• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
MENYULAM WAKTU

MENYULAM WAKTU

February 4, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
MENYULAM WAKTU

MENYULAM WAKTU

by SAME KADE
February 4, 2025
in Romansa
Reading Time: 22 mins read

Bab 1: Pertemuan yang Tak Terduga

Pagi itu, hujan turun dengan pelan, membasahi jalan-jalan yang sibuk dengan langkah kaki para pejalan kaki yang terburu-buru. Suasana kota terasa lebih tenang dari biasanya. Di balik kaca jendela sebuah kafe kecil yang terletak di pojok jalan utama, Raisa menatap keluar, menikmati secangkir kopi hangat yang baru saja ia pesan. Seperti biasa, kafe ini menjadi tempat pelarian baginya, jauh dari hiruk-pikuk pekerjaan yang menumpuk.

Sebagai editor di salah satu penerbitan terbesar di kota, hidup Raisa penuh dengan tekanan dan deadline yang tak ada habisnya. Rutinitas harian yang penuh dengan rapat, revisi artikel, dan pertemuan dengan penulis membuatnya merasa terkadang kehilangan arah. Hanya di kafe ini, di bawah gemerisik hujan yang menenangkan, Raisa bisa sedikit merasa bebas. Mungkin itu sebabnya ia sering datang ke tempat ini, meskipun terkadang hanya untuk duduk sendiri, merenung, dan menenangkan pikirannya.

Namun, hari itu terasa berbeda. Saat Raisa sedang menikmati kopi dan merenung, pintu kafe tiba-tiba terbuka dengan suara derikan keras, mengganggu kedamaian pagi itu. Seorang pria masuk dengan tergesa-gesa, tampaknya berusaha menghindari hujan yang semakin deras. Dengan jaket kulitnya yang basah kuyup, ia menatap sekeliling kafe dengan bingung, seakan mencari tempat duduk kosong.

Raisa melirik sekilas, kembali pada gelas kopinya, namun entah mengapa ia merasa ada yang aneh tentang pria itu. Pria itu tampaknya sangat berbeda dengan orang-orang yang biasanya datang ke kafe ini. Ia tampak lebih kasual, dengan rambut yang sedikit berantakan dan wajah yang tampak lelah. Namun, ada sesuatu dalam pandangannya yang membuat Raisa merasa tertarik. Mungkin itu karena ia tampak seolah-olah baru saja keluar dari dunia yang sangat berbeda—dunia yang tidak terikat pada waktu dan aturan, sebuah dunia yang tampaknya bebas.

Pria itu akhirnya memutuskan untuk duduk di meja dekat jendela, tak jauh dari tempat Raisa duduk. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia menanggalkan jaket kulitnya yang basah dan memesan secangkir teh hangat. Raisa menatapnya sekilas sebelum kembali menunduk, berusaha mengabaikan keberadaannya. Namun, sesuatu yang tak bisa dijelaskan membuatnya tak bisa melepaskan pandangannya dari pria itu. Mungkin karena ketenangan yang ia bawa, meskipun tubuhnya masih basah dan gelisah, atau mungkin karena cara ia duduk begitu santai meskipun hujan lebat di luar.

Beberapa menit berlalu dalam hening, hingga akhirnya pria itu mengalihkan pandangannya ke Raisa, yang tengah menikmati kopinya. Sepertinya ia baru menyadari bahwa mereka berada di meja yang berdekatan. Mata mereka bertemu, dan seketika itu juga Raisa merasakan ada semacam getaran aneh di dalam dadanya.

“Maaf,” pria itu berkata dengan suara rendah, “saya tidak ingin mengganggu, tetapi apakah Anda keberatan jika saya duduk di sini?”

Raisa terkejut, tetapi segera mengangguk. “Tentu saja, tidak masalah.”

Pria itu tersenyum kecil dan duduk dengan tenang, namun masih tampak sedikit canggung. Raisa kembali menunduk, sedikit malu karena telah menatapnya terlalu lama. Tapi anehnya, ia merasa tak bisa berhenti memperhatikan pria itu. Ada sesuatu tentang dirinya yang membuat Raisa merasa penasaran, meskipun ia tak tahu apa itu.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan, masing-masing sibuk dengan pikiran mereka sendiri. Namun, suasana di sekitar mereka terasa nyaman. Hujan masih turun dengan derasnya, dan suasana di kafe terasa semakin hangat. Tiba-tiba, pria itu membuka pembicaraan.

“Sepertinya hujan tak akan berhenti sebentar,” katanya, matanya mengarah ke luar jendela, di mana tetesan air hujan menempel pada kaca jendela. “Saya rasa saya akan lebih lama di sini daripada yang saya kira.”

Raisa tersenyum, merasa sedikit lebih rileks karena pria itu tampaknya tidak terlalu terburu-buru. “Ya, hujan seperti ini kadang membuat kita lebih lama di tempat-tempat yang nyaman,” jawabnya. Ia merasa sedikit aneh, karena ia biasanya tidak begitu mudah berbicara dengan orang asing. Tetapi ada sesuatu dalam cara pria itu berbicara yang membuatnya merasa nyaman.

“Benar,” pria itu mengangguk, kemudian mengalihkan perhatian ke meja di depannya. “Saya baru beberapa bulan di kota ini. Agak sulit menyesuaikan diri, tapi kafe seperti ini membuatnya sedikit lebih baik.”

Raisa menatapnya, merasa tertarik. “Baru pindah? Dari mana?” tanyanya tanpa berpikir panjang.

Pria itu tersenyum tipis. “Dari luar kota. Saya seorang musisi, sebenarnya,” jawabnya sambil memandangi secangkir tehnya, seolah sedang mencari kata-kata yang tepat.

Raisa terkejut. “Musisi?” Ia mengulang kata itu pelan, terkesan dengan pengakuan pria itu. Biasanya orang yang datang ke kafe ini adalah para pekerja kantoran atau mahasiswa yang sibuk dengan buku dan laptop mereka. Tapi pria ini—seorang musisi—terasa sangat berbeda.

“Iya,” jawab pria itu, sedikit tersenyum. “Saya bermain musik di beberapa tempat, kadang-kadang di jalan, kadang di kafe-kafe kecil seperti ini. Musik adalah satu-satunya hal yang membuat saya merasa bebas.”

Raisa merasa terhubung dengan kata-kata pria itu. Meskipun hidupnya jauh dari dunia musik, ia merasa ada kesamaan dalam perasaan itu—perasaan untuk bebas dari keterbatasan yang sering kali datang dengan rutinitas hidup.

“Saya Raisa,” katanya akhirnya, memperkenalkan dirinya setelah beberapa saat diam.

“Nama saya Damar,” jawab pria itu, memberikan senyuman yang tulus.

