Bab 1: Pertemuan yang Aneh
Suasana warung kopi itu tidak berbeda dari biasanya. Sinar matahari yang cerah menerobos celah jendela, menyoroti cangkir-cangkir kopi yang berjejer di meja-meja kayu. Di sudut ruangan, ada aku yang duduk dengan santai, menikmati secangkir kopi hitam pekat yang baru saja disajikan. Aku membuka laptop, berusaha menyelesaikan beberapa pekerjaan menulis yang belum terselesaikan. Namun, pikiranku mulai melayang, lebih memilih untuk mengamati sekeliling daripada menatap layar komputer.
Warung kopi ini selalu menjadi tempat yang nyaman untukku. Tempat di mana aku bisa melarikan diri sejenak dari rutinitas sehari-hari. Pagi itu, hanya ada beberapa pelanggan yang duduk tersebar, sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Satu meja di dekat pintu diisi oleh seorang pria paruh baya yang tampak terhanyut dalam buku yang sedang dibacanya, sementara seorang ibu muda duduk di meja lain bersama anaknya yang berlarian dengan ceria.
Tiba-tiba, pintu warung berderik pelan, menarik perhatian semua orang. Seorang pria masuk dengan langkah tergesa-gesa. Dia mengenakan jaket hitam yang tampaknya sedikit kebesaran di tubuhnya dan kacamata hitam meskipun hari itu cukup cerah. Tanda-tanda ketergesa-gesaannya terlihat jelas di wajahnya yang tampak cemas, seolah-olah ada sesuatu yang sangat penting yang ingin dia lakukan di sini.
Aku hanya melirik sekilas dan kembali fokus pada pekerjaan yang tertunda. Tidak ada yang aneh dengan pria itu, kecuali aura kegelisahan yang tampak menyelimutinya. Dia memilih meja yang agak jauh dari orang lain, duduk dengan cepat, lalu menarik napas dalam-dalam seolah-olah mencoba menenangkan diri. Ada sesuatu yang sedikit tidak biasa dengan gerak-geriknya—sesuatu yang membuatku merasa ada yang aneh.
Aku tidak peduli pada awalnya, tetapi semakin lama aku memperhatikan, semakin jelas bahwa pria ini tidak seperti pelanggan biasa. Dia menatap sekeliling ruangan, kemudian beralih menatap layar ponselnya sejenak, dan kembali lagi memindai ruang di sekitar meja. Setelah beberapa saat, dia berdiri dan berjalan ke arah kasir. Semua ini tidak terlalu mencurigakan, hingga saat dia memesan jus jeruk. Suaranya terdengar sedikit terburu-buru, seperti orang yang terdesak waktu. Sementara pelayan menyiapkan pesanan, pria itu berdiri di dekat meja kasir, sesekali melirik ke sekeliling, seolah waspada terhadap sesuatu.
Aku mencoba untuk mengabaikan rasa penasaran yang mulai mengusikku, tetapi tak bisa menahan diri untuk tidak mengamatinya. Pria itu tampaknya sangat cemas. Ada sesuatu dalam caranya bergerak—terlalu hati-hati, terlalu waspada. Ketika pelayan menyerahkan jus jeruknya, pria itu mengambilnya dengan cepat, lalu berjalan kembali ke meja dengan langkah cepat.
Namun, alih-alih duduk langsung, dia berdiri sejenak di depan mejaku. Aku merasa sedikit terkejut, tapi aku berusaha tidak menunjukkan rasa cemas. Dengan sedikit kebingunganku, pria itu tersenyum tipis, lalu berkata dengan nada rendah, “Maaf, kamu tidak akan percaya apa yang terjadi padaku.”
Aku mengerutkan kening. Tanpa tahu kenapa, rasa penasaran mulai menguasai diriku. Biasanya, aku tidak terlalu tertarik untuk berbicara dengan orang asing di warung kopi ini, tetapi ada sesuatu yang aneh tentang pria ini, sesuatu yang membuatku merasa bahwa ada alasan dia mendekat. Aku mengangguk perlahan, memberi isyarat bahwa aku mendengarkan.
“Ini mungkin terdengar gila, tapi percayalah, aku bukan orang jahat. Aku… aku pencuri,” kata pria itu, suara serak, hampir tidak bisa dipercaya. Aku menatapnya, mencoba mencerna kata-katanya. Pencuri? Apa maksudnya? Apakah dia bercanda?
Namun, pria itu tampak sangat serius. Tidak ada gurauan di wajahnya, hanya sebuah ekspresi cemas yang begitu nyata. Dia melanjutkan, “Tapi bukan pencuri biasa. Aku… aku mencuri sesuatu yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Aku mencuri energi orang-orang.”
Aku terdiam. Awalnya, aku berpikir dia sedang bercanda atau mungkin mencoba mengerjai aku. Namun, tatapan seriusnya membuatku ragu untuk langsung menganggap ini sebagai lelucon. “Energi? Maksudmu, seperti energi fisik?” tanyaku, setengah tidak percaya. “Kamu bilang kamu mencuri energi orang?”
Dia mengangguk pelan, terlihat ragu untuk melanjutkan cerita, seolah takut jika aku akan menganggapnya gila. “Aku tahu ini terdengar aneh, tapi aku tidak bisa menjelaskan dengan cara lain. Setiap kali aku berada di dekat seseorang, aku… aku bisa merasakan energi mereka, dan tanpa sadar, aku mulai mengurasnya. Aku membuat mereka merasa lelah, tanpa mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Aku mulai merasa kebingungan. “Tapi… kenapa kamu melakukan itu? Bukankah itu salah?”
Pria itu tampak menghela napas panjang, lalu menundukkan kepalanya. “Aku tidak pernah berniat untuk melakukannya. Awalnya, aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku hanya merasa lelah setiap kali berada di sekitar orang lain. Namun, semakin lama, aku menyadari bahwa aku bisa merasakan energi mereka. Itu terjadi begitu alami, seolah-olah aku tidak bisa mengontrolnya. Aku… aku tidak tahu harus bagaimana.”
Aku mendengarnya dengan seksama. Dia bukan pencuri biasa, itu pasti. Apa yang dia katakan benar-benar tidak masuk akal, tetapi ada sesuatu dalam cara dia berbicara yang membuatku merasa bahwa dia tidak sedang berbohong. Perasaan cemas yang dia rasakan begitu tulus, seolah dia sangat ingin berhenti, tetapi tidak tahu caranya.
Saat itu, aku mulai merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di balik pertemuan ini. Kenapa dia muncul di sini, di warung kopi yang biasa aku kunjungi setiap hari? Kenapa sekarang? Semua pertanyaan itu berkecamuk dalam pikiranku, dan aku merasa harus mengetahui lebih lanjut tentang pria ini. Aku memutuskan untuk memberinya kesempatan untuk menjelaskan lebih jauh.
