Bab 1: Kucing Hitam yang Aneh
Andi mengangkat secangkir kopi hangat sambil melirik jam dinding di belakangnya. Pagi itu seperti pagi-pagi biasanya—tidak ada yang luar biasa. Ia baru saja membuka toko kelontongnya yang sederhana, dengan rak-rak berisi berbagai kebutuhan sehari-hari yang sudah terbiasa dijumpai oleh para tetangga. Kota kecil ini memang tidak pernah berubah banyak; semua orang mengenal satu sama lain, dan hidup mengalir begitu saja seperti air sungai yang tenang. Butik kecil milik Andi adalah salah satu tempat yang paling sering dikunjungi oleh warga sekitar. Tempat itu bukan hanya toko, tapi juga semacam tempat nongkrong, tempat di mana orang bisa ngobrol santai, berbagi cerita, atau sekadar membeli kebutuhan harian.
Namun, pada pagi itu, ada sesuatu yang berbeda. Ketika Andi membuka pintu toko untuk pertama kalinya, ia melihat sesuatu yang tak biasa. Di depan pintu toko, tepat di tengah jalan, ada seekor kucing hitam. Bulu-bulunya mengkilap meskipun cahaya matahari belum sepenuhnya menyentuh jalanan. Matanya yang hijau cerah memancarkan sinar yang tajam, seolah-olah kucing itu sedang menunggu seseorang. Tidak ada seorang pun di sekitar. Andi mengernyitkan dahi, bertanya-tanya mengapa kucing itu ada di sana, apalagi dengan satu benda aneh yang tergantung di lehernya.
Ternyata, benda itu bukanlah mainan atau aksesori kucing biasa. Itu adalah sebuah surat. Surat itu tampak sederhana, dilipat rapi dan diikat dengan benang tipis. Kucing itu tidak bergerak, hanya duduk diam seperti sedang menunggu perhatian Andi. Hanya ada suara angin pagi yang berdesir di antara dedaunan.
Andi mendekat dengan perlahan. Ia menunduk, melongokkan wajah ke arah kucing hitam itu. “Kamu… sedang menunggu seseorang?” gumamnya, meskipun tahu bahwa kucing tidak akan bisa menjawabnya. Dengan hati-hati, Andi mengambil surat yang tergantung di leher kucing tersebut. Si kucing, yang tampak tidak merasa terganggu, justru melompat ke samping, memberi ruang bagi Andi untuk membaca surat itu.
“Untuk Andi, Pemilik Toko Kelontong, dari Bu Siti.”
Andi membalik surat itu, mencari tahu lebih lanjut. Tidak ada penjelasan lain, hanya nama pengirim dan penerima yang tertulis jelas di bagian depan surat. Sambil terheran-heran, Andi membuka surat itu dan mulai membaca.
“Andi yang baik, aku butuh beberapa bahan untuk membuat kue. Bisa tolong beli gula pasir, tepung terigu, dan mentega? Sore nanti aku akan datang untuk mengambilnya. Terima kasih!”
Andi terkekeh. Ia tahu siapa Bu Siti—tetangganya yang tinggal beberapa rumah dari toko. Bu Siti adalah seorang ibu rumah tangga yang dikenal baik hati dan sangat pandai memasak. Setiap kali ada acara di desa, pasti Bu Siti yang menjadi juru masaknya. Andi terkadang mendapat gratisan dari kue lezat buatannya. Namun, tidak ada yang pernah mengira bahwa Bu Siti akan mengirimkan permintaan dengan cara yang begitu unik.
“Apa yang sedang terjadi?” gumam Andi, merasa ada yang aneh. Kucing hitam ini bukan hanya sekadar kucing jalanan biasa. Ia sepertinya memiliki misi. Tapi siapa yang mengajarkan kucing ini mengantarkan surat? Dan mengapa surat itu tidak diantarkan dengan cara biasa, seperti menggunakan jasa pos atau membawanya sendiri oleh si pengirim?
Andi memandang kucing itu, yang kini duduk di sana dengan sikap sangat tenang. Kucing itu terlihat seperti tahu apa yang sedang terjadi. Seperti dia mengerti bahwa tugasnya belum selesai. Andi pun membelai kepala kucing tersebut, yang merespons dengan mengeong lembut. Kemudian, kucing itu berdiri dan berjalan ke arah pintu toko, menoleh ke belakang seolah mengajak Andi untuk mengikutinya.
“Jadi, kamu mau aku mengantar surat ini kepada Bu Siti?” tanya Andi sambil tertawa. Kucing itu menatapnya dengan mata hijau tajam dan melompat keluar dari toko.
Andi menggelengkan kepala. “Kucing yang aneh,” ujarnya, sambil menutup pintu toko dan melanjutkan pekerjaannya. Meski terasa lucu, Andi tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. Seperti ada sesuatu yang belum ia pahami tentang kucing hitam ini. Apakah itu kebetulan? Atau mungkin ada cerita lain di balik kelakuan kucing tersebut?
Hari itu berlalu dengan cepat, namun pikiran Andi tidak bisa lepas dari kejadian aneh itu. Setiap kali kucing hitam itu muncul di depan toko, Andi merasa seperti sedang berada di dalam cerita yang tidak biasa. Sejak saat itu, kucing itu mulai muncul hampir setiap hari, selalu membawa surat-surat dari orang-orang di sekitar kota. Setiap surat berisi permintaan yang sederhana—barang-barang kebutuhan sehari-hari, permintaan untuk membantu mengantar pesan, atau bahkan sekadar sapaan ringan.
