Bab 1: Surat Tak Terduga
Alia duduk di meja makan, matanya terfokus pada secangkir teh yang sudah mulai dingin. Suasana pagi itu tenang, hampir hening, hanya terdengar suara riuh dari burung-burung yang berkicau di luar jendela. Namun, di tengah ketenangan itu, ada kegelisahan yang tak bisa ia hilangkan. Sejak beberapa minggu terakhir, ia merasa ada sesuatu yang hilang dari hidupnya—sebuah bagian yang tidak bisa ia ingat. Namun, setiap kali ia mencoba menggali ingatannya lebih dalam, semakin banyak ruang kosong yang terbuka.
Pagi itu, ketika Alia sedang memikirkan kenangan-kenangan yang menguap begitu saja, pintu depan rumahnya tiba-tiba diketuk. Dengan langkah santai, ia berjalan menuju pintu dan membukanya. Di depan pintu, berdiri seorang kurir yang membawa sebuah amplop putih yang tampak sangat biasa.
“Selamat pagi, Nona. Ada surat untuk Anda,” kata kurir itu sambil menyerahkan amplop tersebut.
Alia mengambilnya dengan rasa penasaran. Amplop itu terasa ringan, hanya sebuah kertas biasa yang terlipat rapi di dalamnya. Tanpa menunggu lebih lama, ia menutup pintu dan berjalan menuju meja makan, memegang surat itu dengan hati-hati, seperti ada sesuatu yang penting di dalamnya.
Dengan gemetar, Alia membuka amplop tersebut. Di dalamnya, terdapat selembar kertas putih yang juga terlipat rapi. Ia membaca tulisan yang tertera di sana, dan meskipun tulisan tangan itu terlihat familiar, Alia tidak bisa mengingat siapa yang menulisnya. Surat itu ditulis dengan tinta hitam yang jelas, tetapi kata-katanya seolah memberi beban yang sangat berat.
Alia,
*Aku tahu ini akan mengejutkanmu. Aku minta maaf atas segala yang terjadi, tapi ini adalah hal yang harus kau ketahui. Ada banyak hal yang hilang dalam ingatanmu, dan itu bukan kebetulan. Kamu perlu mengingatnya sebelum terlambat. Jangan biarkan dirimu terperangkap dalam kebingungan yang tidak perlu.*
*Aku akan selalu ada untukmu, meskipun kamu tidak tahu siapa aku.*
Rian.
Alia membacanya berulang kali. Namanya tercetak jelas di akhir surat, “Rian.” Tetapi siapa Rian? Mengapa ia menulis surat seperti ini? Dan apa yang dimaksud dengan kata-kata seperti “Ada banyak hal yang hilang dalam ingatanmu”? Bukankah ia sudah cukup menderita dengan kehilangan sebagian besar kenangan masa lalunya? Suratan ini justru menambah kebingungannya.
Tangan Alia mulai gemetar. Ia merasa ada sesuatu yang sangat penting yang sedang ia lupakan, sesuatu yang telah tersembunyi begitu lama. Mengapa surat ini baru datang sekarang? Dan siapa Rian yang begitu peduli padanya, padahal ia tidak ingat siapa orang itu?
Dengan perasaan campur aduk, Alia berusaha mencerna setiap kata dalam surat itu. Mungkin, ini adalah petunjuk yang ia butuhkan. Tapi untuk apa? Apa yang harus ia lakukan dengan informasi ini?
Di luar jendela, langit pagi yang cerah mulai gelap, seakan mencerminkan kegelapan yang mulai menyelimuti pikirannya. Alia menyimpan surat itu dengan hati-hati, lalu menatap langit. Ia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang terperangkap dalam kenangan yang hilang, dan kini, dengan surat ini, ia merasa seolah-olah ada seseorang yang ingin membantunya menemukan kunci untuk membuka masa lalunya yang terkunci rapat.
Namun, semakin banyak ia berpikir tentang surat itu, semakin banyak pertanyaan yang muncul. Siapa Rian? Apa hubungannya dengan kenangannya yang hilang? Dan mengapa surat ini datang begitu tiba-tiba, tanpa ada penjelasan lebih lanjut?
Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu lagi. Kali ini lebih cepat, lebih mendesak. Alia merasa perasaan tak enak kembali menyergapnya. Dengan langkah ragu, ia berjalan menuju pintu dan membukanya.
Di depan pintu, hanya ada sebuah kotak kecil yang tergeletak di lantai, dengan secarik kertas di atasnya. Tanpa ragu.*
Bab 2: Misteri yang Dimulai
Setelah menerima surat-surat itu, Alia merasa seolah-olah sebuah dunia baru terbuka di hadapannya. Dunia yang penuh dengan teka-teki yang tak bisa dia abaikan begitu saja. Pagi berikutnya, Alia kembali ke kantornya dengan pikiran yang masih dipenuhi pertanyaan tentang Rafael. Surat-surat itu berputar dalam benaknya, dan setiap kata yang tertulis seakan memberi petunjuk, meskipun ia tidak tahu pasti ke mana petunjuk-petunjuk itu akan membawanya.
Hari itu, Alia memutuskan untuk kembali membaca surat-surat itu dengan lebih teliti. Dia duduk di meja kerjanya, menyesap kopi, dan mengeluarkan surat pertama yang diterimanya. Tangan gemetar, ia membuka surat itu sekali lagi.
“Alia, mungkin kau tidak ingat aku sekarang, tapi kita pernah bersama, meskipun itu hanya sekejap. Kita bertemu di sebuah taman, di bawah pohon yang besar, yang selalu menjadi tempat kita berbicara dan berjanji untuk tetap menjadi sahabat, apapun yang terjadi. Waktu mungkin telah mengubah banyak hal, tapi aku percaya takdir kita tidak akan terpisahkan begitu saja.”
Kalimat-kalimat itu memunculkan bayangan samar dalam ingatannya—sebuah taman, pohon besar, dan perasaan yang ia coba kenang. Namun, semakin ia berusaha mengingat, semakin kabur kenangan itu. Apa yang terjadi pada pertemuan itu? Mengapa dia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang hilang?
Alia menutup surat itu dan menatap ke luar jendela kantornya. Pemandangan kota yang sibuk dan riuh tidak bisa mengusir kegelisahan yang ada di hatinya. Dia merasa seperti ada sesuatu yang sangat penting yang terlewatkan dari hidupnya, sesuatu yang berkaitan dengan Rafael.
Dia memutuskan untuk melangkah lebih jauh. Dengan cepat, Alia menyimpan surat-surat itu di dalam tasnya dan bergegas menuju perpustakaan kota. Mungkin tempat itu bisa memberinya petunjuk lebih lanjut—perpustakaan adalah tempatnya mencari informasi, tempat yang selama ini memberinya kenyamanan dalam dunia kata-kata.
Sesampainya di sana, Alia langsung menuju rak buku sejarah kota. Ia berharap menemukan sesuatu yang bisa menghubungkannya dengan Rafael. Setelah mencari beberapa saat, matanya tertuju pada sebuah buku tua yang terletak di sudut rak. Judulnya sederhana, “Sejarah Taman Kota.” Dengan cepat, Alia menarik buku itu dan membuka halaman-halaman yang penuh dengan informasi tentang taman-taman tua di kota itu.
Ketika ia sampai di bagian yang membahas taman tempat dia dan Rafael seharusnya bertemu, hatinya mulai berdegup kencang. Di sana tertulis sebuah cerita tentang pohon besar yang ada di taman itu—sebuah pohon yang telah ada selama lebih dari seratus tahun. Menurut catatan sejarah, pohon itu dikenal sebagai “Pohon Takdir,” sebuah simbol bagi pasangan-pasangan yang mencari kedamaian dan janji bersama.
Alia merasa matanya terbuka lebar. Pohon itu… pohon yang disebutkan dalam surat-surat Rafael. Apakah benar dia dan Rafael pernah bertemu di sana? Apa yang terjadi pada mereka? Mengapa dia merasa terhubung dengan tempat itu meskipun dia tidak ingat pertemuannya dengan Rafael?