“Jika kamu benar-benar ingin berhenti, mungkin aku bisa membantu. Ceritakan lebih banyak tentang dirimu,” kataku, mencoba menunjukkan rasa empati.
Pria itu menatapku dengan sedikit rasa terkejut, seperti tidak percaya ada seseorang yang mau mendengarkan ceritanya. “Terima kasih,” katanya pelan, kemudian ia mulai menceritakan lebih banyak tentang dirinya—tentang bagaimana hidupnya berubah sejak ia menyadari kekuatan itu, dan bagaimana ia mulai mencari cara untuk mengendalikannya.
Dan dari sanalah, kisah kami dimulai—kisah tentang pencuri energi yang berusaha mencari cara untuk mengendalikan kekuatannya, dan bagaimana hidupku akan terjalin dalam perjalanan itu.
Bab 2: Kejadian Tak Terduga
Keesokan harinya, pria itu kembali ke warung kopi yang sama. Aku sempat merasa ragu untuk datang, tetapi rasa penasaran yang semakin menggelora mendorongku untuk kembali ke tempat itu. Sepertinya aku tidak bisa melepaskan apa yang baru saja kudengar kemarin. Tentang dirinya yang mengaku sebagai pencuri energi. Tentang kisahnya yang tampaknya tidak mungkin, tetapi tetap membekas dalam pikiranku. Aku tahu aku harus mencari tahu lebih banyak, dan mungkin, hari ini akan memberiku jawaban yang lebih jelas.
Saat aku memasuki warung kopi, aku melihatnya langsung—pria itu duduk di meja yang sama dengan kemarin, memesan secangkir teh hijau. Kali ini, ekspresinya tampak lebih tenang, meskipun ada sedikit keringat di dahinya. Seperti kemarin, dia mengenakan jaket hitam yang terlihat sedikit kebesaran. Matanya, yang terhalang oleh kacamata hitam, tidak menghadapku. Seolah dia merasa tidak ingin menarik perhatian lebih.
Aku merasa sedikit ragu untuk mendekat, tetapi entah kenapa, langkahku terasa semakin mantap. Aku berjalan ke mejanya dan duduk di seberang, mencoba membuat suasana menjadi sedikit lebih nyaman. Setelah meletakkan cangkir kopi di meja, aku menatapnya.
“Aku tahu ini mungkin terdengar aneh,” katanya pelan, menyadari bahwa aku duduk di depannya, “tapi kemarin aku terlalu terburu-buru untuk menjelaskan semuanya.”
Aku tersenyum ringan, mencoba mengurangi ketegangan. “Tidak masalah, aku malah ingin mendengar lebih banyak. Jadi, kamu bilang kamu… bisa mencuri energi orang?”
Dia mengangguk pelan. “Aku tahu ini tidak mudah dipercaya, tapi percayalah, ini bukan kebetulan. Aku sudah merasakannya sejak lama. Semua ini bermula saat aku masih kecil. Dulu, aku sering merasa sangat lelah setelah berada di sekitar orang. Mereka tampak tidak begitu lelah, tetapi aku merasakan kelelahan yang luar biasa.”
Aku mengerutkan kening, mendengarkan dengan seksama. “Lalu, apa yang terjadi setelah itu?”
“Seiring waktu,” lanjutnya, “aku mulai menyadari bahwa kelelahan itu bukanlah milikku. Aku mulai merasakan bahwa ada sesuatu yang aneh dalam interaksiku dengan orang lain. Aku bisa merasakan energi mereka, dan entah bagaimana, aku mulai mengurasnya sedikit demi sedikit. Bahkan tanpa sadar, aku membuat mereka merasa lebih lelah setelah berbicara denganku.”
“Jadi, kamu tidak pernah tahu kenapa itu bisa terjadi?” tanyaku, semakin penasaran.
Dia menggelengkan kepala. “Tidak. Aku merasa seperti ada yang mengendalikan diriku, tetapi aku tidak tahu siapa atau apa itu. Aku ingin berhenti, tapi rasanya sulit sekali. Bahkan ketika aku mencoba menghindari orang, aku tetap merasa lelah, seperti ada sesuatu yang terus menarikku untuk berinteraksi.”
Aku terdiam, mencoba memahami apa yang dia katakan. “Tapi… kenapa kamu tidak pernah mencari pertolongan?”
“Aku pernah mencoba,” jawabnya, suaranya terdengar penuh penyesalan. “Aku pergi ke beberapa terapis, bahkan ke orang yang mengklaim bisa membaca energi. Mereka bilang, aku terlalu banyak mengambil energi orang lain dan perlu belajar untuk mengendalikan itu. Tapi, tidak ada yang bisa memberiku jawaban yang jelas.”
Aku mulai merasa kasihan padanya. Tidak mudah menjalani hidup seperti itu—terus-menerus merasa bersalah dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. “Tapi, kamu tidak benar-benar ingin melakukannya, kan? Kamu tidak ingin mencuri energi orang.”
Dia mengangguk cepat. “Aku benci melakukannya, tapi itu terjadi begitu saja. Aku tidak bisa mengendalikan diriku, dan aku takut kalau ini terus berlanjut, aku bisa merusak hidup orang lain. Aku merasa terjebak.”
Aku bisa merasakan kepedihan dalam suaranya. Ada kebenaran dalam kata-katanya, dan sejujurnya, aku mulai merasa simpati kepadanya. Mungkin dia benar-benar membutuhkan bantuan. Aku bertanya-tanya, apakah ada cara untuk membantu seseorang yang mengalami hal seperti ini.
“Apa kamu sudah mencoba untuk… menghindari berinteraksi dengan orang?” tanyaku.
“Aku sudah mencoba,” jawabnya, “tapi itu tidak mudah. Bahkan ketika aku sendirian, aku merasa ada sesuatu yang hilang. Aku merasa seperti ada kekosongan yang harus aku isi dengan berinteraksi dengan orang lain, walaupun itu membuat mereka lelah.”
Aku berpikir sejenak, mencerna semua informasi yang baru kudengar. “Kamu bilang kamu ingin berhenti, kan? Mungkin kita bisa mencari solusi bersama. Aku tidak tahu apakah ada yang bisa membantumu, tapi jika kamu ingin berusaha, aku akan mendukungmu.”
Wajah pria itu tampak sedikit terkejut. Seolah dia tidak menyangka ada seseorang yang akan membantunya. “Kamu benar-benar akan membantu?” tanyanya, suara penuh keraguan.
Aku tersenyum. “Tentu. Aku tidak tahu harus mulai dari mana, tapi aku yakin kita bisa mencari jalan keluar. Semua orang pantas mendapat kesempatan kedua, kan?”
