Bab 1: Pertemuan Tak Terduga
Hujan deras mengguyur kota Jakarta sore itu, menurunkan rintik-rintik air yang membasahi aspal dan menciptakan genangan di setiap sudut jalan. Siska menatap ke luar jendela kantor, pikirannya melayang jauh. Hari ini terasa begitu berat—seperti hari-hari terakhir beberapa bulan belakangan ini, setelah putus dari Andre, pacarnya yang sudah dia anggap sebagai segalanya. Hujan selalu mengingatkannya pada kenangan indah bersama Andre, kenangan yang kini terasa pahit dan menyakitkan.
Dia menarik napas panjang dan menghela pelan, mencoba menenangkan diri. Jam kerja sudah selesai, tapi dia memilih untuk tetap tinggal di kantor, menyelesaikan beberapa pekerjaan desain grafis yang tertunda. Dengan mata yang lelah, Siska menatap layar komputernya, namun pikirannya kembali terganggu oleh hujan di luar. Keinginan untuk pulang ke rumah dan berbaring di tempat tidur semakin kuat, tetapi langkah itu tertahan oleh ketidakpastian yang selalu menghantuinya—bagaimana cara melupakan masa lalu?
Ketika akhirnya memutuskan untuk pulang, Siska mengambil tasnya dan berjalan keluar dari ruangannya. Dia melangkah menuju pintu keluar kantor, di mana hujan semakin lebat. Air yang jatuh dari langit seakan-akan menambah berat di pundaknya. Dia memutuskan untuk menggunakan taksi, meskipun jalanan pasti macet akibat hujan ini. Hujan seakan menjadi penghalang antara dirinya dan kebebasan yang dia dambakan. Begitu menyeberang jalan menuju halte, tiba-tiba terdengar suara langkah cepat yang semakin mendekat. Sebelum dia sempat berbalik, tubuhnya terasa tersentak.
“Tunggu!” teriak suara seorang pria.
Tanpa sempat menghindar, Siska merasa tubuhnya terhuyung ke belakang, lalu merasa sesuatu menyentuh punggungnya dan tubuhnya jatuh dengan cepat. Seketika itu, hujan seolah menjadi satu-satunya saksi bisu dari insiden tak terduga itu. Dia menutup matanya, merasakan dinginnya genangan air yang masuk ke dalam sepatunya. Ketika membuka mata, dia melihat sosok pria yang tengah memegangnya erat, seolah berusaha mencegahnya jatuh lebih dalam ke dalam genangan.
“Maafkan saya! Anda baik-baik saja?” suara pria itu terdengar panik.
Siska menatap pria yang kini berjongkok di depannya. Ia mengenakan jaket hitam tebal, dengan rambut yang sedikit basah karena hujan. Wajahnya tampak khawatir, tetapi ada sesuatu yang familiar dalam sorot matanya, seolah-olah dia bukan orang asing. Siska sedikit terkejut dan memandang pria itu dalam diam.
“Ya, saya tidak apa-apa,” jawabnya pelan, mencoba berdiri dengan bantuan pria tersebut. Dia menyeka tetesan air dari wajahnya dan menatap pria itu dengan bingung.
Pria itu tersenyum kecil, melepaskan genggamannya yang masih menahan bahu Siska, tetapi mata mereka bertemu sejenak, seperti ada ikatan yang tak terucapkan.
“Saya benar-benar minta maaf. Tidak sengaja menabrak Anda. Hujan ini membuat semuanya jadi kacau,” pria itu berkata, suaranya sedikit lebih tenang. “Boleh saya bantu? Anda mungkin ingin menunggu hujan reda di tempat yang lebih kering.”
Siska merasa sedikit canggung. Tidak ada yang pernah menawarinya bantuan seperti ini sebelumnya, apalagi di tengah hujan deras seperti ini. Biasanya, orang akan langsung berlalu tanpa memperdulikan orang lain. Namun, ada sesuatu yang membuatnya merasa nyaman dengan kehadiran pria ini, meskipun mereka baru bertemu.
“Terima kasih, tapi saya rasa saya akan mencari taksi saja,” jawab Siska, sedikit ragu, namun dia sudah cukup terbiasa menghadapi dunia dengan caranya sendiri.
“Taksi bisa sulit dicari di sini, terutama saat hujan. Kalau Anda tidak keberatan, saya bisa mengantar Anda ke tempat yang lebih aman,” pria itu menawarkan, masih dengan senyuman yang ramah.
Siska menatap pria itu lagi, melihat ketulusan dalam matanya. Ada sesuatu yang membuatnya merasa aman, meskipun ia tidak tahu mengapa. “Baiklah,” jawabnya akhirnya, “Tapi hanya sampai halte, ya. Saya tidak ingin merepotkan Anda lebih jauh.”
“Tenang saja, tidak ada yang merepotkan. Hujan seperti ini memang membuat semuanya jadi lebih sulit.” Pria itu tersenyum lebar, menunjukkan gigi putihnya yang kontras dengan wajahnya yang basah.
Siska mengangguk pelan, dan mereka berdua berjalan menuju sebuah kedai kopi kecil di seberang jalan, tempat mereka bisa berteduh sejenak dari hujan. Siska merasa sedikit canggung, tapi dia memilih untuk mengikuti saja. Mungkin hujan ini memang membawa sesuatu yang berbeda. Seiring mereka berjalan, pria itu memperkenalkan dirinya.
“Saya Raka,” katanya. “Saya seorang penulis. Anda?”
“Siska,” jawab Siska singkat. “Saya bekerja di bidang desain grafis.”
Mereka duduk di meja dekat jendela yang menghadap langsung ke hujan yang semakin lebat. Siska memandang keluar, merasa nyaman dalam keheningan yang menyelimuti kedai itu. Raka membuka percakapan lagi, berbicara tentang dunia tulisannya, dan Siska merespon dengan perlahan, merasa sedikit lebih terbuka. Meskipun baru pertama kali bertemu, ada perasaan yang sulit dijelaskan—sebuah ketertarikan yang perlahan tumbuh, meskipun dia berusaha menepisnya.
