• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
BAYANG – BAYANG KAISAR

BAYANG – BAYANG KAISAR

January 28, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
BAYANG – BAYANG KAISAR

Oplus_131072

BAYANG – BAYANG KAISAR

Darah dan kekuasaan akan menguji loyalitas dan takdir.

by FASA KEDJA
January 28, 2025
in Sejarah
Reading Time: 25 mins read

 

Bab 1: Awal Bayangan

Matahari pagi memancarkan sinarnya yang hangat di atas desa kecil bernama Qingshan, sebuah tempat yang tersembunyi di lembah pegunungan yang hijau. Desa ini adalah rumah bagi Liang Yi, seorang pemuda berusia dua puluh tahun dengan mata yang penuh tekad dan tubuh yang terbiasa dengan kerja keras. Ia dikenal sebagai pria yang rajin, meskipun sering kali merasa bahwa hidupnya di desa ini terlalu kecil dibandingkan dengan mimpi-mimpi besarnya.

Liang Yi tinggal bersama ayahnya, Liang Zhen, seorang mantan pengawal kekaisaran yang memilih meninggalkan istana untuk hidup sederhana. Liang Zhen tidak pernah banyak bercerita tentang masa lalunya, tetapi ia selalu menekankan pentingnya keadilan dan kehormatan. Setiap pagi, sebelum ayam berkokok, Liang Zhen melatih Liang Yi dalam seni bela diri. “Jika kau ingin menjadi seseorang yang kuat, kau harus belajar mengendalikan dirimu terlebih dahulu,” begitu nasihatnya yang selalu terngiang di telinga Liang Yi.

Namun, pagi itu terasa berbeda. Liang Yi terbangun lebih awal dari biasanya, dikejutkan oleh bunyi gemuruh langkah kaki kuda di kejauhan. Ia bergegas keluar rumah, mendapati beberapa penduduk desa berkumpul di alun-alun. Wajah mereka dipenuhi kecemasan.

“Pasukan berkuda mendekat!” seru seorang pria tua. “Mereka tidak membawa bendera kekaisaran. Apa yang mereka inginkan di desa kecil ini?”

Liang Yi merasakan firasat buruk. Ia berlari kembali ke rumahnya untuk memperingatkan ayahnya. Namun, ketika ia membuka pintu, ia menemukan Liang Zhen sudah mengenakan pakaian tempur lamanya, yang telah disimpan dengan rapi di dalam peti kayu selama bertahun-tahun.

“Ayah, ada apa ini?” tanya Liang Yi, matanya dipenuhi kebingungan.

Liang Zhen menatap putranya dengan tatapan berat. “Mereka datang untukku,” katanya dengan suara rendah. “Aku sudah menduga ini akan terjadi suatu hari nanti. Dengarkan aku, Yi. Apa pun yang terjadi, kau harus bertahan hidup. Jangan kembali untukku.”

Liang Yi mencoba membantah, tetapi Liang Zhen menyerahkan sebuah kantong kecil kepadanya. “Di dalamnya ada peta dan beberapa koin perak. Pergilah ke arah selatan, ke kota Linjiang. Temukan seorang pria bernama Master Chen. Ia adalah teman lamaku. Katakan padanya siapa kau sebenarnya.”

Sebelum Liang Yi sempat bertanya lebih jauh, suara teriakan dan derap kaki kuda semakin dekat. Pasukan berkuda yang mengenakan baju zirah hitam mengelilingi desa. Liang Zhen segera mendorong Liang Yi keluar lewat pintu belakang.

“Pergi sekarang!” perintahnya dengan tegas. Liang Yi hanya sempat mengangguk sebelum berlari ke hutan di belakang rumah mereka.

Dari kejauhan, Liang Yi menyaksikan dengan hati yang berat ketika pasukan berkuda mulai menyerang desa. Rumah-rumah dibakar, dan penduduk yang melawan dibunuh tanpa ampun. Liang Yi mengepalkan tangannya, berusaha menahan diri untuk tidak kembali. Tetapi kemudian ia melihat ayahnya berdiri di tengah alun-alun, berhadapan dengan pemimpin pasukan.

Liang Zhen melawan dengan gagah berani, menggunakan pedang tua yang pernah ia gunakan sebagai pengawal kekaisaran. Meski sudah berusia lanjut, gerakannya tetap cepat dan presisi. Namun, jumlah musuh terlalu banyak. Liang Yi menyaksikan dengan mata kepala sendiri saat ayahnya akhirnya tumbang, dikelilingi oleh tubuh-tubuh prajurit yang telah ia kalahkan.

Saat pasukan pergi meninggalkan desa yang hancur, Liang Yi keluar dari persembunyiannya. Dengan air mata mengalir di pipinya, ia berjalan melewati puing-puing rumah dan tubuh-tubuh penduduk desa. Di dekat tubuh ayahnya, ia menemukan sebuah lencana logam berukir lambang kekaisaran. Jantungnya berdegup kencang.

“Kenapa pasukan kekaisaran melakukan ini?” gumamnya. “Apa yang sebenarnya terjadi?”

Dengan lencana itu di tangannya, Liang Yi berjanji pada dirinya sendiri untuk mencari kebenaran. Ia tahu bahwa kehidupannya yang sederhana telah berakhir. Kini, ia harus menghadapi dunia yang lebih besar dan penuh bahaya. Dengan membawa peta dan kantong perak yang diberikan oleh ayahnya, ia memulai perjalanan ke selatan, meninggalkan desa yang telah menjadi abu.

Langit mulai gelap ketika Liang Yi berjalan sendirian di jalan setapak menuju kota Linjiang. Angin malam yang dingin meniupkan daun-daun yang berguguran di sekelilingnya. Dalam kesunyian, ia merenungkan kata-kata terakhir ayahnya dan mencoba memahami makna di balik semuanya.

“Ayah selalu bilang, kegelapan selalu mendahului fajar,” pikirnya. “Aku akan menemukan kebenaran, apa pun risikonya.”

Perjalanan ini baru saja dimulai, dan Liang Yi tahu bahwa ia harus menghadapi bayang-bayang kekuasaan yang jauh lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan.*

Bab 2: Jejak Pengkhianat

Liang Yi tiba di kota Linjiang dengan langkah ragu, tubuhnya lelah setelah perjalanan panjang melewati hutan dan bukit. Kota itu ramai dengan suara pedagang yang memanggil pelanggan, derap kuda, dan aroma makanan yang menggoda dari kios-kios di sepanjang jalan. Bagi Liang Yi, suasana ini terasa seperti dunia lain dibandingkan dengan kesunyian desa Qingshan yang kini hanya menjadi kenangan pahit.

Di tangan Liang Yi tergenggam erat peta kecil dan lencana logam berukir lambang kekaisaran—bukti dari tragedi yang telah menimpa desanya. Kata-kata terakhir ayahnya terus terngiang di pikirannya: “Temukan Master Chen.” Namun, kota sebesar Linjiang adalah labirin bagi seorang pemuda desa yang tidak mengenal siapa pun di sini.

Setelah berjalan tanpa arah untuk beberapa waktu, Liang Yi memutuskan untuk berhenti di sebuah kedai teh kecil di sudut pasar. Ia memilih duduk di meja yang terletak di pojok, mencoba menghindari perhatian. Namun, matanya terus awas, mengamati orang-orang di sekitarnya. Setiap wajah asing bisa menjadi ancaman, tetapi juga mungkin menjadi sekutu.

Pelayan kedai menghampirinya dengan senyuman ramah. “Apa yang bisa saya sajikan untuk Anda, Tuan Muda?”

“Teh hangat dan sepiring kue kecil,” jawab Liang Yi sambil menyerahkan salah satu koin perak yang ia miliki. Uang itu adalah pemberian terakhir ayahnya, dan ia tahu harus menggunakannya dengan hati-hati. Namun, perutnya yang kosong memaksa untuk mengambil risiko kecil ini.