Pada saat itu, entah mengapa, Raisa merasa seperti pertemuan ini adalah sebuah titik balik dalam hidupnya. Ia tahu bahwa pertemuan ini mungkin hanya sebuah kebetulan, namun rasanya seperti ada sesuatu yang lebih besar yang menghubungkan mereka berdua. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Mereka terus berbicara, berkenalan lebih jauh, dan semakin lama Raisa merasa nyaman berada di dekat Damar. Hujan di luar tidak lagi terasa mengganggu, malah terasa lebih menyenangkan. Keduanya berbicara tentang hidup, musik, dan berbagai hal yang mereka sukai. Meskipun dunia mereka sangat berbeda, seolah-olah ada ikatan yang tak terlihat antara mereka, sebuah benang merah yang menarik mereka lebih dekat satu sama lain.

Ketika akhirnya mereka berpisah, Damar memberikan senyuman hangat yang menenangkan hati Raisa. “Senang bertemu denganmu, Raisa,” katanya sambil melangkah menuju pintu, dan sebelum ia keluar, ia sempat menoleh sekali lagi. “Mungkin kita bisa bertemu lagi. Di sini. Suatu saat nanti.”

Raisa hanya bisa tersenyum dan mengangguk pelan, merasa ada sebuah jejak waktu yang tertinggal di hati mereka berdua. Sebuah pertemuan yang tak terduga, yang mungkin saja akan mengubah hidup mereka selamanya.*

Bab 2: Bayangan di Balik Waktu

Hari-hari setelah pertemuan itu terasa berbeda bagi Raisa. Meskipun ia kembali tenggelam dalam rutinitas kerjanya, ada sesuatu yang menempati sudut pikirannya. Sesuatu yang muncul setiap kali ia melihat hujan atau mendengar suara musik yang melayang di udara. Damar. Nama itu berputar dalam benaknya, meski ia mencoba untuk mengabaikannya.

Setiap kali hujan turun, Raisa merasakan dorongan untuk pergi ke kafe tempat mereka bertemu, berharap bisa bertemu dengan Damar lagi. Tetapi, kenyataannya tidak semudah itu. Waktu terus berjalan dengan cepat, dan pekerjaan di penerbitan yang semakin menumpuk membuatnya sulit untuk meluangkan waktu lebih banyak. Namun, dalam hatinya, ada perasaan yang mulai tumbuh—perasaan ingin tahu lebih banyak tentang pria itu, tentang dunia yang ia bawa bersamanya.

Kafe tempat mereka bertemu kini menjadi tempat yang istimewa bagi Raisa, meski ia lebih sering datang sendiri. Ketika hujan turun, kafe itu menjadi lebih nyaman, lebih sepi, lebih tenang. Di sana, di antara aroma kopi yang menguar, Raisa sering kali menemukan dirinya merenung, menulis beberapa kalimat di catatan kecilnya, atau bahkan hanya duduk memandang keluar jendela, menunggu hujan mereda.

Namun, hari itu, suasana berbeda. Ketika Raisa melangkah masuk ke kafe, ia mendapati bahwa kursi tempat biasa ia duduk sudah terisi. Seorang pria duduk di sana, tampaknya sedang menunggu seseorang. Hujan di luar tampaknya semakin deras, dan tidak ada tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat. Raisa merasa sedikit ragu, tapi ia tidak bisa memaksakan dirinya untuk duduk di tempat lain. Akhirnya, dengan sedikit keraguan, ia mendekati pria itu.

“Apakah tempat ini kosong?” tanya Raisa dengan suara pelan.

Pria itu menoleh, dan di sana, di tengah hujan yang terus turun, Raisa mendapati matanya berbenturan dengan mata Damar. Seperti kilatan petir yang datang tiba-tiba, hati Raisa berdegup kencang, dan ia merasa seolah-olah waktu berhenti sejenak.

“Raisa,” Damar berkata, terkejut, tapi senyumnya menghangatkan suasana. “Tentu, silakan duduk.”

Raisa merasa lega dan sedikit canggung. Ia duduk di kursi yang sudah biasa ia tempati, seakan tidak ada yang berubah. Namun, kenyataannya, semuanya telah berubah. Mereka berdua terdiam sejenak, hanya ditemani suara hujan yang terus mengguyur dari luar.

“Sepertinya hujan tak akan berhenti sebentar,” Damar mulai membuka pembicaraan. “Kau sering datang ke sini ketika hujan, ya?”

Raisa mengangguk pelan, merasa sedikit canggung. “Ya, kafe ini terasa lebih nyaman saat hujan. Tidak terlalu ramai, dan aku bisa lebih tenang.”

“Begitu ya,” jawab Damar sambil menghela napas. “Kadang aku merasa hujan adalah bagian dari hidup yang harus diterima. Seperti hidup itu sendiri—kadang kita tidak bisa mengendalikan kapan itu datang atau berhenti.”

Raisa terkejut dengan kedalaman pemikiran Damar. Ia tidak mengira pria yang tampaknya begitu santai itu bisa memiliki pandangan hidup yang begitu dalam. Ada sesuatu yang menarik dalam dirinya yang membuat Raisa ingin mengenalnya lebih jauh.

Obrolan mereka berlanjut, lebih ringan kali ini, tentang cuaca, musik, dan kehidupan di kota besar. Damar ternyata bukan hanya seorang musisi jalanan yang sederhana. Ia juga memiliki cerita hidup yang penuh dengan tantangan. Damar bercerita tentang perjuangannya untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di kota yang begitu padat dan serba cepat. Ia berasal dari sebuah kota kecil, dan meskipun ia mencintai musik, ia merasa tak mudah untuk bertahan di kota besar ini.

“Sepertinya aku tak pernah bisa benar-benar beradaptasi dengan kehidupan kota besar,” kata Damar dengan suara pelan. “Hidup di sini terasa seperti sebuah pelarian, tapi aku belum tahu dari apa aku melarikan diri.”

Raisa terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Damar. Ia merasa seperti ada sebuah kisah yang tersembunyi di balik mata pria itu—sebuah kisah yang belum sepenuhnya terungkap. “Apa yang sebenarnya kau cari, Damar?” tanya Raisa pelan, tanpa sadar.

Damar menatapnya sejenak, seakan terkejut dengan pertanyaan itu. Ia tidak langsung menjawab, tetapi akhirnya ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela, menyaksikan hujan yang tak kunjung reda. “Aku mencari… kedamaian, mungkin?” jawabnya perlahan, suara itu mengandung banyak keraguan. “Tapi aku rasa, kedamaian itu hanya ada dalam momen-momen singkat. Seperti saat hujan turun. Saat aku duduk di sini, dengan secangkir teh, dan dunia terasa jauh dari semua keributan.”

