• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
PAHLAWAN SUPER YANG MALAS

PAHLAWAN SUPER YANG MALAS

January 30, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
PAHLAWAN SUPER YANG MALAS

PAHLAWAN SUPER YANG MALAS

by MABUMI
January 30, 2025
in Comedy
Reading Time: 23 mins read

Bab 1: Super Kuat, Super Malas

Arman tidak pernah mengerti mengapa orang-orang terlalu menganggap serius soal menjadi pahlawan. Bagi sebagian orang, menjadi pahlawan super adalah sebuah tugas mulia yang harus dijalani dengan penuh pengorbanan dan dedikasi tinggi. Namun, bagi Arman, yang memiliki kekuatan super, menjadi pahlawan lebih terdengar seperti pekerjaan paruh waktu yang harus dikerjakan dengan segala cara yang bisa dihindari. Apalagi kalau itu mengganggu jadwal tidur siangnya.

Arman bangun dari tiduran panjang di sofa, merasa tubuhnya agak kaku setelah tidur sepanjang pagi. Ia menatap jam di dinding. Jam sudah menunjukkan pukul dua siang, dan perutnya mulai terasa lapar. Sambil menguap lebar, ia meraih remote TV dan menyalakan saluran berita.

“Laporan terbaru,” suara pembaca berita terdengar dari layar, “Penjahat super, Dr. Gelap, kembali mengacau di pusat kota! Pahlawan Super Arman, diharapkan segera turun tangan!”

Arman mengerutkan kening. Dr. Gelap? Itu kan penjahat yang sudah sering muncul, tapi selalu gagal karena selalu kecolongan sama Arman yang santai. Arman tidak bisa mengerti, kenapa penjahat satu ini tak pernah berhenti. Dia bukannya takut menghadapi Arman yang sudah jelas lebih kuat darinya. Coba saja dia melihat Arman sedang duduk di sofa atau tiduran sambil ngemil—itu baru namanya pahlawan super yang harus diwaspadai.

Arman menghela napas, lalu menurunkan remote TV dengan malas. Satu hal yang paling ia benci adalah ketika orang-orang berharap dia harus menjadi pahlawan. Tidak pernah ada satu pun yang mengerti bahwa menjadi seorang pahlawan super itu melelahkan. Berlari ke sana-sini, menyelamatkan orang, dan yang terburuk, selalu dibicarakan di media—itu benar-benar tidak menarik.

Tapi… dia seorang pahlawan. Kalau tidak turun tangan, orang-orang bisa menganggapnya pengecut. Sialnya, setiap kali ada panggilan darurat, Arman selalu merasa ada tanggung jawab yang harus dipenuhi, meskipun tanggung jawab itu lebih mirip sebagai sebuah beban yang selalu ingin ia hindari.

“Ah, kenapa sih gue gak bisa jadi pahlawan yang santai aja, ya?” Arman bergumam sambil meregangkan tubuhnya. “Pahlawan super tanpa harus repot-repot, mungkin kayak superhero yang nggak perlu pakai kostum dan nggak pernah disorot kamera.”

Tiba-tiba telepon genggamnya berdering. Arman menoleh ke arah ponsel yang tergeletak di meja samping sofa. Dengan malas, dia mengambilnya dan melihat nama yang tertera di layar.

“Boss,” Arman mendesah panjang. “Gue tahu, ini pasti soal Dr. Gelap lagi, kan?”

Ponselnya terhubung ke suara boss-nya, Pak Joko, yang langsung berbicara dengan tegas, “Arman, kami membutuhkanmu. Dr. Gelap menyerang pusat kota lagi. Tolong segera turun dan hentikan dia sebelum ada korban lebih banyak. Kamu kan punya kekuatan super!”

Arman menggelengkan kepala meskipun Pak Joko tidak bisa melihatnya. “Bukan masalah kekuatan, Pak, masalahnya gue nggak lagi mood jadi pahlawan. Gue lagi pengen tidur siang, kalau bisa.”

Pak Joko terdengar tidak sabar. “Arman! Ini bukan masalah mood! Ini tentang keselamatan banyak orang! Kamu nggak bisa melarikan diri dari tanggung jawab.”

“Kenapa nggak ada pahlawan lain yang bisa ngurusin si Dr. Gelap? Kenapa mesti gue?” Arman berusaha mencari alasan. “Lagian, kan gue cuma mau tidur siang—tugas pahlawan itu bisa diundur dong?”

Suasana di seberang sana hening sejenak, mungkin Pak Joko sedang menarik napas panjang. “Arman… ingat, kalau kamu nggak turun tangan sekarang, banyak orang yang bakal terluka. Itu kan tugasmu, sebagai pahlawan super.”

“Ah, tugas-tugas,” gumam Arman sambil menoleh ke jendela. Langit cerah di luar sana seolah mengundangnya untuk berbaring lebih lama. “Oke, oke… Tapi cuma karena nggak ada yang lain, ya. Gue turun bentar, abis itu gue tidur lagi, oke?”

Pak Joko sepertinya sudah pasrah. “Ya, ya, cepatlah. Jangan lama-lama.”

Arman meletakkan telepon dan bangkit dari sofa, tapi kemudian berhenti sejenak. “Ah, bisa juga sih, kalau cuma sekedar menghentikan orang jahat pake kekuatan. Cuma ngangkat tangan dikit, terus udah selesai, kan?”

Ia pergi ke kamar, membuka lemari, dan melihat kostum pahlawan supernya yang sudah beberapa minggu tidak dipakai. Kostum itu sudah berdebu dan agak kusut. Kostum berwarna biru dengan logo huruf ‘A’ besar di dada itu adalah simbol kebanggaan—meski Arman lebih sering menggunakannya hanya untuk mengambil sampah di luar rumah.

“Kenapa sih gue harus pakai kostum ini? Bukannya bikin gerah?” keluh Arman sambil mencoba mengenakan kostumnya yang tidak begitu pas. “Gue tuh lebih suka baju tidur, santai, nggak perlu ribet.”

Setelah cukup lama bergulat dengan kostumnya yang kebesaran dan kekecilan di sana-sini, Arman akhirnya terbang keluar jendela, melayang di udara dengan setengah hati. Kekuatan supernya memang luar biasa—terbang secepat kilat, bisa mengangkat benda berat tanpa berkeringat, dan bahkan bisa melihat apa yang terjadi di seluruh kota hanya dengan melihat ke arah mana ia ingin melihat.

Namun, saat Arman melihat kembali ke arah jalanan kota yang penuh hiruk-pikuk, ia merasa… malas. Pahlawan super mana yang mau repot-repot dengan semua ini? Padahal yang dia inginkan cuma satu—tidur yang nyenyak dan camilan yang enak.

“Yah, udahlah… demi warga, demi Pak Joko… demi kamera-kamera itu…” Arman akhirnya menghela napas panjang dan meluncur menuju pusat kota.

Tapi tentu saja, seperti yang bisa diduga, saat ia tiba di lokasi, semuanya sudah selesai. Dr. Gelap, si penjahat yang biasanya sangat cerdas, tampak seperti kebingungan. Sambil menatap Arman, yang mendarat dengan santai, dia malah hampir jatuh dari kejutan.

“Kenapa… kamu datang terlambat?” tanya Dr. Gelap dengan nada bingung.

