Bab 1: Pertemuan Tak Sengaja
Alya berdiri di depan jendela kamar kosnya yang sempit, menatap kota kecil di ujung dunia yang kini menjadi rumah barunya. Lampu-lampu jalan yang redup terlihat berkelip di kejauhan, dan suara kendaraan yang sesekali melintas terdengar seperti musik yang menenangkan. Meskipun kota ini tidak sebesar tempat asalnya, Alya merasa ada sesuatu yang nyaman di dalamnya—seperti sebuah ruang kosong yang menunggu diisi dengan kenangan baru. Namun, kesendirian itu tetap menghampiri.
Hari itu adalah hari ketiga Alya menetap di kota tersebut. Ia baru saja pindah dari Jakarta, sebuah langkah yang cukup besar baginya. Sebelumnya, ia bekerja di sebuah kantor media besar, namun kini keputusan untuk berhenti dan mencari kehidupan baru di kota ini datang dengan alasan yang sulit dijelaskan. Mungkin, hanya untuk mencari kedamaian setelah beberapa tahun merasa terjebak dalam rutinitas yang padat.
Setelah menata barang-barang di kamarnya, Alya memutuskan untuk keluar mencari kedai kopi yang sering disebut-sebut oleh orang-orang sebagai tempat terbaik di kota ini. Ia merasa sedikit ragu, tetapi keinginan untuk mencoba hal-hal baru lebih besar. Sesampainya di kedai kopi tersebut, Alya merasa atmosfernya berbeda—tenang, namun juga penuh dengan percakapan ringan yang mengalir di antara para pelanggan yang datang dan pergi. Suasana itu membuat Alya merasa sedikit lebih rileks.
Tanpa berpikir panjang, Alya melangkah masuk dan memesan secangkir cappuccino. Ia memilih meja yang agak terpencil, di dekat jendela, dengan pemandangan jalanan yang sepi. Ia tidak ingin terlalu mencolok, cukup menikmati secangkir kopi sambil menulis di buku catatannya—sesuatu yang selalu ia lakukan saat merasa sendirian dan membutuhkan ruang untuk berpikir.
Namun, sepertinya takdir memiliki rencananya sendiri. Saat Alya tengah asyik menulis, tiba-tiba sebuah suara datang dari belakang.
“Maaf, apakah Anda… akan menggunakan kursi ini?”
Alya menoleh dan melihat seorang pria berdiri di belakang kursi yang tepat di seberangnya. Pria itu memiliki senyum yang ramah dan tatapan mata yang tajam. Alya merasa sedikit terkejut, namun ia segera tersenyum dan menggelengkan kepala.
“Tentu, silakan duduk,” jawab Alya, mencoba tetap tenang meskipun hatinya mulai berdebar sedikit lebih cepat.
Pria itu kemudian duduk dengan santai di kursi seberang, membuka sebuah tas kecil yang ia bawa, dan mengeluarkan sebuah kamera tua yang tampak seperti barang kesayangan. Ia merapikan beberapa benda di atas meja dengan cermat sebelum melirik Alya lagi.
“Sepertinya Anda baru di sini,” pria itu berkata sambil menyesap kopi yang baru saja ia pesan. “Saya tidak pernah melihat Anda sebelumnya.”
Alya sedikit terkejut dengan pernyataan itu. “Iya, saya baru saja pindah ke sini,” jawabnya, sedikit gugup. “Saya Alya.”
“Raka,” jawab pria itu sambil mengulurkan tangan. “Senang bertemu dengan Anda, Alya.”
Alya menerima jabat tangan Raka, merasa sedikit aneh karena perkenalan yang begitu spontan. Mungkin karena kota kecil ini yang membuatnya merasa ada sesuatu yang berbeda, di mana orang-orang tidak ragu untuk berbicara dengan sesama.
“Tapi saya rasa saya sudah sering melihat Anda di sini,” lanjut Raka sambil tersenyum. “Kedai kopi ini memang tempat yang cukup populer untuk menghabiskan waktu, terutama di sore hari. Saya sendiri sering datang ke sini untuk memotret suasana kota.”
Alya mengangguk pelan, mencoba beradaptasi dengan percakapan yang tiba-tiba terjalin begitu saja. “Saya memang suka suasana yang tenang. Rasanya seperti kota ini punya daya tarik tersendiri,” katanya, sambil melirik keluar jendela.
“Betul,” jawab Raka sambil mengangkat kameranya. “Ada banyak hal yang bisa kita temukan di kota kecil ini, lebih banyak dari yang kita bayangkan. Setiap sudutnya punya cerita.”
Percakapan mereka terus mengalir begitu saja. Raka menceritakan beberapa tempat yang sering ia kunjungi untuk memotret, sementara Alya menceritakan sedikit tentang kehidupannya di Jakarta. Ternyata, meskipun keduanya berasal dari latar belakang yang berbeda, mereka merasa saling terhubung melalui kecintaan mereka terhadap hal-hal sederhana yang ada di sekitar mereka—seperti suasana kota, kopi yang hangat, dan cerita yang ada di balik setiap tempat.
Namun, tak lama setelah percakapan mereka mulai mengalir lancar, sebuah kejadian tak terduga terjadi. Saat Alya sedang berbicara, tangannya yang memegang cangkir cappuccino sedikit tergelincir. Minuman panas itu tumpah ke meja, bahkan sedikit mengenai tangan Raka yang terletak di sampingnya. Raka terkejut, namun ia langsung tertawa kecil.
“Wah, sepertinya kita sudah memulai dengan cara yang cukup berani,” ujar Raka sambil melihat tangan Alya yang tampak panik.
Alya langsung buru-buru meminta maaf. “Maaf, saya tidak sengaja! Ini semua salah saya…”
Raka tertawa lagi, mencoba menenangkan situasi. “Tidak masalah, kok. Ini bisa jadi cerita yang menarik nanti.”
Dengan bantuan pelayan yang datang untuk membersihkan tumpahan kopi, keduanya tertawa bersama-sama. Kejadian itu, meskipun canggung, malah membuat mereka merasa lebih dekat satu sama lain. Alya merasa sedikit lebih nyaman, dan Raka tampak santai seperti biasa.
“Tenang saja,” kata Raka dengan senyum yang ramah. “Jika ada hal buruk yang terjadi, itu pasti akan berakhir dengan baik.”
Alya hanya bisa tersenyum malu, merasa ada sesuatu yang berbeda dengan pertemuan tak sengaja ini. Entah mengapa, ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar sekedar kopi yang tumpah. Sebuah awal yang tidak biasa untuk sebuah cerita yang mungkin akan terus berkembang di kota kecil yang baru saja ia kenal.
Alya menatap Raka yang kini kembali sibuk dengan kameranya, mengambil beberapa gambar suasana kedai kopi. Mungkin, ini adalah awal dari kisah yang tak terduga. Kisah yang tumbuh di ujung kota.*
Bab 2: Kota yang Meninggalkan Jejak
Hari-hari pertama di kota kecil itu terasa seperti sebuah mimpi yang belum sepenuhnya bisa dipahami oleh Alya. Meskipun setiap sudutnya tampak asing, ada sesuatu yang mengundang rasa ingin tahu dalam dirinya untuk menjelajahi lebih dalam. Kota ini tak sebesar Jakarta, tapi ada kedamaian yang terasa sangat berbeda. Jalan-jalan yang sunyi, toko-toko kecil yang menjual barang-barang antik, serta kedai kopi yang menyajikan cerita-cerita dalam secangkir minuman hangat. Setiap elemen kota ini seperti menggoda untuk dibuka lebih jauh.
Setelah beberapa hari menyesuaikan diri, Alya merasa ada satu tempat yang belum sempat ia eksplorasi—dan itu adalah kawasan yang berada di luar jangkauan banyak orang. Kawasan yang terletak di ujung kota, dekat dengan tepi sungai, tempat di mana Raka sering menyebutnya sebagai tempat terbaik untuk merasakan esensi kota ini. Raka sudah beberapa kali mengajak Alya ke sana, namun saat itu ia masih merasa ragu dan belum siap. Namun, entah mengapa, pagi itu Alya merasa tergerak untuk melihatnya dengan matanya sendiri.
Dengan sepeda yang dipinjamkan oleh pemilik kos, Alya memulai perjalanan menuju ujung kota. Langit cerah, dan udara pagi yang segar menyambutnya saat ia mengayuh pedal. Jalanan sempit yang hanya bisa dilalui sepeda atau motor kecil itu memberikan rasa kedekatan dengan kota yang semakin ia huni. Di kiri-kanan jalan, rumah-rumah kecil berdiri rapi, dengan halaman yang terawat dan tanaman hijau yang tumbuh subur. Kehidupan yang sederhana namun penuh dengan kenyamanan.
Setelah beberapa menit, Alya sampai di ujung kota, tempat yang dimaksud oleh Raka. Di sana, sebuah pemandangan terbuka menyambutnya. Sebuah taman kecil di tepi sungai dengan pohon-pohon besar yang rindang, dan beberapa bangku tua yang diletakkan di sepanjang jalan setapak. Tidak ada hiruk-pikuk kendaraan atau kebisingan kota yang biasa ia dengar di Jakarta. Hanya ada suara alam, seperti aliran sungai yang mengalir perlahan dan burung-burung yang berkicau riang di pepohonan. Tempat ini terasa seperti dunia yang terpisah, penuh ketenangan yang sulit ditemukan di kota besar.