Di luar jendela, hujan tak kunjung reda, namun bagi Siska, di balik hujan itu ada sesuatu yang mulai terbuka—mungkin sebuah bab baru dalam hidupnya.*
Bab 2: Langkah Awal
Hari-hari berlalu dengan cepat sejak pertemuan tak terduga itu. Siska tidak bisa mengingkari fakta bahwa pertemuan dengan Raka, meskipun sederhana, telah meninggalkan kesan yang cukup dalam di hatinya. Hujan yang saat itu menjadi saksi bisu dari peristiwa yang mengubah jalan pikirannya, kini seolah kembali mengingatkannya pada sosok Raka yang begitu ramah dan penuh perhatian. Namun, meskipun begitu, Siska berusaha keras untuk menepis segala perasaan yang mulai tumbuh. Dia tahu bahwa dia masih belum siap untuk membuka hatinya lagi setelah patah hati yang dia alami beberapa bulan lalu.
Namun, hari itu, Raka kembali muncul dalam hidupnya. Siska baru saja selesai makan siang di sebuah kafe kecil dekat kantor ketika dia menerima pesan singkat dari nomor yang belum dia simpan di kontaknya.
Raka: “Siska, apakah kamu punya waktu sejenak? Saya ingin mengajakmu berbicara lagi, mungkin dengan secangkir kopi?”
Siska menatap layar ponselnya, merenung. Ia tidak bisa menyangkal bahwa dia merasa sedikit penasaran, tetapi juga takut untuk terjebak dalam situasi yang tidak bisa dia kontrol. Sejak pertemuan mereka yang pertama, Raka terus muncul dalam pikirannya—pada saat-saat tertentu, dia membayangkan bagaimana kehidupan bersama seseorang seperti Raka bisa saja berjalan. Tetapi, lagi-lagi, kenangan masa lalu yang penuh luka membuatnya ragu.
Siska memutuskan untuk merespons pesan itu, meskipun dengan sedikit keraguan.
Siska: “Baiklah, saya tidak keberatan. Di mana kita bisa bertemu?”
Tidak lama kemudian, Raka membalas dengan alamat kafe yang cukup dekat dengan tempat Siska bekerja. Siska merasa sedikit canggung. Dia berpikir, ini mungkin hanya percakapan biasa, bukan sesuatu yang terlalu serius. Meski demikian, ada dorongan dalam dirinya untuk pergi, untuk mendengar apa yang ingin disampaikan oleh Raka.
Setelah kembali ke kantor untuk menyelesaikan beberapa tugas, Siska memutuskan untuk meninggalkan tempat kerja lebih awal. Hujan rintik-rintik mengiringi langkahnya, namun kali ini, dia tidak merasa terbebani. Mungkin, itu adalah tanda bahwa dia bisa memulai sesuatu yang baru, meski harus melalui ketidakpastian.
Sesampainya di kafe, Raka sudah ada di sana, duduk di meja pojok yang cukup nyaman, dengan secangkir kopi di depannya. Dia tersenyum ketika melihat Siska datang, dan bangkit dari kursinya menyambutnya.
“Siska, terima kasih sudah datang,” kata Raka, nada suaranya hangat dan bersahabat. “Aku harap kamu tidak kesulitan menemukan tempat ini.”
Siska tersenyum kecil dan duduk di kursi yang disediakan. “Tidak, aku tidak kesulitan. Tempat ini cukup nyaman.”
Mereka berdua mulai berbicara tentang hal-hal yang ringan terlebih dahulu—cuaca, pekerjaan, dan kebiasaan sehari-hari. Namun, seiring berjalannya waktu, percakapan mereka mulai semakin dalam. Raka bercerita tentang pekerjaannya sebagai penulis, tentang bagaimana dia memilih untuk menjadi seorang penulis meskipun sempat meragukan kemampuannya di awal. Dia juga berbicara tentang tantangan yang dia hadapi dalam hidupnya, meski tidak terlalu rinci.
“Jadi, kamu seorang penulis?” tanya Siska, merasa penasaran. “Keren juga. Apa yang biasanya kamu tulis?”
Raka tersenyum, mata cokelatnya tampak berbinar. “Biasanya aku menulis cerita-cerita fiksi. Tapi belakangan ini, aku lebih sering menulis tentang perjalanan hidupku sendiri. Tentang bagaimana aku belajar untuk menerima diri ini, tentang kesalahan-kesalahan yang pernah aku buat dan bagaimana aku menghadapinya. Kadang, hidup ini tidak seperti yang kita bayangkan, kan?”
Siska mengangguk, perasaan tak nyaman itu sedikit berkurang. Dia merasa ada kesamaan antara dirinya dan Raka—keduanya sedang berusaha untuk menemukan keseimbangan dalam hidup mereka, meskipun dari dua dunia yang berbeda. “Aku rasa, hidup memang penuh dengan kejutan. Banyak hal yang tidak bisa kita prediksi. Tapi mungkin, itu bagian dari proses, bukan?”
“Benar,” jawab Raka, matanya menatap penuh makna. “Aku percaya, setiap orang punya cerita yang unik. Dan kadang, kita harus berbicara dengan orang lain untuk bisa memahami kisah kita sendiri.”
Siska terdiam sejenak, merenung. Kalimat Raka membuatnya berpikir lebih dalam. Mungkin dia sudah lama terjebak dalam dunia pikirannya sendiri—terlalu banyak menahan rasa sakit dari masa lalu, dan terlalu sedikit memberi ruang untuk hal-hal baru. Namun, rasa takut untuk membuka hati lagi tetap ada, seperti bayangan gelap yang mengikuti langkahnya.