Arman memiringkan kepala, “Loh, gue kan udah sampai sini, lo malah keburu kalah sama mobil yang lagi parkir di depan gedung. Gimana sih, Dr. Gelap, nggak ada usaha buat bertahan lama.”

Dr. Gelap hanya bisa menggelengkan kepala. Semua orang yang menunggu Arman malah bertepuk tangan, dan Arman hanya melambaikan tangan sambil memasukkan ponselnya ke saku.

Dengan kekuatan luar biasa, tetapi dengan usaha minimal, Arman menyelesaikan misi lagi, meski semuanya berjalan dengan cara yang paling malas yang bisa dibayangkan.

Sambil terbang pulang, Arman memikirkan hal satu-satunya yang penting saat ini: tidur siang. “Ah, rasanya enak jadi pahlawan, kalau nggak terlalu sering diajak kerja keras,” pikirnya, tersenyum kecil.

Pahlawan super? Tentu, tapi yang paling penting adalah menjaga kenyamanan pribadi—dan tidur yang tak terganggu.*

Bab 2: Ketidaksengajaan yang Super

Arman terbang dengan malas di atas kota, matanya setengah terpejam, mencoba menikmati udara segar yang mengalir di wajahnya. Di kejauhan, pusat kota terlihat ramai, tapi suasana itu seolah tidak berpengaruh pada dirinya. Ia melayang dengan santai, mengabaikan berbagai sirene yang terdengar di bawah, seolah-olah seluruh dunia bisa menunggu sampai dia selesai dengan “rencana” tiduran siangnya. Dengan hanya satu tangan memegang kantong camilan, Arman melintas dengan kecepatan tinggi, menurunkan sedikit ketinggiannya karena merasa sedikit lapar.

“Ah, nggak ada yang lebih baik daripada makan camilan sambil terbang,” gumamnya sambil menyudutkan kantong keripik ke mulutnya. “Sementara orang lain ribut soal penyelamatan dunia, gue lebih menikmati hidup seperti ini.”

Tapi sesaat sebelum ia kembali terhanyut dalam kenyamanan, sebuah suara yang teriak-teriak dari radio komunikasi pahlawan super di telinganya menginterupsi. Itu suara Pak Joko, atasan Arman yang sudah cukup sering menghubunginya, tapi lebih sering daripada itu, ia hanya berfungsi sebagai pengingat bahwa Arman seharusnya menjadi pahlawan yang lebih aktif.

“Arman! Dr. Gelap kembali muncul di pusat kota! Jangan banyak alasan, turun segera!”

Arman menggigit keripiknya lebih keras, merespon dengan setengah hati. “Pak Joko, gue lagi enak-enak terbang santai, loh. Kenapa nggak suruh pahlawan lain aja yang turun tangan?”

Suara Pak Joko terdengar makin cemas. “Nggak ada waktu, Arman! Dr. Gelap sudah mulai merusak! Cepat, ayo!”

Arman menghela napas berat, lalu membalikkan arah terbangnya dengan malas. “Baik, baik… Tapi gue janji cuma bentar, ya. Nggak lama-lama. Habis itu tidur siang.”

Sambil bergumam kesal, Arman mendarat di atas gedung yang paling dekat dengan pusat kota. Dari situ, dia melihat kerumunan orang yang berlarian panik. Mereka menghindari beberapa objek aneh yang dilemparkan oleh Dr. Gelap, seorang ilmuwan gila yang sering mencoba menguasai dunia dengan cara yang—menurut Arman—terlalu rumit dan tidak efisien. Kenapa nggak sekalian coba jualan online, ya? Arman pikir dalam hati, sambil mengamati kerusuhan itu dengan malas.

Dr. Gelap, yang selalu memakai jas lab hitam dengan kaca mata besar, tampak sedang memegang sebuah alat aneh yang mengeluarkan gelombang energi yang membuat benda-benda di sekitar bergetar dan terlempar ke udara. Orang-orang berlarian, dan petugas keamanan tampaknya kewalahan.

Arman menyeringai. “Nah, ini dia… drama biasa.”

Dia melangkah santai ke arah Dr. Gelap, meski dalam hatinya ia tahu—ini pasti akan berakhir dengan cara yang tidak seperti yang diinginkan orang lain. Tak ada rencana canggih, tak ada aksi heroik yang menggelegar. Arman hanya ingin cepat selesai supaya bisa kembali ke rumah dan tidur lagi.

Ketika Arman mendekat, Dr. Gelap menoleh dan mendapati Arman berdiri dengan santai, tangan diselipkan di saku kostum pahlawannya yang kebesaran. Dr. Gelap terkekeh, sedikit bingung, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

“Arman, kamu sudah datang? Kalian para pahlawan, tidak pernah mengerti cara menikmati momen yang penuh kesenangan! Tapi tidak masalah, aku sudah mempersiapkan sesuatu yang akan membuatmu tak bisa lagi tertidur dengan tenang!” Dr. Gelap tertawa terbahak-bahak.

Arman hanya mengangkat alisnya. “Ah, santai aja, Gelap. Gue cuma mau selesaiin ini sebentar. Lo sendiri kayaknya lebih butuh tidur, deh.”

Dr. Gelap terkejut mendengar jawaban itu, tetapi sepertinya dia tak peduli. Ia menekan tombol di alatnya, dan tiba-tiba sebuah bola energi besar terlepas dari perangkat itu dan mengarah ke Arman dengan kecepatan tinggi. Namun, Arman, yang sedang mengunyah camilan, tanpa sengaja menggerakkan tangan kanannya dan menepis bola energi tersebut.

BOOM! Bola energi meleset, menabrak gedung bertingkat yang ada di belakang Dr. Gelap, menyebabkan ledakan besar yang membuat gelombang kejut mengguncang seluruh area. Arman mengerjapkan matanya dan, tanpa sadar, menghapus sebagian keripik yang tersisa di mulutnya.

“Eh, maaf,” katanya santai. “Gue nggak sengaja. Lo ngelawan sendiri aja deh, kalau begitu.”

Dr. Gelap menatap Arman dengan wajah cemas dan marah. “Apa yang kamu lakukan? Kamu baru saja—!”

Namun, sebelum Dr. Gelap bisa melanjutkan, Arman yang masih dengan malasnya, terbang ke arah alat yang dia pegang dan memegangnya dengan tangan kosong. Ia mendorong alat itu ke bawah dengan sedikit usaha, menghentikan serangan gelombang energi yang berbahaya.

Dengan cara yang tak disengaja, Arman membuat alat Dr. Gelap meledak dan menghentikan semua kekacauan yang terjadi. Warga yang semula panik langsung terdiam, beberapa bahkan berdiri terpaku melihat ke arah Arman, seolah-olah mereka tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

“Gue bilang juga apa, kan?” Arman berujar sambil membersihkan tangannya. “Kalo lo cuma bikin rusuh, bisa-bisa alatnya meledak sendiri.”

Dr. Gelap berdiri terpaku, tidak tahu apakah ia harus marah atau terkesan. “Tidak mungkin! Tidak mungkin kamu menghancurkan semuanya begitu saja! Bagaimana bisa—?”

