Bab 1: Deadline dan Drama Printer
Toni duduk di kursi kayu yang sudah reyot di pojokan kamar kosnya. Di depannya, laptop tua merek entah apa menyala dengan suara kipas yang lebih mirip baling-baling helikopter. Di layar, dokumen tugas akhirnya yang baru memuat judul terpampang jelas:
“ANALISIS SISTEM INFORMASI BERBASIS WEB UNTUK PENGELOLAAN DATA MAHASISWA”
Dia menghela napas. Judul itu dipilih asal-asalan setelah tiga kali revisi dari dosen pembimbing, Bu Rina, yang terkenal killer. Bukan karena sulit, tapi karena dia tidak tahu mau mulai dari mana. Dua bulan waktu yang tersisa terasa seperti dua hari.
“Ton, udah makan belum?” suara Rian, teman sekosnya, terdengar dari luar kamar.
“Makan? Gue aja belum selesai bikin bab satu, Ri!” jawab Toni sambil memegangi kepalanya yang rasanya sudah penuh dengan angka dan istilah teknis.
Toni mengetik beberapa kalimat, tapi langsung menghapusnya. “Ah, nggak masuk akal!” gumamnya sambil menendang pelan kaki meja. Dia memutuskan mencetak rencana babnya supaya lebih mudah dibaca dan dikoreksi.
Dia meraih flashdisk yang tergeletak di samping laptop dan memasukkannya ke port yang hampir copot. Setelah file selesai disalin, Toni melangkah ke ruang tengah kos, tempat printer umum berada. Printer itu sudah menjadi legenda di kos-kosan karena tingkahnya yang ajaib. Kadang bekerja dengan mulus, kadang mogok tanpa alasan.
“Ri, lo liat tinta printer nggak?” tanya Toni saat melihat printer itu tampak kosong melompong.
“Ada di laci. Tapi kayaknya habis deh,” jawab Rian santai sambil bermain game di ponselnya.
“Lo nggak beli baru, Ri? Ini kan printer barengan!” protes Toni.
“Kan lo yang lebih sering pake,” balas Rian sambil nyengir.
Toni mendengus, lalu mencoba mengutak-atik printer itu. Setelah memastikan tintanya masih cukup untuk mencetak beberapa halaman, dia menekan tombol cetak. Tapi bukannya bekerja, printer itu malah mengeluarkan bunyi berdecit yang mirip ayam kena kejar anjing.
“Ini apaan lagi? Printer nggak punya nyawa aja bisa ngelawan,” keluh Toni sambil menekan tombol power berkali-kali.
Rian yang penasaran akhirnya bangkit dan mendekati Toni. “Coba gue yang benerin,” katanya penuh percaya diri. Dia menekan beberapa tombol dengan gaya seperti teknisi berpengalaman. Namun, printer itu tetap diam.
“Ton, lo pukul dikit aja. Biasanya dia langsung jalan,” saran Rian dengan nada serius.
“Pukul? Emangnya ini mesin ketik jadul?” tanya Toni heran.
“Coba aja. Kalau nggak jalan juga, baru beli printer baru,” jawab Rian sambil melipat tangan.
Dengan enggan, Toni mengetukkan tangannya ke sisi printer. Satu kali, dua kali, tak ada reaksi.
“Kurang kenceng, Ton,” ujar Rian sambil menahan tawa.
Kesal, Toni memukul printer itu lebih keras. Tiba-tiba, mesin itu menyala dan mulai mencetak dokumen. Toni menatap hasilnya dengan tak percaya.
“Serius? Ini printer apa pegulat? Harus digebukin dulu baru kerja!”
Rian tertawa terbahak-bahak. “Gue udah bilang, Ton. Lo harus lebih tegas sama printer itu. Jangan lembek!”
Toni hanya bisa menggeleng-geleng sambil mengambil kertas yang sudah tercetak. Tapi nasib buruknya belum selesai. Ketika dia memeriksa hasil cetakan, tinta di beberapa kalimat terlihat pudar. Bahkan beberapa huruf seperti hilang di tengah jalan.
