• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
PERJANJIAN GELAP DAN ALTAR TERLARANG

PERJANJIAN GELAP DAN ALTAR TERLARANG

January 27, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
PERJANJIAN GELAP DAN ALTAR TERLARANG

PERJANJIAN GELAP DAN ALTAR TERLARANG

by SAME KADE
January 27, 2025
in Misteri & Thriller
Reading Time: 21 mins read

Bab 1: Sebuah Keputusan

Clara berjalan dengan langkah penuh keyakinan menuju kantor redaksi, tas hitam yang menggantung di bahunya berayun perlahan. Matahari pagi menyinari jalanan kota yang sibuk, namun pikiran Clara jauh dari keramaian itu. Hari ini, ia merasa seperti berada di ambang perubahan besar. Setelah bertahun-tahun bekerja sebagai jurnalis di kota besar, akhirnya ia mendapatkan kesempatan yang langka: sebuah proyek yang akan membawanya jauh dari kenyamanannya, ke tempat yang penuh misteri.

Kali ini, bukan sekadar liputan rutin yang akan ia lakukan, melainkan sesuatu yang lebih besar, lebih menantang, dan sekaligus mengancam. Ia ditugaskan untuk menyelidiki sebuah desa terpencil yang terletak di kaki gunung, sebuah desa yang selama ini jarang terdengar namanya. Meskipun terdengar tidak begitu menarik bagi kebanyakan orang, bagi Clara, ini adalah kesempatan untuk menggali sesuatu yang jauh lebih dalam daripada sekadar berita biasa. Sesuatu yang selama ini hanya bisa ia dengar dalam cerita-cerita aneh dari mulut ke mulut.

Desa tersebut dikenal dengan sebuah legenda yang telah lama mengundang rasa penasaran: altar terlarang yang terletak di tengah hutan yang lebat. Konon, altar itu adalah tempat untuk melakukan perjanjian gelap dengan kekuatan yang tidak bisa dijelaskan. Beberapa orang yang berani mengunjunginya tidak pernah kembali, sementara yang lainnya ditemukan dalam keadaan gila, berbicara tentang suara-suara dan bisikan yang tidak dapat dipahami.

Namun, banyak orang yang menganggap cerita itu hanya sekadar mitos, sebuah dongeng untuk menakut-nakuti anak-anak. Tapi Clara bukanlah orang yang mudah percaya pada cerita tanpa bukti. Dia tahu, untuk bisa mengungkap kebenaran, ia harus pergi ke sana, menyelidiki sendiri, dan menggali fakta di balik legenda tersebut.

Sesampainya di kantor redaksi, Clara langsung menuju meja atasannya, Pak Guntur. Seorang pria berumur lima puluhan dengan rambut perak yang selalu terlihat serius. Namun, kali ini, ada senyum tipis di wajahnya saat Clara memasuki ruangannya.

“Clara, kamu akhirnya datang,” ucap Pak Guntur sambil menatapnya dengan pandangan penuh arti. “Saya baru saja mendapatkan informasi lebih lanjut tentang desa itu. Dengar, ini bukan tugas yang mudah. Mungkin, ini akan jadi laporan terbesar dalam kariermu, tapi ada risiko besar yang terlibat.”

Clara duduk di kursi di depan meja Pak Guntur, tidak merasa takut sedikit pun. Ia telah terbiasa dengan tantangan. “Saya sudah mendengar tentang desa itu. Altar terlarang, perjanjian gelap, orang-orang yang hilang. Semua itu terlalu misterius untuk diabaikan begitu saja.”

Pak Guntur mengangguk. “Betul. Tapi itu juga alasan mengapa kami memilihmu untuk tugas ini. Kamu seorang jurnalis muda dengan naluri yang tajam. Kami membutuhkan seseorang yang berani, yang bisa menggali fakta, bukan hanya mengejar sensasi.”

Clara merasa jantungnya berdegup lebih cepat. “Apa yang perlu saya lakukan?”

Pak Guntur mengeluarkan sebuah map dari laci mejanya dan meletakkannya di atas meja. “Ini adalah informasi yang kami dapatkan tentang desa itu. Kamu akan berangkat ke sana besok pagi. Saya sudah mengatur perjalananmu dan semua yang kamu butuhkan di sana. Tapi, Clara, ini bukan pekerjaan biasa. Kami tidak tahu seberapa besar ancaman yang ada di desa itu.”

Clara membuka map yang diberikan Pak Guntur dan melihat foto-foto desa yang tampak sunyi. Di halaman berikutnya terdapat peta yang menggambarkan lokasi altar terlarang di dalam hutan, bersama dengan deskripsi singkat tentang beberapa insiden yang terjadi di desa tersebut. Tertulis pula tentang beberapa orang yang hilang, dan juga satu kasus aneh di mana seseorang ditemukan di luar desa dalam keadaan bingung dan tidak ingat apapun, hanya bisa mengucapkan satu kalimat: “Tidak ada jalan keluar dari altar itu.”

Namun, Clara juga mencatat sesuatu yang menarik. Banyak yang berusaha untuk menghapus jejak-jejak peristiwa tersebut. Seolah ada kekuatan yang lebih besar yang melindungi desa itu dari sorotan dunia luar. Bukan hanya ancaman dari makhluk gaib atau kekuatan gelap, tetapi juga kekuatan dari orang-orang yang ingin menjaga rahasia itu tetap tersembunyi.

“Apakah Anda yakin saya harus pergi ke sana? Apa benar tidak ada yang lebih berisiko dari ini?” Clara bertanya, meskipun ia sudah tahu jawabannya. Ada rasa cemas yang mulai menyelinap di dalam dirinya, namun ia berusaha mengabaikannya.

Pak Guntur menatapnya dengan serius. “Clara, kita sudah lama menunggu seseorang yang bisa menyelidiki hal ini lebih jauh. Hanya orang dengan keberanian dan tekad yang kuat yang bisa mendapatkan jawaban. Tidak ada yang tahu apakah kamu akan kembali dengan jawaban yang kita harapkan, atau bahkan dengan hidupmu utuh. Tapi ini adalah kesempatan yang tidak bisa kita lewatkan.”

Clara terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Pak Guntur. Ia tahu tugas ini bukan hanya tentang membuat laporan yang sensasional, tetapi tentang mencari kebenaran, apa pun itu. Kebenaran tentang altar terlarang, tentang perjanjian gelap yang dilakukan oleh orang-orang di desa itu, dan tentang nasib mereka yang terperangkap dalam misteri yang seolah tak bisa dijelaskan dengan logika.