Alya duduk di salah satu bangku yang menghadap ke sungai, mengambil napas dalam-dalam. Pandangannya berkeliling, menyaksikan kehidupan yang berjalan begitu pelan dan penuh arti. Di sekelilingnya, ada beberapa orang tua yang duduk berbincang di bangku-bangku lain, serta anak-anak yang bermain di area terbuka. Tak ada yang terburu-buru di sini—semuanya berjalan dengan ritme yang tenang dan alami. Alya merasa seperti menemukan tempat yang tepat untuk menenangkan pikirannya.
Saat ia tengah menikmati keindahan itu, sebuah suara lembut menyapanya.
“Banyak orang yang datang ke sini untuk melupakan dunia mereka sejenak.”
Alya menoleh dan melihat Raka yang datang dengan sepeda, mengenakan topi dan membawa kamera di lehernya. Wajahnya tampak cerah, seperti selalu, dan senyumnya yang khas membuat Alya merasa lebih nyaman meskipun mereka baru saja bertemu beberapa kali.
“Jadi ini yang kamu maksud dengan ujung kota?” tanya Alya, sambil tersenyum.
Raka mengangguk dan duduk di bangku sebelahnya. “Tempat ini punya banyak cerita. Dulu, banyak orang datang ke sini untuk beristirahat atau merenung. Ada yang datang untuk mencari inspirasi, ada juga yang datang untuk melupakan kenangan.”
Alya memandang sungai yang tenang, mendengarkan suara alam yang begitu menenangkan. “Aku merasa seperti menemukan bagian dari diri sendiri di sini. Kota ini memang berbeda, bukan?”
Raka tersenyum dan mengangguk. “Memang. Setiap sudut kota ini menyimpan kenangan. Orang-orang yang pernah tinggal di sini, mereka meninggalkan jejak, baik secara fisik maupun dalam cerita yang terus diceritakan turun-temurun.”
Alya menyandarkan tubuhnya ke bangku, memandang ke kejauhan. “Aku merasa seperti baru mulai mengenal kota ini, tapi ada sesuatu yang menarik di setiap sudutnya. Seperti ada sesuatu yang tersembunyi, menunggu untuk ditemukan.”
Raka mengangkat kameranya, mengambil beberapa foto pemandangan di sekitar mereka. “Itu yang aku suka dari kota ini. Semua orang yang datang ke sini pasti akan membawa pulang sesuatu. Baik itu kenangan, cerita, atau bahkan sebuah inspirasi.”
Mata Alya mengikuti gerakan tangan Raka yang sigap mengambil gambar. Ia merasa kagum dengan cara Raka melihat dunia. Ada sesuatu yang lebih dalam dalam setiap fotonya—sesuatu yang tak bisa dilihat oleh banyak orang. Raka bukan hanya seorang fotografer, tapi seolah memiliki kemampuan untuk menangkap esensi sebuah tempat dan momen dalam bingkai kamera.
“Bagaimana rasanya tinggal di sini?” tanya Raka setelah beberapa saat.
Alya terdiam sejenak, berpikir. “Sebenarnya, aku merasa sedikit asing. Jakarta sangat berbeda. Tapi aku suka keheningan ini. Kota ini seolah menawarkan kesempatan untuk berhenti sejenak dan meresapi segala sesuatu yang ada di sekitar kita.”
Raka menatap Alya dengan serius, seperti mencoba memahami lebih dalam apa yang ada di balik kata-katanya. “Terkadang, kita memang harus berhenti sejenak. Untuk melihat kembali hal-hal yang kita lupakan. Mungkin itu yang sedang kamu cari.”
Alya menatapnya, merasa seperti ada kedalaman yang tersembunyi dalam kata-kata Raka. Apakah Raka juga sedang mencari sesuatu? Mungkin jawabannya ada di kota kecil ini, tempat yang menawarkan ketenangan untuk menyembuhkan luka atau menemukan kembali bagian diri yang hilang.
Keduanya duduk dalam diam, hanya ditemani suara alam yang menenangkan dan gelegar langkah-langkah kaki yang sesekali terdengar dari jalan setapak. Alya merasa bahwa kota ini, meskipun sederhana, memiliki cara untuk menghubungkannya dengan sesuatu yang lebih dalam. Raka, dengan segala cerita dan fotonya, menjadi bagian dari penjelajahan itu—sebuah perjalanan untuk menemukan lebih banyak tentang kota ini dan mungkin juga tentang diri mereka masing-masing.
Dan di ujung kota, di tempat ini, Alya merasa untuk pertama kalinya bahwa ia mulai menemukan sesuatu yang lebih penting daripada sekadar tempat yang ia huni. Ia mulai menemukan jejak-jejak kecil yang akan membentuk kenangan di sepanjang perjalanan hidupnya, kenangan yang tidak akan terlupakan.*
Bab 3: Kenangan Masa Lalu
Hari-hari berlalu dengan cepat sejak pertemuan tak terduga di kedai kopi. Alya mulai merasa lebih nyaman dengan kehidupan barunya di kota kecil itu. Suasana yang tenang, udara yang sejuk, dan pemandangan alam yang indah membuatnya merasa seperti menemukan tempat di mana ia bisa berhenti sejenak dari dunia yang penuh tekanan. Kota ini, meskipun tidak terlalu besar, menawarkan kedamaian yang sulit ia temukan di Jakarta.
Raka, yang kini sudah menjadi salah satu orang yang cukup dekat dengannya, sering mengajak Alya untuk menjelajahi lebih banyak tempat di sekitar kota. Mereka pergi ke pasar pagi yang penuh warna, menyusuri jalan-jalan sempit yang dipenuhi toko-toko kecil, dan bahkan menghabiskan waktu berjam-jam di kedai kopi yang sama tempat pertama kali mereka bertemu. Setiap pertemuan dengan Raka semakin membuat Alya merasa nyaman, namun di saat yang sama, ada rasa penasaran yang tumbuh dalam dirinya. Raka adalah pria yang penuh misteri. Meskipun ia selalu ramah dan terbuka dalam percakapan, ada sesuatu dalam dirinya yang tampak tertutup—sesuatu yang selalu ia sembunyikan.
Pada suatu sore, saat mereka sedang duduk di bangku taman di tepi sungai, Alya memutuskan untuk bertanya. Suasana itu begitu tenang, hanya ada suara riak air yang mengalir pelan dan angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah mereka. Raka sedang asyik melihat-lihat foto-foto yang ia ambil dari perjalanan mereka sebelumnya, sementara Alya merenung. Sesuatu yang ada dalam dirinya membuatnya ingin mengetahui lebih banyak tentang pria ini—sesuatu yang selalu tersembunyi di balik senyum ramah dan sikap santainya.
“Raka,” Alya memulai, suaranya agak ragu. “Aku penasaran, mengapa kamu begitu suka dengan kota ini? Maksudku, aku tahu tempat-tempatnya indah, tapi sepertinya ada sesuatu yang lebih, kan?”
Raka menoleh ke Alya, sejenak terdiam. Matanya yang tajam menatap jauh, seolah sedang mencari-cari kata-kata yang tepat. Kemudian, perlahan ia menurunkan kameranya dan menatap Alya. Ada sedikit kedalaman dalam tatapannya, seperti ada bagian dari dirinya yang ingin ia bagikan, namun masih menahan diri.
“Ada banyak kenangan di sini,” jawabnya pelan, suara itu terdengar lebih berat dari biasanya. “Kota ini punya cara untuk menyimpan semuanya. Setiap sudutnya, setiap bangku di taman ini, bahkan setiap aliran sungai, semuanya menyimpan cerita. Dan aku…” Raka berhenti sejenak, menarik napas panjang, “aku dulu pernah meninggalkan sebagian besar dari diriku di sini.”
Alya mendengarkan dengan saksama. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang berat dalam kata-kata Raka. Meskipun ia tidak mengungkapkan semuanya, Alya merasa bahwa ada masa lalu yang mengikatnya dengan tempat ini, yang membuat Raka begitu terhubung dengan kota kecil ini.
“Ada seseorang, bukan?” Alya bertanya, tidak ingin terlalu mendesak, namun rasa penasaran itu sulit untuk dibendung.
Raka menunduk, menghela napas panjang. Sejenak, ia tidak menjawab, tetapi Alya bisa melihat keraguan yang terlihat jelas di wajahnya. Setelah beberapa detik yang terasa seperti keheningan yang panjang, akhirnya Raka mengangkat kepalanya dan menatap Alya. “Iya, ada seseorang. Seorang perempuan yang sangat berarti bagiku. Kami tumbuh bersama di kota ini, bermain di jalan-jalan kecil, duduk di bangku ini, berbicara tentang segala hal yang kami impikan.”
Alya merasa jantungnya berdegup lebih cepat. “Lalu apa yang terjadi?” tanyanya, suaranya sedikit bergetar. Ia tidak tahu mengapa, tetapi cerita ini seolah menariknya lebih dalam ke dalam dunia Raka yang selama ini tampak tersembunyi.
Raka tersenyum pahit, tatapannya menjauh ke arah sungai. “Kami terpisah karena waktu. Dia harus pergi ke kota besar untuk melanjutkan studinya, dan aku tetap di sini, memilih untuk tetap dengan dunia yang aku kenal. Kami berjanji untuk saling menunggu, tetapi akhirnya dia tidak kembali. Aku menunggu lama, berharap dia akan kembali, tapi waktu terus berjalan. Dan pada akhirnya, aku sadar bahwa ada kenangan yang harus aku lepaskan.”
