Bab 1: Kegelapan yang Tiba
Pagi itu, kota Neo-Terra tampak seperti biasa. Cahaya matahari yang cerah memancar melalui gedung-gedung tinggi yang menjulang, mengiluminasi fasad-fasad kaca yang berkilau. Kendaraan terbang meluncur dengan lancar di antara gedung-gedung pencakar langit, dan di permukaan, keramaian aktivitas manusia tidak pernah sepi. Di dunia yang penuh dengan kemajuan teknologi ini, sepertinya tidak ada yang bisa mengganggu kedamaian tersebut.
Namun, sesuatu yang tak terduga sedang mengintai, sesuatu yang lebih gelap dari bayang-bayang malam. Sesuatu yang tidak tampak, tapi bisa dirasakan oleh siapa saja yang tahu cara untuk merasakannya.
Dr. Alina Rahmadani, seorang ilmuwan muda yang cerdas dan penuh semangat, duduk di meja kerjanya di laboratorium AetherCorp, sebuah lembaga riset internasional yang bertanggung jawab untuk pengembangan teknologi canggih dan riset energi. Dia sedang menatap layar holografik yang menunjukkan data dari proyek terbarunya: Gelombang Kegelapan. Fenomena yang baru pertama kali terdeteksi beberapa bulan lalu oleh tim risetnya, dan yang kini semakin mengkhawatirkan.
“Tidak mungkin,” gumamnya sendiri, mengerutkan kening. Di depan layar, grafik yang menunjukkan fluktuasi energi yang tidak teratur mulai membentuk pola yang lebih jelas. Pola itu semakin besar, semakin kuat, dan semakin tidak terkendali. Gelombang energi ini muncul di berbagai belahan dunia, memengaruhi sistem kelistrikan, komunikasi, dan bahkan memanipulasi medan elektromagnetik di bumi.
Alina menatap layar dengan cemas. Gelombang Kegelapan—sebutan yang diberikan untuk fenomena ini—terus berkembang, dan tidak ada yang dapat menjelaskan asal-usulnya. Satu-satunya hal yang mereka tahu adalah bahwa gelombang itu datang dari luar angkasa, dari suatu sumber yang tidak teridentifikasi. Para ahli fisika dan astrofisikawan yang dia ajak bekerja sama tidak bisa menemukan penjelasan logis mengenai bagaimana atau mengapa gelombang ini bisa ada. Hanya ada satu kesimpulan yang bisa diambil: sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, sedang mengarah ke bumi.
Hari itu, ada sesuatu yang berbeda. Gelombang itu lebih kuat dari sebelumnya, dan Alina merasa seakan dunia di sekelilingnya mulai bergetar. Layar holografiknya berkedip-kedip, dan tanpa peringatan, seluruh sistem di laboratorium mendadak mati. Lampu-lampu redup, suara mesin yang biasa berdengung hening seketika. Ruangan itu menjadi sunyi, hanya ada suara detak jantung Alina yang terdengar keras di telinganya.
“Lia?” Alina berteriak, memanggil rekannya yang berada di ruang kontrol sebelah. Tidak ada jawaban. Dia bangkit dari kursinya dan berjalan cepat menuju pintu, namun begitu dia membukanya, sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan terjadi. Seluruh kota Neo-Terra, yang biasanya dipenuhi dengan cahaya dan suara, kini terdiam dalam kegelapan.
Di luar, langit berubah menjadi merah pekat, seolah ada tirai besar yang menutupi seluruh atmosfer bumi. Suasana itu tidak seperti apa pun yang pernah dia saksikan. Tidak ada bintang, tidak ada bulan. Bahkan, matahari seolah tenggelam di balik selimut tebal yang gelap.
Alina merasakan tenggorokannya tercekat. “Apa yang sedang terjadi?”
Dia berlari menuju ruang kontrol dan mendapati bahwa Lia Hadi, teknisi handal yang selalu dapat diandalkan, sedang berusaha dengan panik untuk menyalakan kembali sistem. Namun layar di depannya hanya menunjukkan satu pesan yang berulang kali muncul:
“Keterputusan Energi Tidak Terbatas – Sumber Tak Teridentifikasi”
“Lia! Apa yang terjadi?” tanya Alina, mencoba menenangkan dirinya meskipun ketegangan semakin memuncak.
Lia memandangnya dengan wajah pucat. “Alina… ini bukan gangguan biasa. Gelombang Kegelapan ini… mereka sudah sampai ke sini. Ini bukan hanya soal energi, ini tentang sistem yang lebih besar dari yang kita bayangkan.”
Di luar gedung, seluruh kota kini terbungkus dalam kegelapan mutlak. Tidak ada satu pun cahaya yang tersisa—lampu jalan, kendaraan terbang, bahkan sistem komunikasi yang canggih semuanya padam dalam sekejap. Dunia yang dulunya berkilau dengan teknologi kini terbungkus dalam kedalaman yang menakutkan.
“Apakah ini… kiamat?” Alina bergumam, meskipun dia tahu itu bukanlah jawaban yang memadai.
Di dalam dirinya, sebuah perasaan aneh mulai tumbuh—sebuah rasa takut yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Semua penelitiannya, semua teori yang pernah dia pelajari tentang fisika, energi, dan gelombang elektromagnetik, seolah menjadi tak berarti lagi di hadapan kenyataan yang jauh lebih besar dan lebih mengerikan.
“Kita harus segera memberi tahu dunia,” kata Alina, berusaha mengendalikan diri. “Ini bukan hanya ancaman bagi kota ini, tapi seluruh planet.”
Lia mengangguk, meskipun jelas terlihat bahwa dia pun diliputi ketakutan. “Tapi bagaimana, Alina? Jika gelombang ini sudah menguasai sistem kelistrikan kita, bagaimana kita bisa menyebarkan informasi? Tidak ada jaringan, tidak ada listrik. Semua saluran komunikasi terputus.”
Panik mulai merayap di dalam hati Alina, tapi dia menahan diri. AetherCorp adalah satu-satunya organisasi yang memiliki akses ke perangkat komunikasi tingkat tinggi, dan mereka harus memanfaatkan segala sumber daya yang ada untuk mencoba menemukan solusi.
Namun, saat itulah mereka menyadari sesuatu yang lebih menakutkan lagi. Gelombang Kegelapan bukan sekadar gangguan energi. Itu adalah pesan—sebuah pesan dari suatu kekuatan yang jauh lebih kuat dan lebih berbahaya dari apa pun yang dapat mereka bayangkan.
Dalam kegelapan yang mencekam, Alina merasakan sensasi yang aneh. Seolah ada sesuatu yang sedang mengamatinya, sesuatu yang berada di luar jangkauan fisika yang mereka kenal. Kegelapan itu bukan hanya kosong. Ia hidup, dan ia semakin mendekat.
“Ini baru permulaan,” kata Alina dengan suara yang hampir tak terdengar. “Kita harus menemukan jawabannya, sebelum semuanya terlambat.”
Di luar, angin yang sejuk berhembus kencang, membawa serta bisikan misterius yang seolah mengisyaratkan bahaya yang akan datang.*
Bab 2: Penemuan Mencengangkan
Beberapa jam setelah gelombang kegelapan pertama kali melanda, suasana di dalam AetherCorp semakin kacau. Para ilmuwan dan teknisi berlarian dari satu ruang ke ruang lain, mencoba untuk menghidupkan kembali sistem yang telah mati. Lampu darurat yang redup memberikan sedikit penerangan, namun suasana tetap mencekam. Seluruh dunia luar masih terbungkus dalam kegelapan pekat, dan seluruh sistem komunikasi global gagal berfungsi.
Alina Rahmadani berdiri di depan layar holografik besar yang kini hanya memancarkan gambaran yang samar-samar. Di tengah kekacauan ini, dia merasa lebih terjaga dari sebelumnya. Meskipun timnya bekerja keras untuk memulihkan sistem, dia merasa ada satu bagian dari misteri ini yang harus dia pecahkan lebih dulu—sesuatu yang dia rasakan di dalam dirinya, sesuatu yang lebih besar dari sekadar gangguan energi.
“Lia, bagaimana dengan data terakhir dari Gelombang Kegelapan?” tanya Alina dengan suara yang tegas, meskipun dia merasa gelisah. Dia berbalik menghadap rekannya yang sedang mengetik di konsol di sisi lain ruangan.
Lia mengangkat kepalanya, matanya lelah namun fokus. “Aku baru saja mencoba untuk menyambung ulang beberapa saluran data dari satelit pengamat kita. Ada sesuatu yang aneh. Gelombang ini… lebih terstruktur sekarang. Bukan seperti fenomena acak yang kita temui beberapa bulan lalu. Ada pola yang jelas.”
“Pola?” Alina bertanya, melangkah lebih dekat. Dia memandang layar dengan seksama, mencoba memecahkan teka-teki yang tersembunyi di balik data itu.
“Ya,” jawab Lia sambil menunjukkan grafik yang mulai terbentuk. “Melihat dari frekuensinya, ini bukan sekadar gangguan biasa. Gelombang ini—sepertinya, semakin mendekati suatu titik fokus. Itu artinya, fenomena ini bisa memiliki sumber yang lebih terpusat, bukan hanya acak seperti sebelumnya.”