“Sederhana, kok. Gue kan cuma nggak sengaja.” Arman berkata sambil menyeringai, merasa lebih tertarik dengan keripiknya daripada Dr. Gelap yang masih kesal.

Warga yang menyaksikan kejadian itu mulai bertepuk tangan, beberapa di antaranya meneriakkan nama Arman. Namun, Arman hanya mengangkat tangan tanpa semangat, seperti orang yang tidak ingin terlalu diperhatikan. “Ah, cukup deh. Gue cuma pengen tidur aja.”

Sebelum Dr. Gelap sempat merespon, Arman sudah terbang kembali ke udara dan melesat pergi dari tempat itu dengan kecepatan tinggi. Ia merasa lega karena semuanya selesai, meskipun ia tidak merasa bahwa itu benar-benar adalah tindakan heroik.

Namun, yang paling mengejutkan adalah bahwa Dr. Gelap, yang biasanya sangat cerdik dan penuh perhitungan, kini hanya bisa menggelengkan kepala, merasa frustrasi dengan kehadiran pahlawan super yang satu ini.

“Siapa yang butuh pahlawan jika kehebatan datang begitu saja tanpa sengaja?” gumam Arman saat terbang pulang.

Arman kembali ke apartemennya dan mendarat dengan sempurna, memasukkan kantong keripiknya ke dalam saku sambil berpikir, “Gue baru aja selesai jadi pahlawan, dan itu cuma gara-gara ketidaksengajaan. Ini terlalu mudah.”

Mungkin menjadi pahlawan super itu tidak sesulit yang mereka pikirkan. Tapi, satu hal yang pasti—Arman tidak akan pernah mau melakukannya jika itu berarti mengorbankan tidur siangnya.*

Bab 3: Kostum yang Tak Pernah Terpakai

Arman menatap kostum pahlawan supernya yang tergantung di dalam lemari. Kostum itu selalu terlihat begitu mencolok, dengan warna biru terang dan logo ‘A’ besar di dada, seolah menyiratkan bahwa pemakainya harus siap menjadi pusat perhatian setiap saat. Tapi bagi Arman, kostum itu lebih seperti barang yang bisa membuatnya merasa canggung dan tidak nyaman, terutama saat ia harus memakainya untuk menghadapi orang banyak.

Ia menghela napas panjang dan membuka lemari, menarik keluar kostum yang sudah lama tidak dipakai itu. “Ah, gue lebih suka pake kaos oblong dan celana pendek aja,” gumamnya, sambil menatap kostum pahlawan super yang selalu mengingatkannya pada segala kewajiban yang datang dengan peran itu.

Arman bukanlah pahlawan super biasa. Ia punya kekuatan luar biasa—terbang, kecepatan super, dan kemampuan untuk mengangkat benda-benda berat dengan mudah. Tapi satu hal yang paling dia benci adalah perhatian yang datang bersamaan dengan gelar pahlawan super itu. Setiap kali ada kejadian besar, orang-orang mengharapkan dia untuk tampil dengan kostum super lengkap dan memberikan peran heroik yang dramatis. Padahal, Arman hanya ingin menikmati hidup dengan cara yang sederhana: tidur siang, ngemil, dan tidak diganggu.

Namun, pagi ini keadaan sepertinya tidak bisa dia hindari. Pak Joko, atasannya di organisasi pahlawan, menghubunginya dengan kabar buruk. Lagi-lagi ada masalah besar di kota yang hanya bisa diatasi oleh seorang pahlawan super. Arman tidak punya pilihan lain selain menanggapi, meskipun perasaan malasnya sudah memuncak.

“Arman! Dr. Gelap kembali mengacau di pusat kota!” terdengar suara Pak Joko dari ponselnya, penuh desakan. “Cepat pakai kostummu dan segera turun! Warga butuh perlindunganmu!”

Arman menatap kostum di tangannya dengan tatapan penuh kebencian. “Kenapa sih gue nggak bisa jadi pahlawan yang nggak harus pakai kostum?” gerutunya sambil melemparkan kostum itu ke tempat tidur.

Dia berbalik dan berjalan menuju dapur, membuka kulkas untuk mencari makan. Mungkin, menurutnya, kalau makan dulu, ia bisa merasa lebih baik dan sedikit termotivasi. Tapi kenyataannya, rasa malasnya jauh lebih kuat daripada rasa lapar. Arman akhirnya mengambil sepotong pizza sisa dari kemarin dan memakannya sambil menatap layar TV yang menayangkan berita tentang Dr. Gelap yang sedang membuat kekacauan di kota.

“Gue harap Dr. Gelap nggak bikin masalah yang besar-besar,” bisiknya sambil menggigit pizza. “Gue pengen banget tidur siang.”

Namun, suara ketukan pintu membuyarkan pikirannya. Arman melangkah ke pintu dengan malas, berharap itu hanya pengantar paket atau orang yang tidak begitu penting. Begitu ia membuka pintu, ternyata yang berdiri di depannya adalah Nina, teman seorganisasi yang juga merupakan seorang pahlawan super.

“Nina?” Arman mengerutkan kening, sedikit terkejut melihatnya. “Lo datang ke sini buat apa?”

Nina, yang selalu tampil dengan penuh semangat, memandangnya dengan tatapan tajam. “Arman, lo nggak dengar kabar? Dr. Gelap sedang membuat kekacauan besar di pusat kota! Kita butuh lo untuk turun tangan!”

Arman mengusap wajahnya, tampak lelah. “Gue tahu, Nina. Gue sudah diberitahu. Tapi lo tahu kan, gue lebih suka tidur daripada jadi pahlawan. Gue nggak ngerti kenapa semua orang selalu mengandalkan gue terus.”

Nina menggigit bibir, lalu menggelengkan kepala. “Gue tahu lo malas, Arman. Tapi lo pahlawan super! Pahlawan seperti lo harus menunjukkan wajahnya ke dunia, nggak bisa sembunyi-sembunyi terus. Lo punya kemampuan luar biasa, kenapa nggak memanfaatkan itu?”

Arman menatap Nina dengan tatapan kosong. “Gue tahu, gue tahu. Tapi lo nggak ngerti kan, kostum itu bikin gue merasa kayak orang bodoh. Kenapa gue harus pakai kostum super yang kaku itu kalau lo bisa jadi pahlawan tanpa harus ribet?”

Nina menatapnya dengan serius. “Lo nggak bisa jadi pahlawan tanpa kostum. Itu bagian dari identitas lo. Tanpa kostum, lo cuma orang biasa. Dengan kostum, lo jadi simbol harapan bagi banyak orang.”

Arman mengerutkan kening. “Tapi gue nggak mau jadi simbol harapan, Nina. Gue cuma mau hidup gue sendiri, nggak perlu orang-orang berharap lebih dari gue.”

Nina mendekat dan menepuk bahu Arman. “Gue paham, Arman. Tapi kadang, kita harus menghadapi kenyataan bahwa peran kita sebagai pahlawan bukan cuma untuk diri kita sendiri. Pahlawan itu bukan cuma soal kekuatan, tapi juga soal keberanian untuk mengambil tanggung jawab, meskipun itu nggak enak. Lo bisa melakukannya.”

Arman menghela napas dan menatap kostum yang masih tergeletak di atas tempat tidur. “Oke deh, oke. Gue pakai kostum itu. Tapi cuma sebentar aja, ya. Abis itu, gue mau tidur siang sepuasnya.”