“Ini mau jadi tugas akhir atau puzzle huruf?” keluh Toni sambil menunjuk hasil cetakan itu ke arah Rian.
“Lagian lo ngeluh mulu, Ton. Emangnya lo udah nyiapin apa aja buat skripsi lo?”
“Judul,” jawab Toni singkat.
“Judul doang? Dua bulan lagi sidang, Ton!” Rian menepuk bahunya dengan wajah penuh belas kasihan.
“Aku tahu,” jawab Toni lirih. Ia kembali ke kamarnya dengan langkah lesu sambil membawa kertas-kertas itu. Printer mungkin sudah bekerja, tapi perjuangan menyelesaikan tugas akhir masih panjang.
Toni duduk kembali di depan laptopnya, menatap layar yang kosong. Dia merasa seperti sedang menghadapi jurang besar. Bukan hanya soal teknis skripsi, tapi juga tekanan dari dosen, teman-teman, dan keluarganya yang sudah tak sabar ingin melihatnya di atas panggung wisuda.
Tiba-tiba, notifikasi pesan muncul di ponselnya. Pesan itu dari grup WhatsApp kelas:
“Reminder: Besok batas akhir submit rencana bab!”
Toni memandangi pesan itu dengan mata melotot. “Besok? Gue kira minggu depan!”
Dalam kepanikannya, Toni mulai mengetik tanpa henti. Dia bertekad menyelesaikan setidaknya satu halaman malam ini. Meski printer dan teman-temannya terus menjadi sumber gangguan, Toni tahu dia tidak bisa terus-menerus menunda.
“Bismillah,” gumam Toni. Sambil memegang teguh keyakinan, dia mulai berpacu dengan waktu. Mungkin printer bisa dilawan dengan pukulan, tapi hidup? Dia harus bertahan dengan akalnya.
Toni tak menyadari, malam ini akan menjadi awal dari banyak drama yang lebih besar di perjalanan tugas akhirnya.*
Bab 2: Dosen Pembimbing Si Seleb TikTok
Pagi itu, Toni berdiri di depan ruangan dosen pembimbingnya, Bu Rina. Tangan kirinya memegang folder berisi rencana bab yang sudah dia cetak semalam, sementara tangan kanannya mengetuk-ngetuk pintu dengan canggung.
“Dok dok dok.”
Tidak ada jawaban. Toni mencoba lagi, kali ini lebih keras.
“Dok dok dok!”
Masih hening. Toni mengintip melalui celah pintu yang sedikit terbuka. Ruangan itu kosong, tapi ada suara musik yang samar-samar terdengar dari ruangan sebelah. Dia melangkah mendekat, penasaran.
Saat mendekati asal suara, Toni terkejut melihat Bu Rina sedang berdiri di depan kamera tripod. Dengan gaya penuh percaya diri, Bu Rina menari mengikuti irama lagu dangdut remix yang sedang viral di TikTok.
“Lho… Bu Rina kok lagi begini?” Toni bergumam pelan.
Belum sempat Toni mundur, Bu Rina menyadari kehadirannya. “Toni? Kamu ngapain ngintip-ngintip di sini?!” tegur Bu Rina dengan nada tinggi, meski wajahnya memerah karena malu.
Toni tergagap. “Eh… Maaf, Bu. Saya cuma mau konsultasi soal skripsi.”
“Oh, iya, iya. Sebentar ya, tunggu di ruangan saya. Saya selesaiin dulu,” jawab Bu Rina sambil buru-buru menghentikan rekamannya.
Toni mengangguk dan kembali ke ruang dosen Bu Rina. Dia duduk di kursi, mencoba menahan tawa yang hampir meledak. “Jadi, ini alasan kenapa beliau susah ditemuin,” pikirnya.
Beberapa menit kemudian, Bu Rina masuk dengan wajah serius, seolah-olah tidak ada yang terjadi. “Toni, mana rencana bab kamu?” tanyanya sambil duduk.