Kehadiran kucing hitam itu, yang tak pernah lelah mengantarkan surat, mulai menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari Andi. Dia sering kali tertawa sendiri ketika kucing itu datang membawa surat, seakan tahu persis apa yang harus dilakukan. Kucing itu bukan hanya sekadar hewan peliharaan, melainkan menjadi bagian dari rutinitas kecil yang menyenangkan bagi Andi dan warga sekitar.
Namun, satu pertanyaan tetap mengganggu pikiran Andi: siapa yang sebenarnya mengajarkan kucing itu untuk mengantarkan surat? Dan mengapa kucing itu begitu setia menjalankan tugasnya, seolah ia tahu apa yang harus dilakukan tanpa pernah keliru? Sebuah misteri kecil yang, meskipun tampak sepele, menambah keunikan kehidupan di kota kecil mereka.*
Bab 2: Surat-Surat Aneh
Kehidupan di kota kecil itu kembali berjalan seperti biasa setelah kejadian pagi yang aneh itu. Andi, meskipun tidak bisa berhenti memikirkan kucing hitam yang tiba-tiba datang dengan membawa surat, kembali sibuk menjalankan toko kelontongnya. Namun, tidak lama setelah kejadian itu, sesuatu yang lebih aneh terjadi. Kucing hitam itu kembali muncul, membawa surat lain.
Hari itu, Andi sedang membersihkan rak-rak di toko ketika terdengar suara langkah kaki ringan di depan pintu. Begitu ia membuka pintu, seekor kucing hitam muncul dari balik gang kecil yang mengarah ke toko, membawa surat yang tergantung di lehernya. Andi menatap kucing itu dengan heran. Sebelumnya, ia berpikir bahwa mungkin kejadian kemarin hanya kebetulan. Namun, dengan surat di leher kucing itu, ia menyadari bahwa ini bukan kebetulan lagi.
“Hei, kamu lagi?” tanya Andi dengan nada bercanda sambil menunduk, menyambut kedatangan kucing itu.
Kucing hitam itu menyodorkan surat tersebut tanpa ragu-ragu, kemudian melompat turun ke lantai dan duduk dengan tenang. Andi membuka surat itu dengan hati-hati, agak terkejut karena surat tersebut tampak sama seperti yang pertama—tulisan tangan yang rapi dengan tinta biru yang mencolok. Kali ini, tidak ada kata-kata dari Bu Siti. Surat ini ditujukan kepada Andi, tetapi pengirimnya adalah seseorang yang berbeda.
“Andi, tolong beli dua kantong beras dan beberapa tomat. Aku akan datang nanti sore. Terima kasih!” begitu isi surat itu singkat dan jelas.
Andi mendengus kecil, terkekeh. Ia mengenali tulisan itu sebagai milik Pak Dedi, seorang petani yang tinggal tidak jauh dari toko kelontongnya. Pak Dedi sering kali membeli bahan-bahan dari Andi untuk keperluan sehari-hari. Seperti Bu Siti, Pak Dedi juga merupakan pelanggan setia, dan Andi merasa nyaman dengan hubungan mereka yang saling menguntungkan. Tapi, tentu saja, ini tetap membuatnya bingung.
“Sungguh, kamu datang lagi?” Andi tertawa sambil mengelus kepala kucing itu. “Baiklah, akan kuambilkan.”
Kucing hitam itu tampak tidak terganggu oleh tawa Andi, seolah dia tahu bahwa ia hanya menjalankan tugas. Andi berjalan ke rak beras dan mulai mengambil dua kantong beras yang diminta, kemudian beberapa tomat dari bagian sayuran. Ketika ia selesai menyiapkan barang-barang tersebut, kucing hitam itu sudah berdiri menunggu di depan pintu, seolah siap untuk melanjutkan tugasnya.
“Begitu cepatnya, ya?” Andi berkata sambil mengangkat barang-barang yang sudah dipersiapkan. “Sampaikan kepada Pak Dedi, nanti aku akan datang sendiri.”
Namun, kucing hitam itu hanya menatapnya dengan mata hijau cerah dan berjalan keluar toko tanpa berkata-kata. Andi menggelengkan kepala sambil tersenyum. “Kucing ini benar-benar misterius.”
Kehadiran kucing itu mulai menjadi hal yang biasa, meskipun setiap kali ia datang, Andi selalu merasa terkejut. Surat-surat yang dibawa kucing itu semakin beragam. Tidak hanya permintaan barang, tapi juga pesan-pesan ringan dari para tetangga. Ada yang meminta Andi untuk menyapa anak mereka yang baru pulang sekolah, ada juga yang meminta bantuan untuk memperbaiki pagar yang rusak. Semua itu datang melalui kucing hitam yang tampaknya tidak pernah lelah.
Malam hari, ketika toko sudah tutup dan Andi sedang duduk di meja kecil di sudut toko, ia merenung. Ia mulai bertanya-tanya, mengapa kucing itu selalu datang dengan surat-surat ini. Apakah ini kebetulan, atau ada sesuatu yang lebih dalam di balik semua ini? Meskipun kucing hitam itu tidak pernah berbicara, sikapnya yang tenang dan tidak terburu-buru membuat Andi merasa bahwa ada sesuatu yang istimewa tentangnya.
