• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
RAHASIA SOLARI

RAHASIA SOLARI

January 27, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
RAHASIA SOLARI

RAHASIA SOLARI

Sebuah petualangan yang membawa tiga sahabat ke dalam misteri peradaban kuno, menghadapi bahaya, ambisi, dan tanggung jawab untuk melindungi dunia dari kehancuran.

by FASA KEDJA
January 27, 2025
in Sejarah
Reading Time: 18 mins read

Prolog

Di tengah gelapnya malam yang pekat, bulan bersinar redup di atas pemandangan gersang gurun pasir yang tak berujung. Angin malam membawa hawa dingin menusuk, meliuk-liuk di antara bukit pasir yang menjulang. Di kejauhan, bayangan sebuah rombongan kecil perlahan-lahan muncul, terdiri dari empat kendaraan off-road yang bergerak melintasi hamparan luas tanpa tanda kehidupan.

Aditya duduk di kursi penumpang depan salah satu kendaraan, matanya menatap kosong ke arah cakrawala gelap. Di sebelahnya, Gibran sibuk menggenggam setir, sesekali menghindari batu besar atau jurang kecil yang tak terlihat di bawah pasir. Di belakang mereka, Sinta terlihat tertidur dengan kepala bersandar pada jendela, meski tidurnya tampak gelisah.

“Menurutmu, kita sudah dekat?” tanya Gibran tiba-tiba, memecah keheningan.

Aditya menghela napas, mengeluarkan peta lusuh dari tasnya. Peta itu tampak kuno, dengan gambar tangan dan tulisan yang hampir memudar. “Kalau koordinat ini benar, kita seharusnya hampir sampai. Pilar batu besar yang disebutkan di catatan itu harusnya ada di sekitar sini.”

Gibran melirik ke arah peta dengan ragu. “Dan kau benar-benar yakin bahwa tempat ini adalah peninggalan Solari?”

Aditya menoleh, menatap sahabatnya. “Aku tidak yakin, tapi kita sudah menghabiskan bertahun-tahun mencari jejak mereka. Kalau tempat ini bukan jawabannya, aku tidak tahu harus mulai dari mana lagi.”

Gibran mengangguk, meski rasa skeptis masih terlihat di wajahnya. Perjalanan ini telah menghabiskan sebagian besar waktu, tenaga, dan bahkan uang mereka. Tetapi setiap kali mereka berada di ambang menyerah, Aditya selalu menemukan alasan untuk melanjutkan. Baginya, peradaban Solari bukan hanya mitos. Mereka adalah kunci untuk memahami masa lalu dan, mungkin, masa depan umat manusia.

Sementara itu, di kendaraan paling depan, Vincent, pemimpin ekspedisi yang mendanai perjalanan mereka, berbicara melalui radio komunikasi. Suaranya terdengar tegas, penuh wibawa, tetapi ada nada ketidaksabaran di dalamnya.

“Kita tidak bisa terus berputar-putar di sini. Kalau kalian tidak menemukan sesuatu dalam satu jam, kita kembali,” katanya.

Aditya menggenggam radio di tangannya, lalu menjawab, “Kita hampir sampai. Beri kami sedikit waktu lagi.”

Vincent tidak langsung merespons, tetapi akhirnya terdengar gumaman setuju dari pihaknya. Aditya meletakkan radio itu kembali dengan hati-hati, lalu menatap keluar jendela. Angin malam mulai terasa semakin kuat, membawa butiran pasir yang menghantam kaca kendaraan.

“Sinta, bangun,” kata Aditya sambil menoleh ke belakang. “Kita butuh semua orang waspada.”

Sinta membuka matanya perlahan, wajahnya terlihat lelah tetapi tetap bersemangat. “Sudah sampai?” tanyanya sambil merapikan rambutnya yang berantakan.

“Belum, tapi kita hampir mendekati lokasi. Aku butuh kau memeriksa lagi catatan-catatan yang kita dapat dari naskah kuno itu. Pastikan kita tidak melewatkan apa pun.”

Sinta mengangguk, lalu mengambil ranselnya. Dari dalamnya, ia mengeluarkan beberapa lembar kertas usang yang penuh dengan tulisan tangan dan gambar simbol-simbol aneh. “Menurut ini, kita harus mencari sesuatu yang disebut sebagai ‘Gerbang Matahari’. Itu adalah tanda masuk ke lokasi utama.”

Aditya mengangguk. “Gerbang Matahari… Itu pasti sesuatu yang besar. Kita harus menemukannya sebelum Vincent kehilangan kesabaran.”

Temuan yang Tak Terduga

Setengah jam kemudian, kendaraan mereka berhenti di depan sebuah pilar batu besar yang menjulang tinggi di tengah gurun. Pilar itu tampak tak biasa—permukaannya dihiasi dengan ukiran-ukiran kuno yang memancarkan cahaya redup ketika diterpa sinar bulan.

“Ini dia,” bisik Aditya dengan takjub.

Mereka semua turun dari kendaraan, langkah-langkah mereka menimbulkan suara lembut saat menyentuh pasir. Aditya berjalan mendekati pilar itu, tangannya menyentuh permukaannya dengan penuh kehati-hatian. Ukirannya terasa halus, tetapi setiap simbol di sana tampak memiliki arti yang mendalam.

“Ini tulisan Solari,” katanya, suaranya hampir tercekat. “Aku mengenali simbol-simbol ini dari catatan yang kita temukan di Mesir. Mereka pasti pernah ada di sini.”

Vincent mendekati pilar itu, matanya bersinar dengan ambisi. “Jadi, kau benar”.*

Bab 1: Awal Pencarian

Matahari senja memancarkan sinarnya yang redup ke atas jendela tua perpustakaan kota, memantulkan warna emas pada debu yang melayang-layang di udara. Aditya menatap meja kayu di depannya dengan tatapan penuh konsentrasi. Di tangannya tergenggam sebuah manuskrip kuno berusia ratusan tahun, dengan kertas yang telah menguning dan pinggirannya mulai rapuh. Tulisan tangan di naskah itu hampir tak terbaca, seperti bisikan sejarah yang enggan mengungkapkan rahasianya.