Raisa mendengar kata-kata itu dengan hati yang tergerak. Ia bisa merasakan beban yang ada dalam suara Damar, beban yang mungkin hanya bisa dimengerti oleh mereka yang pernah merasakannya. “Kadang, kita hanya butuh waktu untuk berhenti sejenak,” kata Raisa pelan, merasa takjub dengan kedalaman percakapan ini. “Menjauh dari semuanya dan merenung.”

Damar menoleh, dan untuk sesaat, mata mereka bertemu. Dalam pandangan itu, Raisa merasakan ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar obrolan biasa. Ia bisa melihat adanya keinginan yang tak terungkapkan, sebuah pencarian yang belum selesai.

“Ya,” Damar mengangguk pelan, “mungkin itu yang kita butuhkan. Sebuah waktu untuk berhenti, merenung, dan mengerti apa yang sebenarnya kita cari.”

Suasana di kafe itu kembali sunyi, hanya terdengar suara hujan yang terus mengguyur. Raisa merasa terhubung dengan Damar lebih dari yang ia bayangkan. Ada sesuatu dalam dirinya yang begitu dekat dengan perasaan yang ia rasakan, meskipun mereka berdua berada di dunia yang berbeda.

Namun, di balik semua percakapan itu, Raisa merasa ada bayangan yang mengintai di balik kata-kata Damar. Sebuah bayangan masa lalu yang tak pernah benar-benar terungkap. Raisa tahu bahwa mereka belum sepenuhnya saling mengenal, dan ia merasa ada banyak hal yang masih tersembunyi di balik tatapan Damar yang dalam itu.

Saat hujan akhirnya mulai mereda, mereka berdua beranjak dari meja. Damar memberikan senyuman tipis, dan Raisa bisa merasakan ada semacam ketegangan yang belum terpecahkan. Mungkin, pertemuan ini baru permulaan dari sebuah perjalanan yang panjang—sebuah perjalanan untuk saling mengenal lebih dalam, dan mungkin juga untuk mengungkapkan bayangan yang tersembunyi di balik waktu yang terus berjalan.

“Terima kasih, Raisa,” Damar berkata, sebelum melangkah keluar. “Mungkin kita bisa bertemu lagi. Suatu saat nanti.”

Raisa hanya bisa mengangguk, perasaannya campur aduk. Ada rasa harapan yang terbangun dalam hatinya, tetapi juga rasa takut akan apa yang mungkin terungkap. Ia tahu, bahwa di balik waktu yang terus berjalan, ada lebih banyak cerita yang belum selesai. Dan ia tidak tahu apakah ia siap untuk menghadapinya.*

Bab 3: Jejak yang Tertinggal

Sejak pertemuan kedua dengan Damar, Raisa merasa ada sesuatu yang terus mengusik pikirannya. Setiap kali ia melangkah keluar, terutama saat hujan turun, ia merasa seakan-akan langkahnya dipandu oleh kenangan yang tidak bisa ia lepaskan. Rasanya seperti ada sesuatu yang tertinggal, sesuatu yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya. Damar bukan hanya seorang pria yang ditemui dalam kafe itu, tetapi juga seolah-olah simbol dari masa lalu yang masih membayangi hidupnya.

Hujan yang mengguyur kota sering membuatnya teringat akan percakapan mereka tentang kedamaian yang hanya bisa ditemukan dalam momen-momen singkat. Raisa merasa ada keheningan di dalam dirinya yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, seperti ada sesuatu yang belum selesai. Mungkin, itu adalah perasaan ingin tahu lebih dalam tentang Damar, tentang hidupnya yang begitu rumit dan penuh dengan pencarian. Tapi di sisi lain, Raisa merasa ada suatu ketidakpastian yang membuatnya takut. Apa yang sebenarnya ia cari? Kenapa pertemuan itu terasa begitu penting bagi dirinya?

Pekerjaan di kantor penerbitan pun terasa semakin berat. Namun, di tengah kesibukan itu, pikirannya selalu kembali kepada Damar. Ia tidak bisa berhenti berpikir tentang apa yang pria itu rasakan, tentang perjalanan hidupnya yang seolah selalu ada bayangan gelap yang mengikutinya. Kenapa Damar merasa bahwa kedamaian hanya ada dalam momen-momen singkat? Mengapa ada ketegangan yang begitu jelas terlihat dalam setiap kata-katanya? Pertanyaan-pertanyaan ini semakin menggema dalam hati Raisa, namun ia tidak tahu bagaimana cara menemui jawabannya.

Suatu sore, ketika hujan turun lebih deras dari biasanya, Raisa memutuskan untuk pergi ke kafe lagi. Ia tahu itu mungkin terdengar konyol, tetapi ada sesuatu yang membuatnya ingin kembali ke sana. Mungkin itu karena kafe itu kini sudah menjadi tempat yang terasa istimewa baginya, atau mungkin hanya karena ia ingin melihat Damar lagi. Namun, ketika ia sampai di kafe, suasana itu terasa berbeda.

Kafe yang biasanya sunyi dan nyaman kini dipenuhi oleh suara tawa dan obrolan pengunjung. Raisa mendekat ke barista dan memesan secangkir teh hangat, lalu mencari tempat duduk yang agak sepi di sudut ruangan. Ia merasa sedikit kecewa karena Damar tidak ada di sana, namun ia tidak bisa menghindar dari rasa penasaran yang terus menggantung dalam dirinya.

Seiring waktu, Raisa merasa semakin nyaman berada di kafe itu meskipun sendirian. Ia mulai menulis di catatannya, menggambarkan pikirannya yang semakin kacau. Bayangan tentang Damar yang masih terus menghantui, serta ketidakpastian tentang arah hidupnya, membuat Raisa merasa bimbang. Apa yang seharusnya ia lakukan? Mengapa pertemuan itu terasa begitu berat, seperti ada jejak yang tertinggal di dalam hatinya, meski ia tidak tahu apa itu?

Tiba-tiba, suara pintu kafe terbuka, dan sosok yang sangat dikenal memasuki ruangan—Damar. Dengan jaket hitamnya yang basah oleh hujan, Damar terlihat berbeda, seperti ada sesuatu yang lebih dalam yang disembunyikan. Ketika matanya bertemu dengan mata Raisa, ia terlihat terkejut, namun senyumnya tetap mengembang.

“Raisa,” katanya dengan suara yang lebih pelan dari biasanya, “kebetulan sekali kamu ada di sini.”

Raisa tersenyum tipis, namun hatinya berdebar. “Aku sedang menikmati teh hangat, hujan memang enak ditemani secangkir teh.”

Damar mengangguk pelan, lalu duduk di kursi yang tidak jauh dari tempat Raisa. Ia menatapnya sejenak, seakan ingin mengungkapkan sesuatu, namun kata-kata tidak keluar. Ada sesuatu yang berbeda dalam pandangannya, sebuah kedalaman yang tampaknya menyimpan banyak rahasia.