Nina tersenyum lebar. “Itu yang gue harapkan! Sekarang, cepatlah, sebelum Dr. Gelap bikin lebih banyak kerusakan!”

Dengan enggan, Arman mengenakan kostum pahlawan super yang sudah lama tidak ia sentuh. Kostum itu terasa sempit di beberapa bagian, terutama di dada, karena dia sudah semakin jarang berolahraga sejak menjadi pahlawan yang malas. Ia menarik masker biru dari lemari dan mengenakannya di wajah, lalu berdiri di depan cermin untuk melihat penampilannya. Tentu saja, kostum itu tidak membuatnya merasa lebih heroik. Sebaliknya, ia merasa lebih seperti seseorang yang terjebak dalam peran yang tidak diinginkannya.

“Gue masih nggak ngerti kenapa orang-orang harus berpakaian kayak gini buat jadi pahlawan,” keluh Arman, sambil memandangi dirinya di cermin.

Namun, setelah beberapa saat, ia akhirnya menyadari sesuatu. Meskipun ia merasa canggung dan tidak nyaman dengan kostumnya, ia tidak bisa menghindari kenyataan bahwa ia memang seorang pahlawan. Kostum itu bukan hanya sekedar pakaian—itu adalah bagian dari identitasnya. Dan jika ia benar-benar ingin menghentikan Dr. Gelap dan menyelamatkan kota, maka kostum itu adalah simbol yang tidak bisa ia hindari.

Dengan langkah malas, Arman terbang keluar dari apartemennya, meninggalkan Nina yang menatapnya dengan senyum bangga. Dalam hati, ia tahu bahwa meskipun ia tidak ingin memakai kostum itu, itulah yang membuatnya berbeda. Itu yang membuat orang-orang menantikan kehadirannya. Itu yang memberi harapan.

“Baiklah, kostum ini memang nggak nyaman,” Arman berpikir saat melayang di udara, “tapi kalau itu artinya bisa menghentikan Dr. Gelap… mungkin kali ini, gue bakal melakukannya. Sejenak saja.”

Dan meskipun niat awalnya hanya untuk menyelesaikan tugas secepat mungkin dan kembali tidur, Arman tahu—hari itu, kostum itu akan membuat perbedaan besar.*

Bab 4: Super Power yang Tidak Terpakai

Arman menatap langit biru yang terbentang luas di atasnya. Ia duduk di atas atap sebuah gedung bertingkat, tangan bersandar di lutut, dan tubuhnya miring sedikit ke samping. Di sekitarnya, angin berhembus pelan, menggerakkan rambutnya yang sudah agak panjang. Ini adalah tempat favoritnya untuk berpikir. Atap gedung ini memberikan pandangan yang luas ke seluruh kota, namun Arman lebih suka menganggapnya sebagai tempat pelarian. Dari dunia luar yang penuh harapan, ekspektasi, dan tugas sebagai pahlawan super.

Di sana, jauh di bawah, tampak keramaian seperti biasa. Orang-orang berjalan, mobil-mobil berlalu-lalang, dan aktivitas kota terus berlanjut. Tapi Arman, dengan segala kekuatan super yang dimilikinya, merasa seolah-olah itu semua tidak ada hubungannya dengannya. Dunia bisa berjalan tanpa kehadirannya, dan itu membuatnya merasa lebih tenang.

Dia mengeluarkan ponselnya dari saku dan membuka aplikasi berita, seperti yang biasanya dilakukan setiap pagi. Dr. Gelap, si penjahat yang sudah tidak asing lagi, kembali membuat onar di pusat kota. Berita itu muncul di layar ponsel dengan judul tebal: “Pahlawan Super Dibutuhkan! Dr. Gelap Kembali Mengancam Kota!”

Arman tidak merasa kaget. Setiap kali Dr. Gelap muncul, itulah yang selalu terjadi. Dia akan memulai kekacauan, memanipulasi teknologi, atau menciptakan senjata aneh yang mengancam nyawa banyak orang, dan Arman—pahlawan super yang “ditugaskan” untuk menanganinya—akan dipanggil. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Arman merasa tidak ada urgensi untuk segera bertindak. Bahkan dia merasa sedikit malas untuk melawan Dr. Gelap, yang sudah terlalu sering ia hadapi dengan cara yang mudah.

“Kenapa harus gue terus sih?” Arman bergumam sambil menyandarkan punggungnya di dinding gedung. “Kenapa nggak ada pahlawan lain yang turun tangan? Apa gue cuma buat mengisi waktu luang mereka?”

Di dalam hatinya, Arman tahu jawabannya. Dia punya kekuatan super. Kecepatan super, kekuatan fisik yang luar biasa, kemampuan terbang, dan bahkan daya tahan yang tak terhingga. Semua itu membuatnya hampir tidak terkalahkan. Tapi ironisnya, kekuatan-kekuatan luar biasa itu tidak pernah benar-benar dia gunakan sepenuhnya. Ia lebih suka bersembunyi di balik kenyamanan hidup biasa, jauh dari sorotan media dan perhatian orang banyak.

Arman kembali memandang ke bawah. Di antara keramaian, ia bisa melihat beberapa orang yang mulai berlari ketakutan, menyadari bahaya yang datang. Sesuatu mulai terjadi di pusat kota, dan itu mungkin sudah cukup serius. Mungkin kali ini, Dr. Gelap benar-benar telah menciptakan senjata baru yang lebih hebat. Mungkin, inilah saatnya ia benar-benar menggunakan kekuatannya.

Namun, ia menahan diri. Ada perasaan yang sangat kuat di dalam dirinya yang membuatnya enggan untuk bergerak. “Apakah benar-benar perlu aku turun tangan?” tanyanya pada dirinya sendiri. “Apa yang akan terjadi jika aku tidak turun sekarang? Apa mereka bisa menghadapinya tanpa aku?”

Sebagai seorang pahlawan, tentu saja jawabannya adalah “ya.” Tanpa diragukan lagi, Arman tahu kalau dia bisa saja mengalahkan Dr. Gelap dengan mudah. Satu pukulan, satu terbang cepat, dan semua masalah itu akan selesai. Tetapi kenapa ia tidak mau? Karena Arman merasa dunia tidak membutuhkan pahlawan sepertinya.

Dengan kekuatan luar biasa yang dimilikinya, Arman merasa seperti ada dunia besar yang dibebani dengan harapan dari orang-orang yang menganggapnya sebagai penyelamat. Meskipun seharusnya itu adalah tugasnya untuk melindungi kota dan orang-orang, dia merasa terjebak. Seperti ada beban tak terlihat yang menekan dirinya setiap kali ia mengenakan kostumnya.

“Lo bisa menghentikan semua ini dalam satu detik, Arman,” pikirnya, menatap langit yang cerah. “Tapi kenapa lo malah milih ngelakuin hal lain?”

Dia menatap kedua tangan yang kini terkulai di lututnya, merasa seolah-olah itu hanya bagian dari tubuh yang tidak begitu berguna. Kekuatan yang ada di dalam dirinya begitu besar, dan terkadang, ia merasa tak mampu menggunakannya. Setiap kali Dr. Gelap muncul, ia tahu bagaimana cara mengalahkannya. Namun, ada semacam ketidakinginan yang menghalangi langkahnya. Apa yang sebenarnya ia takutkan?