Aditya adalah arkeolog muda dengan semangat yang membara. Ia baru saja menyelesaikan gelar doktoralnya, tetapi dunia akademik memandangnya dengan sinis. Baginya, arkeologi bukan sekadar ilmu; itu adalah upaya untuk menghidupkan kembali jejak peradaban yang telah lama hilang. Namun, pemikirannya yang tidak konvensional sering dianggap angan-angan. Seperti hari ini, saat ia menghabiskan waktu di sudut gelap perpustakaan, mencari sesuatu yang mungkin hanya ilusi.

“Aditya, kau masih di sini?” suara seorang wanita memecah keheningan.

Sinta, seorang sejarawan muda yang bekerja di perpustakaan, mendekatinya dengan senyum lembut. Ia mengenakan kacamata bulat dan selendang biru yang melambai saat ia berjalan. “Kau tahu, perpustakaan akan tutup dalam lima belas menit.”

Aditya mengangkat wajahnya, tersenyum samar. “Aku hampir selesai. Aku hanya merasa ada sesuatu yang penting di sini. Lihat ini,” katanya sambil menunjukkan manuskrip di tangannya.

Sinta duduk di sebelahnya, melirik teks kuno itu. “Ini hanya catatan perjalanan biasa. Apa yang kau cari?”

Aditya menunjuk sebuah simbol kecil di sudut halaman. Itu adalah lambang berbentuk matahari yang terbenam di atas gurun. “Simbol ini. Aku pernah melihatnya sebelumnya, di naskah lain tentang peradaban kuno yang tak pernah tercatat. Aku pikir ini adalah petunjuk.”

Sinta menghela napas. “Aditya, aku tahu kau ingin menemukan sesuatu yang besar, tetapi kadang-kadang tidak ada rahasia yang tersimpan. Tidak semua misteri harus dipecahkan.”

Aditya menggeleng, matanya bersinar penuh keyakinan. “Tidak, aku yakin ada sesuatu di sini. Simbol ini muncul di beberapa naskah berbeda, tetapi selalu diabaikan. Bagaimana kalau itu adalah peta? Sebuah penunjuk jalan ke sesuatu yang lebih besar?”

Sinta tersenyum kecil, menyerah pada semangat temannya. “Baiklah. Tapi kalau kau salah, kau akan mentraktirku kopi selama seminggu.”

Malam itu, Aditya kembali ke apartemennya dengan manuskrip yang telah ia pinjam. Ia menghabiskan waktu berjam-jam menganalisis setiap detail, mencocokkan simbol itu dengan catatan-catatan lain yang pernah ia pelajari. Pada akhirnya, ia menemukan pola: simbol itu selalu dihubungkan dengan kisah-kisah tentang kota yang hilang di tengah gurun pasir. Sebuah kota yang, menurut legenda, pernah menjadi pusat peradaban maju sebelum akhirnya lenyap tanpa jejak.

Keesokan paginya, Aditya menemui Gibran, sahabatnya yang juga seorang ahli teknologi kuno. Mereka bertemu di sebuah bengkel kecil yang dipenuhi alat-alat berkarat dan perangkat mekanis yang terlihat seperti berasal dari abad lalu.

“Aditya, kau terlihat seperti tidak tidur semalaman. Apa lagi yang kau temukan kali ini?” tanya Gibran sambil menyesap kopi hitamnya.

Aditya membuka peta yang telah ia buat berdasarkan simbol-simbol yang ia pelajari. “Ini. Aku yakin ini adalah lokasi reruntuhan peradaban kuno di tengah gurun.”

Gibran mengangkat alisnya. “Dan kau ingin pergi ke sana? Tanpa bukti kuat? Ini hanya dugaan, Aditya.”

“Tapi setiap penemuan besar dimulai dari dugaan, bukan? Bukankah begitu yang selalu kau katakan padaku?”

Gibran terkekeh. “Baiklah, kau menang kali ini. Tapi kau tahu, perjalanan ke gurun itu bukan hal yang mudah. Kita perlu persiapan matang.”

Dengan bantuan Sinta dan Gibran, Aditya mulai merencanakan ekspedisi mereka. Mereka mengumpulkan peralatan, mempelajari peta, dan mencari informasi tambahan tentang legenda kota yang hilang. Dalam dua minggu, mereka siap berangkat.

Namun, bayangan keraguan menghantui mereka. Ketika Sinta menunjukkan naskah lain yang menyebutkan simbol yang sama, ia juga menemukan catatan peringatan: “Di balik matahari yang tenggelam, hanya mereka yang siap kehilangan yang akan menemukan cahaya sejati.”

“Apa maksudnya?” tanya Aditya, membaca catatan itu berulang kali.

“Sepertinya ini bukan hanya soal menemukan sesuatu,” kata Sinta pelan. “Tapi juga tentang apa yang harus kita korbankan untuk menemukannya.”

Aditya terdiam. Baginya, ini bukan hanya tentang penemuan akademik, tetapi juga tentang membuktikan dirinya. Namun, ia tidak tahu bahwa perjalanan ini akan mengubah hidupnya selamanya.*

Bab 2: Perjalanan Menuju Gurun

Matahari pagi baru saja terbit ketika Aditya, Sinta, dan Gibran berdiri di tepi gurun pasir yang luas. Di hadapan mereka, hamparan pasir emas membentang sejauh mata memandang, seperti lautan yang tak berujung. Angin pagi yang dingin perlahan berubah menjadi hembusan hangat, memberikan mereka gambaran kecil tentang tantangan yang akan mereka hadapi.

Aditya menggenggam peta kulit kuno yang sudah mulai robek di ujungnya. Ia menatap tanda-tanda yang telah ia pelajari selama berminggu-minggu. “Jika kita benar, lokasi ini harus berada sekitar 200 kilometer ke arah tenggara. Tapi kita harus berhati-hati. Gurun ini dikenal berbahaya.”