Alya merasa sedikit terkejut. Ia tidak menyangka bahwa Raka memiliki kisah seperti itu—sebuah kisah cinta yang berakhir dengan kehilangan. Meskipun ia baru mengenal Raka, Alya bisa merasakan bahwa perasaan yang Raka rasakan masih sangat dalam. Bahkan, sepertinya kota kecil ini menyimpan banyak kenangan tentang perempuan itu, yang telah meninggalkan bekas yang tak mudah hilang dalam hidup Raka.
“Apakah kamu masih… mencintainya?” tanya Alya dengan hati-hati, meskipun ia merasa cemas dengan jawabannya.
Raka terdiam lama, seolah berpikir keras tentang pertanyaan itu. “Aku tidak tahu,” jawabnya akhirnya, dengan suara yang penuh keraguan. “Ada bagian dari diriku yang masih berharap, tetapi aku juga tahu bahwa hidup harus terus berjalan. Aku pernah mencoba untuk melupakan semuanya, tapi kenangan itu selalu kembali, dan kota ini selalu mengingatkan aku padanya.”
Alya merasa hatinya berat mendengar jawaban Raka. Ia tidak tahu harus berkata apa. Di satu sisi, ia merasa kasihan pada Raka, yang masih berjuang dengan bayang-bayang masa lalunya. Namun, di sisi lain, ada rasa cemas yang perlahan tumbuh dalam dirinya. Bagaimana jika, suatu hari nanti, Raka memutuskan bahwa kenangan itu lebih penting daripada apa yang bisa mereka bangun bersama?
“Apakah kamu… masih ingin bertemu dengannya?” Alya bertanya, meskipun ia merasa takut dengan jawabannya.
Raka menatap Alya dengan mata yang tajam, seperti ingin membaca isi hatinya. “Tidak,” jawabnya tegas. “Aku tidak ingin kembali ke masa lalu. Aku sudah belajar untuk melepaskan dan menerima kenyataan. Tapi itu tidak berarti bahwa kenangan itu akan hilang begitu saja. Kota ini akan selalu menjadi bagian dari kenangan kami.”
Alya merasakan keheningan yang dalam antara mereka. Ia tahu bahwa meskipun Raka mencoba untuk melupakan masa lalu, ada bagian dari dirinya yang masih terikat dengan perempuan itu. Dan kota ini, dengan segala keindahannya, akan selalu menjadi tempat di mana kenangan itu tetap hidup, seperti jejak yang tak akan hilang.
Di saat itu, Alya merasa bahwa ia tidak hanya mengenal Raka lebih dalam, tetapi juga mengenal dirinya sendiri. Ia tahu bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang menemukan kedamaian dalam kota kecil ini, tetapi juga tentang menerima masa lalu, melepaskan kenangan, dan menemukan jalan baru di tengah ketidakpastian.
Namun, satu hal yang pasti—Alya merasa ada sesuatu yang kuat di antara mereka. Meskipun masa lalu Raka akan selalu menghiasi setiap sudut kota ini, ia mulai merasakan bahwa ada tempat untuknya dalam cerita Raka yang belum sepenuhnya ditulis.*
Bab 4: Ketegangan di Ujung Kota
Hujan turun dengan deras di tengah malam, mengguyur kota kecil itu dengan lembut. Suara gemericik air yang jatuh di atap dan jendela kamar Alya mengiringi langkahnya yang terengah-engah. Ia baru saja pulang dari sebuah perjalanan yang tak pernah ia rencanakan. Setelah beberapa minggu yang penuh dengan percakapan ringan bersama Raka, Alya merasa bahwa ada sesuatu yang berubah. Ada ketegangan yang mulai berkembang, meskipun ia belum bisa mengungkapkan dengan pasti apa itu.
Alya memutuskan untuk berjalan menuju ujung kota, tempat yang kini mulai terasa lebih asing dan misterius. Keputusan ini datang begitu saja, tanpa alasan yang jelas. Entah mengapa, ia merasa perlu untuk menjauh sejenak dari keramaian kota yang kini sudah mulai akrab, dan juga dari Raka. Meskipun hubungan mereka terasa semakin dekat, ada suatu perasaan yang tak bisa ia pahami, sebuah ketegangan yang perlahan menumpuk.
Langkah Alya menyusuri jalanan basah yang dipenuhi genangan air. Lampu jalan yang remang-remang memberikan kesan suram di sekitar kawasan ini. Tiba-tiba, ia teringat kembali akan kata-kata Raka yang pernah ia dengar beberapa hari lalu, tentang kota ini yang menyimpan kenangan-kenangan lama yang tak mudah dilepaskan. Perasaan cemas yang tidak jelas menggelayuti hatinya.
Saat tiba di ujung kota, Alya mendapati taman kecil itu tampak berbeda. Malam itu, suasana di sana terasa lebih sunyi daripada biasanya. Pohon-pohon besar yang biasanya rimbun kini tampak menyeramkan, daunnya terhempas angin dan menghasilkan suara yang menambah ketegangan. Alya berdiri sejenak, menatap sungai yang mengalir lambat, seolah tak peduli dengan hujan yang semakin deras. Di kejauhan, di dekat bangku tempat mereka biasa duduk, Alya melihat seseorang yang sedang berdiri, memandang jauh ke arah sungai.
Raka.
Alya terkejut, namun segera menyembunyikan diri di balik salah satu pohon besar, mengamati Raka dari kejauhan. Raka berdiri di sana, tubuhnya sedikit membungkuk seperti sedang memikirkan sesuatu yang sangat dalam. Ia tidak tampak mendengar langkah Alya, seakan-akan ia terlalu terlarut dalam pikirannya. Alya merasa ada sesuatu yang tidak biasa dengan sikap Raka malam ini. Ada sesuatu yang sepertinya sedang ia sembunyikan, atau mungkin sesuatu yang ia rasa perlu untuk diselesaikan.
Alya berdeham pelan, dan langkahnya yang hampir tidak terdengar membuat Raka menoleh, terkejut melihat kehadirannya. Senyum tipis terukir di wajah Raka, meskipun ekspresinya terlihat tegang. “Alya,” sapanya dengan suara yang agak berat, seolah ada sesuatu yang membebani dadanya.
“Raka,” jawab Alya pelan, meskipun hatinya berdebar. “Kenapa di sini? Kenapa malam-malam begini?”
Raka menghela napas, seolah memikirkan kata-kata yang tepat. “Aku… aku hanya butuh waktu untuk berpikir. Ada hal yang harus aku selesaikan, tapi terkadang… sulit.” Ia berhenti sejenak, matanya menatap sungai yang mengalir di depan mereka. “Ada banyak hal yang tertinggal di sini, Alya. Banyak kenangan yang tak bisa aku lepaskan.”
Alya merasa ada sesuatu yang aneh dengan sikap Raka. Biasanya, ia tidak pernah berbicara begitu dalam, apalagi dengan ekspresi yang penuh beban seperti itu. Alya merasa seolah-olah ia tengah berada di ujung sebuah jurang, tak tahu apakah ia harus melangkah mundur atau mendekat lebih jauh.
“Apa maksudmu, Raka?” Alya bertanya, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. “Kenangan apa yang tidak bisa kamu lepaskan?”
Raka menoleh, menatap Alya dengan tatapan yang sulit dibaca. “Kenangan tentang seseorang… seseorang yang pernah sangat dekat dengan aku. Seseorang yang meninggalkan kota ini, meninggalkan aku. Dan sekarang aku merasa… aku merasa seolah semuanya akan berakhir lagi.”
Alya terdiam, mendengar kata-kata itu. Raka berbicara tentang masa lalunya lagi, dan kali ini, perasaan yang ia coba sembunyikan mulai terungkap. Alya merasa seolah-olah ia hanyalah pengganti sementara, sesuatu yang datang hanya untuk mengisi ruang kosong yang ditinggalkan oleh perempuan itu—perempuan yang pernah sangat berarti bagi Raka.
“Kamu merasa seolah-olah aku hanya pengganti, ya?” Alya tidak bisa menahan kata-kata itu keluar begitu saja. Suaranya terdengar lebih tajam dari yang ia inginkan, dan ia merasa seolah-olah ketegangan di antara mereka semakin membesar.
Raka terkejut dengan pertanyaan itu, namun tak lama kemudian ia menunduk, seakan-akan tak mampu menatap Alya langsung. “Aku tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya. Aku tidak bermaksud seperti itu, Alya. Tapi ini… ini sulit. Ada bagian dari diriku yang masih terjebak di masa lalu. Dan aku takut kalau aku terlalu dekat denganmu, aku akan menyakiti kamu, tanpa sengaja.”
Alya merasa seolah ada dinding yang terbentuk di antara mereka, dinding yang sebelumnya tidak ada. Dulu, percakapan mereka selalu mengalir begitu saja, namun malam ini, ada ketegangan yang mengisi udara, membuat Alya merasa terasing, bahkan di hadapan orang yang sudah beberapa minggu ini menjadi teman dekatnya.
“Kamu masih belum bisa melepaskan masa lalumu, Raka,” Alya berkata pelan, meskipun setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa sangat berat. “Dan aku tidak tahu seberapa lama aku bisa menunggu, atau seberapa lama aku bisa berdiri di sini, tanpa tahu apakah aku akan pernah menjadi bagian dari masa depanmu.”