Sambil menunggu pesanannya, Liang Yi membuka peta yang diberikan ayahnya. Peta itu kasar, digambar dengan tangan, tetapi cukup jelas menunjukkan lokasi Linjiang dan beberapa daerah di sekitarnya. Di sudut bawah peta, ada tanda kecil berbentuk lingkaran merah dengan tulisan: “Penginapan Rusa Emas.” Liang Yi segera menyadari bahwa ini adalah petunjuk yang ditinggalkan ayahnya.

Setelah menghabiskan teh dan kue kecil, Liang Yi meninggalkan kedai teh dan mulai mencari penginapan yang disebutkan di peta. Ia bertanya kepada beberapa orang di jalan, tetapi kebanyakan dari mereka hanya menggelengkan kepala, tidak tahu tempat itu. Namun, seorang pria tua yang sedang duduk di depan tokonya memberikan petunjuk.

“Penginapan Rusa Emas sudah lama ditutup, tetapi bangunannya masih ada di ujung jalan itu,” kata pria tua itu sambil menunjuk ke arah lorong sempit. “Hati-hati, tempat itu sering didatangi orang-orang yang mencurigakan.”

Ucapan pria tua itu membuat Liang Yi semakin curiga. Ia mengucapkan terima kasih dan berjalan ke arah yang ditunjukkan. Jalan yang ia lalui menjadi semakin sepi, dan suasana berubah menjadi suram. Beberapa rumah tampak kosong, dengan jendela yang tertutup rapat dan dinding yang mulai retak.

Ketika akhirnya ia menemukan bangunan yang dimaksud, Liang Yi merasa jantungnya berdegup lebih kencang. Penginapan Rusa Emas adalah bangunan tua yang hampir runtuh, dengan pintu kayu yang sudah lapuk dan papan nama yang hurufnya nyaris pudar. Namun, ia merasa bahwa ini adalah tempat yang benar.

Liang Yi mengetuk pintu tiga kali, tetapi tidak ada jawaban. Ia mencoba mendorong pintu itu, dan ternyata tidak terkunci. Ketika ia melangkah masuk, ruangan itu gelap dan berdebu. Bau apek menyambutnya, tetapi ia tetap berjalan masuk, matanya menyesuaikan dengan kegelapan.

“Siapa di sana?” Sebuah suara berat tiba-tiba terdengar dari sudut ruangan, membuat Liang Yi berhenti. Dari bayangan muncul seorang pria tua dengan janggut putih panjang dan mata yang tajam. Meski tubuhnya terlihat ringkih, ada aura kewaspadaan dan kekuatan yang membuat Liang Yi merasa harus berhati-hati.

“Apakah Anda Master Chen?” tanya Liang Yi, suaranya sedikit bergetar.

Pria tua itu mengangkat alis. “Siapa yang menanyakan?”

Liang Yi mengambil lencana logam kekaisaran dari sakunya dan menunjukkan kepada pria itu. “Ayah saya, Liang Zhen, mengirim saya ke sini. Ia mengatakan Anda bisa membantu saya.”

Mata Master Chen melebar sejenak saat melihat lencana itu, tetapi ia segera menguasai ekspresinya. Ia mengangguk perlahan. “Jadi, kau putra Liang Zhen. Kalau begitu, kau harus tahu bahwa datang ke sini bukan tanpa risiko.”

Liang Yi mengangguk. “Saya ingin tahu apa yang terjadi pada desa saya dan mengapa ayah saya menjadi target mereka. Ayah saya mengatakan bahwa Anda tahu sesuatu.”

Master Chen menghela napas panjang dan mengisyaratkan Liang Yi untuk duduk. Ia mengambil kursi di seberangnya dan mulai berbicara. “Liang Zhen adalah salah satu pengawal kekaisaran terbaik yang pernah saya kenal, tetapi ia juga tahu terlalu banyak tentang rahasia istana. Ada kekuatan di balik takhta yang tidak ingin rahasia-rahasia itu keluar.”

Liang Yi mendengarkan dengan seksama, mencoba memahami setiap kata. Master Chen menjelaskan bahwa beberapa tahun lalu, Liang Zhen menjadi saksi dari sebuah konspirasi besar yang melibatkan pejabat tinggi istana. Untuk melindungi nyawanya dan keluarganya, ia memilih meninggalkan posisinya dan hidup dalam pengasingan.

“Tapi mereka tidak pernah melupakan dia,” lanjut Master Chen. “Dan sekarang mereka mengejarmu karena kau adalah pewaris pengetahuan itu.”

Liang Yi merasa darahnya mendidih. “Apa yang bisa saya lakukan? Saya tidak bisa membiarkan mereka lolos begitu saja.”

Master Chen tersenyum tipis. “Kau harus mempelajari siapa musuhmu dan bagaimana cara mereka bekerja. Tapi sebelum itu, kau harus menjadi lebih kuat, baik secara fisik maupun mental. Dunia ini kejam, anak muda. Dan kau baru saja melangkah ke dalam bayang-bayangnya.”

Malam itu, Liang Yi memutuskan untuk tinggal di penginapan tua itu. Ia tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan panjang untuk mengungkap kebenaran dan membalaskan dendam ayahnya. Tetapi ia juga tahu bahwa jalan yang akan ia tempuh penuh dengan bahaya dan pengkhianatan. Di bawah cahaya redup lentera, ia bersumpah dalam hati untuk tidak mundur, apa pun yang terjadi.*

 

Bab 3: Bayangan Istana

Kota Linjiang menyambut Liang Yi dengan suasana yang asing dan penuh kesibukan. Jalanan yang dipadati pedagang, pembeli, dan pengamen menciptakan pemandangan yang jauh berbeda dari kesunyian desa Qingshan. Bau rempah-rempah bercampur dengan aroma makanan panggang memenuhi udara, sementara suara tawa dan negosiasi terdengar di mana-mana. Meski kagum, Liang Yi tetap waspada. Pesan terakhir ayahnya terus terngiang dalam pikirannya: “Temukan Master Chen.”

Liang Yi mengikuti petunjuk di peta kecil yang diberikan ayahnya. Peta itu menggambarkan rute menuju sebuah rumah tua di tepi barat kota Linjiang. Setelah berjalan berjam-jam melewati gang-gang sempit dan menanyakan arah kepada beberapa penduduk setempat, akhirnya ia tiba di depan rumah kayu yang tampak sederhana namun kokoh. Pintu rumah itu tertutup rapat, dan di atasnya tergantung lentera merah dengan tulisan kaligrafi kuno.

Liang Yi mengetuk pintu dengan hati-hati. Suara langkah kaki mendekat, dan pintu terbuka sedikit. Seorang pria tua berambut putih dengan janggut panjang muncul di ambang pintu. Matanya yang tajam langsung memperhatikan Liang Yi dari atas ke bawah.

“Siapa kau?” tanya pria itu dengan nada dingin.

“Nama saya Liang Yi,” jawabnya sambil memberikan lencana kekaisaran yang ia temukan di desa. “Ayah saya, Liang Zhen, menyuruh saya mencari Anda. Beliau bilang, Anda adalah teman lamanya.”

Wajah pria tua itu berubah serius. Ia memeriksa lencana itu dengan seksama sebelum akhirnya membuka pintu sepenuhnya. “Masuklah,” katanya singkat.

Di dalam rumah, ruangan itu dipenuhi oleh rak buku dan gulungan peta. Dindingnya dihiasi lukisan-lukisan tua dan senjata yang tergantung rapi. Liang Yi duduk di depan meja kayu besar sementara pria tua itu menuangkan teh.

“Jadi, Zhen akhirnya mengirimkan putranya ke sini,” kata pria itu, menghela napas panjang. “Aku adalah Master Chen. Ayahmu pernah menyelamatkan hidupku bertahun-tahun yang lalu. Tapi jika kau ada di sini sekarang, berarti sesuatu yang buruk telah terjadi.”