“Kau yakin dengan semua ini?” tanya Gibran sambil memeriksa perlengkapan GPS mereka. “Kau tahu, jika kita salah langkah, kita bisa tersesat.”

Aditya menatap sahabatnya dengan yakin. “Aku sudah mempelajari ini berulang kali, Gibran. Kita harus percaya pada peta ini.”

Sinta, yang berdiri di samping mereka sambil memegang kompas, menatap gurun itu dengan penuh kewaspadaan. “Aku tidak suka ini. Ada sesuatu yang aneh dengan tempat ini. Seolah-olah gurun ini menyembunyikan sesuatu yang tidak ingin ditemukan.”

Gibran menepuk bahunya sambil tertawa kecil. “Jangan terlalu banyak membaca cerita misteri, Sinta. Ini hanya pasir dan panas. Apa yang bisa salah?”

Namun, jauh di lubuk hatinya, bahkan Gibran merasakan sesuatu yang ganjil. Ada perasaan bahwa perjalanan ini bukan hanya sekadar pencarian reruntuhan kuno.

Perjalanan dimulai dengan lancar. Mereka berjalan dalam formasi, mengikuti tanda-tanda yang ditunjukkan di peta. Aditya memimpin di depan, memegang peta dan memastikan mereka tetap berada di jalur. Sinta berada di tengah, sesekali mencatat koordinat di buku catatannya. Gibran membawa sebagian besar peralatan, termasuk drone kecil untuk mengamati area di sekitar mereka.

Namun, tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk menyadari kerasnya medan gurun. Matahari semakin terik, membakar kulit mereka meski sudah dilindungi oleh pakaian tebal. Air yang mereka bawa terasa cepat berkurang, dan kaki mereka mulai terasa berat karena pasir yang terus-menerus menahan langkah.

“Kita butuh istirahat,” kata Gibran setelah beberapa jam berjalan. Ia menjatuhkan ranselnya ke pasir dengan napas terengah-engah.

Aditya menatap jam tangannya, kemudian melihat ke arah matahari. “Baiklah, kita istirahat sebentar. Tapi jangan terlalu lama. Kita harus mencapai titik pertama sebelum matahari terbenam.”

Mereka duduk di bawah bayangan kecil yang dihasilkan oleh tenda darurat yang mereka bawa. Sinta mengambil buku catatannya dan mulai mencatat apa yang mereka temukan sejauh ini, meski belum ada hal yang signifikan.

“Aditya,” kata Sinta tiba-tiba, menatap peta di tangannya. “Kau yakin kita masih di jalur yang benar? Gurun ini terasa terlalu sunyi.”

Aditya mengangguk pelan. “Aku yakin. Tapi aku juga merasa kita belum melihat apa pun yang menunjukkan kita berada di jalur yang benar.”

Tiba-tiba, angin kencang berhembus, membawa butiran pasir yang menerpa wajah mereka. Gibran dengan cepat menutup matanya, sementara Sinta menahan kompasnya agar tidak jatuh. “Badai pasir!” teriak Aditya.

Mereka bergegas mendirikan tenda kecil untuk berlindung. Angin semakin kencang, membuat suara seperti raungan hewan liar. Di dalam tenda, mereka hanya bisa menunggu badai mereda.

“Aku benci gurun,” gumam Gibran sambil menyeka pasir dari wajahnya.

“Ini hanya awal,” jawab Aditya, mencoba terdengar optimis meski dalam hatinya ia merasa ragu.

Setelah hampir satu jam, badai pasir mulai mereda. Ketika mereka keluar dari tenda, pemandangan di sekitar mereka tampak berubah. Gurun yang sebelumnya terlihat rata kini memiliki bukit pasir yang lebih tinggi, seolah-olah medan telah bergeser.

“Ini aneh,” kata Sinta sambil memandang ke sekeliling. “Sepertinya kita tidak berada di tempat yang sama seperti sebelumnya.”

Aditya menatap peta dengan cemas. “Kita masih di jalur yang benar, tapi… ini membuat segalanya lebih sulit.”

Ketika malam tiba, mereka memutuskan untuk mendirikan kemah di bawah langit penuh bintang. Udara dingin menggantikan panas menyengat, dan hanya suara angin lembut yang menemani mereka.

Di tengah malam, Sinta yang sedang berjaga melihat sesuatu di kejauhan. Sebuah cahaya redup yang berkedip-kedip di atas bukit pasir. Ia memanggil Aditya dan Gibran dengan suara berbisik.

“Apa itu?” tanya Gibran, setengah mengantuk.

“Entahlah. Tapi itu tidak mungkin berasal dari alam,” jawab Sinta.

Mereka bertiga mendekati bukit pasir dengan hati-hati. Ketika mereka sampai di puncaknya, mereka melihat sesuatu yang membuat napas mereka tertahan. Di bawah sana, di tengah lembah kecil yang dikelilingi pasir, berdiri sebuah pilar batu raksasa yang sebagian terkubur. Pilar itu dihiasi ukiran-ukiran kuno, dengan simbol yang sama seperti di peta.

“Kita menemukannya,” bisik Aditya dengan suara penuh kekaguman.

Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Dari balik bayangan, sosok tak dikenal muncul, mengawasi mereka dengan tajam.

“Sepertinya kita tidak sendirian,” gumam Gibran.

Malam itu, mereka menyadari bahwa perjalanan ini jauh lebih berbahaya daripada yang mereka bayangkan. Rahasia gurun ini bukan hanya milik mereka, dan ada yang siap melakukan apa pun untuk menjaganya tetap tersembunyi.*

Bab 3: Jejak di Tengah Kegelapan

Pilar batu raksasa berdiri angkuh di tengah lembah kecil, setengah terkubur dalam pasir yang tampak tak tersentuh selama berabad-abad. Ukiran-ukiran kuno pada permukaannya bersinar samar di bawah cahaya bulan, seolah-olah memancarkan energi yang aneh. Aditya berdiri terpaku, menatap simbol-simbol yang sama seperti yang ia temukan di naskah kuno di perpustakaan.