Toni menyerahkan folder itu dengan hati-hati. “Ini, Bu. Mohon dicek.”
Bu Rina membuka folder itu dan membaca halaman pertama. “Hmm, analisis sistem informasi berbasis web. Bagus, bagus. Tapi…” Dia menatap Toni sambil mengerutkan dahi. “Kok kayaknya nggak fokus ya? Ini bagian pendahuluannya terlalu umum.”
“Iya, Bu. Saya masih bingung cara mempersempit masalahnya,” jawab Toni jujur.
“Ah, masalah klasik mahasiswa. Gini, coba pikirin sesuatu yang spesifik. Misalnya, sistem informasi untuk apa? Untuk siapa? Jangan terlalu luas,” saran Bu Rina sambil mencoret-coret halaman itu dengan pulpen merah.
Toni mengangguk, meski dalam hati dia merasa semakin bingung.
Tiba-tiba, ponsel Bu Rina berbunyi. Beliau buru-buru mengangkatnya. “Halo? Oh, iya, iya, Kak Fitri. Iya, yang tarian itu. Iya, follower kita udah nambah seribu kemarin. Iya, nanti saya upload lagi sore ini…”
Toni menatap Bu Rina dengan mata melebar. “Follower kita?” gumamnya dalam hati.
Bu Rina menutup telepon dan tersenyum canggung. “Maaf ya, Toni. Lagi sibuk ngurus sesuatu.”
“Ngurus TikTok, Bu?” tanya Toni dengan polos.
Bu Rina tersentak. “Eh, kamu tahu ya? Aduh, jadi begini… Itu cuma hobi, kok. Nggak ganggu kerjaan saya sebagai dosen. Eh, tapi jangan bilang siapa-siapa, ya!” Bu Rina menunjuk Toni dengan ekspresi setengah mengancam.
Toni mengangguk cepat. “Iya, Bu. Rahasia aman di saya.”
“Bagus. Nah, sekarang balik ke skripsi kamu. Saya mau kamu revisi ini dalam seminggu. Kalau nggak selesai, saya nggak mau lihat muka kamu lagi,” kata Bu Rina sambil menyerahkan folder itu kembali.
Toni menerima folder itu dengan lesu. Dalam hati, dia merasa waktu seminggu adalah hukuman berat, tapi dia tidak berani protes.
“Baik, Bu. Saya akan coba,” jawab Toni sambil berdiri.
“Oh, satu lagi, Toni,” panggil Bu Rina sebelum Toni keluar.
“Ya, Bu?”
“Kalau nanti saya butuh kameramen untuk konten TikTok, kamu bersedia, kan? Gratis, hitung-hitung balas budi karena saya udah bimbing skripsi kamu,” kata Bu Rina dengan senyum penuh arti.
Toni hanya bisa tertawa kering. “Iya, Bu. Nanti saya bantu.”
Saat keluar dari ruangan, Toni merasa campur aduk. Skripsinya perlu revisi besar, dosen pembimbingnya lebih sibuk membuat konten viral, dan dia sekarang terjebak dalam “utang budi” sebagai kameramen TikTok.
Namun, di tengah semua kekacauan itu, Toni tidak bisa menahan senyum kecil. “Ya udah, anggap aja hidup gue sekarang jadi komedi situasi. Toh, siapa tahu nanti gue bisa bikin skripsi tentang algoritma TikTok,” gumamnya sambil berjalan menuju kantin untuk mencari kopi.
Di kepalanya, Toni mulai merancang strategi untuk menyelesaikan revisi sambil tetap menjaga kewarasan. Bab berikutnya pasti akan lebih menantang, tapi setidaknya, dia punya cerita lucu untuk diceritakan nanti.*
Bab 3: Teman Seperjuangan yang Absurd
Toni memasuki ruang diskusi perpustakaan kampus dengan langkah malas. Hari ini ia berencana bertemu dengan kelompok diskusi skripsi yang dibuat oleh dosen wali mereka. Di dalam grup WhatsApp, kelompok ini diberi nama “Pejuang Skripsi 2025”, tapi Toni merasa nama itu terlalu optimis. Dari 10 anggota grup, hanya empat orang yang rajin muncul dalam pertemuan: Toni, Reno, Sarah, dan Fikri.
