• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
BISIKAN DARI HUTAN TERKUTUK

BISIKAN DARI HUTAN TERKUTUK

January 27, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
BISIKAN DARI HUTAN TERKUTUK

BISIKAN DARI HUTAN TERKUTUK

by SAME KADE
January 27, 2025
in Uncategorized
Reading Time: 25 mins read

 

Bab 1: Kembali ke Kampung Halaman

Rina memandang ke luar jendela bus yang melaju perlahan menyusuri jalanan desa yang telah lama tidak ia kunjungi. Rimbunan pohon yang memagari jalanan, tanah yang masih tampak subur dengan sawah hijau, serta udara yang terasa segar mengingatkannya pada masa kecilnya. Kampung halamannya, yang terletak di sebuah desa kecil di kaki gunung, terasa begitu asing namun tetap hangat di dalam hati.

Ia sudah bertahun-tahun meninggalkan kampung ini untuk mengejar pendidikan di kota. Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi Rina selain kehidupan di kota besar dengan segala hiruk-pikuk dan modernitasnya. Namun, kehidupan kota yang sibuk akhirnya membawanya kembali ke desa ini. Ibunya yang sakit parah dan membutuhkan perhatian khusus menjadi alasan utama kepulangannya.

“Selamat datang di kampung halamanmu, Rina,” ujar sopir bus dengan senyuman ramah saat bus berhenti di terminal desa. Rina mengangguk, tidak terlalu bisa merasakan kebahagiaan yang biasanya datang dengan kembali ke rumah. Baginya, kampung halaman ini mengingatkan pada kenangan yang telah lama ia coba lupakan.

Ia menentang perasaan itu dan memutuskan untuk pergi langsung ke rumah ibunya. Meskipun kampung ini sepi, ada sesuatu yang menarik bagi Rina. Sesuatu yang tak dapat ia jelaskan—sesuatu yang selalu terasa di luar jangkauan logika. Hutan yang mengelilingi desa ini. Hutan yang sering disebut sebagai Hutan Terkutuk oleh orang-orang di sini.

Setelah turun dari bus, Rina berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumah ibunya. Rumah itu sudah tampak tua, namun masih berdiri kokoh seperti kenangan yang sulit dilupakan. Dinding kayu yang terbuat dari pohon-pohon sekitar kampung tetap mengingatkan pada masa lalu yang penuh tawa dan kebahagiaan. Rumah ini menyimpan banyak cerita, baik yang indah maupun yang menakutkan.

Sesampainya di rumah, Rina mendapati ibunya yang terbaring lemah di tempat tidur. Wajah ibunya tampak lebih tua dari yang ia ingat, dan matanya yang dulu cerah kini terlihat redup. “Ibu…” Rina duduk di samping tempat tidur dan memegang tangan ibunya. “Maafkan Rina baru bisa pulang sekarang.”

Ibunya tersenyum lemah. “Tidak apa-apa, Nak. Kamu sudah pergi untuk sesuatu yang baik.” Suara ibunya hampir tak terdengar, tetapi Rina tahu, meski tubuh ibunya semakin lemah, semangatnya masih ada.

Malam itu, setelah Rina merawat ibunya, ia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar desa. Ia merasa perlu untuk menenangkan pikiran sejenak. Meskipun rindu, rasa tidak nyaman terhadap kampung halamannya tetap ada. Terutama terhadap hutan yang selalu menyelimuti desa ini dengan aura misteriusnya.

Rina berjalan menyusuri jalan setapak yang membawanya menuju hutan. Desa ini memang terletak di dekat hutan lebat yang penuh dengan pohon-pohon besar. Suara angin yang berdesir di antara dedaunan, serta bunyi jangkrik yang terdengar semakin nyaring saat malam menjelang, menambah kesan mistis yang selalu mengelilingi desa ini.

Sampai di tepi hutan, Rina berhenti sejenak. Hutan itu terlihat lebih gelap dari yang ia ingat. Dulu, saat ia kecil, ia sering bermain di pinggiran hutan bersama teman-temannya. Namun, semakin besar, semakin ia mendengar cerita-cerita menakutkan tentang hutan ini. Cerita tentang orang-orang yang hilang tanpa jejak, suara-suara aneh yang terdengar saat malam, dan bisikan-bisikan yang tidak pernah bisa dijelaskan. Banyak orang di desa yang percaya bahwa hutan itu terkutuk.

Malam itu, bisikan itu datang kembali. Perlahan, Rina merasa seperti ada suara yang memanggil-manggil namanya. Ia menoleh ke belakang, berharap hanya angin yang membawa suara itu. Namun, semakin ia mendengarkan, semakin jelas suara itu terdengar, seperti bisikan lembut yang penuh dengan rasa kesakitan.

“Rina… Rina…”

Suara itu begitu jelas, seolah berasal dari dalam hutan. Tanpa berpikir panjang, Rina melangkah lebih dekat ke hutan, meski ada perasaan tidak nyaman yang menggelayuti hatinya. Ia ingat kata-kata ibunya yang dulu selalu memperingatkan untuk tidak pergi ke dalam hutan, tetapi rasa ingin tahu mengalahkan segalanya.

Saat ia semakin mendekat, hutan itu tampak hidup. Pohon-pohon besar seakan bergerak mengikuti langkahnya. Bisikan itu semakin keras, dan kini terdengar seperti seruan yang penuh dengan penderitaan. Rina berhenti, berusaha menenangkan dirinya, tetapi rasa takut mulai merayapi tubuhnya.

“Apa itu?” gumamnya pelan.

Ia tidak bisa menjelaskan apa yang dirasakannya. Hutan ini terasa berbeda dari yang ia ingat. Ada sesuatu yang tidak biasa, seperti ada sesuatu yang sedang mengintai. Rina segera berbalik dan berjalan cepat ke arah rumahnya. Meskipun tubuhnya lelah, langkahnya terasa lebih cepat dari sebelumnya.

Sesampainya di rumah, Rina menutup pintu dengan tergesa-gesa dan menyandarkan tubuhnya di dinding. Jantungnya berdegup kencang. Apa yang baru saja ia alami? Apa yang sebenarnya terjadi di hutan itu? Ia tidak bisa menjawab pertanyaannya sendiri, tetapi yang jelas, bisikan itu masih terngiang di telinganya. Seperti ada sesuatu yang memanggilnya, sesuatu yang membuatnya merasa tidak tenang.

Malam itu, Rina merasa bahwa kepulangannya ke kampung halaman ini tidak semudah yang ia bayangkan. Sesuatu yang gelap dan misterius mulai mengintainya, dan hutan itu, dengan segala rahasia dan bisikannya, tampak semakin dekat.*

Bab 2: Hutan Yang Terlupakan

Pagi berikutnya, udara desa terasa lebih sejuk dari yang biasa Rina rasakan di kota. Namun, rasa tak nyaman yang ia rasakan semalam masih terus menghantuinya. Bisikan yang terdengar di hutan, suara yang seolah memanggil namanya, masih jelas terngiang di telinganya. Rina mengusap wajahnya, mencoba menepis perasaan aneh yang semakin menguasai dirinya. Apa yang sebenarnya terjadi kemarin malam? Apakah itu hanya imajinasi ataukah ada sesuatu yang lebih besar dan lebih gelap yang mengintai di balik hutan itu?

Setelah menyelesaikan sarapan dengan ibunya, Rina memutuskan untuk menyusuri kampungnya dan mencoba mencari tahu lebih banyak tentang hutan yang sudah lama tak ia kunjungi. Sejak kecil, ia memang sering bermain di tepi hutan bersama teman-temannya. Namun, hutan itu seolah menyimpan banyak misteri yang tak pernah bisa terpecahkan. Banyak yang mengatakan bahwa ada kekuatan jahat di sana, kekuatan yang mampu menarik orang-orang yang nekat masuk ke dalamnya.