“Ini nyata,” bisiknya, hampir tak percaya.

Sinta dan Gibran mendekati pilar itu dengan hati-hati, seolah takut sentuhan mereka bisa merusak sesuatu yang sakral. Sinta mengarahkan senter kecil ke permukaan batu, mencoba membaca simbol-simbol itu lebih jelas.

“Simbol ini…,” katanya perlahan, “sepertinya semacam petunjuk. Tapi aku tidak bisa memahaminya sepenuhnya.”

Aditya mengeluarkan buku catatannya, membandingkan simbol-simbol itu dengan gambar yang ia salin dari peta kuno. “Ini adalah bahasa kuno yang sudah punah. Aku pernah membaca tentang ini—disebut sebagai Bahasa Solari, milik peradaban yang hilang. Tapi tidak ada yang pernah menemukan bukti fisik keberadaan mereka sebelumnya.”

“Tunggu,” potong Gibran, menunjuk ke dasar pilar. “Apa itu?”

Di bagian bawah pilar, mereka melihat sesuatu yang mencolok: sebuah ukiran melingkar yang tampak seperti mekanisme tersembunyi. Gibran, dengan keahlian teknologinya, berlutut untuk memeriksanya lebih dekat.

“Ini terlihat seperti semacam kunci,” katanya. “Tapi aku belum pernah melihat mekanisme seperti ini sebelumnya.”

Aditya mendekatinya, memperhatikan ukiran itu. “Jika ini benar-benar pintu masuk atau penunjuk jalan, kita harus mencari cara untuk membukanya. Tapi ini juga berarti kita berada di jalur yang tepat.”

Sebelum mereka bisa melanjutkan penelitian mereka, suara langkah kaki di kejauhan membuat mereka berhenti. Mereka saling bertukar pandang, menyadari bahwa mereka tidak sendirian.

“Matikan semua lampu,” bisik Aditya.

Mereka dengan cepat memadamkan senter dan menuruni bukit pasir untuk bersembunyi di balik bebatuan kecil. Dari tempat persembunyian mereka, mereka melihat beberapa sosok muncul dari kegelapan, membawa senter besar yang menerangi pilar batu itu.

“Siapa mereka?” bisik Sinta, menahan napas.

Aditya memperhatikan dengan cermat. Ada tiga orang, dua pria dan satu wanita, mengenakan pakaian hitam yang tampak seperti seragam. Salah satu pria itu membawa sebuah alat yang terlihat seperti pemindai teknologi canggih.

“Sepertinya mereka bukan peneliti biasa,” gumam Gibran.

Salah satu dari mereka, pria tertinggi, mendekati pilar dan mulai memeriksa ukiran melingkar di dasar. “Ini dia,” katanya dengan suara yang cukup keras untuk terdengar oleh Aditya dan timnya. “Ini adalah mekanisme yang disebutkan dalam laporan Vincent.”

Mendengar nama itu, Sinta langsung berbisik, “Vincent? Bukankah dia pengusaha yang selalu dikaitkan dengan eksplorasi ilegal?”

Aditya mengangguk pelan. “Dia terkenal mencari artefak kuno untuk kepentingan pribadinya. Kalau mereka di sini, berarti kita dalam bahaya.”

Pelarian di Tengah Malam

Ketika kelompok misterius itu sibuk memeriksa pilar, Aditya memberikan isyarat kepada Gibran dan Sinta untuk mundur perlahan. Mereka merangkak menjauh dari tempat persembunyian mereka, berusaha agar tidak menarik perhatian. Namun, langkah mereka tiba-tiba terhenti ketika suara pecahan batu terdengar di belakang mereka.

Salah satu pria dari kelompok itu langsung menoleh. “Siapa di sana?”

Aditya, Sinta, dan Gibran langsung berlari menuruni bukit pasir tanpa berpikir panjang. Mereka mendengar teriakan dan langkah kaki yang mengejar mereka.

“Cepat!” seru Aditya, menarik tangan Sinta yang hampir tersandung.

Gibran, yang membawa ransel besar, merasa berat untuk berlari. “Aku tidak bisa terus seperti ini!” katanya sambil terengah-engah.

“Jangan berhenti!” balas Aditya.

Mereka terus berlari sampai menemukan celah kecil di antara dua bukit pasir yang cukup gelap untuk bersembunyi. Nafas mereka terengah-engah, dan tubuh mereka berkeringat meskipun udara malam begitu dingin.

“Apa rencananya sekarang?” tanya Sinta dengan suara tertahan.

Aditya mengintip dari balik celah. Ia melihat kelompok itu masih mencari mereka di sekitar pilar batu, tetapi belum mendekat ke tempat persembunyian mereka.

“Kita harus mencari jalan lain untuk kembali ke pilar itu. Kalau tidak, mereka akan mengambil semuanya,” katanya dengan nada tegas.

Gibran menggeleng. “Kau serius? Mereka punya peralatan canggih dan senjata, mungkin. Kita tidak bisa melawan mereka.”

“Kalau kita menyerah sekarang, kita akan kehilangan kesempatan ini,” balas Aditya. “Kau tahu seberapa penting penemuan ini, bukan hanya untuk kita, tapi untuk dunia.”

Sinta menatap Aditya sejenak sebelum mengangguk. “Aku setuju. Tapi kita harus pintar. Tidak ada gunanya bertindak ceroboh.”

Setelah memastikan kelompok itu menjauh dari area sekitar pilar, mereka kembali dengan hati-hati. Aditya memimpin jalan, memastikan setiap langkah tidak menimbulkan suara yang mencurigakan.

Ketika mereka sampai di pilar, Aditya langsung mendekati mekanisme melingkar di dasar. “Kita tidak punya banyak waktu. Gibran, kau bisa membukanya?”