“Apakah kamu takut melangkah maju setelah semua yang terjadi?” tanya Raka, seolah bisa membaca pikiran Siska. “Aku tidak tahu, Siska. Tapi aku merasa, kalau kita terus menunggu sampai semuanya sempurna, kita akan kehilangan banyak kesempatan. Dan terkadang, kebahagiaan itu datang bukan dari yang kita rencanakan, tetapi dari hal-hal yang tidak terduga.”
Siska menatap Raka, terkejut dengan kedalaman kata-katanya. Ada sesuatu dalam diri Raka yang membuatnya merasa tenang, meski dia tahu itu masih terlalu dini untuk menganggapnya begitu penting. Tetapi, perlahan, sebuah perasaan mulai tumbuh di dalam dirinya—perasaan bahwa mungkin, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ada seseorang yang benar-benar mendengarkan.
Keduanya berbicara lebih lama lagi, membicarakan berbagai hal, dari pekerjaan hingga impian mereka di masa depan. Waktu terasa berjalan begitu cepat, dan Siska merasa lebih rileks dibandingkan sebelumnya. Ia merasa lebih mudah berbicara dengan Raka daripada yang dia bayangkan.
Saat pertemuan itu berakhir, hujan sudah reda. Siska berdiri dan mengangkat tasnya, bersiap untuk pulang. Raka juga berdiri dan menyodorkan tangannya.
“Siska, terima kasih sudah meluangkan waktu. Aku senang bisa berbicara denganmu. Mungkin kita bisa bertemu lagi?” tanya Raka dengan senyum yang tulus.
Siska menatap tangan Raka sejenak, lalu perlahan menyambutnya. “Tentu,” jawabnya pelan. “Aku juga senang bisa berbicara denganmu. Sampai jumpa.”
Ketika Siska berjalan keluar dari kafe, hujan yang semula deras kini telah berhenti. Langit biru perlahan muncul, seolah memberi sinyal bahwa mungkin, langkah awal yang dia ambil menuju sesuatu yang baru akan membawa banyak perubahan dalam hidupnya. Raka adalah langkah pertama yang tak terduga, dan mungkin, justru itulah yang selama ini dia butuhkan untuk membuka kembali pintu hatinya.*
Bab 3: Hujan yang Mengubah
Siska duduk di balkon apartemennya, menatap keluar jendela dengan pikiran yang penuh. Hujan kembali turun dengan lebat, membasahi segala yang ada di luar sana. Dia selalu merasa ada sesuatu yang misterius tentang hujan—seolah hujan memiliki kekuatan untuk membersihkan, namun juga menyisakan kenangan yang sulit dihapus. Sejak pertemuan dengan Raka, perasaannya semakin sulit untuk dipahami. Sesuatu yang selama ini dia coba hindari, kini mulai muncul kembali—perasaan yang nyaris terlupakan.
Beberapa hari terakhir, Raka dan Siska semakin sering bertemu. Tidak hanya di kafe, tapi juga di tempat-tempat lain yang mereka kunjungi bersama—taman kota yang tenang, galeri seni kecil yang penuh warna, atau sekadar jalan-jalan santai di sekitar pusat perbelanjaan. Siska merasa nyaman dengan Raka. Dia tidak merasa terburu-buru atau tertekan untuk menjadi sesuatu yang dia tidak inginkan. Raka, dengan segala kesederhanaannya, mampu mengajarkan Siska cara melihat dunia dari perspektif yang berbeda.
Namun, meskipun perasaannya mulai berubah, Siska tetap merasa ragu. Dia tahu bahwa dirinya belum sepenuhnya sembuh dari luka lama yang masih membekas. Rasa takut untuk jatuh cinta lagi, untuk membuka hati kembali, selalu menghantuinya. Hujan yang turun hari ini seolah membawa perasaan itu kembali, membuatnya bertanya-tanya apakah ini saat yang tepat untuk melangkah maju.
Beberapa detik kemudian, ponsel Siska bergetar, menariknya keluar dari lamunan. Sebuah pesan masuk, dan saat melihat siapa pengirimnya, hati Siska terasa sedikit berdebar.
Raka: “Siska, aku tahu mungkin ini terdengar tiba-tiba, tapi apakah kamu ingin pergi bersamaku ke sebuah tempat yang agak jauh? Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan. Jangan khawatir, hanya sedikit perjalanan yang tidak akan terlalu lama.”
Siska menatap pesan itu lama. Ada keraguan di dalam dirinya, tetapi di sisi lain, rasa penasaran dan ketertarikan terhadap Raka mulai mengalahkan rasa takutnya. Dia ingin tahu lebih banyak tentang pria ini—tentang kehidupannya, tentang dunia yang dia tawarkan. Setelah beberapa detik berpikir, Siska membalas pesan itu.
Siska: “Tentu, aku tertarik. Kapan kita berangkat?”
Tidak lama setelah itu, Raka mengirimkan lokasi dan waktu pertemuan, yang ternyata cukup dekat dengan apartemennya. Siska segera bersiap-siap, meraih jaket biru kesayangannya, dan memeriksa dompet. Dia merasa sedikit gugup, tetapi ada perasaan hangat yang muncul dalam dirinya. Mungkin ini adalah langkah baru dalam hidupnya—langkah yang selama ini dia hindari.
Setibanya di tempat yang dimaksud, Siska melihat Raka sudah menunggu di dekat pintu mobilnya, dengan senyum yang khas. Pria itu tampak santai dengan jaket hitam yang dikenakannya. Sesaat, Siska merasa sedikit canggung, tapi Raka menyapa dengan ramah.
“Senang kamu datang,” kata Raka sambil membuka pintu mobil untuk Siska. “Aku janji ini akan menjadi perjalanan yang menyenangkan.”
