam dan serius.
“Aldo, ada apa? Kamu terlihat berbeda,” Mira memulai percakapan dengan hati-hati, meskipun dia sudah bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu Aldo.
Aldo menatap Mira dengan tatapan yang penuh makna. Ada campuran emosi di dalam dirinya—rasa cinta, kecemasan, dan keraguan. Dia menarik napas panjang sebelum akhirnya mulai berbicara. “Mira, aku… aku tahu kita sudah melalui banyak hal bersama. Dan aku merasa beruntung bisa memiliki waktu yang begitu berharga denganmu. Tapi ada sesuatu yang harus aku katakan, sesuatu yang mungkin akan mengubah semuanya.”
Mira terdiam. Hati kecilnya mulai berdetak lebih cepat. Ada rasa cemas yang mulai menjalari dirinya. “Apa maksudmu, Aldo?” tanyanya pelan.
Aldo meletakkan gelas kopi di atas meja, kemudian menatap mata Mira dengan tatapan yang tulus. “Aku tahu kita berdua sudah berusaha keras untuk menjaga hubungan ini tetap berjalan. Tapi, aku juga sadar bahwa ada hal-hal dalam hidup kita yang mungkin tidak bisa kita kendalikan. Kadang, meskipun kita ingin terus bersama, ada takdir yang memisahkan kita. Ada pilihan yang harus kita ambil, dan aku rasa kita harus berpisah.”
Mira terkejut mendengar kata-kata itu. Hatinya seakan berhenti sejenak, tidak bisa menerima kenyataan bahwa apa yang sedang dia dengar adalah keputusan yang telah dipikirkan matang oleh Aldo. “Berpisah?” Mira mengulangi kata-kata itu dengan suara yang hampir tak terdengar. “Tapi… kita sudah melalui banyak hal bersama. Kita sudah belajar banyak tentang satu sama lain. Bagaimana bisa, Aldo? Apa yang membuatmu tiba-tiba memutuskan ini?”
Aldo menggigit bibirnya, berusaha menahan emosinya yang mulai meluap. “Aku tidak ingin melukai kamu, Mira. Aku benar-benar mencintaimu, tapi aku merasa kita berada di persimpangan jalan yang berbeda. Aku tahu kamu ingin hal-hal yang lebih jelas, stabil, dan aku… aku merasa belum bisa memberimu itu. Aku tidak ingin mengecewakanmu, karena aku tahu kamu pantas mendapatkan yang lebih baik.”
Mira merasa terhempas oleh kata-kata Aldo. Rasa sakit yang tiba-tiba muncul itu membuat dadanya sesak. “Aldo, kamu tidak bisa seperti ini. Kita sudah bersama, kita sudah melalui banyak rintangan. Apakah semua itu tidak berarti apa-apa? Apakah kita hanya akan menyerah begitu saja?” suaranya bergetar, penuh dengan perasaan yang campur aduk.
Aldo menundukkan kepalanya, merasa hancur. “Aku tidak pernah menginginkan ini, Mira. Tetapi, aku juga tidak ingin membuatmu merasa terjebak dalam hubungan yang tidak bisa aku beri komitmen yang kamu butuhkan. Mungkin ini jalan yang terbaik.”
Mira merasa air matanya mulai menetes, meskipun dia berusaha menahannya. “Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Kamu bilang kamu mencintaiku, tapi kenapa kamu memilih jalan yang menyakitkan ini? Kenapa kamu memilih untuk pergi?”
Aldo menatap Mira dengan mata yang penuh penyesalan. “Karena aku tahu jika kita terus bersama, aku akan terus membawa kebingungannya. Aku ingin kamu bahagia, Mira. Aku ingin kamu menemukan seseorang yang bisa memberikan segala yang kamu impikan. Dan aku, aku merasa aku tidak bisa menjadi orang itu.”
Mira merasa seakan dunia runtuh di depannya. Semua kenangan yang mereka bangun bersama, semua tawa dan kebersamaan yang mereka jalani, tiba-tiba terasa begitu jauh. Sakit yang dirasakannya begitu mendalam, seakan seluruh kekuatan yang dimilikinya hilang begitu saja. “Aku sudah berusaha, Aldo. Aku sudah memberikan segala yang aku bisa. Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk menerima ini.”
Aldo menghela napas panjang, merasa tidak ada jalan lain. “Aku tahu ini sangat sulit, Mira. Dan aku tidak ingin kamu merasa aku mudah menyerah. Tapi aku rasa ini yang terbaik untuk kita berdua. Mungkin kita butuh waktu untuk mencari jalan masing-masing.”
Mira menatap Aldo dengan mata yang berkaca-kaca. “Aku… aku tidak siap untuk kehilanganmu, Aldo. Aku tidak siap untuk melepaskan semua yang telah kita bangun.”
“Aku juga tidak siap, Mira,” jawab Aldo dengan suara yang penuh keputusasaan. “Tapi terkadang, kita harus memilih jalan yang paling sulit untuk kebaikan bersama.”
Waktu terasa berhenti, meskipun detik terus berjalan. Kedua hati ini, yang pernah begitu dekat, kini dipisahkan oleh pilihan yang harus diambil. Mereka berdua tahu, meskipun cinta itu ada, terkadang jalan takdir membawa mereka ke tempat yang berbeda.
Setelah beberapa saat hening, Mira berdiri dan menghapus air matanya. “Mungkin suatu saat nanti kita akan mengerti kenapa ini harus terjadi. Tapi untuk sekarang, aku harus melepaskanmu, Aldo.”
Aldo mengangguk perlahan, tak mampu berkata-kata. Dia tahu ini adalah keputusan yang sulit bagi mereka berdua. Mereka berdua harus menerima kenyataan bahwa akhir dari perjalanan ini adalah awal dari perjalanan hidup yang berbeda.
Dengan langkah berat, Mira meninggalkan kafe itu. Setiap langkah yang diambilnya terasa seperti menghapus kenangan yang dulu begitu indah. Namun, di dalam hatinya, dia tahu bahwa setiap perpisahan memberi pelajaran berharga. Di setiap akhir, ada awal yang baru. Akhir yang menanti, memberi ruang bagi kedewasaan dan pembelajaran yang akan datang.
Dan untuk Aldo, dia hanya bisa berharap bahwa mereka berdua akan menemukan jalan yang lebih baik, meskipun tidak lagi bersama.***
———-THE END———