Setelah itu, dia terdiam, seakan merenung. Aku tahu bahwa hidupnya pasti penuh dengan ketidakpastian, dan mungkin dia merasa kesepian karena tidak bisa berbagi beban ini dengan siapapun. Tetapi, aku ingin menjadi seseorang yang bisa membantunya keluar dari kegelapan ini, atau setidaknya memberinya harapan bahwa hidupnya bisa berubah.
Hari itu, kami mulai merencanakan langkah-langkah kecil yang bisa kami ambil untuk membantunya mengontrol kekuatannya. Aku mencari informasi tentang teknik-teknik meditasi, pelatihan energi, dan bahkan beberapa metode pengobatan alternatif yang bisa membantunya memahami apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Kami bahkan sepakat untuk berkonsultasi dengan seorang ahli energi yang lebih berpengalaman.
Namun, meskipun kami merencanakan semua itu, aku tahu ini bukanlah perjalanan yang mudah. Mungkin akan ada kegagalan, mungkin ada saat-saat di mana dia merasa putus asa. Tetapi yang paling penting, kami mulai perjalanan ini bersama, dan itu memberi aku keyakinan bahwa ada jalan untuknya keluar dari situasi ini.
Pria itu, yang ternyata memiliki beban yang lebih berat dari yang aku bayangkan, mulai menunjukkan tanda-tanda kelegaan. Mungkin, hanya dengan sedikit pengertian dan dukungan, dia bisa belajar untuk mengendalikan kekuatannya. Dan aku, sebagai orang yang baru mengenalnya, merasa diberkati bisa menjadi bagian dari proses itu.
Di warung kopi itu, aku tidak hanya menemukan seorang pria yang ingin berhenti mencuri energi orang lain, tetapi juga seorang teman yang membutuhkan bantuan untuk menemukan kedamaian dalam hidupnya. Kami berdua tahu bahwa jalan yang akan kami lalui tidak mudah, tapi setidaknya kami tidak sendirian lagi.
Bab 3: Pengakuan Pencuri Sehat
Hari-hari berlalu setelah pertemuan aneh kami di warung kopi itu, dan aku mulai merasa semakin terhubung dengan pria itu. Nama yang akhirnya dia sebutkan kepadaku adalah Ardi. Awalnya, aku tidak begitu yakin apakah aku bisa membantu menyelesaikan masalahnya, tapi semakin aku mendengarkan cerita-ceritanya, semakin aku merasa bahwa ini bukan sekadar lelucon atau fantasi. Ardi benar-benar merasa terperangkap dalam kemampuan yang tidak bisa dia kendalikan. Dan meskipun terdengar mustahil, aku mulai percaya bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang terjadi padanya.
Seminggu setelah pertemuan pertama kami, aku mengundangnya lagi ke warung kopi untuk melanjutkan pembicaraan kami. Waktu itu, Ardi sudah tampak sedikit lebih rileks, meskipun ekspresinya tetap serius. Dia duduk di seberang mejaku, kali ini mengenakan kaos berwarna abu-abu dan celana jeans, yang tampaknya lebih nyaman daripada jaket hitam tebal yang biasa dia kenakan.
“Jadi, apa yang telah kamu coba lakukan sejak kita terakhir berbicara?” tanyaku, ingin tahu apakah dia sudah mencoba langkah-langkah yang kami diskusikan sebelumnya.
Ardi menghela napas panjang, matanya tampak lelah meskipun tidak ada tanda-tanda fisik yang jelas. “Aku sudah mencoba beberapa hal,” katanya pelan, “tapi aku merasa seperti sedang berjalan di tempat. Aku merasa sedikit lebih tenang ketika aku sendirian, tetapi begitu aku berada di keramaian, aku kembali merasakan dorongan untuk berbicara dengan orang lain. Dan begitu aku mulai berbicara, aku mulai merasakan energi mereka mengalir ke tubuhku, membuatku semakin lelah.”
Aku mengangguk, mencerna kata-katanya. “Apa kamu sudah mencoba latihan meditasi atau sesuatu yang bisa membantumu menenangkan pikiranmu?”
Ardi menggelengkan kepala. “Aku sudah mencoba meditasi, tetapi entah kenapa aku selalu merasa semakin tertekan. Seperti ada suara yang terus mendorongku untuk berinteraksi dengan orang-orang, bahkan ketika aku tidak ingin melakukannya.”
Rasa simpatiku kepada Ardi semakin besar. Aku bisa merasakan betapa berat beban yang dia bawa setiap harinya. Tidak hanya dia merasa bersalah karena tanpa sengaja menguras energi orang lain, tetapi dia juga merasa terjebak dalam sebuah pola yang tidak bisa dia kendalikan. Setiap pertemuan dengan orang lain membuatnya merasa semakin kelelahan. Namun, apa yang lebih mengganggu adalah ketidakmampuannya untuk mengendalikan dorongan itu.
“Apa ada waktu tertentu di mana kamu merasa lebih baik?” tanyaku, mencoba menemukan pola atau momen ketika Ardi merasa bisa lebih mengontrol diri.
“Pagi hari,” jawabnya dengan cepat, “pagi hari adalah waktu ketika aku merasa lebih segar. Aku merasa lebih mudah mengendalikan diriku sebelum dunia mulai berputar dan keramaian datang. Namun, begitu orang mulai berdatangan, aku merasa seperti terjun ke dalam pusaran energi yang sulit aku hindari.”
Aku berpikir sejenak. Jika pagi hari adalah waktu di mana Ardi merasa lebih baik, mungkin itu adalah kesempatan untuk membantunya belajar bagaimana menjaga keseimbangannya. Aku menceritakan kepadanya tentang beberapa teknik pernapasan yang bisa membantu seseorang untuk fokus, dan bagaimana menjaga jarak dengan keramaian bisa memberi waktu untuk mereset energi dirinya.
Namun, Ardi tampaknya masih ragu. “Aku merasa seperti ini sudah bagian dari diriku. Bagaimana jika ini adalah takdirku? Bagaimana jika aku tidak bisa mengubahnya?” Suaranya terdengar penuh keputusasaan.
Aku bisa melihat bahwa Ardi mulai merasa putus asa. Ini bukanlah masalah biasa, dan meskipun kami sudah mencoba berbicara tentang cara-cara untuk mengendalikan kekuatannya, aku tahu bahwa dia membutuhkan lebih dari sekadar kata-kata penghiburan. Aku perlu membantunya menemukan cara untuk memahami dirinya sendiri lebih baik lagi.
“Aku tidak tahu jika ini adalah takdirmu,” jawabku dengan tegas. “Tapi satu hal yang aku tahu pasti adalah kamu tidak sendirian. Kita semua memiliki tantangan dalam hidup ini, dan kita bisa belajar bagaimana menghadapinya. Kamu bukan satu-satunya yang merasa terjebak dalam sesuatu yang tidak bisa dikendalikan, dan mungkin ini adalah kesempatan untuk menemukan siapa dirimu sebenarnya.”