“Raisa,” kata Damar akhirnya, “aku ingin memberitahumu sesuatu. Sesuatu yang mungkin akan membuatmu melihatku dengan cara yang berbeda.”

Raisa merasa jantungnya berdegup kencang. Ia tahu, ada sesuatu yang besar yang sedang Damar persiapkan untuk dibicarakan. “Apa itu?” tanyanya, mencoba terdengar tenang meskipun hatinya berdebar.

Damar menghela napas panjang sebelum melanjutkan, “Sebenarnya, aku tidak tinggal sendirian di kota ini. Ada seseorang yang sangat penting bagiku, seseorang yang selalu mengikuti jejak langkahku, meskipun aku berusaha untuk menjauh. Aku rasa, saat ini aku sudah tidak bisa menghindarinya lagi.”

Raisa merasa bingung. Ia mengamati Damar dengan seksama, mencoba membaca ekspresi wajahnya. “Siapa orang itu?” tanyanya, penasaran.

Damar terdiam, seakan mencari kata-kata yang tepat. “Itu adalah bagian dari masa lalu yang tak bisa kulepaskan,” jawabnya, suaranya mengandung kesedihan. “Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya, Raisa, tapi aku merasa ada sesuatu yang harus aku selesaikan, sesuatu yang akan membebaskanku dari bayangan itu.”

Raisa merasa tertegun. Ada kesan berat dalam kata-kata Damar, dan ia bisa merasakan betapa dalamnya perasaan pria itu. “Apa yang sebenarnya terjadi, Damar?” Raisa akhirnya bertanya, hatinya dipenuhi rasa ingin tahu yang mendalam.

Damar menundukkan kepala, seakan meresapi setiap kata yang akan keluar dari mulutnya. “Aku dulu memiliki seseorang yang sangat aku cintai,” kata Damar pelan, “Namun, karena kesalahan-kesalahan yang kubuat, aku kehilangan dia. Dan sekarang, dia selalu ada di pikiranku, seperti bayangan yang tak pernah bisa kuhilangkan. Aku merasa aku belum selesai dengan diriku sendiri, belum siap untuk melangkah ke depan.”

Raisa terdiam. Ada keheningan yang sangat mendalam, seolah kata-kata Damar mengisi seluruh ruang di antara mereka. Ia bisa merasakan betapa besar rasa kehilangan yang ada dalam diri Damar, dan ia mulai memahami bahwa pertemuan mereka bukanlah kebetulan semata. Mungkin ada alasan mengapa mereka bertemu, mengapa hujan selalu menjadi latar dari cerita mereka.

“Apakah kamu masih mencintainya?” Raisa bertanya, meskipun ia merasa agak canggung.

Damar mengangkat kepala dan menatap Raisa dengan mata yang penuh arti. “Aku tidak tahu,” jawabnya dengan suara rendah. “Mungkin aku masih mencintainya, tetapi aku tahu bahwa cinta itu sudah berubah. Sekarang, aku hanya ingin menyelesaikan semuanya, membebaskan diriku dari bayangan itu, supaya aku bisa melangkah ke depan.”

Raisa merasa hatinya tergerak oleh kata-kata Damar. Ia tahu bahwa hidup tidak selalu mudah, dan kadang kita harus menghadapi masa lalu untuk bisa melangkah maju. Mungkin pertemuan mereka di tengah hujan bukan hanya kebetulan. Mungkin, mereka berdua saling memberi kesempatan untuk menyembuhkan luka yang ada dalam diri masing-masing.

Di luar, hujan terus turun, namun kali ini, Raisa merasa sedikit lebih ringan. Ada sebuah pemahaman baru yang terbentuk di antara mereka, sebuah jejak yang tertinggal, yang mungkin akan mengarah pada perjalanan yang lebih jauh. Jejak itu, seperti hujan yang terus datang dan pergi, mengajarkan mereka untuk tidak takut menghadapi apa yang tertinggal, dan untuk terus melangkah, meskipun kadang-kadang, kita harus menunggu hujan reda.*

Bab 4: Memahami Diri Sendiri

Kehidupan Raisa tak pernah terlepas dari bayang-bayang kebingungannya. Sejak pertemuannya dengan Damar, segala sesuatu di sekitar dirinya terasa berbeda. Seperti ada perubahan yang perlahan menyusup ke dalam dirinya, meski ia masih merasa ragu tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Setiap kali Damar mengungkapkan perasaan dan masa lalunya, Raisa seakan terseret dalam arus perasaan yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.

Setelah pertemuan mereka di kafe itu, Raisa kembali ke rutinitasnya yang penuh dengan pekerjaan, meskipun hatinya sering kali dihantui oleh pikiran-pikiran tentang Damar. Namun, semakin ia berusaha mengabaikan perasaan itu, semakin kuat dorongan untuk mengerti lebih dalam tentang dirinya sendiri. Apa yang sebenarnya ia inginkan? Apakah ia sedang mencari jawaban dalam diri Damar, atau justru sedang mencari bagian dari dirinya yang ia belum temukan?

Hujan kembali turun dengan deras, menghantarkan nuansa yang hampir sama seperti pertemuan pertama mereka. Kali ini, Raisa memutuskan untuk pergi ke taman kota. Ia merasa bahwa udara segar dan kehijauan taman akan membantunya untuk berpikir jernih. Tanpa ada tujuan khusus, ia hanya ingin meluangkan waktu untuk dirinya sendiri, untuk merenung dan mencoba menyusun potongan-potongan pikirannya yang mulai kusut.

Taman kota yang biasanya ramai dengan pengunjung kini tampak sepi. Suara hujan yang membasahi dedaunan menciptakan ketenangan yang menyelimuti. Raisa duduk di bangku taman, menatap awan yang menggantung rendah di langit. Dalam keheningan itu, pikirannya mulai mengalir. Ia mulai berpikir tentang dirinya sendiri, tentang apa yang ia inginkan dari hidupnya, dan mengapa ia merasa begitu terganggu oleh pertemuannya dengan Damar.

Raisa tahu, bahwa selama ini ia selalu berusaha menekan perasaan dan kebingungannya. Ia menghabiskan waktu berjam-jam dalam pekerjaan, mencari pelarian di antara tumpukan dokumen, namun tetap merasa kosong. Ia bertanya-tanya, apakah ia telah benar-benar mengenal dirinya sendiri. Bagaimana ia bisa mencintai orang lain jika ia belum bisa mencintai dirinya sendiri dengan sepenuh hati? Bukankah untuk mencintai seseorang dengan tulus, kita harus terlebih dahulu mencintai diri kita sendiri?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengusik pikirannya, hingga akhirnya Raisa memutuskan untuk mengambil langkah kecil menuju pemahaman tentang dirinya. Ia mulai mengenali perasaan-perasaan yang muncul setiap kali ia berinteraksi dengan Damar. Ada rasa penasaran yang mendalam terhadap pria itu, tetapi ada juga rasa takut yang ia tidak bisa jelaskan. Takut terluka, takut akan ketidakpastian, dan takut kehilangan sesuatu yang belum ia miliki sepenuhnya.