Esok harinya, kucing hitam itu datang lagi, seperti biasa. Namun kali ini, Andi memutuskan untuk tidak hanya menerima surat itu begitu saja. Ia ingin tahu lebih banyak. Setelah mengambil surat yang tergantung di leher kucing, Andi memutuskan untuk mengikuti jejak kucing hitam itu. Ia menunggu beberapa saat, memastikan kucing itu tidak melihatnya. Kemudian, dengan langkah hati-hati, Andi keluar dari toko dan mengikuti kucing itu dari kejauhan.
Kucing hitam itu berjalan dengan cepat, melewati gang-gang sempit, dan akhirnya sampai di sebuah rumah yang agak jauh dari toko. Andi berhenti di ujung jalan, memperhatikan dengan seksama. Kucing itu berhenti di depan pintu rumah besar yang tampak sedikit usang, mengetuk pintu dengan cakarnya. Pintu itu terbuka, dan seorang pria tua yang Andi kenal sebagai Pak Harun muncul.
“Ah, Cici, kamu sudah datang. Terima kasih, nak,” kata Pak Harun, sambil mengambil surat dari leher kucing.
Andi terkejut. Cici? Kucing hitam itu memiliki nama? Andi yang penasaran memutuskan untuk mendekat sedikit lagi. Namun, kucing itu tampaknya menyadari kehadiran Andi dan menatapnya sejenak, sebelum kembali melompat ke dalam rumah Pak Harun.
“Jadi, kucing ini milik Pak Harun?” Andi bergumam pada dirinya sendiri. “Ternyata, dia memang punya pemilik.”
Ia pun kembali ke toko dengan pikiran yang bercampur aduk. Ternyata, kucing hitam yang selama ini datang membawa surat-surat itu bukan hanya seekor kucing jalanan biasa. Cici, seperti yang disebutkan oleh Pak Harun, adalah kucing yang sangat dihargai dan tampaknya memiliki peran yang lebih besar daripada sekadar peliharaan.
Keesokan harinya, Andi memutuskan untuk bertanya langsung kepada Pak Harun tentang kucing hitam tersebut. Namun, meskipun rasa penasarannya semakin dalam, ia merasa bahwa ada lebih banyak cerita di balik keberadaan Cici yang harus ia ketahui.*
Bab 3: Misteri Sang Kucing
Pagi itu, Andi tidak bisa lagi menahan rasa ingin tahunya. Semalam, setelah mengikuti kucing hitam bernama Cici hingga ke rumah Pak Harun, banyak pertanyaan yang muncul di benaknya. Mengapa kucing itu selalu membawa surat-surat dari orang-orang di sekitar kota? Apa sebenarnya yang membuat Cici begitu istimewa? Andi tahu bahwa untuk mendapatkan jawaban atas semua pertanyaan itu, ia harus bertanya langsung kepada Pak Harun.
Begitu toko kelontongnya dibuka, Andi memutuskan untuk segera pergi ke rumah Pak Harun. Ia merasa cemas, namun rasa penasaran yang menggebu-gebu membuatnya tidak bisa menunggu lebih lama. Setelah menutup toko dan memastikan tidak ada pelanggan yang datang, ia berjalan menuju rumah Pak Harun yang terletak agak jauh dari pusat kota, tepat di ujung jalan yang berbatu.
Sesampainya di depan rumah Pak Harun, Andi melihat rumah itu tampak sederhana, namun penuh dengan tanaman hias yang tumbuh subur di sekitar halaman. Ada beberapa bunga yang sedang bermekaran dan beberapa tanaman merambat yang menghiasi dinding rumah. Kucing hitam itu, Cici, tampak berbaring di bawah salah satu pohon yang rindang, tampak sangat nyaman di tempat tersebut. Pak Harun, yang sedang duduk di kursi goyang di teras depan, melihat Andi dan tersenyum.
“Selamat pagi, Andi! Ada yang bisa saya bantu?” Pak Harun menyapa dengan ramah, suaranya penuh kehangatan.
Andi tersenyum kaku. “Pak Harun, saya ingin bertanya tentang kucing Anda, Cici,” katanya, sedikit ragu. “Saya perhatikan, dia selalu membawa surat-surat dari orang-orang di sekitar kota. Saya ingin tahu, kenapa kucing itu melakukan itu? Apakah dia memang… bisa mengantar pesan?”
Pak Harun tertawa ringan, seolah pertanyaan Andi tidak terlalu mengejutkannya. “Ah, Cici,” Pak Harun berkata sambil mengelus-elus bulu kucing hitam yang masih berbaring di bawah pohon. “Dia memang unik, Andi. Tapi, sebenarnya, dia bukan hanya sekadar kucing biasa. Dia punya cerita sendiri.”
Andi merasa semakin penasaran, matanya terpaku pada Cici yang kini mengangkat kepala dan menatapnya dengan tajam. “Cerita sendiri?” tanya Andi dengan suara penuh rasa ingin tahu.