Alina menatap data itu lebih intens lagi. Setiap detik, setiap menit yang berlalu, semakin jelas bahwa sesuatu yang lebih besar sedang terjadi. Mungkin mereka hanya melihat sebagian kecil dari gambar yang lebih besar. Sesuatu yang telah terjadi jauh di luar pengamatan manusia.
“Ini bukan hanya fenomena alam. Ini adalah… sesuatu yang direncanakan,” gumam Alina, hampir tidak percaya dengan kesimpulan yang tiba-tiba muncul di pikirannya.
Namun, sebelum Lia sempat memberi tanggapan, layar holografik itu mendadak berkedip dan berubah. Sebuah peta dunia muncul di tengah layar, dengan titik-titik merah yang tersebar di seluruh belahan bumi. Titik-titik itu bersinar lebih terang seiring waktu, seolah-olah gelombang itu secara aktif mempengaruhi lokasi-lokasi tersebut. Sebagian besar titik berada di sekitar kawasan yang belum pernah terdengar sebelumnya—tempat-tempat yang tidak pernah tercatat dalam laporan ilmiah maupun data yang ada di dunia.
“Ini… ini tidak mungkin,” kata Lia, suaranya bergetar. “Titik-titik ini… mereka tidak ada dalam database kita. Aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi.”
Alina merasa jantungnya berdegup kencang. Ada sesuatu yang salah. Mereka tidak hanya melihat gangguan energi biasa. Gelombang ini sepertinya memetakan dirinya ke titik-titik yang memiliki arti lebih dalam—titik yang bukan hanya berhubungan dengan energi, tapi juga dengan pola keberadaan yang lebih besar. Sesuatu yang mungkin berada di luar pemahaman manusia.
“Coba lihat,” kata Alina, menunjuk pada titik paling terang yang muncul di tengah peta. “Ada yang berbeda di sini. Ini… bukan hanya perubahan energi. Ini adalah lokasi yang sangat terarah. Seperti… sepertinya ada entitas yang mengendalikan gelombang ini.”
Lia menatap layar dengan ketakutan. “Apakah kita berbicara tentang sebuah sumber kecerdasan buatan yang mengendalikan gelombang ini? Atau, lebih buruk lagi… semacam makhluk luar angkasa?”
Alina menggigit bibirnya, berusaha menenangkan pikirannya. “Aku tidak tahu, Lia. Tapi jika ini memang sesuatu yang terorganisir, kita harus segera menemukan apa yang ada di sana. Kita mungkin telah menemukan titik awal dari fenomena ini—sumber dari Gelombang Kegelapan.”
Saat mereka berbicara, tiba-tiba lampu darurat di ruang kontrol mulai berkedip lebih cepat, diikuti oleh suara alarm yang keras. Ruangan itu kembali dipenuhi dengan kegelisahan.
“Ini… ini tidak baik,” kata Lia dengan cemas. “Titik-titik di peta itu—mereka bergerak!”
Alina menatap layar dengan tajam. Titik-titik merah yang tadinya statis kini bergerak cepat, seolah-olah gelombang itu tengah meluas, bergerak menuju lokasi yang lebih banyak dan lebih tersebar. Ada satu titik yang bergerak sangat cepat menuju kawasan yang tidak dapat dijangkau manusia—suatu tempat yang hanya tercatat dalam spekulasi ilmiah sebagai kawasan yang berbahaya dan penuh misteri.
“Tunggu, ini tidak mungkin…” Alina terdiam, menatap layar dengan intens. Titik yang bergerak itu berhenti di atas Antartika, tepatnya di kawasan yang tidak pernah dieksplorasi oleh umat manusia. Di sana, di bawah lapisan es yang tebal, tersembunyi sesuatu yang tidak pernah terduga oleh siapa pun. Sesuatu yang mungkin merupakan bagian dari teka-teki yang lebih besar—sesuatu yang mungkin memiliki hubungan langsung dengan sumber Gelombang Kegelapan.
“Lia, kita harus segera melakukan penyelidikan lebih lanjut ke daerah itu. Kita perlu mengirimkan tim ekspedisi,” kata Alina, nadanya tegas.
“Tapi itu… itu wilayah yang sangat berbahaya, Alina. Kita tidak tahu apa yang ada di sana,” jawab Lia, masih ragu.
“Kalau kita tidak segera mencari tahu, kita akan kehilangan kesempatan untuk mencegah bencana yang lebih besar. Aku rasa, sumbernya ada di sana. Kita harus mengambil risiko ini.”
Alina menatap Lia dengan tekad yang kuat. Dia tahu keputusan ini tidak mudah, tapi tidak ada pilihan lain. Gelombang Kegelapan semakin kuat, dan mereka tidak bisa membiarkannya berkembang tanpa mengetahui apa yang mengendalikannya.
Beberapa jam kemudian, mereka mempersiapkan rencana untuk mengirimkan tim riset ke Antartika. Hanya ada satu masalah: mereka tidak tahu apa yang akan mereka hadapi di sana. Namun, satu hal yang jelas—apa pun itu, mereka harus menemukannya sebelum gelombang kegelapan menguasai dunia.
“Ini bukan hanya tentang kita lagi, Lia. Ini tentang keselamatan seluruh umat manusia,” kata Alina dengan suara yang tegas.
Dengan langkah yang penuh keteguhan, Alina dan timnya bersiap untuk menghadapi penemuan yang tak terduga—penemuan yang mungkin mengungkapkan kebenaran yang lebih besar dari yang mereka bayangkan.*
Bab 3: Portal Dimensi
Pagi setelah peristiwa aneh yang melanda Neo-Terra, seluruh dunia masih terbalut dalam kegelapan yang menakutkan. Seluruh sistem energi terputus, jaringan komunikasi mati, dan manusia di seluruh dunia berjuang untuk bertahan dalam ketidakpastian. Namun di balik semua itu, ada sekelompok ilmuwan yang tidak bisa berhenti berpikir—termasuk Dr. Alina Rahmadani. Selama beberapa jam yang penuh kekacauan, dia dan timnya bekerja tanpa henti untuk mencoba memulihkan sistem dan memahami fenomena yang semakin mencengkeram dunia.
Setelah menganalisis data lebih lanjut, Alina menemukan bahwa pergerakan Gelombang Kegelapan tidak sekadar acak atau berasal dari fenomena alam biasa. Melalui sistem pemodelan dimensi yang mereka gunakan di AetherCorp, Alina menyadari bahwa gelombang ini tidak hanya merusak sistem kelistrikan atau memengaruhi energi di bumi—ada sesuatu yang lebih jauh, lebih dalam yang menghubungkan gelombang ini dengan dimensi lain.
Dengan perasaan cemas namun penuh tekad, Alina melangkah ke ruang pemodelan dimensi yang terletak di bawah tanah AetherCorp. Ruangan ini, yang biasanya hanya digunakan untuk eksperimen dan simulasi, kini dipenuhi oleh kecemasan. Layar besar di depan Alina menunjukkan peta dunia yang terus berubah, titik-titik merah yang sebelumnya tersebar di berbagai wilayah, kini mulai menyatu di suatu tempat yang sangat terisolasi.
“Alina,” suara Dr. Daniel Rajasa, seorang astrofisikawan senior di AetherCorp, terdengar dari belakangnya. Alina menoleh, dan melihat Daniel yang tampaknya tidak kalah terkejut. “Kita baru saja menerima data terbaru. Gelombang ini… ada sesuatu yang aneh. Sepertinya gelombang ini tidak hanya berhubungan dengan energi, tetapi dengan struktur ruang-waktu itu sendiri.”
Alina mengangguk, merasakan ketegangan yang semakin meningkat. “Kita harus menemukan titik sumbernya, Daniel. Tapi saya merasa ini bukan hanya masalah energi. Ada sesuatu yang jauh lebih besar di balik semua ini.”
Daniel menatap layar dengan serius, dan tanpa berkata apa-apa, dia mulai mengetik pada konsol. Alina bisa merasakan ketegangan di udara. “Kami telah menelusuri kembali data yang telah kita kumpulkan selama beberapa bulan ini, dan ada sesuatu yang menarik. Gelombang ini bukan hanya gangguan pada medan elektromagnetik. Ini adalah penurunan frekuensi yang berasal dari dalam bumi, jauh di bawah permukaan.”
“Penurunan frekuensi?” tanya Alina, matanya menyipit. “Itu berarti, semacam gangguan pada struktur ruang-waktu?”
Daniel mengangguk. “Betul. Kami menganalisis data dari satelit pengamat dan menemukan adanya perubahan besar di dalam inti planet. Tidak hanya itu, ada anomali besar yang sepertinya mengindikasikan adanya… portal.”
Alina terdiam sejenak, mencoba memproses apa yang baru saja didengarnya. “Portal… dari dimensi lain?”