Namun, semakin Raisa berusaha menganalisis perasaannya, semakin ia menyadari bahwa ia tak akan bisa menemukan jawabannya jika hanya terjebak dalam pikiran dan ketakutannya. Ia harus menghadapi dirinya sendiri terlebih dahulu, dengan segala kekurangan dan ketidaksempurnaannya. Menerima bahwa perasaan yang ia miliki—baik itu rasa takut, keraguan, atau bahkan rasa rindu—semuanya adalah bagian dari dirinya. Tidak ada yang perlu ditakutkan dari itu.

Raisa menutup matanya sejenak, meresapi suara hujan yang terus membasahi taman. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba melepaskan segala kekhawatiran yang menumpuk dalam dirinya. Saat itu, ia mulai merasakan sesuatu yang baru. Sebuah kelegaan yang perlahan mengalir dalam dirinya. Mungkin, inilah saatnya untuk melepaskan beban yang selama ini ia pikul. Mungkin, inilah saatnya untuk menerima dirinya sendiri dengan segala ketidaksempurnaan yang ada.

Tiba-tiba, suara langkah kaki mengganggu keheningan itu. Raisa membuka matanya dan melihat Damar yang mendekat. Pria itu tampak basah kuyup oleh hujan, namun ada senyum yang mengembang di wajahnya. Senyum yang penuh arti, seolah-olah ia tahu bahwa Raisa sedang mencari jawaban di dalam dirinya.

“Aku tahu kau akan ada di sini,” kata Damar, menyapa Raisa dengan lembut.

Raisa tersenyum, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan pertanyaan. “Aku hanya sedang mencari ketenangan,” jawabnya.

Damar duduk di sampingnya, tak peduli dengan hujan yang semakin deras. “Terkadang, kita harus menghadapi diri kita sendiri sebelum bisa menghadapi orang lain,” katanya, seolah tahu apa yang ada dalam pikiran Raisa.

Raisa menoleh padanya, merasa bahwa kata-kata Damar sangat tepat. “Aku rasa, aku belum benar-benar memahami diriku sendiri,” kata Raisa pelan.

Damar mengangguk. “Aku juga pernah merasa seperti itu. Ketika kita terlalu banyak berpikir tentang apa yang orang lain inginkan, kita sering lupa tentang apa yang sebenarnya kita butuhkan. Kadang-kadang, kita hanya perlu berhenti sejenak dan mendengarkan hati kita sendiri.”

Raisa terdiam, merenungkan kata-kata Damar. Mungkin selama ini, ia terlalu fokus pada apa yang harus ia lakukan, terlalu sibuk memenuhi ekspektasi orang lain, hingga ia melupakan dirinya sendiri. Mungkin, inilah saat yang tepat untuk mulai mendengarkan hati nuraninya, untuk mulai bertanya kepada dirinya sendiri, apa yang benar-benar ia inginkan dalam hidup ini.

“Aku tahu ini mungkin terdengar klise,” lanjut Damar, “tapi kita tidak akan pernah bisa melangkah maju jika kita tidak berani menerima diri kita sendiri dengan segala kekurangannya.”

Raisa menatap Damar dengan penuh perhatian. Ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuatnya merasa tenang. Mungkin, ini adalah tanda bahwa ia sudah mulai membuka hatinya untuk memahami lebih dalam tentang dirinya sendiri. Damar bukan hanya menjadi seseorang yang ia cari, tetapi juga seseorang yang memberikan ruang untuknya belajar menerima diri.

“Aku harus mulai memahami diriku sendiri,” Raisa akhirnya berkata, dengan suara yang lebih mantap. “Mungkin itu langkah pertama untuk bisa memahami orang lain.”

Damar tersenyum, memberi anggukan penuh makna. “Itu langkah yang tepat,” jawabnya. “Dan kamu tidak perlu melakukannya sendirian.”

Keheningan kembali meresap di antara mereka, namun kali ini, keheningan itu terasa berbeda. Raisa merasakan ada kedamaian yang mulai menyentuh hatinya. Ia tidak lagi merasa tertekan oleh keraguan dan ketakutan. Mungkin, untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa perjalanan untuk memahami dirinya sendiri telah dimulai. Dan dalam perjalanan itu, ia tahu bahwa ia tidak sendirian.*

Bab 5: Keterikatan yang Tak Terhindarkan

Hujan telah reda, namun suasana di sekitar Raisa tetap terasa penuh dengan ketegangan yang tidak bisa ia jelaskan. Seperti ada kekuatan tak terlihat yang menghubungkannya dengan Damar, sebuah daya tarik yang semakin kuat seiring berjalannya waktu. Apa yang semula ia anggap sebagai kebetulan kini terasa lebih seperti takdir. Raisa merasa semakin sulit untuk menghindari perasaan yang semakin tumbuh dalam dirinya, meskipun ia tahu bahwa setiap perasaan yang tumbuh bukan tanpa konsekuensi.

Setelah pertemuan di taman beberapa hari lalu, Damar mulai muncul lebih sering dalam hidup Raisa. Tak hanya dalam percakapan singkat di kantor, tetapi juga dalam berbagai kesempatan yang tak terduga. Mereka bertemu di kafe, di toko buku, bahkan di luar kota saat kebetulan berada di tempat yang sama. Rasanya seperti dunia memaksa mereka untuk terus bertemu, dan setiap pertemuan itu membawa perasaan baru yang tak bisa Raisa kendalikan. Setiap pandangannya, setiap kata yang diucapkannya, membuat hati Raisa berdebar lebih cepat, seolah ada sesuatu yang sedang berkembang, meski ia berusaha keras menahan diri.

Namun, semakin ia berusaha menahan perasaan itu, semakin besar ketegangan dalam dirinya. Damar bukan hanya seseorang yang menarik perhatian, tetapi juga seseorang yang membuka bagian dari dirinya yang selama ini ia sembunyikan. Di hadapan Damar, Raisa merasa menjadi diri yang lebih jujur, meskipun masih ada bagian dalam dirinya yang ragu dan takut untuk benar-benar terbuka. Ia sadar, semakin ia mengenal Damar, semakin sulit untuk mengabaikan perasaan yang mengakar.

Pagi itu, Raisa memutuskan untuk mengunjungi kafe kecil yang sering mereka kunjungi bersama. Ia tahu bahwa Damar pasti sudah berada di sana. Begitu memasuki kafe, ia langsung menemukan Damar yang sedang duduk di sudut ruangan, seperti menunggu kedatangannya. Senyum tipis muncul di wajahnya saat melihat Raisa, dan hal itu kembali membuat hati Raisa berdegup kencang.