“Baiklah,” jawab Clara akhirnya, meskipun ia bisa merasakan ketegangan yang semakin menumpuk di dalam dadanya. “Saya akan pergi. Saya akan mengungkap apa yang terjadi di sana.”

Pak Guntur tersenyum tipis, bangga dengan keputusan Clara. “Saya tahu kamu bisa melakukannya. Ambil waktu sebaik-baiknya, gali semua yang bisa kamu temukan. Kami menunggu laporan dari kamu.”

Setelah berbicara lebih lanjut tentang persiapan perjalanan, Clara keluar dari ruang kerja Pak Guntur. Langkahnya terasa lebih berat dari biasanya, dan saat ia melangkah keluar kantor, ia menatap ke langit yang cerah. Di luar, dunia terlihat tenang, namun di dalam hatinya, Clara merasakan ketegangan yang terus berkembang. Desa yang akan ia tuju mungkin bukan hanya sebuah lokasi yang penuh misteri, tetapi juga tempat yang akan mengubah hidupnya selamanya.

Ia tahu bahwa perjalanan ini bukan hanya sekadar pekerjaan. Ini adalah perjalanan untuk mengungkap kebenaran yang terpendam dalam kegelapan, dan untuk memahami perjanjian gelap yang selama ini tersembunyi di balik kabut cerita-cerita aneh.

Dan Clara sudah membuat keputusan. Ia akan menghadapinya, apa pun yang terjadi.*

Bab 2: Menuju Desa Tertutup

Pagi itu, udara di luar terasa segar meskipun sinar matahari mulai terasa menyengat. Clara berdiri di depan terminal bus, menunggu kendaraan yang akan membawanya menuju desa yang selama ini hanya ia dengar lewat cerita-cerita misterius. Di tangannya, ia memegang map dan catatan kecil yang berisi informasi yang sudah dikumpulkannya tentang desa tersebut. Meski rasanya ada kecemasan yang menyelimuti, Clara berusaha menenangkan dirinya. Ia tahu, inilah kesempatan besar yang tak boleh dilewatkan.

Bus yang akan membawanya ke desa itu sudah tiba. Clara mengangkat tas ranselnya dan naik ke dalam kendaraan dengan langkah tegap. Di dalam, hanya ada beberapa penumpang. Di bagian belakang bus, seorang pria tua dengan wajah keriput memandang Clara dengan tatapan yang sulit dipahami. Sejenak, Clara merasa sedikit tidak nyaman, tetapi ia segera mengabaikannya dan duduk di kursi dekat jendela.

Bus itu mulai bergerak perlahan meninggalkan terminal, menyusuri jalanan kota yang sibuk sebelum akhirnya memasuki daerah pedesaan. Clara menatap keluar jendela, mencoba mengalihkan perhatiannya dari ketegangan yang mulai merayapi pikirannya. Pemandangan yang ia lihat di sepanjang jalan semakin membuatnya terpesona—sawah-sawah hijau yang terbentang luas, bukit-bukit yang menjulang dengan puncak-puncaknya yang diselimuti kabut, dan pepohonan tinggi yang seolah menyambut kedatangannya.

Namun, semakin bus itu melaju menuju pedalaman, semakin terasa pula aura yang berbeda. Keheningan yang menyelimuti daerah ini begitu kontras dengan hiruk-pikuk kota yang biasa ia tinggalkan. Sepanjang perjalanan, tidak ada satu pun kendaraan yang lewat. Rumah-rumah penduduk semakin jarang terlihat, digantikan oleh hutan belantara yang semakin lebat. Clara mulai merasa bahwa ia memasuki dunia yang jauh berbeda dari kehidupan yang ia kenal.

Di sepanjang perjalanan, beberapa warga yang duduk di sekitar Clara sesekali meliriknya. Tidak ada yang berbicara. Bahkan sang sopir bus yang tadinya ramah, kini tampak lebih tertutup. Clara merasa ada sesuatu yang ganjil dalam perjalanan ini. Suasana yang sepi dan misterius, serta sikap para penduduk yang terkesan menghindar, membuatnya merasa semakin terasing.

Tak lama setelah itu, bus berhenti di sebuah desa kecil yang tampaknya terisolasi dari dunia luar. Desa ini tidak seperti yang Clara bayangkan sebelumnya. Tidak ada keramaian, tidak ada tanda-tanda kehidupan modern—hanya jalanan sempit dengan rumah-rumah yang tampak sangat tua, sebagian bahkan tampak seperti tidak terawat. Rerumputan yang tumbuh liar di sekitar jalan semakin menambah kesan bahwa desa ini terkurung dalam waktu yang tak bergerak.

Clara turun dari bus dengan langkah hati-hati, merasakan tanah desa yang tampak keras dan kering di bawah kakinya. Begitu ia menginjakkan kaki di desa itu, ia merasa ada sesuatu yang menyentuhnya dengan cara yang tidak bisa dijelaskan—suatu ketegangan, sebuah ancaman yang tersembunyi, yang hanya bisa ia rasakan, bukan dilihat.

Sopir bus itu menatap Clara dengan pandangan yang lebih dalam, seolah memperingatkannya tentang sesuatu yang tak diungkapkan. “Selamat datang di desa kami,” katanya, suaranya datar dan tanpa ekspresi. “Jaga diri baik-baik. Hati-hati dengan hutan.”

Clara hanya mengangguk, berusaha menunjukkan rasa terima kasihnya meskipun kata-kata itu lebih terdengar seperti sebuah peringatan daripada ucapan ramah.

Desa ini tampak begitu sunyi. Tidak ada anak-anak yang bermain, tidak ada suara tawa atau riuh percakapan dari penduduknya. Hanya ada beberapa orang tua yang duduk di beranda rumah, menatapnya dengan pandangan yang sulit dipahami. Clara merasa sangat asing di sini, seolah-olah ia adalah orang luar yang tidak seharusnya ada di tempat ini.

Clara memutuskan untuk menuju penginapan yang telah disebutkan dalam peta yang ia bawa. Pintu penginapan itu terbuka perlahan begitu ia mengetuknya. Di dalam, seorang wanita paruh baya menyambutnya dengan senyum yang tampak dipaksakan. Clara merasa ada sesuatu yang aneh dengan senyuman itu, tetapi ia tidak bisa menentukan apa itu.

“Selamat datang, Nona. Kamu pasti datang untuk melihat tempat itu, kan?” wanita itu bertanya sambil menunjukkan sebuah kursi di sudut ruangan.