“Ya, Alina. Itu bisa jadi bukan hanya sekadar portal yang menghubungkan kita dengan dimensi lain, tetapi juga jalur langsung ke sumber energi yang mengendalikan gelombang ini.” Daniel menatapnya tajam. “Apa pun yang ada di balik portal itu, kita harus segera menemukannya.”
Pikiran Alina berlarian. Jika gelombang ini berasal dari suatu dimensi lain, dan mereka bisa menemukan portalnya—maka itu berarti mereka bisa mengetahui apa yang mengendalikan gelombang kegelapan ini. Itu bisa menjadi kunci untuk menyelamatkan dunia. Namun, rasa takut yang samar mulai tumbuh di dalam dirinya. Mereka tidak tahu apa yang akan mereka hadapi. Dan lebih mengkhawatirkan lagi, mereka mungkin sudah terlambat.
Mereka bekerja sepanjang malam untuk melacak lokasi pasti dari portal itu, dan setelah berjam-jam pemrograman dan analisis, mereka akhirnya menemukan sesuatu yang mencengangkan. Portal itu berada di bawah lapisan es tebal di Antartika—sebuah tempat yang hampir tidak bisa dijangkau manusia, yang terkubur dalam kekejaman alam dan cuaca ekstrem. Dan yang lebih mengejutkan lagi, portal itu tidak hanya terhubung ke ruang-waktu yang terdistorsi, tetapi juga sepertinya memiliki koneksi dengan sebuah entitas yang sangat kuat, entitas yang tidak pernah mereka duga.
“Kita tidak bisa membiarkan portal ini terbuka lebih lama lagi,” kata Alina, suaranya penuh urgensi. “Jika apa yang kita duga benar, maka seluruh dunia—seluruh peradaban—akan berada dalam ancaman yang jauh lebih besar.”
Daniel memandangnya dengan ragu. “Tapi, Alina, apa yang kita hadapi di sana? Bagaimana kita tahu bahwa kita tidak akan terjebak dalam dimensi itu selamanya? Tidak ada yang tahu apa yang ada di sana.”
Alina menghela napas, merasakan berat tanggung jawab yang kini ada di pundaknya. “Kita tidak punya pilihan lain. Jika kita tidak melakukan sesuatu sekarang, kita mungkin tidak akan memiliki kesempatan lagi.”
Dengan tekad yang kuat, Alina memutuskan untuk membawa tim ekspedisi ke lokasi tersebut. Meskipun berisiko tinggi, mereka tidak punya banyak waktu. Setiap detik yang berlalu membuat Gelombang Kegelapan semakin kuat, semakin merusak dunia mereka.
Beberapa hari kemudian, mereka tiba di Antartika, di lokasi yang telah mereka identifikasi sebagai tempat portal itu berada. Tim ekspedisi telah dipersiapkan dengan peralatan canggih untuk menjelajahi medan beku dan penuh bahaya. Alina, Daniel, dan Lia, bersama beberapa ilmuwan dan teknisi lainnya, memulai perjalanan mereka menuju lokasi yang penuh misteri.
Mereka mendaki pegunungan es yang terjal, mengarungi lembah beku yang luas. Namun, semakin mereka mendekati titik koordinat yang ditentukan, semakin aneh suasana di sekitar mereka. Suhu yang ekstrem terasa tidak wajar, seakan atmosfer di sekitar mereka semakin tebal dan tidak alami. Ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang tidak seharusnya ada di tempat ini.
“Apa yang terjadi dengan udara di sini?” tanya Lia, suara gemetar karena ketakutan. “Aku merasa seperti ada tekanan yang sangat besar.”
Alina menoleh, dan matanya menangkap sesuatu yang mengerikan di depan mereka. Di balik kabut es yang tebal, sesuatu yang besar dan gelap mulai muncul di cakrawala. Sebuah struktur besar yang seolah menyatu dengan alam sekitarnya—sebuah portal yang tampaknya terbentuk dari materi yang tidak dikenal, berputar dengan energi yang mengerikan.
“Ini dia,” bisik Alina, menatap portal dengan perasaan campur aduk. “Ini adalah gerbang ke dimensi lain.”
Tim ekspedisi itu berdiri terdiam, menatap pintu yang terbuka ke sesuatu yang jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan. Sesuatu yang tidak hanya akan mengubah mereka, tetapi juga seluruh dunia.*
Bab 4: Perang Melawan Waktu
Portal itu berdiri tegak di hadapan mereka—sebuah gerbang besar yang memancarkan cahaya redup dengan kilatan warna yang tidak pernah terlihat oleh mata manusia. Udara di sekitar mereka terasa lebih tebal, semakin mencekam, dan Alina dapat merasakan detak jantungnya semakin cepat. Angin dingin yang biasanya membekukan tubuh terasa berbeda kali ini, seolah-olah ada sesuatu yang tidak terlihat yang ikut bergerak bersama angin tersebut.
Tim ekspedisi berdiri di hadapan portal itu, masing-masing memandangnya dengan campuran ketakutan dan rasa ingin tahu. Namun, di antara mereka, hanya Alina yang bisa merasakan ancaman yang sebenarnya—bahwa apa yang ada di balik gerbang ini bukan hanya soal misteri, tetapi juga tentang keberlanjutan umat manusia. Gelombang Kegelapan yang telah menguasai dunia, yang menyebabkan sistem energi runtuh dan komunikasi terhenti, semua itu berasal dari dimensi yang kini terbuka di depan mata mereka.
“Ini… ini benar-benar nyata,” kata Lia, suara gemetaran di antara angin yang mengguruh. “Tapi bagaimana kita tahu apa yang ada di sana? Apa kita benar-benar harus melangkah ke dalamnya?”
Alina menarik napas dalam-dalam. Dia tahu mereka tidak punya pilihan lain. Gelombang Kegelapan yang semakin kuat ini sudah merusak hampir seluruh dunia. Sistem energi mati. Kota-kota besar terhenti dalam kegelapan. Orang-orang berlarian ketakutan tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Dan semakin lama, semakin jelas bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan semuanya adalah dengan menyelidiki dan menutup portal ini.
“Kita tidak punya banyak waktu,” jawab Alina, suaranya penuh ketegasan. “Gelombang ini semakin kuat setiap detiknya. Jika kita tidak segera menemukan sumbernya, dunia akan terperangkap dalam kegelapan ini selamanya.”
Dengan hati yang berat namun tekad yang kuat, Alina melangkah maju. Tim mengikuti di belakangnya, dengan langkah-langkah hati-hati dan penuh waspada. Portal itu berdiri tanpa goyah, seolah-olah menunggu mereka untuk melangkah lebih jauh.
“Sebelum kita masuk, pastikan semuanya siap,” perintah Alina kepada timnya. “Setiap langkah yang kita ambil di sini bisa jadi berisiko tinggi. Siapa pun yang merasa tidak siap, bisa memilih untuk kembali.”
Semua orang diam, tidak ada yang mengatakan apa-apa. Semua tahu bahwa mereka tidak bisa mundur sekarang. Tim ini terdiri dari orang-orang yang terlatih dan memiliki keahlian, tapi apa yang mereka hadapi kali ini jauh lebih besar daripada apa pun yang pernah mereka pelajari. Mereka semua sudah tahu bahwa ini adalah perjuangan hidup dan mati, bukan hanya bagi mereka, tetapi juga bagi umat manusia.
Alina melangkah ke dalam portal pertama, dan seketika tubuhnya merasakan gelombang energi yang tidak terduga. Ia merasa seperti melintasi batas waktu dan ruang, sebuah sensasi yang sulit dijelaskan. Seluruh dunia di sekelilingnya tampak berputar, bergerak dalam kecepatan yang tak terhingga, dan tiba-tiba dia terlempar ke dalam kegelapan yang penuh dengan suara-suara asing yang berbisik.
“Alina!” teriak Daniel dari belakangnya.
Namun, kata-kata itu tampaknya teredam oleh kekuatan yang menyelimuti mereka. Alina merasa seluruh tubuhnya seperti tersedot ke dalam vortex, seolah-olah ia tengah dibawa ke tempat yang jauh lebih dalam dan lebih gelap dari yang bisa dibayangkan. Dalam sekejap, semuanya menjadi sunyi. Tidak ada suara, tidak ada cahaya—hanya kegelapan yang absolut.
Tiba-tiba, dia merasakan pijakan di bawah kakinya. Sesuatu yang sangat berbeda dengan permukaan es yang ada sebelumnya. Dia menatap sekelilingnya dan mendapati dirinya berada di sebuah ruang yang luas dan gelap, dipenuhi dengan struktur-struktur geometris yang tidak dapat dikenali. Di sepanjang dinding ruang itu, terdapat simbol-simbol kuno yang tampaknya mengandung makna yang lebih besar dari yang bisa dia pahami.
“Semuanya hati-hati,” kata Alina dengan suara pelan, meskipun tidak ada yang tahu pasti dari mana suara itu datang. “Ini adalah ruang yang tidak kita kenal. Jangan sentuh apa pun yang tidak kita pahami.”
Tim mulai keluar satu per satu, merasakan perubahan besar yang terjadi pada mereka begitu memasuki dimensi ini. Suasana yang sangat asing ini membuat mereka merasa seolah-olah mereka sudah jauh meninggalkan dunia yang mereka kenal.