Saat Toni masuk, Reno sudah duduk di sudut ruangan, memainkan ponselnya sambil terkikik. “Eh, Ton, lo harus lihat ini!” Reno langsung memutar layar ponselnya ke arah Toni.
“Apaan lagi sih, Ren?” tanya Toni malas.
Reno menunjukkan video TikTok yang sedang viral. Dalam video itu, seekor kucing melompat ke meja belajar mahasiswa yang penuh tumpukan buku, lalu menjatuhkan semuanya ke lantai. Toni menahan tawa.
“Ini persis kayak meja gue di kosan,” gumam Toni sambil menaruh tasnya.
“Bukan cuma lo, Ton. Skripsi kita semua kayak kucing itu: bikin berantakan,” balas Reno sambil tertawa keras.
Sementara itu, Sarah masuk membawa tumpukan buku referensi yang terlihat terlalu banyak untuk ukuran manusia normal. Ia menatap Reno dengan tatapan penuh kritik. “Ren, lo udah nyiapin materi diskusi belum?”
Reno mengangkat bahu. “Santai, Sar. Hidup itu jangan tegang-tegang amat. Kita kan masih di awal proses.”
“Awal proses, tapi deadline proposal tinggal tiga minggu lagi!” Sarah mendengus. Dia menaruh buku-bukunya dengan suara berdebam, membuat Toni dan Reno tersentak.
“Fikri mana?” tanya Toni, mencoba mengalihkan perhatian Sarah sebelum ia benar-benar meledak.
“Lagi di luar, katanya nyari WiFi gratis buat download jurnal,” jawab Sarah sambil membuka laptopnya.
Tepat saat itu, Fikri muncul dengan wajah puas. “Gue dapet jurnal bagus, tapi sayangnya harus bayar.”
“Ya terus?” tanya Toni.
“Terus gue nemu versi bajakannya,” jawab Fikri sambil nyengir lebar.
Sarah menggelengkan kepala dengan kecewa. “Kalian ini nggak serius banget. Lo tau nggak sih, kalau ketahuan pakai jurnal bajakan, kita bisa kena masalah?”
“Masalah skripsi gue aja udah cukup, Sar. Masalah hukum nanti aja,” balas Fikri sambil duduk.
Diskusi pun dimulai, meski lebih banyak diisi dengan obrolan tidak penting. Sarah mencoba memimpin pertemuan dengan serius, tapi Reno terus membuat lelucon.
“Oke, jadi skripsi lo tentang apa, Ren?” tanya Sarah, berusaha mempertahankan fokus kelompok.
“Sistem pengelolaan waktu untuk mahasiswa,” jawab Reno santai.
“Oh, keren juga,” kata Sarah, agak terkejut. “Udah sampai mana progress-nya?”
Reno tersenyum. “Belum mulai. Lagi observasi cara mahasiswa ngulur waktu dulu. Gue kan risetnya mendalam.”
Fikri langsung tertawa terbahak-bahak. “Itu bukan riset, Ren. Itu namanya malas.”
Toni ikut tertawa, meski dalam hati dia merasa sedikit iri pada Reno. Bagaimana bisa orang sechaos Reno tetap santai menghadapi skripsi, sementara Toni sendiri sudah setengah stres?
Ketika giliran Toni untuk menjelaskan skripsinya, ia hanya mampu memberikan garis besar. “Gue mau bikin sistem informasi berbasis web untuk pengelolaan data mahasiswa. Tapi gue masih bingung spesifikasinya gimana.”
Sarah mengangguk. “Itu ide bagus, Ton. Tapi lo harus cari studi kasus yang spesifik. Kalau terlalu umum, bakal susah diselesaikan.”
Toni mengangguk, meski di dalam hatinya dia tahu saran itu sulit dijalankan.