Clara terkejut, merasa bahwa wanita itu tahu tujuan kedatangannya tanpa bertanya lebih lanjut. “Ya,” jawab Clara dengan hati-hati, “Saya ingin mencari tahu lebih banyak tentang altar terlarang yang ada di hutan.”

Wanita itu mendelik sesaat, seolah terkejut dengan jawaban Clara, namun kemudian tersenyum tipis. “Kalau begitu, kamu harus siap menghadapi banyak hal. Desa ini sudah lama terlupakan oleh dunia luar, dan ada alasan mengapa orang-orang di sini enggan berbicara tentang hal itu.”

Clara merasa semakin bingung, tetapi ia tetap mencoba untuk bersikap tenang. Ia tahu, untuk mengungkapkan kebenaran, ia harus terus maju meskipun rasa takut mulai menguasai dirinya.

Setelah berbincang beberapa lama, Clara memutuskan untuk menghabiskan waktu di sekitar desa, mengamati dan berusaha mencari tahu lebih banyak tentang kehidupan di sini. Selama perjalanan singkatnya, Clara mulai menyadari sesuatu yang ganjil. Setiap kali ia mencoba berbicara dengan penduduk desa, mereka akan menjauh atau menghindar. Tidak ada yang ingin membantunya, dan tidak ada yang bersedia memberinya informasi lebih lanjut tentang altar yang ia cari.

Namun, ketika ia berjalan mendekati hutan yang terletak di pinggir desa, ia merasakan hawa yang berbeda. Hutan itu tampak lebih gelap dari biasanya. Seperti ada sesuatu yang mengintai di balik pepohonan yang lebat, sesuatu yang menghubungkan semua rahasia desa ini. Clara merasa tubuhnya merinding. Bisikan angin yang menyentuh wajahnya seakan membawa pesan yang tidak dapat dimengerti. Tiba-tiba, Clara merasa ada kekuatan yang menariknya lebih dekat ke dalam hutan.

Dengan perasaan ragu, Clara mundur langkah demi langkah, merasa semakin tertarik dan takut pada saat yang bersamaan. Desa ini memiliki banyak cerita, dan Clara baru saja menyentuh permukaan misteri yang ada di sana. Keputusan untuk melangkah lebih jauh ke dalam desa ini mungkin akan mengubah hidupnya selamanya.

Malam itu, Clara berbaring di kamarnya, merenung tentang apa yang telah ia temui di desa ini. Semua perasaan yang membelenggunya mulai membuatnya merasa cemas, tetapi ia tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai. Bagaimana pun, ia harus mengungkap kebenaran di balik altar terlarang, meskipun takdir yang menanti mungkin jauh lebih gelap daripada yang ia bayangkan.*

Bab 3: Penyelidikan Dimulai

Pagi itu, udara desa terasa lebih dingin dari biasanya. Clara terbangun dengan perasaan gelisah yang masih menggelayuti pikiran. Meskipun semalam ia sempat tidur dengan nyenyak, mimpi buruk yang penuh dengan bayangan hutan yang gelap terus mengganggu tidurnya. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di desa ini, ia merasa seolah ada sesuatu yang tak kasat mata mengikutinya, sesuatu yang mencoba menariknya ke dalam kegelapan yang dalam.

Clara tahu, untuk mengungkap misteri ini, ia harus berani menantang ketakutannya. Altar terlarang di hutan itu adalah pusat dari segala rahasia yang disembunyikan desa ini, dan ia bertekad untuk menemukan kebenaran. Namun, ia juga tahu bahwa untuk memulai penyelidikan ini, ia harus berhati-hati. Tidak ada yang mau berbicara langsung tentang altar atau hutan itu, dan penduduk desa jelas tidak ingin ia mengusik hal-hal yang sudah lama terkubur.

Setelah sarapan pagi yang singkat, Clara memutuskan untuk berjalan-jalan mengelilingi desa. Ia berharap dapat menemukan petunjuk-petunjuk yang lebih jelas tanpa harus menanyakan langsung kepada penduduk setempat. Ia berjalan melewati rumah-rumah tua yang hampir semuanya tampak terlantar. Beberapa rumah bahkan terlihat rapuh, dengan cat yang sudah mengelupas dan atap yang sebagian besar berlubang. Desa ini seperti terlupakan oleh waktu, terasing dari dunia luar.

Clara berhenti di depan sebuah rumah yang sedikit lebih terawat dibandingkan yang lainnya. Sebuah papan nama terpampang di depan pintu, bertuliskan “Toko Kuno”. Penasaran, ia mendekat dan mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka dengan pelan, memperlihatkan seorang pria paruh baya yang mengenakan kacamata tebal. Pria itu memandang Clara dengan pandangan tajam, seolah menilai apakah ia boleh diterima di dalam.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanya pria itu, suaranya terdengar berat dan agak pelan.

Clara mengangguk, mencoba menunjukkan ketertarikan pada toko tersebut. “Saya baru saja datang ke desa ini. Saya mendengar banyak cerita aneh tentang tempat ini… tentang hutan dan altar terlarang. Apakah Anda tahu sesuatu tentang itu?”

Wajah pria itu langsung berubah. Pandangannya tajam, namun juga cemas. Ia menatap Clara sejenak, lalu melangkah mundur ke dalam toko, memberi isyarat agar Clara masuk. Tanpa berkata sepatah kata pun, Clara mengikuti pria itu ke dalam.

Toko itu lebih mirip gudang tua yang dipenuhi dengan barang-barang antik. Buku-buku tebal yang sudah menguning, berbagai artefak aneh, dan benda-benda usang tergeletak di mana-mana. Pria itu duduk di belakang meja kecil yang penuh dengan tumpukan kertas dan buku. Ia menatap Clara sejenak sebelum akhirnya berbicara dengan suara rendah, seolah-olah takut ada yang mendengarnya.

“Desa ini memiliki sejarah yang gelap,” katanya, matanya tetap menatap Clara tajam. “Hutan dan altar itu adalah bagian dari masa lalu yang harusnya tetap dilupakan. Banyak orang yang mencoba mencari tahu tentangnya, tetapi tidak ada yang pernah kembali utuh. Ada kekuatan di dalam sana, kekuatan yang tak seharusnya diusik.”

Clara menelan ludah. “Apa yang sebenarnya terjadi di sana? Kenapa desa ini begitu tertutup?”