Namun, saat mereka mulai menavigasi ruang yang misterius ini, satu hal yang jelas terlihat—gelombang energi yang mereka pelajari sebelumnya lebih kuat di sini. Frekuensi yang mereka amati mulai bergema lebih keras, semakin jelas dan teratur. Energi itu terasa semakin nyata, dan semakin terasa menekan.
“Alina, lihat itu!” teriak Lia, menunjuk ke sebuah struktur besar di tengah ruang itu. Di hadapan mereka, sebuah bangunan besar berdiri kokoh, terbuat dari bahan yang tampak seperti kristal gelap yang memantulkan cahaya redup yang berasal dari dalam. Pintu besar di depan mereka seolah mengundang mereka untuk masuk, namun Alina merasakan ada sesuatu yang tidak benar.
“Jangan terlalu terburu-buru,” kata Alina. “Kita harus memastikan semuanya sebelum kita masuk ke dalam.”
Namun, saat mereka mendekati pintu itu, suara aneh mulai terdengar. Sebuah getaran rendah yang terdengar seperti gema dari dimensi lain. Dalam sekejap, seluruh ruang itu mulai bergetar, dan di tengah-tengah ruang yang luas, sebuah entitas besar muncul. Sesuatu yang tampaknya berbentuk kabut gelap, memancarkan energi yang sangat kuat.
“Siapa kalian?” suara itu bergema, terdengar seperti bisikan yang datang dari segala penjuru. “Mengapa kalian datang ke sini? Apa yang kalian cari?”
Alina terdiam sejenak, perasaan takut dan bingung mencampur aduk. Mereka tidak tahu apakah entitas ini musuh atau sekadar penjaga dari dunia ini. Yang pasti, keberadaan mereka di sini bukan tanpa risiko.
“Kami datang untuk menutup portal ini,” jawab Alina dengan tegas, berusaha menguasai ketegangan yang terasa begitu kuat di udara. “Dunia kami sedang berada di ambang kehancuran. Gelombang Kegelapan yang berasal dari dunia ini telah merusak kehidupan kami. Kami ingin menghentikannya.”
Entitas itu tertawa, suara yang menggema begitu dalam, membuat seluruh ruang terasa bergetar.
“Gelombang Kegelapan?” entitas itu bertanya, suaranya terbelah. “Kalian masih percaya bahwa itu adalah ancaman bagi dunia kalian? Gelombang itu adalah awal dari transformasi yang lebih besar. Apa yang kalian sebut sebagai ‘kegelapan’ adalah kekuatan yang tak terhindarkan.”
Alina merasa keringat dingin membasahi tengkuknya. Rasa takut dan cemas mulai menghantui pikirannya, tapi dia tidak bisa mundur sekarang. Mereka harus bertahan. Mereka harus menemukan cara untuk menutup portal ini, sebelum entitas ini bisa mengubah segalanya.
“Waktu kita hampir habis,” bisik Alina kepada timnya, matanya tajam menatap entitas itu. “Ini perang melawan waktu. Jika kita tidak bertindak sekarang, semua akan terlambat.”
Dengan keputusan yang bulat, mereka bersiap untuk menghadapi apapun yang ada di depan mereka. Pertempuran ini bukan hanya tentang menghentikan kegelapan, tetapi tentang menghadapi kekuatan yang tidak terbayangkan, dan bertahan hidup dalam perang yang akan menentukan nasib dunia.*
Bab 5: Menembus Kegelapan
Kegelapan yang menyelimuti dimensi ini bukanlah kegelapan biasa. Ia bukan hanya ketiadaan cahaya, tetapi sesuatu yang jauh lebih dalam, yang melampaui pemahaman manusia. Setiap langkah yang mereka ambil semakin membawa mereka lebih jauh ke dalam lorong-lorong asing ini, menuju sumber dari segala ketakutan yang mereka rasakan. Alina merasakan tekanan yang luar biasa—bukan hanya dari entitas yang mereka hadapi, tetapi juga dari rasa tanggung jawab yang terus menghantui pikirannya.
Tim ekspedisi yang telah dibawa ke dalam dunia ini, kini berjalan dengan hati-hati, setiap mata memandangi sekitar dengan penuh kewaspadaan. Mereka tidak tahu apa yang menanti di dalam kegelapan yang begitu pekat, namun mereka tahu satu hal dengan pasti—mereka tidak bisa mundur.
“Alina, aku rasa kita semakin dekat,” ujar Daniel, astrofisikawan yang selalu menjadi pilar ketenangan di tim ini, meski suaranya kali ini terdengar sedikit cemas. “Frekuensi yang kita lacak sebelumnya semakin kuat. Sepertinya kita sudah berada di pusat dari semuanya.”
Alina mengangguk pelan, tetapi matanya tetap tajam mengawasi lingkungan sekitar mereka. Ia merasa seolah-olah dunia ini menatap mereka dengan mata yang tak terlihat, menyelimuti mereka dengan hawa yang semakin menekan. Setiap langkah mereka terdengar seperti gemuruh yang memecah keheningan, meskipun mereka berusaha untuk bergerak perlahan. Ada sesuatu yang berbeda di sini—sesuatu yang jauh lebih besar dari apa pun yang mereka bayangkan.
“Jangan biarkan dirimu lengah,” katanya kepada timnya, suara penuh peringatan. “Kita belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.”
Mereka melangkah lebih jauh, menyusuri jalanan yang penuh dengan struktur tak berbentuk, material yang tampak seperti kristal gelap yang menyerap cahaya. Begitu dekat dengan pusat, Alina bisa merasakan gelombang energi yang terdeteksi sebelumnya semakin menguat. Mereka menuju tempat yang lebih asing, lebih misterius, yang tampaknya tidak memiliki batasan ruang dan waktu.
Ketika mereka sampai di ujung lorong besar, sebuah pintu besar yang tampaknya terbuat dari materi yang lebih kuat daripada besi muncul di hadapan mereka. Pintu itu dipenuhi dengan simbol-simbol yang tampak hidup, bergerak perlahan seiring dengan getaran energi yang mengalir di ruang itu. Setiap simbol berkilau dengan cahaya biru redup, dan Alina bisa merasakan getaran itu dalam tubuhnya, seperti gelombang elektromagnetik yang meresap ke dalam setiap sel tubuhnya.
“Ini… ini pintu menuju pusatnya,” ujar Lia, yang masih tampak tertegun. “Apa yang akan kita temui di sana?”
Alina menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Kita tidak punya pilihan lain selain melangkah masuk. Jika kita tidak menutup portal ini, kegelapan yang menguasai dunia kita akan menjadi permanen.”
Dengan hati-hati, mereka mendekati pintu itu. Tidak ada kunci, tidak ada tombol yang bisa ditekan. Pintu itu terbuka dengan sendirinya begitu mereka mendekat. Sesuatu yang tidak mereka duga, sebuah mekanisme yang tampaknya dipicu oleh keberadaan mereka.
Pintu itu terbuka perlahan, menampakkan sebuah ruang yang jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan. Ruang itu tak terhingga, tampaknya tidak memiliki batasan. Di tengah ruang itu, sebuah struktur besar berdiri, terbuat dari material yang tidak bisa dijelaskan, seperti benda yang berasal dari masa depan atau bahkan dimensi lain. Di sekitar struktur itu, terdapat energi yang berputar, berkelok-kelok seperti aliran listrik yang tidak bisa dipahami.
Di atas struktur itu, sebuah bola energi besar melayang, mengeluarkan cahaya yang menakutkan. Cahaya itu tampaknya berasal dari sumber yang jauh lebih tua, jauh lebih kuat daripada apa pun yang mereka temui sebelumnya. Gelombang energi yang terus meningkat seolah-olah berasal dari bola tersebut, menyebar melalui seluruh ruang.
Alina menatap bola energi itu dengan rasa takut yang dalam. “Itu… itu pasti sumber dari Gelombang Kegelapan,” katanya, hampir berbisik.
“Tapi… apa yang kita lakukan sekarang?” tanya Daniel, suaranya penuh kebingungan. “Kita tahu ini sumbernya, tapi kita tidak tahu bagaimana cara menutupnya.”
“Coba lihat itu,” kata Lia sambil menunjuk ke bagian bawah struktur besar. Di sana, terlihat sebuah jalur energi yang mengalir menuju pusat bola energi. Jalur itu tampaknya berhubungan langsung dengan ruang yang lebih besar—mungkin sebuah mesin yang mengendalikan seluruh sistem ini.
Alina terdiam, matanya tertuju pada jalur energi itu. Itu mungkin satu-satunya cara untuk menghentikan sumber kegelapan ini. Tapi, di balik jalur itu, ada sesuatu yang lebih mengerikan—sesuatu yang menunggu mereka untuk melakukan kesalahan.
“Jika kita ingin menutupnya, kita harus menghancurkan jalur ini,” kata Alina dengan tegas. “Kita harus mencari cara untuk mengalihkan energi dari bola itu dan memutuskan sambungannya. Kita tidak bisa membiarkan sistem ini terus beroperasi.”