Raka tampak terkejut, lalu ia melangkah mendekat, namun Alya mundur sedikit, memberikan jarak antara mereka. “Alya… Aku tidak ingin menyakitimu. Kamu tidak layak menjadi bagian dari ketidakpastian ini. Aku… aku akan berusaha untuk melepaskan masa lalu. Tapi aku juga tidak tahu apakah aku bisa.”
Alya menatap Raka dengan mata yang berkaca-kaca. “Aku tidak meminta kamu untuk melupakan masa lalu, Raka. Aku hanya ingin kamu terbuka, tidak hanya dengan aku, tapi juga dengan dirimu sendiri. Kita tidak bisa hidup dalam bayang-bayang kenangan selamanya.”
Keheningan melanda mereka berdua. Hujan semakin deras, namun tak ada yang bergerak. Waktu terasa melambat, dan keduanya terperangkap dalam ketegangan yang semakin memuncak. Alya tahu bahwa apa yang mereka rasakan—perasaan yang terpendam, kenangan yang belum selesai, dan ketegangan yang mencekam—akan menguji sejauh mana mereka bisa bertahan.
“Maafkan aku,” kata Raka akhirnya, dengan suara yang lebih lembut. “Aku hanya takut kehilangan lagi.”
Alya hanya bisa mengangguk pelan, merasakan hatinya yang terombang-ambing antara rasa simpati dan perasaan yang belum sepenuhnya bisa ia pahami. Ketegangan yang menggelayuti malam itu masih terasa, tetapi Alya tahu, malam ini, sesuatu telah berubah antara mereka. Entah itu perubahan menuju lebih baik atau lebih buruk, hanya waktu yang akan menjawabnya.*
Bab 5: Pergolakan Hati
Pagi itu, Alya terbangun dengan perasaan yang penuh kebingungan. Setelah pertemuan semalam dengan Raka di ujung kota, pikirannya dipenuhi dengan beragam pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Raka, dengan segala misterinya, meninggalkan jejak yang dalam dalam hidupnya. Namun, semakin dekat ia dengan pria itu, semakin banyak juga perasaan yang ia coba sembunyikan. Perasaan itu berbaur antara keraguan, harapan, dan ketakutan akan masa depan yang tak pasti.
Setelah semalam, Alya merasa ada jarak yang tercipta antara mereka. Meskipun Raka sudah meminta maaf, ada sesuatu yang tetap mengganjal di hatinya. Ketakutan yang terungkap dari mulut Raka—ketakutan kehilangan, ketakutan akan masa lalu yang tak bisa ia lepaskan—membuat Alya merasa terperangkap dalam hubungan yang belum jelas arahnya. Ia tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus hidup dalam ketidakpastian. Namun, di sisi lain, perasaan yang tumbuh untuk Raka semakin kuat. Setiap kali ia melihat pria itu, hatinya berdebar, dan setiap kali mereka berbicara, ia merasa seolah-olah ada yang lebih dari sekadar percakapan biasa.
Alya berjalan keluar dari rumah, mencoba untuk menyegarkan pikiran. Hujan semalam telah berhenti, meninggalkan udara yang segar dan pemandangan yang tenang. Namun, di dalam hatinya, sepertinya badai masih bergulir. Ia memutuskan untuk pergi ke kedai kopi yang sudah menjadi tempat mereka bertemu, berharap bisa menemukan sedikit kedamaian di sana. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seakan-akan langkahnya diiringi oleh keraguan yang semakin menumpuk.
Sesampainya di kedai kopi, Alya melihat Raka sudah duduk di salah satu meja pojok. Ia menatap ke luar jendela dengan pandangan kosong, seperti sedang tenggelam dalam pikirannya. Raka tidak menyadari kedatangannya, sehingga Alya memutuskan untuk mendekat perlahan. Namun, saat ia duduk di kursi seberang Raka, pria itu tersadar dan langsung menoleh. Senyum tipis mengulas di wajahnya, meskipun ada kerutan di dahi yang menunjukkan bahwa pikirannya masih jauh.
“Alya,” sapa Raka pelan, suaranya sedikit serak. “Kamu datang juga.”
Alya tersenyum tipis, meskipun hatinya terasa cemas. “Iya, aku pikir aku perlu sedikit waktu untuk berpikir.”
“Begitu juga aku,” jawab Raka, matanya kembali tertuju pada jendela. “Aku… aku ingin bicara tentang semalam, tentang apa yang terjadi antara kita.”
Alya merasakan jantungnya berdegup kencang. Perasaan yang selama ini ia pendam mulai terwujud dalam kata-kata yang keluar dari mulut Raka. “Apa maksudmu?” tanya Alya, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang, meskipun ada gemuruh di dalam hatinya.
Raka menarik napas panjang, kemudian menatap Alya dengan tatapan yang dalam. “Alya, aku tahu kamu merasa bingung dengan semuanya. Aku juga bingung. Tapi aku tidak bisa terus bersembunyi dari perasaan ini. Aku tahu aku harus melepaskan masa lalu, tapi aku juga tahu bahwa aku tidak bisa mengabaikan perasaan yang tumbuh di antara kita.”
Alya terdiam, kata-kata Raka seolah menusuk hatinya. Ia tidak tahu harus merasa lega atau tertekan. “Kamu ingin mengatakan bahwa… kamu mulai merasa sesuatu untuk aku?” tanyanya, meskipun ia tahu jawabannya sudah jelas.
Raka mengangguk pelan, tetapi matanya masih dipenuhi keraguan. “Aku tidak tahu seberapa kuat perasaan ini, Alya. Tapi aku tahu bahwa ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang membuat aku merasa lebih hidup, lebih merasa diterima. Namun, di sisi lain, aku juga takut jika aku terlalu terbuka dengan perasaan ini. Aku takut kamu akan terluka lagi.”
Alya merasakan perasaan yang sangat kompleks dalam dirinya. Di satu sisi, ia merasa terharu karena Raka akhirnya mengungkapkan perasaannya. Tetapi di sisi lain, kata-kata Raka yang penuh ketakutan dan keraguan membuatnya merasa semakin terperangkap. Ia tidak bisa hanya menjadi penghibur bagi seseorang yang masih terbelenggu masa lalunya. Namun, hatinya berbisik bahwa ia tidak bisa mengabaikan perasaan yang tumbuh begitu kuat untuk Raka.
“Apa yang kamu takutkan, Raka?” Alya bertanya, berusaha menahan air mata yang hampir keluar. “Kenapa kamu merasa harus memilih antara aku dan masa lalumu? Kenapa tidak memberi kesempatan pada kita?”
Raka menunduk, tampak bingung dengan perasaannya sendiri. “Aku tidak tahu, Alya. Aku tidak tahu apakah aku siap untuk berkomitmen lagi, apakah aku bisa benar-benar melepaskan kenangan itu. Aku takut jika aku terlalu dekat denganmu, aku akan melukai perasaanmu. Aku tidak ingin itu terjadi.”
Alya merasa perasaan sakit yang mendalam. Mungkin ia sudah terlalu berharap. Mungkin ia sudah terlalu cepat jatuh dalam hubungan yang belum tentu bisa berkembang. Ia tahu, meskipun Raka sangat berarti baginya, mereka berada pada titik yang berbeda. Raka masih berjuang dengan bayang-bayang masa lalu, sementara ia hanya ingin maju dan melihat masa depan.
“Raka, aku tidak bisa hidup dalam ketidakpastian ini,” kata Alya dengan suara yang agak tergetar. “Aku tidak bisa terus berharap tanpa tahu apakah kamu benar-benar siap untuk melangkah ke depan. Aku mengerti jika kamu masih merasa terikat dengan masa lalumu, tetapi aku juga tidak bisa hanya menunggu. Aku butuh kepastian.”
Raka terdiam, wajahnya terlihat sangat cemas. “Alya, aku tidak ingin kehilanganmu. Tapi aku juga tidak bisa memaksakan diri untuk melupakan semuanya begitu saja. Aku butuh waktu. Aku butuh waktu untuk memahami perasaan ini.”
Alya merasakan hatinya hancur, namun ia juga tahu bahwa ia tidak bisa terus berada dalam hubungan yang penuh dengan ketegangan. “Aku tidak bisa memberimu waktu, Raka,” jawabnya pelan. “Aku juga butuh waktu, waktu untuk merenung, waktu untuk melihat apa yang benar-benar aku inginkan. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi antara kita, tapi aku juga tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian.”
Setelah kata-kata itu keluar, keheningan melanda di antara mereka. Alya merasa jantungnya hancur perlahan, tetapi ia tahu bahwa ini adalah langkah yang benar. Ia harus memberi ruang bagi dirinya sendiri untuk memahami perasaannya, dan memberi Raka ruang untuk menyelesaikan urusan dalam dirinya. Pada akhirnya, hidup tidak bisa terus berputar dalam kebingungan dan ketakutan. Mereka harus bergerak maju, meskipun itu berarti berpisah untuk sementara waktu.