Pak Harun mengangguk pelan. “Cici bukan kucing biasa yang saya pelihara sejak kecil. Saya menemukannya saat dia masih bayi, terdampar di depan pintu rumah saya. Waktu itu hujan sangat deras, dan saya rasa dia sedang mencari tempat berlindung. Saya membawanya masuk dan merawatnya. Sejak itu, kami menjadi sangat dekat.”
Pak Harun berhenti sejenak, seolah sedang mengingat kembali masa-masa itu. “Namun, seiring waktu, saya mulai menyadari ada sesuatu yang berbeda dengan Cici. Dia mulai membawa benda-benda dari tempat yang jauh. Pertama kali, dia membawa bunga yang tumbuh di taman tetangga, lalu beberapa buah dari kebun Pak Dedi. Kemudian, lama-kelamaan, dia mulai membawa surat-surat.”
Andi memandang kucing itu dengan takjub. “Jadi, dia memang sengaja mengantarkan surat-surat itu?” tanyanya lagi, ingin memastikan.
Pak Harun mengangguk. “Ya, dia sepertinya tahu apa yang harus dilakukan. Tidak ada yang mengajarinya, Andi. Cici sendiri yang menemukan cara untuk berkomunikasi dengan orang-orang di sekitar sini. Kalau saya pikir-pikir, mungkin dia merasa bahwa dia punya tugas penting. Cici selalu mengantarkan pesan yang dibutuhkan orang-orang dengan sangat tepat waktu, bahkan tanpa salah. Entah bagaimana caranya, dia selalu tahu di mana surat-surat itu harus disampaikan.”
Andi terdiam, mencerna penjelasan Pak Harun. Ia merasa terkesima dengan kemampuan luar biasa yang dimiliki oleh Cici, kucing hitam yang tampaknya memiliki intuisi yang tajam. “Jadi, Cici ini semacam kurir ajaib, ya?” Andi tersenyum, meskipun rasa ingin tahunya semakin mendalam.
Pak Harun tertawa kecil. “Mungkin bisa dibilang begitu. Tapi, ada sesuatu yang lebih misterius tentang Cici. Kadang, dia membawa surat yang saya rasa tidak seharusnya dia temukan. Surat-surat itu datang dari orang yang tak terduga, dan kadang-kadang isi suratnya sangat pribadi. Seperti, misalnya, surat dari Bu Siti yang berisi permintaan barang atau dari Pak Dedi yang meminta tolong memperbaiki pagar. Tapi ada juga yang datang tanpa alasan yang jelas. Seperti surat yang dibawa oleh Cici beberapa waktu lalu, yang ditujukan untuk seseorang yang sudah lama meninggal.”
Andi mengerutkan kening. “Surat untuk orang yang sudah meninggal? Bagaimana bisa itu terjadi?”
Pak Harun menghela napas panjang. “Itulah yang menjadi misteri besar. Saya tidak tahu bagaimana Cici bisa tahu tentang hal-hal seperti itu. Dia membawa surat-surat itu tanpa ragu, bahkan saat saya pikir tidak ada yang membutuhkan. Saya tidak pernah bisa menjelaskan hal itu dengan logika yang biasa. Seperti ada kekuatan lain yang menggerakkan Cici untuk melakukan ini.”
Andi merasa darahnya merinding. Cerita tentang Cici yang membawa surat untuk orang yang sudah meninggal membuatnya merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kebetulan. “Jadi, Anda tidak tahu kenapa Cici bisa melakukan semua itu?”
Pak Harun menggelengkan kepala. “Tidak, Andi. Tapi saya rasa, mungkin Cici memang memiliki misi yang lebih besar. Mungkin dia memang memiliki kemampuan untuk menghubungkan orang-orang, membawa pesan-pesan yang mereka butuhkan—baik yang tampak jelas maupun yang tersembunyi.”
Andi terdiam lama. Ia memandang Cici yang kini duduk di dekat Pak Harun, tampak tidak terganggu dengan obrolan mereka. Namun, di balik ketenangannya, Andi merasa ada sesuatu yang luar biasa dalam diri kucing hitam itu. Kucing itu bukan hanya membawa surat, tetapi mungkin juga membawa pesan dari dunia yang lebih dalam, yang tidak bisa dijangkau dengan akal sehat.
“Pak Harun,” kata Andi perlahan, “terima kasih sudah memberi saya penjelasan. Tapi saya rasa, saya harus belajar lebih banyak lagi tentang Cici. Mungkin ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar surat-surat yang dia bawa.”
Pak Harun tersenyum bijak. “Cici memang bukan hanya kucing biasa, Andi. Dia mungkin membawa lebih banyak daripada yang kita bayangkan.”
Andi pulang dengan perasaan campur aduk—terkejut, takjub, dan lebih penasaran dari sebelumnya. Ada sesuatu yang lebih dalam, sebuah misteri yang terus menariknya lebih dekat dengan Cici, kucing hitam yang tampaknya lebih dari sekadar kurir surat biasa.*
Bab 4: Surat yang Tertunda
Setelah pertemuan yang penuh misteri dengan Pak Harun, Andi merasa semakin terjerat dalam kisah kucing hitam bernama Cici. Ia tak bisa berhenti memikirkan penjelasan Pak Harun tentang kemampuan luar biasa yang dimiliki oleh Cici. Kucing itu bukan hanya sekadar membawa surat-surat dari orang-orang sekitar, tetapi tampaknya juga memiliki kaitan dengan hal-hal yang jauh lebih mendalam. Tidak hanya surat-surat biasa, tetapi juga pesan-pesan yang tidak seharusnya ada. Pesan-pesan yang terkadang datang dari orang yang sudah lama meninggal.