Desa ini memang kecil, namun bagi Rina, ada banyak kenangan yang tertinggal di setiap sudutnya. Setelah bertahun-tahun, tempat ini tampak seperti dunia yang terisolasi. Rumah-rumah kayu yang hampir lapuk, jalanan sempit yang kini dipenuhi dengan semak belukar, serta wajah-wajah orang yang sudah lama tak dikenalnya. Namun satu hal yang tidak berubah adalah hutan di ujung desa, yang seakan selalu ada, diam menunggu, dengan aura misterius yang kian tebal seiring berjalannya waktu.

Rina berjalan menyusuri jalan setapak yang familiar, yang dulu sering ia lalui bersama teman-temannya. Setiap langkah yang ia ambil seakan membawa kembali ingatan masa kecil yang ceria. Namun, semakin ia mendekati tepi hutan, semakin ia merasakan sesuatu yang berbeda. Hutan itu tampak lebih lebat, lebih gelap dari yang ia ingat. Pohon-pohon tinggi dengan daun-daun lebat yang hampir menutupi langit, menciptakan suasana yang menakutkan. Rina berhenti beberapa langkah sebelum mencapai batas hutan. Ada perasaan aneh yang membuatnya ragu untuk melangkah lebih jauh.

Tiba-tiba, sebuah suara menyapanya.

“Rina?”

Rina menoleh, dan di kejauhan, ia melihat seorang lelaki paruh baya yang tampak sedang duduk di bangku kayu di depan rumah tua. Orang itu adalah Pak Jaya, tetua desa yang sudah lama dikenal oleh keluarga Rina. Wajahnya yang berkeriput dan matanya yang tajam memancarkan kebijaksanaan yang sulit dijelaskan. Pak Jaya adalah salah satu orang yang selalu memperingatkan orang-orang desa untuk tidak memasuki hutan, terutama setelah matahari terbenam.

“Pak Jaya,” jawab Rina, berjalan mendekat.

“Ke mana kamu akan pergi, Rina?” tanya Pak Jaya dengan suara seraknya yang penuh kehangatan. Meskipun tubuhnya sudah renta, Pak Jaya tetap terlihat tegap. Rina merasakan kehangatan yang tidak bisa ia jelaskan.

“Hanya ingin berjalan-jalan, Pak,” jawab Rina sambil tersenyum.

Pak Jaya memandang hutan dengan pandangan penuh ketegasan. “Hati-hati dengan hutan itu, Nak. Hutan itu tak seperti dulu lagi. Banyak yang tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi di sana. Banyak yang telah terlupakan, dan banyak yang mencoba untuk mencari tahu lebih jauh, tapi tak kembali lagi.”

Rina merasa tubuhnya kaku mendengar kata-kata Pak Jaya. “Maksud Pak Jaya?”

Pak Jaya menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba menilai apakah Rina benar-benar siap mendengar cerita-cerita yang selama ini hanya beredar dalam bisikan orang-orang tua. “Hutan itu… ada sejarah kelamnya, Rina. Banyak yang mengira itu hanya cerita kosong, namun aku tahu, banyak yang tidak kembali setelah memasuki hutan itu. Ada kekuatan yang tersembunyi di dalamnya, kekuatan yang tak bisa dijelaskan oleh akal sehat. Orang-orang yang dulu berani masuk, tidak pernah pulang.”

Rina menelan ludah, mendengarkan setiap kata Pak Jaya dengan penuh perhatian. Suasana tiba-tiba terasa semakin sunyi. Suara jangkrik yang terdengar tadi di kejauhan kini seakan menghilang, digantikan dengan angin yang berdesir kencang, membawa suara-suara yang tak bisa Rina mengerti.

“Apakah itu benar, Pak? Apakah benar ada sesuatu yang terjadi di dalam hutan?” tanya Rina dengan suara pelan.

Pak Jaya menghela napas panjang, kemudian melirik hutan di depannya. “Tak ada yang tahu pasti, Nak. Tapi ada satu hal yang pasti: mereka yang berani masuk dan mencari tahu, selalu membawa pulang sesuatu yang tidak mereka inginkan.”

Rina merasakan sekelebat ketakutan melintas dalam dirinya. Hutan yang dulu ia anggap sebagai tempat bermain kini terasa seperti tempat yang penuh dengan bahaya. Namun, rasa ingin tahu dan keteguhan hati untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi mendorongnya untuk melangkah lebih dekat.

“Kenapa hutan itu disebut Hutan Terkutuk?” tanya Rina, berusaha mencari jawaban lebih dalam.

Pak Jaya menggelengkan kepala, seolah enggan menceritakan lebih banyak. “Itu adalah nama yang diberikan oleh orang-orang tua. Tidak ada yang tahu siapa yang pertama kali memberi nama itu, tetapi legenda itu sudah ada sejak lama. Ada yang mengatakan bahwa hutan itu dulunya adalah tempat penyembahan, tempat orang-orang yang melakukan ritual-ritual kuno yang tidak diketahui orang banyak. Tetapi yang pasti, sejak orang-orang mulai mengabaikan peringatan untuk tidak pergi ke sana, hal-hal aneh mulai terjadi.”

Rina merasa tubuhnya menggigil. Kisah-kisah mistis yang dulu hanya ia dengar dari mulut teman-temannya kini terasa begitu nyata. Dia bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang benar-benar mengancam desa ini, sesuatu yang tersembunyi di dalam hutan yang terlupakan itu.

Tanpa kata-kata lebih lanjut, Rina mengucapkan terima kasih kepada Pak Jaya dan melanjutkan langkahnya kembali menuju rumah. Namun, di dalam hati, sebuah pertanyaan besar terus menghantui pikirannya: Apa yang sebenarnya terjadi di dalam hutan itu? Mengapa begitu banyak orang yang menghilang? Dan apakah bisikan yang ia dengar malam sebelumnya ada hubungannya dengan misteri yang tersembunyi di sana?

Hutan itu, dengan segala kegelapannya, seolah memanggilnya. Rina tahu, meskipun ia berusaha menghindar, satu hal pasti—hutan itu tidak akan membiarkannya pergi begitu saja.*

Bab 3: Langkah Pertama

Pagi itu, Rina terbangun lebih awal dari biasanya. Matahari baru saja menyinari langit dengan sinar lembutnya, tetapi pikirannya sudah penuh dengan bayangan tentang hutan yang semakin menghantuinya. Setelah percakapan dengan Pak Jaya kemarin, perasaan ingin tahu semakin mendalam. Hutan yang dulu tampak seperti tempat bermain yang menyenangkan kini menjadi teka-teki yang menunggu untuk dipecahkan. Apa yang sebenarnya terjadi di dalam hutan itu? Mengapa begitu banyak orang menghilang tanpa jejak setelah berani memasukinya?

Rina duduk di meja makan, menatap secangkir kopi yang masih panas. Ibunya, yang kini tampak lebih lemah dari sebelumnya, duduk di dekat jendela, memandang ke luar rumah dengan tatapan kosong. Rina tahu, meskipun ibunya tidak pernah menyebutkan secara langsung, hutan itu bukanlah tempat yang bisa didekati sembarangan. Ada sesuatu yang misterius, sesuatu yang tak terungkap selama bertahun-tahun. Namun, naluri Rina memberitahunya bahwa ia harus melangkah lebih jauh, mencari tahu apa yang tersembunyi di balik semua mitos dan ketakutan yang mengelilingi hutan itu.