Alya bangkit dari kursinya dan berjalan keluar dari kedai kopi, meninggalkan Raka yang masih duduk di sana, terdiam dalam kebingungannya. Dalam hati Alya, pergolakan itu belum berakhir, tetapi ia tahu satu hal—kadang, melepaskan adalah cara terbaik untuk menemukan kedamaian dalam diri sendiri.*
Bab 6: Mencari Jawaban
Pagi itu, Alya duduk di beranda rumah, memandangi pemandangan kota yang perlahan terbangun dari tidur malam. Udara pagi yang segar menyelimuti tubuhnya, namun hatinya terasa jauh lebih berat dari biasanya. Sejak percakapan terakhir dengan Raka, semuanya terasa berbeda. Ada rasa hampa yang memenuhi dadanya, seperti ada bagian dari dirinya yang hilang. Sebelum ia pergi dari kedai kopi kemarin, ia merasa seperti telah meninggalkan sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang tak bisa ia temukan dalam keramaian kehidupan sehari-hari. Namun, meskipun perasaan itu datang dengan keras, Alya merasa bahwa ia harus mencari jawaban. Jawaban tentang perasaannya, tentang masa depannya, dan tentang Raka.
Selama beberapa hari terakhir, Alya berusaha untuk menjauh dari keramaian. Ia menghabiskan waktu di rumah, membaca buku, mendengarkan musik, dan berjalan-jalan di sekitar kota. Ia berusaha menyendiri, memberi ruang bagi dirinya untuk berpikir. Tetapi meskipun ia berusaha menenangkan pikiran, bayangan Raka selalu muncul. Entah mengapa, semakin ia mencoba untuk melupakan, semakin kuat perasaan itu tumbuh. Perasaan yang mengganggu, yang memberinya harapan, namun juga ketakutan.
Alya menutup matanya, menarik napas dalam-dalam. Ia tahu bahwa jika ia terus hidup dalam kebingungannya, ia tidak akan pernah bisa melangkah maju. Keputusan harus diambil, apapun itu. Mungkin itu adalah keputusan yang sulit, tetapi ia harus menghadapi kenyataan, dan kenyataannya adalah bahwa ia tidak bisa terus berlarut-larut dalam perasaan yang belum pasti.
Hari itu, ia memutuskan untuk mengunjungi tempat yang biasa ia kunjungi ketika sedang bingung—taman kota yang terletak di ujung jalan utama. Taman itu adalah tempat di mana ia selalu merasa damai, seolah-olah alam bisa memberikan jawaban untuk semua pertanyaan hidupnya. Alya berharap, dengan datang ke sana, ia bisa menemukan kedamaian yang ia butuhkan untuk membuat keputusan.
Tiba di taman, Alya berjalan menyusuri jalan setapak yang dikelilingi pepohonan hijau. Suasana yang tenang membuatnya merasa sedikit lebih rileks. Namun, dalam benaknya, pertanyaan yang sama terus berputar: Apakah ia bisa melanjutkan hubungan dengan Raka? Apakah ia bisa menerima masa lalu pria itu, atau apakah ia akan terus merasa terjebak dalam ketidakpastian?
Ia duduk di bangku kayu di dekat kolam kecil yang dihiasi bunga teratai. Mengamati air yang tenang, ia mencoba mencari jawaban dalam ketenangan itu. Namun, pikirannya terus kembali kepada Raka. Ia teringat kembali pada kata-kata pria itu tentang masa lalunya, tentang kenangan yang belum ia lepaskan. Alya tahu bahwa Raka berjuang dengan perasaan-perasaan yang belum selesai, dan ia bisa merasakannya. Tetapi apakah itu berarti ia harus menunggu, atau apakah ia harus melepaskan?
Suasana sepi di taman itu membuat Alya merasa lebih sadar akan dirinya sendiri. Ia mulai bertanya pada dirinya, apakah ia sudah siap untuk menghadapi perasaan yang lebih dalam ini, atau apakah ia hanya terjebak dalam ilusi bahwa dengan mendekati Raka, segala sesuatu akan menjadi lebih baik. Apakah ia hanya mencari pengalihan dari kenyataan hidup yang kadang terasa membosankan?
Tiba-tiba, suara langkah kaki menghentikan lamunannya. Alya menoleh dan melihat sosok yang sudah dikenalnya dengan baik—Raka. Pria itu berjalan pelan menuju bangku tempat ia duduk, wajahnya terlihat lelah, namun ada sesuatu yang berbeda dalam sikapnya. Ia tampak lebih tenang, lebih fokus, seperti seseorang yang sudah melewati perjalanan panjang dalam pikirannya.
“Alya,” sapanya dengan suara lembut, duduk di sampingnya tanpa menunggu izin. “Aku tahu kamu pasti sedang berpikir banyak. Aku juga merasa seperti itu.”
Alya terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Terkadang, perasaan yang datang begitu mendalam sehingga kata-kata terasa tak cukup untuk menggambarkannya. “Raka,” ucapnya akhirnya, suaranya terasa berat. “Aku datang ke sini untuk mencari jawaban. Aku merasa terjebak antara perasaan dan kenyataan. Aku ingin tahu apakah aku bisa terus melangkah denganmu, tapi aku juga takut jika aku hanya akan terjebak dalam ketidakpastian.”
Raka menunduk sejenak, memandang tangan yang terlipat di pangkuannya. “Aku mengerti, Alya. Aku tahu ini tidak mudah untuk kamu. Ini juga tidak mudah untuk aku. Tapi aku ingin kamu tahu satu hal—aku tidak ingin kamu merasa seperti pilihan kedua. Aku tidak ingin kamu merasa tidak dihargai. Kamu berarti lebih dari itu.”
Alya menggigit bibirnya, mencoba menahan perasaan yang mulai menguar. “Lalu apa yang harus aku lakukan, Raka? Aku butuh lebih dari sekadar kata-kata. Aku butuh tindakan. Aku butuh tahu bahwa kita benar-benar bisa melangkah bersama, bukan hanya terjebak dalam bayang-bayang masa lalu.”
Raka menatap Alya dengan tatapan yang lebih tajam, namun tetap lembut. “Aku tahu aku belum sempurna, Alya. Aku masih banyak yang harus aku hadapi dalam diriku. Tapi aku ingin memberimu jawaban yang pasti. Aku tidak bisa menjanjikan bahwa aku akan segera melupakan masa laluku, tetapi aku bisa berjanji bahwa aku akan berusaha untuk lebih terbuka, untuk lebih jujur dengan perasaanku. Aku ingin berjalan bersamamu, Alya. Aku ingin kamu ada di sampingku, meskipun aku tahu ini tidak mudah.”
Alya menatap Raka dalam diam, meresapi kata-kata yang baru saja diucapkannya. Ada kejujuran dalam mata Raka yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Mungkin ini yang ia butuhkan—bukan kata-kata manis atau janji-janji kosong, tetapi komitmen untuk berubah, untuk berusaha bersama. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi jika mereka berdua berusaha, mungkin ada harapan di masa depan.
“Aku juga tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, Raka,” jawab Alya pelan, suara hatinya yang penuh keraguan. “Tapi aku ingin memberikan kesempatan. Aku ingin mencoba untuk melangkah maju, bersama-sama.”
Raka tersenyum, senyum yang penuh harapan. “Terima kasih, Alya. Aku berjanji akan berusaha lebih baik.”
Alya merasa ada sesuatu yang berubah malam itu, meskipun ia belum bisa sepenuhnya melepaskan semua keraguannya. Tetapi, dengan langkah pertama yang mereka ambil bersama, mungkin ada jalan menuju jawaban yang selama ini ia cari. Semua yang mereka butuhkan adalah keberanian untuk melangkah, dan kepercayaan bahwa meskipun perjalanan ini penuh dengan ketidakpastian, mereka tidak harus melakukannya sendirian.
Dengan pelan, mereka berdua bangkit dari bangku dan berjalan berdampingan, menuju jalan setapak yang terbentang di depan mereka. Mungkin mereka tidak memiliki semua jawaban sekarang, tetapi setidaknya, mereka memiliki satu sama lain. Dan itu sudah cukup untuk memulai perjalanan baru yang penuh dengan harapan.*
Bab 7: Keputusan di Ujung Kota
Alya berjalan menyusuri jalan setapak di ujung kota, langkahnya lambat namun penuh tekad. Di sekelilingnya, udara sore yang sejuk mengalir dengan lembut, membawa aroma tanah basah setelah hujan yang baru reda. Matahari hampir tenggelam di balik cakrawala, meninggalkan semburat jingga yang memancar ke langit. Suasana ini, yang selalu membuatnya merasa damai, kali ini justru terasa berbeda. Ada ketegangan yang menghiasi setiap langkahnya. Malam itu, malam yang seharusnya menjadi malam biasa, malah menjadi malam yang penuh dengan keputusan besar.
Raka sudah menunggunya di depan sebuah kafe kecil yang terletak di ujung jalan, sebuah tempat yang selalu mereka pilih untuk bertemu ketika mereka ingin berbicara lebih intim. Kafe itu tampaknya tidak banyak berubah sejak pertama kali mereka datang ke sana bersama-sama. Dengan dinding berwarna coklat yang hangat dan lampu temaram, suasananya selalu memberikan rasa nyaman, namun malam ini, semuanya terasa sedikit lebih berat.
Alya sudah lama memutuskan bahwa ia harus berbicara dengan Raka, menyelesaikan keraguan yang selama ini mengganggunya. Keputusan ini bukanlah sesuatu yang mudah baginya. Dia tahu, perasaan yang ia miliki terhadap Raka adalah sesuatu yang sangat dalam, dan mungkin hal itu yang membuatnya begitu ragu. Tetapi, semakin lama ia menunda-nunda, semakin besar rasa takutnya kehilangan arah, kehilangan kesempatan untuk hidup dengan sepenuh hati.