Pria itu menarik napas panjang dan mulai bercerita. “Altar itu sudah ada sejak lama. Dulu, desa ini bukanlah tempat yang tertutup seperti sekarang. Orang-orang datang dari berbagai tempat untuk memuja sesuatu yang jauh lebih besar daripada mereka sendiri. Tapi kekuatan itu tidak bisa dikendalikan. Mereka yang mencoba menyentuhnya, mencari cara untuk menguasainya, justru menjadi korban dari kutukan yang diciptakan oleh altar itu.”

Clara merasakan hawa dingin yang mulai menyelimuti ruangan. Ada ketakutan yang memancar dari kata-kata pria itu, dan meskipun ia merasa cemas, rasa ingin tahunya semakin besar. “Apa yang terjadi dengan mereka yang hilang?”

Pria itu menatap Clara dengan ekspresi penuh penyesalan. “Mereka menjadi bagian dari hutan itu. Jiwa mereka terperangkap, terikat oleh kutukan. Setiap kali seseorang mencoba mencari altar, mereka akan mendengar bisikan—bisikan yang berasal dari jiwa-jiwa yang hilang. Jika mereka cukup lemah, mereka akan terpengaruh dan menjadi bagian dari kegelapan itu.”

Clara merasa bulu kuduknya meremang. Ia sudah mendengar cukup banyak, tetapi ada satu pertanyaan yang masih mengganjal di pikirannya. “Kenapa penduduk desa tidak mau berbicara tentang itu? Kenapa mereka membiarkan semuanya terlupakan?”

Pria itu menghela napas panjang. “Karena mereka tahu apa yang akan terjadi jika ada yang mencoba menggali lebih dalam. Sebagian besar penduduk di sini sudah berbaur dengan kegelapan itu, mereka tak ingin terganggu. Dan mereka yang masih hidup, mereka hanya ingin hidup damai meski terperangkap dalam ketakutan.”

Clara merasa terhimpit oleh kata-kata pria itu. Ketakutan yang ia rasakan semakin nyata, namun perasaan penasaran itu juga menguasai dirinya. Ia tahu, untuk menemukan kebenaran, ia harus melangkah lebih jauh, meskipun ia harus menghadapi segala bahaya yang mungkin mengintainya.

Setelah beberapa saat, Clara mengucapkan terima kasih kepada pria itu dan meninggalkan toko dengan pikiran yang semakin berat. Ia tidak tahu apakah ia sudah siap untuk melangkah lebih jauh, tetapi sesuatu dalam dirinya menuntut untuk terus mencari. Ada jawaban yang harus ia temukan, dan ia merasa bahwa hutan yang gelap itu menyimpan kunci dari semua misteri yang ada di desa ini.

Dengan tekad yang semakin kuat, Clara melangkah keluar dari toko, menuju hutan yang hanya beberapa langkah lagi dari desanya. Hutan yang sudah lama dilupakan, namun kini, semakin ia mendekat, semakin ia merasa bahwa kegelapan itu menunggu untuk menyambutnya.*

Bab 4: Mimpi Buruk dan Penglihatan

Malam di desa itu terasa sangat sunyi. Hanya suara angin yang berdesir lembut di antara pepohonan yang menggoyang-goyang daun-daunnya. Clara terbaring di tempat tidurnya, mencoba menenangkan pikirannya setelah pertemuan yang mencekam dengan pria di toko antik. Meski matanya terpejam, perasaan tidak nyaman terus mengganggu. Ia merasa seolah ada sesuatu yang mengintainya, sesuatu yang tak bisa ia lihat, namun bisa ia rasakan.

Mimpi itu datang lagi. Seperti biasa, dimulai dengan suara bisikan lembut yang memanggil namanya. Awalnya samar, namun semakin lama semakin jelas, hingga akhirnya ia bisa mendengar suara itu dengan sangat nyata. “Clara… Clara…”

Suara itu penuh dengan kesedihan dan penderitaan, seolah berasal dari kedalaman bumi. Clara mencoba memanggil nama itu, namun tubuhnya terasa berat. Ia tidak bisa bergerak. Dengan segala kekuatannya, ia berusaha membuka mata, namun semuanya terlihat gelap gulita. Ia merasakan hawa dingin menyelimuti tubuhnya, seolah berada di dalam ruang yang tak ada ujungnya.

Tiba-tiba, di tengah kegelapan itu, sebuah cahaya redup muncul. Clara berusaha mengikutinya, langkah demi langkah, namun semakin ia mendekati cahaya itu, semakin jauh pula cahaya itu menghilang. Seolah ada tangan yang menariknya ke dalam kegelapan. Clara berteriak, mencoba untuk lari, tetapi semakin ia berusaha melangkah, semakin ia merasa terjerat dalam mimpi itu.

Mimpi buruk ini terus berulang setiap malam sejak ia tiba di desa ini. Namun malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Ketika Clara terbangun, perasaan takut yang dalam menjalar di sekujur tubuhnya. Tubuhnya basah oleh keringat dingin, dan napasnya terengah-engah. Ia duduk di tempat tidurnya, mencoba menenangkan diri. Suara bisikan itu masih terngiang di telinganya, memanggil-manggil namanya. Clara menatap sekeliling ruangan yang tampak biasa saja, namun malam itu ada sesuatu yang terasa sangat aneh.

Di luar jendela, bulan bersinar terang, namun ada bayangan gelap yang bergerak di antara pepohonan. Clara mendekatkan wajahnya ke jendela, mencoba memastikan apa yang ia lihat. Tidak ada yang tampak mencurigakan, tetapi hatinya tetap merasa cemas. Bisikan itu datang lagi, kali ini lebih keras, lebih nyata. “Clara… datanglah, temui kami.”

Dengan rasa takut yang semakin mendalam, Clara mengalihkan pandangannya dari jendela. Ia tahu ia tidak bisa terus-menerus hidup dalam ketakutan seperti ini. Ada sesuatu yang harus ia ungkap. Mimpi-mimpi ini bukan hanya sekadar mimpi, mereka adalah panggilan dari suatu kekuatan yang tersembunyi di dalam desa ini, dan ia merasa semakin yakin bahwa hutan itu adalah kunci dari semua yang terjadi.

Pagi harinya, Clara memutuskan untuk kembali ke hutan. Ia merasa bahwa hanya dengan menghadapinya, ia bisa mengerti lebih banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi. Meski tubuhnya masih lelah karena mimpi buruk yang menghantuinya, ia tak bisa membiarkan ketakutannya menguasai dirinya. Ia mengenakan jaket tebal dan melangkah keluar dari rumah dengan tekad yang bulat.