“Ibu, Rina akan keluar sebentar,” ujar Rina setelah menyiapkan sarapan ringan untuk ibunya. Ibunya mengangguk lemah, tidak bertanya lebih banyak. Rina tahu, meskipun ibu tidak setuju dengan keputusannya, ia sudah cukup dewasa untuk membuat pilihan-pilihannya sendiri.

Rina berjalan keluar rumah dan menapaki jalan setapak menuju tepi hutan. Langkahnya terasa lebih pasti dari sebelumnya. Meskipun rasa takut dan ragu masih ada, semangatnya untuk mengetahui kebenaran mengalahkan segalanya. Ia berusaha menenangkan dirinya, mengingat kata-kata Pak Jaya kemarin. Hutan itu bukanlah tempat untuk bermain lagi. Setiap langkah yang diambil harus penuh kehati-hatian.

Saat Rina semakin mendekati hutan, suasana di sekitar desa terasa semakin sunyi. Udara pagi yang sejuk kini terasa lebih dingin, dan angin yang berhembus dari arah hutan membawa aroma tanah basah dan dedaunan. Pohon-pohon besar yang menjulang tinggi seakan menutup langit, menyelimuti segala yang ada di bawahnya dengan kegelapan yang misterius. Rina berhenti sejenak di batas hutan, mengamati suasana di sekelilingnya.

“Ini mungkin keputusan yang salah,” pikir Rina, merasakan degup jantungnya yang semakin kencang. Namun, rasa ingin tahunya lebih kuat. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam hutan itu. Mengapa begitu banyak orang menghilang tanpa alasan yang jelas? Apakah benar ada kekuatan jahat yang tersembunyi di dalamnya?

Rina melangkah ke dalam hutan, mengikuti jalan setapak yang sudah mulai tertutup semak-semak. Suara langkah kakinya terdengar begitu jelas, seolah mengganggu keheningan yang begitu pekat. Setiap langkah yang diambil terasa semakin berat, tetapi ia terus berjalan, mencoba untuk tidak terpengaruh oleh ketakutannya. Hutan ini tampak lebih gelap daripada yang ia ingat. Tidak ada suara burung atau hewan lainnya yang biasanya menemani hutan di pagi hari. Semua tampak sunyi, seperti ada sesuatu yang menunggu di kedalaman hutan.

Saat Rina semakin jauh, ia mulai merasakan perasaan yang aneh. Hutan ini tidak lagi terasa seperti tempat yang biasa ia kunjungi waktu kecil. Ada aura yang gelap dan berat, seakan setiap sudutnya dipenuhi dengan rahasia yang tidak boleh diungkapkan. Pohon-pohon besar di sekitar tampak bergerak sedikit-sedikit, meskipun angin tidak begitu kencang. Rina berusaha untuk tidak menghiraukan perasaan itu, tetapi ada sesuatu yang mengganggunya. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Tiba-tiba, sebuah suara datang dari kejauhan. Rina berhenti sejenak, menegangkan telinganya. Suara itu terdengar seperti langkah kaki, langkah yang berat dan lambat. Rina berbalik, mencoba mencari sumber suara itu, tetapi tidak ada apa-apa di belakangnya. Hanya hutan yang gelap dan sunyi. Dengan hati-hati, ia melanjutkan langkahnya, tetapi kali ini dengan lebih waspada. Suara itu masih terdengar, semakin dekat, semakin jelas.

Tiba-tiba, ia mendengar sebuah bisikan halus, suara yang seolah berasal dari dalam hutan itu sendiri. “Rina…”

Rina terkejut. Suara itu sangat jelas, memanggil-manggil namanya, tetapi tidak ada orang di sekitar. Hanya pohon-pohon yang berbisik di antara angin yang berhembus. Bisikan itu membuat hatinya berdebar kencang, namun ia tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. Tanpa berpikir panjang, Rina melangkah lebih jauh ke dalam hutan, mengikuti suara yang memanggil namanya. Mungkin itu hanya angin, pikirnya. Atau mungkin, ada sesuatu yang lebih besar yang ingin ia temui.

Suasana semakin gelap saat Rina berjalan lebih dalam. Hutan ini terasa semakin tidak ramah, dan jalan setapak yang dulu familiar kini tampak asing dan menakutkan. Pohon-pohon besar dengan akar yang menjulang ke luar tanah menciptakan labirin alami yang membingungkan. Setiap langkah yang ia ambil membuatnya merasa semakin terperangkap. Bisikan itu semakin jelas, semakin memanggil namanya, semakin kuat. Rasanya, suara itu datang dari kedalaman hutan yang lebih jauh, seolah mengundangnya untuk menjelajahi tempat yang tak diketahui.

Ketika Rina semakin jauh masuk, ia merasa ada sesuatu yang mengintainya. Sesuatu yang besar dan gelap, yang menyelimuti setiap langkahnya. Di tengah keheningan yang mencekam, Rina berhenti. Ada sesuatu yang berbeda. Rasa takut yang tadi ia coba hindari kini datang dengan sangat jelas. Tubuhnya terasa kaku, seolah ada sesuatu yang memegangnya erat dari belakang.

“Rina…” bisikan itu kembali terdengar, lebih jelas dan lebih mengerikan. Suara itu bukan hanya suara biasa, tetapi ada rasa kesakitan, kemarahan, dan penderitaan yang tertahan di dalamnya.

Hati Rina berdegup kencang. Ia berbalik dan mulai berjalan mundur, tetapi langkahnya terasa semakin berat. Suara bisikan itu terus mengikutinya, seolah mengejar. Rina tahu, dia harus keluar dari sini. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan sedang mengawasinya, dan itu bukan sesuatu yang bisa ia abaikan lagi.

Akhirnya, dengan segenap tenaga, Rina berlari keluar dari hutan, terengah-engah. Saat ia mencapai batas hutan, suara itu berhenti. Keheningan kembali menyelimuti desanya. Rina berdiri di tepi hutan, jantungnya masih berdegup kencang, tubuhnya gemetar. Ia menyadari bahwa langkah pertama ini adalah awal dari perjalanan yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya dari yang pernah ia bayangkan.*

Bab 4: Hutan Mengungkapkan Rahasia

Setelah kembali ke rumah dengan tubuh yang lelah dan gemetar, Rina duduk diam di ruang tamu, matanya menatap kosong ke arah pintu depan yang tertutup rapat. Hutan yang tadi siang ia masuki masih terus mengganggu pikirannya. Bisikan yang terus membayangi telinganya, suara yang memanggil namanya, dan rasa terperangkap yang ia rasakan—semua itu seperti bayangan gelap yang tak bisa ia lupakan. Apakah benar hutan itu memiliki kekuatan yang lebih besar daripada yang ia bayangkan? Apa yang tersembunyi di dalamnya?

Rina memegang dadanya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berpacu cepat. Setiap detik yang berlalu membawa rasa takut yang semakin dalam. Namun, rasa penasaran yang kuat tetap ada, mendorongnya untuk mencari tahu lebih banyak. Ia tak bisa berhenti sampai menemukan apa yang tersembunyi di balik hutan itu. Apa yang sebenarnya terjadi dengan para penduduk yang hilang? Dan mengapa hutan ini selalu menjadi pusat ketakutan?

Ia tahu bahwa langkah pertama yang ia ambil hanyalah permulaan. Rina mengalihkan pandangannya ke luar jendela rumah. Langit senja mulai menguning, menandakan bahwa malam akan segera tiba. Ia memutuskan untuk pergi ke rumah Pak Jaya lagi. Orang tua itu mungkin tahu lebih banyak tentang rahasia yang disembunyikan hutan tersebut. Lagipula, sudah banyak waktu yang terbuang untuk hanya bertanya-tanya.