Liang Yi menunduk, mengingat kehancuran desanya dan kematian ayahnya. Dengan suara bergetar, ia menceritakan segalanya—tentang serangan pasukan berkuda, keberanian ayahnya, hingga lencana kekaisaran yang ia temukan. Master Chen mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela.

Setelah Liang Yi selesai, Master Chen memejamkan matanya, seolah-olah sedang merenungkan sesuatu yang berat. “Zhen telah menyimpan rahasia besar selama bertahun-tahun. Lencana yang kau bawa itu adalah kunci dari rahasia tersebut,” katanya.

“Apa maksud Anda?” tanya Liang Yi dengan penasaran.

Master Chen berdiri, mengambil gulungan peta besar dari rak, dan membentangkannya di meja. Ia menunjuk sebuah wilayah yang ditandai dengan tinta merah di bagian utara kekaisaran. “Lencana itu adalah simbol Divisi Bayangan Kekaisaran, pasukan rahasia yang melayani langsung Kaisar. Ayahmu pernah menjadi salah satu komandannya sebelum ia memutuskan untuk meninggalkan semuanya. Namun, keputusan itu tidak semudah yang kau bayangkan. Divisi Bayangan tidak pernah membiarkan anggotanya pergi begitu saja.”

Liang Yi merasa dadanya sesak. Ia tidak pernah tahu bahwa ayahnya menyimpan masa lalu yang begitu kelam. “Jadi, mereka menyerang desa kami karena ayah saya?”

“Bukan hanya itu,” jawab Master Chen. “Ada sesuatu yang lebih besar terjadi di dalam istana. Kekaisaran sedang mengalami pergolakan. Kekuatan politik yang saling bertarung telah menggunakan Divisi Bayangan sebagai alat untuk menghancurkan musuh-musuh mereka. Ayahmu kemungkinan tahu rahasia penting yang bisa mengguncang fondasi kekuasaan.”

Liang Yi mengepalkan tinjunya. “Lalu, apa yang harus saya lakukan? Saya tidak bisa membiarkan kematian ayah saya sia-sia.”

Master Chen tersenyum tipis, seolah-olah ia sudah menduga jawaban itu. “Jika kau ingin mengungkap kebenaran, kau harus belajar menjadi bagian dari bayangan itu sendiri. Kau harus memahami cara mereka berpikir, bertarung, dan bergerak. Tapi ingat, perjalanan ini tidak akan mudah.”

Master Chen mulai melatih Liang Yi dengan disiplin yang ketat. Hari-hari Liang Yi di Linjiang diisi dengan latihan keras. Ia diajarkan seni bela diri tingkat tinggi, strategi perang, hingga seni membaca pergerakan musuh. Master Chen juga mengajarkan cara menyamar dan menyelinap tanpa terdeteksi, sebuah keterampilan penting untuk menghadapi Divisi Bayangan.

Namun, bukan hanya fisiknya yang diuji. Master Chen juga menggali ketahanan mental Liang Yi, mengajarinya untuk tetap tenang di tengah tekanan. “Jika kau ingin melawan mereka, kau harus lebih cerdas, bukan hanya lebih kuat,” kata Master Chen suatu hari.

Selama pelatihannya, Liang Yi mulai memahami bahwa dunia kekaisaran lebih rumit dari yang pernah ia bayangkan. Ia mendengar desas-desus tentang perebutan kekuasaan di istana, tentang seorang pangeran yang dikabarkan merencanakan kudeta, dan tentang seorang jenderal yang mengkhianati sumpahnya. Semua petunjuk ini mengarah pada satu kesimpulan: kebenaran di balik kematian ayahnya terkait langsung dengan permainan kekuasaan yang gelap di ibukota kekaisaran.

Setelah berminggu-minggu pelatihan, Master Chen akhirnya menyerahkan sebuah pedang pendek kepada Liang Yi. Pedang itu ringan namun tajam, dengan ukiran naga di gagangnya. “Ini adalah pedang yang dulu dimiliki ayahmu,” kata Master Chen. “Sekarang, ini adalah milikmu. Jangan gunakan pedang ini untuk balas dendam. Gunakan untuk keadilan.”

Liang Yi memegang pedang itu dengan penuh penghormatan. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak hanya tentang membalas kematian ayahnya, tetapi juga tentang mengungkap kebenaran dan melindungi orang-orang yang tak bersalah dari bayang-bayang kekuasaan yang menindas.

Di bawah sinar bulan yang menerangi malam Linjiang, Liang Yi bersumpah dalam hati: “Aku akan menemukan kebenaran, apa pun risikonya. Dan aku akan membawa kehormatan kembali pada nama ayahku.”*

 

Bab 4: Konspirasi di Balik Tahta

Istana Kekaisaran, dengan segala kemegahannya, berdiri sebagai simbol kekuasaan dan kemakmuran. Namun, di balik dinding-dinding marmer yang menjulang, permainan politik yang kejam tengah berlangsung. Liang Yi, yang kini berada di bawah perlindungan dan bimbingan Master Chen, mulai menyadari bahwa istana bukan hanya tempat para penguasa mengatur negeri, tetapi juga sarang intrik yang penuh tipu daya.

Setelah berminggu-minggu berlatih dan mengumpulkan informasi dari jaringan rahasia Master Chen, Liang Yi mendapatkan sebuah fakta mengejutkan: kematian ayahnya berkaitan langsung dengan rencana kudeta di dalam istana. Namun, siapa dalang di balik rencana ini?

“Divisi Bayangan Kekaisaran adalah alat utama di tangan para bangsawan yang haus kekuasaan,” jelas Master Chen sambil membentangkan peta istana. “Namun, mereka tidak bertindak sendiri. Ada seseorang yang mengarahkan mereka. Seseorang yang sangat berkuasa, bahkan mungkin lebih berbahaya daripada Kaisar itu sendiri.”

Liang Yi menatap peta itu dengan saksama. Ia mencoba memahami struktur kekuasaan di dalam istana yang rumit. “Lalu, siapa yang kita curigai?” tanyanya.

“Pangeran Wu,” jawab Master Chen dengan nada tegas. “Dia adalah salah satu penerus tahta yang paling kuat, namun ambisinya melampaui batas. Banyak yang percaya bahwa dia adalah dalang di balik serangkaian insiden yang mengguncang kekaisaran akhir-akhir ini.”

Liang Yi terdiam, merenungkan nama itu. Pangeran Wu adalah sosok yang dikenal luas karena kecerdasannya, tetapi juga ditakuti karena kekejamannya. Ia memiliki reputasi sebagai seorang politisi yang licik, dan banyak rumor yang mengatakan bahwa ia tidak segan-segan menyingkirkan siapa pun yang menghalangi jalannya.

Master Chen melanjutkan, “Namun, Wu tidak bisa melakukannya sendiri. Ia memiliki sekutu-sekutu di dalam istana—menteri, jenderal, bahkan beberapa pengawal istana. Jika kau ingin mencari keadilan untuk ayahmu, kau harus mulai dari mereka.”

Perjalanan ke Istana

Liang Yi tahu bahwa untuk membongkar konspirasi ini, ia harus masuk ke dalam lingkaran istana. Dengan bantuan Master Chen, ia menyusun rencana untuk menyusup ke istana sebagai seorang pelayan rendahan. Itu bukan tugas yang mudah. Proses seleksi untuk menjadi pelayan istana sangat ketat, dan setiap calon harus melalui pemeriksaan latar belakang yang mendalam.

Namun, berkat koneksi Master Chen, Liang Yi berhasil mendapatkan identitas palsu. Ia kini dikenal sebagai Wei Ming, seorang pemuda desa yang mengabdi di bagian dapur istana. Meski pekerjaannya terlihat sepele, Liang Yi tahu bahwa dapur adalah tempat di mana banyak informasi beredar. Pelayan dan koki sering kali menjadi saksi bisu pembicaraan rahasia para pejabat istana.