Diskusi berjalan dengan pola yang sama: Sarah memberi masukan serius, Reno menyela dengan candaan, dan Fikri sibuk browsing jurnal di laptopnya.
Namun, di tengah obrolan, Reno tiba-tiba bangkit dari kursinya. “Eh, gue ada ide gila buat bikin skripsi kita nggak terlalu stres!” katanya dengan semangat.
Semua menatap Reno curiga. “Apaan lagi?” tanya Toni.
“Kita bikin sesi stand-up comedy di setiap akhir diskusi. Biar suasananya nggak terlalu tegang,” jawab Reno sambil mengangkat kedua tangannya dramatis.
“Stand-up? Lo bercanda kan?” protes Sarah.
“Nggak dong! Lihat nih, gue udah punya materi.” Reno langsung berdiri di depan kelompok, berpose seperti komika.
“Halo semuanya, nama gue Reno, dan gue pejuang skripsi… yang masih berjuang cari judul!” Reno membuka dengan lelucon yang membuat Fikri tertawa keras, sementara Sarah menatap dengan ekspresi datar.
“Skripsi itu kayak hubungan toxic. Lo tahu harus ninggalin, tapi lo nggak bisa. Kalau lo bertahan, lo malah sakit sendiri,” lanjut Reno, membuat Toni akhirnya tertawa kecil.
Lelucon Reno memang receh, tapi entah kenapa berhasil meringankan suasana. Sarah yang awalnya serius pun akhirnya ikut tersenyum, meski mencoba menyembunyikannya.
Setelah sesi stand-up dadakan itu, mereka melanjutkan diskusi dengan lebih santai. Toni merasa bahwa meskipun kelompok ini terlihat tidak serius, mereka tetap saling mendukung. Setidaknya, dia tahu ada orang lain yang juga berjuang melewati kesulitan yang sama.
Ketika diskusi selesai, Toni pulang dengan perasaan campur aduk. Ia masih merasa skripsinya jauh dari selesai, tapi ada secercah semangat yang muncul. Mungkin, dengan kelompok absurd ini, perjalanan tugas akhirnya tidak akan terlalu berat.
“Mereka gila sih,” gumam Toni sambil tersenyum kecil. “Tapi gue senang bisa bareng mereka.”*
Bab 4: Perkenalan dengan Ayu
Setelah diskusi kelompok yang penuh canda tawa kemarin, Toni memutuskan untuk mencari suasana baru untuk menulis. Perpustakaan terlalu sunyi, kamar kos terlalu berisik dengan suara printer dan game Rian, jadi dia memilih kafe kampus yang baru dibuka. Kata teman-temannya, kafe itu enak buat kerja karena WiFi-nya kencang dan suasananya nyaman.
Toni memesan kopi hitam dan duduk di sudut ruangan yang agak sepi. Ia membuka laptopnya dan mulai menatap layar kosong. “Oke, bab satu… pendahuluan… Hmm, gimana mulainya ya?” gumamnya sambil mengetik beberapa kata, lalu menghapusnya lagi.
Namun, konsentrasinya terganggu oleh suara seseorang dari panggung kecil di tengah kafe. Rupanya, ada sesi baca puisi. Seorang perempuan berdiri dengan percaya diri, membaca puisi yang terdengar… tidak biasa.
“Aku berjalan di lorong kampus, mencari cinta dalam bentuk WiFi. Sambungan penuh, tapi hatiku kosong,” katanya dengan nada dramatis.
Beberapa orang di kafe menahan tawa. Toni mengangkat alis, merasa puisi itu terdengar aneh tapi entah kenapa menarik.
“Siapa dia, ya?” pikir Toni sambil mencuri pandang ke arah panggung. Perempuan itu berpenampilan sederhana, dengan rambut sebahu dan kacamata bulat yang membuatnya terlihat seperti seorang seniman yang sedang stres.
Ketika sesi puisi selesai, perempuan itu turun dari panggung dan mencari tempat duduk. Kebetulan, satu-satunya meja kosong di kafe adalah meja di depan Toni. Dengan ragu, dia mendekat.