Setelah berpamitan dengan ibunya yang sudah mulai tertidur, Rina berjalan menuju rumah Pak Jaya. Udara malam terasa dingin, dan suara jangkrik serta desiran angin yang berhembus dari arah hutan membuat malam ini semakin terasa mencekam. Setiap langkah yang ia ambil terasa lebih berat, seperti ada sesuatu yang sedang mengikutinya. Namun, rasa ingin tahu dan kebutuhan akan jawaban lebih besar daripada rasa takut yang mulai merayapi dirinya.

Rumah Pak Jaya terletak di ujung desa, sedikit terpisah dari rumah-rumah lainnya. Rumah kayu tua itu tampak lebih sunyi di bawah cahaya rembulan yang hanya setengah. Rina mengetuk pintu rumah Pak Jaya dengan ragu-ragu. Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki di dalam, dan pintu terbuka perlahan.

Pak Jaya berdiri di ambang pintu, wajahnya tampak serius, seolah sudah tahu kedatangan Rina. “Ada apa, Nak? Kenapa datang malam-malam begini?”

Rina menatapnya dengan serius, matanya penuh dengan pertanyaan. “Pak Jaya, aku butuh bantuan. Aku ingin tahu lebih banyak tentang hutan itu—tentang segala hal yang tersembunyi di dalamnya. Kenapa banyak orang yang hilang setelah pergi ke sana? Apa yang sebenarnya terjadi di sana?”

Pak Jaya memandang Rina dalam-dalam, seolah menilai apakah gadis itu benar-benar siap untuk menghadapi kebenaran yang akan ia ungkapkan. Setelah beberapa detik, ia mengangguk pelan dan mempersilakan Rina masuk. “Mari duduk, Nak. Aku akan ceritakan semuanya.”

Rina duduk di kursi kayu yang sudah agak lapuk. Pak Jaya duduk di hadapannya, lalu menarik napas panjang. Ia menatap ke luar jendela rumahnya, seolah mencari kata-kata yang tepat untuk memulai ceritanya. “Hutan itu bukanlah hutan biasa, Rina. Sejak dahulu kala, hutan ini sudah memiliki kekuatan yang luar biasa. Orang-orang tua desa dulu percaya bahwa hutan ini adalah tempat yang penuh dengan roh, baik dan jahat. Mereka mempercayai bahwa siapa pun yang menginjakkan kaki ke sana dengan niat buruk akan dibawa pergi oleh kekuatan yang ada di dalamnya.”

Rina mendengarkan dengan seksama. “Tapi kenapa orang-orang yang hilang itu tidak pernah kembali? Apa yang terjadi pada mereka?”

Pak Jaya menghela napas berat, matanya berkilat sedikit. “Ada cerita yang sudah lama beredar di desa ini, tentang sebuah ritual kuno yang dilakukan di hutan ini. Dulu, ada sekte-sekte yang melakukan persembahan untuk dewa-dewa mereka. Mereka berusaha mengendalikan kekuatan hutan, tetapi mereka tidak tahu bahwa mereka telah membangkitkan sesuatu yang jauh lebih kuat—sesuatu yang bisa mengendalikan jiwa manusia.”

Rina terdiam. Suasana semakin berat, dan setiap kata yang diucapkan Pak Jaya membuat rasa takutnya semakin dalam. “Apa maksud Pak Jaya? Apakah yang menghilangkan mereka adalah roh jahat?”

“Begini, Nak,” Pak Jaya melanjutkan dengan suara yang lebih berat, “Hutan ini mengandung kekuatan yang bisa menghubungkan dunia ini dengan dunia lain. Ada semacam gerbang antara dua dunia yang tersembunyi di dalamnya. Mereka yang hilang, kebanyakan adalah mereka yang berani mengintip gerbang itu, mencoba untuk mengetahui apa yang ada di sisi lain. Namun, tidak semua orang bisa kembali setelah melangkah ke sana. Mereka yang mencoba membuka gerbang itu tanpa mengetahui cara yang benar akan terjebak di dunia lain—dunia yang dihuni oleh roh-roh jahat yang tak bisa kembali.”

Rina merasa tubuhnya kaku. “Tapi bagaimana cara kita mengetahui cara yang benar? Apa yang harus dilakukan agar kita tidak terjebak?”

Pak Jaya terdiam sejenak, memandang ke luar jendela dengan tatapan yang kosong. “Itu yang harus kau cari tahu sendiri, Nak. Hutan itu memiliki cara tersendiri untuk menguji setiap orang yang berani masuk. Ada petunjuk-petunjuk yang tersembunyi, dan hanya mereka yang cukup kuat dan tahu apa yang harus dilakukan yang bisa melewatinya.”

Rina menggigit bibirnya, berusaha menenangkan pikirannya yang kacau. “Jadi, aku harus masuk lagi ke dalam hutan?”

Pak Jaya mengangguk perlahan. “Ya, jika kau ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, kau harus kembali ke sana. Tetapi ingat, ini bukan perjalanan yang mudah. Hutan itu tidak akan membiarkan siapa pun masuk tanpa ujian. Kau harus berhati-hati, Nak. Jika kau tidak siap, kau bisa kehilangan dirimu.”

Rina merasakan ketegangan di dadanya semakin meningkat. Hutan yang selama ini tampak sebagai tempat yang penuh dengan misteri kini menjadi sebuah teka-teki yang menakutkan. Tapi, ia tahu bahwa ia tidak bisa mundur sekarang. Rasa ingin tahunya jauh lebih besar daripada rasa takut yang menguasainya. Ia harus mengetahui apa yang tersembunyi di balik semua bisikan dan rahasia hutan itu.

Dengan tekad yang semakin bulat, Rina berdiri dan berpamitan pada Pak Jaya. “Terima kasih, Pak Jaya. Aku akan kembali ke hutan dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

Pak Jaya hanya mengangguk, matanya masih penuh kekhawatiran. “Hati-hati, Nak. Jangan biarkan diri mu terperangkap di dunia lain.”

Rina keluar dari rumah Pak Jaya dengan langkah yang lebih pasti. Malam semakin larut, tetapi semangatnya untuk mengungkap kebenaran semakin menguat. Hutan itu menunggu. Dan Rina tahu, ia hanya memiliki satu kesempatan untuk mengungkapkan rahasianya sebelum semuanya terlambat.*

Bab 5: Penyebab Tragedi

Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Rina duduk di tepi tempat tidur ibunya yang terbaring lemah, matanya masih terjaga, meski tubuhnya tidak lagi kuat. Sejak semalam, pikirannya terus terbayang pada percakapan dengan Pak Jaya. Hutan. Ritual kuno. Gerbang dunia lain. Semuanya semakin jelas, namun juga semakin menakutkan. Apa yang harus dilakukan selanjutnya? Bagaimana cara dia bisa mengungkap lebih jauh tentang rahasia hutan itu tanpa terperangkap dalam takdir mengerikan yang sudah merenggut banyak nyawa?

Rina menghela napas panjang dan memutuskan untuk mengunjungi tempat yang selama ini hanya dikenal dengan cerita-cerita kelam—taman desa yang terletak tidak jauh dari hutan. Taman itu dulunya adalah tempat yang penuh dengan kenangan indah bagi Rina semasa kecil. Namun seiring berjalannya waktu, tempat itu berubah. Rimbun pohon yang dahulu tumbuh subur kini tampak sepi dan mulai meranggas. Meski begitu, taman itu memiliki sejarahnya sendiri yang kini terasa semakin dekat dengan kebenaran yang ingin ia cari.