“Aku tahu kamu akan datang,” kata Damar, mengangkat cangkir kopinya dengan santai.

Raisa hanya tersenyum, meskipun hatinya terasa sedikit cemas. “Kamu selalu tahu,” jawabnya.

Damar tertawa pelan, lalu meletakkan cangkirnya. “Mungkin ini lebih dari sekadar kebetulan,” ujarnya, menatap Raisa dengan tatapan yang sulit diartikan.

Raisa merasakan sensasi yang tak bisa dijelaskan setiap kali Damar menatapnya seperti itu. Seperti ada magnet yang menarik mereka berdua lebih dekat, meskipun ada ketakutan yang mengganjal di dalam hati Raisa. Ia tahu bahwa mereka berada di titik yang tidak bisa dihindari lagi. Keterikatan yang tumbuh di antara mereka semakin kuat, dan Raisa merasa seolah-olah dirinya sudah terperangkap dalam sesuatu yang lebih besar dari sekadar perasaan.

“Damar, aku rasa kita harus berhenti bertemu,” akhirnya Raisa berkata dengan suara pelan, mencoba menahan getaran dalam suaranya.

Damar menatapnya dengan tajam, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Kenapa? Apakah ada yang salah?”

Raisa menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. “Aku… aku merasa kita sudah terlalu dekat, dan aku takut jika kita terus seperti ini, perasaan ini akan semakin membingungkan.”

Damar diam sejenak, lalu menggelengkan kepala. “Aku mengerti apa yang kamu rasakan, Raisa. Tapi, apakah kamu benar-benar ingin melepaskan semuanya begitu saja?”

Perasaan yang mulai tumbuh di dalam hati Raisa terasa semakin kuat ketika mendengar kata-kata Damar. Setiap detik yang mereka habiskan bersama membuatnya merasa lebih terikat, dan semakin ia mencoba menjauh, semakin ia merasa bahwa langkah itu tidak mungkin diambil. Seperti ada ikatan tak terlihat yang menarik mereka berdua bersama, meskipun keduanya tahu bahwa itu bukanlah sesuatu yang bisa mereka hindari begitu saja.

“Aku takut,” Raisa mengakui dengan lirih, “takut kalau aku terlalu terluka jika aku terus melibatkan diriku lebih dalam.”

Damar menatapnya dengan serius, lalu mengulurkan tangannya. “Keterikatan ini memang tak terhindarkan, Raisa. Dan terkadang, kita memang harus mengambil risiko untuk merasakannya. Kita tidak bisa selalu hidup dalam rasa takut.”

Raisa terdiam, merasakan tangan Damar yang hangat menyentuh tangannya dengan lembut. Ada kehangatan yang langsung meresap ke dalam dirinya, mengingatkan pada perasaan yang sulit ia ungkapkan. Selama ini, ia selalu mencari alasan untuk tidak terjebak dalam perasaan ini, tetapi semakin ia menahan diri, semakin kuat pula dorongan itu. Ia merasa terperangkap dalam kebingungannya sendiri.

“Kamu benar,” kata Raisa akhirnya, matanya menatap Damar dengan penuh kejujuran. “Mungkin aku memang takut, tapi aku juga tahu bahwa aku tak bisa terus menghindari perasaan ini. Aku merasa ada sesuatu yang lebih besar antara kita, Damar.”

Damar tersenyum lembut. “Aku juga merasakannya, Raisa. Aku merasa kita sudah terlalu terhubung untuk tidak melanjutkan ini.”

Mereka berdua terdiam sejenak, hanya saling memandang satu sama lain, mencoba memahami perasaan yang tumbuh di antara mereka. Keterikatan itu sudah terjadi, dan keduanya tahu bahwa mereka tidak bisa menghindarinya lagi. Mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih dalam, meskipun penuh dengan ketidakpastian. Namun, mereka sudah membuat keputusan untuk tetap berjalan bersama, mengikuti alur perasaan yang tak bisa mereka pungkiri.

“Aku tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya,” kata Raisa akhirnya, “tapi aku siap untuk menghadapi apapun itu bersama kamu.”

Damar mengangguk, matanya berbinar dengan keyakinan. “Aku juga, Raisa. Kita akan menjalani ini bersama, apapun yang terjadi.”

Saat itu, Raisa merasa seolah ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Meskipun ketakutan dan keraguan masih ada, ia merasa lebih siap untuk menghadapi perasaan yang mulai berkembang di dalam dirinya. Keterikatan yang tak terhindarkan itu bukanlah hal yang harus ditakuti, melainkan sesuatu yang harus diterima dengan penuh hati. Dan bersama Damar, ia siap menjalani perjalanan ini, meskipun jalan ke depan masih penuh dengan misteri.*

Bab 6: Menghadapi Masa Lalu

Damar akhirnya memutuskan untuk membuka diri kepada Raisa tentang masa lalunya yang kelam. Ia menceritakan tentang kegagalannya di dunia musik dan bagaimana ia harus berjuang untuk bertahan hidup. Raisa mendengarkan dengan penuh perhatian, merasa lebih dekat dengan Damar daripada sebelumnya. Ia tahu bahwa setiap luka yang Damar alami membentuknya menjadi orang yang lebih kuat.

Namun, Raisa juga harus menghadapi kenyataan bahwa hidupnya tak semudah yang ia bayangkan. Pekerjaannya yang menuntut dan ekspektasi dari orang-orang terdekatnya membuatnya ragu apakah ia bisa melangkah lebih jauh dalam hubungan ini. Di sisi lain, Damar merasa takut kehilangan sesuatu yang begitu berharga baginya, meskipun ia tahu bahwa kebebasan adalah hal yang tak bisa ia lepaskan begitu saja.*

Bab 7: Waktu yang Terlalu Singkat

Pagi itu, Raisa merasa seperti dunia mengerut, menciptakan ruang yang semakin sempit di sekelilingnya. Di luar jendela, hujan turun deras, mengaburkan pandangannya ke dunia yang tampak seperti kabut. Damar belum datang. Sudah hampir satu jam sejak ia tiba di kafe, namun Damar belum muncul. Biasanya, Damar selalu datang lebih awal, duduk dengan tenang di sudut ruangan yang sama, menunggu kedatangannya. Namun, kali ini, Raisa merasakan ketegangan yang tidak biasa. Ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang mengganggu pikiran dan perasaannya.

Waktu berjalan begitu lambat, dan setiap detik terasa seperti sebuah penderitaan. Ia memandangi jam di dinding kafe, seolah berharap waktu akan bergerak lebih cepat, namun kenyataannya, detik demi detik berlalu tanpa perubahan yang berarti. Hatinya mulai resah, dan pikirannya berputar-putar mencari alasan. Mungkinkah ada sesuatu yang salah? Mungkinkah Damar tidak datang karena alasan tertentu? Rasanya, ada sebuah kekosongan yang mengisi ruang hati Raisa, meskipun ia berusaha keras untuk menenangkan dirinya.