“Maaf, ini kosong?” tanyanya.
Toni yang masih terpaku pada kejadian barusan hanya bisa mengangguk. “Iya, silakan.”
Dia duduk sambil tersenyum kecil. “Kamu tadi denger puisi aku?” tanyanya tiba-tiba.
Toni bingung harus menjawab apa. “Hmm… Iya. Lucu, sih. Tapi… unik,” jawabnya diplomatis.
“Unik? Maksudnya aneh ya?” perempuan itu tertawa kecil.
“Enggak, kok. Serius. Aku cuma nggak nyangka ada yang bisa bikin puisi tentang WiFi,” balas Toni sambil tersenyum.
Perempuan itu mengulurkan tangan. “Ayu,” katanya.
“Toni,” jawab Toni sambil menyambut tangan Ayu.
Mereka mulai berbincang, awalnya tentang puisi Ayu yang unik, lalu berlanjut ke topik yang lebih santai. Ternyata, Ayu adalah mahasiswa jurusan Sastra yang juga sedang mengerjakan tugas akhir. Namun, berbeda dengan Toni yang masih kesulitan memulai, Ayu sudah hampir selesai.
“Kamu udah sampai mana, Ton?” tanya Ayu sambil menyeruput es teh yang dia pesan.
Toni menghela napas panjang. “Baru bikin judul. Itupun udah tiga kali revisi.”
Ayu tertawa kecil. “Santai aja. Semua orang mulai dari nol.”
“Nol besar, maksudnya,” tambah Toni, membuat mereka berdua tertawa.
Obrolan mereka terhenti sejenak ketika pelayan kafe mengantar pesanan Ayu, sepiring roti bakar dengan taburan cokelat keju. Toni yang tadinya fokus pada laptopnya tiba-tiba merasa lapar.
“Gimana kalau aku traktir kopi lagi buat kamu? Sebagai permintaan maaf karena puisiku tadi bikin kamu bingung,” kata Ayu tiba-tiba.
Toni menggeleng cepat. “Ah, nggak usah. Lagian, aku nggak bingung kok. Malah terhibur.”
“Serius?” tanya Ayu dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
“Serius. Kalau ada lomba puisi, aku yakin kamu bakal menang,” jawab Toni sambil tersenyum.
Ayu tertawa. “Kalau ada lomba skripsi tercepat, aku yakin kamu kalah.”
Toni ikut tertawa, meski dalam hati dia merasa Ayu benar. Tapi entah kenapa, ada sesuatu dari cara Ayu berbicara yang membuat Toni merasa lebih ringan.
Mereka terus berbincang sampai akhirnya Ayu menyadari Toni belum menulis satu kata pun sejak tadi. “Kamu serius mau ngerjain skripsi di sini? Dari tadi cuma ngetik hapus, ngetik hapus,” kata Ayu sambil menunjuk layar laptop Toni yang kosong.
“Aku lagi cari inspirasi,” jawab Toni.
“Kalau gitu, aku bantu,” kata Ayu sambil mengambil selembar tisu dan menulis sesuatu di atasnya.
Toni penasaran. “Kamu nulis apa?”
Ayu menyodorkan tisunya. “Nih, puisi buat kamu. Siapa tahu bisa jadi inspirasi.”
Toni membaca tulisan Ayu:
“Skripsi adalah perjalanan panjang,
Kadang kau merasa tersesat di tengah jalan.
Tapi percayalah, seperti kopi ini,
Meski pahit, ia tetap memberi energi.”
Toni menatap Ayu dengan bingung. “Ini puisi atau motivasi?”
“Dua-duanya. Anggap aja bonus,” jawab Ayu sambil terkekeh.
Meski terdengar sederhana, puisi Ayu itu entah kenapa berhasil membuat Toni merasa lebih baik. Dia menatap layar laptopnya lagi, dan kali ini, tanpa ragu, mulai mengetik.
“Terima kasih, Ayu,” gumam Toni sambil tersenyum.
“Untuk apa?” tanya Ayu.