Gibran memeriksa ukiran itu sekali lagi. “Aku bisa mencoba, tapi ini mungkin membutuhkan waktu.”

“Tapi kita tidak punya waktu,” desak Aditya.

Sinta, yang mengawasi sekitar, tiba-tiba mendengar suara langkah kaki kembali mendekat. “Mereka kembali!”

Aditya dan Gibran panik, tetapi Gibran tetap bekerja dengan cepat. Ia memutar bagian tertentu dari mekanisme, mengikuti pola yang menurutnya masuk akal. Ketika suara langkah kaki semakin dekat, mekanisme itu tiba-tiba mengeluarkan suara klik, dan sebuah pintu kecil terbuka di dasar pilar.

“Cepat masuk!” seru Aditya.

Mereka bertiga masuk ke dalam pintu kecil itu, yang ternyata mengarah ke sebuah lorong bawah tanah. Begitu mereka semua masuk, pintu itu menutup kembali, meninggalkan mereka dalam kegelapan total.

Sinar senter mereka menari di sepanjang dinding lorong yang sempit. Lorong itu penuh dengan ukiran-ukiran serupa di pilar, tetapi kali ini lebih rumit dan penuh detail.

“Ini luar biasa,” bisik Sinta, meski suaranya terdengar penuh kekhawatiran.

Aditya berjalan di depan, merasa bahwa mereka telah membuka sesuatu yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. “Kita harus berhati-hati. Tempat ini mungkin penuh dengan jebakan.”

Gibran, yang masih mengatur napas, melihat sesuatu di lantai. “Tunggu. Lihat ini.”

Di lantai, ada jejak kaki yang sudah memudar. Jejak itu tampak sangat tua, tetapi menunjukkan bahwa mereka bukan yang pertama kali berada di tempat ini.

“Kalau ada yang pernah ke sini sebelumnya, kenapa tempat ini tetap menjadi misteri?” tanya Sinta.

Aditya menatap jejak itu dengan raut wajah serius. “Mungkin mereka tidak pernah keluar.”

Suasana menjadi semakin mencekam. Mereka bertiga melangkah lebih dalam, dengan hati-hati memperhatikan setiap sudut lorong. Namun, di ujung lorong, mereka melihat sesuatu yang membuat jantung mereka berhenti sejenak: sebuah ruangan besar dengan sebuah altar di tengahnya, dikelilingi oleh patung-patung besar yang tampak mengawasi mereka.

Dan di altar itu, sebuah benda berbentuk bola bercahaya redup, seolah memanggil mereka untuk mendekat.*

Bab 4: Rahasia Altar Terpendam

Ruangan besar itu dipenuhi dengan keheningan yang terasa menekan. Cahaya redup dari bola bercahaya di atas altar menjadi satu-satunya penerangan, memantulkan bayangan aneh di dinding yang dipenuhi ukiran-ukiran kuno. Sinta menggenggam lengan Aditya dengan erat, matanya tidak lepas dari benda misterius di tengah ruangan.

“Apa itu?” bisiknya, suaranya nyaris tidak terdengar.

Aditya berjalan perlahan mendekati altar, matanya terfokus pada bola bercahaya. Ukirannya tampak rumit, penuh dengan simbol yang sama seperti yang mereka lihat di pilar di atas. Bola itu tampak seperti terbuat dari kristal, tetapi cahaya di dalamnya bergerak, seolah-olah hidup.

“Aku tidak tahu,” jawab Aditya akhirnya. “Tapi aku yakin ini adalah kunci dari semuanya. Mungkin ini semacam artefak pusat dari peradaban Solari.”

Gibran, yang berdiri agak jauh dari mereka, memeriksa ruangan dengan senter. “Lihat ini,” katanya sambil menunjuk ke salah satu patung besar di sudut ruangan. Patung itu berbentuk seorang pria dengan pakaian yang tampak seperti jubah panjang, memegang simbol matahari di tangannya.

“Sepertinya dia adalah pemimpin atau dewa mereka,” ujar Gibran. “Tapi kenapa mereka membangun tempat ini jauh di bawah tanah?”

“Untuk melindungi sesuatu,” jawab Aditya cepat. “Mungkin mereka tahu benda ini terlalu berharga atau terlalu berbahaya untuk dibiarkan begitu saja.”

Namun, sebelum mereka bisa mendekati bola bercahaya itu, Gibran melihat sesuatu yang membuatnya berhenti. “Tunggu,” katanya dengan nada mendesak. Ia menunjuk ke lantai di sekitar altar.

Di lantai itu, terdapat ubin-ubin dengan pola yang berbeda. Beberapa di antaranya tampak lebih gelap, dan ada celah-celah kecil di antaranya. Gibran berlutut untuk memeriksanya lebih dekat.

“Ini jebakan,” katanya akhirnya.

Sinta terkejut. “Jebakan?”

“Ya,” jawab Gibran sambil mengusap celah-celah di lantai. “Jika kita melangkah di ubin yang salah, sesuatu mungkin akan terjadi. Bisa saja ruangan ini runtuh, atau hal lain yang lebih buruk.”

Aditya menghela napas panjang. “Kita harus menemukan pola yang benar untuk melintasi lantai ini. Simbol-simbol di dinding mungkin memberi petunjuk.”

Mereka bertiga mulai memeriksa dinding dengan saksama, mencari pola yang sesuai dengan lantai di sekitar altar. Sinta menemukan sebuah ukiran besar yang menggambarkan peta bintang, dengan garis-garis yang menghubungkan titik-titik tertentu.

“Lihat ini,” katanya. “Mungkin ini adalah pola yang harus kita ikuti.”

Aditya mendekati ukiran itu, memperhatikannya dengan teliti. “Kau mungkin benar. Pola ini menyerupai susunan ubin di lantai. Tapi kita harus berhati-hati.”