Siska tersenyum dan masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan, mereka berbicara tentang banyak hal—tentang impian, harapan, dan tentu saja, masa lalu masing-masing. Raka, seperti biasa, berbicara dengan nada yang tenang dan santai, sementara Siska merasa lebih terbuka daripada yang dia kira. Hujan kembali turun dengan derasnya, menambah kesan magis pada perjalanan mereka. Namun kali ini, Siska tidak merasa terbebani. Hujan seakan menjadi teman dalam perjalanan yang baru dimulai.
Setelah sekitar satu jam perjalanan, mereka sampai di sebuah daerah yang cukup terpencil, jauh dari hiruk-pikuk kota. Di sini, Siska bisa merasakan ketenangan yang sulit dia temukan di tempat lain. Raka mengajak Siska berjalan kaki menyusuri jalan setapak yang dikelilingi pepohonan hijau. Mereka menuju sebuah tepi danau yang begitu indah, dengan pemandangan langit yang mulai gelap.
“Siska, aku ingin menunjukkan tempat ini padamu,” kata Raka, sambil mengarahkan pandangan Siska ke danau yang luas. “Ini adalah tempat yang sangat spesial bagi aku. Di sini, aku merasa bisa berbicara dengan diriku sendiri, menemukan kedamaian di tengah segala kerumitan hidup.”
Siska berdiri di samping Raka, memandang ke danau yang tenang. Hujan tidak membuatnya merasa dingin; sebaliknya, ada perasaan hangat yang muncul dalam dirinya. Ada sesuatu dalam dirinya yang mengatakan bahwa dia bisa mempercayai Raka, bahwa mungkin, perasaan ini adalah sesuatu yang perlu dia nikmati tanpa terlalu banyak bertanya.
“Ini sangat indah,” Siska akhirnya berkata, matanya masih terfokus pada air yang tenang di hadapannya. “Aku bisa merasakan kedamaian di sini, seperti yang kamu katakan.”
Raka mengangguk pelan, kemudian menatap Siska dengan tatapan yang lebih serius. “Siska, aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku merasa ada sesuatu yang berbeda ketika aku berada di dekatmu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku ingin mencoba.”
Siska terdiam. Hatinya berdebar lebih cepat dari sebelumnya. Kata-kata Raka, meskipun sederhana, memiliki kekuatan yang tidak bisa dia hindari. Ada perasaan yang tumbuh dalam dirinya—perasaan yang dia coba hindari selama ini, namun kini mulai menghampirinya dengan cepat. Rasa takutnya mulai luntur, seiring dengan setiap langkah yang dia ambil bersama Raka.
“Tapi aku…” Siska terhenti, kata-katanya terhenti di tenggorokan. “Aku belum siap untuk melupakan masa lalu.”
Raka menatapnya penuh pengertian, mendekat sedikit dan memberi jarak yang cukup agar Siska merasa nyaman. “Aku tidak ingin kamu melupakan masa lalu. Aku hanya ingin kamu tahu, kalau kamu siap untuk membuka lembaran baru, aku akan ada di sini.”
Siska menatap Raka lama, matanya mulai berbicara lebih dari sekadar kata-kata. Di tengah hujan yang mengalir deras dan di balik danau yang tenang, dia merasakan sebuah kehangatan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Hujan memang bisa membawa banyak perubahan, dan mungkin, hari ini adalah saat yang tepat untuk menerima kenyataan itu—bahwa ada seseorang yang bisa membantunya menemukan kedamaian, meskipun hujan turun tanpa henti.*
Bab 4: Terperangkap dalam Mimpi
Siska terjaga dari tidurnya dengan perasaan yang samar, seolah baru saja meninggalkan sebuah dunia yang penuh misteri dan ketidakpastian. Saat matanya terbuka, dia menemukan dirinya kembali di kamar apartemen yang tenang, dengan cahaya pagi yang masuk melalui jendela. Namun, ada sesuatu yang aneh—sesuatu yang tak bisa dia jelaskan. Dia merasa seperti terjebak di antara kenyataan dan mimpi.
Semalam, setelah perjalanan ke tepi danau yang tenang, Raka mengantarnya pulang dengan senyum yang penuh arti. Namun, sepanjang malam, Siska tidak bisa menepis bayangan perjalanan itu dari pikirannya. Sesuatu tentang cara Raka berbicara, tentang tatapan matanya yang penuh perhatian, dan tentang kenyamanan yang dia rasakan saat bersama pria itu, semuanya terasa begitu dekat, begitu nyata. Tapi kenapa perasaan itu seolah muncul dengan begitu cepat? Apa yang sebenarnya dia cari dalam diri Raka?
Siska menarik selimutnya dan duduk di tepi tempat tidur, mencoba menenangkan pikiran yang berlarian. Setiap langkah yang dia ambil bersama Raka semakin membuatnya merasa semakin terperangkap. Tidak hanya dalam perasaan, tetapi juga dalam kenyataan yang dia sendiri tak bisa mengontrol. Di satu sisi, dia merasa nyaman dan bahagia, tetapi di sisi lain, rasa takut dan keraguan itu terus menghantuinya.
“Apakah ini benar?” gumamnya pelan, memandangi dirinya di cermin kamar yang memantulkan wajah yang penuh kebingungan.
Dia masih ingat jelas saat pertama kali dia bertemu dengan Raka. Pria itu tampak seperti seseorang yang tidak ingin mengikatkan janji atau membuatnya merasa terbebani dengan harapan yang terlalu tinggi. Raka tidak pernah mengungkit masa lalu atau memberi tekanan untuk membuka diri. Dia hanya ada di sana, menjadi teman yang mendengarkan, yang tidak pernah meminta lebih dari yang Siska bisa berikan.