Taman desa itu tampak sepi. Rina berjalan pelan di atas jalan setapak yang membentang di antara deretan pohon besar. Setiap langkahnya semakin menuntunnya menuju area yang dulu sering ia kunjungi bersama teman-temannya. Tak jauh dari sana, terdapat sebuah patung tua yang terbuat dari batu, patung seorang dewa yang konon katanya pernah menjadi pusat pemujaan masyarakat desa. Patung itu kini tampak usang, dengan goresan-goresan misterius yang membekas di wajahnya.

Saat Rina mendekati patung itu, ia merasa ada sesuatu yang aneh. Sebuah perasaan tidak nyaman menjalar di sekujur tubuhnya. Ia berhenti dan memandang sekeliling. Entah mengapa, taman yang dulu dipenuhi tawa anak-anak kini terasa begitu mencekam. Seolah ada mata-mata yang mengawasi setiap gerak-geriknya.

Dia mencoba menepis rasa takut itu dan mendekati patung batu tersebut. Rina mengusap lembut permukaan patung yang dingin. Tiba-tiba, sebuah bisikan datang lagi—lebih jelas kali ini, seolah berasal dari dalam patung itu sendiri.

“Rina… Rina…”

Suara itu menggetarkan tubuhnya. Rina mundur selangkah, terperangah. Itu suara yang sama seperti yang ia dengar dari dalam hutan. Suara yang memanggil-manggil namanya. Ia menoleh ke kanan dan kiri, mencari sumber suara, tetapi tidak ada siapa-siapa.

Rina merasa semakin tak nyaman. Apakah ini bagian dari ujian yang harus dihadapi? Ia mengingat pesan Pak Jaya tentang cara hutan menguji setiap orang yang berani masuk. Namun, taman desa ini tampaknya bukanlah tempat yang biasa. Apa sebenarnya yang sedang terjadi?

Tiba-tiba, sebuah bayangan melintas di depan matanya. Rina tersentak dan berbalik. Di kejauhan, terlihat seorang wanita tua yang sedang berjalan menuju patung tersebut. Wajahnya tampak familiar, namun Rina tidak bisa langsung mengenali siapa dia. Dengan langkah perlahan, wanita itu mendekat ke patung dan berhenti di depannya. Tanpa berkata apa pun, wanita itu mengeluarkan sebuah kain kecil dari sakunya dan meletakkannya di atas patung dewa itu. Kemudian, dia berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan Rina yang bingung.

Rina mengikuti wanita itu dengan mata, namun ketika dia berbalik lagi, wanita itu sudah menghilang. Rina merasa ada yang tidak beres, ada yang menghubungkan wanita itu dengan semua kejadian aneh yang ia alami akhir-akhir ini.

Berbekal rasa penasaran, Rina memutuskan untuk mengikuti jejak wanita itu. Ia berjalan pelan di sepanjang jalan setapak yang telah tertutup semak-semak. Tidak lama kemudian, ia sampai di sebuah rumah kecil yang tersembunyi di balik pepohonan lebat. Rumah itu tampak sangat tua, dengan dinding kayu yang hampir rapuh dan atap yang sebagian besar sudah runtuh.

Rina mendekati pintu rumah yang terbuka sedikit dan tanpa mengetuk, ia melangkah masuk. Begitu ia memasuki rumah, suasana seketika berubah. Terasa lebih berat, seakan ada udara yang lebih padat di dalamnya. Bau daun basah dan tanah lembap memenuhi rongga hidung Rina. Di dalam rumah itu, semua benda tampak terlupakan, seolah sudah lama tidak ada yang tinggal di sana.

Tiba-tiba, sebuah suara menghentikan langkah Rina.

“Jangan lanjutkan, Nak.”

Rina terkejut dan menoleh. Di pojok ruangan, ada seorang wanita yang sedang duduk di kursi kayu tua. Wajahnya pucat, rambutnya panjang dan kusut, dan matanya tampak kosong, seolah melihat sesuatu yang tak tampak oleh orang lain. Itu adalah wanita tua yang sebelumnya ia lihat di taman.

“Kenapa, Nenek?” tanya Rina dengan hati-hati.

Wanita tua itu menatapnya dengan pandangan kosong, lalu berkata dengan suara pelan namun dalam, “Hutan itu… ia akan mengungkapkan kebenarannya hanya bagi mereka yang siap untuk melihatnya. Tetapi kebenaran itu bukanlah sesuatu yang bisa diterima dengan mudah. Banyak yang telah pergi, banyak yang telah terjebak, hanya karena mereka ingin mengetahui lebih banyak.”

Rina terdiam. “Apa yang sebenarnya terjadi di hutan itu? Apa yang menyebabkan orang-orang hilang?”

Wanita itu tertawa kecil, namun suaranya terdengar begitu hampa. “Orang-orang itu bukan hilang begitu saja. Mereka… mereka terjebak dalam kekuatan yang jauh lebih besar dari yang bisa dipahami. Hutan itu memiliki cara untuk menarik jiwa mereka yang lemah. Mereka yang ingin tahu terlalu banyak akan membayar harganya dengan harga yang sangat mahal.”

Wanita tua itu berdiri, berjalan pelan menuju sebuah meja kayu tua yang penuh dengan benda-benda aneh. Ia mengambil sebuah buku tebal yang tampaknya sangat tua dan memberikannya pada Rina. “Buku ini akan memberimu jawaban yang kau cari. Tapi hati-hati, Nak. Apa yang kau temukan, kau tidak bisa mengembalikannya lagi.”

Rina menerima buku itu dengan tangan gemetar. Ia membuka halaman pertama dan mulai membaca dengan cermat. Seiring dengan setiap kalimat yang ia baca, rasa takut dan penasarannya semakin dalam. Buku itu mengungkapkan banyak hal yang selama ini disembunyikan. Tentang ritual kuno, tentang mereka yang mengorbankan diri untuk mendapatkan kekuatan dari hutan, dan tentang gerbang dunia lain yang dapat menghubungkan kehidupan dengan kematian.

Semua jawaban itu mengarah pada satu hal: tragedi yang terjadi di desa ini bukanlah kebetulan. Semua kejadian aneh dan orang-orang yang hilang adalah bagian dari ritual yang lebih besar, sebuah permainan dengan kekuatan yang tidak bisa dikendalikan. Dan sekarang, Rina telah terjerat dalam permainan itu.

Dengan hati yang penuh kecemasan, Rina menutup buku itu dan memandang wanita tua di depannya. “Apa yang harus aku lakukan?”

Wanita itu hanya menggelengkan kepala, “Hanya satu yang bisa kau lakukan, Nak. Temukan kunci gerbang itu sebelum hutan menemukanmu terlebih dahulu.”

Malam itu, Rina kembali ke rumah ibunya dengan langkah yang lebih berat. Ia kini tahu bahwa setiap langkahnya semakin mendekat pada kebenaran yang mematikan. Namun, untuk menghentikan semuanya, ia harus menyelami kegelapan yang bahkan ia tak pernah bayangkan sebelumnya.*

Bab 6: Pertarungan Dengan Kegelapan

Rina tidak pernah merasa sekuat dan semengerikan ini. Malam itu, kegelapan menyelimuti desa dengan lebih intens daripada biasanya. Hutan yang dulu hanya terlihat menakutkan kini terasa seperti makhluk hidup yang mengintainya, menunggu saat yang tepat untuk menyerangnya. Rina tahu, dia harus menemukan kunci gerbang yang disebutkan oleh wanita tua itu, atau semuanya akan berakhir dengan kehancuran. Sesuatu yang jauh lebih gelap dan lebih besar daripada sekadar hutan akan menguasai desa ini jika dia gagal.