“Kenapa lo nggak mau beraksi, Arman?”

Hening sejenak. Hanya suara angin yang terdengar. Seiring dengan perasaan kosong yang mulai menyelimuti hatinya, Arman akhirnya menyadari jawabannya. Ia tidak takut pada Dr. Gelap, bukan. Ia takut pada dirinya sendiri. Takut pada kenyataan bahwa ia akan terus terjebak dalam lingkaran tak berujung sebagai seorang pahlawan super, yang dipaksa untuk selalu hadir setiap kali dunia membutuhkannya. Takut pada kenyataan bahwa dunia akan selalu menganggapnya sebagai penyelamat, meskipun ia tidak ingin menjadi itu.

Kekuatan yang dimilikinya terasa semakin berat, seperti sebuah beban yang tak terucapkan. Tidak ada rasa bangga atau kemenangan setelah menggunakan kekuatannya. Semua itu hanya terasa seperti rutinitas yang harus dijalani. “Apakah hidupku hanya untuk ini?” Arman bertanya pada dirinya sendiri.

Dia berdiri perlahan dari duduknya, tubuhnya merasakan sedikit kekakuan setelah terlalu lama terdiam. Tanpa berpikir panjang, Arman melayang ke udara, meninggalkan atap gedung itu. Terbang tinggi, lebih tinggi dari biasanya. Ia bisa merasakan kecepatan yang luar biasa saat tubuhnya menembus angin. Dalam sekejap, pusat kota mulai terlihat jelas di bawahnya. Keramaian semakin meluas, dan suara sirene semakin keras terdengar.

Namun, meskipun Arman sudah terbang ke sana, hatinya tetap ragu. Ia tahu ia bisa saja menyelesaikan masalah ini dengan sekali gerakan. Dia bisa menangkap Dr. Gelap dan menghentikan kekacauannya dalam hitungan detik. Tapi kenapa tidak ada rasa semangat? Kenapa kekuatannya terasa begitu kosong?

Di tengah perjalanan, Arman tiba-tiba berhenti di tengah udara. Dia terhenti, memandang ke bawah, mengamati kerusuhan yang sedang terjadi. Dr. Gelap, yang kini tengah memegang sebuah alat canggih, berusaha melepaskan gelombang energi yang mengarah ke gedung-gedung tinggi. Di sekelilingnya, banyak orang yang ketakutan, berlari untuk menyelamatkan diri.

Satu detik. Dua detik.

Arman menggenggam tangannya, menahan dorongan untuk langsung bertindak. Kenapa aku ragu? pikirnya, merasa ada sesuatu yang menghalangi langkahnya. Namun, setelah beberapa detik lagi, ia sadar. Mungkin, yang ia butuhkan bukan sekedar kekuatan untuk melawan. Mungkin yang ia butuhkan adalah menemukan alasan mengapa ia ingin menjadi pahlawan.

Dengan pelan, Arman akhirnya menggerakkan tangannya. Kekuatan supernya kembali bekerja, dan tanpa sadar, dia sudah di bawah, di tengah kerumunan, menghentikan Dr. Gelap dalam sekejap mata. Semua berakhir begitu cepat—dan Arman kembali terbang ke langit.

Tapi di hati Arman, perasaan kosong itu masih ada. Kekuatan itu memang ada, tetapi mungkin Arman belum siap untuk menggunakannya sepenuhnya. Karena, meskipun ia bisa menghentikan semua ini dalam satu detik, ia merasa belum menemukan alasan yang cukup kuat untuk benar-benar melakukannya dengan sepenuh hati.*

Bab 5: Kekacauan Pahlawan Super

Arman berdiri di tepi atap gedung, menatap kota yang dipenuhi keramaian. Dengan kostum pahlawan super yang sudah jarang ia kenakan, ia merasa seperti seseorang yang berada di tempat yang salah. Kekuatan luar biasa yang ada dalam dirinya, kekuatan yang seharusnya digunakan untuk melindungi dunia, terasa hanya sebagai beban belaka. Ia sudah terbiasa dengan hidup yang jauh dari sorotan, jauh dari perhatian orang-orang yang menganggap dirinya sebagai penyelamat. Tetapi, entah bagaimana, hari itu, dunia memanggilnya lagi.

Di bawahnya, beberapa mobil berhenti dengan mendadak, dan orang-orang mulai berlarian ke sana kemari, tampak panik. Sirene dari mobil polisi terdengar bergaung di tengah kebisingan kota, semakin menguatkan ketegangan yang terasa di udara. Ada yang salah, dan seperti biasa, Arman tahu bahwa itu adalah tugasnya untuk turun tangan.

Namun, kali ini, sesuatu terasa berbeda. Dia tidak merasa terinspirasi untuk segera bertindak. Ia menghela napas panjang dan mengunci pandangan ke jalanan yang kacau, bingung harus mulai dari mana. Dengan kekuatan super yang ia miliki, ia bisa menghentikan semuanya dalam sekejap. Kecepatan super, kekuatan fisik, kemampuan terbang—semuanya ada dalam dirinya. Tapi entah kenapa, hari ini, Arman merasa seperti kehilangan arah. Apakah dunia benar-benar membutuhkan seorang pahlawan seperti dirinya?

Dari kejauhan, Arman bisa melihat sosok Dr. Gelap, musuh bebuyutannya yang kembali melakukan kekacauan. Kali ini, Dr. Gelap tidak lagi beraksi dengan alat-alat canggih biasa. Di tangannya, ia memegang sebuah mesin besar yang terlihat sangat rumit. Mesin itu mengeluarkan energi berwarna merah yang berputar-putar, menghancurkan apapun yang berada di sekitarnya.

“Kenapa gue selalu harus berurusan dengan orang kayak dia?” Arman menggerutu, mengusap wajahnya. “Gue udah muak dengan semua ini.”

Dia terdiam sejenak. Tiba-tiba, di bawah sana, Arman bisa melihat sekelompok orang yang mulai berlari ke arah mesin Dr. Gelap, mencoba menghentikannya dengan cara mereka sendiri. Beberapa orang yang tidak tahu apa-apa, tidak sadar akan bahaya yang sedang mengancam mereka. Mereka hanya berpikir bahwa mereka bisa membuat perbedaan dengan cara yang mereka tahu, tanpa sadar bahwa mereka sedang berlari menuju kehancuran.

“Kenapa mereka nggak ngerti?” Arman bergumam. “Mereka nggak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.”

Tanpa pikir panjang, Arman akhirnya memutuskan untuk turun. Tapi kali ini, tidak seperti biasanya, ia merasakan kekacauan yang lebih besar daripada yang ia duga. Orang-orang di bawah semakin kacau, dan mereka mulai saling dorong dan berteriak panik. Beberapa orang bahkan mencoba menyerang Dr. Gelap dengan benda-benda yang ada di sekitar mereka—entah kayu, batu, atau bahkan tong sampah. Mereka tidak tahu bahwa mereka hanya membuang-buang waktu.