Namun, Siska merasa seperti ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan yang mulai tumbuh di antara mereka. Rasa nyaman yang dia rasakan setiap kali berada di dekat Raka, bagaimana setiap obrolan terasa begitu mendalam dan berarti, membuatnya terperangkap dalam perasaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Apakah ini cinta? Atau hanya sebuah ilusi, sebuah mimpi yang datang begitu tiba-tiba dan membawanya terperangkap dalam perasaan yang sulit dipahami?
Pagi itu, setelah memutuskan untuk mencoba melupakan kebingungannya, Siska memutuskan untuk keluar dan berjalan-jalan sebentar. Dia merasa udara segar dan cahaya matahari pagi bisa memberinya kejernihan. Namun, pikiran tentang Raka terus mengikuti setiap langkahnya.
Saat Siska berjalan di trotoar yang dipenuhi daun-daun gugur, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Raka.
Raka: “Siska, aku ingin bertemu hari ini. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan. Aku harap kamu bisa datang.”
Jantung Siska berdebar. Ada rasa cemas yang menyelinap, tapi di sisi lain, rasa penasaran semakin menguasainya. Tanpa pikir panjang, dia segera membalas pesan itu.
Siska: “Tentu, aku akan datang. Jam berapa?”
Tidak lama kemudian, Raka memberikan detail tempat dan waktu pertemuan. Tempat itu adalah sebuah kafe kecil yang terletak di ujung jalan yang sering mereka lewati. Siska merasa sedikit terkejut dengan permintaan Raka, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang merasa siap untuk bertemu lagi. Mungkin ini adalah kesempatan untuk membicarakan perasaan yang belum dia pahami sepenuhnya.
Setibanya di kafe, Siska melihat Raka sudah duduk di pojok ruangan, sambil menatap ke luar jendela. Mata pria itu penuh dengan pemikiran, seolah sedang merenungkan sesuatu yang serius. Begitu melihat Siska datang, Raka tersenyum, namun senyumnya kali ini terlihat lebih penuh makna, lebih dalam.
“Hei, Siska,” sapa Raka dengan suara lembut, mengundangnya untuk duduk di seberang meja. “Terima kasih sudah datang.”
Siska duduk dengan sedikit canggung, merasakan ketegangan yang mengisi udara di antara mereka. Raka tidak langsung berbicara, hanya mengamati wajah Siska sejenak, seolah mencari sesuatu dalam ekspresinya.
“Ada yang ingin aku katakan,” Raka akhirnya memecah keheningan, suaranya lebih serius daripada biasanya. “Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi aku merasa kita sudah sangat dekat dalam waktu yang singkat. Dan aku tidak ingin ini berlarut-larut tanpa kejelasan. Aku ingin tahu, apa yang sebenarnya kamu rasakan tentang kita?”
Siska terdiam. Pertanyaan itu terasa seperti sebuah bom yang meledak di dalam pikirannya. Perasaan yang selama ini dia coba hindari, yang selalu mengendap dan mengganggu, kini tiba-tiba terungkap begitu saja. “Aku…” Siska terhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat. “Aku merasa ada sesuatu yang berubah dalam diriku sejak kita mulai bertemu. Aku merasa nyaman, tapi aku juga takut.”
Raka menatapnya dengan penuh perhatian, seakan memahami keraguan yang ada dalam diri Siska. “Aku tahu ini mungkin sulit untuk kamu, Siska. Aku tidak ingin memaksamu untuk merasa apa yang aku rasakan. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini, dan aku siap untuk menunggu.”
Tegas namun lembut, kata-kata Raka begitu meyakinkan, namun justru semakin memperburuk kebingungannya. Mimpi itu—mimpi tentang hubungan yang bebas dari masa lalu, yang tidak memerlukan janji atau harapan—sekarang terasa semakin rumit. Siska merasa seperti terperangkap dalam perasaan yang tak bisa dia lepaskan, seperti berada dalam mimpi yang dia sendiri tidak tahu bagaimana cara untuk keluar.
Di luar kafe, hujan mulai turun dengan deras. Hujan yang membawa perasaan dan kenangan yang tak pernah selesai. Siska menatap Raka, dan dalam hati, dia merasa semakin terperangkap dalam mimpi yang perlahan menjadi kenyataan.*
Bab 5: Hujan dan Keputusan
Hujan yang turun dengan deras di luar jendela kafe itu membuat suasana semakin intim dan penuh emosi. Siska menatap butiran air yang mengalir turun dari kaca, sementara pikirannya bergumul antara keraguan dan perasaan yang semakin membingungkan. Dia tak bisa menahan perasaan yang terus berkembang sejak pertemuan mereka pertama kali. Raka, dengan tatapan matanya yang penuh pengertian dan senyum yang hangat, seakan menjadi bagian dari setiap langkahnya, meski tak terucap. Tetapi, apakah dia siap untuk mengambil langkah selanjutnya?
Raka menatapnya dengan tenang, seolah bisa merasakan kebimbangan yang melanda hati Siska. Ia mengambil segelas kopi hangat di hadapannya dan menghirupnya perlahan, sementara diam-diam menunggu jawaban dari Siska yang terasa begitu lama.
“Raka…” suara Siska terdengar sedikit ragu, namun dia tahu bahwa dia harus mengungkapkan perasaannya, meski itu berarti harus menghadapi ketakutannya sendiri. “Aku merasa seperti terjebak dalam sebuah mimpi. Rasanya semuanya begitu indah, begitu nyata. Tapi aku takut jika aku membuat keputusan yang salah, jika aku terlalu cepat terjebak dalam perasaan ini.”
Raka mengangguk, memahami setiap kata yang keluar dari mulut Siska. Dia meletakkan cangkir kopinya di meja dan menghadapinya dengan penuh perhatian. “Siska, aku tidak akan pernah memaksamu untuk memilih sesuatu yang kamu rasa belum siap. Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku di sini, dengan segala perasaan yang aku miliki untukmu.”