Dengan detak jantung yang semakin cepat, Alia bergegas menuju bagian lain dari buku itu, mencari informasi lebih lanjut tentang sejarah pohon dan pertemuan-pertemuan yang terjadi di sana. Ternyata, beberapa tahun yang lalu, taman tersebut pernah menjadi tempat pertemuan antara dua orang yang dikabarkan terpisah oleh waktu—sebuah cerita yang mirip dengan kisah yang tertulis dalam surat-surat itu.
Alia merasa seperti menemukan sebuah petunjuk penting. Di sana, dalam buku tua itu, terdapat sebuah foto lama yang menampilkan taman itu dengan pohon besar yang mencolok di tengahnya. Dalam foto itu, ada sepasang kekasih yang tampaknya sedang duduk di bawah pohon tersebut, tersenyum bahagia. Meskipun wajah mereka kabur, Alia bisa merasakan sesuatu yang kuat dari foto itu—sebuah koneksi yang tidak bisa dijelaskan.
Ia meneliti lebih dekat. Foto itu memiliki tulisan di bagian bawah: “Rafael dan Alia, tahun 2005.” Alia membeku. Nama itu. Nama Rafael tertera dengan jelas di sana, bersama dengan namanya sendiri.
Jantung Alia berdegup kencang. Apakah ini benar-benar dia? Apa yang terjadi antara mereka? Kenapa foto itu bisa ada, dan mengapa dia tidak ingat apa pun?
Dengan tangan gemetar, Alia menutup buku itu dan keluar dari perpustakaan. Begitu banyak pertanyaan berputar di pikirannya, namun satu hal menjadi sangat jelas—ada sesuatu yang besar yang harus ia ungkap, sesuatu yang tersembunyi di balik surat-surat misterius dan foto itu.*
Bab 3: Teka-Teki Masa Lalu
Setelah menerima surat dan cincin misterius, Alia merasa hidupnya terbalik. Setiap langkah yang diambilnya, setiap keputusan yang diambilnya, seolah membawa ia semakin dekat dengan kegelapan yang tersembunyi dalam kenangan yang hilang. Ia tidak bisa berhenti berpikir tentang Rian—tentang pesan singkat yang dikirimkannya yang semakin menambah kegelisahannya. “Mereka sudah mulai mendekat.” Siapa mereka? Dan apa yang dimaksud dengan kata-kata itu?
Pagi itu, Alia duduk di meja makan dengan secangkir kopi yang hampir tidak tersentuh. Surat dan cincin yang ia temukan semakin membebaninya. Ia merasa terjebak dalam labirin teka-teki yang tidak ia pahami sepenuhnya, namun semakin ia mencoba untuk menghindarinya, semakin banyak hal yang mengungkapkan dirinya.
Ponselnya bergetar lagi. Sebuah pesan masuk, kali ini dari Rian.
*Rian: “Alia, aku tahu ini berat, tapi kamu harus tahu sesuatu. Kenanganmu bukanlah sesuatu yang hilang begitu saja. Ada orang yang berusaha menghapusnya. Dan aku… aku akan membantumu mengungkapkan apa yang terjadi.”*
Alia menatap pesan itu dalam diam. Setiap kata terasa seperti potongan puzzle yang mulai membentuk gambaran yang lebih besar, namun gambaran itu tetap kabur. Kenapa Rian begitu yakin bahwa ada orang yang berusaha menghapus kenangannya? Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu yang begitu penting sampai seseorang berusaha menguburnya?
Tanpa ragu, Alia membalas pesan itu.
*Alia: “Apa yang sebenarnya terjadi, Rian? Apa yang kamu tahu tentang masa lalu saya? Kenapa saya tidak bisa mengingat?”*
Tak lama setelah itu, ponselnya bergetar lagi. Tetapi, kali ini, bukan dari Rian. Sebuah nomor asing muncul di layar, dan dengan perasaan cemas, Alia mengangkat telepon itu.
“Alia,” suara di ujung telepon terdengar serius, namun cemas. “Kamu harus berhenti mencari. Mereka sudah mengetahui bahwa kamu mulai ingat. Kamu harus menjauh dari Rian dan segala sesuatu yang berhubungan dengan masa lalu kamu. Percayalah, itu satu-satunya cara untuk tetap aman.”
Suara itu membuat Alia terdiam. Siapa orang ini? Bagaimana dia bisa tahu tentang Rian dan kenangan yang mulai kembali ke dalam pikirannya? Apa yang dimaksud dengan “mereka”? Alia merasa semakin terperangkap dalam sebuah permainan yang tidak ia pahami, dan meskipun instingnya mengatakan untuk berhenti mencari, hatinya justru semakin terdorong untuk menggali lebih dalam.
Setelah menutup telepon, Alia merasakan perasaan yang tak terungkapkan menyelimutinya. Ada seseorang yang mengawasi, ada seseorang yang ingin menghentikannya. Tetapi kenapa? Apa yang harus ia lakukan untuk mengungkapkan semua ini?
Pikiran Alia kembali tertuju pada cincin yang ia temukan kemarin. Ia menyimpannya di dalam kotak kecil yang kini diletakkan di sampingnya di meja makan. Sebuah ukiran halus di cincin itu—sebuah simbol yang familiar namun tetap misterius. Ia menggenggam cincin itu erat-erat dan menatapnya lebih lama. Tiba-tiba, ia merasa seolah cincin itu bisa memberinya jawaban. Ada sesuatu di balik simbol itu, sesuatu yang menghubungkannya dengan masa lalu.
Pikirannya kembali terbang ke hari-hari sebelum kehilangan ingatan. Ada sosok yang selalu muncul dalam bayangannya, seseorang yang begitu dekat namun tetap tak bisa ia ingat sepenuhnya—Rafael. Wajahnya samar, seperti potongan puzzle yang tidak sempurna, tetapi ia merasa bahwa Rafael adalah kunci untuk mengungkap teka-teki ini. Ia mulai teringat kilasan masa lalu—kenangan yang datang perlahan namun jelas. Mereka pernah menghabiskan waktu bersama, namun kenapa semua itu terasa seperti mimpi?
Tiba-tiba, Alia mendapatkan ide. Kenapa tidak mencari tahu lebih banyak tentang Rafael? Mungkin dia bisa memberikan petunjuk tentang apa yang terjadi pada masa lalu mereka. Namun, ia tahu bahwa melakukan itu bukanlah langkah yang mudah. Ada bahaya yang mengintai, dan meskipun ia merasa terdorong untuk mengetahui kebenaran, ia juga merasa takut dengan apa yang mungkin ia temui.
Dengan keputusan yang bulat, Alia mulai mencari cara untuk menemukan jejak Rafael. Ia membuka laptopnya dan mencari informasi apa pun yang bisa membantunya. Beberapa detik kemudian, ia menemukan sebuah artikel tentang seorang pria bernama Rafael Wira. Namanya sama persis dengan orang yang ia ingat, meskipun ia hanya bisa melihat bayangan wajahnya yang kabur. Artikel itu menceritakan tentang seseorang yang terlibat dalam organisasi besar, sebuah organisasi yang tampaknya misterius. Tidak ada banyak informasi, tetapi ada satu hal yang mencuri perhatian Alia: sebuah alamat, alamat yang tercantum di artikel itu sebagai tempat terakhir Rafael terlihat.
Jantung Alia berdegup kencang. Ini adalah kesempatan yang ia cari. Ia tahu, ini adalah langkah pertama untuk mengungkapkan segala sesuatu yang selama ini disembunyikan dari dirinya. Ia harus pergi ke tempat itu—tempat yang bisa memberikan jawaban.
Namun, saat ia mulai menutup laptop, matanya tertuju pada cincin yang masih tergeletak di atas meja. Cincin itu, seakan menantangnya untuk melangkah lebih jauh. Ada pesan yang tersembunyi dalam simbol itu, dan Alia tahu bahwa ia harus menggali lebih dalam.
Saat Alia bersiap untuk pergi, suara pintu yang dibuka terdengar di belakangnya. Ia menoleh, dan di sana, berdiri Rian, dengan ekspresi yang tidak bisa ia baca sepenuhnya. Namun, di matanya, ada sesuatu yang berbeda—sebuah ketegangan yang jelas, namun juga rasa khawatir yang mendalam.