Pagi itu adalah pagi yang sangat penting bagi mereka. Damar telah mengajaknya untuk bertemu, untuk membicarakan sesuatu yang sudah lama mengendap di dalam hati mereka berdua. Raisa merasa cemas, khawatir tentang apa yang akan Damar katakan. Apakah ini berarti bahwa hubungan mereka akan berakhir? Ataukah ada sesuatu yang lebih besar yang sedang menunggu untuk dijelaskan? Raisa tidak tahu. Yang ia tahu hanyalah bahwa waktu semakin berkurang, dan mereka berdua semakin terjerat dalam perasaan yang semakin dalam.

Ketika tiba-tiba suara pintu kafe berbunyi, Raisa menoleh dengan cepat, berharap itu adalah Damar. Namun, yang masuk bukanlah Damar, melainkan seorang pelanggan lain. Hatinya kembali berdebar, rasa cemas itu semakin besar. Ia menatap layar ponselnya yang tergeletak di meja, berharap ada pesan yang masuk. Tapi tidak ada. Waktu terus berjalan, dan kepanikan mulai merayap di dalam dirinya.

Kemudian, suara ponselnya bergetar, dan Raisa segera meraihnya dengan harapan tinggi. Namun, ketika melihat nama pengirim pesan, hatinya sedikit terjatuh. Bukan Damar yang menghubunginya, melainkan teman lamanya, Mira, yang mengirim pesan untuk menanyakan apakah Raisa sudah mendapat kabar tentang pertemuan mereka nanti. Raisa dengan cepat membalas pesan itu, menjelaskan bahwa ia sudah berada di kafe dan menunggu Damar.

Mata Raisa kembali tertuju pada jam di dinding, dan waktu terasa semakin terbatas. Jika Damar tidak datang segera, pertemuan yang sudah lama dinantikan itu bisa saja batal. Seiring berjalannya waktu, keraguan dan rasa tidak pasti semakin mendalam. Apakah Damar benar-benar akan datang? Apakah ia benar-benar ingin melanjutkan hubungan mereka, atau justru ingin mengakhirinya? Raisa merasa seperti terjebak di antara ketidakpastian yang semakin menghimpit.

Pikirannya terus berputar, meresapi setiap detik yang berlalu dengan lebih intens. Setiap detik terasa begitu berharga, namun rasanya waktu terlalu singkat untuk bisa membuat keputusan yang tepat. Semua kenangan yang telah mereka bagikan bersama muncul begitu saja dalam ingatan Raisa. Tertawa bersama, saling berbagi cerita, bahkan kesedihan yang mereka alami berdua. Semua itu seakan mengalir dalam pikirannya, seolah waktu yang mereka habiskan bersama begitu berharga. Tapi kini, waktu itu terasa begitu pendek, begitu terbatas. Seperti ada batasan yang tidak bisa mereka lewati, meskipun keduanya berusaha untuk melangkah bersama.

Hujan di luar semakin deras, dan Raisa merasa semakin terperangkap dalam kebingungannya. Ia mencoba untuk menenangkan dirinya, mengingat kembali bagaimana Damar selalu ada untuknya, meskipun kadang perasaan itu terasa begitu rumit. Ia tak bisa menghindari kenyataan bahwa perasaan mereka berdua sudah berkembang, meski tak semua hal bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ada saat-saat ketika mereka berbicara tanpa kata-kata, hanya dengan tatapan dan senyuman yang berbicara lebih banyak dari segala ucapan.

Namun, rasa cemas itu tetap mengganggu. Waktu terus berjalan, dan pertemuan yang semula terasa begitu penting kini berubah menjadi sebuah beban. Jika Damar tidak datang, apakah itu berarti hubungan mereka sudah berakhir? Raisa tidak tahu, dan itu membuatnya merasa semakin tertekan.

Lalu, tiba-tiba, suara pintu kafe berbunyi lagi. Kali ini, Raisa menoleh dengan hati-hati, dan ketika matanya bertemu dengan Damar yang baru saja memasuki kafe, sebuah lega yang dalam mengalir di dalam dirinya. Damar terlihat basah kuyup, jaketnya tampak basah karena hujan yang belum reda. Namun, senyuman di wajahnya begitu menenangkan, seolah memberikan rasa aman di tengah kebingungannya.

“Maaf, aku terlambat,” kata Damar dengan suara serak, mungkin karena hujan yang deras. Ia berjalan cepat menuju meja tempat Raisa duduk, dan dengan lembut ia menarik kursi untuk duduk di hadapannya.

Raisa hanya mengangguk, merasa sedikit lega meskipun keraguan masih ada di dalam dirinya. “Aku… aku khawatir,” ucapnya dengan suara pelan, berusaha menyembunyikan perasaan yang selama ini terpendam.

Damar menatapnya dengan mata penuh pengertian. “Aku tahu,” jawabnya, “Aku tahu kita punya banyak hal yang perlu dibicarakan, tapi aku tidak ingin kamu merasa sendirian dalam semua ini.”

Raisa terdiam, menatap Damar dengan tatapan yang penuh makna. Dalam diamnya, ia merasakan sesuatu yang dalam, sesuatu yang jauh lebih kuat dari sekadar kata-kata. Waktu yang singkat itu terasa seperti sebuah perjalanan panjang, dan meskipun ada ketidakpastian, ia tahu bahwa dengan Damar di sisinya, mereka akan selalu mencari cara untuk menghadapinya bersama.

“Aku juga tidak ingin sendirian,” jawab Raisa akhirnya, matanya berbinar, dan senyum tipis terukir di wajahnya. “Tapi aku takut waktu kita bersama tidak akan cukup.”

Damar mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Raisa dengan lembut. “Mungkin waktu kita bersama tidak cukup,” katanya dengan penuh keyakinan, “tapi setiap detik yang kita jalani, akan selalu terasa berarti.”*

Bab 8: Menyulam Waktu

Hujan masih mengguyur dengan deras, menciptakan suara gemericik yang menenangkan di luar jendela. Raisa duduk di ruang tamu rumahnya yang sepi, matanya terarah pada secarik kertas yang tergeletak di atas meja. Kertas itu masih utuh, belum tersentuh. Setiap goresan yang tertulis di atasnya begitu memikat, seolah mengundang Raisa untuk kembali menulis cerita yang sudah lama tertunda. Sejak pertemuan terakhir bersama Damar, perasaan di hatinya seperti terurai dalam benang-benang halus, menunggu untuk dijalin kembali. Namun, waktu selalu terasa terlalu singkat untuk menyatukan semua fragmen yang ada dalam dirinya.