Langkahnya membawa Clara ke pinggir hutan yang lebat. Hutan itu tampak semakin gelap dan menakutkan di bawah sinar matahari pagi. Namun, Clara merasa ada sesuatu yang menariknya ke dalam, seolah hutan itu memanggilnya dengan cara yang misterius. Semakin ia melangkah, semakin ia merasa bahwa ada kekuatan yang mengawasi gerak-geriknya.

Tiba-tiba, Clara berhenti. Di antara pepohonan yang rapat, ia melihat sesuatu yang mencurigakan. Sebuah batu besar yang tampaknya seperti altar, tertutup oleh tanaman liar yang merambat. Batu itu terlihat tua dan berlumut, namun ada sesuatu yang aneh tentangnya. Clara merasa matanya terfokus pada batu itu, dan saat ia mendekat, ia bisa merasakan hawa dingin yang datang dari sana.

“Ini dia,” gumam Clara pelan. “Ini altar yang diceritakan.”

Tangan Clara mulai gemetar saat ia menyentuh batu itu. Begitu tangannya menyentuh permukaan batu yang kasar itu, seakan-akan waktu berhenti sejenak. Clara merasa sekelilingnya tiba-tiba menjadi sangat sunyi. Angin berhenti bertiup, suara burung terhenti, bahkan suara jangkrik yang biasa terdengar sepanjang hari pun hilang. Semua terasa hening, hanya ada dirinya dan altar itu.

Kemudian, dalam sekejap, Clara merasa seperti ada yang bergerak di dalam dirinya. Sebuah penglihatan datang begitu saja, menghantam pikirannya dengan cepat. Clara melihat dirinya berdiri di tengah hutan yang gelap. Di sekelilingnya, ada sosok-sosok bayangan yang bergerak cepat, wajah mereka tampak mengerikan, dengan mata yang kosong dan mulut yang ternganga. Mereka seolah mencoba menyerangnya, namun ia tidak bisa bergerak.

Akhirnya, Clara melihat sosok lain di kejauhan, berdiri di depan sebuah altar yang lebih besar, di atas batu yang sama dengan tempat ia berdiri sekarang. Sosok itu mengenakan jubah hitam, wajahnya tidak terlihat jelas, tetapi dari posturnya, Clara bisa merasakan bahwa itu adalah seseorang yang memiliki kekuatan yang sangat besar. Sosok itu mengangkat tangan, dan seketika itu juga, Clara merasakan tubuhnya terhimpit oleh kekuatan tak terlihat. Suara bisikan kembali terdengar, lebih keras dan lebih jelas dari sebelumnya, berulang kali memanggil namanya.

“Clara… Clara… datanglah…”

Dengan sekuat tenaga, Clara terjaga dari penglihatan itu. Jantungnya berdebar kencang, dan tubuhnya terasa lemas. Ia berdiri terpaku di depan altar, masih merasakan sensasi penglihatan yang baru saja ia alami. Clara tahu, penglihatan itu bukan hanya mimpi—itu adalah peringatan. Sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih gelap dari apa yang bisa ia bayangkan sedang menunggunya di sana, di altar itu.*

Bab 5: Terjebak Dalam Perjanjian

Clara kembali ke desa dengan perasaan yang semakin berat. Penglihatan yang ia alami di altar hutan terus menghantui pikirannya. Ia merasa seperti terperangkap dalam lingkaran yang tak bisa ia lepaskan, dan semakin dekat dengan kebenaran, semakin ia merasa ada kekuatan gelap yang mengintai langkahnya. Hutan itu, altar itu, dan bisikan-bisikan yang datang setiap malam—semuanya berputar dalam pikirannya, menuntut jawaban.

Malam itu, Clara tidak bisa tidur. Setiap kali ia menutup matanya, bayangan sosok berjubah hitam yang ia lihat dalam penglihatannya muncul kembali. Sosok itu seperti bayangan yang mengejar tanpa henti, seolah tidak akan membiarkannya pergi. Keringat dingin mengucur di pelipisnya, dan ia merasakan perasaan tercekik yang semakin menguat. Ia tahu, ada sesuatu yang sangat mengerikan di balik altar itu—sesuatu yang bahkan lebih kuat dari dirinya.

Pagi harinya, Clara memutuskan untuk menemui pria di toko antik lagi. Ia merasa bahwa hanya orang itu yang bisa memberinya petunjuk lebih lanjut. Dengan langkah cepat, ia menuju toko itu, hati berdebar-debar. Sesampainya di depan pintu, ia mengetuk dengan keras. Tak lama, pria itu membuka pintu dan melihat Clara dengan ekspresi serius.

“Ada apa lagi?” tanya pria itu dengan nada datar.

Clara memandang pria itu dengan tatapan tajam. “Saya harus tahu lebih banyak tentang perjanjian itu. Apa yang sebenarnya terjadi di altar? Apa yang mereka lakukan?”

Pria itu terdiam sejenak, matanya menghindari pandangan Clara. Ia tampak ragu, seolah takut untuk membocorkan lebih banyak informasi. Namun, Clara tidak bisa berhenti menuntut jawaban. “Jika Anda tahu, beri tahu saya sekarang. Saya terjebak dalam mimpi buruk ini. Saya harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

Setelah beberapa saat yang penuh ketegangan, pria itu akhirnya menarik napas panjang dan mengundang Clara masuk. Ia menutup pintu dengan hati-hati, memastikan tidak ada yang bisa mendengar percakapan mereka. Clara duduk di kursi, menunggu dengan penuh harap.

“Ini bukan hal yang mudah untuk dibicarakan,” kata pria itu pelan. “Kau harus tahu, perjanjian ini sudah berlangsung selama berabad-abad, dan mereka yang terlibat di dalamnya tidak bisa keluar begitu saja. Tidak ada yang pernah bisa keluar utuh.”

Clara menundukkan kepala, mencoba memahami kata-kata pria itu. “Perjanjian? Apa maksudnya?”

Pria itu memandang Clara dengan ekspresi yang penuh penyesalan. “Dulu, desa ini dipenuhi dengan orang-orang yang sangat ingin mendapatkan kekuatan lebih. Mereka datang ke hutan, ke altar itu, dan berjanji untuk memberi sesuatu yang sangat berharga—nyawa mereka sendiri—untuk memperoleh kekuatan yang luar biasa. Mereka tidak tahu bahwa perjanjian itu bukan hanya soal kekuatan fisik, tetapi juga mengenai jiwa mereka yang terperangkap dalam takdir yang gelap. Setiap orang yang berusaha mengubah nasib mereka dengan perjanjian itu, akan terikat oleh kekuatan yang lebih besar dari apa yang mereka bayangkan.”