“Kamu sudah tahu, kan?” tanya Rian dengan suara rendah. “Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan sekarang, Alia?”
Alia menatap Rian dengan hati yang berdebar. “Aku harus tahu, Rian. Aku harus tahu apa yang terjadi.”
Rian menghela napas panjang, kemudian mengangguk pelan. “Kalau itu yang kamu pilih, aku akan menunggumu. Tapi hati-hati. Mereka akan datang lebih cepat daripada yang kamu kira.”
Alia merasa semakin ragu, namun keputusannya sudah bulat. Ia tidak bisa mundur lagi. Semua petunjuk itu membawa pada satu tujuan, dan meskipun bahaya mengintai, ia tahu bahwa ia harus mengungkapkan teka-teki masa lalu yang selama ini disembunyikan darinya.*
Bab 4: Kenangan yang Kembali
Alia melangkah keluar dari rumahnya dengan perasaan yang semakin berat. Hari itu, seolah-olah seluruh dunia ingin membebani pikirannya. Surat-surat, cincin misterius, pesan dari Rian, dan ancaman yang datang dari suara di telepon—semuanya membingungkan. Tapi satu hal yang pasti: ada sesuatu yang harus ia ungkapkan. Sesuatu yang tersembunyi dalam bayangan kenangan yang telah hilang.
Ia merasa seperti sedang berjalan di jalur yang gelap, tanpa petunjuk jelas, namun terpaksa melanjutkan perjalanan. Semua petunjuk yang ia temukan mengarah pada satu nama yang sama—Rafael. Nama itu terus bergema di pikirannya, semakin kuat, seakan memanggilnya untuk mencari tahu lebih dalam.
Tiba-tiba, ingatannya melayang kembali ke masa-masa yang kabur, masa ketika ia bersama seseorang yang membuatnya merasa nyaman dan terlindungi. Wajah itu tidak begitu jelas, tetapi ada perasaan yang kuat bahwa orang itu selalu ada untuknya. Rian. Ia bisa merasakan bahwa Rian adalah bagian dari kenangan yang terlupakan, namun mengapa semuanya terasa begitu samar?
Dengan tekad yang semakin kuat, Alia melangkah menuju tempat yang ada dalam artikel yang ia temukan—sebuah rumah tua yang terletak di ujung kota, tempat terakhir Rafael terlihat. Jalan menuju sana terasa seperti perjalanan menuju masa lalu yang terlupakan, tetapi rasa ingin tahu memaksanya untuk melangkah lebih jauh.
Setibanya di depan rumah itu, Alia merasakan perasaan yang aneh. Rumah itu tampak sepi, namun ada sesuatu di udara yang membuatnya merasa cemas. Ia menatap pintu depan yang tertutup rapat, seakan menunggu seseorang untuk membukanya. Tanpa pikir panjang, ia mendekat dan mengetuk pintu.
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka sedikit, dan seorang wanita dengan mata tajam muncul di ambang pintu. “Kamu siapa?” tanya wanita itu dengan suara datar, matanya menyelidik.
“Aku… aku mencari Rafael Wira. Apakah dia tinggal di sini?” Alia bertanya dengan suara bergetar. Ia tidak tahu apa yang sedang ia hadapi, tetapi ia merasa harus bertanya, harus tahu siapa yang bisa memberinya jawaban.
Wanita itu memandang Alia sejenak, sebelum akhirnya membuka pintu sedikit lebih lebar. “Masuklah,” katanya, tanpa banyak bicara. “Tapi hanya sedikit waktu. Tidak ada yang tahu kamu ada di sini.”
Alia mengangguk, merasa ada sesuatu yang lebih besar yang tersembunyi di balik kata-kata itu. Rumah itu terasa lebih gelap dari luar, dengan bau kayu tua dan atmosfer yang agak menekan. Setiap langkah yang diambilnya seolah menggema dalam keheningan rumah tersebut.
Wanita itu memimpin Alia menuju ruang tamu yang terbuka, di mana sebuah foto besar terpasang di dinding. Foto itu menampilkan seorang pria—Rafael. Wajahnya terlihat lebih muda, tetapi Alia bisa merasakan hubungan yang kuat. Ada sesuatu yang membuatnya terikat dengan pria itu, meskipun ia tidak bisa mengingat kenapa.
“Rafael…” gumam Alia, hampir tidak percaya.
Wanita itu menatap foto itu sejenak, lalu berbalik dengan tatapan serius. “Kamu benar-benar tidak ingat apa pun, kan?” tanyanya dengan nada yang penuh penyesalan.
Alia menggelengkan kepala. “Tidak, saya tidak ingat apa pun. Hanya ada potongan kenangan yang datang begitu saja, tapi saya merasa ada yang hilang. Saya merasa ada yang sangat penting yang saya lupa.”
Wanita itu menarik napas dalam-dalam, lalu duduk di kursi tua di sudut ruangan. “Rafael adalah bagian dari masa lalu yang tidak ingin diingatkan kepadamu. Tapi ada alasan kenapa kamu tidak bisa mengingatnya. Ada sesuatu yang jauh lebih besar yang sedang terjadi, dan kamu terjebak di tengah-tengahnya.”
Alia duduk di kursi seberang wanita itu, mencoba untuk mencerna apa yang baru saja didengarnya. “Apa yang terjadi pada saya? Apa yang sebenarnya saya lupakan?”
Wanita itu menatap Alia dengan serius. “Kamu dan Rafael pernah terlibat dalam sebuah organisasi yang kuat. Sesuatu yang sangat rahasia. Kamu berdua adalah bagian dari sebuah rencana besar, tapi kemudian sesuatu terjadi. Kamu terluka, dan kenanganmu dihapus, tetapi bukan tanpa alasan. Mereka ingin kamu melupakan Rafael dan organisasi itu. Mereka ingin kamu melupakan siapa kamu sebenarnya.”
Alia merasakan dunia di sekelilingnya mulai berputar. “Jadi, saya pernah terlibat dalam sesuatu yang berbahaya? Sesuatu yang besar? Kenapa saya tidak ingat?”
Wanita itu mengangguk. “Kamu terluka parah, Alia. Mereka menghapus kenanganmu karena mereka takut kamu akan mengingat sesuatu yang akan merusak rencana mereka. Tapi sekarang, kenangan itu mulai kembali. Dan mereka akan melakukan apa saja untuk memastikan kamu tidak tahu kebenarannya.”
Alia merasa tertegun. Kata-kata wanita itu seperti petir yang menghantam jantungnya. Apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya? Mengapa ia dilibatkan dalam sebuah organisasi yang begitu besar dan berbahaya?
Sebelum Alia bisa melanjutkan pertanyaan-pertanyaannya, suara pintu yang terbuka terdengar lagi. “Kamu harus pergi sekarang,” wanita itu berkata dengan tegas. “Mereka mungkin sudah tahu kamu di sini.”
Alia bangkit dari kursinya, merasa cemas dan bingung. “Siapa mereka? Apa yang harus saya lakukan sekarang?”
Wanita itu menatapnya dengan tajam. “Lari. Jauhkan dirimu dari mereka, dan carilah Rafael. Hanya dia yang bisa memberimu jawaban.”
Alia berlari keluar dari rumah itu, perasaan gelisah semakin kuat di dalam dirinya. Semua yang ia dengar dan lihat semakin membuatnya yakin bahwa masa lalu yang hilang itu tidak hanya berhubungan dengan kenangan pribadi, tetapi juga dengan sebuah konspirasi besar yang sedang mengintai hidupnya. Sesuatu yang lebih besar dari yang ia bayangkan. Sesuatu yang bisa mengancam bukan hanya hidupnya, tetapi juga hidup orang-orang yang ia sayangi.
Saat ia berlari kembali ke jalan utama, sebuah bayangan muncul di hadapannya—seorang pria yang tampaknya familiar, meskipun wajahnya masih kabur. Itu adalah Rian. Wajahnya serius, namun di matanya terdapat kekhawatiran yang mendalam.
“Alia, kamu harus berhenti,” kata Rian, suaranya penuh peringatan.
“Tapi saya harus tahu, Rian. Saya harus tahu apa yang sebenarnya terjadi,” jawab Alia dengan suara bergetar.