Dengan hati-hati, Aditya mulai melangkah ke atas ubin, mengikuti pola yang ditunjukkan oleh ukiran di dinding. Setiap langkahnya penuh kehati-hatian, karena satu kesalahan bisa berarti bencana. Sinta dan Gibran mengawasi dari belakang, siap memberikan petunjuk jika Aditya terlihat ragu.

Ketegangan terasa semakin meningkat saat Aditya hampir mencapai altar. Namun, tiba-tiba, suara mekanisme terdengar dari dinding. Salah satu patung besar di sudut ruangan mulai bergerak, matanya bersinar merah terang.

“Aditya, cepat!” seru Gibran.

Aditya melangkah lebih cepat, tetapi tetap memastikan ia mengikuti pola yang benar. Ketika ia akhirnya mencapai altar, patung itu berhenti bergerak, dan suara mekanisme pun terhenti.

“Sepertinya kita aman… untuk sekarang,” kata Aditya sambil mengusap keringat di dahinya.

Ia menatap bola bercahaya di depannya. Cahaya di dalam bola itu berputar semakin cepat, seolah-olah menyadari kehadirannya. Dengan hati-hati, Aditya mengulurkan tangan untuk menyentuhnya.

“Aditya, tunggu,” kata Sinta dengan cemas. “Bagaimana kalau itu berbahaya?”

“Kita tidak punya pilihan lain,” jawab Aditya. “Ini mungkin satu-satunya cara untuk menemukan jawaban.”

Ketika tangannya menyentuh permukaan bola itu, ruangan langsung dipenuhi dengan cahaya yang menyilaukan. Cahaya itu memancar dari bola, menyebar ke seluruh ruangan dan menerangi setiap sudutnya. Aditya merasa tubuhnya menjadi ringan, seolah-olah ia ditarik ke dalam kekosongan.

Tiba-tiba, Aditya merasa dirinya berada di tempat lain. Ia berdiri di tengah kota yang megah, dengan menara-menara tinggi dan bangunan-bangunan yang dihiasi dengan simbol matahari. Orang-orang berjalan di sekitarnya, mengenakan pakaian kuno yang ia kenali sebagai ciri khas peradaban Solari.

Mereka tampak bahagia, tetapi ada sesuatu yang ganjil. Di langit, sebuah benda besar berbentuk lingkaran perlahan-lahan mendekati kota itu, memancarkan cahaya merah yang mengancam. Suara teriakan mulai terdengar ketika bayangan benda itu menutupi kota.

“Ini adalah akhir mereka,” kata sebuah suara dari belakangnya.

Aditya berbalik dan melihat seorang pria tua berjubah panjang, memegang tongkat dengan simbol matahari di ujungnya. Matanya penuh kebijaksanaan, tetapi juga kesedihan mendalam.

“Siapa kau?” tanya Aditya.

“Aku adalah penjaga terakhir Solari,” jawab pria itu. “Kau telah menemukan rahasia kami. Tapi dengan rahasia ini datang tanggung jawab yang besar.”

“Apa yang terjadi pada kota ini?” tanya Aditya.

“Keserakahan dan ambisi menghancurkan kami,” jawab pria itu. “Kami menciptakan teknologi yang terlalu*

Bab 5: Kebenaran yang Tersembunyi

Cahaya menyilaukan dari bola bercahaya itu perlahan memudar, mengembalikan Aditya ke dalam ruangan bawah tanah yang gelap. Tubuhnya terasa berat, seolah-olah ia baru saja melakukan perjalanan panjang melintasi waktu. Ia jatuh berlutut di depan altar, terengah-engah, sementara Sinta dan Gibran segera menghampirinya.

“Aditya, apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?” tanya Sinta dengan nada cemas.

Aditya mengangkat wajahnya perlahan, matanya tampak kosong, tetapi penuh dengan sesuatu yang baru saja ia alami. “Aku melihat mereka,” gumamnya.

“Melihat siapa?” Gibran bertanya sambil membantu Aditya berdiri.

“Peradaban Solari,” jawab Aditya pelan. “Aku melihat kota mereka, teknologi mereka, dan… kehancuran mereka. Mereka dihancurkan oleh sesuatu yang tidak bisa mereka lawan. Aku juga bertemu dengan seseorang—penjaga terakhir mereka. Dia mengatakan bahwa rahasia yang kita temukan ini adalah kekuatan besar, tetapi juga tanggung jawab besar.

Sinta dan Gibran saling berpandangan, mencoba mencerna apa yang baru saja didengar. “Apa maksudnya ‘tanggung jawab besar’? Apakah itu ada hubungannya dengan bola itu?” tanya Sinta sambil menunjuk ke bola bercahaya yang kini tampak lebih redup.

Aditya mengangguk. “Bola ini adalah inti dari teknologi mereka. Mereka menyebutnya Lumina Solis, atau ‘Matahari Terang’. Itu adalah sumber energi yang tak terbatas, tetapi juga menjadi alasan kehancuran mereka. Peradaban mereka terlalu bergantung pada kekuatan ini, dan ketika mereka mencoba memperluasnya tanpa batas, mereka mengundang sesuatu yang disebut sebagai ‘Bayangan Merah’. Aku tidak tahu pasti apa itu, tapi itu adalah ancaman yang menghancurkan segalanya.”

Gibran mengerutkan kening. “Jadi, benda ini adalah sumber energi kuno? Tapi bagaimana bisa bola ini bertahan selama ribuan tahun tanpa hancur?”

“Karena teknologi mereka jauh lebih maju dari yang bisa kita bayangkan,” jawab Aditya. “Dan sekarang, bola ini ada di tangan kita.”

Namun, sebelum mereka bisa mendiskusikan lebih lanjut, suara gemuruh terdengar dari balik dinding. Pasir di lantai mulai bergetar, dan batu-batu kecil jatuh dari langit-langit.

“Apa itu?” tanya Sinta dengan panik.