Hari-harinya di istana diisi dengan pekerjaan berat, mulai dari memotong sayuran hingga membersihkan peralatan masak. Namun, di sela-sela itu, Liang Yi mengamati dan mendengarkan. Ia memperhatikan siapa saja yang sering keluar-masuk dapur, siapa yang berbicara terlalu banyak, dan siapa yang tampak mencurigakan.

Pertemuan dengan Sekutu Tak Terduga

Suatu malam, saat Liang Yi sedang membersihkan panci-panci besar, seorang pelayan wanita muda bernama Mei Ling menghampirinya. Mei Ling adalah seorang pelayan senior di istana, dikenal karena kecerdasannya dan kemampuan berbicaranya yang halus. Namun, malam itu, ada sesuatu yang berbeda dalam sikapnya.

“Kau bukan sekadar pelayan biasa, bukan?” bisik Mei Ling dengan nada serius.

Liang Yi terkejut, tetapi ia berusaha tetap tenang. “Aku tidak tahu apa yang kau maksud.”

Mei Ling menatapnya tajam. “Jangan mencoba berbohong. Aku tahu kau sedang mencari sesuatu. Aku melihat caramu mengamati orang-orang. Kau tidak seperti pelayan lainnya.”

Liang Yi menyadari bahwa ia tidak bisa terus berpura-pura di depan Mei Ling. Setelah memastikan bahwa tidak ada orang lain di sekitar, ia akhirnya mengungkapkan sebagian dari misinya. Namun, ia tidak menyebutkan detail tentang Master Chen atau lencana kekaisaran.

“Kalau begitu, kau harus berhati-hati,” kata Mei Ling. “Istana ini penuh dengan mata-mata. Bahkan pelayan seperti kita pun tidak bisa sepenuhnya dipercaya. Namun, jika kau benar-benar ingin mencari kebenaran, aku mungkin bisa membantumu.”

Liang Yi terkejut dengan tawaran itu. “Kenapa kau ingin membantuku?”

Mei Ling menghela napas panjang. “Karena keluargaku juga menjadi korban dari intrik istana. Aku kehilangan segalanya karena permainan kekuasaan ini. Jika kau bisa membongkar kebenaran, mungkin aku bisa mendapatkan keadilan.”

Mengungkap Rahasia

Dengan bantuan Mei Ling, Liang Yi mulai menggali lebih dalam. Mereka menemukan bahwa Pangeran Wu sering mengadakan pertemuan rahasia dengan para pejabat tinggi di sebuah paviliun tersembunyi di dalam istana. Mei Ling berhasil mencuri sebuah surat dari salah satu pejabat yang isinya mengindikasikan adanya rencana besar untuk menggulingkan Kaisar.

Namun, saat Liang Yi membaca surat itu, ia menyadari bahwa situasinya lebih rumit daripada yang ia duga. Selain Pangeran Wu, ada pihak lain yang juga bermain dalam intrik ini. Surat itu menyebutkan nama seorang jenderal besar yang memiliki ambisi serupa.

“Ini berarti ada lebih dari satu pihak yang terlibat,” kata Liang Yi dengan nada serius. “Jika kita tidak hati-hati, kita bisa terjebak di antara dua kekuatan besar.”

Mei Ling mengangguk. “Kita harus bergerak cepat sebelum mereka menyadari bahwa kita sudah mengetahui terlalu banyak.”

Di tengah malam yang gelap, Liang Yi dan Mei Ling menyelinap keluar dari dapur istana. Mereka membawa surat itu sebagai bukti pertama dari konspirasi besar yang sedang berlangsung. Namun, mereka tahu bahwa ini baru awal dari perjalanan panjang.

Dari kejauhan, bayangan istana yang megah tampak seperti monster yang sedang mengintai. Liang Yi sadar bahwa setiap langkah yang ia ambil akan semakin mendekatkannya pada bahaya. Namun, ia juga tahu bahwa hanya dengan menghadapi monster itu, ia bisa mengungkap kebenaran di balik tahta.*

Bab 5: Pengawal Bayangan

Dalam kegelapan malam, Liang Yi memandangi langit yang dipenuhi bintang. Ia menggenggam erat lencana berukir lambang keluarga yang diwarisi dari ayahnya—satu-satunya petunjuk kuat yang menghubungkannya dengan pengkhianatan di masa lalu. Perjalanan ini membawanya semakin jauh ke dalam dunia penuh bayangan dan konspirasi. Kini, ia membutuhkan sekutu lebih dari sebelumnya. Master Chen pernah berkata, “Pengawal Bayangan bukan hanya pelindung. Mereka adalah mata dan telinga yang berada di tempat yang tak terlihat.”

Liang Yi telah mendengar legenda tentang Pengawal Bayangan, sebuah kelompok rahasia yang dibentuk oleh Kaisar terdahulu untuk melindungi takhta dari ancaman dalam maupun luar. Mereka tidak memiliki nama resmi, wajah mereka jarang terlihat, dan keberadaan mereka lebih seperti mitos. Namun, Liang Yi tahu bahwa jika ingin bertahan hidup dalam permainan ini, ia harus menemukan mereka dan membuktikan bahwa ia layak mendapat bantuan mereka.

Jejak Menuju Bayangan

“Pengawal Bayangan tidak akan muncul hanya karena kau mencarinya,” kata Master Chen saat mereka berbincang di sebuah pondok kecil di tepi kota. “Mereka memilih sendiri siapa yang pantas mendapatkan perlindungan mereka. Dan untuk itu, kau harus menunjukkan keberanian serta tujuan yang tak tergoyahkan.”

Liang Yi merasa ragu. Bagaimana ia bisa membuktikan dirinya kepada orang-orang yang bahkan tidak pernah ia temui? Namun, ia tidak memiliki pilihan lain. Informasi yang ia dapatkan dari Mei Ling—tentang konspirasi Pangeran Wu dan kemungkinan keterlibatan jenderal besar—terlalu berharga untuk disimpan sendiri. Jika informasi itu jatuh ke tangan yang salah, seluruh negeri bisa berada dalam bahaya.

Master Chen memberinya petunjuk pertama. “Pergilah ke Desa Fengyun, di luar batas kota. Di sana, cari seorang pria bernama Xu Jian. Dia adalah salah satu dari sedikit orang yang mengetahui cara menghubungi mereka.”

Perjalanan menuju Desa Fengyun tidaklah mudah. Liang Yi harus melewati hutan lebat yang penuh bahaya, dari binatang buas hingga perampok jalanan. Namun, semangatnya tidak goyah. Setiap langkah yang ia ambil adalah pengingat akan misi yang ia emban: menemukan kebenaran tentang kematian ayahnya dan menghentikan konspirasi yang dapat menghancurkan kekaisaran.

Pertemuan dengan Xu Jian

Di Desa Fengyun, Liang Yi akhirnya menemukan Xu Jian, seorang pria tua dengan rambut putih yang jarang dan wajah penuh keriput. Namun, di balik penampilannya yang lemah, ada aura misterius yang membuat Liang Yi yakin bahwa ia telah menemukan orang yang tepat.

Xu Jian memandangi Liang Yi dengan tatapan tajam. “Kau datang untuk mencari Pengawal Bayangan,” katanya tanpa basa-basi.

Liang Yi terkejut, tetapi ia segera mengangguk. “Ya. Aku membutuhkan bantuan mereka untuk mengungkap konspirasi di dalam istana.”

Xu Jian terkekeh. “Banyak yang datang kepadaku dengan permintaan seperti itu. Tapi Pengawal Bayangan tidak melayani sembarang orang. Apa yang membuatmu berpikir bahwa kau berbeda dari mereka?”

Liang Yi menghela napas, lalu mengeluarkan lencana berukir lambang keluarga yang ia bawa. “Ini adalah milik ayahku. Ia dibunuh karena mencoba melindungi kekaisaran dari pengkhianatan. Aku hanya ingin meneruskan perjuangannya.”