Rian menghela napas panjang. “Kamu sudah mulai ingat, Alia. Tapi ada bahaya yang mengintai. Kamu harus berhati-hati, karena apa yang akan kamu temukan tidak akan menyenangkan.”*
Bab 5: Perasaan yang Tak Terduga
Langit sore itu berwarna kelabu, seolah mencerminkan perasaan Alia yang semakin berat. Semua yang terjadi dalam beberapa hari terakhir semakin mengaburkan batas antara kenyataan dan mimpi buruk. Kenangan yang kembali, surat yang penuh misteri, cincin yang tidak ia pahami, dan peringatan dari Rian—semuanya terasa seperti bagian dari teka-teki yang tidak pernah ia inginkan untuk dipecahkan. Namun, di sisi lain, ada dorongan kuat yang membuatnya merasa harus melanjutkan. Ada kebenaran yang harus ia temukan, tidak peduli seberapa gelap jalan itu.
Alia berdiri di depan cermin kamar tidurnya, menatap bayangannya yang samar. Matanya yang tadinya penuh dengan ketidakpastian kini mulai menampilkan keinginan yang lebih jelas. Ia ingin tahu apa yang terjadi pada dirinya, siapa Rian, dan mengapa kenangannya terhapus begitu saja. Tetapi semakin ia menggali, semakin banyak hal yang tak terduga muncul.
Ponselnya bergetar di meja. Alia mengambilnya, melihat layar, dan melihat nama Rian tercetak di sana. Jantungnya berdebar lebih cepat. Untuk beberapa saat, ia hanya menatap layar itu tanpa menyentuhnya. Ada sesuatu dalam dirinya yang merasa cemas, tetapi juga tidak bisa menahan rasa ingin tahu yang semakin mendalam.
Dengan napas dalam-dalam, Alia akhirnya menjawab telepon itu.
“Alia, kita perlu bicara,” suara Rian terdengar serius dan sedikit cemas. “Ada hal-hal yang harus kau ketahui sebelum semuanya terlambat.”
“Rian, aku sudah cukup bingung dengan semua ini. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Semua ini… terasa seperti aku terjebak dalam mimpi yang tak berujung.” Suara Alia terdengar lirih, penuh kebingungan.
“Pahami ini, Alia,” jawab Rian dengan suara yang lebih tenang. “Kamu tidak terjebak. Kamu hanya perlu mengambil langkah yang tepat. Aku akan membantumu mengingat. Tapi kita tidak punya banyak waktu.”
Alia merasakan sesuatu yang berbeda dalam suara Rian. Ada ketegangan yang dalam, dan seolah-olah ia sedang berusaha menyembunyikan sesuatu. Ada kebenaran yang sedang dipendam, dan meskipun Alia ingin tahu, ada bagian dari dirinya yang mulai ragu apakah ia benar-benar ingin tahu semua itu. Bagaimana jika kenyataan yang akan ia temui lebih menyakitkan daripada yang ia bayangkan?
“Tapi… kenapa aku merasa seperti ada perasaan yang hilang, Rian?” tanya Alia dengan suara gemetar. “Kenapa aku merasa seperti aku pernah tahu semuanya, tapi sekarang… semuanya kabur?”
Rian terdiam sejenak sebelum menjawab, “Kadang-kadang, kenangan itu tidak datang dengan cara yang kita inginkan. Mereka kembali perlahan, dengan cara yang tidak terduga. Dan kadang, perasaan yang muncul justru lebih kuat daripada apa yang kita ingat.”
Perkataan Rian itu menghentakkan Alia. Ia merasa ada yang aneh, sesuatu yang tak terkatakan di antara mereka. Seperti ada sesuatu yang lebih dari sekadar rasa ingin tahu yang membuatnya terus mencari jawaban. Perasaan yang tak terjelaskan, perasaan yang terus menyelimutinya setiap kali ia mendengar suara Rian, setiap kali ia memikirkan kenangan yang perlahan-lahan kembali.
“Rian…” suara Alia hampir berbisik, namun hatinya berdebar sangat cepat. “Apa kamu… tahu sesuatu tentang aku? Tentang kita?”
Di ujung telepon, Rian tidak langsung menjawab. Hening yang panjang mengisi udara antara mereka. Alia bisa merasakan ketegangan itu, seolah ada rahasia besar yang sedang disembunyikan.
“Ada banyak hal yang kita perlu hadapi, Alia,” akhirnya Rian berkata pelan. “Tapi tidak semuanya bisa kamu mengerti sekarang. Aku hanya bisa mengatakan satu hal: perasaan itu—perasaan yang kamu rasakan—bukan sekadar kebetulan. Ada alasan mengapa kamu merasa seperti ini. Ada alasan mengapa kita selalu terhubung.”
Kata-kata Rian membuat Alia terdiam. Ada sesuatu yang mengguncang dalam dirinya, sesuatu yang ia tak bisa ungkapkan dengan kata-kata. Perasaan yang tak terduga itu—perasaan yang lebih dari sekadar kebingungannya—membuat jantungnya berdegup kencang. Apakah itu rasa rindu? Ataukah sesuatu yang lebih dalam, lebih kuat?
Alia menatap jendela kamar yang terbuka, mengamati hujan yang mulai turun dengan perlahan. Ia merasa seolah ada sesuatu yang menuntunnya menuju Rian, tetapi juga ada ketakutan yang terus membayangi. Apa yang harus ia lakukan dengan perasaan ini? Apakah ia harus mengikuti nalurinya, meskipun ada begitu banyak bahaya yang mengintai?
Rian melanjutkan, suara hatinya penuh dengan keprihatinan, “Alia, aku tahu ini sulit, tetapi aku tidak bisa membiarkanmu sendirian dalam ini. Aku akan datang untuk menemuimu malam ini. Aku akan memberitahumu lebih banyak, tapi kamu harus siap untuk apa yang akan kamu dengar.”
Alia terdiam, perasaan campur aduk berkecamuk di dalam hatinya. Ia merasa takut, tapi juga ingin tahu. Apa yang sebenarnya terjadi antara mereka? Mengapa perasaan itu—perasaan yang terpendam begitu lama—tiba-tiba muncul kembali?
“Aku akan menunggumu,” jawab Alia, suaranya lebih lembut daripada yang ia inginkan. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang mengungkapkan lebih banyak daripada yang ia sadari. Perasaan yang tak terduga, perasaan yang mulai tumbuh meskipun ia berusaha menolaknya.
Setelah menutup telepon, Alia duduk di tepi ranjang. Ia merasa seperti ada dua dunia yang sedang berperang di dalam dirinya—satu dunia yang ingin ia ketahui, dan satu dunia yang ingin ia hindari. Namun, perasaan itu… perasaan yang terus membangkitkan kenangan, yang membuatnya merindukan sesuatu yang bahkan ia tidak ingat, membuatnya sadar bahwa ia tidak bisa mundur lagi. Ia harus bertemu dengan Rian malam ini, tidak hanya untuk mencari jawaban, tetapi juga untuk memahami perasaan yang terus tumbuh dalam dirinya.*
Bab 6: Bahaya yang Mengintai
Malam semakin larut, dan hujan yang turun sejak sore tak juga reda. Alia duduk di tepi jendela, matanya menerawang jauh, menatap jalanan yang basah di luar. Angin malam yang dingin menerpa kaca jendela, tetapi ia tidak merasa kedinginan. Tubuhnya gemetar bukan karena suhu, melainkan karena ketegangan yang semakin mencekam. Waktu semakin berjalan, dan Rian belum datang. Seperti ada sesuatu yang menghalangi kedatangannya, sesuatu yang tak bisa ia pahami.
Alia memeriksa ponselnya lagi, berharap ada pesan atau panggilan masuk, tetapi layar tetap kosong. Tidak ada kabar. Ketidakpastian itu semakin menghimpitnya. Kenapa Rian belum datang? Apa yang terjadi? Bukankah ia sudah berjanji untuk datang malam ini dan memberitahunya segalanya?
Setiap detik yang berlalu semakin terasa lebih berat, seakan ada perasaan buruk yang terus merayap di dalam dirinya. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan, tetapi begitu nyata. Alia bisa merasakan bahaya yang semakin mendekat.