Ardi menatapku, matanya seolah mencari jawaban yang lebih pasti, tetapi aku bisa melihat ada sedikit harapan di sana. “Mungkin kamu benar,” katanya pelan. “Aku tidak pernah berpikir untuk mencari cara lain, selain hanya menghindari orang atau mencari cara cepat untuk ‘melepaskan diri’ dari rasa lelah itu.”
“Aku tahu itu sulit,” lanjutku, “tapi kamu harus belajar untuk menemukan kekuatan dalam dirimu. Mungkin, alih-alih menghindari orang, kamu bisa belajar bagaimana berinteraksi dengan mereka dengan cara yang lebih sehat, tanpa mengambil energi mereka. Itu akan membutuhkan waktu dan latihan, tapi aku percaya kamu bisa melakukannya.”
Ardi terdiam sejenak, seakan merenung. Mungkin dia mulai mempertimbangkan apa yang aku katakan. Atau mungkin dia hanya kelelahan dan ingin percaya bahwa ada jalan keluar dari masalah ini. Aku tahu, pada titik ini, bahwa Ardi membutuhkan lebih banyak dari sekadar saran. Dia membutuhkan dukungan yang lebih nyata, seseorang yang bisa membantunya menjalani setiap langkah.
Hari itu, kami sepakat untuk berusaha lebih keras. Kami mulai berbicara tentang berbagai cara untuk melatih kendali diri, mulai dari latihan pernapasan hingga berbicara dengan orang-orang yang lebih berpengalaman dalam hal energi. Kami juga mulai mencari ahli yang bisa membantunya mengerti lebih dalam tentang kekuatan yang dia miliki.
Meskipun perjalanan ini baru saja dimulai, aku merasakan adanya perubahan kecil dalam diri Ardi. Dia mulai lebih terbuka untuk mencoba sesuatu yang baru, untuk tidak lagi terjebak dalam rasa takut akan kekuatan yang dia tidak bisa kontrol. Dan aku, yang sebelumnya hanya seorang pengamat, mulai merasa seperti bagian dari perubahan besar dalam hidupnya.
Pada akhirnya, mungkin perjalanan ini akan lebih lama dan penuh tantangan daripada yang aku bayangkan. Tetapi satu hal yang pasti: Ardi tidak lagi merasa sendirian. Kami berdua akan berusaha menghadapinya bersama, melangkah satu langkah pada satu waktu. Dan mungkin, hanya mungkin, ini adalah langkah pertama menuju kebebasan dari kekuatan yang selama ini membebani hidupnya.
Bab 4: Menghadapi Bayangan
Pagi itu, warung kopi terasa lebih sepi dari biasanya. Hanya ada beberapa pelanggan yang duduk di meja, sibuk dengan pekerjaan mereka, sementara aku sudah tiba lebih awal dari biasanya. Perasaan cemas dan penuh harapan menghantuiku. Ardi sudah menyepakati untuk datang lebih pagi dan mencoba beberapa teknik pernapasan yang kuajurkan. Aku bisa melihat perubahan sedikit demi sedikit pada dirinya, meskipun dia masih merasa ragu apakah itu akan cukup untuk mengendalikan kekuatannya.
Ardi masuk seperti biasa, mengenakan kaos berwarna abu-abu dan celana jeans, tampak sedikit lebih rileks dibandingkan pertemuan sebelumnya. Matanya, meskipun tidak terlihat jelas karena kacamata hitam yang dia kenakan, tampak lebih tenang. Dia berjalan ke mejaku dengan senyum tipis, yang meskipun tidak lebar, tetap menunjukkan adanya secercah harapan.
“Hai, kamu sudah siap?” tanyaku sambil memberinya tempat duduk di seberangku.
Ardi duduk dengan pelan, mengangguk. “Aku merasa sedikit lebih baik, meskipun belum sepenuhnya yakin. Tapi aku akan mencoba,” jawabnya, suaranya terdengar lebih tenang daripada sebelumnya.
Aku mengangguk, memberi isyarat untuk memulai percakapan. “Baiklah, hari ini kita akan mulai latihan pernapasan. Ini mungkin terdengar sederhana, tetapi banyak orang merasa lebih tenang setelah mencobanya. Fokus pada napasmu, dan biarkan tubuhmu merasa lebih rileks.”
Ardi menatapku dengan serius, lalu menutup matanya. Aku bisa melihat dia mencoba menenangkan diri, meskipun ada ketegangan di wajahnya. Aku memulai dengan instruksi yang sederhana, mengajaknya untuk menarik napas dalam-dalam melalui hidung, menahan beberapa detik, lalu menghembuskannya perlahan melalui mulut. Kami mengulangnya beberapa kali, dan meskipun suasana terasa sedikit canggung, aku bisa merasakan sedikit perubahan di dirinya.
Namun, tiba-tiba Ardi membuka matanya dan berkata dengan cemas, “Aku merasa ada sesuatu yang aneh. Semakin aku berusaha fokus, semakin aku merasa ada sesuatu yang mengganggu.”
Aku menatapnya, mencoba untuk mengerti. “Apa yang kamu rasakan? Coba jelaskan lebih detail.”
Ardi tampak bingung. “Aku merasa seperti ada sesuatu yang menekan dadaku. Seperti ada energi yang mengalir ke dalam diriku tanpa bisa aku kontrol. Aku tidak tahu apakah itu energi milikku atau energi orang lain, tapi aku merasa semakin tertekan.”
Aku terdiam sejenak, menyadari bahwa ini mungkin lebih rumit daripada yang kukira. Meskipun teknik pernapasan seharusnya membantu menenangkan, tampaknya ada sesuatu yang lebih besar yang mengganggu Ardi. Sesuatu yang tidak bisa dia kendalikan hanya dengan mengatur napasnya.
“Ada kemungkinan bahwa itu bukan hanya energi orang lain,” kataku hati-hati. “Mungkin itu adalah bagian dari dirimu yang belum kamu pahami sepenuhnya. Sesuatu yang lebih dalam dan perlu diselidiki.”
Ardi mengangguk, meskipun tampak kebingungan. “Apa maksudmu? Aku merasa seperti aku terjebak dalam tubuhku sendiri. Setiap kali aku berusaha untuk tenang, aku merasakan dorongan kuat untuk mengambil energi orang lain.”
Aku menatapnya, berpikir sejenak. “Ardi, mungkin masalah utamanya bukan hanya bagaimana mengendalikan energi orang lain. Mungkin, yang lebih penting adalah bagaimana kamu memahami energi dalam dirimu sendiri. Kalau kita tidak memahami apa yang ada di dalam kita, kita tidak akan bisa mengendalikan apa yang datang dari luar.”