Hari-hari berlalu, namun Andi tetap merasa gelisah. Setiap kali kucing hitam itu muncul di depan pintu toko, Andi merasa seolah-olah ia sedang menunggu lebih dari sekadar surat. Ia mulai memperhatikan setiap detil kecil yang bisa memberi petunjuk tentang misi Cici. Mengapa kucing itu bisa membawa surat-surat dari tempat yang jauh? Apa sebenarnya yang menjadi tujuannya? Setiap kali Andi memandangi Cici, ia merasa ada yang lebih besar dari sekadar hewan peliharaan di hadapannya.
Pada suatu pagi, ketika Andi sedang sibuk melayani pelanggan, Cici kembali muncul. Seperti biasa, kucing itu berdiri di depan pintu toko, menatap Andi dengan mata hijau yang tajam. Kali ini, ada yang berbeda. Cici tidak langsung menyerahkan surat dengan cara yang biasa. Sebaliknya, ia duduk diam, memandangi Andi dengan intens. Ada yang aneh dari sikapnya—seolah kucing itu sedang menunggu sesuatu.
“Hei, ada apa, Cici?” tanya Andi sambil mengernyitkan dahi, merasa ada yang tidak biasa.
Namun, Cici tetap diam. Andi merasa sedikit bingung, tetapi akhirnya mendekat dan mengambil surat yang tergantung di leher kucing tersebut. Surat itu terasa berbeda dari surat-surat sebelumnya. Lebih berat, dan ada sesuatu yang menggelitik perasaannya. Tanpa ragu, Andi membuka surat itu dengan hati-hati.
“Untuk Andi, saya harap surat ini sampai dengan baik. Ada hal yang perlu Anda ketahui. Anda akan menerima sebuah kejutan, dan kucing Anda, Cici, akan menjadi kunci untuk membuka rahasia yang selama ini tersembunyi.”
Isi surat itu membuat jantung Andi berdegup kencang. Kalimatnya singkat, tetapi penuh dengan makna yang membingungkan. Siapa yang menulis surat ini? Apa maksud dari “kejutan” yang dimaksud? Dan mengapa Cici, kucing hitam itu, disebut sebagai “kunci” untuk membuka rahasia?
Andi merasa cemas dan bingung, namun rasa ingin tahunya semakin membesar. Ia merasa bahwa surat ini bukanlah sekadar pesan biasa. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang mengarah pada sebuah rahasia besar yang harus diungkap. Namun, yang lebih membuatnya gelisah adalah satu hal: surat ini tidak mencantumkan pengirimnya. Tidak ada nama, hanya kalimat misterius yang semakin membingungkan.
Andi segera pergi mencari Pak Harun. Dengan surat itu di tangan, ia merasa perlu untuk bertanya lebih banyak. Meskipun ia sudah mengetahui sebagian dari cerita tentang Cici, surat ini sepertinya membawa mereka ke arah yang lebih gelap—sebuah arah yang Andi belum bisa pahami sepenuhnya.
Sesampainya di rumah Pak Harun, Andi langsung menunjukkan surat itu kepada Pak Harun. “Pak Harun, saya baru saja menerima surat ini dari Cici. Tapi yang membuat saya bingung, siapa yang mengirimnya? Dan kenapa surat ini mengatakan bahwa Cici adalah kunci untuk membuka rahasia yang tersembunyi?”
Pak Harun memandang surat itu dengan serius. Wajahnya yang biasanya penuh senyum kini tampak lebih khawatir. Ia memegang surat itu, memperhatikannya dengan seksama. “Saya rasa ini bukan surat yang biasa, Andi. Saya tidak tahu siapa yang menulisnya, tapi saya punya firasat buruk. Surat ini… mungkin ada hubungannya dengan masa lalu saya, dan mungkin juga dengan Cici.”
Andi terkejut. “Masa lalu Anda? Apa maksudnya, Pak Harun?”
Pak Harun mendesah dan mengajak Andi duduk di teras rumah. “Saya belum pernah menceritakan ini kepada siapa pun. Tetapi mungkin ini saat yang tepat. Anda harus tahu, Andi, Cici bukan hanya kucing biasa. Saya percaya ada sesuatu yang lebih besar tentang dirinya, dan saya rasa ini terkait dengan kejadian-kejadian lama yang saya coba lupakan.”
Pak Harun menunduk sejenak, seolah mengumpulkan keberanian. “Dulu, ketika saya masih muda, saya bekerja di sebuah tempat yang sangat berbeda—sebuah rumah tua yang terletak di pinggiran kota. Di sana, saya bertemu dengan seseorang yang sangat misterius, seorang wanita yang sangat pandai dalam hal-hal spiritual dan mistik. Wanita itu memiliki banyak kucing, dan salah satunya adalah Cici. Ia berkata kepada saya bahwa kucing-kucing itu bukan hanya peliharaan biasa, tetapi juga penjaga pesan dari dunia lain. Saat itu saya tidak terlalu mengerti apa yang dimaksud, tapi sekarang saya mulai berpikir bahwa wanita itu mungkin tahu lebih banyak tentang Cici daripada yang saya kira.”