Xu Jian menatap lencana itu dengan serius. “Lencana ini… aku mengenal simbol ini. Ayahmu, dia adalah seorang yang terhormat.” Ia kemudian mengangguk. “Baiklah, aku akan membawamu ke tempat di mana kau bisa membuktikan dirimu. Tapi ingat, perjalanan ini tidak mudah. Jika kau gagal, kau mungkin tidak akan pernah kembali.”

Ujian Bayangan

Xu Jian membawa Liang Yi ke sebuah gua tersembunyi di tengah pegunungan. Di dalamnya, Liang Yi menghadapi serangkaian ujian yang dirancang untuk menguji keberanian, kecerdasan, dan kesetiaannya.

Ujian pertama adalah melewati lorong gelap penuh jebakan. Liang Yi harus menggunakan semua indra dan pengalamannya untuk menemukan jalan keluar tanpa terperangkap. Dengan setiap langkah yang ia ambil, ia merasa adrenalin mengalir deras, tetapi ia berhasil melaluinya.

Ujian kedua adalah menghadapi ilusi yang diciptakan oleh asap beracun. Dalam kabut itu, Liang Yi melihat bayangan ayahnya, seolah-olah sedang memarahinya karena gagal melindungi keluarga mereka. Namun, ia tahu bahwa itu hanyalah permainan pikiran. Dengan tekad kuat, ia berhasil mengatasi ketakutannya dan melanjutkan perjalanan.

Ujian terakhir adalah pertempuran dengan seorang prajurit bertopeng. Pertempuran itu sengit, dan meskipun Liang Yi kalah dalam beberapa langkah, ia menunjukkan keberanian yang luar biasa. Ketika prajurit itu akhirnya menjatuhkan pedangnya, ia berkata, “Kau telah membuktikan bahwa kau memiliki hati seorang pejuang. Kau layak untuk bertemu dengan Pengawal Bayangan.”

Bergabung dengan Pengawal Bayangan

Di ruangan terdalam gua, Liang Yi akhirnya bertemu dengan pemimpin Pengawal Bayangan, seorang wanita bernama Zhao Mei. Dengan wajah dingin namun penuh wibawa, Zhao Mei memandangi Liang Yi dari ujung kepala hingga kaki.

“Kau telah melewati ujian kami, tetapi itu baru permulaan,” kata Zhao Mei. “Jika kau ingin bantuan kami, kau harus menjadi salah satu dari kami. Apakah kau siap mengorbankan segalanya demi kebenaran?”

Liang Yi mengangguk tanpa ragu. “Aku siap.”

Zhao Mei tersenyum tipis. “Baiklah. Mulai hari ini, kau adalah salah satu Pengawal Bayangan. Tapi ingat, misi kita bukan hanya melindungi kekaisaran, tetapi juga menjaga keseimbangan kekuasaan. Setiap keputusan yang kau ambil akan membawa konsekuensi besar.”

Liang Yi merasa bebannya semakin berat, tetapi juga merasa bahwa ia telah menemukan tujuan baru. Bersama Pengawal Bayangan, ia kini memiliki sekutu yang dapat membantunya mengungkap kebenaran di balik konspirasi yang mengancam kekaisaran. Namun, ia juga tahu bahwa jalan di depannya akan penuh dengan bahaya yang lebih besar.*

Bab 6: Darah di Aula Kekaisaran

Malam itu, Istana Kekaisaran seolah dirundung hawa mencekam. Langit gelap tanpa bulan, hanya diterangi kilatan petir yang sesekali menyambar. Liang Yi, kini seorang anggota Pengawal Bayangan, merasakan aura tegang yang mengalir di antara dinding-dinding megah istana. Ia tahu bahwa malam ini akan menjadi malam yang menentukan.

Pengawal Bayangan telah mendapatkan informasi tentang rencana Pangeran Wu. Malam ini, aula kekaisaran akan menjadi saksi bisu sebuah pengkhianatan besar. Pangeran Wu, bersama sekutunya di kalangan jenderal militer dan pejabat istana, berencana untuk menggulingkan Kaisar dalam sebuah kudeta yang telah direncanakan matang selama bertahun-tahun.

Liang Yi dan rekan-rekannya dari Pengawal Bayangan telah menyusup ke berbagai sudut istana, menyamar sebagai pelayan dan penjaga. Mereka bersiap untuk mencegah bencana yang bisa menghancurkan seluruh negeri. Namun, Liang Yi tidak bisa menghilangkan perasaan gelisah yang terus menghantuinya.

Malam Kudeta

Di aula kekaisaran, pertemuan rahasia diadakan. Pangeran Wu berdiri di tengah lingkaran para pejabat yang telah bersumpah setia kepadanya. Wajahnya tampak dingin dan penuh determinasi.

“Kaisar terlalu lemah untuk memimpin negeri ini,” kata Pangeran Wu dengan suara yang penuh keyakinan. “Jika kita membiarkannya terus berkuasa, negeri ini akan runtuh. Malam ini, kita akan mengambil alih takhta dan membawa kejayaan baru bagi kekaisaran!”

Para pejabat dan jenderal bersorak setuju. Rencana telah disusun dengan rinci. Pasukan yang loyal kepada Pangeran Wu telah ditempatkan di berbagai titik strategis, siap menyerbu begitu perintah diberikan.

Namun, yang tidak mereka ketahui adalah bahwa Pengawal Bayangan telah mendengar setiap kata yang diucapkan dalam ruangan itu. Liang Yi, yang bersembunyi di balik dinding rahasia bersama Zhao Mei, pemimpin Pengawal Bayangan, menggenggam gagang pedangnya dengan erat.

“Kita harus bertindak sekarang,” bisik Liang Yi.

Zhao Mei mengangguk. “Kita tunggu hingga mereka mengungkapkan semua rencana mereka. Jika kita menyerang terlalu cepat, kita bisa kehilangan bukti dan membuat mereka kabur.”

Pengkhianatan Terungkap

Kaisar, yang telah diberi peringatan oleh Pengawal Bayangan, tiba-tiba muncul di aula bersama pengawal pribadinya. Suasana di ruangan itu langsung berubah. Para pejabat yang sebelumnya mendukung Pangeran Wu tiba-tiba diam, wajah mereka penuh ketakutan.

“Kalian semua mengkhianatiku,” suara Kaisar menggema di aula. “Pangeran Wu, aku telah memperingatkanmu sebelumnya. Keserakahanmu akan menghancurkanmu!”

Pangeran Wu tersenyum dingin. “Ayahanda, aku hanya melakukan apa yang perlu dilakukan demi masa depan kekaisaran. Anda telah memimpin terlalu lama. Waktunya bagi generasi baru untuk mengambil alih.”

Dengan isyarat dari Pangeran Wu, para prajurit yang setia kepadanya mulai menyerang pengawal Kaisar. Kekacauan pun terjadi. Pedang beradu, jeritan memenuhi udara, dan darah mulai mengalir di lantai aula kekaisaran.

Liang Yi, yang telah menunggu saat ini, melompat keluar dari persembunyiannya bersama Pengawal Bayangan lainnya. Dalam hitungan detik, mereka bergabung dalam pertempuran. Liang Yi berhadapan langsung dengan salah satu jenderal yang dikenal kejam, yang mengayunkan pedangnya dengan brutal.

Pertarungan Hidup dan Mati

Pertarungan itu sengit. Liang Yi mengerahkan seluruh kemampuan yang ia pelajari dari Pengawal Bayangan untuk bertahan hidup. Setiap serangan yang ia lancarkan penuh dengan ketepatan dan strategi, tetapi jenderal lawannya tidak kalah tangguh.

“Apa yang membuatmu berpikir kau bisa menghentikan kami?” tanya sang jenderal dengan nada mengejek.

“Aku tidak bertarung untuk menghentikan kalian. Aku bertarung untuk melindungi kebenaran,” jawab Liang Yi sambil melancarkan serangan cepat yang akhirnya melumpuhkan jenderal tersebut.