Tiba-tiba, suara ketukan keras di pintu membuyarkan lamunannya. Jantungnya berdebar kencang, dan ia segera berdiri. Ketukan itu bukan seperti ketukan biasa—ada ketegangan yang terasa di dalamnya. Ragu, Alia melangkah menuju pintu. Ia ingin membuka, tetapi juga merasa takut. Siapa yang datang? Apakah itu Rian?
Namun, saat ia membuka pintu, yang ia lihat bukan Rian, melainkan seorang pria yang tidak ia kenal. Pria itu berdiri di ambang pintu, mengenakan jas hitam dan kacamata gelap meskipun malam sudah larut. Wajahnya datar, tanpa ekspresi. Alia merasa ada sesuatu yang sangat tidak beres. Suasana di sekitarnya terasa semakin mencekam.
“Alia,” pria itu menyebut namanya dengan suara yang dalam, namun tegas. “Kamu harus ikut dengan kami. Segera.”
Alia terkejut, tidak mengerti apa yang sedang terjadi. “Siapa kamu? Apa yang kamu inginkan?” suaranya terdengar panik, meskipun ia berusaha untuk tetap tenang.
Pria itu tidak menjawab, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca. “Kami tidak punya banyak waktu. Mereka sudah tahu kamu berada di sini. Kalau kamu ingin tetap hidup, kamu harus pergi dengan kami sekarang.”
Alia merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Tubuhnya terasa lemas, tetapi ada dorongan kuat untuk bertahan. “Apa maksudmu dengan ‘mereka’? Siapa yang mengirim kamu?”
Pria itu sedikit menghela napas. “Ini bukan waktu untuk bertanya, Alia. Kamu sedang dalam bahaya besar, dan hanya ada sedikit waktu sebelum mereka menemui kita. Pergilah bersama kami.”
Alia melihat ke belakang, ke dalam rumahnya, seakan mencari sesuatu untuk menenangkan pikirannya. Tetapi, apa pun yang ada di dalam rumah itu kini terasa asing, seakan ia tidak lagi merasa aman di tempat yang selalu ia anggap sebagai perlindungan.
Ia memandang pria itu sekali lagi, merasa bingung dan takut. Tapi di satu sisi, ada perasaan yang mengingatkannya pada kata-kata Rian. “Mereka akan datang. Kamu harus berhati-hati, Alia.”
“Tunggu,” Alia berusaha mencari jawaban, “kenapa aku harus ikut dengan kamu? Apa yang sebenarnya terjadi? Apa hubungannya semua ini dengan Rafael dan—”
“Tidak ada waktu untuk itu,” pria itu memotong. “Kamu harus pergi, sekarang.”
Hati Alia bergejolak antara rasa takut dan rasa penasaran yang semakin mendalam. Jika ia tetap tinggal, ia merasa bahaya akan semakin mendekat. Tetapi jika ia mengikuti pria ini, apakah itu berarti ia akan lebih dekat dengan kebenaran? Apakah Rian benar-benar dalam bahaya?
Dengan langkah ragu, Alia akhirnya melangkah keluar dan menutup pintu rumahnya dengan cepat. Pria itu memberi isyarat agar ia mengikuti. Alia berjalan perlahan, setiap langkahnya semakin berat. Ketegangan semakin meningkat, dan ia merasa seperti ada mata-mata yang mengawasi setiap gerakannya.
Tiba-tiba, suara mesin mobil yang menderu terdengar dari kejauhan. Pria itu mempercepat langkahnya, menarik Alia sedikit lebih cepat. “Cepat, masuk ke mobil!” serunya dengan nada lebih mendesak.
Alia melirik ke arah jalan yang sepi. Di ujung jalan, sebuah mobil hitam berhenti. Pintu belakang terbuka, dan seorang lelaki lain muncul, mengenakan masker hitam. Tak ada waktu untuk bertanya lebih banyak, Alia diangkat ke dalam mobil dengan cepat.
Sesaat setelah pintu mobil tertutup, mobil itu melaju dengan cepat. Alia duduk diam di kursi belakang, merasa terjebak di dalam kegelapan yang tidak dapat ia pahami. Tidak ada yang berbicara, hanya suara deru mesin yang menghancurkan keheningan. Ia menoleh ke pria yang duduk di depan, mencoba mencari jawaban.
“Apa yang sedang terjadi?” tanya Alia, suaranya penuh ketakutan. “Kenapa mereka mengincar aku? Apa hubungan aku dengan Rafael? Kenapa aku merasa seperti aku dikejar-kejar oleh sesuatu yang besar dan berbahaya?”
Pria itu menatap Alia dengan mata yang serius, “Ini sudah melampaui Rafael, Alia. Mereka yang mengincarmu bukan hanya karena masa lalumu, tapi karena sesuatu yang jauh lebih besar. Sesuatu yang bisa mengguncang seluruh dunia. Kamu harus tahu satu hal—jika mereka bisa mengendalikanmu, mereka akan mengendalikan segalanya.”
Alia merasa tubuhnya kaku. “Siapa ‘mereka’? Kenapa aku yang menjadi sasaran mereka?”
“‘Mereka’ adalah kekuatan yang ingin menjaga segala sesuatu tetap dalam kendali mereka. Organisasi besar yang mengendalikan banyak aspek kehidupan, yang siap melakukan apa saja untuk melindungi rahasia mereka. Kamu terlibat dalam hal yang tidak kamu ingat, Alia. Kamu adalah bagian dari sebuah konspirasi besar, dan itu bukan sesuatu yang bisa kamu hindari.”
Setiap kata yang keluar dari mulut pria itu semakin menambah ketakutan dalam diri Alia. Semua yang ia ketahui tentang hidupnya kini seolah runtuh begitu saja. Apa yang seharusnya menjadi hidup yang biasa, kini menjadi labirin tak berujung yang penuh dengan ancaman dan bahaya yang mengintai di setiap sudut.
Namun, ada satu hal yang jelas—bahaya ini jauh lebih besar dari apa yang ia bayangkan. Dan ia baru saja terjerat dalam jaring yang hampir mustahil untuk dilepaskan.
Mobil terus melaju di jalanan yang gelap, dan di dalam hatinya, Alia tahu satu hal: ia tidak akan pernah bisa kembali ke hidup lamanya. Sekarang, ia harus berjuang untuk bertahan hidup dan mengungkapkan kebenaran yang tersembunyi jauh di balik kabut misteri yang semakin pekat.*
Bab 7: Pengorbanan
Alia duduk dengan cemas di dalam ruang gelap yang terasa semakin sempit. Matanya menatap ke luar jendela mobil yang melaju cepat, tetapi pikirannya jauh melayang, mencoba memahami apa yang baru saja ia dengar. Kalimat-kalimat pria yang mengantarnya ke tempat ini berputar-putar di kepalanya, semakin menambah kebingungan dalam benaknya. Apa yang dimaksud dengan “konspirasi besar”? Apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya?
Mobil berhenti tiba-tiba, menarik Alia dari lamunannya. Pria yang sebelumnya duduk di depan mobil itu memberi isyarat agar ia turun. Dengan hati berdebar, Alia keluar dari mobil dan menatap bangunan besar di hadapannya. Gedung tinggi dengan dinding hitam dan pintu yang terbuat dari logam kokoh. Tempat yang begitu asing, tetapi begitu terasa seperti bagian dari takdir yang tak bisa dihindari.
Di dalam gedung, suasana terasa sunyi dan berat. Lampu-lampu redup menyinari lorong-lorong panjang yang sepi, menciptakan bayangan-bayangan aneh di dinding. Pria yang mengantarnya berjalan lebih dulu, dan Alia terpaksa mengikuti, meskipun rasa takut semakin menguasai dirinya.
“Mengapa aku dibawa ke sini?” tanya Alia dengan suara pelan, mencoba mencari jawaban yang sudah lama hilang.
“Karena mereka akan datang,” jawab pria itu dengan nada tegas. “Dan kamu harus siap.”
