Prolog:
Di sebuah desa kecil yang sunyi, ada sebuah warung kopi sederhana milik Pak Ujang. Tak ada yang istimewa dari warung itu—kursi kayu usang, meja seadanya, dan secangkir kopi hangat. Namun, entah mengapa, warung ini selalu ramai oleh tawa dan cerita warga. Ketika desas-desus tentang kursi berhantu, kopi dengan rasa ajaib, hingga teori konspirasi alien mulai bermunculan, warung kopi ini berubah menjadi pusat kehebohan desa. Namun, apa yang sebenarnya membuat warung ini begitu istimewa? Apakah benar ada rahasia di balik setiap cangkir kopi Pak Ujang?*
Bab 1: Kopi Tawa Pak Ujang
Pagi itu seperti biasa, warung kopi Pak Ujang mulai dipadati pelanggan setianya. Warung kecil berdinding bambu ini memang tidak pernah sepi, meskipun lokasinya tersembunyi di pojokan desa. Bukan karena rasa kopinya yang istimewa, tetapi harga murah dan suasana hangat yang membuat siapa saja betah duduk berlama-lama.
“Pagi, Pak Ujang!” teriak Mang Asep, pelanggan yang selalu datang pertama. “Hari ini ada diskon, nggak?”
Pak Ujang, seorang pria paruh baya dengan kumis tebal dan perut buncit, hanya terkekeh sambil menuang kopi ke dalam cangkir. “Diskon? Lain kali aja, kalau kopinya tiba-tiba bisa nyembuhin patah hati!” jawabnya, diikuti tawa semua orang di warung.
Pagi itu tampak biasa saja sampai seorang pria asing datang dengan membawa sebuah tas besar. Pria itu memakai jaket kulit hitam dan topi lebar yang menutupi sebagian wajahnya. Semua pelanggan langsung diam, menatap orang asing itu dengan penasaran.
“Permisi,” kata pria itu dengan suara berat. “Apakah ini warung kopi milik Pak Ujang?”
Pak Ujang menyipitkan matanya, mencoba mengenali pria itu. “Betul, saya Pak Ujang. Mau pesan kopi atau cuma lewat?”
Pria itu tersenyum misterius sambil membuka tasnya. “Saya tidak pesan kopi, Pak. Saya mau menawarkan sesuatu. Ini biji kopi spesial yang tidak bisa ditemukan di tempat lain. Dijamin, kopi ini akan membuat warung Bapak semakin ramai.”
Pak Ujang mengangkat alis. “Biji kopi? Memangnya apa istimewanya?”
Pria itu mendekatkan tasnya dan menunjukkan sekantong kecil biji kopi berwarna cokelat gelap yang mengeluarkan aroma kuat. “Kopi ini tidak hanya lezat, tapi juga membawa kebahagiaan. Orang yang meminumnya akan merasa lebih ringan, lebih bahagia, dan penuh tawa.”
Pelanggan di warung mulai berbisik-bisik. “Wah, kopi ajaib, tuh!” bisik Mang Udin kepada Mang Asep. “Mungkin ini kopi dari luar negeri!”
Pak Ujang skeptis, tapi rasa penasarannya lebih besar. “Berapa harganya?”
Pria itu menyebutkan angka yang membuat mata Pak Ujang hampir melompat keluar. “Hah? Segini mahal? Kalau saya beli kopi segini, uang buat bayar listrik bulan ini dari mana?”
Pria itu tersenyum kecil. “Percayalah, Pak. Ini investasi. Kalau kopi ini berhasil, pelanggan Bapak akan datang berbondong-bondong.”
Setelah menimbang-nimbang cukup lama dan bujukan dari para pelanggan, Pak Ujang akhirnya menyerah. “Baiklah, saya beli. Tapi kalau kopinya nggak enak, saya kejar kamu sampai ke ujung dunia!”
Pria itu tertawa kecil, menyerahkan biji kopi tersebut, lalu pergi begitu saja, meninggalkan Pak Ujang yang mulai menggiling biji kopi dengan hati-hati.
Setelah beberapa menit, kopi dari biji misterius itu akhirnya selesai diseduh. Aroma harum segera memenuhi warung, membuat semua orang yang ada di sana menelan ludah.
“Siapa yang mau coba duluan?” tanya Pak Ujang sambil mengangkat cangkir berisi kopi hitam pekat itu.
Mang Asep langsung mengangkat tangan. “Saya, Pak! Saya sudah biasa nyobain kopi aneh-aneh.”
Semua mata tertuju pada Mang Asep saat dia menyesap kopi tersebut. Awalnya, ekspresi wajahnya biasa saja. Tapi, beberapa detik kemudian, dia mulai tertawa pelan. Tawa itu semakin keras hingga membuat semua orang di warung ikut tertawa meskipun mereka tidak tahu apa yang lucu.
“Aduh, kenapa ini, ya? Kok saya nggak bisa berhenti ketawa!” kata Mang Asep sambil memegang perutnya.
Mang Udin mencoba mencicipi kopi itu juga. Dan hal yang sama terjadi. Dia tertawa terbahak-bahak hingga jatuh dari kursi. “Pak Ujang! Kopi ini ajaib! Saya nggak tahu kenapa, tapi saya jadi kepingin ketawa terus!”
Satu per satu pelanggan mencoba kopi tersebut, dan semuanya mengalami hal yang sama. Warung kopi itu berubah menjadi lautan tawa. Bahkan Pak Ujang, yang biasanya sulit tertawa, tidak bisa menahan diri.
Namun, efek kopi itu ternyata tidak berhenti di warung saja. Tawa para pelanggan menular ke orang-orang yang lewat di depan warung. Bahkan warga desa yang tidak minum kopi mulai tertawa tanpa alasan.
“Pak Ujang, apa yang terjadi di sini?” tanya Bu Ratna, tetangga sebelah warung, yang terlihat bingung tetapi ikut tertawa kecil.
“Saya juga nggak tahu, Bu,” jawab Pak Ujang sambil mengelap keringat di dahinya. “Ini semua gara-gara kopi ajaib itu.”