Di sisi lain aula, Zhao Mei memimpin para Pengawal Bayangan untuk melumpuhkan para pengkhianat. Gerakan mereka seperti bayangan—cepat, diam, dan mematikan. Dalam waktu singkat, mereka berhasil merebut kembali kendali aula.

Puncak Konfrontasi

Pangeran Wu, yang menyadari bahwa rencananya mulai hancur, mencoba melarikan diri melalui lorong rahasia. Namun, Liang Yi berhasil mengejarnya.

“Berhenti, Pangeran Wu! Kau tidak akan pergi ke mana pun!” teriak Liang Yi.

Pangeran Wu berbalik dengan pedang di tangannya. “Kau pikir aku akan menyerah begitu saja? Aku adalah darah dari keluarga kekaisaran! Aku tidak akan tunduk kepada seorang rendahan sepertimu!”

Pertarungan di antara mereka berlangsung sengit. Pangeran Wu menunjukkan keterampilannya yang luar biasa dengan pedang, tetapi Liang Yi memiliki keunggulan dalam ketahanan dan strategi.

Pada akhirnya, Liang Yi berhasil melucuti senjata Pangeran Wu dan menahannya di bawah ancaman pedangnya. “Pengkhianatanmu berakhir di sini,” kata Liang Yi dengan suara tegas.

Akhir yang Pahit

Pangeran Wu ditangkap dan dibawa ke hadapan Kaisar. Namun, bukannya merasa lega, Kaisar tampak sedih. “Wu, kau adalah putraku. Mengapa kau memilih jalan ini?”

Pangeran Wu tidak menjawab, hanya menundukkan kepala.

Malam itu, darah memang membasahi aula kekaisaran, tetapi kekuasaan kembali ke tangan Kaisar. Liang Yi, meskipun merasa puas telah menyelesaikan tugasnya, tidak bisa menghilangkan perasaan hampa.

“Apa yang kita lakukan adalah benar, tetapi mengapa rasanya begitu pahit?” tanya Liang Yi kepada Zhao Mei.

Zhao Mei menatapnya dengan mata penuh kebijaksanaan. “Kebenaran tidak selalu membawa kebahagiaan, tetapi itu adalah jalan yang harus kita tempuh untuk melindungi mereka yang tidak bersalah.”

Liang Yi hanya bisa mengangguk. Ia tahu bahwa perjalanannya belum selesai. Bayangan konspirasi masih menyelimuti kekaisaran, dan ia harus tetap waspada.*

Bab 7: Kebenaran yang Terungkap

Cahaya pagi menyelinap melalui jendela-jendela tinggi istana, menerangi aula yang masih menyisakan jejak pertumpahan darah semalam. Liang Yi berdiri di ambang pintu, memandang lantai yang kini dipenuhi noda merah gelap. Meskipun kemenangan diraih, suasana hati di istana jauh dari damai. Kekalahan Pangeran Wu hanya menjadi awal dari pengungkapan misteri yang jauh lebih kelam.

Sidang Kekaisaran

Kaisar memerintahkan diadakannya sidang darurat. Semua pejabat tinggi dan anggota keluarga kerajaan dihadirkan. Di tengah aula, Pangeran Wu duduk di atas lututnya, kedua tangan terikat, wajahnya penuh luka dan kebencian. Zhao Mei berdiri di dekatnya, memastikan bahwa tidak ada ancaman baru yang muncul.

“Aku ingin tahu,” Kaisar memulai, suaranya berat namun penuh otoritas, “siapa saja yang terlibat dalam pengkhianatan ini. Malam tadi adalah sebuah pengkhianatan tidak hanya kepada aku, tetapi juga kepada seluruh rakyat negeri ini.”

Semua yang hadir menundukkan kepala. Tidak ada yang berani menatap Kaisar secara langsung. Namun Liang Yi, yang berdiri di belakang barisan Pengawal Bayangan, memperhatikan sesuatu yang tidak biasa. Beberapa pejabat tampak gelisah, tangan mereka berkeringat, dan napas mereka tidak teratur.

“Katakan, Wu,” Kaisar melanjutkan, “siapa dalang sebenarnya di balik semua ini? Siapa yang berani memanfaatkan darah keluarga kekaisaran untuk ambisi pribadi?”

Pangeran Wu mendongak, menatap Kaisar dengan tajam. “Dalang? Anda masih tidak mengerti, Ayahanda? Ini semua bukan hanya tentang saya. Sistem yang Anda bangun penuh korupsi dan kebohongan. Banyak yang bersedia mendukung saya karena mereka tahu Anda tidak lagi layak memimpin.”

Kata-kata itu membuat ruangan hening. Liang Yi merasakan ketegangan yang semakin memuncak. Namun sebelum Kaisar sempat membalas, salah satu pejabat tinggi, Menteri Keuangan, tiba-tiba berbicara.

“Yang Mulia,” kata Menteri Keuangan dengan nada gugup, “Pangeran Wu hanya berusaha membenarkan tindakannya. Tidak ada dalang lain. Dia bertindak sendiri.”

Namun, Liang Yi memperhatikan sesuatu yang janggal. Menteri itu berbicara dengan terbata-bata, dan matanya terus mencari jalan keluar. Liang Yi memutuskan untuk bertindak.

Penyelidikan Rahasia

Setelah sidang selesai, Liang Yi mendekati Zhao Mei. “Pemimpin, ada yang tidak beres. Menteri Keuangan tampak terlalu gugup. Dia seperti menyembunyikan sesuatu.”

Zhao Mei mengangguk. “Aku juga merasakannya. Kita harus menyelidiki ini lebih lanjut. Temui mata-mata kita di bagian administrasi istana. Cari tahu apakah ada dokumen atau transaksi mencurigakan yang melibatkan dia.”

Liang Yi segera bergerak. Dalam penyamarannya sebagai pelayan, ia masuk ke kantor Menteri Keuangan di bagian belakang istana. Di sana, ia menemukan dokumen-dokumen yang mencurigakan—catatan keuangan yang menunjukkan aliran dana besar menuju markas tentara bayaran yang digunakan Pangeran Wu.

Namun, sebelum ia sempat membawa dokumen itu keluar, seorang pria bertopeng muncul dari balik tirai. “Kau tidak seharusnya ada di sini,” kata pria itu sebelum menyerang Liang Yi dengan belati.

Pertarungan pun terjadi. Liang Yi menggunakan seluruh keahliannya untuk melawan pria itu. Setelah duel sengit, Liang Yi berhasil melumpuhkannya. Ketika pria itu pingsan, topengnya terlepas, dan Liang Yi mengenalinya sebagai salah satu asisten pribadi Menteri Keuangan.

Kebenaran yang Terungkap

Liang Yi membawa dokumen dan pria yang tertangkap itu ke Zhao Mei. Bersama Pengawal Bayangan lainnya, mereka menginterogasi pria itu. Awalnya ia menolak berbicara, tetapi setelah didesak, ia akhirnya mengungkapkan kebenaran yang mengejutkan.

“Tuan saya, Menteri Keuangan, adalah salah satu dalang utama di balik kudeta ini,” kata pria itu dengan suara gemetar. “Dia bekerja sama dengan Pangeran Wu, tetapi ambisinya jauh lebih besar. Dia ingin memastikan kekuasaan tetap berada di tangannya, bahkan setelah Pangeran Wu naik takhta.”

Informasi itu membuat Liang Yi dan Zhao Mei terdiam sejenak. Kudeta ini bukan hanya tentang Pangeran Wu—ini adalah konspirasi yang melibatkan pejabat tinggi yang telah lama menyalahgunakan kekuasaan mereka.

Konfrontasi Terakhir

Zhao Mei memutuskan bahwa kebenaran ini harus segera disampaikan kepada Kaisar. Namun, sebelum mereka sempat bertindak, mereka mendengar kabar bahwa Menteri Keuangan telah mencoba melarikan diri dari istana. Liang Yi dan timnya segera mengejarnya.