Alia merasa sebuah kecemasan besar melanda. Di satu sisi, ia merasa seperti sedang dikelilingi oleh kekuatan yang jauh lebih besar dari dirinya. Namun di sisi lain, ada dorongan dalam dirinya yang ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang selama ini tersembunyi dalam kegelapan. Dan ia, entah mengapa, merasa bahwa ia adalah kunci untuk membuka misteri tersebut.
Setelah melewati beberapa lorong, pria itu berhenti di depan sebuah pintu besar yang terbuat dari kaca tebal. Ia menoleh pada Alia. “Masuklah. Saat ini, kamu akan mengerti mengapa kamu ada di sini.”
Alia ragu sejenak, tetapi akhirnya ia memberanikan diri dan melangkah masuk. Di dalam ruangan yang luas itu, ia melihat seseorang yang sangat dikenalnya—Rian. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Rian duduk di kursi yang terikat dengan tali, wajahnya tampak lelah dan penuh kekhawatiran. Ketegangan di antara mereka semakin terasa.
“Rian!” Alia berlari menuju Rian, tetapi pria yang menuntunnya menghentikannya.
“Jangan,” katanya dengan nada yang serius. “Dia bukan orang yang kamu kenal lagi.”
Alia menatap Rian dengan bingung. “Apa maksudmu? Apa yang terjadi padanya?”
Rian menatapnya dengan mata penuh penyesalan. “Alia, aku… aku terjebak dalam sesuatu yang lebih besar dari yang bisa aku bayangkan. Aku tak bisa melindungimu lagi.”
Air mata mulai menggenang di mata Alia. “Jangan katakan begitu, Rian. Kita akan keluar dari sini bersama-sama. Kita akan mencari jalan keluar.”
Rian menarik napas panjang, mencoba berbicara dengan suara yang lebih rendah. “Kamu tidak mengerti, Alia. Ada sesuatu yang harus aku lakukan, sesuatu yang aku tak bisa hindari. Aku harus membuat pilihan ini, bahkan jika itu berarti menyakitimu.”
Alia merasa seperti dunia di sekitarnya tiba-tiba hancur. “Apa yang kamu bicarakan, Rian? Kenapa kamu harus memilih? Kita bisa melawan semuanya bersama-sama!”
Namun, Rian menggelengkan kepala, tatapannya kosong dan penuh dengan kepedihan. “Tidak, Alia. Ini bukan tentang melawan mereka. Ini tentang menyelamatkan kamu. Kamu adalah satu-satunya harapan yang tersisa. Tapi aku harus membayar harga untuk itu.”
Pernyataan Rian membuat Alia terdiam. “Harga apa, Rian? Apa yang kamu maksud dengan itu?”
Pria yang membawa Alia ke tempat itu kini mendekat, membuka mulut untuk menjelaskan. “Rian terikat pada sebuah janji. Janji yang mengharuskan dia berkorban. Kamu harus mengerti, Alia, ini adalah satu-satunya cara untuk menghentikan mereka. Jika dia tidak melakukannya, mereka akan menghancurkanmu dan segala yang kamu cintai.”
Alia merasa seolah dunia berhenti berputar. Pengorbanan? Rian harus berkorban untuk menyelamatkannya? Tetapi kenapa harus seperti ini? Kenapa harus ada harga yang begitu tinggi?
“Apa yang harus dia lakukan?” tanya Alia, suara bergetar, tak bisa menyembunyikan rasa takut dan kebingungannya.
“Rian harus memilih antara hidupnya sendiri atau hidup kamu. Dan pilihan itu harus diambil sekarang. Jika dia memilih kamu, maka dia akan kehilangan dirinya selamanya. Tetapi jika dia memilih untuk hidup, kamu akan kehilangan semuanya.”
Kata-kata itu mengguncang Alia dengan sangat hebat. Setiap detik yang berlalu terasa semakin berat. Tidak ada jalan tengah. Tidak ada cara untuk menghindari keputusan yang ada di hadapannya. Alia merasa hatinya hancur melihat Rian yang begitu terjebak dalam dilema yang begitu menyakitkan.
“Rian…” Alia berbisik, mencoba mencari kekuatan di dalam dirinya. “Apa yang kamu pilih? Kamu bisa memilih hidup, kamu masih bisa memilih kita.”
Rian menatapnya dengan mata penuh kepedihan, dan Alia melihat betapa besar beban yang harus dipikulnya. “Aku… aku sudah memilih, Alia. Aku memilih untuk menyelamatkan kamu.”
Saat itu, Alia merasa seperti ada sesuatu yang robek di dalam hatinya. Pengorbanan itu bukan hanya milik Rian, tetapi juga miliknya. Ia harus melepaskan seseorang yang telah lama ia cintai demi masa depan yang belum tentu pasti. Dan meskipun hatinya penuh dengan rasa sakit, ia tahu satu hal: terkadang cinta memang memerlukan pengorbanan terbesar.
Ketika Rian melepaskan dirinya, dan ia merasa bahwa dunia yang ia kenal kini telah hancur, Alia hanya bisa menatapnya dengan penuh air mata. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi ia tahu satu hal: pengorbanan itu akan menentukan segalanya.*
Bab 8: Kehilangan dan Harapan
Setelah Rian membuat pilihan yang tak terelakkan, Alia merasa dunia di sekitarnya seolah runtuh. Tidak ada lagi kepastian. Tidak ada lagi masa depan yang cerah. Yang ada hanya bayangan kegelapan yang merayap, menutup setiap pintu yang ada di hadapannya. Ia memandang Rian yang kini terbaring lemah, tubuhnya terikat, dan mata itu yang dulu penuh dengan kehidupan kini tampak kosong dan hampa.
Rian telah memilih. Pilihan yang pahit, tetapi penuh cinta. Dan Alia, meskipun hatinya remuk, tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa pengorbanan itu adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkannya. Tetapi harga yang harus dibayar terlalu tinggi—Rian kini berada di ambang kehilangan dirinya sendiri. Dan Alia merasa seperti ia telah kehilangan bagian dari dirinya yang tidak bisa ia dapatkan lagi.
Air mata mulai mengalir tanpa bisa ia bendung. “Rian,” bisiknya, hampir tak terdengar. “Apa yang terjadi padamu? Mengapa semuanya begitu rumit?”
Pria yang telah membawanya ke tempat itu mendekat, berdiri di sampingnya, memberi jarak namun tetap menatap dengan penuh perhatian. “Ini adalah konsekuensi dari sebuah keputusan yang sulit. Rian berkorban bukan hanya untuk menyelamatkan kamu, tapi untuk menghentikan sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kamu kira.”
Alia hanya bisa menatap Rian, yang terkulai lemah. Ia ingin memeluknya, ingin membuat semuanya kembali seperti semula. Namun, ia tahu bahwa tidak ada yang bisa mengubah keputusan itu. Bahkan Rian, dengan semua cintanya, tidak bisa mengubah takdir yang menantinya. Alia tahu, dengan berat hati, bahwa cinta saja tidak cukup untuk melawan takdir yang lebih besar.
Setelah beberapa saat, pria itu membuka mulut. “Rian sudah membayar harga yang sangat besar. Sekarang, giliranmu untuk memilih. Apakah kamu akan membiarkan pengorbanan ini sia-sia, ataukah kamu akan melangkah maju untuk mencari harapan yang tersisa”
Alia menatap pria itu, bingung. “Harapan? Apa yang kamu maksud”
“Harapan adalah apa yang bisa kamu temukan, meskipun dunia seakan runtuh di sekelilingmu. Ini bukan akhir dari segalanya, Alia. Ini adalah titik di mana kamu harus memilih untuk bangkit.”
Mendengar kata-kata itu, Alia merasa ada sedikit cahaya yang mulai menerobos kegelapan hatinya. Harapan. Ia merasa seolah telah kehilangan segalanya, tetapi kata-kata pria itu memberikan sedikit keyakinan bahwa ada jalan yang harus ditempuh. Jalan yang penuh dengan risiko, tetapi juga kesempatan untuk membalas pengorbanan yang telah dilakukan oleh Rian.
“Jadi, apa yang harus aku lakukan?” tanya Alia, suara penuh keraguan.