Andi mendengarkan dengan seksama, tidak ingin melewatkan sepatah kata pun. “Jadi, Anda tahu siapa pemilik pertama Cici?” tanya Andi.
Pak Harun mengangguk perlahan. “Ya. Dia adalah wanita yang sangat bijaksana, tapi sayangnya dia telah meninggal beberapa tahun lalu. Namun, saya yakin, Cici adalah penerus dari misi yang lebih besar. Mungkin surat yang Anda terima itu adalah bagian dari tugas yang belum selesai—sebuah misi yang mungkin harus Anda selesaikan.”
Andi merasa pusing. “Apa yang harus saya lakukan sekarang? Bagaimana saya bisa menyelesaikan misi ini?”
Pak Harun melihat Andi dengan tatapan penuh perhatian. “Yang perlu Anda lakukan, Andi, adalah mempercayai Cici. Dia akan membimbing Anda menuju jawaban yang Anda cari. Mungkin, inilah waktunya bagi Anda untuk membuka mata dan melihat lebih jauh dari sekadar apa yang tampak.”
Andi merasa terombang-ambing dalam kebingungannya. Namun, satu hal yang ia yakini—sesuatu yang besar sedang terjadi, dan Cici adalah bagian dari itu. Ia harus mengikuti jejak kucing hitam itu, meskipun ia tidak tahu persis apa yang akan ia temui. Tapi, satu hal yang jelas: rahasia yang tersembunyi itu mulai terungkap sedikit demi sedikit.*
Bab 5: Jejak Misterius Cici
Hari-hari setelah pertemuan dengan Pak Harun, Andi merasa bahwa hidupnya tiba-tiba dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab dengan logika biasa. Surat yang ia terima, yang mengatakan bahwa Cici adalah kunci untuk membuka sebuah rahasia tersembunyi, semakin membuat Andi merasa bahwa ia telah terperangkap dalam suatu kisah yang lebih besar dari yang ia bayangkan. Meskipun kebingungannya semakin mendalam, Andi memutuskan untuk mengikuti jejak Cici dan mencari tahu apa sebenarnya yang harus ia lakukan.
Kucing hitam itu tidak muncul lagi selama dua hari setelah surat terakhir yang Andi terima. Andi mulai merasa gelisah, bertanya-tanya apakah Cici masih ingat tentang surat yang ia bawa, dan apakah dia tahu arah yang harus diambil. Namun, saat matahari mulai tenggelam pada hari ketiga, pintu toko Andi terbuka dengan sendirinya, dan Cici muncul kembali. Kucing itu masuk tanpa suara, dengan langkah tenang, seolah tahu bahwa Andi sedang menunggunya.
Andi merasa jantungnya berdebar lebih cepat. “Cici,” katanya dengan suara rendah, “kamu kembali. Ada apa? Apa yang harus aku lakukan?”
Cici menatap Andi sejenak, kemudian berjalan menuju rak surat-surat yang ada di sudut toko. Andi mengikuti langkah kucing itu dengan penuh perhatian. Cici berhenti di depan rak, duduk dengan tenang, dan memandang Andi seperti memberi petunjuk. Seolah-olah Cici menunggu Andi untuk melakukan sesuatu.
Mencoba mengikuti instingnya, Andi membuka rak itu dan mengambil sebuah kotak kayu kecil yang tersembunyi di bagian belakang. Kotak itu tampak usang, seperti benda yang telah lama terlupakan. Tanpa berpikir panjang, Andi membuka kotak tersebut dan menemukan sebuah gulungan kertas yang terikat dengan pita merah. Kertas itu tampak kuno, dengan tulisan tangan yang rapi, namun penuh dengan goresan halus yang membuat Andi merasa seolah-olah ia sedang memegang sesuatu yang sangat berharga.
Andi membuka gulungan itu dengan hati-hati, dan membaca isi surat yang tertulis di atasnya. “Untuk Andi, ini adalah bagian pertama dari jalan yang harus kamu tempuh. Bawalah surat ini kepada seseorang yang akan membantumu menemukan kunci yang sesungguhnya. Jangan khawatir, Cici akan selalu ada di sampingmu.”
Surat itu mengandung pesan yang lebih misterius dari sebelumnya. Siapa yang menulisnya? Dan siapa yang dimaksud dengan “seseorang” yang akan membantu Andi? Andi memandang Cici, yang masih duduk dengan tenang, tampaknya menunggu reaksi darinya. Kucing itu kembali menatapnya dengan mata hijau cerah, seolah menyampaikan pesan tanpa kata-kata.
“Mungkin ada seseorang yang bisa memberi penjelasan,” bisik Andi pada dirinya sendiri. Ia tahu bahwa untuk melanjutkan perjalanan ini, ia membutuhkan lebih banyak informasi. Namun, siapa yang bisa membantu?
Tiba-tiba, ingatan Andi terbang kembali pada percakapan dengan Pak Harun beberapa hari lalu. Pak Harun pernah menyebutkan seorang wanita bijaksana yang memiliki pengetahuan lebih tentang kucing-kucing yang membawa pesan. Andi merasa yakin bahwa wanita itulah yang bisa memberikan petunjuk lebih lanjut. Meskipun Pak Harun mengatakan bahwa wanita itu telah meninggal, Andi merasa bahwa mungkin masih ada sesuatu yang bisa ia pelajari darinya.