Tim mulai bergerak, masing-masing mencari cara untuk mencapai pusat energi. Namun, saat mereka mendekat, getaran yang semakin kuat membuat mereka hampir terjatuh. Energi yang mengalir di sekitar mereka semakin menyakitkan, seolah-olah energi itu sengaja menghalangi mereka untuk maju. Suara gemuruh mulai terdengar dari dalam bola energi, dan seketika itu juga, struktur besar di tengah ruangan mulai bergerak. Dari dalam struktur itu, muncul sesuatu yang sangat besar, tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Sosok itu berbentuk kabut gelap, menyerupai makhluk yang tidak bisa dimengerti oleh otak manusia. Ia terbuat dari energi murni, bergerak dengan cepat seperti angin yang mengamuk. Entitas itu mulai mengelilingi mereka, dan saat suara-suara berbisik terdengar di telinga mereka, Alina merasa seperti seluruh tubuhnya terperangkap dalam ilusi—sesuatu yang berusaha menguasai pikirannya.
“Kalian tidak bisa menghentikannya,” suara entitas itu bergema, terdengar seperti ribuan bisikan yang bercampur. “Kegelapan ini bukan hanya milik kalian. Ini adalah milik dunia yang lebih besar.”
“Tidak!” teriak Alina, berusaha mengendalikan diri. “Kami akan mengakhiri semuanya sekarang.”
Dengan tekad yang bulat, dia berlari menuju jalur energi yang mengarah ke pusat bola besar. Setiap langkah terasa seperti melawan gravitasi. Setiap langkah membawa mereka lebih dalam ke dalam kegelapan itu. Alina bisa merasakan detak jantungnya berdetak semakin cepat. Ini adalah titik kritis—mereka hanya memiliki satu kesempatan.
“Bantu aku, Daniel! Lia!” teriak Alina.
Daniel dan Lia segera mengikuti, membantu Alina untuk mencapai pusat jalur energi. Mereka mulai mengaktifkan perangkat yang telah mereka bawa, mencoba untuk menghentikan aliran energi yang terus mengalir. Dengan satu gerakan yang penuh keberanian, Alina menekan tombol yang ada di alat yang telah mereka pasang pada jalur energi itu.
Saat itu juga, seluruh ruang bergetar hebat. Bola energi yang mengarah ke dimensi lain mulai mengeluarkan cahaya yang sangat terang, lebih terang daripada yang pernah mereka lihat. Dan dalam sekejap, seluruh dimensi itu mulai hancur, seiring dengan gelombang cahaya yang merusak portal tersebut.
Namun, kegelapan itu belum sepenuhnya hilang. Alina dan timnya tahu bahwa perjuangan mereka baru saja dimulai.*
Bab 6: Pertempuran di Dimensi Lain
Ruang di sekitar mereka berguncang dengan kekuatan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Alina berdiri di tengah-tengah lapangan energi yang terus mengalir dan bergulung, tubuhnya terasa seperti terhimpit oleh tekanan yang datang dari segala arah. Cahaya dari bola energi besar itu semakin menyilaukan, membuat mereka hampir tak bisa melihat apa pun selain kilatan putih yang terus memancar.
Di sekeliling mereka, struktur besar yang sebelumnya tampak seperti kristal gelap kini mulai retak, menunjukkan adanya kekuatan yang jauh lebih besar dari yang bisa mereka duga. Entitas kabut gelap yang muncul dari dalam struktur itu berputar di sekitar mereka, matanya yang gelap seolah menembus kedalaman jiwa. Suaranya bergema di seluruh ruang, menggetarkan setiap inci tubuh mereka.
“Kalian tidak akan bisa mengalahkan kegelapan ini,” suara entitas itu bergema, terdengar seperti seribu bisikan yang bercampur. “Dimensi ini bukan milik kalian. Ia adalah milik yang lebih besar, yang jauh melampaui pemahaman kalian. Kegelapan ini adalah awal dari transformasi dunia yang lebih tinggi.”
Alina menggigit bibirnya, mencoba menahan ketakutan yang mulai merayapi dirinya. Dia tahu ini adalah saat-saat yang menentukan. Jika mereka gagal di sini, dunia mereka akan jatuh ke dalam kegelapan yang tidak akan pernah bisa dipulihkan.
“Jangan dengarkan dia!” teriak Daniel, berusaha menenangkan tim. “Kita tahu ini adalah perang untuk hidup kita! Ini bukan hanya tentang kita, tapi juga tentang seluruh umat manusia!”
Mata Alina membara dengan tekad. Mereka tidak bisa membiarkan kegelapan ini terus meluas, tidak hanya untuk mereka, tetapi untuk semua orang yang masih berjuang di dunia mereka yang kini terperangkap dalam gelombang kegelapan. Dia melihat ke arah bola energi besar itu—sumber dari semua kekacauan yang telah mengguncang dunia mereka.
“Kalau begitu, mari kita hentikan semuanya!” Alina berseru, suaranya penuh kebulatan tekad.
Dia berlari maju, dengan Daniel dan Lia mengikuti di belakangnya. Mereka telah mempersiapkan diri untuk menghadapi apa pun yang akan mereka temui. Alina tahu bahwa hanya dengan memutus aliran energi yang mengalir dari bola energi ini ke seluruh dimensi, mereka bisa mengakhiri semua ini.
Namun, begitu mereka mendekati bola energi itu, entitas kabut gelap itu meluncur cepat ke arah mereka, menghalangi jalan mereka dengan kekuatan yang sangat besar. Sepertinya makhluk itu menguasai setiap sudut ruang ini, mampu memanipulasi setiap elemen yang ada.
“Sia-sia,” suara entitas itu bergema, seolah-olah datang dari segala arah. “Kalian tidak tahu dengan apa kalian sedang berhadapan. Kegelapan ini tidak bisa dihentikan. Dia adalah kekuatan yang lebih tua dari waktu, yang bahkan alam semesta ini tidak mampu menahan.”
Alina merasakan getaran yang mengguncang tubuhnya. Setiap kata dari entitas itu seperti serangan mental yang mencoba merusak ketenangan pikirannya. Dia merasa dirinya semakin lemah, seolah-olah jiwanya sedang ditarik oleh kegelapan itu.
Tapi dia tidak akan menyerah. Tidak sekarang.
Dengan satu gerakan yang cepat, Alina mengeluarkan alat pemutus yang telah mereka persiapkan sebelumnya. Alat itu, meskipun kecil, dapat mengalihkan aliran energi yang berasal dari bola energi dan menonaktifkan sistem yang menghubungkannya dengan dunia mereka. Jika alat itu berhasil, maka portal ini akan hancur, dan kegelapan yang telah menguasai dunia mereka akan berhenti.
Namun, sebelum Alina sempat menekan tombol alat itu, entitas kabut gelap itu mengeluarkan raungan keras yang mengguncang seluruh ruang. Energi yang mengelilingi mereka berputar dengan kekuatan yang lebih besar, mengirimkan gelombang getaran yang luar biasa kuat. Cahaya yang berasal dari bola energi semakin mengeluarkan panas yang sangat tinggi, membakar udara di sekeliling mereka.
“Jangan berharap kalian bisa keluar hidup-hidup dari sini,” entitas itu berkata dengan penuh kebencian. “Kalian datang ke sini hanya untuk menghancurkan diri kalian sendiri. Kegelapan ini sudah melekat pada dunia kalian, dan tidak ada yang bisa menghentikannya. Semua yang kalian cintai akan hancur.”
Alina merasa tercekik oleh kata-kata itu. Dia tahu betapa besar ancaman yang mereka hadapi. Namun, meskipun rasa takut mulai merayapi tubuhnya, hatinya tetap teguh. Mereka tidak bisa mundur. Tidak ada jalan lain selain berjuang.
“Jangan biarkan dia menakut-nakuti kita!” teriak Lia. “Kita bisa menghentikan ini! Kita akan menghentikan kegelapan ini!”
Mereka bertiga saling bertukar pandang, dan dalam sekejap, mereka berlari menuju bola energi dengan seluruh kekuatan yang mereka miliki. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah medan gravitasi di dimensi ini semakin kuat, mencoba untuk menahan mereka.
Namun, tepat ketika mereka mencapai bola energi, entitas kabut gelap itu menembus ke tengah kelompok mereka. Dengan satu sentuhan, ia mengirimkan gelombang energi yang membuat Alina terlempar mundur. Rasa sakit yang luar biasa menyeluruh di seluruh tubuhnya. Punggungnya membentur lantai keras, dan alat pemutus yang dipegangnya hampir terlepas.
“Alina!” teriak Daniel, berlari menuju ke arahnya.
Tetapi entitas itu tidak memberikan mereka kesempatan. Ia meluncur cepat, berputar di sekitar mereka, dan menyebarkan kabut gelap yang menutupi seluruh ruang. Dalam sekejap, kabut itu memenuhi setiap celah, memenjarakan mereka dalam kegelapan yang total. Mereka tidak bisa melihat apa pun. Hanya ada rasa dingin yang menusuk kulit mereka, dan suara-suara bisikan yang membingungkan, mencoba mengacaukan pikiran mereka.