Raka duduk di meja kecil dekat jendela, memandangi pemandangan kota yang mulai ramai dengan aktivitas malam. Ketika melihat Alya datang, senyum tipis menghiasi wajahnya. Namun, di balik senyuman itu, Alya bisa melihat kecemasan yang tak bisa disembunyikan. Raka pasti tahu bahwa malam ini adalah malam yang penting—malam yang bisa mengubah segalanya.
“Alya,” Raka menyapa lembut saat Alya duduk di hadapannya. Suara pria itu terdengar lebih serius dari biasanya, seolah-olah ia juga merasakan ketegangan yang sama. “Terima kasih sudah datang. Aku tahu ini mungkin tidak mudah untukmu.”
Alya tersenyum tipis, mencoba menenangkan diri. “Aku datang karena kita perlu berbicara, Raka,” jawabnya pelan, matanya tidak lepas dari wajah Raka. “Aku sudah berpikir panjang tentang semuanya. Tentang kita, tentang hubungan ini, dan tentang masa depan kita.”
Raka menunduk, seakan-akan merasakan beban yang sama di pundaknya. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya mengangkat wajahnya dan menatap Alya. “Aku tahu kamu ingin jawaban yang pasti, Alya. Aku juga tahu aku sudah banyak membuatmu bingung dengan segala ketidakpastian ini. Aku… aku takut, Alya. Aku takut jika aku membuatmu terluka lebih jauh, jika aku tidak bisa menjadi apa yang kamu harapkan.”
Alya terdiam sejenak, mencerna kata-kata Raka. Ia tahu pria itu bukan orang yang mudah membuka hati, apalagi setelah banyak luka yang ia alami di masa lalu. Namun, Alya juga merasa bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang ketakutan yang dipancarkan oleh Raka. Ia menginginkan sesuatu yang lebih dari sekadar janji kosong, lebih dari sekadar kata-kata yang menggantung di udara tanpa kepastian.
“Aku juga takut, Raka,” jawab Alya akhirnya, suaranya penuh keteguhan. “Aku takut jika aku terus bertahan dalam hubungan yang tidak jelas, hubungan yang penuh dengan ketidakpastian. Aku takut kalau aku hanya akan menjadi bagian dari masa lalumu yang belum selesai, tanpa pernah benar-benar bisa melangkah bersama ke depan.”
Raka terdiam, sepertinya kata-kata Alya menyentuh hati yang selama ini ia coba sembunyikan. Ada kesedihan yang tergambar di matanya, dan Alya bisa melihat bahwa pria itu merasa terjebak antara keinginannya untuk melepaskan masa lalu dan rasa takut kehilangan seseorang yang begitu berarti baginya.
“Alya…” Raka mulai, namun suaranya terputus sejenak. Ia mencoba mengumpulkan kata-kata, tetapi pada akhirnya, ia hanya bisa menatap Alya dengan penuh kejujuran. “Aku tahu aku belum bisa sepenuhnya melepaskan masa laluku. Aku tahu aku belum sepenuhnya siap untuk melangkah bersama kamu. Tapi aku juga tidak bisa terus hidup seperti ini, terjebak di antara perasaan yang belum selesai dan perasaan yang ada padamu. Aku tidak bisa terus-terusan takut akan masa lalu yang sudah lewat. Aku harus bergerak maju.”
Alya mendengar kata-kata itu dengan hati yang berdebar. Ada rasa lega yang muncul, meskipun di saat yang sama, hatinya masih dipenuhi keraguan. Raka berbicara dengan hati yang terbuka, dan itu sudah cukup untuknya saat ini. Mereka berdua sudah lama menyembunyikan perasaan masing-masing, dan sekarang saatnya untuk menemukan jawaban yang mereka cari. Tetapi, meskipun perasaan mereka kuat, keputusan itu tetap tidak mudah.
“Aku sudah memutuskan, Raka,” kata Alya setelah beberapa detik hening. “Aku tidak ingin terus hidup dalam kebingunganku. Aku tidak ingin terus terombang-ambing dalam ketidakpastian ini. Aku ingin memberi kita kesempatan. Aku ingin kita mencoba, meskipun aku tahu itu tidak akan mudah. Aku ingin berjuang bersama kamu, tetapi kita harus melangkah maju. Tidak ada lagi ruang untuk keraguan, tidak ada lagi ruang untuk ketakutan.”
Raka menatap Alya dengan penuh perhatian, seolah-olah untuk memastikan bahwa ia benar-benar memahami apa yang baru saja dikatakan wanita itu. Ada keheningan yang panjang sebelum akhirnya ia mengangguk pelan. “Aku mengerti,” jawabnya, suara itu lembut namun penuh keyakinan. “Aku akan berusaha, Alya. Aku akan berusaha lebih keras untuk melepaskan masa lalu dan memberi kita kesempatan untuk berkembang bersama.”
Alya merasa sebuah beban besar mulai terangkat dari pundaknya. Ada harapan yang tumbuh di dalam dirinya, harapan bahwa mereka bisa menghadapi masa depan bersama, meskipun perjalanan mereka tidak akan mudah. Namun, untuk pertama kalinya, ia merasa yakin bahwa mereka bisa melewati semuanya. Mereka berdua sudah cukup dewasa untuk menghadapi tantangan yang ada, dan itu yang membuatnya percaya bahwa hubungan ini layak diperjuangkan.
“Jadi, ini keputusan kita, Raka,” kata Alya, mencoba mengukir senyum tipis di wajahnya. “Kita akan melangkah maju, bersama-sama, dengan segala ketidakpastian dan ketakutan kita. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi kita bisa mencoba untuk saling mendukung.”
Raka tersenyum, senyum yang hangat dan penuh rasa terima kasih. “Aku berjanji tidak akan membuatmu menyesal, Alya. Kita akan melaluinya bersama.”
Malam itu, mereka berdua meninggalkan kafe kecil di ujung kota dengan langkah yang lebih ringan. Mereka tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan baru, perjalanan yang penuh dengan harapan dan tantangan. Dan meskipun mereka tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, satu hal yang pasti—mereka tidak akan pernah lagi ragu untuk berjuang bersama, mencari jawaban di setiap belokan hidup yang mereka hadapi.*
Bab 8: Waktu yang Membuktikan
Waktu terus berjalan tanpa pernah menunggu siapapun. Begitu pula dengan hubungan Alya dan Raka. Setelah keputusan yang mereka buat bersama, segala sesuatu yang semula terasa penuh dengan ketidakpastian perlahan berubah. Mereka mulai membangun langkah demi langkah, dengan hati yang lebih terbuka, meskipun kadang ketakutan akan masa lalu dan keraguan tentang masa depan kembali datang menghantui. Tetapi mereka berdua tahu bahwa tidak ada yang instan dalam hidup ini, termasuk hubungan yang mereka pilih untuk jalani.
Alya duduk di teras rumahnya, menatap matahari yang perlahan terbenam di balik perbukitan. Cuaca sore itu terasa hangat, meski ada angin sepoi-sepoi yang membawa kesejukan. Di tangan kanannya, ada secangkir teh hangat yang mulai mendingin. Ia sering duduk di sini untuk menenangkan pikiran, seperti halnya ketika ia merasa cemas tentang apa yang sedang terjadi dalam hidupnya. Sore ini, hatinya terasa lebih ringan, meskipun masih ada banyak pertanyaan yang belum sepenuhnya terjawab.
Setelah mereka membuat keputusan bersama, Alya merasa ada perubahan yang nyata pada diri Raka. Dia tidak lagi terkesan ragu atau penuh dengan kecemasan seperti sebelumnya. Raka kini lebih terbuka dengan perasaannya, berbicara lebih banyak tentang masa lalunya, dan mulai lebih percaya pada hubungan mereka. Meskipun terkadang mereka masih berdebat tentang hal-hal kecil, Alya merasa bahwa mereka semakin bisa saling memahami.
Namun, meskipun ada banyak hal yang telah berubah, Alya masih merasa perlu untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Ia tidak bisa menafikan perasaan yang kuat terhadap Raka, tetapi kadang-kadang, keraguan itu tetap muncul. Ketika malam datang, dan mereka berdua berada dalam kesunyian, Alya sering terbangun dengan pertanyaan di dalam hatinya: Apakah mereka benar-benar siap? Apakah mereka benar-benar bisa melewati semua tantangan yang akan datang?
Ketika itu, suara pintu yang terbuka membuyarkan lamunan Alya. Raka masuk ke teras, mengenakan jaket kasual dan senyum khasnya yang selalu membuat hatinya berdegup kencang. “Hey,” sapa Raka, berjalan mendekat dan duduk di samping Alya. “Punya waktu sebentar?”
Alya tersenyum dan mengangguk. “Tentu saja. Ada apa?”
Raka menghela napas dan menatap matahari yang mulai tenggelam. Ada kerutan halus di dahi pria itu, seolah-olah ia sedang memikirkan sesuatu yang berat. “Aku ingin kita bicara tentang sesuatu,” kata Raka, suara lembut namun penuh ketegasan. “Tentang kita, tentang masa depan kita.”
Alya menatapnya dengan seksama. Dalam beberapa bulan terakhir, mereka telah melalui banyak hal bersama. Tidak hanya soal hubungan, tetapi juga masalah pribadi yang mereka hadapi. Alya tahu bahwa perasaan Raka semakin tulus, tetapi ia juga tahu bahwa perjalanan mereka tidak akan selalu mulus. Ada hal-hal yang masih perlu mereka bicarakan lebih dalam.