Andi memutuskan untuk mengunjungi rumah wanita itu, yang terletak di pinggiran kota. Ia merasa sedikit ragu, tetapi sesuatu dalam hatinya mendorongnya untuk terus maju. Dengan surat yang baru saja ia temukan, Andi berjalan menuju rumah tersebut, yang kini tampak kosong dan terlantar. Pagar kayu yang dulunya tampak kokoh kini telah lapuk, dan jendela-jendela rumah itu tertutup rapat, seolah-olah sudah lama tidak ada yang menghuni.
Namun, saat Andi berdiri di depan pintu rumah itu, Cici tiba-tiba melompat dari belakang dan menyentuh kakinya dengan cakarnya. Kucing hitam itu menatap Andi dengan tatapan penuh harap, seperti memberi isyarat agar ia masuk.
Andi merasa sedikit bingung, tetapi ia mengikuti perasaan hatinya. Dengan pelan, ia mendorong pintu yang sudah rapuh itu dan masuk ke dalam rumah. Begitu melangkah masuk, ia merasa seolah memasuki dunia yang berbeda. Udara di dalam rumah itu terasa berat, dan ada bau lembap yang menempel di udara. Di dalam, Andi melihat sebuah meja kayu besar yang dipenuhi dengan berbagai benda aneh—buku-buku kuno, beberapa bola kristal, dan berbagai artefak yang terlihat sangat tua.
Cici berjalan mendekat ke meja dan duduk di sebelah sebuah buku yang terbuka. Andi merasa ada sesuatu yang menarik di sana, jadi ia mendekat dan memeriksa buku tersebut. Halamannya penuh dengan tulisan tangan yang sulit dibaca, namun di bagian bawah halaman, ia menemukan sebuah gambar yang menggambarkan kucing hitam yang sangat mirip dengan Cici, berdiri di depan sebuah pintu yang tampaknya membawa ke dunia lain.
Melihat gambar itu, Andi merasa bahwa semuanya mulai saling terhubung. Cici, kucing hitam yang selama ini membawa surat-surat, tampaknya memang memiliki hubungan dengan dunia yang lebih luas—dengan sesuatu yang lebih besar daripada yang ia bisa pahami. Gambar itu menunjukkan bahwa Cici adalah bagian dari misi yang lebih besar, misi yang melibatkan dunia lain, dunia yang tak tampak oleh mata manusia biasa.
Andi membaca lebih lanjut, mencoba menguraikan arti dari tulisan-tulisan yang ada di dalam buku tersebut. Beberapa kata yang tertera di halaman itu tampaknya mengarah pada sebuah tempat, sebuah lokasi yang tidak diketahui banyak orang. Andi menyadari bahwa buku itu mungkin adalah kunci untuk menemukan tempat yang dimaksud, tempat yang mungkin menyimpan jawaban atas semua pertanyaan yang berputar di pikirannya.
Ketika Andi menutup buku itu, Cici berdiri dan melangkah menuju pintu rumah. Kucing hitam itu menoleh ke belakang, memberi isyarat kepada Andi untuk mengikutinya. Andi merasa seolah-olah ia sedang diajak ke sebuah perjalanan yang tidak bisa ia hindari. Dengan penuh tekad, Andi mengikuti Cici, siap untuk menemukan lebih banyak petunjuk dan mengungkap rahasia yang tersembunyi.
Di luar, langit mulai gelap, tetapi Andi merasa bahwa perjalanan ini baru saja dimulai.*
Bab 6: Gerbang Dunia Lain
Langkah kaki Andi terdengar pelan di sepanjang jalan setapak yang mengarah ke hutan kecil di pinggiran kota. Cici, kucing hitam itu, berjalan dengan tenang di depannya, seolah-olah tahu persis ke mana ia akan membawa Andi. Sejak ia menemukan buku di rumah wanita bijaksana itu, Andi merasa bahwa segala sesuatu yang terjadi selama ini bukanlah kebetulan. Cici bukan sekadar kucing peliharaan biasa—dia adalah penjaga sebuah rahasia besar, dan Andi mulai merasakan bahwa ia terlibat dalam sebuah misi yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan.
Buku yang ia temukan di rumah wanita itu menggambarkan sebuah lokasi yang misterius, sebuah tempat yang disebut “Gerbang Dunia Lain”. Tempat ini hanya bisa ditemukan oleh mereka yang memiliki “kunci”, yang dalam hal ini adalah Cici, kucing hitam yang telah mengantarkan banyak surat. Namun, Andi masih belum tahu pasti apa yang dimaksud dengan “Dunia Lain” itu, dan mengapa ia harus terlibat di dalamnya. Semua ini terasa seperti teka-teki besar yang harus ia pecahkan.
Setelah berjalan beberapa saat, Andi dan Cici sampai di sebuah area yang tampaknya terlupakan oleh waktu. Di depan mereka, terdapat sebuah gerbang besi yang sudah berkarat, dikelilingi oleh semak-semak lebat yang tumbuh liar. Gerbang itu tampak seperti pintu masuk ke suatu tempat yang telah lama tidak dijaga, namun ada sesuatu yang aneh—gerbang itu tampak berbeda dari yang lainnya. Sebuah aura misterius menyelimuti tempat tersebut, dan Andi merasa bahwa mereka telah sampai di tujuan yang dimaksudkan oleh buku itu.