Di gerbang belakang istana, Liang Yi berhasil menghadang Menteri Keuangan. “Berhenti! Tidak ada tempat bagimu untuk melarikan diri!”

Menteri Keuangan, yang terlihat putus asa, menarik pedangnya. “Kau pikir aku akan menyerah begitu saja? Aku sudah terlalu jauh untuk kembali!”

Pertarungan terjadi. Meskipun Menteri Keuangan adalah pria tua, ia memiliki keterampilan bertarung yang tidak terduga. Namun, Liang Yi tetap unggul. Dengan satu serangan terakhir, ia berhasil melucuti pedang Menteri Keuangan dan menangkapnya.

Akhir yang Pahit

Menteri Keuangan dihadapkan kepada Kaisar bersama dengan bukti yang telah ditemukan. Kaisar, yang awalnya terlihat tegar, akhirnya menunjukkan ekspresi penuh kesedihan. “Aku telah dikhianati oleh orang-orang yang seharusnya menjadi penjaga negeri ini,” katanya dengan suara pelan.

Menteri Keuangan, dengan wajah penuh penyesalan, hanya berkata, “Maafkan saya, Yang Mulia. Ambisi saya telah membutakan saya.”

Kaisar memerintahkan agar semua yang terlibat dalam konspirasi ini dihukum berat. Namun, di balik kemenangan ini, Liang Yi merasa bahwa pertarungan belum selesai.

“Kita telah menghentikan pengkhianatan ini,” kata Zhao Mei kepada Liang Yi, “tetapi bayangan korupsi dan ambisi masih ada. Tugas kita sebagai Pengawal Bayangan adalah memastikan bahwa bayangan itu tidak pernah lagi menguasai istana.”

Liang Yi mengangguk. Ia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang. Kebenaran telah terungkap, tetapi banyak rahasia lain yang mungkin masih tersembunyi di balik dinding istana megah ini.*

Bab 8: Serangan Bayangan Terakhir

Malam di istana kembali mencekam. Udara dingin menusuk hingga ke tulang, membawa kesan muram setelah serangkaian pengkhianatan yang mengguncang kekaisaran. Liang Yi berdiri di balkon atas menara istana, memandang jauh ke arah gerbang utama yang kini dijaga ketat oleh pasukan elit. Namun, di balik kedamaian semu itu, Liang Yi merasa ada sesuatu yang mengintai—bayangan terakhir dari konspirasi yang belum sepenuhnya tersingkap.

Bisikan dalam Gelap

Pagi harinya, Liang Yi menerima pesan rahasia dari seorang informan yang telah lama disusupkan ke lingkaran bawah tanah kota. “Malam ini, serangan terakhir akan dilakukan. Mereka tidak akan berhenti sampai semua yang menghalangi mereka dihancurkan,” tulis pesan itu.

Liang Yi segera melapor kepada Zhao Mei, yang kini memimpin penuh pasukan Pengawal Bayangan setelah serangkaian kejadian sebelumnya. “Pemimpin, mereka merencanakan sesuatu yang besar. Informan kita memastikan akan ada serangan pada istana malam ini,” kata Liang Yi.

Zhao Mei mengangguk, wajahnya tenang meski kabar itu berat. “Kita tidak boleh meremehkan mereka. Ini pasti bukan serangan biasa. Aku yakin mereka telah menyiapkan segalanya untuk memastikan rencana mereka berhasil.”

“Kita harus bersiap,” Liang Yi menambahkan. “Tapi kali ini, kita tidak akan hanya bertahan. Kita akan memancing mereka keluar dari bayangan mereka.”

Persiapan Perang

Di ruang rahasia di bawah istana, para Pengawal Bayangan berkumpul. Zhao Mei berdiri di tengah, memimpin pertemuan terakhir sebelum malam yang menentukan. “Mereka mengira kita lengah. Mereka pikir kita masih sibuk dengan pengkhianatan Pangeran Wu dan Menteri Keuangan. Tapi malam ini, kita akan membuktikan bahwa istana ini bukan tempat untuk para pengkhianat berkeliaran.”

Liang Yi maju membawa peta dan rencana serangan balasan. “Menurut informasi yang kami dapatkan, mereka akan menyusup melalui terowongan bawah tanah yang menghubungkan pelabuhan dengan istana. Kita akan menunggu mereka di pintu keluar terowongan dan menghentikan mereka sebelum mereka mencapai aula utama.”

Para pengawal mengangguk, kesetiaan mereka terpancar di mata mereka. Meskipun mereka tahu bahwa lawan mereka adalah tentara bayaran yang terlatih, tidak ada rasa takut di antara mereka.

Malam yang Gelap

Ketika malam tiba, istana tampak tenang. Lampu-lampu dimatikan, dan hanya obor-obor kecil yang menyala di sepanjang dinding luar. Liang Yi dan beberapa pengawal terbaiknya bersembunyi di dekat pintu keluar terowongan bawah tanah, menunggu dengan senjata terhunus.

Suara langkah kaki mendekat, disusul oleh suara logam yang beradu pelan. Liang Yi memberi isyarat kepada timnya untuk bersiap. Tak lama kemudian, bayangan-bayangan mulai muncul dari kegelapan. Mereka adalah tentara bayaran yang dilengkapi dengan senjata lengkap—busur silang, pedang melengkung, dan tameng ringan.

Liang Yi menahan napas, menunggu hingga para penyusup itu sepenuhnya keluar dari terowongan. Ketika jumlah mereka cukup banyak, ia mengangkat tangannya sebagai tanda. “Sekarang!” serunya.

Para Pengawal Bayangan melompat keluar dari persembunyian mereka, menyerang dengan kecepatan dan presisi yang luar biasa. Terjadi pertarungan sengit. Liang Yi bertarung melawan dua tentara sekaligus, mengandalkan kelincahan dan teknik bertarungnya.

Namun, penyusup itu tidak hanya bergantung pada kekuatan mereka. Salah satu dari mereka mengeluarkan sinyal berupa ledakan kecil, memanggil lebih banyak pasukan yang ternyata sudah menunggu di luar terowongan.

Pengkhianat di Dalam Istana

Sementara itu, di aula utama istana, Kaisar sedang berjaga dengan beberapa penjaga pribadi. Tiba-tiba, seorang pengawal istana, yang seharusnya menjadi pelindung setia, menarik pedangnya dan menyerang salah satu penjaga Kaisar.

“Pengkhianat di dalam istana!” salah satu penjaga berteriak, membuat suasana menjadi kacau.

Pengkhianat itu tidak sendiri. Beberapa pejabat yang masih setia kepada Pangeran Wu dan Menteri Keuangan memanfaatkan kekacauan di terowongan untuk melancarkan serangan dari dalam. Kaisar hampir terpojok, tetapi Zhao Mei muncul tepat waktu bersama pasukan cadangan.

“Kalian pikir bisa menghancurkan kekaisaran ini dari dalam? Kalian akan menyesal!” Zhao Mei berteriak sambil memimpin serangan balasan.

Pertarungan Terakhir

Di terowongan, Liang Yi menghadapi pemimpin tentara bayaran—seorang pria besar dengan bekas luka di wajahnya dan kekuatan yang luar biasa. Mereka bertarung dengan intens, saling menyerang dengan pedang yang beradu memercikkan bunga api.

Liang Yi hampir terdesak ketika pria itu menyerang dengan kekuatan penuh, tetapi ia berhasil memanfaatkan celah kecil dalam pertahanan lawannya. Dengan serangan yang cepat dan presisi, Liang Yi akhirnya menjatuhkan pemimpin itu.

“Serangan ini berakhir di sini,” kata Liang Yi sambil mengarahkan pedangnya ke leher pria itu.

Namun, sebelum pria itu sempat menjawab, suara ledakan besar terdengar dari aula utama. Liang Yi segera berlari menuju istana, meninggalkan Pengawal Bayangan lainnya untuk menyelesaikan sisa pasukan musuh.