“Apa yang ada dalam pikiranmu?” tanya Alya, tidak ingin menyembunyikan rasa penasaran yang ada di dalam hatinya.
Raka mengangguk pelan, lalu menatap Alya dengan tatapan yang penuh arti. “Aku merasa kita sudah jauh lebih baik, lebih kuat dari sebelumnya. Tapi, aku ingin tahu apakah kamu merasa hal yang sama. Aku ingin kita berkomitmen, Alya. Aku ingin kita membangun masa depan bersama. Bukan hanya untuk sekarang, tapi untuk jangka panjang.”
Alya terdiam, menimbang kata-kata Raka. Ada rasa hangat yang memenuhi dadanya, tetapi juga kekhawatiran yang tiba-tiba muncul. “Kamu yakin, Raka? Aku tahu kita sudah membuat keputusan untuk melangkah maju, tapi aku ingin tahu apakah kita benar-benar siap menghadapi segala tantangan yang akan datang. Waktu memang sudah membuktikan banyak hal, tapi aku takut kalau kita terlambat menyadari bahwa kita tidak siap untuk ini.”
Raka menatapnya dengan penuh pengertian. “Aku mengerti ketakutanmu, Alya. Aku juga takut. Tetapi, aku percaya bahwa kita sudah melalui banyak hal bersama, dan itu menguatkan kita. Aku ingin terus berjuang bersama kamu. Aku ingin kita berjalan bersama, bukan hanya untuk hari ini, tetapi untuk semua hari-hari yang akan datang. Waktu sudah membuktikan bahwa kita bisa lebih baik, dan aku percaya kita bisa melewati semua rintangan yang akan datang.”
Alya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Kata-kata Raka membuatnya merasa lebih tenang, namun keraguan masih menghinggapinya. Ia ingin percaya sepenuhnya, ingin yakin bahwa ini adalah langkah yang tepat, tetapi kadang-kadang, masa lalu dan ketidakpastian masih mengganggu pikiran.
“Raka…” suara Alya terdengar lebih lembut, “kita sudah melewati banyak hal. Tapi aku tidak bisa hanya mengandalkan waktu untuk membuktikan segalanya. Kita harus berusaha, bukan hanya menunggu waktu yang mengubah segalanya. Aku ingin tahu bahwa kita bisa saling mendukung, bukan hanya saat senang, tapi juga saat kita menghadapi kesulitan.”
Raka tersenyum dan meraih tangan Alya, menggenggamnya erat. “Aku janji, Alya. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, bahkan saat kita menghadapi kesulitan. Kita akan menghadapi semuanya bersama. Waktu mungkin memberikan ujian-ujian, tetapi selama kita bersama, kita akan tetap kuat.”
Alya menatap tangan mereka yang saling bergenggaman, lalu mengalihkan pandangannya ke wajah Raka. Ada kedamaian yang tiba-tiba mengalir dalam dirinya. Meskipun tidak ada jaminan dalam hidup ini, dan meskipun masa depan selalu dipenuhi ketidakpastian, Alya merasa bahwa bersama Raka, ia bisa lebih percaya pada masa depan itu. Waktu akan menguji mereka, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana mereka memilih untuk menghadapi ujian itu bersama.
“Aku percaya padamu, Raka,” kata Alya pelan, suara itu penuh dengan keyakinan yang baru. “Aku percaya bahwa kita bisa melaluinya, bersama-sama.”
Raka tersenyum lebar, senyum yang penuh dengan kebahagiaan dan rasa terima kasih. “Terima kasih, Alya. Aku akan berusaha menjadi lebih baik setiap hari. Untuk kita.”
Mereka berdua duduk dalam keheningan yang penuh kedamaian, mengamati matahari yang perlahan tenggelam di balik bukit. Tidak ada lagi keraguan yang mengganggu hati Alya. Waktu akan membuktikan segalanya, tetapi untuk saat ini, mereka berdua tahu bahwa mereka siap menjalani masa depan bersama. Tidak ada lagi yang perlu mereka takuti. Karena mereka tahu bahwa sejauh apapun perjalanan itu, mereka tidak akan pernah melakukannya sendirian.*
Bab 9: Cinta yang Tumbuh di Ujung Kota
Suasana pagi itu terasa berbeda. Udara segar yang datang dari arah timur seolah membawa semangat baru untuk memulai hari. Alya berjalan pelan di sepanjang trotoar yang dipenuhi dengan pepohonan hijau di sisi jalan. Daun-daun yang berguguran menambah kesan damai di ujung kota ini. Tempat yang dulunya terasa jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota besar kini menjadi sebuah tempat yang penuh kenangan. Ini adalah tempat yang kini penuh dengan arti—tempat di mana hubungan mereka semakin tumbuh.
Beberapa bulan berlalu sejak malam itu, sejak keputusan mereka untuk saling melangkah maju bersama. Mereka berdua sudah melalui banyak hal—momen kebersamaan yang indah, namun juga tantangan yang menguji ketahanan hubungan mereka. Tetapi, meskipun banyak hal yang belum sempurna, ada satu hal yang pasti: perasaan mereka satu sama lain semakin mendalam.
Alya masih teringat dengan jelas saat mereka pertama kali bertemu di kafe kecil di ujung kota ini. Pada waktu itu, mereka hanya dua orang yang belum tahu bahwa hidup mereka akan terhubung dengan begitu erat. Namun kini, semuanya berbeda. Rasa cinta yang dulu tumbuh pelan-pelan, kini mulai berkembang dengan kuat dan penuh harapan.
Raka, yang beberapa bulan lalu masih dipenuhi keraguan dan ketakutan akan masa lalu, kini lebih terbuka dengan perasaannya. Setiap kali mereka berbicara, ada kedekatan yang semakin terasa. Alya merasakan hal yang sama. Meski tidak selalu mudah, setiap hari bersama Raka terasa seperti sebuah petualangan baru, sebuah perjalanan untuk saling memahami dan membangun kepercayaan.
Alya berhenti sejenak di sebuah taman kecil yang terletak di tengah kota, tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama. Matahari pagi yang hangat menyinari wajahnya, dan ia tersenyum sendiri, merasakan ketenangan yang datang dari dalam dirinya. Tidak ada lagi rasa cemas yang menghantui, tidak ada lagi ketakutan yang membelenggu pikirannya. Ia tahu bahwa mereka telah melewati banyak rintangan dan mereka terus bertumbuh bersama.
Tiba-tiba, ponsel di tangan Alya bergetar. Sebuah pesan singkat muncul dari Raka, yang selalu tahu cara membuat hatinya berdebar.
“Hari ini ada kejutan buat kamu. Aku tunggu di tempat biasa jam 4 sore. Jangan lupa datang ya, Alya. Aku ingin membuat hari ini spesial.”
Alya tersenyum membaca pesan itu. Terkadang, Raka memang tahu cara terbaik untuk membuat hari-harinya lebih cerah. Sejak mereka berkomitmen untuk menjalani hubungan ini, Alya merasakan betapa besar perhatian yang diberikan Raka. Bukan hanya dalam kata-kata, tetapi juga dalam tindakan. Raka selalu tahu bagaimana membuatnya merasa dihargai dan dicintai, bahkan dalam hal-hal kecil yang sering terlewatkan oleh banyak orang.
Hari itu, Alya merasa sedikit lebih bersemangat. Dengan cepat, ia menyiapkan diri dan bergegas menuju tempat yang mereka sebut sebagai “tempat biasa”—kafe kecil di ujung kota yang menjadi saksi bisu perjalanan mereka. Setiap sudut kafe itu membawa memori indah, setiap percakapan yang mereka lakukan di sana terasa seperti bagian dari sebuah cerita yang terus berkembang.
Saat tiba di kafe, Alya melihat Raka sudah duduk di meja yang sama, di sudut dekat jendela dengan pemandangan kota yang tampak hidup di luar sana. Raka mengenakan kemeja biru yang membuatnya terlihat lebih santai dan tampan. Di atas meja, ada sebuah bunga mawar putih yang indah, yang langsung menarik perhatian Alya.
“Aku pikir bunga ini cocok untukmu,” kata Raka dengan senyum lebar saat melihat Alya datang mendekat.
Alya duduk di hadapannya, sedikit terkejut dan terharu dengan perhatian kecil itu. “Bunga ini indah,” jawabnya dengan suara lembut. “Terima kasih, Raka. Kamu tahu cara membuatku merasa istimewa.”
Raka tersenyum. “Aku hanya ingin mengingatkan kamu bahwa, setiap hari bersamamu adalah sebuah kejutan yang indah. Cinta kita, meskipun mungkin masih muda, sudah tumbuh dengan cara yang luar biasa. Aku ingin kita terus tumbuh bersama, menjalani hari demi hari dengan penuh kebahagiaan.”
Alya merasa hatinya hangat mendengar kata-kata itu. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara Raka berbicara sekarang. Ia tidak hanya sekadar mengungkapkan perasaan, tetapi juga menyampaikan keinginannya untuk terus memperjuangkan hubungan mereka. Alya bisa merasakan betapa tulusnya kata-kata itu, dan betapa dalamnya perasaan yang ada di dalam hati Raka.