Clara merasa tubuhnya dingin. “Jadi, mereka yang terikat oleh perjanjian itu… apakah mereka menjadi seperti hantu? Seperti yang saya lihat dalam penglihatan saya?”

Pria itu mengangguk pelan. “Benar. Mereka terjebak dalam sebuah dunia yang tak terlihat oleh mata manusia. Jiwa mereka terperangkap antara dunia ini dan dunia yang lebih gelap. Mereka tidak bisa pergi ke mana-mana, tidak bisa lepas dari kutukan itu. Dan yang lebih buruk lagi, mereka yang terperangkap dalam perjanjian itu harus terus mencari orang baru untuk menggantikan tempat mereka. Hanya dengan cara itulah mereka bisa bebas. Namun, tak seorang pun pernah berhasil keluar setelahnya. Mereka akan selamanya terperangkap.”

Clara menggigit bibirnya, mencoba mencerna semua yang telah ia dengar. “Dan altar itu, apakah itu tempat mereka melakukan perjanjian?”

“Ya. Di sana, mereka akan melakukan ritual yang memperkuat ikatan mereka dengan kekuatan gelap itu. Mereka akan mengorbankan sesuatu yang paling berharga bagi mereka—nyawa mereka sendiri, atau nyawa orang lain yang mereka sayangi. Hanya dengan mengorbankan nyawa seseorang, mereka bisa memperoleh kekuatan itu. Namun, mereka yang memilih jalan ini tidak tahu bahwa kekuatan itu akan mengubah mereka selamanya. Mereka tidak bisa kembali, dan mereka tidak bisa keluar.”

Clara merasakan tubuhnya bergetar hebat. “Apakah saya… apakah saya juga terperangkap dalam perjanjian itu?” tanyanya dengan suara yang hampir tidak terdengar.

Pria itu menatap Clara dengan pandangan yang penuh kesedihan. “Kamu mulai mendekati altar itu. Kamu merasakan bisikan itu. Itu adalah tanda bahwa kekuatan itu mulai menguasaimu. Hutan itu dan altar itu tahu siapa yang datang. Mereka tahu siapa yang berani mencari tahu. Dan begitu kau menyentuh altar itu, kau terikat. Kamu sekarang terjebak dalam perjanjian yang sudah lama berlangsung.”

Clara merasakan perasaan panik yang melanda tubuhnya. Ia berdiri cepat, tak bisa duduk diam lagi. “Apa yang harus saya lakukan? Bagaimana cara saya keluar?”

Pria itu menggelengkan kepala. “Tidak ada cara untuk keluar. Kecuali kau bisa menggantikan tempat orang lain yang sudah terperangkap, atau…”

“Pilihannya hanya itu? Mengorbankan orang lain?” tanya Clara dengan suara bergetar, hampir tidak bisa mempercayai kata-kata pria itu.

“Begitulah adanya. Dan itu adalah pilihan yang sangat berat, karena begitu kamu membuat pilihan, tak ada jalan mundur lagi. Jika kamu ingin keluar, kamu harus menggantikan seseorang, atau kamu akan menjadi bagian dari hutan itu selamanya.”

Clara merasakan perasaan berat di dadanya, seolah beban dunia ini dipikulnya seorang diri. “Jadi, saya tidak punya pilihan lain? Haruskah saya menjadi bagian dari perjanjian itu selamanya?”

Pria itu menatapnya dalam-dalam. “Kau harus memilih dengan hati-hati. Sekali kamu memilih, tidak ada lagi jalan untuk kembali. Setiap keputusan yang kamu ambil akan membawamu lebih dalam ke dalam kegelapan.”

Clara tahu bahwa ia harus segera membuat keputusan, namun hatinya dipenuhi ketakutan yang semakin mendalam. Ia tidak tahu apakah ia bisa memilih dengan benar, atau apakah pilihan itu akan mengubah hidupnya selamanya. Namun, satu hal yang pasti: perjanjian itu telah terikat padanya, dan ia harus mencari jalan untuk keluar—atau menghancurkan kekuatan gelap yang mengendalikannya.*

Bab 6: Pilihan Tak Terhindarkan

Hari-hari terasa semakin panjang dan berat bagi Clara setelah percakapan dengan pria di toko antik itu. Hatinya dipenuhi kecemasan yang terus-menerus menghantui pikirannya. Setiap malam, bisikan-bisikan yang sebelumnya terdengar samar kini semakin keras, memanggil namanya, menariknya lebih dalam ke dalam misteri yang tak terpecahkan. Semakin ia mencoba untuk melawan, semakin kuat kekuatan itu mengikatnya, seolah menghukum karena keinginan untuk mengetahui lebih.

Clara merasa seolah dunia di sekitarnya mulai berubah. Segala sesuatu tampak gelap dan kabur. Kembali ke rumah seakan tidak memberi kenyamanan lagi. Setiap sudut rumah seakan menatapnya, setiap suara di luar terasa begitu menakutkan. Bahkan bayangan yang melintas di luar jendela pun bisa membuatnya terlonjak ketakutan. Tak ada lagi tempat yang aman.

Di pagi hari yang mendung, Clara memutuskan untuk pergi ke altar sekali lagi. Rasa ingin tahunya begitu besar, namun ketakutannya lebih besar. Ia tahu, untuk mengakhiri semua ini, ia harus menghadapi tempat itu—tempat yang telah mengikatnya dalam perjanjian gelap. Ada banyak hal yang belum ia mengerti, dan ia tahu waktu semakin habis. Bagaimanapun, pilihan itu kini tak bisa dihindari.

Ia melangkah menuju hutan, langkahnya teratur meskipun hati terasa sangat berat. Semakin dekat ia dengan tepi hutan, semakin jantungnya berdebar kencang. Ranting-ranting pohon yang berdesir seolah mengikuti jejaknya, seperti mengingatkan akan sesuatu yang buruk. Sesekali, angin berhembus membawa bau tanah basah yang menambah kesan mencekam. Clara berhenti sejenak, menatap ke arah dalam hutan yang gelap, berharap bisa melihat sesuatu yang memberi tanda bahwa ia berada di jalur yang benar.

Saat kakinya melangkah masuk ke dalam hutan, suasana berubah drastis. Suara hutan yang semula terdengar hidup kini terasa menyesakkan. Ada kesunyian yang begitu pekat, seolah alam itu sendiri menunggu sesuatu yang akan terjadi. Clara menggigit bibirnya, menahan rasa takut yang hampir menenggelamkannya. Namun, ia tidak bisa mundur. Ia sudah sampai sejauh ini.