Namun, di tengah kegelapan yang menyelimuti, Alina bisa merasakan sebuah kekuatan yang muncul dari dalam dirinya. Sebuah kekuatan yang tak bisa dijelaskan, tetapi sangat nyata. Sesuatu yang tidak bergantung pada teknologi atau ilmu pengetahuan—tetapi lebih kepada keberanian dan tekad mereka untuk menyelamatkan dunia.
Dia meraih kembali alat pemutus itu, merasakan panas yang menyala di tangannya, dan menekan tombol yang ada di dalam alat itu.
Seketika, sebuah ledakan energi terjadi. Bola energi besar yang menguasai dimensi itu berguncang hebat, dan seluruh struktur yang mengelilinginya mulai hancur. Kabut gelap yang sebelumnya menyelimuti mereka mulai menghilang, tergantikan oleh cahaya terang yang memancar dari pusat bola energi. Segala sesuatu yang terhubung dengan gelombang kegelapan itu mulai terurai, seiring dengan hancurnya jaringan energi yang menghubungkannya dengan dunia mereka.
Namun, mereka belum aman.
Entitas kabut gelap itu meluncur keluar, berusaha menyerang mereka dengan kecepatan yang luar biasa. Tetapi saat-saat terakhir dari struktur dimensi ini mulai runtuh, entitas itu terseret oleh kekuatan ledakan yang luar biasa. Dalam sekejap, ia dihancurkan oleh energi yang keluar dari bola yang telah mereka lumpuhkan.
Dengan perasaan lega, Alina dan timnya terjatuh ke lantai, kelelahan setelah pertarungan yang begitu panjang dan berat. Namun, meskipun mereka berhasil menghancurkan sumber kekuatan ini, mereka tahu bahwa kegelapan itu tidak sepenuhnya hilang—mereka hanya berhasil menundanya.
Dimensi itu mulai retak dan hancur, dan mereka merasakan tarikan kuat yang membuat mereka terlempar keluar dari ruang itu, kembali ke dunia mereka. Dengan satu tarikan nafas panjang, mereka terjatuh kembali ke bumi, merasakan tanah yang keras di bawah mereka. Namun, meskipun dunia mereka telah selamat dari ancaman kegelapan, pertempuran ini belum berakhir.*
Bab 7: Keputusan Terakhir
Dunia mereka masih berputar dengan cara yang aneh. Alina merasa dirinya tersungkur ke tanah, tubuhnya terbaring lemas. Debu dan pecahan kristal dimensi yang mereka tinggalkan mengambang di udara, namun di sekitar mereka, dunia tampak seolah tak terpengaruh. Seolah-olah, meskipun portal telah hancur dan entitas kabut gelap telah dilenyapkan, sesuatu yang jauh lebih besar masih menunggu di luar sana, menanti untuk menguji tekad mereka sekali lagi.
Alina memejamkan matanya sejenak, merasakan rasa sakit yang menyebar di seluruh tubuhnya. Namun, rasa sakit itu tidak ada bandingannya dengan beban yang ada di pikirannya. Mereka telah berhasil menghancurkan bola energi yang menjadi pusat dari Gelombang Kegelapan, tetapi mereka tahu dengan pasti bahwa mereka hanya berhasil menunda kegelapan itu. Mereka hanya mengalihkan ancaman, bukan menghapusnya sama sekali.
Dia bisa mendengar suara gemericik angin yang membawa aroma asing, udara yang seakan tidak berasal dari dunia yang mereka kenal. Saat dia membuka matanya, Alina melihat langit yang berbeda. Bukan langit biru yang biasa dia lihat, tapi langit dengan warna ungu kehitaman yang tidak pernah ada di bumi mereka. Awan-awan gelap bergerak cepat, seolah melarikan diri dari sesuatu yang jauh lebih besar.
“Ini belum selesai, kan?” suara Daniel terdengar, dan Alina bisa merasakan kegelisahan dalam nada suaranya.
Alina duduk perlahan, masih merasa sedikit pusing. Dia menatap temannya yang sudah berdiri di dekatnya, menggenggam tangan alat pemutus yang digunakan untuk menonaktifkan portal. Lia juga tampak tak kalah terkejut, meskipun mereka semua sudah tahu bahwa meskipun portal itu telah dihancurkan, Gelombang Kegelapan masih akan terus membur mereka.
“Tidak,” jawab Alina dengan suara yang tegas, meskipun hatinya penuh keraguan. “Kami hanya mengalihkan ancaman. Ada sesuatu yang lebih besar yang sedang menggerakkan semua ini. Kegelapan ini bukan hanya tentang portal atau entitas itu… sesuatu lebih dalam yang tidak kita pahami sedang bekerja di balik semua ini.”
Daniel mengangguk perlahan. “Aku rasa kita tahu apa yang kamu maksud. Gelombang Kegelapan itu… itu bukan hanya sumber energi. Sepertinya itu adalah kekuatan yang lebih besar yang ingin menguasai semua dimensi. Kita belum menyelesaikan masalahnya.”
Lia mendekat, wajahnya yang biasanya penuh semangat kini tampak serius. “Tapi apa yang bisa kita lakukan? Portal itu sudah hancur, kita telah menghancurkan entitas itu. Kenapa kita masih merasa bahwa ini belum berakhir?”
Alina menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Seiring dengan hancurnya dimensi lain, dunia mereka tampak tidak terpengaruh langsung. Tetapi sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa mereka belum melihat seluruh gambaran. Gelombang Kegelapan mungkin telah terhenti, tapi itu adalah bagian dari kekuatan yang lebih besar.
“Lihat ke langit,” kata Alina perlahan, menunjuk ke atas. “Ini bukan dunia kita. Ini bukan tempat yang kita kenal. Dimensi ini—dunia yang kita injak sekarang—adalah bagian dari jaringan yang lebih besar. Ada sesuatu yang lebih besar yang menghubungkannya. Sesuatu yang tak terhitung banyaknya.”
Daniel mengikuti arah pandangnya, matanya terbuka lebar melihat langit yang berputar di atas mereka. Awan berwarna ungu gelap itu bergerak seolah memiliki hidupnya sendiri, dan meskipun tidak ada tanda-tanda langsung dari kekuatan yang mengancam, mereka bisa merasakannya. Kegelapan itu… masih ada.
“Tapi kita tidak tahu apa yang harus dilakukan, Alina,” kata Lia, suaranya penuh keraguan. “Apa yang harus kita hadapi berikutnya? Apa yang bisa kita lakukan lebih dari ini?”
Alina menatap mereka, matanya menguatkan keputusan yang ada di hatinya. Dia tahu ini adalah saat yang paling penting dalam perjalanan mereka. “Mungkin ini adalah keputusan terakhir yang harus kita ambil. Gelombang Kegelapan itu bukan hanya ancaman bagi dunia kita, tapi juga bagian dari kekuatan yang lebih besar yang bisa mengancam semua dimensi. Kita harus mencari cara untuk memutuskan sumbernya, lebih dalam dari apa yang sudah kita lakukan.”
Namun, keputusan ini tidak mudah. Mengetahui bahwa mereka harus mengambil langkah lebih jauh, lebih dalam, ke dalam inti dari kegelapan itu, membuat hati Alina ragu. Mereka tidak hanya harus menghadapi ancaman di dunia mereka, tetapi juga menjelajah ke tempat yang lebih jauh, ke dalam jaringan dimensi yang penuh bahaya. Apa yang akan mereka temui di sana? Dan apakah mereka akan mampu menghadapinya?
Sebelum sempat mengungkapkan keraguannya lebih jauh, suara tiba-tiba terdengar dari belakang mereka. Sesuatu yang membuat darah mereka membeku.
“Jika kalian berpikir itu sudah selesai, kalian sangat keliru.”
Mereka berbalik serentak. Dari antara reruntuhan dimensi yang masih mengalirkan energi suram, sebuah bentuk bayangan yang tinggi dan ramping muncul. Sebuah sosok dengan tubuh yang hampir transparan, seperti kabut gelap yang terjalin dengan energi yang tak terdefinisikan. Sosok itu bergerak perlahan, seolah berjalan di atas angin yang tak terlihat, dan matanya yang gelap menatap mereka tajam.
“Siapa… siapa kau?” tanya Daniel, suara tercekat. Mereka tahu mereka sudah menghadapi makhluk yang jauh lebih kuat dari yang mereka duga.
Sosok itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengangkat tangannya, dan seketika udara di sekitar mereka terasa lebih tebal, semakin menekan tubuh mereka. Alina bisa merasakan kekuatan itu mengalir melalui udara, seperti jari-jari yang menekan dada mereka, membuat sulit untuk bernapas.
“Kalian memang berhasil menghancurkan satu bagian dari kegelapan,” suara sosok itu bergema, seolah berasal dari segala penjuru. “Tetapi kalian hanya memutuskan satu tali dari jaring yang lebih besar. Jika kalian ingin menghentikan semuanya, kalian harus berhadapan dengan sesuatu yang jauh lebih tua, lebih kuat, dan lebih gelap.”