“Bangkit dan temukan kebenaran. Temukan kekuatanmu untuk melawan apa yang telah mereka lakukan padamu. Jangan biarkan pengorbanan Rian sia-sia. Jangan biarkan dirimu menjadi korban dari dunia ini. Kamu lebih kuat dari yang kamu kira, Alia.”
Perasaan ragu dan ketakutan mulai bergulir di dalam dirinya. Tetapi di balik rasa takut itu, ada rasa tanggung jawab yang mulai tumbuh. Rian telah memilih untuk mengorbankan dirinya, dan jika ia hanya menyerah begitu saja, semua yang telah mereka jalani akan sia-sia. Jika ia ingin menghormati pengorbanan itu, ia harus menemukan kekuatan untuk bertahan, meskipun semua tampak gelap.
Setelah berdiam sejenak, Alia menarik napas dalam-dalam. “Aku tidak akan menyerah,” katanya, suara yang penuh tekad meskipun hatinya masih dipenuhi dengan kesedihan. “Aku akan melangkah maju. Aku akan menemukan apa yang terjadi, dan aku akan mengungkapkan kebenarannya.”
Pria itu mengangguk, senyum tipis muncul di wajahnya. “Itu yang aku harapkan dari kamu, Alia. Ada kekuatan dalam dirimu yang tidak pernah kamu sadari sebelumnya. Sekarang, waktunya untuk menggunakannya.”
Mereka keluar dari gedung besar itu, dan di luar sana, hujan masih turun dengan deras, tetapi kali ini, Alia merasa berbeda. Langit yang kelabu tidak lagi terlihat sebagai penanda kesedihan. Sebaliknya, ia mulai melihatnya sebagai sesuatu yang mengingatkan bahwa setelah hujan, akan ada pelangi.
Dengan setiap langkahnya, Alia tahu bahwa jalan di depannya tidak akan mudah. Tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak sendirian dalam perjalanan ini. Meski ia kehilangan banyak hal—termasuk bagian dari dirinya sendiri—ia menemukan kembali harapan dalam setiap keputusan yang ia buat. Dan walaupun hati ini penuh dengan rasa sakit, ia tahu satu hal: ia harus terus berjuang. Untuk Rian. Untuk dirinya sendiri. Untuk masa depan yang penuh dengan kemungkinan.
Kehilangan tidak selalu berarti akhir. Terkadang, kehilangan membawa kita pada penemuan baru—penemuan tentang siapa kita sebenarnya dan apa yang kita mampu lakukan. Harapan, meskipun tampak jauh, masih bisa ditemukan, asalkan kita bersedia untuk mencarinya.*
Bab 9: Kembali ke Dunia Nyata
Alia berdiri di tengah keramaian kota yang sibuk, dikelilingi oleh suara mobil, langkah-langkah orang yang berlalu-lalang, dan hiruk-pikuk kehidupan yang tampaknya berjalan seperti biasa. Namun, bagi Alia, semuanya terasa sangat asing. Dunia nyata yang dulu ia kenal kini tampak seperti dunia yang telah berubah, seolah-olah ia adalah bagian dari mimpi panjang yang penuh dengan ketegangan dan bahaya.
Setelah peristiwa yang mengubah hidupnya, ia kembali ke rumahnya dengan membawa luka yang dalam, baik secara fisik maupun emosional. Semua yang ia alami—pengorbanan Rian, kenyataan tentang kekuatan yang mengendalikan hidupnya, dan perjalanan panjang untuk menemukan kebenaran—terasa seperti dunia lain yang tidak bisa ia jelaskan. Kini, ia kembali ke dunia yang tampak berjalan tanpa perubahan, tetapi hatinya tahu bahwa ia tidak akan pernah bisa kembali ke kehidupan lamanya. Tidak ada lagi kepastian. Tidak ada lagi rasa aman.
Alia melangkah ke dalam rumah, merasakan kesunyian yang menggelayuti setiap sudut ruangan. Sebelumnya, rumah ini terasa hangat dan penuh kenangan, tetapi kini, semua itu seolah mengingatkan pada luka yang tak terobati. Di atas meja, ada surat dari Rian yang ditinggalkan beberapa hari lalu—sebelum ia membuat pengorbanan yang mengubah segalanya. Surat itu tampak begitu sederhana, tetapi Alia tahu betapa beratnya kata-kata yang tertulis di dalamnya.
Ia membuka surat itu perlahan, merasakan jantungnya berdegup kencang, seperti menunggu kabar buruk. Di dalamnya, Rian menulis tentang pengorbanannya, tentang pilihan yang harus ia buat, dan tentang cinta yang akan tetap ada meski mereka terpisah. Namun, ada satu kalimat yang menggetarkan hatinya lebih dari yang lainnya: “Aku akan selalu ada, dalam setiap langkah yang kamu ambil. Jangan biarkan dunia ini menghancurkanmu.”
Air mata mulai mengalir di pipinya, tetapi kali ini ia tidak berusaha untuk menahan. Ia membiarkan air mata itu jatuh, merasakan kesedihan yang begitu mendalam, tetapi juga kekuatan yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Rian mungkin tidak ada di sana untuk menuntunnya, tetapi kata-kata itu mengingatkannya bahwa ia masih bisa berjalan, meskipun sendirian.
Ponsel Alia berbunyi, dan ia segera mengangkatnya. Itu adalah panggilan dari pria yang telah membantunya selama ini—pria yang membawanya ke tempat yang penuh misteri dan bahaya.
“Alia,” suara pria itu terdengar serius, “Kita harus segera bertemu. Ada sesuatu yang perlu kamu ketahui.”
Alia menelan ludah, menyadari bahwa meskipun ia telah kembali ke dunia yang tampak biasa, kenyataan yang ada di baliknya masih penuh dengan ancaman. Meskipun ia mencoba untuk kembali menjalani hidup biasa, takdir sepertinya tidak memberi kesempatan untuk itu.
Ia menyusuri jalanan kota menuju tempat yang disepakati. Setiap langkah terasa semakin berat, seakan dunia luar berusaha menariknya kembali ke dalam kegelapan yang baru saja ia coba tinggalkan. Namun, ia tahu ia tidak bisa mundur. Jalan ini sudah ia pilih, dan tak ada pilihan lain.
Di sebuah kafe yang sibuk, Alia bertemu dengan pria itu. Wajahnya serius, dan tatapannya tajam. “Ada sesuatu yang sangat besar yang sedang terjadi, Alia. Sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kita kira. Mereka tidak akan berhenti mencari kamu.”
Alia menatapnya, bingung. “Mereka siapa? Apa yang mereka inginkan dariku?”
“Organisasi yang Rian coba lawan itu masih ada. Mereka tahu kamu adalah kunci untuk mengakhiri semuanya. Dan mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkannya.”
Alia merasa hatinya berdebar kencang. Ia sudah berusaha kembali ke kehidupan normal, tetapi sepertinya masa lalunya terus mengejarnya. Tak ada lagi tempat yang aman. Tak ada lagi jalan mundur.
“Apakah ada cara untuk melawan mereka?” tanya Alia, suaranya rendah, tetapi penuh tekad.
Pria itu mengangguk pelan. “Ada. Tetapi kamu harus siap untuk membayar harga yang lebih besar. Ini bukan hanya tentang kamu lagi, Alia. Ini tentang dunia yang lebih besar, tentang rahasia yang telah lama tersembunyi.”
Alia menelan ludah, merasa perasaan yang bergejolak di dalam dirinya. Harapan dan ketakutan bercampur aduk. Ia tahu bahwa meskipun ia mencoba kembali ke kehidupan yang biasa, kebenaran yang telah terungkap akan mengubah segalanya.
“Kamu harus memilih sekarang, Alia,” pria itu melanjutkan, “Apakah kamu ingin hidup dengan kenyataan ini dan melawan mereka, ataukah kamu akan menyerah dan membiarkan mereka menang?”
Alia menatapnya dengan mata yang penuh tekad. Ia tahu tidak ada jalan yang mudah. Dunia yang ia kenal sebelumnya kini telah hilang, digantikan oleh dunia yang penuh dengan bahaya dan rahasia yang harus diungkap. Ia harus membuat pilihan. Dan meskipun dunia di sekelilingnya tampak normal, ia tahu bahwa hidupnya akan selalu berbeda dari sebelum ini.