Ada keheningan yang panjang di antara kami. Ardi menundukkan kepalanya, tampaknya mencerna kata-kataku. Aku tahu bahwa dia sudah berusaha keras untuk mengendalikan dirinya, tetapi kenyataannya tidak semudah itu. Ada sesuatu yang lebih dalam yang dia takutkan, dan itu adalah bayangannya sendiri.
Aku melanjutkan, “Kita perlu menggali lebih dalam tentang dirimu, Ardi. Ini bukan hanya soal menghindari orang atau berusaha mengendalikan dorongan itu. Ini soal menerima bagian dari dirimu yang selama ini kamu hindari.”
Ardi mengangkat wajahnya, menatapku dengan tatapan yang sulit kubaca. “Bagian dari diriku yang aku hindari? Apa maksudmu?”
Aku menarik napas panjang, merasa penting untuk menjelaskan ini dengan hati-hati. “Kadang-kadang, kita memiliki sisi dalam diri kita yang kita takuti. Mungkin itu adalah sisi yang membuat kita merasa tidak aman, tidak berdaya, atau bahkan bersalah. Energi yang kamu ambil dari orang lain, mungkin itu adalah cerminan dari rasa takut dan kekosongan yang kamu rasakan. Kalau kita tidak menghadapinya, kita tidak akan bisa melepaskannya.”
Ardi terdiam, matanya tampak sedikit terbelalak. Aku bisa merasakan ketegangan dalam dirinya. Sebuah ketakutan yang dalam, yang mungkin selama ini dia simpan rapat-rapat.
“Apa yang harus aku lakukan?” tanyanya akhirnya, suaranya terdengar lebih pelan dan penuh keraguan.
Aku menghadapinya dengan penuh perhatian. “Kita harus mulai dengan menghadapi bayangan itu. Mungkin ini adalah saat yang tepat untuk benar-benar memahami apa yang membuatmu merasa kosong atau tidak terkendali. Jika kita bisa memahami ketakutan itu, kita bisa mulai melepaskannya.”
Ardi menatapku, ragu-ragu. “Aku takut apa yang akan aku temui jika aku benar-benar melihat apa yang ada dalam diriku. Apa jika aku tidak bisa menghadapinya?”
Aku mengangkat bahu dengan tenang. “Kadang-kadang, kita tidak bisa mengontrol apa yang datang, tetapi kita bisa mengontrol bagaimana kita meresponsnya. Tidak ada yang salah dengan merasa takut, Ardi. Yang penting adalah kita tidak membiarkan rasa takut itu menguasai kita.”
Ardi terdiam lama, dan untuk beberapa detik, aku bisa merasakan ketegangan di udara. Aku tahu bahwa dia sedang berjuang dengan perasaannya sendiri, mencoba menemukan keberanian untuk menghadapi bagian dari dirinya yang selama ini dia hindari.
Akhirnya, setelah beberapa waktu yang terasa sangat lama, Ardi mengangkat kepala dan berkata, “Aku siap mencoba. Mungkin ini adalah saatnya untuk menghadapi diriku yang sebenarnya.”
Aku tersenyum, merasa lega melihatnya akhirnya siap untuk menghadapi ketakutannya. “Aku akan membantumu, Ardi. Bersama-sama, kita akan belajar untuk menghadapinya.”
Hari itu, kami memulai langkah baru dalam perjalanan ini. Kami memutuskan untuk melanjutkan latihan meditasi dengan fokus yang lebih dalam. Tidak hanya untuk menenangkan diri, tetapi juga untuk menggali bagian-bagian yang selama ini tersembunyi dalam diri Ardi. Mungkin, hanya dengan berani menghadapi bayangan itu, dia bisa benar-benar menemukan kedamaian dalam dirinya. Dan aku, sebagai teman dan pendamping, siap untuk berada di sisinya dalam setiap langkahnya.
Bab 5: Menyusuri Kedalaman
Setelah beberapa minggu mencoba berbagai latihan pernapasan, meditasi, dan berbicara tentang energi, Ardi mulai merasa ada perubahan dalam dirinya. Meskipun perasaan gelisah masih kerap datang, ada secercah harapan yang mulai muncul di wajahnya. Dia tak lagi terlihat terjebak dalam rasa takut yang dalam, meskipun kadang-kadang ketegangan itu masih terlihat jelas. Kami berdua tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, dan tak ada jaminan bahwa Ardi akan sepenuhnya menguasai kekuatannya. Namun, kami juga tahu bahwa ia sudah membuat langkah besar ke depan—langkah pertama yang sangat penting untuk kebebasannya.
Pada suatu sore yang cerah, aku mengundang Ardi untuk bertemu di warung kopi lagi. Kami telah memutuskan untuk berbicara lebih dalam mengenai masa lalunya—sesuatu yang selama ini tampaknya dia hindari. Aku merasa bahwa untuk benar-benar memahami akar masalahnya, kami harus menyelami bagian terdalam dari dirinya, dan itu berarti menghadapi masa lalunya yang penuh luka. Aku juga ingin membantunya memahami ketakutan yang dia simpan selama bertahun-tahun.
Ketika Ardi datang, aku bisa melihat bahwa dia sedikit berbeda. Mungkin sedikit lebih tenang, atau mungkin sedikit lebih terbuka. Matanya tidak lagi tersembunyi sepenuhnya di balik kacamata hitam, dan ekspresinya lebih santai dibandingkan biasanya.
“Duduk sini,” kataku sambil menunjuk kursi di seberang meja. “Aku ingin kita bicara lebih dalam hari ini. Tentang dirimu. Tentang masa lalumu.”
Ardi duduk perlahan, dan meskipun terlihat sedikit cemas, dia tidak menolak. “Apa kamu benar-benar ingin tahu tentang itu?” tanyanya, suara serak dan penuh keraguan.
Aku mengangguk, memberi isyarat agar dia merasa nyaman. “Tentu. Aku ingin kamu merasa bebas untuk berbicara. Kita hanya akan bicara berdua, tidak ada yang akan menghakimi. Aku di sini untuk mendengarkan, Ardi.”
Setelah beberapa detik hening, Ardi akhirnya membuka mulut. “Sejak kecil, aku selalu merasa berbeda. Aku tidak pernah merasa sejalan dengan orang lain. Entah itu karena aku terlalu banyak berpikir atau karena aku terlalu sensitif terhadap apa yang ada di sekitar. Aku selalu merasa kelelahan yang luar biasa setelah berinteraksi dengan orang-orang, bahkan jika itu hanya dalam waktu singkat. Tapi, aku tidak pernah mengerti kenapa.”
Aku mendengarkan dengan seksama. Ardi sedang membuka pintu ke dunia yang selama ini dia simpan rapat-rapat. Aku bisa merasakan ada beban yang sangat berat di pundaknya.