“Ajaib atau masalah, Pak?” Bu Ratna menunjuk ke arah jalanan. Seorang pengendara sepeda motor yang tertular efek tawa kehilangan keseimbangan dan hampir menabrak tiang listrik.
Pak Ujang mulai panik. “Astaga, ini sudah keterlaluan! Jangan-jangan efek kopi ini ada yang nggak beres.”
Tapi, alih-alih berhenti menyeduh, pelanggan justru meminta lebih banyak kopi. “Pak Ujang, tambah lagi kopinya! Saya mau bawa pulang buat istri saya,” teriak Mang Udin sambil menahan tawa.
Pak Ujang menggeleng-geleng. “Kalau begini terus, bisa-bisa desa kita jadi desa tertawa!”
Malam harinya, efek kopi mulai hilang, tapi pelanggan yang meminumnya mengeluh sakit kepala.
“Pak Ujang, kepala saya pusing. Apa ini efek samping kopinya?” tanya Mang Asep sambil memijat pelipisnya.
Pak Ujang menggaruk kepalanya. “Mungkin. Saya nggak tahu pasti. Tapi, kan, kalian yang maksa minta tambah tadi!”
Desa menjadi heboh. Beberapa warga mengeluhkan efek kopi tersebut, sementara yang lain justru ingin mencobanya lagi. Keesokan harinya, Pak Ujang mendapati warungnya sudah dipenuhi antrean panjang.
“Apa-apaan ini? Baru buka, kok sudah penuh?” gumam Pak Ujang.
“Pak Ujang, saya dengar kopinya bisa bikin ketawa. Saya mau coba!” kata seorang warga dari desa sebelah.
Pak Ujang mulai pusing. Di satu sisi, dia senang karena warungnya jadi terkenal. Tapi di sisi lain, dia takut kalau efek kopi itu benar-benar berbahaya.
Puncaknya adalah ketika seorang pejabat desa datang untuk menyelidiki. “Pak Ujang, saya dengar kopi Bapak bikin masalah di desa ini. Apa benar?”
Pak Ujang tersenyum kaku. “Eh, nggak juga, Pak. Kopinya cuma bikin orang bahagia, kok.”
“Tapi kenapa ada laporan warga yang pingsan karena ketawa terlalu lama?” tanya pejabat itu dengan nada serius.
Pak Ujang langsung berkeringat dingin. Dia tahu, kalau tidak segera menghentikan penjualan kopi ajaib itu, masalah bisa semakin besar.
Malam itu, Pak Ujang duduk merenung di depan warungnya. Dia melihat biji kopi ajaib itu yang tersisa sedikit di dalam toples. “Apa aku harus berhenti jualan kopi ini? Tapi, pelanggan jadi ramai gara-gara kopi ini.”
Sambil berpikir, Pak Ujang tiba-tiba mendengar suara ketukan di pintu. Saat dibuka, pria asing yang menjual biji kopi itu muncul lagi.
“Pak Ujang, bagaimana kopi saya? Apakah sesuai harapan?”
Pak Ujang berdiri dengan wajah kesal. “Kopi kamu bikin desa saya heboh! Orang-orang ketawa nggak karuan, lalu pusing. Apa yang sebenarnya kamu jual ke saya?”
Pria itu hanya tersenyum kecil. “Kopi itu memang istimewa, Pak. Tapi harus diminum dengan dosis yang tepat. Kalau terlalu banyak, efeknya bisa berlebihan.”
Pak Ujang hanya bisa menghela napas panjang. Dia akhirnya memutuskan untuk menyimpan sisa kopi itu dan tidak menjualnya lagi.
Namun, dalam hati kecilnya, dia tahu ini bukan akhir dari cerita. Kopi ajaib itu mungkin akan menjadi kartu as-nya suatu hari nanti, ketika warungnya benar-benar sepi pelanggan.*
Bab 2: Kompetisi Pelanggan Terloyal
Setelah insiden kopi tawa yang menghebohkan desa, warung kopi Pak Ujang kembali ramai. Namun, kali ini bukan karena kopinya ajaib, melainkan karena orang-orang penasaran dengan kejadian aneh yang kerap terjadi di warung itu. Pak Ujang memutuskan untuk menghentikan sementara penjualan kopi ajaibnya demi menghindari keributan lebih lanjut.
Namun, tanpa kopi ajaib, suasana warung perlahan mulai kehilangan daya tariknya. Para pelanggan setia Pak Ujang mulai lebih sering duduk diam sambil memandangi cangkir kopi mereka. Tidak ada lagi gelak tawa spontan, tidak ada lagi obrolan seru. Pak Ujang merasa bahwa warungnya kehilangan “nyawa”.
Sambil duduk di belakang meja, Pak Ujang mengamati warungnya dengan cemas. Ia mendengar bisik-bisik para pelanggan yang mulai membandingkan warungnya dengan warung kopi modern yang baru buka di desa sebelah.
“Coba kalau warung ini ada WiFi,” kata Mang Udin sambil menyeruput kopinya.
“Iya, atau minimal kursinya diganti, biar empuk,” tambah Mang Asep.
Pak Ujang mendengus. “Huh, bukannya kursi ini yang bikin kalian betah nongkrong? Kursi murah tapi tahan banting!” gumamnya dalam hati.
Setelah berpikir keras, Pak Ujang tiba-tiba mendapatkan ide brilian. Ia berdiri sambil berdeham keras untuk menarik perhatian. “Dengar semua, ya! Mulai besok, saya akan mengadakan kompetisi untuk menentukan siapa pelanggan paling setia di warung ini!”
Semua pelanggan langsung menoleh. “Kompetisi apa, Pak?” tanya Mang Asep penasaran.
Pak Ujang mengangkat dagunya dengan percaya diri. “Kompetisinya sederhana. Saya akan adakan beberapa tantangan, dan siapa yang menang akan mendapat gelar ‘Pelanggan Terloyal Warung Kopi Pak Ujang’. Bukan cuma gelar, tapi juga hadiah spesial dari saya!”