Dengan gerakan yang cepat, sosok itu melambaikan tangannya, dan seketika sebuah portal besar terbuka di depan mereka. Portal itu memancarkan cahaya yang begitu terang, tapi Alina bisa merasakan hawa dingin yang menusuk tulang dari dalamnya.
“Apakah kalian siap untuk menghadapi kegelapan yang sebenarnya? Atau apakah kalian akan memilih untuk mundur dan membiarkan dunia kalian jatuh ke dalam kehancuran total?” suara sosok itu terdengar semakin dalam, lebih penuh dengan ancaman.
Alina menatap portal itu, perasaan takut semakin menguat. Di satu sisi, dia tahu ini adalah satu-satunya cara untuk menghentikan segalanya. Namun, di sisi lain, keputusan ini akan membawa mereka ke dalam tempat yang jauh lebih berbahaya, lebih gelap, dan lebih tak terduga dari yang pernah mereka bayangkan.
Dia menoleh kepada Daniel dan Lia. Mereka sudah berada di titik yang tidak bisa mundur lagi. Mereka harus membuat pilihan. Ini adalah keputusan terakhir mereka. Keputusan untuk bertarung atau menyerah.
Lia menatap Alina, matanya penuh keyakinan. “Kita tidak bisa mundur sekarang, kan?”
Daniel mengangguk pelan. “Kita harus menghentikan semuanya. Apapun risikonya.”
Dengan tekad yang lebih kuat dari sebelumnya, Alina melangkah maju. “Kita akan pergi ke sana. Kita akan mengakhiri ini.”
Dan dengan langkah pertama itu, mereka memasuki portal yang mengarah ke kegelapan yang lebih dalam, menuju takdir yang tak bisa mereka hindari. Dunia mereka, dan seluruh dimensi, akan bergantung pada keputusan yang mereka ambil dalam pertempuran ini.*
Bab 8: Kembali ke Dunia Nyata
Pintu portal itu tertutup dengan suara yang menggelegar, meninggalkan mereka dalam kegelapan yang hampir mematikan. Alina, Daniel, dan Lia saling bertukar pandang, merasakan keheningan yang menghimpit. Mereka baru saja menyeberang ke dimensi lain, menuju inti kegelapan yang lebih dalam—tempat yang mereka tahu bisa menghancurkan dunia mereka jika mereka gagal. Namun, yang mereka rasakan bukan hanya ketakutan atau kelelahan, melainkan sebuah keinginan untuk menyelesaikan semua ini sekali dan untuk selamanya.
Setelah melalui pertarungan yang mengerikan di dunia yang tak dikenal itu, mereka akhirnya kembali ke titik ini: pintu gerbang yang menghubungkan mereka dengan dunia nyata. Namun, seiring dengan keberhasilan mereka menanggulangi ancaman di dimensi gelap itu, satu pertanyaan besar terus menghantui pikiran mereka—apakah dunia yang mereka kenal masih ada? Apakah mereka bisa kembali ke tempat yang dulu mereka tinggalkan, atau semuanya sudah berubah selamanya?
Alina menggenggam tangannya erat, berusaha menenangkan pikirannya. Rasa dingin yang mencengkeram tubuhnya semakin terasa seiring dengan semakin dekatnya mereka ke pintu gerbang itu. Dengan langkah yang hati-hati, mereka melangkah maju. Setiap detik terasa sangat panjang. Sesuatu tentang keheningan ini membuatnya merasa lebih terisolasi, lebih jauh dari kenyataan yang pernah mereka kenal.
Daniel menoleh, menatap wajah Alina dengan cemas. “Apa kita sudah siap untuk kembali?” tanyanya, suara berat dan penuh keraguan.
Alina menghela napas panjang. “Aku tidak tahu, Daniel. Tapi kita tidak punya pilihan lain. Kita harus kembali. Jika kita tidak, kegelapan itu bisa merembet lagi ke dunia kita. Kita harus menghentikannya di sini, dan sekarang.”
Lia, yang selama ini cenderung lebih optimis, kini terlihat lebih serius dari biasanya. “Kita sudah mengalahkan kegelapan itu di dimensi lain. Tapi jika kita kembali ke dunia nyata dan semuanya sudah berbeda, kita harus siap untuk menghadapi kenyataan itu.”
Mereka bertiga berhenti sejenak, saling berpandangan dengan kekhawatiran yang tertanam dalam hati mereka. Waktu di dimensi gelap itu berjalan berbeda, mereka tahu betul itu. Hari yang terasa seperti berbulan-bulan di sana, mungkin hanya beberapa jam yang berlalu di dunia mereka. Apakah dunia mereka akan sama seperti yang mereka tinggalkan? Ataukah perubahan yang mereka alami akan mengubah segala sesuatu?
Dengan tekad yang semakin kuat, Alina melangkah lebih jauh. Langkah mereka membawa mereka ke tengah lingkaran cahaya, pusat dari portal yang telah mereka buka. Cahaya itu semakin terang, memancarkan aura yang terasa seperti memanggil mereka, memberi mereka harapan dan ketakutan dalam waktu bersamaan. Dalam sekejap, cahaya itu mengelilingi mereka, menelan seluruh tubuh mereka dalam kilatan cahaya putih yang membutakan.
Ketika mereka membuka mata kembali, mereka terkejut melihat dunia yang begitu familiar, namun terasa berbeda. Mereka berdiri di tempat yang sama, di bumi yang mereka kenal, tetapi ada sesuatu yang salah. Tanah yang mereka injak tampak lebih gelap, seolah dibalut oleh bayang-bayang yang tidak bisa dijelaskan. Suasana sepi dan tidak ada tanda-tanda kehidupan di sekitar mereka. Tidak ada suara burung atau angin sepoi-sepoi yang biasa mereka dengar.
“Apa ini?” Daniel bertanya, suaranya penuh kekhawatiran. “Kenapa dunia kita terasa begitu… mati?”
Lia memandang sekeliling, matanya menyusut. “Ini… ini tidak mungkin. Dunia kita… seperti kehilangan semuanya.”
Alina merasakan hawa yang mencekam di sekitar mereka. Seolah, meskipun mereka telah kembali, ada sesuatu yang hilang. Suasana di sekitar mereka begitu sunyi, seolah-olah dunia ini tidak memiliki jiwa. Apakah ini efek dari pertarungan mereka? Ataukah Gelombang Kegelapan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan?
“Lihat,” kata Alina sambil menunjuk ke arah kota yang terlihat jauh di depan mereka. “Ada sesuatu yang aneh di sana.”
Kota yang mereka kenal tampak terbengkalai. Bangunan-bangunan yang dulu dipenuhi kehidupan kini tampak gelap dan rusak. Beberapa gedung tampak hancur, seakan baru saja diterjang badai. Jalan-jalan yang dulunya ramai kini sunyi senyap. Tidak ada kendaraan yang melintas, tidak ada orang yang terlihat.
“Mungkin… mungkin ini hanya ilusi,” Daniel berkata, mencoba meyakinkan dirinya. “Kita baru saja keluar dari dimensi yang aneh. Mungkin dunia ini belum benar-benar berubah.”
Namun, dalam hati Alina, dia tahu ini bukanlah ilusi. Ini adalah kenyataan yang harus mereka hadapi. Gelombang Kegelapan memang telah terhenti, tapi ada sesuatu yang lebih besar yang telah terjadi. Sesuatu yang mengubah dunia mereka. Dunia ini mungkin tidak bisa kembali seperti semula.
Mereka berjalan ke arah kota yang terbengkalai, setiap langkah mereka terdengar sangat keras di tengah keheningan yang menghantui. Mereka melewati jalanan yang dipenuhi debu, kaca pecah, dan reruntuhan bangunan. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka harapkan, tapi mereka tahu satu hal—dunia ini bukan dunia yang mereka tinggalkan.
“Tunggu,” Alina berhenti sejenak, merasakan sesuatu yang tidak beres. Dari kejauhan, dia melihat sebuah layar besar yang biasanya menampilkan berita atau informasi publik, kini menyala dengan cahaya yang redup. Namun, pesan yang ditampilkan di layar itu bukanlah pesan biasa. Pesan itu berbunyi: “Dunia telah berubah. Kegelapan itu telah meninggalkan bekasnya. Anda tidak bisa lari darinya.”
Alina menggenggam erat tangannya. “Ini bukan hanya tentang kita. Ini tentang dunia yang lebih besar, yang lebih luas. Kegelapan itu mungkin telah terhenti, tetapi bekasnya… akan terus ada. Dan kita harus memastikan agar itu tidak menguasai segalanya.”
Lia menatap layar dengan cemas. “Jadi, ini belum selesai?”
“Tentu saja belum,” jawab Alina dengan suara tegas. “Ini baru permulaan. Kegelapan itu mungkin telah dihentikan, tapi kita masih harus mencari tahu apa yang terjadi dengan dunia ini. Kita tidak bisa membiarkan dunia kita hilang seperti ini.”