Siska menggigit bibirnya, matanya terfokus pada hujan di luar yang semakin deras, seakan mencerminkan kebingungannya. Pikirannya penuh dengan bayang-bayang masa lalu yang tak pernah bisa dia lepaskan, dengan ketakutan akan kekecewaan, dan dengan keraguan apakah dia bisa membuka hatinya sepenuhnya untuk seseorang lagi. Semua perasaan itu begitu asing, begitu intens, dan dia tidak tahu bagaimana cara menghadapinya.
Namun, sesuatu dalam dirinya berkata bahwa dia tidak bisa terus bersembunyi. Hujan yang mengguyur kota seakan menjadi pengingat bahwa hidup ini tidak bisa terus berjalan di tempat. Ada keputusan yang harus diambil, ada langkah yang harus diambil untuk bisa maju. Jika dia terus menunda, jika dia terus berlari dari perasaan yang ada, dia hanya akan kehilangan kesempatan untuk merasakannya.
“Aku tidak tahu harus mulai dari mana, Raka,” kata Siska pelan. “Tapi satu hal yang aku tahu adalah, aku tidak ingin hidupku dipenuhi dengan penyesalan karena tidak berani mengambil kesempatan. Aku takut, tapi aku juga ingin tahu apa yang bisa terjadi jika aku membuka hati.”
Raka tersenyum dengan penuh pengertian. “Siska, aku mengerti ketakutanmu. Aku tahu betul bagaimana rasanya terjebak dalam ketidakpastian. Tetapi, kamu tidak perlu melakukannya sendirian. Jika kamu siap, aku ada di sini, dan kita bisa menjalani semuanya bersama.”
Kata-kata itu memberi Siska sedikit ketenangan. Tapi, perasaan itu tetap ada, perasaan yang seolah memberontak di dalam dadanya. Akankah dia benar-benar siap untuk menghadapinya? Akankah dia benar-benar bisa mempercayakan hatinya kepada Raka?
Perlahan, dia mengalihkan pandangannya ke luar jendela, memperhatikan hujan yang jatuh tanpa henti. Dalam setiap tetes air itu, ada rasa kebebasan yang tiba-tiba dia rasakan. Hujan yang tak pernah berhenti mengingatkannya pada perjalanan hidupnya yang penuh ketidakpastian, tetapi juga penuh dengan kemungkinan. Apakah dia akan terus bersembunyi dalam bayang-bayang masa lalu? Atau akankah dia memilih untuk menerima kenyataan dan menghadapi segala tantangan yang ada?
Di saat itu, ada sebuah suara dalam dirinya yang berkata: “Jangan lari lagi.”
Siska menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Hujan di luar semakin deras, dan di dalam hatinya, segala keraguan mulai reda. Dia tahu, keputusan ini tidak bisa diambil dengan terburu-buru. Namun, satu hal yang pasti—jika dia tidak mengambil langkah pertama, dia akan selalu terjebak dalam ketakutannya sendiri.
“Aku ingin mencoba, Raka,” ujar Siska akhirnya, dengan suara yang lebih mantap dari sebelumnya. “Aku ingin melihat ke mana perasaan ini membawa kita. Aku tidak ingin terus hidup dengan keraguan dan penyesalan.”
Raka tersenyum lebar, dan seketika itu, Siska merasa sebuah beban besar terangkat dari pundaknya. Hujan yang turun dengan derasnya seakan menjadi saksi bisu dari keputusan besar yang baru saja dia ambil. Keputusan untuk membuka hati, untuk menerima kemungkinan yang datang, dan untuk menjalani hidup dengan lebih berani.
Mereka berdua saling berpandangan, dan di mata masing-masing, ada sebuah harapan yang tumbuh, seperti bunga yang mulai mekar di tengah hujan yang tak kunjung reda. “Aku akan menunggumu, Siska,” kata Raka, dengan penuh keyakinan. “Tidak ada lagi yang perlu ditakutkan.”
Mata Siska berkaca-kaca, tapi kali ini bukan karena kesedihan. Ada kehangatan, ada rasa aman yang mengalir dalam dirinya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa seperti berada di tempat yang tepat, dengan orang yang tepat. Keputusan itu memang tidak mudah, tetapi dia tahu bahwa setiap langkah yang diambil dengan hati yang terbuka akan membawa mereka pada sesuatu yang indah.
Dan di luar, hujan terus mengguyur kota, sementara di dalam kafe kecil itu, dua hati saling terhubung dalam sebuah keputusan yang mengubah segala sesuatu—keputusan untuk memulai sesuatu yang baru.*
Bab 6: Cinta di Balik Hujan
Hujan yang terus turun dengan deras pagi itu seakan menjadi latar yang sempurna untuk cerita mereka. Setiap tetes air yang jatuh di kaca jendela kafe seolah mengingatkan Siska pada perasaan yang semakin mendalam. Hujan tidak hanya membawa dingin, tetapi juga kenyamanan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Dalam pelukan hujan itu, dia merasa ada sesuatu yang tumbuh, sebuah perasaan yang sukar diungkapkan namun begitu kuat, begitu nyata.
Hari-hari setelah keputusan itu terasa berlalu begitu cepat. Raka tidak hanya menjadi sosok yang hadir di setiap ruang kosong dalam hidup Siska, tetapi juga menjadi sumber kekuatan yang tidak terduga. Mereka semakin dekat, menghabiskan waktu bersama, berbicara tentang banyak hal, dan menikmati kebersamaan yang sederhana namun penuh makna. Setiap pertemuan dengan Raka membawa kehangatan yang menenangkan hati, dan seiring berjalannya waktu, Siska mulai merasakan perubahan dalam dirinya.