“Hadiah apa, Pak?” tanya Mang Udin.
Pak Ujang menggaruk kepalanya. “Ehm… rahasia. Pokoknya spesial.” Padahal, dia sendiri belum memikirkan hadiahnya.
Antusiasme mulai tumbuh di antara para pelanggan. Mereka saling menantang untuk ikut serta dalam kompetisi itu. Mang Asep bahkan sudah yakin dirinya akan menang.
“Kalau ngomongin loyalitas, siapa yang lebih setia dari saya? Saya ini pelanggan pertama yang datang tiap pagi!” katanya sambil menepuk dada.
Mang Udin tidak mau kalah. “Hei, jangan lupa siapa yang membantu Pak Ujang mengecat warung ini waktu pertama kali buka! Itu saya!”
“Dasar tua bangka,” balas Mang Asep. “Saya yang lebih sering nongkrong di sini!”
Pak Ujang tersenyum puas melihat semangat mereka. Dalam hati, ia berpikir, Yah, kalau suasana ramai begini, warungku pasti kembali hidup.
Keesokan harinya, kompetisi resmi dimulai. Pak Ujang memasang tulisan besar di depan warung:
“Kompetisi Pelanggan Terloyal! Tunjukkan kemampuanmu untuk memenangkan hadiah spesial!”
Pagi itu, lebih banyak orang datang dari biasanya. Bahkan pelanggan baru dari desa sebelah ikut mendaftar.
“Baik, semuanya,” kata Pak Ujang setelah semua peserta berkumpul. “Tantangan pertama adalah… lomba ngopi tercepat!”
Terdengar sorak-sorai dari para peserta. Pak Ujang membawa nampan berisi cangkir-cangkir kopi panas. Aturannya sederhana: siapa yang paling cepat menghabiskan kopinya tanpa tumpah, dia yang menang.
“Ayo, mulai!” seru Pak Ujang.
Para peserta segera meneguk kopi mereka. Suasana mendadak kacau. Mang Udin memuntahkan kopinya karena terlalu panas. Mang Asep tersedak dan batuk-batuk. Beberapa peserta bahkan saling senggol cangkir satu sama lain, membuat kopi tumpah ke meja.
“Wah, wah! Gimana sih kalian? Ini lomba ngopi tercepat, bukan lomba bikin warung saya berantakan!” teriak Pak Ujang.
Akhirnya, seorang pelanggan baru bernama Darto berhasil menghabiskan kopinya duluan. Dia berdiri sambil mengangkat cangkir kosongnya dengan bangga.
“Pemenang pertama: Darto!” seru Pak Ujang.
Setelah tantangan pertama selesai, Pak Ujang melanjutkan ke tantangan berikutnya. “Baik, untuk tantangan kedua, kalian harus bikin pantun tentang kopi! Yang paling lucu akan menang!”
Suasana semakin semarak. Para peserta mulai bergantian maju untuk membacakan pantun mereka.
Mang Asep maju pertama. “Duduk di warung sambil ngopi, ketawa-ketawa lupa diri. Kalau kopi Pak Ujang ini, bikin kita happy sekali!”
Sorak-sorai terdengar dari penonton. Mang Udin langsung menyahut. “Lho, itu pantun biasa, nggak lucu!”
“Kalau gitu, ayo bikin yang lebih lucu!” balas Mang Asep.
Mang Udin maju dengan percaya diri. “Minum kopi janganlah tumpah, apalagi tumpah di meja orang. Kalau Pak Ujang nggak ngutang, pasti warung ini jadi gemilang!”
Penonton tertawa terbahak-bahak, termasuk Pak Ujang sendiri. “Hahaha! Dasar Udin, suka cari gara-gara!”
Setelah semua peserta tampil, pemenang kedua diumumkan. Kali ini, Mang Udin yang menang karena pantunnya paling menghibur.
Tantangan terakhir adalah yang paling absurd, meminum kopi pahit tanpa ekspresi. Pak Ujang menuangkan kopi pahit yang sangat kental ke dalam cangkir kecil.
“Siapa yang bisa minum kopi ini tanpa menunjukkan ekspresi apa pun, dia yang menang!” katanya.
Para peserta mulai antre untuk mencoba. Mang Asep maju duluan. Dia meneguk kopi itu dengan wajah datar, tapi setelah beberapa detik, dia langsung meringis. “Aduh, pahit banget, Pak! Ini kopi atau racun?”
Penonton tertawa. Giliran Mang Udin maju. Dia mencoba menahan ekspresi, tapi matanya berair karena rasa pahitnya.
“Pfftt… nggak bisa, Pak!” katanya sambil memuntahkan kopinya.
Beberapa peserta lain juga gagal. Tapi yang paling mengejutkan adalah ketika seekor kambing milik tetangga tiba-tiba masuk ke warung dan menjilati cangkir kopi pahit itu. Kambing itu tidak bereaksi sama sekali, tetap berdiri tenang sambil mengunyah daun di mulutnya.
Semua orang terdiam, lalu tertawa terbahak-bahak. “Wah, pemenangnya si kambing, nih!” teriak seseorang.
Pak Ujang mengusap wajahnya dengan lelah. “Aduh, warung kopi ini lama-lama jadi sirkus.”
Di akhir kompetisi, Pak Ujang mengumumkan bahwa pemenangnya adalah… semua peserta!
“Eh, kok semua, Pak?” protes Mang Asep.
Pak Ujang tersenyum lebar. “Karena kalian semua sudah menunjukkan loyalitas luar biasa pada warung saya. Tanpa kalian, warung ini nggak ada apa-apanya.”
Semua peserta bertepuk tangan. Meski kompetisi ini tidak menghasilkan satu pemenang pasti, suasana di warung kembali hidup. Orang-orang kembali tertawa dan bercanda seperti dulu.
Di dalam hati, Pak Ujang merasa lega. “Yah, mungkin begini lebih baik. Warung kopi bukan cuma soal kopi, tapi juga soal kebersamaan.”