“Aku ingat, waktu kecil, ibu sering berkata bahwa aku terlalu lelah setelah bermain. Padahal, aku hanya bermain seperti anak-anak lainnya. Tetapi aku selalu merasa tidak terisi dengan kebahagiaan seperti mereka. Ada kekosongan yang terus mengganggu, dan aku mulai merasa bahwa itu ada hubungannya dengan energi orang lain. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tetapi itu seperti ada sesuatu yang terus mengalir masuk ke dalam diriku.”
“Jadi, kamu merasa seperti ini sejak kecil?” tanyaku, mencoba merangkai cerita lebih jauh.
Ardi mengangguk, tampaknya teringat kembali masa-masa itu. “Iya, sejak aku masih kecil. Dan semakin besar, aku merasa semakin kuat dorongan itu—dorongan untuk mendekati orang-orang, berbicara dengan mereka, tapi di sisi lain, aku merasa semakin lelah. Aku merasa ada sesuatu yang hilang dalam diriku.”
Aku tidak mengatakan apa-apa, hanya memberinya ruang untuk berbicara. Aku tahu, saat-saat seperti ini penting, karena Ardi sedang membuka bagian dalam dirinya yang selama ini terkunci. Aku bisa merasakan bahwa ini adalah titik balik dalam perjalanan kami.
“Aku mulai mencari cara untuk menghindari keramaian, mencoba untuk tetap sendiri. Tetapi semakin aku mencoba menghindari orang lain, semakin aku merasa terisolasi. Aku merasa seperti terperangkap dalam tubuhku sendiri, dengan keinginan untuk berbicara dengan orang lain, tetapi di sisi lain, aku merasa tidak bisa mengendalikan apa yang aku lakukan. Itu membuatku semakin bingung. Mungkin itulah yang membuatku merasa seperti seorang pencuri—seorang pencuri energi.”
Aku menatap Ardi dengan penuh perhatian. “Kamu bukan pencuri, Ardi,” kataku pelan. “Kamu hanya belum memahami energi dalam dirimu. Apa yang kamu rasakan bukanlah sesuatu yang salah. Mungkin itu hanya cara tubuhmu berkomunikasi dengan dunia. Tetapi untuk itu, kita perlu menggali lebih dalam lagi. Jangan takut untuk menghadapi dirimu yang sebenarnya.”
Ardi terdiam, dan aku bisa merasakan ketegangan yang melingkupi dirinya. Dia tahu bahwa kata-kataku benar, tetapi itu bukanlah hal yang mudah untuk diterima. Banyak hal dalam hidupnya yang belum selesai, dan ia harus berani menghadapinya agar bisa melangkah lebih jauh.
“Aku ingin mengubahnya,” katanya akhirnya, suaranya terdengar lebih lemah. “Aku ingin bisa mengendalikan ini, tapi aku tidak tahu bagaimana cara untuk mulai. Aku takut kalau aku tidak akan pernah bisa berubah.”
Aku mengulurkan tanganku, menyentuh tangannya yang gemetar. “Perubahan itu tidak datang dalam semalam, Ardi. Tapi yang paling penting adalah kamu sudah mulai. Kamu sudah menunjukkan keberanian untuk menghadapi diri sendiri. Itu adalah langkah pertama yang paling penting. Dan aku akan ada di sini untuk membantumu.”
Ardi menatapku dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, mungkin terharu dengan kata-kataku, atau mungkin hanya merasa lelah dari proses panjang yang dia jalani. “Aku tidak tahu bagaimana kamu bisa begitu sabar dengan aku,” katanya dengan pelan. “Aku merasa seperti aku membebani kamu.”
Aku tersenyum. “Tidak ada yang membebani, Ardi. Kita saling membantu. Aku percaya kamu bisa melalui ini. Kita hanya perlu berjalan pelan-pelan, bersama-sama.”
Kami duduk dalam keheningan selama beberapa menit, saling berbagi ketenangan yang aneh. Mungkin, ini adalah saat-saat yang langka dalam hidup, ketika seseorang benar-benar bisa mengerti dan mendukung satu sama lain tanpa kata-kata yang berlebihan. Ardi telah membuka hatinya dan mulai menerima dirinya, dan aku tahu bahwa perjalanan kami masih panjang, tetapi kami sudah melangkah jauh lebih dekat untuk menemukan jawaban yang dia cari.
Hari itu, aku merasa bahwa Ardi telah memasuki tahap baru dalam perjalanannya—sebuah langkah menuju penerimaan diri dan pemahaman yang lebih dalam tentang kekuatan yang selama ini dia takutkan. Meskipun banyak tantangan yang masih harus dihadapi, aku percaya bahwa dia kini lebih siap untuk menghadapi apa pun yang datang. Dan aku, dengan segala dukungan yang bisa kuberikan, akan selalu ada untuk menemani setiap langkahnya.
Bab 6: Menghadapi Diri yang Terlupakan
Pagi itu, kami kembali bertemu di warung kopi yang sama. Suasana sedikit lebih tenang dibandingkan biasanya, dan Ardi datang dengan wajah yang tampak lebih serius dari hari-hari sebelumnya. Mungkin ini adalah fase baru dalam perjalanan kami. Aku bisa merasakan bahwa dia sedang berjuang dengan pertanyaan yang lebih besar tentang dirinya. Kami telah melewati beberapa langkah bersama, berbicara tentang kekuatan yang selama ini menguasainya, menggali ketakutannya, dan belajar sedikit demi sedikit tentang cara mengendalikan energi yang ia terima dari orang lain. Namun, ada satu hal yang masih tersisa—satu hal yang lebih dalam, lebih sulit untuk dihadapi: penerimaan diri sepenuhnya.
Aku menatap Ardi yang duduk di seberang meja dengan ekspresi yang penuh pergulatan. Matanya yang biasanya cerah tampak agak suram, dan aku bisa merasakan ketegangan yang mulai menguar dari tubuhnya. Setelah beberapa saat, Ardi membuka mulutnya, dan aku tahu ini adalah percakapan penting.
“Aku merasa… seperti aku sudah melupakan sesuatu yang penting dalam hidupku,” katanya, suaranya terdengar rendah dan penuh beban. “Aku merasa seperti aku sudah lama mengabaikan bagian dari diriku yang selama ini aku hindari.”
Aku mengerutkan dahi, tidak sepenuhnya mengerti. “Apa maksudmu, Ardi? Bagian apa yang kamu maksud?”
Ardi terdiam, lalu menarik napas dalam-dalam. “Aku merasa aku sudah lama mencoba untuk menghindari diri yang sebenarnya. Aku selalu berusaha untuk menjadi seseorang yang bisa mengendalikan kekuatanku, seseorang yang tidak memengaruhi orang lain dengan caraku. Tapi semakin aku mencoba untuk mengubah diri, semakin aku merasa semakin jauh dari diriku yang sejati.”