Namun, meski semuanya terasa berjalan dengan baik, Siska tidak bisa menepis rasa khawatir yang terus menggelayuti pikirannya. Meskipun dia telah memutuskan untuk membuka hatinya, ada bagian dari dirinya yang takut akan kehilangan, takut pada kenyataan bahwa kadang-kadang perasaan bisa berubah tanpa peringatan. Apakah Raka benar-benar siap untuk menemaninya melalui segala suka dan duka? Atau akankah semuanya berakhir seperti yang selalu terjadi di masa lalu?
Suatu sore, setelah hujan reda, Siska duduk di balkon apartemennya, memandangi jalanan yang basah. Pemikiran tentang masa depan dan hubungan mereka yang baru saja dimulai menggelayuti kepalanya. Tiba-tiba, ponselnya bergetar, membawa pesan dari Raka.
Raka: “Siska, aku ingin kita bicara malam ini. Ada sesuatu yang penting yang ingin aku ungkapkan.”
Pesan itu mengingatkan Siska pada perasaan yang seolah berbaur dengan kecemasan. Apa yang ingin Raka bicarakan? Apakah dia akan mengatakan sesuatu yang akan mengubah segalanya? Siska menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya. Setelah beberapa saat, dia membalas pesan itu.
Siska: “Tentu, aku akan datang.”
Malam itu, mereka bertemu di tempat yang sama seperti biasa—kafe kecil yang menjadi saksi bisu dari cerita mereka. Raka sudah ada di sana, duduk dengan serius, namun senyum tipis di wajahnya tetap memberikan rasa nyaman bagi Siska. Begitu Siska duduk di hadapannya, Raka menatapnya dengan penuh perhatian.
“Siska,” katanya dengan suara lembut, “aku ingin kamu tahu, aku sudah memikirkan ini cukup lama. Tentang kita, tentang perasaan yang tumbuh, dan tentang bagaimana aku ingin menjalaninya ke depan.”
Siska menatapnya, matanya sedikit membelalak, seolah tak sabar untuk mendengar apa yang akan dikatakan selanjutnya. “Apa yang kamu pikirkan, Raka?”
Raka menarik napas dalam, lalu meletakkan tangannya di atas meja, menghadap Siska dengan tatapan penuh keyakinan. “Aku tahu kita baru memulai, dan aku tidak ingin terburu-buru. Tapi, aku ingin kamu tahu bahwa aku serius dengan perasaan ini, Siska. Aku ingin lebih dari sekadar teman untukmu. Aku ingin menjadi seseorang yang bisa kamu percayai, yang bisa kamu andalkan, dan yang akan selalu ada di sampingmu, tidak peduli apa yang terjadi.”
Kata-kata itu datang begitu dalam, dan Siska bisa merasakan betapa tulusnya. Setiap detik yang berlalu seakan memberi ruang bagi hatinya untuk meresapi perasaan itu. Rasa takut yang selama ini menggelayuti pikirannya perlahan menguap, digantikan dengan kehangatan yang sulit dijelaskan.
“Raka…” Siska membuka mulutnya, namun kata-katanya tertahan. Dia tahu betul apa yang dirasakannya, namun mengatakan itu dengan jelas terasa seperti sebuah langkah besar yang harus dia ambil. “Aku juga merasakan hal yang sama. Tapi… aku takut. Aku takut kalau perasaan ini hanya sementara, atau jika aku akhirnya terluka lagi.”
Raka tersenyum lembut, seakan mengerti sepenuhnya keraguan Siska. “Aku tahu. Aku juga pernah merasakan hal yang sama sebelumnya. Tapi kita tidak akan tahu kalau kita tidak mencobanya, kan? Cinta itu bukan hanya tentang perasaan yang datang begitu saja, Siska. Cinta adalah tentang bagaimana kita berjuang untuk menjaga apa yang kita miliki. Dan aku ingin berjuang untuk kita.”
Kata-kata itu, begitu sederhana namun penuh makna, membuat hati Siska berdegup lebih cepat. Dia menatap Raka, dan dalam matanya dia melihat kesungguhan, sebuah janji yang ingin dia pegang. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Siska merasa siap untuk menghadapinya—untuk menerima kenyataan bahwa perasaan yang mereka miliki bukanlah mimpi, melainkan sesuatu yang layak diperjuangkan.
“Siska,” kata Raka, suara lembut namun penuh harapan. “Apakah kamu bersedia untuk menjalani perjalanan ini bersama-sama? Aku tidak bisa menjanjikan segalanya akan sempurna, tapi aku janji akan selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk kita.”
Siska menunduk sejenak, mencerna setiap kata yang baru saja diucapkan. Di luar, langit sudah mulai cerah, tanda hujan yang sempat turun mulai reda. Dia menatap Raka, dan perlahan senyum lembut muncul di wajahnya. “Ya, aku bersedia. Aku ingin mencoba, Raka.”
Mereka saling tersenyum, dan saat itu, Siska merasa segala keraguan dan ketakutannya terhapus. Cinta tidak datang tanpa tantangan, tetapi Siska kini tahu bahwa dia tidak perlu menghadapinya sendirian. Bersama Raka, dia siap untuk menjalani setiap langkah, setiap tantangan, dan setiap momen yang akan datang.
Dan di balik hujan yang reda, di bawah langit yang kembali cerah, cinta mereka mulai tumbuh—cinta yang sederhana namun penuh dengan janji dan harapan. Keputusan yang diambil di tengah hujan itu, kini terasa seperti awal dari sebuah cerita indah yang akan mereka tulis bersama.*
Bab 7: Epilog – Hujan yang Menjadi Kenangan
Hujan telah lama berhenti, namun suasana malam itu tetap diselimuti kehangatan yang tak kunjung pudar. Di luar jendela, langit mulai kembali jernih, meski jejak-jejak hujan masih membekas di setiap sudut kota. Siska duduk di tepi ranjang, memandangi foto yang terletak di tangannya, foto yang diambil beberapa bulan lalu di bawah hujan yang deras, saat dia dan Raka pertama kali memutuskan untuk bersama. Foto itu bukan hanya sekadar gambar—itu adalah saksi bisu dari perjalanan mereka, perjalanan yang penuh tantangan, harapan, dan akhirnya, cinta yang mereka perjuangkan.