“Ini bukan pilihan,” kata Alia, suara penuh keyakinan. “Aku tidak akan menyerah. Aku akan melawan. Untuk Rian. Untuk diriku sendiri. Untuk semua orang yang telah berjuang.”
Pria itu tersenyum, mengangguk dengan bangga. “Itulah yang aku harapkan dari kamu, Alia. Tapi ingat, ini bukan akhir. Ini baru saja dimulai.”
Alia menghembuskan napas panjang, menyadari bahwa kebenaran yang ia cari tidak akan mudah ditemukan. Namun, ia tidak bisa berhenti. Kembali ke dunia nyata mungkin berarti kembali ke kenyataan yang keras, tetapi ia tahu satu hal—di dalam dirinya ada kekuatan yang lebih besar daripada yang ia pernah bayangkan sebelumnya. Dunia ini mungkin penuh dengan ancaman, tetapi Alia tahu ia tidak sendirian. Ia memiliki pilihan, dan ia akan berjuang untuk masa depan yang lebih baik.*
Bab 10: Perbedaan Kembali
Hari-hari yang berjalan setelah pertemuan dengan pria misterius itu terasa seperti babak baru dalam hidup Alia. Ia kembali menjalani rutinitas yang tampak normal—ke kantor, berinteraksi dengan teman-teman lama, dan melanjutkan hidupnya seolah-olah tidak ada yang berubah. Namun, di dalam dirinya, segalanya terasa berbeda. Dunia yang ia kenal kini seperti bayangan yang kabur, dan meskipun ia berusaha keras untuk hidup seperti dulu, setiap detik mengingatkannya bahwa ia tidak bisa lagi kembali.
Suasana pagi di kafe favoritnya terasa begitu hening. Alia duduk di pojok ruangan, memandangi secangkir kopi yang sudah hampir dingin. Matahari menyinari meja di depannya, namun bayang-bayang kelam tetap terasa. Rian, pengorbanan, dan rahasia besar yang mengelilinginya—semuanya kembali menghantuinya. Ia bisa melihat dunia ini dari sudut yang berbeda, dan meskipun tampak normal di luar, hatinya tahu bahwa ia telah melihat sisi lain yang lebih gelap, yang lebih dalam.
Langkah-langkah kaki yang terdengar mendekat menarik Alia dari lamunannya. Ia menoleh dan melihat seseorang yang sudah lama tak ia temui. Tika, sahabatnya sejak kecil, tersenyum padanya dengan cerah. Tika yang dulu selalu menjadi teman yang penuh semangat kini tampak sedikit berubah, dengan mata yang seolah menyimpan sebuah pertanyaan.
“Tika,” Alia menyapanya, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang ada di dalam dirinya. “Apa kabar?”
Tika duduk di sampingnya, menyadari ada sesuatu yang berbeda dari Alia. “Baik-baik saja,” jawab Tika dengan senyum, meskipun tampak sedikit ragu. “Tapi aku merasa ada yang aneh denganmu, Alia. Kamu tidak seperti dulu.”
Alia terdiam, matanya menatap ke luar jendela, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan perubahan yang terjadi dalam dirinya. Dunia yang dulu mereka kenal bersama kini terasa seperti ilusi. Ada sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan, sebuah ketidaksesuaian yang begitu besar antara dunia lama dan kenyataan yang kini dihadapinya.
“Apa maksudmu?” tanya Alia, suara terdengar lebih dalam dari biasanya.
Tika mengamati wajah Alia dengan cermat. “Aku tahu kita sudah lama tidak berbicara, tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang berubah. Apa kamu baik-baik saja?”
Alia menarik napas panjang, menyadari bahwa ia tak bisa lagi menyembunyikan perasaan itu. “Aku… aku merasa terjebak, Tika. Seperti aku kembali ke dunia ini, tapi ada bagian dari diriku yang sudah hilang. Aku sudah melihat sisi lain dari dunia ini yang tak bisa aku jelaskan.”
Tika terdiam sejenak, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Alia. “Apa maksudmu, Alia? Apa yang sebenarnya terjadi?”
Alia menatap sahabatnya, menyadari betapa ia rindu dengan kedekatan mereka yang dulu. Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa lagi kembali seperti yang mereka inginkan. Kehidupan mereka telah terpisah oleh jarak yang tak terlihat—sebuah perbedaan yang ia rasakan lebih dalam dari sebelumnya.
“Ada hal-hal yang terjadi, Tika, yang membuat aku melihat dunia ini dengan cara yang berbeda. Aku tahu ini sulit dimengerti, dan mungkin kamu tak akan percaya, tetapi ada sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, yang mengintai. Aku sudah berusaha kembali, tapi aku tahu aku tidak bisa hidup seperti dulu lagi.”
Tika memegang tangan Alia, menatapnya dengan tatapan yang penuh perhatian. “Aku mungkin tidak sepenuhnya mengerti, Alia, tapi kamu tidak sendirian. Kalau ada sesuatu yang bisa aku bantu, aku akan ada di sini.”
Air mata mulai menggenang di mata Alia. “Aku ingin bisa kembali seperti dulu, Tika. Tapi aku sudah berubah. Dunia ini sudah berubah, dan aku tidak bisa berpura-pura tidak melihatnya.”
Tika tersenyum dengan lembut. “Terkadang, perubahan memang datang dengan cara yang kita tidak inginkan. Tapi itu tidak berarti kamu kehilangan dirimu. Kamu hanya menemukan versi dirimu yang baru. Mungkin dunia ini berubah, tapi yang terpenting adalah bagaimana kamu memilih untuk melihatnya.”
Alia menunduk, berusaha mencerna kata-kata Tika. Dalam hatinya, ia merasa terasing—terasing dari dunia yang dulu dikenalinya, dan bahkan terasing dari dirinya sendiri. Namun, apa yang dikatakan Tika memberinya sedikit kelegaan. Perubahan itu memang nyata, tetapi bukan berarti itu harus membuatnya kehilangan harapan atau tujuan.
“Aku tahu aku tidak bisa kembali ke hidupku yang dulu,” kata Alia, mencoba menerima kenyataan itu. “Tapi aku juga tahu aku harus terus berjalan. Aku tidak bisa mengabaikan apa yang sudah terjadi. Aku harus melangkah maju, meskipun dunia ini terasa sangat berbeda.”
Tika mengangguk, senyum masih ada di wajahnya, meskipun ada sedikit kekhawatiran. “Kamu sudah berani mengambil langkah besar, Alia. Jangan biarkan dunia ini merubahmu menjadi seseorang yang bukan dirimu. Kamu lebih kuat dari yang kamu kira.”
Alia tersenyum lemah. “Aku harap begitu.”
Mereka duduk diam, menikmati kesunyian yang mengikat mereka. Walaupun Alia merasa terasing, ia juga merasa sedikit lebih ringan setelah berbicara dengan Tika. Dunia memang berubah, dan ia tidak bisa kembali ke kehidupan yang dulu. Tetapi mungkin, justru dengan menerima perbedaan itu, ia bisa menemukan jalan baru. Jalan yang penuh dengan tantangan, tetapi juga penuh dengan kemungkinan.
Saat mereka berpisah, Alia merasa sedikit lebih tenang. Perubahan itu memang tak terhindarkan, tetapi mungkin ia bisa menemukan cara untuk hidup berdampingan dengan perbedaan itu. Dunia tidak akan pernah kembali seperti yang dulu, tetapi ia bisa memilih bagaimana ia akan menghadapi dunia baru ini. Mungkin, meskipun jalan yang harus ia jalani penuh dengan kesepian dan ketidakpastian, ada harapan di balik setiap langkah yang ia ambil.
Dengan langkah yang lebih pasti, Alia berjalan meninggalkan kafe itu. Dunia di sekelilingnya terus bergerak maju, dan meskipun ia tidak bisa menghindari perbedaan yang ada, ia tahu satu hal—perubahan itu adalah bagian dari dirinya yang baru. Kini, ia tidak takut lagi untuk melangkah, karena perbedaan itu bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari perjalanan yang lebih besar.***
—————THE END—————