Kemenangan yang Pahit

Ketika Liang Yi tiba di aula utama, ia melihat Zhao Mei terluka, tetapi masih berdiri tegar. Para pengkhianat telah berhasil ditaklukkan, dan Kaisar selamat. Namun, harga yang harus dibayar sangat tinggi. Banyak pengawal yang gugur, dan istana kini penuh dengan puing-puing serta darah.

“Kita berhasil, tetapi ini baru awal,” kata Zhao Mei kepada Liang Yi. “Bayangan terakhir telah dikalahkan, tetapi bekas luka ini akan membutuhkan waktu lama untuk sembuh.”

Liang Yi mengangguk. “Kita telah melindungi istana, tetapi tugas kita belum selesai. Kita harus memastikan bahwa tidak ada bayangan lain yang muncul di masa depan.”

Di bawah cahaya bulan yang mulai meredup, Liang Yi dan Zhao Mei berdiri di tengah aula yang hancur. Meskipun kemenangan telah diraih, mereka tahu bahwa perjuangan untuk menjaga kedamaian istana dan kekaisaran tidak akan pernah benar-benar selesai.

Bab 9: Cahaya di Balik Bayang-Bayang

Fajar merekah di ufuk timur, memancarkan cahaya lembut yang seakan menghapus jejak gelap dari pertempuran yang baru saja usai. Di halaman utama istana kekaisaran, Liang Yi berdiri dengan napas yang masih tersengal, memandang langit yang perlahan berubah warna dari kelam menjadi keemasan. Udara pagi yang sejuk membawa aroma tanah basah dan darah yang masih melekat di tanah. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa ada harapan yang nyata, meski kecil, di tengah kehancuran ini.

Kilasan Kemenangan dan Kehilangan
Suasana di dalam istana masih kacau. Para prajurit yang selamat sibuk membantu yang terluka, sementara yang gugur mulai dibaringkan di aula luar untuk diberikan penghormatan terakhir. Liang Yi berjalan perlahan melewati mereka, pandangannya tertuju pada setiap wajah yang lelah namun penuh rasa syukur karena berhasil melewati malam panjang.

Di sudut ruangan, ia melihat Yu Zhi, sang kaisar muda, yang kini duduk di singgasananya dengan tubuh penuh luka. Meski terlihat kelelahan, tatapan Yu Zhi penuh keteguhan. Di sisinya, Master Chen berdiri dengan pedang yang masih berlumuran darah. Wajah tua itu penuh dengan ekspresi lega, meskipun matanya memancarkan kesedihan mendalam atas apa yang telah terjadi.

“Kita berhasil, tapi dengan harga yang mahal,” gumam Master Chen ketika Liang Yi mendekat.

Liang Yi mengangguk, merasakan beratnya kemenangan ini. Banyak yang telah dikorbankan, termasuk orang-orang yang ia sayangi. Tapi di tengah kehilangan itu, ada sesuatu yang ia sadari: perjuangannya belum selesai.

Percakapan di Tengah Kekacauan
Yu Zhi memanggil Liang Yi untuk mendekat. Kaisar muda itu menatapnya dengan sorot mata yang bercampur antara rasa syukur dan rasa bersalah.

“Liang Yi,” kata Yu Zhi dengan suara serak, “tanpa keberanianmu, kita semua mungkin sudah binasa. Aku berhutang nyawa padamu, dan istana ini berhutang keadilan.”

Liang Yi menundukkan kepala, merasa berat menerima pujian tersebut. “Yang Mulia, aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan. Ayahku mengajarkan bahwa kehormatan lebih besar daripada nyawa, dan aku hanya mengikuti jejaknya.”

Yu Zhi menghela napas, pandangannya terarah pada aula yang porak-poranda. “Aku tak pernah mengira bahwa istana, tempat seharusnya keadilan ditegakkan, justru menjadi sarang pengkhianatan. Tapi kini, setelah semua ini, aku ingin memastikan bahwa kita membangun kembali tidak hanya istana ini, tapi juga kepercayaan rakyat.”

Master Chen menyela, “Itu bukan tugas yang mudah, Yang Mulia. Pengkhianatan yang telah mengakar selama bertahun-tahun tidak akan hilang begitu saja. Tapi selama ada orang seperti Liang Yi, aku percaya perubahan itu mungkin.”

Kebenaran yang Ditemukan
Sebelum malam pertempuran, Liang Yi berhasil mengungkap dokumen-dokumen rahasia yang menunjukkan skala konspirasi yang sebenarnya. Pengkhianatan tidak hanya berasal dari orang dalam istana, tetapi juga menyebar ke para pejabat tinggi di berbagai provinsi. Itu adalah jaringan besar yang telah lama memanfaatkan kelemahan sistem kekaisaran.

“Kita harus bertindak cepat,” ujar Liang Yi, menyerahkan dokumen itu pada Yu Zhi. “Jika orang-orang ini dibiarkan, perjuangan kita malam tadi akan sia-sia.”

Yu Zhi menerima dokumen itu dengan wajah tegang. Ia memahami bahwa tugas yang menantinya jauh lebih besar daripada yang ia bayangkan. Tapi di matanya, Liang Yi melihat tekad yang sama seperti milik ayahnya dahulu.

“Liang Yi,” kata Yu Zhi, “aku ingin kau tetap di sisiku sebagai pengawal kepercayaanku. Tapi lebih dari itu, aku ingin kau menjadi bagian dari rencana besar ini. Kita akan membangun kembali kekaisaran ini dengan dasar yang lebih kuat.”

Liang Yi terkejut mendengar permintaan itu. Ia tidak pernah membayangkan dirinya, seorang pemuda desa, akan diminta untuk menjadi bagian dari perubahan besar dalam sejarah. Tapi ia tahu bahwa ini adalah jalan yang harus ia tempuh.

“Aku bersumpah untuk mendukung Yang Mulia, dengan seluruh jiwa dan ragaku,” jawabnya dengan tegas.

Harapan Baru di Tengah Kehancuran
Hari semakin siang, dan istana mulai hidup kembali dengan aktivitas para pelayan dan prajurit yang bekerja keras memulihkan keadaan. Liang Yi berdiri di salah satu balkon, memandang ke arah kota yang perlahan bangkit dari keterpurukan.

Ia memikirkan semua yang telah terjadi: kehilangan ayahnya, perjalanan penuh bahaya, pengkhianatan yang terungkap, dan pertempuran yang hampir merenggut nyawanya. Tapi dari semua itu, ia menemukan tujuan yang lebih besar dari dirinya sendiri.

“Dari bayangan, aku menemukan cahaya,” gumamnya pada dirinya sendiri.

Master Chen mendekat dan menepuk bahunya. “Kau telah melalui banyak hal, anak muda. Tapi perjalananmu baru saja dimulai.”

Liang Yi tersenyum kecil. “Aku siap, Master. Apa pun yang akan datang, aku akan menghadapinya.”

Matahari kini bersinar terang di atas istana, seolah memberkati awal yang baru bagi mereka semua. Liang Yi tahu bahwa jalannya masih panjang, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa yakin bahwa ia melangkah di jalur yang benar. Dengan tekad yang menyala, ia bersiap untuk menghadapi masa depan, membawa harapan bagi kekaisaran dan rakyatnya.***

———-THE END———

 

Source: Jasmine Malika
Tags: SejarahCina #Pengkhianatan #IntrikIstana #Pemberontakan #KaisarQin #Kekaisaran #DramaPolitik #PerangDanPolitik #DarahDanKekuasaan #Panglima #Sejarah #NovelSejarah
Previous Post

LANGKAH TERSISA

Next Post

BAYANG DALAM PERANG

Next Post
BAYANG DALAM PERANG

BAYANG DALAM PERANG

JEJAK KEHIDUPAN DI TANAH YANG TERLUKA

JEJAK KEHIDUPAN DI TANAH YANG TERLUKA

BAYANGAN TANAH AIR

BAYANGAN TANAH AIR

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In