Raisa merasa seperti seorang penenun yang mencoba menyulam benang-benang masa lalu dengan benang-benang masa depan yang tak pasti. Waktu, yang seharusnya menjadi sahabat dalam setiap proses, malah menjadi musuh yang menantang. Setiap detik yang berlalu seperti mengikis sedikit demi sedikit ruang yang pernah mereka bagi bersama. Tentu saja, pertemuan itu tidak mengubah segalanya. Hanya saja, kali ini, ada keputusan yang harus diambil, dan Raisa tahu, tak ada lagi alasan untuk menghindar.

Di luar jendela, tirai hujan mulai sedikit mereda, tetapi perasaan di dalam hati Raisa tidak bisa sesederhana itu. Ia merasa ada sesuatu yang belum selesai—sebuah cerita yang belum bisa dituntaskan. Damar selalu menjadi bagian dari cerita itu, tetapi sekarang, waktu seolah menjadi penghalang untuk keduanya mencapai kesepakatan. Raisa pun tahu bahwa meskipun ia ingin menggantungkan segala harapan kepada waktu, ia tidak bisa terus mengandalkan waktu untuk mengatur segalanya.

“Apa yang sebenarnya aku inginkan?” pikir Raisa dalam hati. Pertanyaan itu terus menggelayut di dalam pikirannya, menjelajahi setiap sudut yang selama ini ia coba hindari. Ia sudah belajar untuk menerima kenyataan bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana, dan terkadang, kita harus memilih jalan yang lebih sulit demi mencapai kebahagiaan. Namun, keputusan itu bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, terutama ketika ia masih terjebak di antara dua dunia yang tak bisa ia satukan begitu saja.

Setiap kali ia mengenang masa lalu bersama Damar, ada perasaan yang menghangatkan hatinya, namun juga meninggalkan rasa pahit. Perasaan itu datang dan pergi tanpa bisa ia kendalikan. Ada banyak kenangan indah yang terpatri, tetapi juga banyak luka yang harus dihadapi. Waktu yang mereka habiskan bersama tidak pernah cukup. Mereka selalu terburu-buru, seperti ada sesuatu yang menghalangi keduanya untuk berbicara lebih lama, untuk berbagi lebih banyak.

Hari-hari itu seperti menunggu di persimpangan yang tak jelas arahnya. Apakah ia harus memilih untuk mengikuti kata hati atau akal sehat? Perasaan dan logika sering kali bertentangan, dan keputusan yang harus diambil semakin mendalam. Mungkin, jawabannya tidak terletak pada waktu, tetapi pada diri mereka berdua, pada keinginan mereka untuk bertahan bersama meskipun dunia mengelilingi mereka dengan cepat.

Raisa kembali melihat kertas yang ada di meja. Ia mulai menulis lagi, meski tulisannya sedikit ragu-ragu. Ia menyulam kata-kata dengan hati-hati, merangkai setiap kalimat seolah sedang menjahit benang-benang perasaannya yang terputus. Waktu adalah bahan yang harus ia rajut kembali dengan penuh kehati-hatian, mengingat bahwa segala sesuatu bisa berubah dalam sekejap.

Tulisan yang dimulai dengan sebuah kalimat sederhana itu mulai mengalir, dan tak lama kemudian, Raisa merasa seperti sedang berbicara dengan dirinya sendiri. Ia menulis tentang ketakutannya, tentang kegelisahannya, tentang cinta yang selalu terabaikan karena ketakutan akan kehilangan. Setiap kata yang ia tulis seperti melukiskan perjalanan hati yang selama ini terpendam, dan kini, kata-kata itu mulai menemukan bentuknya.

Damar, dalam pikirannya, menjadi bagian dari semua ini—bagian yang tak bisa ia lepaskan meskipun ia tahu bahwa setiap langkah mereka ke depan tak selalu pasti. Namun, yang lebih mengganggu hatinya adalah bagaimana perasaan itu bisa begitu kuat dan tetap ada meski ada banyak alasan untuk meragu. Raisa tahu, tak ada cara untuk menghindari kenyataan bahwa hidup akan selalu penuh dengan ketidakpastian. Tetapi, dalam ketidakpastian itu, ada satu hal yang selalu jelas: cinta.

“Saat aku menulis, aku merasa seperti menyulam waktu,” tulis Raisa dalam kertas itu. “Setiap potongan kenangan yang kita punya, setiap waktu yang kita habiskan bersama, adalah benang yang harus disatukan. Tak selalu mudah, tak selalu sempurna, tapi dengan sedikit keberanian, aku tahu kita bisa merajutnya kembali.”

Setelah menulis beberapa baris, Raisa meletakkan pena dan menatap kertas itu sejenak. Ada rasa lega yang muncul di dalam dirinya, seperti sebuah beban yang sedikit berkurang. Ia tahu bahwa menulis adalah cara terbaik baginya untuk mengungkapkan perasaan, untuk merangkai kembali waktu yang tak pernah cukup. Dan di setiap helai tulisan yang ia buat, ia merasa seolah-olah bisa menata kembali semuanya, meski tidak dengan cara yang sempurna.

Waktu yang terlewat tidak akan pernah bisa dikembalikan, tetapi mungkin, dengan sedikit usaha dan banyak ketulusan, mereka bisa kembali memperbaiki apa yang pernah hilang. Jika cinta memang ditakdirkan untuk mereka, maka waktu, meskipun terbatas, akan tetap membawa mereka lebih dekat. Raisa menatap jendela dengan pandangan kosong, seolah menunggu sesuatu, menunggu waktu yang tidak akan pernah cukup untuk menjelaskan segalanya.

Namun, di balik harapan itu, Raisa sadar bahwa ia tidak bisa terus menunggu. Ia harus bergerak. Mungkin, langkah pertama adalah memperbaiki dirinya sendiri, menyulam waktu untuk masa depannya, tanpa harus menunggu sesuatu yang pasti. Ia menghela napas panjang, kemudian menulis lagi: “Mungkin waktu kita tidak akan pernah cukup, tapi aku akan terus menyulamnya, sedikit demi sedikit, agar kita bisa menemukan jalan menuju kebahagiaan.”

Dan, di situlah ia tahu, bahwa meskipun waktu terbatas, cinta bisa mengubah segalanya.***

———–THE END———

 

Source: Agustina Ramadhani
Tags: #CintaDalamKetidakpastian#CintaYangTahanWaktu#KarirDanCinta#PetualanganHidup#Romansa
Previous Post

*Ketika Cinta Ke na Prank

Next Post

KEJAR KEJARAN DENGAN SISA WAKTU

Next Post
KEJAR KEJARAN DENGAN SISA WAKTU

KEJAR KEJARAN DENGAN SISA WAKTU

main tidur bareng aphridate

main tidur bareng aphridate

RAHASIA DI BALIK SENYUMAN

RAHASIA DI BALIK SENYUMAN

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In