Namun, tanpa disadari, kambing yang menjadi pemenang tadi sedang berdiri santai di dekat meja, menjilat cangkir kopi terakhir yang tertinggal.*
Bab 3: Misteri Kursi “Berhantu”
Warung kopi Pak Ujang selalu punya cerita. Setelah kompetisi pelanggan terloyal yang penuh gelak tawa, kini suasana kembali normal. Namun, hari itu, sesuatu yang tak biasa terjadi.
“Pak Ujang, kursi ini kok goyang-goyang terus ya? Kayak nggak stabil,” keluh Mang Asep, yang duduk di sudut warung.
Pak Ujang melirik kursi yang dimaksud. Itu kursi kayu baru yang baru saja ia beli dari pasar loak minggu lalu. Awalnya kursi itu tampak baik-baik saja, tapi entah kenapa sejak kemarin kursi itu mulai aneh. Setiap orang yang duduk di atasnya, pasti jatuh ke lantai.
“Goyang gimana? Mungkin kamu aja yang duduknya nggak tenang,” balas Pak Ujang sambil mengelap meja.
Mang Asep menggeleng. “Saya duduknya biasa, Pak. Tapi kursi ini kayak sengaja mau ngejatuhin saya.”
“Masa sih?” Pak Ujang mendekat untuk memeriksa. Ia menekan-nekan kursi itu. Benar saja, kursi itu langsung oleng dan hampir membuat Pak Ujang sendiri terjungkal.
“Waduh, ini pasti bautnya kendor,” gumam Pak Ujang. Ia membalik kursi itu untuk melihat bagian bawahnya, tapi tidak ada yang aneh. Semua baut terlihat utuh dan kencang.
Namun, kejadian aneh terus berlanjut. Setiap kali ada pelanggan yang duduk di kursi itu, mereka pasti jatuh. Entah bagaimana, kursi itu seperti memiliki “keinginan” sendiri.
Berita tentang kursi misterius itu mulai menyebar ke seluruh desa.
“Kalian dengar? Di warung Pak Ujang ada kursi berhantu!” bisik seorang warga di pasar.
“Iya, katanya setiap orang yang duduk di situ pasti jatuh. Serem banget!” tambah yang lain.
Pak Ujang, yang mendengar gosip itu, hanya bisa mengelus dada. “Hadeuh, dari mana pula datangnya cerita ‘kursi berhantu’? Ini cuma kursi jelek dari pasar loak!” keluhnya.
Namun, bukannya takut, orang-orang justru penasaran. Keesokan harinya, warung Pak Ujang penuh dengan pelanggan yang ingin mencoba kursi tersebut.
“Pak Ujang, mana kursi berhantunya? Saya mau duduk di situ!” kata Mang Udin dengan semangat.
Pak Ujang menghela napas. “Ini kursi bukan berhantu, cuma rusak sedikit. Kalau jatuh, jangan salahin saya, ya!”
“Ah, tenang aja, Pak. Kalau jatuh, saya tanggung sendiri,” balas Mang Udin sambil menepuk dadanya.
Mang Udin duduk di kursi itu dengan percaya diri. Semua orang di warung memandanginya dengan penuh antusias.
“Awas, Din. Jangan terlalu sombong,” sindir Mang Asep.
Baru beberapa detik, kursi itu mulai bergoyang. Mang Udin mencoba menyeimbangkan badannya, tapi tiba-tiba kursi itu miring dan membuatnya jatuh ke lantai dengan suara keras.
“Wah, beneran berhantu, nih!” seru salah satu pelanggan.
Suasana warung langsung riuh. Bukannya takut, para pelanggan justru tertawa terbahak-bahak melihat Mang Udin yang meringis sambil mengusap pantatnya.
Melihat kursi itu menjadi pusat perhatian, Pak Ujang mendapat ide. Daripada kursi itu dibuang, lebih baik dimanfaatkan untuk menarik lebih banyak pelanggan.
“Dengar semua!” seru Pak Ujang. “Mulai sekarang, kursi ini akan saya jadikan atraksi di warung ini. Siapa pun yang berani duduk di kursi ini selama lima menit tanpa jatuh, akan mendapat kopi gratis!”
“Serius, Pak?” tanya seorang pelanggan.
“Tentu saja! Tapi kalau jatuh, ya jangan salahkan kursinya,” jawab Pak Ujang dengan senyum licik.
Semua orang di warung tampak antusias. Tantangan itu menjadi daya tarik baru. Setiap hari, ada saja pelanggan yang datang untuk mencoba duduk di kursi misterius itu.
Hari-hari berikutnya, suasana di warung Pak Ujang semakin ramai. Kursi itu menjadi topik utama pembicaraan di desa. Orang-orang dari desa sebelah bahkan datang hanya untuk mencoba peruntungan mereka.
“Pak Ujang, saya mau coba,” kata seorang pemuda bernama Darto.
“Silakan, Darto. Tapi hati-hati, kursinya tidak pernah kalah,” balas Pak Ujang sambil menyajikan kopi untuk pelanggan lain.
Darto duduk dengan penuh konsentrasi. Ia menahan napas, berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya. Namun, setelah dua menit, kursi itu mulai bergoyang. Darto mencoba bertahan, tapi akhirnya ia terjatuh dengan posisi yang cukup memalukan.
“Ah, kursi ini curang!” seru Darto sambil bangkit.
Pelanggan lain tertawa. “Hahaha! Kursinya memang tidak terkalahkan!”
Meski kursi itu membawa tawa dan pelanggan baru, tidak semua orang senang. Suatu malam, Bu Ratna, tetangga sebelah warung, datang untuk memberi peringatan.
“Pak Ujang, kursi itu jangan dipakai lagi. Saya dengar, kursi dari pasar loak itu berasal dari rumah kosong yang sudah lama ditinggalkan. Mungkin benar ada hantunya,” kata Bu Ratna dengan nada serius.