Siska tersenyum pelan, matanya menerawang pada kenangan yang kembali muncul dalam pikirannya. Semua dimulai dengan pertemuan tak terduga, pertemuan yang terjadi di bawah hujan, yang seakan menjadi takdir. Waktu berlalu, dan setiap momen bersama Raka seakan menjadi bagian dari kisah yang tak pernah terbayangkan sebelumnya—sebuah kisah yang kini menjadi bagian dari hidupnya yang tak tergantikan.
Dua tahun telah berlalu sejak hari itu. Mereka telah melalui banyak hal bersama—momen indah, tantangan, bahkan perpisahan sementara yang menguji kekuatan hubungan mereka. Namun, satu hal yang tak pernah berubah adalah komitmen mereka untuk saling mendukung dan memahami. Hujan yang dulu datang sebagai pembuka cerita mereka kini menjadi kenangan yang penuh makna, kenangan yang tidak hanya dikenang sebagai awal dari kisah mereka, tetapi juga sebagai simbol dari perjalanan panjang yang telah mereka tempuh bersama.
“Siska,” suara Raka memecah lamunan Siska, membuatnya tersadar dari dunia kenangan yang ia ciptakan dalam pikirannya. Raka duduk di sampingnya, wajahnya yang kini lebih matang dan penuh dengan kebijaksanaan tersenyum lembut. “Kamu sedang mengingat hal-hal lama, ya?”
Siska menatapnya dengan tatapan penuh kasih. “Iya, aku sedang memikirkan betapa banyak hal yang telah kita lewati. Betapa berartinya perjalanan ini bagi kita berdua.” Siska lalu meletakkan foto itu di meja kecil yang ada di samping tempat tidur. “Aku ingat waktu pertama kali kita memutuskan untuk bersama. Semua terasa begitu menakutkan, tetapi juga begitu indah. Seperti hujan yang datang tanpa peringatan, tapi justru membuat semuanya lebih hidup.”
Raka mengangguk, seakan memahami setiap kata yang diucapkan Siska. “Hujan itu memberi kita banyak pelajaran. Dan aku percaya, kita tidak bisa menghindari hujan dalam hidup. Tapi kita bisa memilih bagaimana cara kita menghadapinya. Kita bisa berjalan bersama, saling mendukung, dan membiarkan hujan itu membawa kita pada tempat yang lebih baik.”
Siska menatap Raka dengan mata yang penuh makna. “Kau benar. Hujan itu mungkin datang dengan kesedihan dan keraguan, tetapi jika kita bisa bertahan, kita akan menemukan keindahan di baliknya.”
Mereka berdua duduk dalam hening, menikmati kebersamaan yang begitu tenang. Hujan yang telah berlalu menyisakan kenangan yang tak bisa dilupakan, dan meskipun hujan itu tak lagi ada, ada banyak hal indah yang terbentuk karenanya. Siska merasa bahwa dia telah menemukan tempatnya—di dalam pelukan Raka, di dalam cinta yang mereka bina bersama.
Terkadang, perasaan Siska dipenuhi dengan rasa syukur yang mendalam. Dia tidak pernah menyangka bahwa cinta yang dia cari begitu lama bisa datang begitu sempurna. Raka bukan hanya pasangan hidup yang dia inginkan, tetapi juga sahabat yang selalu ada untuknya, seseorang yang bisa dia percayai dan andalkan. Mereka tidak sempurna, tetapi mereka berdua belajar untuk menerima dan mencintai segala kekurangan yang ada.
Raka meraih tangan Siska, menggenggamnya erat. “Siska, aku tahu perjalanan kita belum berakhir. Masih banyak hujan yang akan datang dalam hidup kita. Tapi aku janji, aku akan selalu di sini untukmu. Seperti hujan yang dulu, kita akan terus bersama, saling berbagi dan saling mendukung.”
Siska menatap Raka dengan mata berkaca-kaca. “Aku juga berjanji, Raka. Kita akan melalui semuanya bersama. Tak peduli seberapa deras hujan yang datang, aku akan tetap bersamamu.”
Malam itu, mereka duduk berdua, berbicara tentang masa depan, tentang impian yang ingin mereka capai bersama, dan tentang semua hal yang masih akan datang. Mereka tahu, perjalanan ini tidak selalu mudah. Akan ada ujian, ada rintangan yang harus dilalui. Tetapi mereka juga tahu, selama mereka saling mendukung dan berbagi cinta, mereka bisa menghadapi semuanya.
Waktu berjalan dengan cepat, dan meskipun banyak hal yang telah berubah, cinta mereka tetap bertahan. Siska dan Raka tahu bahwa mereka tidak bisa menghindari segala kesulitan dalam hidup, tetapi mereka juga tahu bahwa dengan saling mencintai, mereka bisa melewati segala rintangan bersama. Cinta mereka adalah cermin dari perjalanan yang penuh dengan kebersamaan, ketulusan, dan pengertian.
Di luar, langit malam semakin cerah, dan bintang-bintang mulai bermunculan, seakan menjadi saksi bisu dari perjalanan cinta mereka yang tak terucapkan. Hujan yang pernah datang dalam hidup mereka kini hanya menjadi kenangan—kenangan yang akan selalu mereka ingat sebagai awal dari sebuah kisah yang penuh dengan kebahagiaan, meski hujan datang tanpa peringatan.
Dan di balik kenangan itu, ada satu hal yang pasti—cinta mereka akan terus hidup, selamanya, seperti hujan yang selalu kembali, memberi kehidupan pada tanah yang tandus dan menjadikannya subur.***
———–THE END———