Setelah berjalan cukup lama, Clara akhirnya sampai di altar itu. Altar yang pernah dilihatnya dalam penglihatannya. Altar batu itu berdiri tegak, tertutup oleh lumut dan rerumputan liar. Begitu banyak kenangan yang muncul dalam benaknya—kenangan yang sudah lama ia coba lupakan. Ini adalah tempat yang penuh dengan kegelapan, tempat yang mengikat jiwa-jiwa yang tak bisa keluar. Di sini, kekuatan itu berada, dan Clara tahu, ia harus membuat pilihan.

Clara mendekati altar, merasa seperti ada kekuatan yang menariknya untuk menyentuhnya. Setiap inci tubuhnya terasa tertarik menuju altar itu. Ia tahu bahwa sekali ia melakukan itu, ia akan terikat dengan kekuatan itu selamanya, atau mungkin lebih buruk—mengorbankan seseorang untuk mendapatkan kebebasan. Namun, mengabaikan altar ini berarti ia akan terperangkap selamanya dalam bisikan-bisikan yang terus mengganggunya.

Dalam keheningan yang mencekam itu, Clara merasa sesuatu bergerak di balik kegelapan. Sosok berjubah hitam yang pernah dilihatnya dalam mimpi muncul kembali. Wajahnya tak terlihat jelas, hanya bayangannya yang tampak seperti bayangan yang mengintai. Clara menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Clara…” suara itu bergema, suara yang sama yang selalu ia dengar setiap malam. “Kau datang. Kau tahu apa yang harus dilakukan, bukan?”

Clara berdiri tegak, berusaha mengendalikan ketakutannya. “Apa yang harus saya lakukan? Apa pilihan saya?”

Sosok itu tersenyum samar di balik jubahnya. “Pilihan itu ada di tanganmu. Kau bisa menghancurkan perjanjian ini, atau kau bisa terperangkap selamanya. Tetapi, jika kau memilih untuk menghancurkannya, ada harga yang harus dibayar. Tidak ada yang gratis di dunia ini.”

Clara merasakan getaran di seluruh tubuhnya. “Harga apa yang harus saya bayar?” tanyanya dengan suara parau, tak mampu menahan rasa takut yang semakin mendalam.

Sosok itu mendekat, dan Clara bisa merasakan hawa dingin yang menyertainya. “Kau harus memilih satu nyawa. Satu jiwa yang akan menggantikanmu di dalam perjanjian ini. Jika tidak, kau akan terjebak di sini untuk selamanya. Kamu sudah tahu apa yang harus dilakukan.”

Clara merasa perutnya mual. “Saya tidak bisa. Saya tidak bisa mengorbankan seseorang untuk diri saya sendiri.”

Sosok itu tertawa pelan, namun suaranya begitu menakutkan. “Setiap keputusan ada konsekuensinya, Clara. Ingatlah itu. Tidak ada yang bisa menghindar dari takdir mereka. Semua orang yang datang ke sini terikat oleh hukum ini.”

Clara merasa dadanya sesak. Di luar sana, ia tahu ada orang yang ia cintai—keluarga, teman, orang-orang yang berharga dalam hidupnya. Jika ia memilih untuk mengorbankan nyawa seseorang, itu akan menghancurkan semuanya. Tetapi jika ia tidak memilih, ia akan terperangkap dalam kutukan ini selamanya. Waktu terasa semakin sempit, dan ketakutan semakin mendalam.

Akhirnya, Clara mengangkat kepala, menatap altar itu dengan tekad yang mulai tumbuh dalam dirinya. “Tidak,” katanya dengan suara yang lebih keras. “Saya tidak akan memilih. Saya akan menghancurkan perjanjian ini. Saya akan mencari cara untuk keluar tanpa mengorbankan siapa pun.”

Sosok itu terdiam sejenak, seolah berpikir. Lalu, dengan suara yang semakin dalam dan penuh ancaman, ia berkata, “Mungkin saja. Tetapi ingatlah, Clara… tidak ada yang bisa menghindari harga yang harus dibayar. Setiap keputusan yang kamu buat akan membawa konsekuensinya.”

Clara menatap altar itu sekali lagi, perasaan takut dan marah bergelora dalam dirinya. Ia tidak bisa menyerah begitu saja. Ia harus menemukan jalan untuk menghancurkan perjanjian gelap ini, meskipun itu berarti melawan kekuatan yang jauh lebih besar darinya. Ia tidak akan menyerah—untuk dirinya sendiri dan untuk orang-orang yang ia cintai.

Sosok itu menghilang begitu saja, dan Clara berdiri sendiri di hadapan altar, siap untuk menghadapi jalan panjang dan berbahaya yang menantinya. Keputusan itu telah dibuat, dan ia tahu sekarang, pilihan yang ia buat akan menentukan takdirnya selamanya.*

Bab 7: Pembebasan atau Kehancuran

Clara berdiri kaku di hadapan altar batu, napasnya terasa terengah-engah. Pilihan yang ada di depan matanya adalah pilihan yang tak terbayangkan sebelumnya—dua jalan yang tak pernah ia inginkan untuk dihadapi. Di dalam hatinya, ada pertarungan yang tak kalah sengit dengan apa yang sedang terjadi di sekelilingnya. Ia telah memutuskan untuk tidak mengorbankan nyawa siapa pun, tetapi menghapus perjanjian itu bukanlah sesuatu yang mudah. Kekuatan gelap yang selama ini menjeratnya kini menunggu reaksinya, dan semakin lama ia terdiam, semakin kuat pula dorongan yang ia rasakan untuk menyerah.

Tetapi Clara meneguhkan hatinya. Ia ingat akan keluarga yang menunggunya di rumah, sahabat-sahabatnya yang berharap ia bisa kembali dengan selamat. Tidak, ia tidak bisa membiarkan kegelapan ini merenggut lebih banyak nyawa lagi. Sekalipun harus berhadapan dengan bahaya besar, ia tidak akan mundur.

Di hadapannya, altar itu tampak lebih menakutkan dari sebelumnya. Batu-batu yang membentuknya terasa lebih berat, lebih menindih. Seperti ada beban dunia yang bergantung pada dirinya. Clara tahu bahwa jika ia ingin mengakhiri semua ini, ia harus mengerti dengan pasti apa yang harus dilakukan.

Namun, semakin ia mencoba memahami bagaimana caranya, semakin suara itu kembali mengisi pikirannya—suara yang telah membimbingnya selama ini, suara yang tak pernah berhenti berbisik, membujuk, dan mengancam. “Kau tidak bisa keluar begitu saja, Clara. Semua harga ada yang harus dibayar.”