Pak Ujang hanya tersenyum. “Ah, Bu Ratna, jangan percaya cerita begitu. Kursi ini cuma rusak, bukan berhantu.”
“Tapi, Pak, coba pikir. Kenapa kursi itu selalu membuat orang jatuh? Mungkin ada sesuatu yang tidak terlihat,” desak Bu Ratna.
Pak Ujang mulai ragu. “Hmm… kalau memang begitu, mungkin saya perlu memanggil orang pintar untuk memeriksa.”
Namun, keesokan harinya, semua keraguan Pak Ujang sirna ketika seorang pelanggan berhasil duduk di kursi itu selama lima menit tanpa jatuh. Pelanggan itu adalah seorang nenek tua yang kebetulan datang ke warung untuk membeli kopi.
“Nenek ini kok nggak jatuh?” tanya Mang Asep heran.
Pak Ujang mendekat untuk memeriksa. Ia melihat bahwa nenek itu duduk dengan santai, bahkan tidak bergerak sedikit pun.
“Rahasia saya sederhana,” kata nenek itu sambil tersenyum. “Kalau kursinya goyang, ya jangan lawan. Ikuti saja iramanya.”
Semua orang di warung terdiam. Kata-kata nenek itu membuat mereka merenung. Ternyata kursi itu bukan berhantu, melainkan hanya membutuhkan cara duduk yang benar.
Sejak hari itu, kursi misterius itu tetap menjadi daya tarik di warung kopi Pak Ujang. Orang-orang datang tidak hanya untuk mencoba tantangan, tetapi juga untuk berbagi cerita lucu tentang bagaimana mereka jatuh.
Pak Ujang merasa lega. Meski kursinya sempat dikira berhantu, ternyata itu hanya kesalahpahaman. Dan yang lebih penting, kursi itu berhasil membuat warungnya semakin ramai.
Namun, di suatu malam ketika Pak Ujang hendak menutup warung, ia mendengar suara pelan dari arah kursi itu. Seperti suara tawa kecil.
Pak Ujang hanya tersenyum sambil mengunci pintu. “Ah, mungkin itu cuma angin.”
Atau mungkin tidak.*
Bab 4: Teori Konspirasi Kopi Pak Ujang
Setelah fenomena kursi “berhantu” mereda dan kembali menjadi bahan candaan harian, warung kopi Pak Ujang kembali tenang. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Kabar tentang kopi Pak Ujang yang disebut-sebut memiliki efek aneh mulai merebak.
Berawal dari pembicaraan Mang Udin, yang sejak lomba pelanggan setia merasa bahwa kopinya memberi “energi lebih”. Ia menceritakan pengalamannya kepada warga desa lainnya.
“Kalian tahu nggak? Kemarin, saya minum kopi Pak Ujang pagi-pagi, dan langsung kuat kerja seharian tanpa capek. Biasanya baru setengah hari udah tepar!” cerita Mang Udin sambil duduk di beranda rumahnya, dikelilingi warga.
“Apa mungkin kopinya ada sesuatu?” tanya Mang Asep, yang ikut mendengarkan.
“Entahlah. Tapi aku yakin kopi Pak Ujang itu bukan kopi biasa. Ada rahasianya!” Mang Udin berkata dengan penuh keyakinan.
Pembicaraan itu menyebar cepat. Desa pun heboh. Ada yang percaya, ada pula yang skeptis.
“Jangan-jangan dia pakai ramuan rahasia,” bisik seorang ibu di pasar.
“Ramuan? Jangan-jangan malah pakai jampi-jampi!” sahut yang lain.
Pak Ujang sendiri tak tahu apa-apa soal rumor itu hingga suatu pagi seorang pelanggan baru datang ke warungnya dengan ekspresi serius.
“Pak, saya mau tanya, bener ya kopi di sini ada ‘sesuatu’-nya?” tanya pemuda itu, yang mengenakan kaos dengan tulisan peneliti rasa kopi.
Pak Ujang mendongak sambil memiringkan kepala. “Maksudnya apa, Mas? Kopi saya ya cuma kopi biasa. Nggak ada yang aneh.”
“Tapi banyak yang bilang, Pak, kopi di sini bikin orang jadi semangat, tahan begadang, bahkan ada yang bilang rasanya bikin ketagihan. Itu apa rahasianya?”
Pak Ujang tertawa kecil. “Hahaha, rahasianya ya… bikin dengan hati, Mas.”
Pemuda itu tidak puas dengan jawaban Pak Ujang. “Ah, nggak mungkin. Saya curiga, kopi ini punya bahan tambahan yang nggak biasa. Apa Pak Ujang pakai ramuan dari dukun atau apalah?”
Pak Ujang mendengus. “Mas, saya ini pedagang, bukan dukun. Kalau mau tahu, ya coba aja kopinya. Gratis buat Mas biar yakin.”
Pemuda itu akhirnya duduk dan memesan segelas kopi. Sambil menyeruput, ia mencatat sesuatu di buku kecil. Pandangannya penuh analisis, seperti sedang memecahkan misteri besar.
Namun, setelah dua tegukan, pemuda itu hanya mengernyit. “Hmmm… rasanya sih biasa aja, tapi ada aftertaste yang beda.”
“Aftertaste apa?” tanya Pak Ujang, penasaran.
“Kayak ada rasa… nostalgia? Rasanya kayak saya ingat masa kecil waktu minum kopi bareng ayah saya.”
Pak Ujang tertawa lagi. “Itu artinya kopi saya bikin hati Mas senang. Nggak ada yang aneh-aneh.”
Rumor semakin meluas. Kini, ada teori-teori aneh tentang kopi Pak Ujang yang berkembang di antara warga desa.
Teori pertama datang dari Mang Asep. “Saya yakin, Pak Ujang punya pohon kopi ajaib di belakang warungnya. Kopinya nggak pernah habis, kan?”
“Pohon ajaib? Itu pohon beneran atau pohon mistis?” tanya Mang Udin, setengah bercanda.