Arman terbang turun dengan kecepatan tinggi, mencoba menghindari kerumunan yang semakin tidak terkendali. Namun, begitu ia mendarat di tengah kerumunan, semuanya semakin kacau. Orang-orang berteriak lebih keras, panik melihat kehadiran Arman yang mendadak muncul di tengah-tengah mereka.

“Apa yang kalian lakukan? Jangan mendekat!” teriak Arman, berusaha mengatur keadaan.

Namun, alih-alih tenang, orang-orang justru semakin kalap. Beberapa di antara mereka malah berteriak kegirangan, menganggap Arman sebagai pahlawan yang akan menyelamatkan mereka. “Pahlawan! Pahlawan! Selamatkan kami!” mereka berteriak.

Arman mengusap wajahnya, merasa semakin frustasi. “Sungguh… Kenapa selalu seperti ini?” pikirnya. Dia hanya ingin semuanya selesai, dan bisa kembali ke kehidupannya yang damai. Tapi saat itu, Dr. Gelap mulai tertawa, senyum jahatnya semakin lebar.

“Arman! Selamat datang! Aku baru saja mempersiapkan kejutan untukmu!” teriak Dr. Gelap dengan suara keras, seolah-olah seluruh dunia harus mendengarnya.

Arman tidak menggubrisnya. Ia memandang mesin besar yang ada di depan Dr. Gelap, yang semakin mengeluarkan energi merah yang semakin kuat. Sementara itu, orang-orang masih berlarian, dan beberapa di antaranya tampak semakin bingung, berusaha untuk mencari perlindungan.

Namun, kekacauan tidak berhenti di situ. Di tengah kerumunan yang semakin riuh, beberapa orang mulai bertindak lebih ekstrem. Ada yang berlari ke arah mesin Dr. Gelap tanpa pikir panjang, ada yang membawa anak-anak mereka menjauh dari pusat kerusakan, dan ada pula yang mulai bertindak sebagai “pahlawan” mereka sendiri dengan cara yang sangat konyol. Sebagian mencoba untuk menghancurkan mesin dengan kekuatan fisik yang jelas jauh dari memadai, sementara yang lainnya malah terjatuh dan menjadi lebih panik.

Arman hanya bisa menggelengkan kepala. “Gue… Gue nggak bisa kayak gini,” katanya pada dirinya sendiri. Ia merasa tanggung jawab yang seharusnya dipikul sebagai pahlawan super mulai membebani dirinya. Setiap kali ia melihat kekacauan ini, ia merasa semakin jauh dari apa yang ia inginkan dalam hidup.

“Selesai sudah, Arman!” teriak Dr. Gelap, sambil menekan tombol pada mesinnya. Mesin itu mulai mengeluarkan lebih banyak energi, dan mulai berputar lebih cepat. “Kali ini, aku akan mengakhiri segalanya!”

Arman tahu ini sudah waktunya untuk bertindak, namun ia merasa seperti terjebak dalam peran yang tidak ia inginkan. Ia merasa seolah-olah dia bukan lagi pahlawan super, melainkan seorang boneka yang terjebak dalam permainan yang bukan pilihannya. Tapi, meskipun begitu, ia tahu bahwa jika ia tidak segera bergerak, semuanya akan hancur.

Dengan langkah cepat, Arman melesat ke arah mesin Dr. Gelap dan dengan sekali dorongan, ia menghancurkan mesin tersebut, membuat ledakan besar yang menggetarkan seluruh kota. Semua orang yang semula berlari ketakutan kini terdiam, menyaksikan Arman yang baru saja menghentikan kekacauan yang ada.

Namun, setelah semuanya berakhir, Arman hanya berdiri di tengah-tengah kerumunan dengan tatapan kosong. Orang-orang mulai bertepuk tangan, menyebutnya sebagai pahlawan, tapi Arman hanya merasa semakin lelah.

“Selesai. Semua beres. Tapi kenapa aku nggak merasa senang?” Arman bergumam pada dirinya sendiri.

Ketika semua orang berhamburan pergi, kembali ke rutinitas mereka, Arman terbang pergi, merasa seolah-olah kehidupannya semakin kacau. Pahlawan super? Mungkin bukan lagi apa yang ia inginkan.

Dengan kecepatan tinggi, Arman melayang menuju tempat yang lebih sepi. Meninggalkan dunia yang penuh harapan dan keinginan. Pahlawan super memang menyelamatkan dunia, tapi apakah itu yang ia inginkan?*

Bab 6: Keputusan Super yang Tak Diharapkan

Arman berdiri di tengah reruntuhan, menatap puing-puing yang berserakan di sekelilingnya. Pusat kota yang dulu begitu ramai kini menjadi lautan debu, bekas dari pertarungan besar yang baru saja terjadi. Angin kencang meniup sisa-sisa asap dari mesin Dr. Gelap yang hancur. Untuk beberapa saat, semuanya sunyi. Hanya ada suara samar dari kendaraan yang terus berlalu di kejauhan, dan suara napas Arman yang berat, yang menandakan betapa ia baru saja menghabiskan energi luar biasa untuk menyelesaikan masalah ini.

Mesin itu, yang dulu memancarkan energi destruktif, kini tak lebih dari tumpukan logam bengkok yang berserakan. Di sekelilingnya, beberapa orang mulai berdatangan, melihat sisa-sisa kekacauan yang ditinggalkan. Mereka bertepuk tangan, bersorak untuk Arman, yang telah menghentikan ancaman tersebut. Namun, bagi Arman, tepuk tangan itu tidak berarti apa-apa.

“Terima kasih, pahlawan!” teriak seorang wanita yang berlari menghampirinya. Beberapa orang lainnya juga mengelilinginya, memberikan pujian dan ungkapan terima kasih.

Namun, Arman hanya berdiri diam. Ia merasa tidak ada rasa puas atau bangga dalam dirinya. Semua yang terjadi hanya sebuah rutinitas yang terus berulang. Setiap kali Dr. Gelap muncul, Arman tahu apa yang harus dilakukan. Setiap kali ada ancaman, ia tahu dirinya harus turun tangan. Tapi kenapa kali ini berbeda?

Perasaannya semakin berat. Mungkin karena kekuatan super yang ia miliki, yang seharusnya bisa mengubah segalanya, justru terasa semakin kosong. Kekuatannya bukan lagi sesuatu yang memberi kebanggaan, melainkan beban. Ia sudah lelah, sangat lelah. Lebih lelah daripada yang bisa ia ungkapkan. Seperti mesin yang terus bekerja tanpa pernah diberi kesempatan untuk beristirahat.

“Arman!” Suara Nina, teman seorganisasi, memecah keheningan. Ia datang berlari, mengenakan kostum pahlawan super yang serupa dengan Arman, meskipun dia selalu terlihat lebih bersemangat. “Kau berhasil menghentikan Dr. Gelap, aku baru saja mendengarnya!”

Arman hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Tangan kanannya menggenggam erat dan terkadang tampak gemetar. “Ya, aku berhasil…” jawabnya pelan, tidak ada semangat di dalam kata-katanya.

Nina menghampirinya dan melihat ke arah puing-puing yang masih berasap. “Tapi, kau terlihat tidak senang. Apa ada yang salah?”