Daniel dan Lia mengangguk, dan bersama-sama, mereka melangkah lebih jauh ke dalam kota. Walaupun mereka tahu dunia mereka telah berubah, mereka juga tahu bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki apa yang telah terjadi. Mereka tidak bisa membiarkan kegelapan menguasai dunia mereka, bahkan jika itu berarti mereka harus menghadapi kekuatan yang lebih besar lagi.
Dengan langkah penuh tekad, mereka melangkah menuju masa depan yang tak pasti, namun penuh harapan. Mereka telah kembali ke dunia nyata, tetapi perjuangan mereka masih jauh dari selesai. Dunia mereka mungkin telah berubah, namun mereka tidak akan membiarkan kegelapan merusak segalanya. Ini adalah pertarungan baru—pertarungan untuk dunia yang mereka cintai. Dan mereka akan melakukannya bersama-sama.*
Bab 9: Epilog – Bayangan yang Belum Usai
Di tengah malam yang sepi, Alina berdiri di atas atap gedung tinggi, menatap langit yang tak lagi cerah. Dunia yang dulu dipenuhi warna dan cahaya kini tampak suram dan terbungkus kabut kelam. Meskipun mereka telah kembali ke dunia nyata, dunia itu tak lagi sama. Dunia ini telah berubah—dengan cara yang tidak bisa dijelaskan sepenuhnya. Kegelapan yang mereka hadapi belum sepenuhnya hilang. Bayangannya masih ada, mengintai di balik segala sesuatu, menunggu kesempatan untuk bangkit kembali.
Alina menarik napas panjang, mencoba mencerna semua yang telah mereka lalui. Mereka telah bertarung melawan entitas kabut gelap di dimensi lain, menghancurkan portal yang menghubungkan dua dunia, dan memutuskan aliran energi yang mendalam. Namun, meskipun ancaman terbesar telah dihentikan, ada perasaan bahwa ini bukanlah akhir. Perasaan bahwa mereka masih berada di ujung sebuah perjalanan yang jauh lebih panjang dan berbahaya.
Dia mendengar suara langkah di belakangnya. Daniel, dengan wajah yang terlihat lelah namun penuh tekad, bergabung dengannya di atap. Meskipun mereka baru saja melewati salah satu pertempuran terbesar dalam hidup mereka, wajah Daniel tetap serius, seakan ia tahu bahwa masih ada sesuatu yang belum selesai.
“Kau tahu, aku selalu merasa dunia ini akan berubah setelah kita kembali,” kata Daniel dengan suara rendah. “Tapi aku tidak pernah menduga bahwa kegelapan itu akan meninggalkan bekas sepertinya.”
Alina menatapnya, lalu mengalihkan pandangannya ke bawah, ke kota yang kini tampak tak berjiwa. Semua tempat yang dulu dipenuhi keramaian dan kebahagiaan kini sunyi, terdiam dalam kesedihan yang tak terungkapkan. Warga kota yang dulunya penuh semangat kini tak terlihat lagi, dan jika ada, mereka tampak bergerak tanpa tujuan, seperti bayangan yang tersesat.
“Kegelapan itu tidak hanya meninggalkan bekas di dunia kita,” jawab Alina, suaranya hampir terdengar seperti bisikan. “Tapi juga di dalam diri kita. Di dalam setiap orang yang masih bertahan hidup.”
“Sepertinya kita belum benar-benar menang, ya?” tanya Daniel dengan nada yang penuh penyesalan. “Aku merasa seperti kita baru saja menghentikan satu bagian dari masalah, tapi belum memotong akar masalahnya.”
Alina menatap jauh ke depan, merasa beban yang lebih berat menekan pikirannya. “Aku tahu. Aku rasa ini adalah sebuah siklus yang tak akan pernah berhenti. Gelombang Kegelapan mungkin sudah tertahan, tetapi entitas yang kita hadapi—dan apa yang lebih besar di balik itu—masih ada di luar sana. Kegelapan itu selalu ada, bersembunyi di balik bayang-bayang dunia yang kita kenal.”
Lia tiba-tiba muncul di samping mereka, wajahnya penuh tekad. “Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?”
Alina menoleh, melihat mata temannya yang penuh semangat meskipun sudah terlihat kelelahan. “Kita harus mencari tahu lebih banyak. Kita harus mencari tahu siapa yang benar-benar mengendalikan Gelombang Kegelapan ini. Siapa yang mengirimkan entitas itu ke dunia kita dan mengapa mereka ingin menghancurkannya.”
“Kita tidak bisa hanya berdiam diri, kan?” Lia melanjutkan. “Kita sudah menghentikan ancaman langsung, tetapi ada sesuatu yang jauh lebih besar di luar sana. Aku merasa ini baru permulaan.”
Alina mengangguk pelan. “Kegelapan ini lebih besar dari yang kita bayangkan. Ini bukan hanya ancaman fisik, tapi juga sesuatu yang mengakar dalam dimensi yang lebih tinggi. Kita tidak tahu bagaimana cara menghadapinya, tapi kita harus menemukan cara. Karena jika kita tidak, dunia ini akan terus terperangkap dalam bayangan kegelapan.”
Daniel menatap mereka berdua, menimbang kata-kata itu. “Kita harus menemukan jawaban. Dunia ini mungkin terlihat biasa saja, tetapi kita tahu ada yang tidak beres. Setiap langkah kita, setiap keputusan yang kita buat, membawa kita semakin dekat ke inti masalah ini.”
“Aku rasa kita tidak akan bisa kembali ke dunia yang dulu kita kenal,” kata Alina, suara penuh keyakinan. “Ini adalah dunia baru, dunia yang terlahir dari kegelapan itu. Dan kita, kita adalah orang-orang yang harus menghadapi bayangan yang tersisa.”
Mereka berdiri dalam keheningan, menatap horizon yang jauh, di mana langit bertemu dengan kota yang suram. Dunia ini memang telah berubah, tetapi mereka tahu bahwa meskipun bayangan itu telah bersembunyi, ia belum pergi. Setiap sudut kota, setiap hembusan angin, mengingatkan mereka bahwa kegelapan itu tidak pernah benar-benar pergi.
Namun, di hati mereka, ada harapan. Mereka tahu bahwa jika mereka tetap bersatu, jika mereka terus berjuang bersama, mereka bisa menghadapi apa pun yang datang. Gelombang Kegelapan mungkin telah tertahan, tetapi mereka tidak bisa berdiam diri. Mereka harus terus mencari cara untuk mengungkap kebenaran yang lebih dalam, dan mengakhiri ancaman yang masih mengintai di luar sana.
Alina memandang langit yang semakin gelap, dan dengan suara yang tegas, ia berkata, “Ini bukan akhir. Ini baru permulaan.”
Beberapa minggu berlalu, dan meskipun kota kembali hidup, kehidupan di sana tidak pernah benar-benar pulih sepenuhnya. Pekerjaan mereka belum selesai. Alina, Daniel, dan Lia terus melangkah maju, mencari tahu lebih banyak tentang entitas yang mengendalikan Gelombang Kegelapan. Mereka mengumpulkan informasi, menyelidiki setiap jejak yang tersisa dari pertempuran mereka. Namun, setiap kali mereka merasa mereka telah menemukan satu jawaban, lebih banyak pertanyaan yang muncul.
Para ilmuwan yang mereka temui, yang semula skeptis tentang fenomena gelombang kegelapan, kini mulai percaya bahwa sesuatu yang lebih besar dari dimensi mereka sedang bekerja. Tidak ada penjelasan ilmiah yang memadai untuk apa yang mereka alami, tetapi mereka tahu satu hal: mereka harus terus bertarung. Dunia ini adalah medan pertempuran antara cahaya dan kegelapan, dan mereka adalah pejuang yang ditugaskan untuk menjaga keseimbangan.
Pada suatu malam, ketika mereka bertiga berkumpul di ruang bawah tanah yang kini mereka gunakan sebagai markas, Alina memandangi layar yang menunjukkan peta dunia. Peta itu berisi titik-titik yang menandakan lokasi-lokasi di seluruh dunia yang terpengaruh oleh gelombang kegelapan. Tetapi titik-titik itu semakin banyak, semakin tersebar luas, seolah-olah bayangan itu semakin mendekat.
“Kita tidak bisa mundur,” kata Alina, dengan suara penuh tekad. “Kegelapan itu masih ada. Dan kita harus memastikan agar dunia ini tidak jatuh ke dalamnya.”
Namun, meskipun mereka tahu tantangan ini masih jauh dari selesai, mereka juga tahu bahwa mereka tidak akan pernah menghadapi kegelapan itu sendirian. Mereka punya satu sama lain—dan itu adalah harapan mereka yang terakhir.
Ketika matahari terbenam di balik horizon, menyelimuti kota dengan bayangan panjang, mereka tahu bahwa perjalanan mereka belum berakhir. Bayangan yang belum usai terus mengintai, menunggu saat yang tepat untuk melangkah keluar dari kegelapan.
Dan mereka, Alina, Daniel, dan Lia, siap untuk bertempur lagi.***
——-THE END——–