“Mungkin mistis. Siapa tahu Pak Ujang malam-malam menyiram pohonnya dengan air dari sumur tua di pinggir desa,” balas Mang Asep, membuat warga yang mendengar langsung bergidik.
Teori kedua lebih absurd. Mang Udin berbisik kepada tetangganya, “Jangan-jangan Pak Ujang ini punya hubungan sama makhluk halus. Kopi itu dikasih energi dari alam gaib. Makanya bikin orang ketagihan.”
Tetangganya terkejut. “Jangan sembarangan, Din. Kalau benar, bahaya dong kita?”
“Nggak usah takut. Selama kita bayar, pasti aman,” ujar Mang Udin, tertawa santai.
Namun, teori paling aneh datang dari Darto, pelanggan baru yang penasaran. Ia mendatangi warung Pak Ujang dengan membawa beberapa orang.
“Pak Ujang, kami sudah tahu semuanya. Jangan sembunyi lagi!” seru Darto dengan nada dramatis.
Pak Ujang, yang sedang membersihkan meja, hanya melongo. “Hah? Tahu apa, To? Saya nggak sembunyi apa-apa.”
“Kami tahu kalau kopi ini sebenarnya buatan alien! Pasti alien itu kirim teknologi rahasia buat bikin rasa kopinya beda!”
Warung mendadak hening. Semua pelanggan menoleh ke Darto dengan ekspresi bingung.
“Alien? Kamu sehat, To?” tanya Mang Udin sambil mengerutkan dahi.
“Sehat dong! Lihat aja, kenapa kopi ini rasanya unik banget? Nggak ada kopi lain yang kayak gini. Alien pasti ikut campur,” jawab Darto dengan penuh keyakinan.
Pak Ujang menghela napas panjang. “To, To… kalau saya punya hubungan sama alien, kenapa saya masih buka warung kecil begini? Harusnya saya udah punya kafe mewah di kota besar.”
Jawaban itu membuat semua orang tertawa terbahak-bahak, termasuk Darto sendiri.
Namun, rumor ini bukan hanya membawa tawa, tetapi juga efek samping yang tak terduga. Beberapa hari kemudian, seorang pria berjas rapi datang ke warung Pak Ujang.
“Selamat pagi, Pak. Saya Andi, dari perusahaan kopi besar di kota. Saya dengar, kopi di sini punya ciri khas unik yang belum pernah ditemukan di tempat lain. Kami tertarik untuk bekerja sama.”
Pak Ujang melongo. “Kerja sama gimana, Mas?”
“Kami ingin membeli hak eksklusif untuk merek kopi Bapak. Kopi ini bisa kami pasarkan secara luas. Kalau Bapak setuju, kami bisa mulai produksi besar-besaran.”
Pak Ujang bingung. Ia tak pernah berpikir sejauh itu. Baginya, warung kecilnya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, tawaran itu menggelitik rasa penasaran para pelanggan yang mendengar percakapan mereka.
“Wah, Pak Ujang mau jadi pengusaha besar, nih!” celetuk Mang Asep.
“Nanti kalau sudah kaya, jangan lupakan kami, Pak!” tambah Mang Udin.
Pak Ujang hanya tersenyum kecut. Ia memandang pria itu dengan hati-hati. “Mas Andi, saya ini cuma penjual kopi kecil. Saya nggak punya ambisi besar. Tapi kalau mau coba kopi saya, silakan pesan satu cangkir dulu.”
Andi mencoba kopi itu. Setelah menyeruput, ia terdiam. Lalu tersenyum. “Rasanya memang beda. Saya yakin ini bisa jadi produk unggulan.”
Pak Ujang menggeleng. “Mas, kopi ini memang istimewa. Tapi istimewanya bukan karena bahannya. Yang bikin spesial adalah warung ini, suasananya, dan tawa para pelanggan. Itu nggak bisa dibawa ke kota.”
Andi terlihat kecewa, tapi ia mengangguk paham. “Baiklah, Pak. Kalau Bapak berubah pikiran, hubungi saya, ya.”
Setelah pria itu pergi, suasana warung kembali seperti biasa. Para pelanggan memuji keputusan Pak Ujang.
“Bagus, Pak! Kalau kopi ini dijual ke kota, kita nanti nggak bisa ngerasain lagi,” kata Mang Udin.
Pak Ujang tertawa. “Tenang, Din. Kopi saya cuma untuk kalian, para pelanggan setia.”
Namun, di dalam hati, Pak Ujang mulai merenung. Apa sebenarnya yang membuat kopinya begitu spesial? Apakah benar ada sesuatu yang tak biasa, atau ini semua hanya karena cinta yang ia berikan saat membuatnya?
Sambil mengaduk kopi, ia tersenyum kecil. “Ah, biar saja tetap jadi misteri.”
Namun, malam itu, saat ia hendak menutup warung, ia menemukan sesuatu di dekat gudang kecil belakang warung: sebungkus biji kopi dengan label asing yang tak pernah ia beli.
Pak Ujang memandang bungkusan itu dengan kening berkerut. “Apa ini…?”*
Bab 5: Penutup Misteri dan Rahasia Warung Kopi Pak Ujang
Malam itu, setelah menemukan bungkusan biji kopi misterius di dekat gudang belakang warungnya, Pak Ujang termenung. Label pada bungkusan itu bertuliskan bahasa asing yang tak ia mengerti, dengan gambar sebuah planet kecil di bagian tengahnya.
“Apa ini biji kopi impor? Tapi siapa yang taruh di sini?” gumam Pak Ujang sambil memutar otak.
Ia memutuskan untuk menyimpan bungkusan itu di dapurnya. Meski penasaran, ia tak ingin gegabah memutuskan apa-apa sebelum tahu asal-usulnya.
Keesokan harinya, warung kopi Pak Ujang seperti biasa dipenuhi pelanggan. Tapi kali ini, suasana terasa berbeda. Beberapa pelanggan mulai membahas kejadian aneh di warung itu, seperti kursi berhantu dan rumor soal kopi yang membuat orang “ketagihan.”