“Aku merasa hal yang sama, Raka,” jawab Alya dengan mata yang berbinar. “Cinta kita memang masih tumbuh, dan aku tahu kita akan terus belajar satu sama lain. Tetapi, aku juga tahu bahwa tidak ada yang lebih indah daripada mencintai seseorang yang selalu berusaha menjadi lebih baik untuk kita.”
Mereka berdua saling menatap, dan sejenak dunia di sekitar mereka tampak menghilang. Semua yang ada hanyalah mereka berdua, dua hati yang sedang berkembang bersama, belajar untuk saling mengerti dan saling mendukung. Di ujung kota yang tenang ini, mereka menemukan cinta yang tak hanya tumbuh, tetapi juga semakin kuat seiring berjalannya waktu.
Setelah beberapa saat, Raka menyodorkan secangkir kopi hangat untuk Alya. “Aku tahu kamu suka kopi hitam tanpa gula,” katanya dengan senyum yang tak bisa disembunyikan.
Alya tertawa pelan, merasakan kedekatan mereka yang semakin erat. “Kamu memang selalu ingat hal-hal kecil seperti itu. Aku bersyukur bisa memiliki seseorang seperti kamu dalam hidupku, Raka.”
“Dan aku juga merasa beruntung,” jawab Raka, mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Alya. “Aku tahu kita masih akan melewati banyak tantangan, tetapi aku percaya kita bisa melaluinya. Kita akan terus tumbuh bersama, dengan cinta yang semakin dalam.”
Alya merasakan kehangatan dari genggaman tangan Raka. Ia tahu, cinta yang mereka miliki bukanlah sesuatu yang datang begitu saja. Cinta itu tumbuh dengan sabar, dengan penuh pengertian dan usaha. Dan meskipun banyak hal yang belum pasti, satu hal yang pasti adalah bahwa mereka ingin bersama, menjalani hari-hari yang penuh dengan kebahagiaan dan tantangan.
Cinta mereka mungkin masih muda, tetapi Alya merasa bahwa cinta yang tumbuh di ujung kota ini akan menjadi cinta yang kuat, yang bisa bertahan menghadapi segala rintangan. Karena cinta itu, pada akhirnya, bukan tentang seberapa lama waktu yang dibutuhkan, tetapi tentang bagaimana mereka saling berjuang untuk tetap bersama, menjaga dan merawat perasaan yang tumbuh di hati masing-masing.
Hari itu, mereka tidak hanya merayakan cinta yang telah tumbuh, tetapi juga cinta yang akan terus berkembang, di ujung kota yang penuh kenangan ini.*
Bab 10: Epilog
Beberapa tahun telah berlalu sejak pertemuan pertama mereka di ujung kota itu. Waktu telah membawa perubahan, baik dalam hidup Alya maupun Raka. Perjalanan mereka berdua, yang dimulai dengan langkah hati-hati penuh keraguan, kini berkembang menjadi sebuah kisah yang penuh dengan kenangan, cinta, dan harapan. Cinta mereka bukan lagi sekadar kata-kata yang diucapkan dengan gemetar, tetapi sebuah janji yang dipenuhi dengan ketulusan dan kesetiaan yang mendalam.
Alya duduk di balkon rumah mereka, menikmati angin sore yang membawa kesejukan. Di depannya terbentang pemandangan kota yang mulai sibuk, tetapi ia merasa jauh lebih damai sekarang. Rumah yang mereka bangun bersama, tempat di mana kenangan mereka tercipta, menjadi simbol dari cinta yang mereka perjuangkan. Tidak ada lagi keraguan dalam dirinya. Tidak ada lagi ketakutan tentang masa depan. Karena ia tahu bahwa, sejauh apapun jalan yang mereka hadapi, mereka akan selalu saling mendukung.
Di bawah balkon, Raka sedang menyiram tanaman di halaman depan, pekerjaannya yang sederhana namun penuh perhatian. Beberapa tahun yang lalu, Raka mungkin tidak pernah membayangkan dirinya akan menanam bunga-bunga di halaman rumah. Namun, sekarang, ia menikmati setiap saat yang dihabiskan untuk merawat rumah ini, bersama Alya.
“Alya, bagaimana pemandangan sore ini?” tanya Raka, mengangkat kepalanya dari pekerjaan sambil tersenyum.
Alya menoleh, tersenyum padanya. “Indah, seperti hari-hari kita bersama. Aku merasa lebih tenang sekarang, Raka. Kita telah melewati banyak hal, dan aku merasa kita semakin dekat.”
Raka berjalan mendekat, membawa secangkir teh hangat untuk Alya. “Aku juga merasa hal yang sama. Kita telah bertumbuh bersama, dan aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa kamu lagi. Aku bersyukur karena kamu ada di sampingku.”
Alya menerima cangkir itu dan menghirup aromanya yang hangat. “Aku juga bersyukur, Raka. Semua yang kita jalani, semua yang kita hadapi, itu membawa kita lebih dekat satu sama lain. Meskipun tidak selalu mudah, tapi aku merasa kita sudah cukup kuat untuk menghadapi apapun.”
Raka duduk di sebelah Alya, menggenggam tangannya dengan lembut. “Aku tahu kita masih akan menghadapi banyak hal ke depan. Hidup tidak pernah benar-benar sempurna, tetapi aku yakin kita bisa melewati semuanya. Bersama.”
Alya menatap mata Raka, mata yang selalu memberinya rasa aman. “Bersama,” katanya perlahan. “Aku merasa kita sudah menemukan tempat kita di dunia ini, Raka. Tempat yang penuh dengan cinta dan pengertian.”
Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati kebersamaan mereka di sore yang tenang itu. Beberapa tahun yang lalu, Alya tidak pernah membayangkan bahwa ia akan menemukan kebahagiaan yang begitu sederhana. Ia selalu berpikir bahwa kebahagiaan itu harus dikejar, harus dicapai dengan keras. Namun, sekarang, ia tahu bahwa kebahagiaan itu datang dengan cara yang berbeda. Cinta yang mereka miliki bukan tentang pencapaian atau ambisi besar. Itu tentang menjalani setiap hari dengan hati yang penuh, tentang saling memberi dan menerima, dan tentang menghargai momen-momen kecil yang seringkali dianggap remeh.
“Alya,” Raka memecah keheningan, “apakah kamu pernah membayangkan hidup kita akan seperti ini? Dulu, aku sering merasa ragu dan takut. Tetapi sekarang, aku bisa melihat masa depan dengan lebih jelas. Kita telah melewati banyak hal bersama, dan aku tidak ingin ada yang menghalangi kebahagiaan kita.”
Alya tersenyum, menoleh ke arah Raka. “Aku juga tidak pernah membayangkan bahwa kita akan sampai di titik ini. Dulu, aku selalu berusaha mencari kebahagiaan di luar diri kita, tetapi aku sadar bahwa kebahagiaan itu ada di sini, di antara kita.”
Raka mengangguk setuju, matanya berbinar. “Kita telah melalui banyak rintangan, banyak cobaan. Tetapi setiap langkah yang kita ambil, setiap keputusan yang kita buat, itu membuat kita lebih kuat. Aku merasa kita telah menemukan tempat kita di dunia ini. Kita mungkin bukan pasangan yang sempurna, tetapi kita saling melengkapi.”
Alya mengangguk, merasakan kebenaran dalam kata-kata Raka. Mereka memang tidak sempurna, tetapi justru ketidaksempurnaan itu yang membuat hubungan mereka menjadi lebih indah. Mereka berdua belajar untuk menerima kekurangan masing-masing dan tumbuh bersama menjadi pribadi yang lebih baik. Tidak ada lagi perasaan takut atau ragu, karena mereka tahu bahwa cinta mereka adalah dasar yang kokoh untuk menghadapi apapun yang datang.
“Raka, aku ingin kita selalu ingat bahwa kebahagiaan itu ada dalam perjalanan, bukan tujuan akhir. Setiap hari, setiap momen, itu adalah bagian dari kebahagiaan yang kita ciptakan bersama. Aku tahu kita masih akan melalui banyak hal ke depan, tetapi yang penting adalah kita tidak pernah berhenti berjuang untuk satu sama lain.”
Raka menatapnya dengan penuh cinta, matanya memancarkan rasa sayang yang dalam. “Aku berjanji, Alya. Kita akan terus berjalan bersama, menghadapi apapun yang datang, dan membuat setiap momen berarti. Cinta kita akan terus tumbuh, di setiap ujung kota yang kita lewati.”
Mereka saling tersenyum, seperti dua orang yang telah menemukan kedamaian dalam hati mereka. Ada rasa syukur yang mendalam dalam diri mereka, karena meskipun jalan hidup tidak selalu mulus, mereka telah menemukan satu sama lain. Cinta mereka, yang dimulai dengan langkah kecil di ujung kota, kini berkembang menjadi sebuah kisah indah yang tak akan pernah berakhir.
Malam pun mulai turun, dan kota di bawah mereka mulai dipenuhi dengan cahaya-cahaya yang berkilauan. Namun, di atas balkon ini, hanya ada kedamaian. Mereka tahu bahwa cinta yang mereka miliki akan terus tumbuh, seperti bunga yang mekar di ujung kota—di tempat yang mereka pilih untuk memulai segalanya.
Dan di situlah mereka akan selalu berada—di ujung kota, di tempat yang penuh kenangan, cinta yang tak pernah pudar, dan masa depan yang akan terus mereka bangun bersama.***
———–THE END———