Aku merasakan keheningan yang dalam di antara kami. Tidak ada yang bisa lebih sulit daripada menerima diri sendiri—terutama ketika seseorang merasa telah kehilangan arah, seperti Ardi. Mungkin dia merasa seperti telah tersesat dalam perjalanan mencari kontrol, dan dalam proses itu, ia kehilangan sisi dari dirinya yang sangat penting.
“Apa yang kamu hindari, Ardi?” tanyaku dengan lembut, mencoba membuka jalan untuk percakapan yang lebih dalam.
Ardi menatapku dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. “Aku takut kalau aku membuka diri sepenuhnya, aku akan kehilangan kontrol atas segala hal. Aku takut kalau aku menerima diriku yang sebenarnya, maka aku akan menjadi orang yang lebih buruk, yang akan mengambil lebih banyak energi orang lain. Aku tidak tahu apakah aku bisa menghadapinya.”
Aku bisa merasakan kegelisahan yang menguasai dirinya. Ketakutan itu tampaknya sudah begitu dalam tertanam di dalam hatinya. Ardi tidak hanya takut akan energinya yang tak terkendali, tetapi dia juga takut bahwa penerimaan diri akan membuatnya lebih buruk—lebih jauh dari harapannya untuk mengendalikan kekuatan yang telah lama menjadi beban baginya.
“Apa kamu percaya bahwa menerima dirimu akan membuatmu menjadi buruk?” tanyaku, berusaha menuntun pemikirannya.
Ardi terdiam sejenak, lalu menjawab, “Aku tidak tahu. Tetapi aku merasa semakin lama aku berusaha menekan diriku, semakin aku merasa bahwa aku kehilangan sesuatu yang lebih penting—sesuatu yang lebih berharga daripada sekadar mengendalikan kekuatanku.”
Aku mengangguk pelan, mencerna kata-katanya. Ardi mulai menyadari bahwa dia tidak hanya berjuang dengan energi yang datang dari orang lain, tetapi juga dengan konflik batin yang lebih besar—konflik antara siapa dia sebenarnya dan siapa yang dia coba untuk menjadi. Mengendalikan diri memang penting, tetapi lebih penting lagi untuk menerima diri tanpa rasa takut akan konsekuensinya.
“Aku rasa kamu sudah sangat dekat, Ardi,” kataku dengan penuh keyakinan. “Terkadang, kita merasa bahwa bagian dari diri kita yang paling kita takuti adalah bagian yang sebenarnya justru perlu kita peluk. Itu adalah bagian yang memberi kita kekuatan, bukan kelemahan.”
Ardi menatapku dengan intens, seolah mencoba memahami apa yang kutuangkan dalam kata-kata itu. “Kamu yakin? Kamu yakin bahwa aku tidak akan kehilangan diriku kalau aku menerima diriku yang sebenarnya?”
Aku tersenyum lembut, meyakinkannya. “Aku yakin. Kamu bukan orang jahat, Ardi. Kekuatannya memang bisa mengganggu, tetapi itu bukanlah dirimu. Itu hanyalah bagian dari dirimu yang belum kamu pahami sepenuhnya. Hanya dengan menerima dan memahami bagian itu, kamu bisa benar-benar mengendalikannya.”
Ardi menggigit bibir bawahnya, seolah merenung keras. “Aku rasa kamu benar. Aku selalu berusaha untuk menjadi seseorang yang berbeda, seseorang yang bisa mengontrol segala hal. Tapi, semakin aku melakukannya, semakin aku merasa tertekan. Mungkin… aku perlu berhenti melawan diriku sendiri.”
Kata-katanya mulai terdengar lebih mantap, meskipun masih ada keraguan yang tersisa. Aku tahu ini adalah saat yang sangat krusial baginya. Ketika seseorang akhirnya mengakui bahwa ia perlu berhenti melawan diri sendiri dan menerima siapa dirinya, itu adalah awal dari sebuah perubahan besar.
“Apa yang akan kamu lakukan sekarang, Ardi?” tanyaku, ingin tahu langkah selanjutnya.
Dia menghela napas panjang dan menatapku, matanya penuh dengan keinginan untuk berubah. “Aku ingin mulai dengan lebih menerima diriku. Aku ingin berhenti merasa bersalah atau takut. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya ada dalam diriku, tanpa rasa takut.”
Aku tersenyum, merasa sangat bangga padanya. “Itulah langkah pertama, Ardi. Menerima dirimu apa adanya. Kamu sudah memulai perjalanan besar ini, dan aku yakin kamu bisa melewati semuanya. Jangan takut, karena kamu tidak sendirian.”
Kami duduk dalam keheningan beberapa saat, saling merenung. Aku bisa merasakan bahwa Ardi baru saja membuat keputusan besar dalam hidupnya—keputusan untuk benar-benar menerima diri, dengan segala kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Tidak ada yang lebih berat daripada menghadapi diri yang selama ini kita hindari, tetapi Ardi telah mulai berani melangkah ke dalamnya.
Hari itu, aku tahu bahwa perjalanan Ardi baru saja dimulai. Meskipun banyak yang masih harus dia pelajari dan hadapi, dia tidak lagi takut untuk mengenal dirinya yang sejati. Dan aku, dengan segala dukungan yang bisa kuberikan, akan selalu ada di sisinya, mendampinginya setiap langkah. Karena dalam perjalanan ini, kami berdua tahu satu hal pasti: tidak ada yang lebih kuat daripada seseorang yang berani menghadapi dirinya sendiri.
Bab 7: Kekuatan dari Dalam
Hari itu, udara terasa lebih segar dari biasanya, seperti ada sesuatu yang baru mengalir ke dalam hidup kami. Warung kopi itu tampak lebih ramai, tetapi Ardi dan aku tetap duduk di meja yang sama, dengan cahaya matahari yang lembut masuk melalui jendela. Aku bisa melihat sedikit perubahan di wajah Ardi—meskipun ada sisa kekhawatiran di matanya, ada juga keyakinan baru yang mulai tumbuh dalam dirinya. Kami telah berbicara banyak tentang penerimaan diri, tentang menerima energi yang datang dari dalam dirinya dan dari luar, dan hari ini aku tahu kami akan melangkah lebih jauh.
Ardi tiba lebih awal, dan saat aku datang, dia sudah duduk dengan cangkir kopi yang hampir habis. Tanpa banyak bicara, dia memberikan senyum tipis, yang kali ini terasa lebih tulus. “Aku merasa lebih tenang,” katanya, suaranya lebih ringan daripada sebelumnya. “Aku sudah mulai mencoba untuk menerima diriku, seperti yang kamu sarankan. Tidak mudah, tapi aku merasa sedikit lebih kuat sekarang.”
Aku tersenyum, merasa senang mendengarnya. “Itu bagus, Ardi. Setiap langkah kecil itu berarti. Bagaimana perasaanmu sekarang?”