Arman menghela napas panjang, memandang Nina dengan tatapan kosong. “Aku lelah, Nina. Begitu lelah. Setiap kali aku berhasil menyelamatkan kota, rasanya seperti tidak ada bedanya. Semuanya kembali normal, dan aku kembali ke titik yang sama. Aku tidak merasa seperti pahlawan, aku merasa seperti… mesin.”

Nina terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja Arman katakan. Dia sudah tahu betul tentang betapa malasnya Arman terhadap peran pahlawan super, tapi dia tidak pernah menyangka kalau perasaan Arman sudah sedalam itu. “Aku paham, Arman. Terkadang, perasaan itu datang. Tapi, kau tahu kan, kita ini bukan cuma pahlawan untuk satu kali tindakan. Tugas kita jauh lebih besar daripada sekadar menghentikan penjahat.”

“Tapi aku tidak ingin terus-menerus menjadi orang yang diharapkan selalu ada saat mereka butuh,” Arman menyela dengan suara penuh keputusasaan. “Aku ingin menjalani hidupku sendiri, tanpa harus memikirkan setiap orang yang menanti aku untuk menyelamatkan mereka. Aku ingin memiliki kehidupan yang tenang, Nina. Seperti orang biasa.”

Nina menggenggam bahu Arman dengan lembut, menatapnya dengan serius. “Arman, aku mengerti keinginanmu. Semua orang ingin punya hidup normal. Tapi, ingat, apa yang kita lakukan ini bukan hanya untuk kita. Ada banyak orang di luar sana yang butuh kita. Kamu adalah simbol harapan bagi mereka.”

Arman menggigit bibir, tidak tahu harus menjawab apa. Di satu sisi, ia tahu Nina benar. Namun, di sisi lain, ia merasa bahwa harapan yang dibebankan padanya terlalu besar. Kekuatan yang ada di dalam dirinya seperti pisau bermata dua—terlalu kuat untuk dijadikan alat yang hanya digunakan untuk melindungi diri sendiri. Semua orang menganggapnya sebagai pahlawan, tapi siapa yang akan melindungi Arman?

Ketika Nina mencoba membujuknya lebih lanjut, Arman merasa hatinya semakin bimbang. Ia ingin melarikan diri, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa pelarian itu tidak akan pernah menyelesaikan apapun. Untuk pertama kalinya, Arman merasa seperti harus membuat keputusan besar—keputusan yang bisa mengubah hidupnya selamanya.

“Tapi, bagaimana kalau aku memutuskan untuk berhenti?” tanya Arman dengan nada pelan, seolah baru menyadari kemungkinannya. “Apa yang akan terjadi kalau aku benar-benar berhenti jadi pahlawan super?”

Nina menatapnya dengan terkejut, lalu menarik napas panjang. “Apa maksudmu? Kau tidak bisa berhenti begitu saja, Arman. Dunia butuh pahlawan seperti kamu.”

“Tapi dunia itu juga bisa berjalan tanpa aku,” Arman berkata dengan yakin. “Aku tahu aku bisa berhenti. Aku punya kekuatan untuk itu. Dan mungkin, itu yang seharusnya aku lakukan. Jika aku tidak pernah turun tangan lagi, mungkin semuanya akan baik-baik saja.”

Nina terlihat semakin cemas mendengar perkataan Arman. “Kau serius? Jika kau berhenti, siapa yang akan melindungi mereka? Apa kau benar-benar siap dengan konsekuensinya?”

Arman menunduk, mencoba mencerna kata-kata Nina. Ia tahu bahwa berhenti bukanlah keputusan mudah. Akan ada kekacauan, lebih banyak orang yang akan terluka, lebih banyak ancaman yang akan muncul. Namun, pertanyaannya adalah apakah ia benar-benar ingin terus hidup dalam bayang-bayang perannya sebagai pahlawan super? Apakah ia harus terus-menerus mengorbankan kebahagiaannya demi orang lain, tanpa pernah mendapat kesempatan untuk merasa bebas?

Satu-satunya hal yang ia tahu adalah bahwa ia tak bisa terus hidup dengan perasaan kosong seperti ini.

“Aku lelah menjadi apa yang orang lain harapkan. Aku ingin menjadi diriku sendiri,” Arman berkata, suaranya penuh keteguhan. “Aku ingin memutuskan jalan hidupku sendiri, tanpa terbebani oleh kewajiban yang tak pernah aku pilih.”

Nina menatap Arman dalam diam, lalu akhirnya mengangguk pelan. “Aku paham, Arman. Jika itu yang kau inginkan, aku tidak akan memaksamu. Tapi ingat, keputusan ini tidak akan mudah. Tidak hanya untukmu, tetapi untuk semua orang yang bergantung padamu.”

Arman mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada sedikit kelegaan di dalam dirinya. Keputusan besar ini memang akan sulit. Tapi, mungkin untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia bisa memilih jalan yang benar-benar ia inginkan, tanpa harus memikirkan apa kata orang atau apa yang dunia harapkan darinya.

Dengan langkah yang lebih mantap, Arman menatap kota yang terbentang di hadapannya, memutuskan bahwa ini adalah waktunya untuk membuat keputusan yang tak terduga. Keputusan super yang tak pernah dia duga sebelumnya—untuk berhenti menjadi pahlawan super.*

Bab 7: Pahlawan Super yang Tak Terduga

Arman berdiri di atas atap gedung yang sama, menatap ke langit yang mulai memerah seiring matahari terbenam. Senja selalu memberikan ketenangan yang tidak bisa ia temukan di tempat lain. Mungkin itu yang ia butuhkan, ketenangan, sesuatu yang selama ini ia cari dan tidak pernah bisa ditemukan dalam peran pahlawan yang selalu ia mainkan. Selama ini, hidupnya terasa seperti berada di dalam roda gila—kekacauan yang tiada habisnya. Setiap kali ia menyelesaikan satu masalah, yang lainnya muncul, dan itu terus berulang tanpa ada akhir yang nyata.

Namun hari ini, entah mengapa, ada sesuatu yang berbeda. Ada perasaan aneh yang menggelayuti dirinya, sebuah perasaan yang mungkin bisa disebut “harapan,” meskipun itu terasa samar. Sejak ia memutuskan untuk berhenti menjadi pahlawan super, seolah-olah ada sebuah beban yang terlepas dari pundaknya. Tidak ada lagi harapan yang harus dijaga, tidak ada lagi orang yang mengandalkan dirinya. Semua itu terasa begitu ringan, seperti dia bisa akhirnya menjadi diri sendiri.

Tapi itu bukan berarti semuanya berjalan mulus. Ada sebuah kekosongan yang mengisi hati Arman, sebuah ruang yang belum ia pahami sepenuhnya. Setelah bertahun-tahun menjadi pahlawan yang selalu siap sedia, ia merasa kehilangan tujuan. Dunia yang pernah ia selamatkan kini tampak begitu jauh, dan ia sendiri merasa tidak memiliki tempat di dalamnya.

“Huff… kenapa rasanya seperti ini?” Arman bergumam, mengusap wajahnya. “Dulu aku merasa bangga bisa melindungi orang. Tapi sekarang… aku merasa jauh dari semuanya.”