Setelah kembali dari rumah wanita tua itu, Rina memutuskan untuk bertanya lebih jauh pada Pak Jaya. Orang tua itu adalah satu-satunya yang mengetahui lebih banyak tentang sejarah desa dan hutan yang mengelilinginya. Rina merasa bahwa dia tidak punya banyak pilihan selain mengungkap lebih banyak tentang masa lalu yang menyelimuti tempat ini.

Dia tahu bahwa dia harus cepat. Ibunya semakin lemah, dan waktu yang dimilikinya untuk menyelesaikan segala sesuatu yang harus dilakukan semakin terbatas. Hutan dan kegelapannya sudah mulai menguasai pikirannya, menariknya lebih dalam ke dalam rahasia yang mungkin lebih berbahaya dari yang ia bayangkan.

Rina berjalan dengan cepat menuju rumah Pak Jaya. Suasana desa yang sepi semakin terasa mencekam. Setiap langkah yang diambilnya menggemakan kesendirian yang menambah beban dalam hatinya. Ketika sampai di rumah Pak Jaya, pintu rumah itu terbuka dengan sendirinya, seolah menunggu kedatangannya.

Pak Jaya duduk di kursi kayu tua di ruang tamu, menatap api yang berkobar di perapian kecil. Melihat kedatangan Rina, Pak Jaya hanya mengangguk pelan, seolah sudah tahu apa yang ingin ditanyakan.

“Apa yang sebenarnya terjadi, Pak Jaya?” tanya Rina dengan suara yang bergetar. “Mengapa hutan ini begitu berbahaya? Apa yang harus saya lakukan untuk menghentikannya?”

Pak Jaya menghela napas panjang, menatap api yang berkobar seolah berbicara dengan dirinya sendiri. “Hutan ini bukan hanya hutan biasa, Rina. Ini adalah tempat yang telah lama terkutuk. Berabad-abad yang lalu, nenek moyang kita mencoba untuk mengendalikan kekuatan yang ada di dalamnya. Mereka menyembah kekuatan itu, berharap bisa memanfaatkan energi gelap yang ada di sana. Namun, seperti semua hal yang dikuasai oleh kekuatan gelap, ia akhirnya membalikkan keadaan.”

Rina mendekat, duduk di kursi yang ada di hadapan Pak Jaya, dan menatapnya dengan penuh perhatian. “Lalu bagaimana cara menghentikannya? Apa yang harus saya lakukan untuk menghentikan semuanya?”

Pak Jaya menatap Rina dengan serius. “Ada satu cara untuk menghentikannya. Namun, itu adalah jalan yang penuh dengan bahaya. Hanya mereka yang benar-benar siap yang bisa melewatinya. Kau harus menemukan gerbang itu, gerbang yang menghubungkan dunia ini dengan dunia lain. Tetapi hati-hati, Rina. Hutan ini tidak akan membiarkan siapa pun mengganggu kehendaknya begitu saja. Ia akan melawan, dan tidak hanya dengan cara biasa. Ia bisa mengubah segala sesuatu di sekitarmu, menciptakan hal-hal yang tak kau kenal.”

Rina menggigit bibirnya, kebingungannya semakin dalam. “Apa yang akan terjadi jika saya tidak bisa menemukannya? Jika saya gagal?”

Pak Jaya memandangnya dengan tatapan kosong. “Semua orang di desa ini akan terperangkap. Hutan akan semakin menguat, dan kekuatan kegelapan yang ada di dalamnya akan menyebar ke seluruh desa. Tidak hanya itu, ia juga akan menarik lebih banyak jiwa untuk menjadi bagian dari ritual yang terkutuk itu. Mereka yang hilang bukanlah kebetulan, Rina. Mereka menjadi bagian dari sistem yang tidak bisa dihentikan jika tak ada yang cukup kuat untuk melawan.”

Mata Rina mulai berkaca-kaca. “Apa yang harus saya lakukan untuk menghentikan semuanya?”

Pak Jaya menatapnya dengan penuh kesungguhan. “Temukan gerbang itu, dan berhadapan langsung dengan kekuatan yang ada di dalam hutan. Kau harus menghadapinya, tidak hanya dengan kekuatan fisik, tetapi dengan kekuatan jiwa. Jika kau takut, jika kau ragu, kau akan kehilangan kesempatan. Kau harus percaya pada dirimu sendiri.”

Setelah mendengar penjelasan Pak Jaya, Rina merasa berat, namun dia tahu bahwa tidak ada pilihan lain. Hutan itu sudah menguasai pikirannya, dan dia tak bisa membiarkannya menguasai semuanya. Dia harus menemukan cara untuk menghadapinya.

Malam itu, Rina kembali ke rumah ibunya dan mempersiapkan segala sesuatu untuk perjalanannya ke dalam hutan. Di dalam hatinya, ada rasa cemas yang mendalam, namun juga tekad yang membara. Waktu tidak menunggunya. Dia harus segera beraksi.

Pagi-pagi sekali, Rina menyusuri jalan setapak yang membawanya kembali menuju hutan. Setiap langkah terasa semakin berat. Hutan itu seolah menyambutnya dengan keheningan yang mencekam, seolah menunggu kedatangannya. Suara langkah kaki Rina menjadi satu-satunya yang memecah keheningan.

Sesampainya di batas hutan, Rina merasakan kehadiran sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Hutan itu tampak hidup, seolah ada mata-mata yang mengawasinya di balik pepohonan. Ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengintai, sesuatu yang jauh lebih kuat dan berbahaya daripada apa yang bisa dia bayangkan.

Tiba-tiba, dari dalam hutan, suara bisikan kembali terdengar, kali ini lebih keras, lebih jelas. “Rina… Rina… Kembali. Jangan lanjutkan. Hutan ini akan menghancurkanmu…”

Namun, Rina tidak bisa mundur. Dia harus melawan ketakutannya, harus menghadapi kegelapan yang ada di dalam hutan itu. Tanpa ragu, ia melangkah lebih dalam ke dalam hutan.

Setiap langkahnya semakin membawa dia lebih dekat pada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Di depan Rina, semak-semak bergerak seolah ada sesuatu yang mendekat. Tiba-tiba, sebuah bayangan hitam melintas begitu cepat, menghampirinya.

Rina menahan napas, dan sebuah suara menggelegar menggema di sekelilingnya. “Kau tidak bisa lari, Rina! Kau tidak bisa menghindar!”

Suara itu semakin keras, dan bayangan itu semakin dekat. Rina merasa tubuhnya membeku, jantungnya berdebar hebat. Tanpa berpikir panjang, dia menarik sebuah batu besar dari tanah dan menyiapkannya untuk melawan apapun yang akan datang.

Namun, bayangan itu berhenti tepat di depannya, dan perlahan, bentuknya mulai jelas. Itu bukan makhluk, bukan monster, melainkan sebuah sosok manusia. Namun wajahnya kabur, seperti bayangan yang terdistorsi oleh kekuatan gelap. Sosok itu berbicara lagi, dengan suara yang seperti mengerang dari kedalaman bumi.

“Kau tidak bisa menang, Rina. Semua ini sudah ditentukan. Kegelapan ini milik kami.”

Rina menggenggam batu itu lebih erat. “Tidak. Saya tidak akan biarkan itu terjadi. Saya akan berjuang.”