“Mungkin memang ada sesuatu yang istimewa di sini,” ujar Mang Asep, yang masih bersikeras dengan teori pohon ajaib di belakang warung.
Mang Udin, dengan teori aliennya, menambahkan, “Pohon ajaib itu bisa jadi cuma kedok. Saya tetap yakin ini ada hubungannya dengan alien. Jangan lupa soal kursi berhantu itu. Pasti ada kaitannya!”
Pak Ujang, yang mendengar teori-teori liar itu sambil menuangkan kopi, hanya bisa menggelengkan kepala.
“Ah, kalian ini suka melebih-lebihkan. Kalau memang ada yang aneh di sini, pasti saya yang tahu duluan, kan?” ujar Pak Ujang.
Namun, dalam hati kecilnya, ia mulai ragu. Apalagi sejak menemukan bungkusan biji kopi misterius itu.
Malamnya, setelah warung tutup, Pak Ujang duduk di dapur, memandangi bungkusan kopi itu. Rasa penasaran akhirnya mengalahkan keraguannya. Ia membuka bungkusan itu perlahan. Aroma kopi yang keluar begitu kuat, bahkan berbeda dari biji kopi biasanya.
“Wah, aromanya beda sekali… tapi dari mana asalnya?” gumam Pak Ujang.
Ia mengambil beberapa biji kopi itu, menyangrainya di wajan, lalu menggilingnya. Setelah itu, ia menyeduh secangkir kopi untuk mencicipinya.
Ketika ia menyeruput kopi itu, sensasi luar biasa menyeruak. Rasanya begitu unik, seperti mencampurkan rasa nostalgia, kebahagiaan, dan kedamaian sekaligus. Pak Ujang tak bisa mendeskripsikannya dengan kata-kata.
“Apa ini yang bikin kopi di warungku jadi terkenal?” gumamnya.
Namun, siapa yang menaruh bungkusan kopi ini di warungnya? Pertanyaan itu terus menghantui pikirannya.
Keesokan harinya, saat warung baru saja buka, Pak Ujang kedatangan tamu tak terduga. Seorang pria tua dengan pakaian sederhana datang membawa tas kecil. Wajahnya ramah, tapi matanya memancarkan kebijaksanaan yang membuat Pak Ujang merasa sedikit gugup.
“Selamat pagi, Pak Ujang,” sapa pria itu.
Pak Ujang mengernyit. “Bapak siapa ya? Kok tahu nama saya?”
Pria itu tersenyum. “Saya hanya seorang penjelajah. Dan saya tahu nama Bapak karena saya pernah mendengar tentang warung kopi ini. Saya juga tahu soal bungkusan kopi yang Bapak temukan.”
Pak Ujang terkejut. “Bapak tahu soal itu? Dari mana?”
Pria itu duduk di salah satu kursi, memesan secangkir kopi, lalu mulai bercerita. “Biji kopi yang Bapak temukan itu berasal dari tempat yang jauh. Sangat jauh, bahkan mungkin tidak bisa dijangkau oleh manusia biasa.”
“Tempat jauh? Maksud Bapak, luar negeri?” tanya Pak Ujang, bingung.
Pria itu tersenyum kecil. “Bisa dibilang begitu. Tapi lebih tepatnya, biji kopi itu berasal dari sebuah perkebunan di tempat yang hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu. Perkebunan itu dirawat oleh penjaga khusus, dan biji kopinya memiliki sifat unik—bukan hanya soal rasa, tapi juga energi yang terkandung di dalamnya.”
Pak Ujang mengerutkan dahi. “Energi? Maksud Bapak, kopi ini punya kekuatan khusus?”
“Bukan kekuatan seperti sihir, tapi lebih seperti… bagaimana ya, energi yang bisa memengaruhi perasaan orang. Itulah kenapa kopi di warung ini sering disebut istimewa. Saya yakin, beberapa biji kopi itu mungkin tercampur dengan stok kopi biasa Bapak, dan itulah yang membuat para pelanggan merasa ada yang berbeda.”
Pak Ujang terdiam, mencoba mencerna penjelasan pria itu.
“Lalu, siapa yang menaruh biji kopi itu di sini?” tanya Pak Ujang akhirnya.
Pria itu menghela napas. “Itu bagian dari sebuah percobaan. Kami ingin tahu bagaimana biji kopi itu berinteraksi dengan manusia biasa. Ternyata, hasilnya luar biasa. Kopi itu tidak hanya membuat orang merasa bahagia, tapi juga menciptakan tawa dan kehangatan di sekitar mereka. Itu sebabnya warung ini jadi begitu spesial.”
Pak Ujang menatap pria itu dengan curiga. “Bapak ini siapa sebenarnya? Dan kenapa Bapak bilang ‘kami’?”
Pria itu tersenyum, lalu bangkit dari tempat duduknya. “Anggap saja saya ini penjaga dari biji kopi itu. Dan tugas saya sudah selesai. Saya hanya ingin memastikan bahwa kopi ini digunakan dengan bijak.”
Sebelum Pak Ujang sempat bertanya lebih lanjut, pria itu pergi begitu saja, meninggalkan secangkir kopi yang belum habis.
Hari-hari berikutnya, Pak Ujang merasa lega. Ia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan misteri biji kopi itu. Yang terpenting baginya adalah menjaga warungnya tetap hangat dan penuh tawa.
Namun, ia juga mengambil pelajaran penting dari kejadian itu. Ia mulai lebih menghargai setiap elemen kecil yang membuat warungnya istimewa—dari kursi-kursi kayu yang sederhana, hingga pelanggan-pelanggan yang setia datang setiap hari.
Suasana warung kembali seperti biasa. Para pelanggan tetap bercanda, tertawa, dan membahas teori-teori lucu mereka. Namun, kali ini, Pak Ujang ikut menikmati setiap momen itu dengan perasaan yang lebih mendalam.
Pada suatu sore, ketika warung sedang ramai, seorang pelanggan bertanya, “Pak Ujang, apa sih rahasia kopi di sini? Kenapa rasanya beda banget?”