Ardi menatap cangkir kopinya sejenak, lalu mengangkat kepala dan berkata, “Aku merasa lebih sadar. Aku bisa merasakan energi dalam diriku tanpa merasa ketakutan atau cemas. Tapi kadang-kadang, aku masih merasa ragu, seperti aku belum sepenuhnya menguasainya.”
Aku mengangguk, memahaminya. “Itu wajar, Ardi. Proses ini tidak instan. Akan ada saat-saat ketika kamu merasa ragu, tetapi itu adalah bagian dari perjalanan. Apa yang penting adalah kamu sudah mulai memahami energi itu, bukan lagi melawannya.”
Ardi tampak berpikir sejenak, lalu dia bertanya, “Tapi bagaimana aku tahu kalau aku benar-benar bisa mengendalikan semuanya? Bagaimana kalau energi itu tiba-tiba mengambil alih, seperti dulu?”
Aku mengatur napasku dan menatapnya dengan penuh perhatian. “Energi itu bukan sesuatu yang bisa kamu kendalikan sepenuhnya, Ardi. Itu bagian dari dirimu. Tapi apa yang kamu bisa lakukan adalah memahami bagaimana energi itu bekerja, dan bagaimana meresponsnya. Ketika kamu benar-benar menerima bahwa energi itu ada dalam dirimu, kamu tidak akan merasa takut lagi. Kamu akan tahu kapan harus mengalir bersamanya, dan kapan harus berhenti.”
Ardi terdiam, tampak merenung. Aku tahu bahwa hal ini bukanlah sesuatu yang mudah baginya, tetapi aku bisa melihat bahwa dia sedang mencoba untuk membuka pikirannya lebih lebar lagi. Setelah beberapa saat, dia berkata, “Aku merasa seperti aku selalu mencoba untuk menekan apa yang ada dalam diriku. Aku selalu merasa jika aku menerima energi ini, aku akan menghancurkan semuanya. Tapi sekarang, aku mulai mengerti bahwa aku tidak bisa terus-terusan melawan diriku sendiri.”
Aku tersenyum, merasakan keberhasilan dalam kata-katanya. “Itulah yang harus kamu pahami, Ardi. Energi yang kamu rasakan bukanlah musuh. Itu bagian dari siapa kamu. Yang perlu kamu lakukan adalah belajar untuk menyesuaikan diri dengannya. Kalau kamu bisa berdamai dengan diri sendiri, kamu akan merasa lebih kuat dalam menghadapinya.”
Ardi menundukkan kepala, tampak berpikir keras. Setelah beberapa saat, dia mengangkat wajahnya dan berkata, “Aku merasa, mungkin aku sudah waktunya untuk mencoba sesuatu yang lebih besar. Aku ingin menguji seberapa jauh aku bisa mengendalikan energi ini. Tapi aku merasa takut kalau aku gagal.”
Aku mengerti kekhawatirannya. Ardi telah banyak berkembang, tetapi rasa takut akan kegagalan masih menghantui langkahnya. “Aku tahu kamu takut, Ardi. Tetapi, kegagalan bukanlah akhir dari segalanya. Itu adalah bagian dari proses belajar. Setiap kali kamu mencoba sesuatu yang baru, kamu akan menemukan cara yang lebih baik untuk menghadapinya. Yang penting adalah kamu tidak menyerah.”
Dia mengangguk pelan, dan aku bisa melihat tekad baru mulai tumbuh dalam dirinya. “Aku akan mencoba. Aku akan fokus untuk lebih mengendalikan energi ini, tanpa merasa takut. Aku tahu kalau aku bisa, aku hanya perlu percaya pada diriku sendiri.”
Aku tersenyum lebar, merasa bangga padanya. “Itulah sikap yang benar, Ardi. Percaya pada dirimu sendiri adalah langkah pertama untuk mengendalikan kekuatan dalam dirimu.”
Kami berdua terdiam sejenak, membiarkan kata-kata itu menggema dalam pikiran masing-masing. Aku tahu bahwa Ardi sedang menghadapi tantangan besar, tetapi aku juga tahu bahwa dia sudah lebih siap dari sebelumnya. Dia mulai mengenali kekuatan yang ada dalam dirinya dan mulai menerima bahwa bukan hanya kekuatan itu yang harus dia kendalikan, tetapi juga rasa takut dan keraguannya sendiri.
Setelah beberapa waktu, Ardi berbicara lagi, “Aku ingin melatih diriku lebih jauh. Aku ingin tahu apakah aku benar-benar bisa mengontrol energi ini tanpa menghancurkan diriku sendiri. Aku merasa bahwa kalau aku bisa mengendalikan ini, aku akan lebih bebas.”
Aku menatapnya dengan penuh perhatian. “Itu keputusan yang besar, Ardi. Dan aku mendukungmu. Tetapi ingatlah, mengendalikan energi itu bukan tentang menguasai segalanya. Itu tentang memahami, dan ketika waktunya tiba, membiarkan energi itu mengalir dengan cara yang sehat.”
Ardi mengangguk, terlihat lebih mantap. “Aku akan mencoba. Aku akan berlatih dan melihat apa yang terjadi. Terima kasih, sudah membantu aku sampai sejauh ini.”
Aku tersenyum, merasa bangga padanya. “Kamu yang sudah melangkah sejauh ini, Ardi. Aku hanya memberikan sedikit panduan. Ingat, perjalanan ini bukan tentang mencapai tujuan secepat mungkin. Ini tentang memahami setiap langkah, dan belajar dari setiap pengalaman.”
Hari itu, kami berbicara lebih lama dari biasanya. Ardi mengungkapkan lebih banyak perasaan dan pikirannya, dan aku merasa semakin dekat dengannya. Dia telah mengambil langkah besar dalam perjalanannya, dan aku tahu bahwa perjalanan itu belum berakhir. Masih banyak tantangan yang harus dihadapinya, tetapi aku percaya bahwa dengan keyakinan baru yang dia miliki, dia bisa menghadapinya.
Saat kami berpisah, Ardi tampak lebih ringan dari sebelumnya. Langkahnya lebih pasti, dan matanya memancarkan tekad yang belum pernah kulihat sebelumnya. Meskipun perjalanan ini penuh dengan ketidakpastian, aku tahu bahwa Ardi telah mengambil kendali atas dirinya sendiri, dan itu adalah awal dari perubahan besar yang akan datang.
Aku kembali ke rumah dengan perasaan yang penuh kebanggaan. Mungkin, perjalanan ini masih panjang, tetapi aku tahu bahwa Ardi telah menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga daripada sekadar mengendalikan energi. Dia telah menemukan kekuatan dari dalam dirinya—kekuatan untuk percaya pada dirinya sendiri, dan itu adalah awal dari segalanya.