Dalam sekejap, Rina memulai pertempuran dengan kegelapan yang telah lama menguasai hutan ini. Sebuah pertarungan yang bukan hanya melibatkan fisik, tetapi juga jiwa yang siap untuk mempertahankan kehidupan.*

Bab 7: Teror di Puncak

Matahari baru saja terbenam ketika Rina akhirnya mencapai puncak bukit yang menjulang tinggi, tempat yang telah lama disebut-sebut dalam cerita orang tua sebagai titik pertemuan antara dunia manusia dan dunia gelap. Puncak bukit ini, yang diliputi kabut tipis, selalu dihiasi dengan aura misterius, dan sejak kecil, Rina selalu merasa ada sesuatu yang tidak beres di tempat ini. Namun, kini dia berada di sini, di puncak yang penuh dengan ancaman yang tak terbayangkan.

Sementara angin malam mulai berhembus kencang, sekelebat bayangan hitam melintas di antara pepohonan yang tumbuh jarang di sekitar puncak itu. Hutan yang biasa tampak menakutkan kini terasa semakin menindih, seolah menyuruhnya mundur. Namun, Rina tahu bahwa ini adalah satu-satunya jalan yang bisa ia tempuh untuk mengungkap kebenaran. Hutan telah mulai menguasai desa, dan kegelapan semakin merasuk ke dalam setiap sudut kehidupan mereka. Hanya dengan menemui sumbernya, dia bisa menghentikan semua ini.

Di puncak bukit itu, terdapat sebuah altar tua yang terbuat dari batu hitam yang berlumut. Dikelilingi oleh patung-patung yang hampir tak terlihat karena lapisan lumut tebal yang menutupi wajah mereka, altar itu tampak begitu sunyi dan menyeramkan. Benda-benda yang seharusnya terhubung dengan dunia manusia kini dipenuhi dengan energi yang berbeda—energi yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ada rasa sesak di dada Rina, perasaan yang sulit diungkapkan, seakan-akan jantungnya ingin melompat keluar.

Sebelum Rina sempat melangkah lebih dekat ke altar, suara bisikan yang familiar kembali terdengar. Kali ini, bisikan itu datang dari sekelilingnya, menggelora seperti suara angin yang terperangkap di dalam hutan.

“Rina… Kembalilah… Semua ini tidak untukmu…”

Rina berhenti, menggigit bibirnya. Suara itu semakin dekat, seperti bisikan dari dalam bumi. Tanpa bisa menahan perasaan takut yang mendalam, ia menatap ke sekitar, berusaha mencari asal suara itu. Namun, hutan di sekelilingnya tetap sunyi, hanya angin yang berdesir lembut dan dedaunan yang bergoyang pelan.

“Tidak… Aku tidak akan lari lagi,” gumam Rina, mencoba menenangkan diri.

Namun, suara itu tidak berhenti. Sebaliknya, semakin lama semakin mengeras. “Jangan coba untuk melawan. Kamu bukan siapa-siapa di sini. Hutan ini adalah bagian dari dunia yang lebih besar, dunia yang tak bisa kau kendalikan…”

Rina menarik napas panjang dan berusaha mengalihkan perhatian. Ia tahu, jika ia terhanyut dalam ketakutan, semuanya akan sia-sia. Setiap cerita yang ia dengar tentang desa ini, setiap peringatan yang diberikan oleh Pak Jaya dan wanita tua itu, mengarah pada satu titik: untuk menghentikan semua ini, ia harus menghadapi teror yang berasal dari altar di puncak ini.

Dengan langkah mantap, Rina mendekati altar, merasa seluruh tubuhnya kaku, dan hatinya berdegup kencang. Begitu ia berada di depan altar, udara di sekitarnya terasa semakin dingin, seakan-akan ada sesuatu yang menghisap semua kehangatan dari sekitarnya. Mata Rina tertuju pada simbol-simbol yang terukir pada batu altar itu. Simbol yang tampak kuno dan penuh dengan arti yang tak bisa dipahami dengan mudah. Sesuatu dalam dirinya memberontak, tetapi ada pula dorongan kuat yang menyuruhnya untuk tidak mundur.

Dia menundukkan kepala, berusaha mengingat setiap langkah yang dijelaskan oleh Pak Jaya. “Hanya dengan keteguhan hati, hanya dengan keberanian sejati, kau akan bisa membuka gerbang itu,” kata Pak Jaya. Namun, Rina tahu bahwa dia bukan hanya melawan kekuatan hutan. Dia juga harus melawan dirinya sendiri, melawan rasa takut yang sudah menguasai setiap serat tubuhnya.

Tiba-tiba, altar itu mulai bergetar. Batu hitam itu mengeluarkan cahaya redup yang semakin lama semakin terang. Dari dalam retakan batu, sebuah bayangan gelap muncul, berputar-putar seperti angin kencang yang tidak bisa dilihat, namun bisa dirasakan. Rina merasa kakinya seolah tertarik ke dalam tanah, tubuhnya kaku seperti dipasung oleh sesuatu yang lebih besar dari dirinya.

“Apa yang kau inginkan dari saya?” tanya Rina dengan suara bergetar.

Bayangan itu menjawab dengan suara yang bergema, “Kami ingin dunia ini. Kami ingin menguasai segalanya, dan kau adalah jembatannya. Kembalilah ke dunia kami, dan ikuti kami…”

Rina merasa jantungnya hampir berhenti berdetak. Suara itu terdengar sangat kuat, sangat jelas, seolah berbicara langsung ke dalam pikirannya. Kegelapan itu mulai mengelilinginya, dan ia merasa seolah dirinya semakin tenggelam dalam keputusasaan.

Namun, dalam keputusasaan itu, sesuatu dalam dirinya terbangun. Sebuah kekuatan yang tidak bisa dijelaskan, sebuah tekad yang lebih kuat daripada rasa takut yang mencengkeram hatinya. Rina tahu bahwa dia tidak bisa membiarkan kegelapan ini menang. Tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk ibunya, untuk desa ini, dan untuk masa depan yang lebih cerah.

Dengan segala kekuatan yang tersisa, Rina memegangi batu besar yang ada di altar, mengingatkan dirinya pada kata-kata Pak Jaya, “Keberanian datang bukan dari ketiadaan rasa takut, tetapi dari kemampuan untuk melawan rasa takut itu.”

Mata Rina tertutup rapat, dan dalam hatinya, ia mengucapkan doa, doa yang hanya bisa datang dari jiwa yang penuh dengan harapan. Seketika, cahaya dari altar itu semakin kuat, dan bayangan gelap itu berteriak seolah merasakan sebuah kekuatan yang tidak dapat dihadapi.

Dengan sekejap, cahaya itu membungkus tubuh Rina, dan suara bisikan itu menghilang. Kegelapan di sekelilingnya mulai menghilang, digantikan oleh sebuah rasa tenang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Namun, meski teror itu telah mereda, Rina tahu bahwa ini belum berakhir. Teror yang sesungguhnya baru saja dimulai, dan kegelapan itu tidak akan pernah mudah dilawan.*

Bab 8: Akhir Dari Misteri

Pagi itu, desa yang biasanya diselimuti kabut tebal tampak lebih cerah. Angin pagi yang sejuk berhembus lembut, menggoyangkan dedaunan yang mulai menguning. Rina duduk di beranda rumah ibunya, memandang jauh ke hutan yang tampak tenang di kejauhan. Beberapa minggu telah berlalu sejak ia berdiri di altar di puncak bukit, namun jejak kegelapan itu tetap membekas di dalam dirinya.