“Sepertinya mereka berhasil menemukan cara masuk!” seru Gibran, menunjuk ke arah pintu masuk lorong yang mereka gunakan.

Melarikan Diri dari Bahaya

Mereka segera bersiap-siap untuk melarikan diri. Gibran mengambil bola bercahaya dari altar dengan hati-hati, memasukkannya ke dalam tas ransel besar yang ia bawa. Sinta memeriksa lorong di sekitarnya, mencari jalan keluar lain.

“Kita tidak bisa kembali lewat pintu masuk tadi,” katanya. “Mereka pasti sudah menunggu kita di sana.”

Aditya mengingat penglihatan yang ia alami. Ia melihat bayangan sebuah lorong rahasia di balik salah satu patung besar di ruangan itu. Dengan tergesa-gesa, ia mendekati patung di sudut kanan ruangan, memeriksa setiap ukiran di permukaannya.

“Di sini,” katanya sambil menekan salah satu simbol yang ia lihat dalam penglihatan itu.

Tiba-tiba, patung itu bergeser perlahan, memperlihatkan pintu rahasia yang mengarah ke lorong sempit dan gelap.

“Cepat! Kita harus masuk!” kata Aditya.

Mereka bertiga berlari masuk ke dalam lorong itu, dan pintu tertutup kembali di belakang mereka, menyembunyikan jejak mereka. Namun, langkah kaki dari kelompok yang mengejar mereka semakin terdengar jelas, menandakan bahwa mereka tidak punya banyak waktu.

Lorong itu terasa sempit dan panjang, dengan dinding batu yang dingin dan lembap. Cahaya senter mereka menjadi satu-satunya penerangan, memantulkan bayangan menakutkan di sekeliling mereka.

“Aku tidak suka ini,” gumam Gibran. “Tempat ini terlalu sunyi.”

Namun, tepat saat mereka mencapai ujung lorong, suara gemuruh keras terdengar di belakang mereka. Sekilas, Aditya melihat bayangan merah yang berkilau, seolah-olah sesuatu sedang mengejar mereka.

“Itu dia,” bisiknya dengan ketakutan. “Bayangan Merah. Aku melihatnya dalam penglihatan.”

Sinta dan Gibran tidak menunggu penjelasan lebih lanjut. Mereka segera berlari lebih cepat, menembus lorong yang semakin menyempit. Akhirnya, mereka tiba di sebuah ruangan lain, lebih kecil dari ruangan altar sebelumnya, tetapi dipenuhi dengan ukiran-ukiran yang tampak lebih rumit dan bercahaya samar.

Di tengah ruangan, terdapat sebuah mekanisme lain—sebuah roda besar yang terbuat dari logam kuno. Di sekeliling roda itu terdapat simbol-simbol Solari yang bersinar samar.

“Ini mungkin jalan keluar,” kata Aditya sambil mendekati roda itu.

Namun, sebelum ia bisa memutar roda tersebut, dinding di belakang mereka mulai retak, dan suara raungan terdengar dari baliknya. Sinta menjerit, sementara Gibran dengan cepat menarik Aditya menjauh.

“Kita tidak punya waktu lagi!” seru Gibran.

Aditya dengan cepat memutar roda itu, berharap itu akan membuka jalan keluar. Namun, mekanisme itu bergerak perlahan, seolah-olah menolak untuk bekerja.

“Cepatlah!” teriak Sinta, matanya tidak lepas dari dinding yang mulai runtuh.*

Bab 6: Penutup di Tengah Ketidakpastian

Dinding di belakang mereka mulai runtuh, memperlihatkan cahaya merah yang membanjiri ruangan kecil itu. Raungan dari balik celah dinding terdengar semakin keras, seperti suara sesuatu yang hidup namun bukan berasal dari dunia ini. Aditya terus memutar roda logam besar itu dengan sekuat tenaga, sementara Gibran dan Sinta berdiri berjaga, memastikan tidak ada yang mendekat dari celah yang membesar.

“Aditya, cepat!” teriak Sinta, wajahnya dipenuhi ketakutan.

“Aku berusaha!” balas Aditya dengan napas terengah-engah. Roda itu akhirnya bergerak lebih cepat, dan suara mekanisme terdengar dari dalam dinding. Sebuah pintu kecil di sisi ruangan terbuka, memperlihatkan lorong lain yang tampak lebih terang dibandingkan tempat mereka sebelumnya.

“Itu dia!” seru Gibran sambil menarik Sinta menuju pintu. “Cepat keluar dari sini!”

Aditya mengikuti mereka, tetapi sebelum ia melangkah masuk, ia menoleh ke belakang. Dari celah dinding yang runtuh, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku: sebuah bayangan besar dengan mata merah menyala dan tubuh kabur, seperti asap yang terus bergerak. Makhluk itu tampak memandang lurus ke arahnya, seolah-olah mengenali kehadirannya.

“Aditya, jangan diam di sana!” Gibran menarik Aditya, memaksanya melangkah ke dalam lorong baru. Begitu mereka semua masuk, pintu di belakang mereka menutup dengan sendirinya, mengunci makhluk itu di ruangan sebelumnya.

Lorong baru itu jauh lebih terang, diterangi oleh cahaya alami yang masuk melalui celah-celah di dinding. Aditya, Sinta, dan Gibran berjalan dengan cepat, masih dipenuhi ketegangan dan adrenalin dari apa yang baru saja mereka alami.

“Kita hampir sampai,” ujar Gibran sambil menunjuk ke depan, di mana mereka bisa melihat cahaya yang lebih terang—tanda bahwa lorong itu mengarah ke permukaan.

Namun, sebelum mereka bisa keluar, Sinta berhenti mendadak. “Tunggu. Kita tidak bisa membawa bola itu begitu saja,” katanya sambil menatap tas ransel Gibran yang berisi Lumina Solis.

“Apa maksudmu? Kita sudah sejauh ini!” protes Gibran.