Clara menggigit bibir, menahan gemetar. Suara itu semakin mendalam, semakin penuh dengan ancaman. Ia tahu bahwa apa yang dilihatnya dan yang dirasakannya bukan sekadar ilusi. Kekuatan itu nyata, dan ia tak bisa lagi menipu dirinya sendiri. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar keserakahan manusia yang menguasai tempat ini.

Ia meraih sebuah batu kecil yang terletak di dekat altar. Batu itu dingin dan keras, tetapi ada sesuatu yang memberi Clara rasa aneh, seolah batu itu memberi kekuatan, memberi petunjuk. Perlahan, ia menyentuhnya dengan jari, dan seketika itu pula, sebuah gambaran muncul dalam benaknya—sebuah tempat yang gelap, sebuah ruang tak terbatas yang penuh dengan bayangan yang bergerak. Sebuah suara bergema di dalam kepalanya, lebih jelas dari sebelumnya.

“Kau ingin membebaskan diri, Clara? Ataukah kamu ingin menjadi bagian dari kami?”

Clara terkejut. Bayangan yang ia lihat adalah bayangan dirinya sendiri, tetapi dalam bentuk yang jauh lebih kelam, jauh lebih menakutkan. Sosok itu tertawa dengan suara yang menakutkan, seolah ia sudah lama menunggu Clara untuk datang ke titik ini. Clara merasa tercekik. Ia hampir ingin menyerah, tetapi saat itu juga, sebuah ingatan muncul kembali dalam pikirannya—ingatan tentang ibunya, tentang ayahnya, tentang orang-orang yang ia cintai. Mereka adalah alasan mengapa ia harus bertahan, mengapa ia tidak bisa menyerah pada kekuatan ini.

“Saya tidak akan menjadi bagian dari kalian,” kata Clara, suaranya gemetar namun penuh tekad.

Seketika itu juga, sosok di bayangan itu menghilang, tetapi hawa dingin yang menyelimuti tubuh Clara tetap terasa. Ia tahu bahwa ia masih berada dalam pengaruh perjanjian itu, tetapi ia harus berani melawan.

Batu kecil di tangannya terasa semakin berat. Clara tahu bahwa hanya ada satu cara untuk menghancurkan perjanjian ini—ia harus memanggil kekuatan yang lebih besar, lebih kuat dari apa pun yang telah ia temui. Dalam hatinya, Clara memutuskan untuk mengorbankan seluruh keberaniannya, seluruh jiwanya, demi menghentikan kutukan ini.

Ia mengangkat batu itu ke atas altar, lalu dengan suara gemetar, ia mulai mengucapkan kata-kata yang terdengar asing, kata-kata yang tak pernah ia dengar sebelumnya. Kata-kata itu muncul begitu saja di mulutnya, seolah-olah ia dipaksa untuk mengucapkannya. Dalam setiap kata yang diucapkannya, Clara merasa ada getaran kuat yang merambat ke seluruh tubuhnya, ada kekuatan besar yang mulai mengalir, memengaruhi dunia di sekelilingnya.

Matahari yang terbenam di kejauhan tampak seperti api yang mulai padam, langit semakin gelap. Namun, dalam kegelapan itu, Clara merasakan kehadiran yang lebih besar dari sebelumnya. Ada sesuatu yang berubah, sesuatu yang mulai menggeliat. Suara itu, suara yang selama ini mengintainya, kini mulai menghilang, digantikan oleh keheningan yang mencekam.

Tiba-tiba, tanah di bawah Clara bergetar hebat. Tanpa peringatan, altar batu yang selama ini tampak kokoh mulai retak, lalu pecah menjadi beberapa bagian. Clara terjatuh, tubuhnya dihantam oleh gempa yang begitu kuat. Ia merasakan segala sesuatu berputar, namun ia tetap berusaha untuk bangkit. Ia harus menyelesaikan ritual ini, atau semuanya akan sia-sia.

Seketika, langit berubah menjadi hitam pekat. Cahaya dari luar hilang, dan Clara merasa seakan terjebak dalam kegelapan abadi. Namun, ia tahu ini adalah akhir dari segalanya. Segalanya yang telah dimulai dengan sebuah perjanjian gelap ini akan berakhir malam ini, di sini, di altar yang terlupakan.

Dengan segenap kekuatannya, Clara mengangkat batu itu sekali lagi, dan dengan tekad yang tidak bisa dihentikan, ia menghancurkannya ke atas altar yang telah retak. Sesaat setelah itu, terjadilah sebuah ledakan yang dahsyat. Kegelapan itu terpecah, dan Clara terlempar jauh ke belakang. Dunia berputar, dan segala sesuatu yang ada di sekitarnya terasa mulai hilang.

Saat Clara membuka matanya, ia merasa seolah baru saja bangun dari mimpi buruk yang panjang. Ia berada di tepi hutan, jauh dari altar. Tanpa sadar, ia melihat tangan dan tubuhnya. Tidak ada lagi tanda-tanda kutukan itu. Tidak ada bisikan, tidak ada bayangan gelap yang mengikuti. Semua itu hilang begitu saja, seakan tak pernah ada.

Namun, meskipun Clara merasa bebas dari pengaruh itu, ia tahu bahwa pilihan yang ia buat telah membawa dampak besar. Perjalanan ini telah mengubah segalanya, mengubah dirinya. Ia tidak hanya berhasil menghancurkan perjanjian itu, tetapi ia juga menyadari bahwa kegelapan, meskipun telah terkalahkan, akan selalu berusaha kembali. Dan hanya mereka yang berani menghadapi kegelapan itu yang bisa memutuskan untuk tetap hidup dalam terang.

Clara berdiri di sana, menatap langit yang kini kembali cerah, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bebas.***

———-THE END——-

 

Source: Agustina Ramadhani
Tags: #CeritaMisteri#HutanAngker#LegendaGelap#LegendaMistik#MisteriHutan
Previous Post

MISTERI DESA DI TENGAH BAYANG BAYANG KEGELAPAN

Next Post

BISIKAN DARI HUTAN TERKUTUK

Next Post
BISIKAN DARI HUTAN TERKUTUK

BISIKAN DARI HUTAN TERKUTUK

MISTERI HILANGNYA AILA

MISTERI HILANGNYA AILA

MENGUNGKAP RAHASIA TERSEMBUNYI

MENGUNGKAP RAHASIA TERSEMBUNYI

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In