Rina memejamkan mata, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi malam itu. Setiap kali ia menutup mata, bayangan gelap yang hampir menelan dirinya kembali terlintas. Namun kali ini, tidak ada lagi bisikan itu. Tidak ada lagi suara yang memanggil-manggilnya. Hutan yang sebelumnya terasa hidup dengan energi gelap kini tampak biasa saja, seolah misteri itu telah terungkap, dan kegelapan itu akhirnya dipadamkan.

Namun, dalam ketenangan itu, ada sesuatu yang terasa ganjil. Rina merasa seakan-akan ada yang tidak selesai. Hutan telah mengungkapkan sebagian besar rahasianya, tetapi ada satu hal yang ia tahu harus ditemukan—sumber dari kekuatan gelap itu, entitas yang selama ini menguasai hutan dan mengancam desa. Rina tahu, meskipun teror itu sudah mereda, belum ada yang bisa memastikan apakah semua ancaman itu benar-benar telah pergi.

Saat itu, Pak Jaya datang mendekat. Wajahnya yang sudah tua tampak serius, dan matanya yang tajam mengamati hutan di kejauhan. “Rina,” katanya pelan, “kau telah melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Tetapi kita tidak boleh lengah.”

Rina menoleh, merasakan ada sesuatu yang mendalam dalam ucapan Pak Jaya. “Apa maksud Pak Jaya? Bukankah semuanya sudah selesai?”

Pak Jaya menggelengkan kepala. “Tidak, Rina. Sebuah kekuatan besar tidak akan pernah sepenuhnya hilang begitu saja. Hutan ini, dan semua yang terkait dengannya, mengandung kekuatan yang tak terduga. Kekalahan satu entitas bukan berarti semuanya berakhir. Masih ada hal yang harus kita selesaikan.”

Rina terdiam sejenak, mencerna kata-kata Pak Jaya. “Lalu apa yang harus kita lakukan?”

Pak Jaya berjalan mendekat dan duduk di samping Rina. “Ada satu tempat di dalam hutan yang belum pernah kau jelajahi. Tempat yang sangat tersembunyi, bahkan orang-orang desa pun jarang berbicara tentangnya. Di tempat itu, sumber kekuatan gelap itu berasal. Jika kita tidak menemukannya dan menghancurkannya, hutan ini—dan seluruh desa—akan kembali jatuh ke dalam bayang-bayang kegelapan.”

Rina menatap Pak Jaya dengan tatapan serius. Ia tahu ini bukan lagi soal keberanian semata. Ini adalah soal menghadapi kegelapan yang lebih besar, sesuatu yang telah mengakar begitu dalam di dalam tanah desa ini. “Dimana tempat itu, Pak Jaya?”

Pak Jaya menundukkan kepala. “Di bawah tanah, di sebuah gua yang terkubur dalam. Hanya mereka yang memiliki keberanian sejati yang bisa menemukannya.”

Mereka berdua mempersiapkan diri untuk perjalanan yang akan datang. Meskipun tidak ada jaminan keberhasilan, Rina tahu bahwa satu-satunya cara untuk memastikan keselamatan desa ini adalah dengan menghentikan sumber kekuatan gelap itu sekali dan untuk selamanya.

Setelah beberapa jam berjalan, mereka tiba di sebuah hutan lebat yang berbeda dari yang biasa dilalui penduduk desa. Di sini, pohon-pohon tampak lebih tua dan lebih besar, dengan cabang-cabang yang menjulur rendah, seolah-olah menghalangi jalan mereka. Di bawah kaki mereka, tanah terasa lebih lembap, seakan-akan menghisap energi mereka.

Pak Jaya memimpin jalan dengan hati-hati, mengamati setiap langkah yang mereka ambil. Setiap suara di hutan ini terdengar lebih keras, lebih mengganggu. Ketika mereka tiba di sebuah bukit kecil, Pak Jaya menghentikan langkahnya dan menunjuk ke bawah.

“Ini dia,” katanya pelan. “Di bawah sini.”

Rina mengerutkan kening. Di bawah bukit itu, ada sebuah celah yang cukup besar, tetapi tampaknya sulit untuk dipahami. Tanah di sekitar celah itu tampak berbeda, lebih gelap dari tanah sekitarnya, seolah-olah tanah itu telah menyerap sesuatu yang jahat.

Dengan hati-hati, mereka turun ke dalam celah itu. Ruangan di bawah tanah itu gelap, lembap, dan penuh dengan bau busuk yang menggerogoti. Rina merasakan sebuah tekanan di dadanya, dan kegelapan yang pekat membuatnya merasa semakin takut. Tetapi dia tahu, ini adalah jalan yang harus dilalui untuk menghentikan semua yang telah terjadi.

Pak Jaya mengeluarkan sebuah lentera kecil dan menyalakannya, menerangi ruang di sekitar mereka. Mereka berjalan perlahan, dan tak lama kemudian, mereka menemukan sebuah batu besar yang terukir dengan simbol yang tidak bisa dikenali. Batu itu tampak begitu tua, dan aura gelap yang berasal darinya begitu kuat, seakan menekan mereka untuk mundur.

Rina menatap Pak Jaya. “Apakah ini tempatnya?”

Pak Jaya mengangguk. “Ini adalah pusat dari semua kegelapan itu. Batu ini adalah kunci dari segalanya. Jika kita bisa menghancurkannya, maka kegelapan ini akan berakhir.”

Tanpa ragu, Rina mengangkat batu yang ada di dekatnya. Ia merasakan energi yang begitu kuat mengalir melalui tubuhnya, dan saat itulah ia sadar, batu itu bukanlah batu biasa. Batu itu adalah simbol dari kutukan yang telah mengikat desa ini dalam kegelapan.

Dengan kekuatan sekuat tenaga, Rina mulai menghancurkan batu itu. Perlahan, batu itu mulai retak, dan suara keras menggelegar mengisi gua. Angin yang dahsyat berhembus, dan seluruh ruangan mulai bergetar. Kegelapan yang selama ini menyelimuti desa itu akhirnya terpecah.

Begitu batu itu hancur, sebuah cahaya terang muncul dari dalamnya, menyinari seluruh gua. Kegelapan yang selama ini menakutkan desa itu menghilang, dan suara-suara bisikan yang pernah menghantui Rina pun lenyap.

Rina dan Pak Jaya saling menatap. Mereka tahu, meskipun desa ini telah terbebas dari kegelapan, perjalanan mereka belum berakhir. Namun, satu hal pasti: mereka telah mengungkap rahasia gelap yang telah bersembunyi lama di hutan ini.

Akhirnya, dengan lega dan rasa puas, mereka kembali ke permukaan. Desa mereka, yang sempat terjebak dalam teror, kini bisa hidup dalam kedamaian lagi. Namun, Rina tahu, bahwa meskipun kegelapan itu telah pergi, ia tidak akan pernah melupakan pelajaran berharga yang didapatnya: bahwa kadang-kadang, kita harus melawan ketakutan kita sendiri untuk mengungkap kebenaran dan menemukan cahaya di ujung terowongan.***

———-THE END———

Source: Agustina Ramadhani
Tags: #HororFantasi#HutanTerkutuk#KehilanganMisterius#LegendaLokalmisteri
Previous Post

PERJANJIAN GELAP DAN ALTAR TERLARANG

Next Post

MISTERI HILANGNYA AILA

Next Post
MISTERI HILANGNYA AILA

MISTERI HILANGNYA AILA

MENGUNGKAP RAHASIA TERSEMBUNYI

MENGUNGKAP RAHASIA TERSEMBUNYI

PENJAGA ARTEFAK KUNO

PENJAGA ARTEFAK KUNO

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In