Sinta menatap mereka berdua dengan serius. “Kalian dengar sendiri apa yang dikatakan Aditya. Benda ini adalah sumber kekuatan besar, tetapi juga penyebab kehancuran. Kalau sampai jatuh ke tangan yang salah, dunia kita bisa menghadapi nasib yang sama seperti peradaban Solari.”

Aditya terdiam, memikirkan kata-kata Sinta. Ia tahu bahwa apa yang dikatakan temannya itu benar. Lumina Solis adalah penemuan yang luar biasa, tetapi sekaligus berbahaya.

“Aku tidak ingin semua ini sia-sia,” kata Gibran dengan nada tegas. “Benda ini bisa mengubah dunia! Bayangkan apa yang bisa kita lakukan dengan energi tak terbatas!”

“Tapi apa kau siap mengambil risiko?” balas Sinta. “Kita bahkan tidak tahu cara mengendalikannya. Bagaimana jika itu justru mengundang kehancuran?”

Aditya akhirnya berbicara, suaranya tenang tetapi penuh ketegasan. “Sinta benar. Kita tidak bisa membiarkan ambisi kita mengalahkan akal sehat. Kalau kita membawa benda ini keluar, dunia akan mengetahuinya. Dan seperti yang kita lihat tadi, Vincent dan orang-orang seperti dia pasti akan mengejar kita. Mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkannya, dengan cara apa pun.”

Gibran menggertakkan giginya, tetapi akhirnya mengangguk. “Lalu, apa yang harus kita lakukan?”

Aditya menatap tas ransel itu dengan berat hati. “Kita harus meninggalkannya di sini. Tempat ini sudah cukup tersembunyi, dan mungkin itu yang terbaik.”

Kehilangan yang Berharga

Dengan berat hati, Gibran mengeluarkan Lumina Solis dari tasnya dan meletakkannya di lantai lorong. Cahaya dari bola itu tampak lebih terang ketika dikeluarkan, memantulkan simbol-simbol kuno di dinding.

“Bagaimana kalau seseorang menemukannya nanti?” tanya Gibran.

Aditya berjalan mendekati bola itu, menatapnya dalam-dalam. “Kita akan memastikan itu tidak terjadi,” katanya sambil mengingat penglihatannya tentang roda logam di ruangan sebelumnya. “Aku yakin mekanisme yang kita temukan tadi bisa menutup tempat ini untuk selamanya.”

Ia kembali ke roda logam, memutarnya ke arah yang berlawanan. Begitu roda itu berhenti bergerak, suara gemuruh terdengar dari dalam dinding. Lorong tempat mereka berdiri mulai tertutup perlahan, menyegel Lumina Solis di dalamnya.

“Kita harus keluar sekarang!” seru Aditya.

Mereka bertiga berlari ke arah cahaya, keluar dari lorong tepat sebelum pintu masuknya tertutup sepenuhnya. Ketika mereka akhirnya berada di luar, mereka mendapati diri mereka berdiri di tengah lembah yang sama tempat pilar besar itu berada. Udara malam yang dingin terasa seperti anugerah setelah semua yang mereka alami.

Kembali ke Dunia Nyata

Aditya, Sinta, dan Gibran berjalan dengan perlahan menjauh dari lembah, menatap pilar batu besar itu untuk terakhir kalinya. Cahaya bulan menerangi puncaknya, tetapi kini pilar itu tampak seperti monumen bisu yang menyimpan rahasia besar di dalamnya.

“Apa kau yakin ini keputusan yang tepat?” tanya Gibran, memecah keheningan.

Aditya mengangguk. “Aku yakin. Dunia belum siap untuk menghadapi apa yang ada di dalam sana. Mungkin suatu hari nanti, jika manusia telah cukup bijak, rahasia ini bisa ditemukan kembali. Tapi untuk saat ini, biarlah tempat ini tetap tersembunyi.”

Sinta tersenyum kecil. “Aku senang kita memilih untuk melindungi ini, daripada membiarkannya menjadi senjata.”

Mereka melanjutkan perjalanan, meninggalkan lembah itu dengan perasaan campur aduk. Mereka telah kehilangan sesuatu yang berharga, tetapi di sisi lain, mereka tahu bahwa mereka telah membuat keputusan yang benar.

Akhir yang Baru

Beberapa minggu kemudian, Aditya, Sinta, dan Gibran kembali ke kehidupan normal mereka di kota. Namun, tidak ada yang sama lagi. Mereka kini membawa beban rahasia besar yang tidak bisa mereka ceritakan kepada siapa pun.

Di malam hari, Aditya sering terjaga, memikirkan penglihatannya tentang peradaban Solari. Ia bertanya-tanya apakah keputusan mereka benar-benar tepat, ataukah ia telah mengabaikan kesempatan untuk mengubah dunia. Namun, setiap kali ia teringat bayangan merah itu, ia merasa yakin bahwa mereka telah melakukan hal yang benar.

Suatu malam, saat ia menatap bintang-bintang dari jendela kamarnya, Aditya tersenyum kecil. Ia tahu bahwa perjalanan mereka bukanlah akhir, melainkan awal dari sesuatu yang lebih besar. Rahasia Solari akan tetap ada, menunggu waktu yang tepat untuk ditemukan kembali—oleh mereka yang benar-benar siap menghadapi tanggung jawabnya.***

———-THE END——

Source: Jasmine Malika
Tags: #SejarahKunoPeradaban kuno Misteri arkeologi Petualangan di gurun Rahasia yang tersembunyi #Teknologi kuno
Previous Post

KISAH KITA TAK SEMPURNA

Next Post

ARTEFAK KEKUATAN KUNO

Next Post
ARTEFAK KEKUATAN KUNO

ARTEFAK KEKUATAN KUNO

SILSILAH EMAS WARISAN YANG TERLUPAKAN

SILSILAH EMAS WARISAN YANG TERLUPAKAN

JEJAK CAHAYA BUDAYA SUPRANATURAL

JEJAK CAHAYA BUDAYA SUPRANATURAL

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In