Pak Ujang tersenyum bijak. Ia mengambil segelas kopi, menyerahkannya kepada pelanggan itu, dan berkata, “Rahasia kopi ini cuma satu: cinta yang tulus. Kalau bikin kopi dengan hati, rasanya pasti istimewa.”
Semua orang tertawa, tapi mereka tahu, di balik kata-kata sederhana itu, ada sesuatu yang lebih dalam.
Dan itulah yang membuat warung kopi Pak Ujang selalu spesial—bukan hanya kopinya, tapi juga suasana yang diciptakan oleh kehangatan dan kebersamaan.
Misteri mungkin tetap ada, tapi bagi Pak Ujang dan para pelanggannya, warung itu adalah tempat di mana kebahagiaan selalu ada di setiap tegukan kopi.
Epilog: Di Balik Kopi, Cerita yang Tak Usang Tentang Pak Ujang
Hari demi hari berlalu, dan warung kopi Pak Ujang tetap ramai, meskipun dunia terus berubah. Setiap pagi, dengan penuh semangat, Pak Ujang membuka warungnya, menyiapkan kopi dengan segala kebijaksanaan dan humor yang tak pernah usang. Bagi warga kampung, warung kopi Pak Ujang bukan hanya tempat untuk menyeruput secangkir kopi hangat, tetapi juga tempat di mana mereka bisa melupakan sejenak masalah hidup dan menikmati tawa yang tak ternilai.
Terkadang, di antara deretan kursi kayu tua itu, ada cerita yang lebih besar dari sekadar kopi. Ada perasaan saling mengerti, ada kebersamaan yang tumbuh meski tanpa kata-kata yang rumit. Seperti kopi, segala sesuatunya datang dengan cara yang sederhana namun penuh makna. Dan Pak Ujang, dengan semua kelucuan dan kebijaksanaannya, adalah bagian tak terpisahkan dari itu.
Beberapa tahun setelah pertemuan pertama dengan pemuda yang bingung tadi, Pak Ujang masih tetap seperti dulu. Wajahnya yang semakin keriput tidak mengurangi semangatnya untuk membuat kopi dan berbagi cerita. Meski kini banyak warung kopi baru bermunculan di sekitar kampung, Pak Ujang tetap mempertahankan ciri khasnya—kopi yang tak hanya membuat segar badan, tetapi juga menyegarkan jiwa.
Dan meskipun dia sering melontarkan kata-kata yang membuat banyak orang tertawa terbahak-bahak, ada satu hal yang tak pernah berubah: cara Pak Ujang memperlakukan setiap orang yang datang. Tidak peduli siapa mereka, Pak Ujang selalu memastikan bahwa mereka merasa diterima, dihargai, dan lebih baik setelah pergi. Bukan karena kopi, tetapi karena energi positif yang ia bagi setiap hari.
Suatu pagi, seorang anak muda yang dulu datang dengan wajah bingung—si pemuda yang membutuhkan kopi untuk mikir jernih—kembali. Kali ini, ia tidak lagi terlihat cemas. Matanya penuh dengan keyakinan dan senyuman lebar di wajahnya.
“Pak Ujang, kopi satu ya, seperti dulu!” kata pemuda itu sambil duduk di kursi kayu yang sudah akrab baginya.
Pak Ujang tersenyum, melihat perubahan pada wajah pemuda itu. “Ah, ada apa, Nak? Muka kamu kok cerah banget? Ada yang baru, ya?”
Pemuda itu tertawa. “Iya, Pak. Saya akhirnya lulus kuliah! Dan tahu nggak? Saya mulai buka warung kopi sendiri. Tapi kopi saya tetap kalah sama Pak Ujang. Nggak ada yang bisa ngalahin rasa dan cerita yang ada di sini.”
Pak Ujang tertawa, tidak kaget. “Sudah kubilang, kan, hidup itu kadang perlu cerita dan tawa. Kalau cuma kopi doang, rasanya kurang lengkap.”
Pemuda itu mengangguk sambil menyeruput kopi yang Pak Ujang buat. “Betul, Pak. Kopi ini bukan hanya tentang rasa, tapi tentang kenangan dan cerita yang menyertainya. Dan saya belajar banyak dari Pak Ujang.”
Pak Ujang hanya tertawa kecil. “Itulah, Nak. Jadi, jangan cuma cari kopi yang enak, tapi carilah cerita yang bikin hidup lebih hidup.”
Pemuda itu menatap Pak Ujang dengan rasa hormat. “Saya akan ingat itu, Pak. Cerita Pak Ujang selalu mengajarkan saya bahwa hidup ini harus dijalani dengan hati yang terbuka, dan dengan senyuman. Terima kasih, Pak.”
Pak Ujang tersenyum lebar, matanya berkilat penuh kebahagiaan. “Jangan lupa, Nak, kalau kamu nanti udah sukses, jangan sombong. Sering-seringlah mampir ke warung kopi saya. Karena di sini, kita semua belajar hidup, dan hidup itu nggak pernah usang.”
Dan seperti itu, warung kopi Pak Ujang tetap menjadi tempat yang penuh dengan cerita dan tawa. Bagi Pak Ujang, kopi memang tidak akan pernah usang, dan begitulah hidup—selalu penuh kejutan, pelajaran, dan tentu saja, tawa yang tak pernah habis.
Ketika pintu warungnya tutup setiap malam, Pak Ujang selalu tersenyum puas. Walaupun kadang-kadang terasa lelah, dia tahu bahwa di balik setiap cangkir kopi yang diseduh, ada kenangan yang tetap hidup. Cerita tentang kehidupan, tentang tawa, dan tentang kebersamaan yang tak pernah pudar. Itulah warung kopi Pak Ujang. Dan di balik setiap kopi yang disajikan, ada kisah yang tak pernah usang—seperti hidup itu sendiri.
Begitu lah kehidupan Pak Ujang. Seperti kopi yang selalu menyegarkan, cerita-cerita yang dia bagi akan selalu dikenang.***
——-THE END—–