Cici berhenti di depan gerbang dan menatap Andi dengan mata hijau yang tajam. Seolah memberi isyarat bahwa inilah waktunya untuk membuka pintu dan melangkah masuk. Andi merasa sedikit ragu, tetapi rasa ingin tahunya mengalahkan rasa takut yang mulai muncul. Ia meraih pegangan gerbang dengan tangan gemetar dan menariknya dengan hati-hati. Gerbang itu terbuka dengan suara berderak keras, seperti menyambut kedatangan mereka.
Di balik gerbang, Andi melihat sebuah jalan setapak yang dipenuhi dengan dedaunan kering, yang tampaknya telah lama tidak dilalui. Jalan itu mengarah ke sebuah area yang lebih gelap, dengan pohon-pohon besar yang menutupi langit, menciptakan suasana yang misterius dan sedikit menakutkan. Namun, Cici tidak ragu sedikit pun. Kucing itu berjalan dengan langkah mantap, seolah-olah mengetahui jalannya dengan sangat baik. Andi mengikuti Cici dengan hati-hati, tidak ingin kehilangan jejak.
Setelah beberapa langkah, mereka tiba di sebuah tempat terbuka yang dikelilingi oleh batu-batu besar. Di tengahnya, terdapat sebuah kolam kecil dengan air yang jernih, tetapi ada sesuatu yang aneh—air itu tampak tidak bergerak, seolah terperangkap dalam waktu yang tidak bisa dijelaskan. Di tepi kolam, terdapat sebuah batu besar yang terlihat seperti altar kuno. Di atas batu itu, ada simbol-simbol aneh yang tidak bisa Andi mengerti, namun tampaknya sangat penting.
Cici berhenti di depan batu itu dan duduk dengan tenang. Andi merasa bahwa ia harus melakukan sesuatu, tetapi ia tidak tahu apa. Ia memandang sekitar, mencari petunjuk atau sesuatu yang bisa memberinya arahan. Pada saat itu, ia menyadari sebuah hal yang membuatnya terkejut—simbol yang terukir di batu itu tampak mirip dengan tanda yang ada pada gulungan surat yang ia terima sebelumnya. Tanda itu adalah sebuah gambar yang tampaknya menggambarkan kunci, persis seperti yang dikatakan dalam pesan.
Andi merasa bahwa ini adalah saat yang sangat penting. Ia mendekatkan diri ke batu itu, meraba simbol-simbol yang terukir dengan hati-hati. Tiba-tiba, sebuah suara halus terdengar dari dalam dirinya—sebuah suara yang seolah datang dari dalam pikirannya. “Tempat ini adalah penghubung antara dunia yang tampak dan yang tidak tampak,” suara itu berbicara lembut, tetapi sangat jelas. “Kunci yang Anda pegang adalah jembatan antara dua dunia. Buka mata Anda, Andi, dan temukan apa yang tersembunyi.”
Andi terkejut dan mundur sejenak. Ia merasa kebingungan dan sedikit cemas. Apakah itu suara dalam pikirannya, ataukah suara dari dunia lain yang mencoba berbicara kepadanya? Namun, ia merasa bahwa pesan itu penting, dan ia harus mempercayainya.
Dengan hati yang berdebar, Andi melangkah maju dan memegang batu itu. Begitu tangannya menyentuh permukaan batu, sebuah cahaya lembut mulai muncul dari celah-celah simbol yang terukir di atasnya. Cici yang duduk di dekatnya tiba-tiba berdiri dan melangkah mundur, tampaknya memberi ruang bagi Andi untuk melanjutkan.
Cahaya itu semakin terang, dan Andi merasa dirinya terhisap oleh energi yang tidak dapat ia jelaskan. Dunia di sekelilingnya mulai bergetar, dan suara-suara asing terdengar di telinganya. Pada saat itu, Andi menyadari bahwa ia telah membuka sesuatu yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan—sesuatu yang menghubungkan dua dunia yang berbeda.
Saat cahaya itu memudar, Andi terdiam sejenak, kebingungannya berubah menjadi kekaguman. Di depannya, terbentang sebuah dunia yang tampaknya terpisah dari dunia nyata—sebuah tempat yang penuh dengan makhluk dan fenomena yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Andi merasa terhanyut dalam pemandangan itu, seperti memasuki sebuah alam yang penuh dengan keajaiban dan misteri.
Cici berdiri di samping Andi, menatap dunia baru itu dengan mata yang penuh pemahaman. Kucing itu tampak seperti tahu persis apa yang harus dilakukan, dan Andi merasakan bahwa ia harus mengikuti Cici untuk melangkah lebih jauh ke dalam dunia yang baru ini. Dunia yang penuh dengan rahasia, dan yang kini, Andi tahu, adalah bagian dari takdirnya.
Di depan mereka, jalan menuju dunia lain terbuka lebar. Andi tidak bisa menghindari perasaan bahwa ia berada di ambang sebuah perjalanan yang akan mengubah hidupnya selamanya. Cici, si kucing hitam yang misterius, telah membawanya ke sini, dan kini, Andi harus memulai pencariannya untuk mengungkapkan rahasia-rahasia yang tersembunyi di balik “Gerbang Dunia Lain.”***
——-THE END——