Ia menunduk, menatap kota yang terbentang luas di bawahnya. Gedung-gedung tinggi, jalanan yang sibuk, dan orang-orang yang tampak bergegas menuju tempat tujuan mereka. Mereka tidak tahu betapa mudahnya hidup mereka jika Arman tidak ada di sana untuk melindungi mereka. Tetapi apakah mereka benar-benar membutuhkan perlindungannya? Itulah pertanyaan yang selalu menghantui pikiran Arman.

Arman menarik napas panjang dan menutup matanya sejenak. Di saat seperti ini, ia merasa seolah-olah ia terjebak dalam peran yang tidak pernah ia pilih. Sebagai pahlawan, ia selalu diharapkan untuk menjadi yang terbaik, yang tercepat, dan yang terkuat. Semua orang mengandalkan dirinya untuk mengatasi masalah yang datang, sementara ia sendiri merasa terhimpit oleh tanggung jawab yang semakin berat.

Namun, di tengah keraguan yang melanda dirinya, sesuatu yang tak terduga terjadi. Sebuah suara yang terdengar familiar memecah keheningan di sekitarnya.

“Arman!” seru suara itu dengan penuh semangat. “Arman, kau ada di sini?”

Arman membuka matanya dan melihat Nina berdiri di atas atap, berjalan ke arahnya dengan langkah cepat. Nina, rekan satu timnya yang selalu penuh semangat, tampak seperti tidak pernah merasa ragu sedikit pun tentang apa yang harus dilakukan.

“Ada apa, Nina?” Arman bertanya, mencoba menyembunyikan kekosongan yang ia rasakan di dalam dirinya.

“Jangan bilang kau lagi-lagi bersembunyi di sini!” kata Nina dengan cemas, mendekati Arman. “Kau tahu kan, ada yang membutuhkan kita sekarang!”

Arman menatap Nina dengan tatapan kosong. “Aku sudah memutuskan, Nina. Aku berhenti. Tidak ada lagi pahlawan super. Aku sudah lelah.”

Nina tampak terkejut, bahkan sedikit bingung. “Apa? Kau… kau serius, Arman? Kamu nggak bisa begitu saja berhenti. Kau tahu kan, kita punya tanggung jawab besar. Semua orang bergantung padamu!”

“Tanggung jawab?” Arman mengulangi kata itu dengan nada sinis. “Sudah berapa kali aku mendengar kata itu? Tanggung jawab… tanggung jawab… Aku lelah, Nina. Aku nggak mau jadi pahlawan super lagi. Aku ingin hidup seperti orang biasa. Tanpa beban, tanpa tanggung jawab. Aku ingin merasakan apa yang orang lain rasakan.”

Nina diam sejenak, seolah mencoba memahami apa yang Arman rasakan. Ia tahu betul bahwa Arman bukan tipe orang yang mudah menyerah. Tetapi apa yang baru saja Arman katakan benar-benar membuatnya bingung. “Tapi… kamu tidak bisa begitu saja melupakan siapa dirimu, Arman. Kamu lebih dari sekadar pahlawan super. Kamu adalah simbol harapan bagi banyak orang!”

Arman menunduk, tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata Nina memang benar, tapi hati Arman tetap merasa kosong. Ia bisa mendengar suara dari bawah, dari keramaian di kota, orang-orang yang membutuhkan pahlawan untuk menyelamatkan mereka. Tapi ia tidak bisa mengabaikan perasaan yang semakin kuat di dalam dirinya—keinginan untuk berhenti, untuk hidup tanpa harus merasa terikat dengan peran yang terus-menerus dipaksakan padanya.

Tiba-tiba, suara kegaduhan terdengar dari bawah. Teriakan, sirene, dan suara benda-benda jatuh yang berdebam di tanah. Arman mengerutkan kening. Ada yang tidak beres. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berlari ke tepi atap, memandang ke arah pusat kota.

“Kita harus ke sana,” kata Nina, tanpa menunggu jawaban Arman. “Sekarang juga!”

Namun, Arman hanya berdiri terpaku, memandangi kerusuhan yang semakin mendekat. Ia bisa merasakan ketegangan di udara. Sebuah ancaman baru? Atau sekadar kecelakaan yang bisa ditangani dengan cepat? Namun, di dalam hatinya, Arman merasakan sesuatu yang tak terduga—sebuah dorongan untuk bertindak.

“Apa yang terjadi kalau aku tidak turun tangan?” Arman bertanya pada dirinya sendiri. “Apa yang terjadi kalau aku membiarkan orang lain menangani ini?”

Tetapi semakin lama ia berpikir, semakin kuat dorongan dalam dirinya. Tanggung jawab. Itu kata yang kembali muncul di benaknya, tetapi kali ini, rasanya tidak sesakit sebelumnya. Arman tahu bahwa ia tidak bisa lari selamanya. Meskipun ia menginginkan kebebasan, ia juga tahu bahwa kadang-kadang, takdir membawa kita untuk melakukan hal-hal yang tidak kita inginkan.

Tanpa berkata apa-apa, Arman melompat dari tepi atap, terbang menuju pusat kota. Nina menyusulnya, namun kali ini, ia tidak berkata apa-apa. Ia tahu bahwa Arman sedang berjuang dengan perasaannya sendiri, dan mungkin, ini adalah langkah pertama untuk menemukan kembali tujuan hidupnya.

Saat Arman melayang di udara, ia merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ada ketegangan, ada kegelisahan, tetapi juga ada rasa lega yang datang bersamaan. Mungkin, menjadi pahlawan super memang bukan pilihan yang mudah, tetapi itu adalah peran yang sudah ditentukan untuknya. Dan entah bagaimana, meskipun ia lelah, ia tahu ia tidak bisa mengabaikan orang-orang yang membutuhkan pertolongannya.

Ketika ia akhirnya tiba di lokasi kerusuhan, Arman melihat sesuatu yang tak terduga. Bukan penjahat besar atau ancaman yang membahayakan kota, melainkan sebuah bencana alam—gempa bumi kecil yang menyebabkan sebagian besar jalanan ambruk dan banyak orang terjebak di reruntuhan. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa dihadapi dengan sekadar kekuatan fisik atau kemampuan super.

Arman mengerti. Ini bukan tentang kekuatan. Ini tentang keberanian untuk mengambil langkah pertama dalam menghadapi masalah, apapun itu. Dan di saat seperti ini, meskipun dia tidak ingin menjadi pahlawan, ia tahu bahwa ia harus melakukannya. Bukan karena orang lain mengharapkannya, tetapi karena itu adalah bagian dari siapa dia.

Arman menatap Nina, lalu tersenyum tipis. “Mungkin aku belum sepenuhnya siap. Tapi aku akan mencoba. Untuk mereka.”

Dan untuk pertama kalinya, Arman merasa bahwa menjadi pahlawan super bukan hanya tentang kekuatan. Ini adalah tentang membuat keputusan, keputusan yang tak terduga, untuk berjuang demi orang lain.***

———THE END——–

Source: Gustian Bintang
Tags: malespahlawan super
Previous Post

cinta dibalik tukang bakso

Next Post

LANGIT YANG MENANGIS

Next Post
LANGIT YANG MENANGIS

LANGIT YANG MENANGIS

SEPOTONG SENJA UNTUK CINTA

SEPOTONG SENJA UNTUK CINTA

KOS KOSAN HOROR TAPI LUCU

KOS KOSAN HOROR TAPI LUCU

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In