“Untuk puisinya. Dan… untuk bikin hari ini jadi lebih menyenangkan.”
Ayu tersenyum kecil. “Santai aja, Ton. Kalau butuh bantuan, aku di sini kok. Jangan sungkan.”
Pertemuan singkat itu menjadi awal persahabatan antara Toni dan Ayu. Meski baru saling kenal, Ayu punya cara unik untuk membuat Toni merasa lebih optimis.
Saat pulang ke kosan, Toni merasa ada sesuatu yang berbeda. Dia belum menyelesaikan apa-apa hari ini, tapi semangatnya kembali menyala. Di kepalanya, Toni hanya punya satu pikiran: mungkin, skripsi ini tidak akan sesulit yang dia bayangkan.*
Bab 5: Drama Revisi dan Strategi Baru
Seminggu setelah pertemuannya dengan Ayu, Toni kembali ke ruangan dosen pembimbingnya, Bu Rina. Kali ini, dia membawa revisi proposal yang telah dia kerjakan dengan susah payah selama berhari-hari. Meski rasanya seperti membawa tumpukan kertas hukuman, Toni mencoba memasang wajah optimis.
Di depan pintu, Toni menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk.
“Masuk,” terdengar suara Bu Rina dari dalam.
Toni masuk dengan langkah hati-hati. Bu Rina sedang duduk di mejanya, mengetik sesuatu di laptop sambil sesekali melihat ponselnya. Toni bertanya-tanya apakah dosennya itu sedang merekam konten TikTok lagi.
“Silakan duduk, Toni,” kata Bu Rina sambil menunjuk kursi di depannya.
Toni menyerahkan folder revisinya. “Ini revisinya, Bu. Mohon dicek.”
Bu Rina mengambil folder itu dan mulai membaca. Toni duduk diam sambil memperhatikan setiap perubahan ekspresi di wajah Bu Rina—dari mengernyit, mengangguk, hingga menghela napas.
“Toni, kamu sudah mencoba, itu bagus,” kata Bu Rina akhirnya.
Toni merasa ada kata “tapi” yang akan keluar.
“Tapi…” benar saja, Bu Rina melanjutkan, “ini masih kurang fokus. Masalahnya terlalu umum, dan metodologimu kurang jelas. Coba perbaiki lagi, ya.”
Toni terdiam. Ia merasa seperti baru saja dilempar dari lantai 10 gedung kampus. “Kurang fokus, Bu? Padahal saya udah coba persempit masalahnya,” katanya dengan suara lemah.
“Memang, tapi kamu harus lebih spesifik lagi. Contohnya, kalau kamu mau bikin sistem informasi mahasiswa, coba pikirkan fitur utama apa yang benar-benar penting dan relevan. Jangan semua ide dimasukkan, nanti malah nggak selesai,” saran Bu Rina sambil menuliskan beberapa catatan di folder Toni.
Toni mengangguk pelan, meski dalam hati ia mulai panik. Revisi lagi? Kapan ini selesai?
“Jangan putus asa, ya. Skripsi itu proses. Kalau kamu butuh referensi tambahan, coba cari jurnal-jurnal terbaru. Oh, dan jangan lupa diskusi dengan teman-temanmu. Kadang ide bagus datang dari percakapan santai,” tambah Bu Rina sebelum mengembalikan folder itu.
“Baik, Bu. Terima kasih,” jawab Toni, mencoba menyembunyikan rasa kecewanya.
Setelah keluar dari ruangan, Toni langsung menuju kantin kampus untuk mencari kopi. Ia merasa perlu suntikan kafein untuk mencerna kenyataan bahwa revisi ini belum mendekati kata selesai.
Di kantin, Toni bertemu Reno dan Sarah yang sedang duduk di pojok dengan laptop masing-masing.
“Eh, Ton! Baru dari dosen pembimbing?” tanya Reno sambil melambaikan tangan.
Toni mendekat dan duduk bersama mereka. “Iya, baru aja kena ceramah panjang soal revisi,” katanya sambil menyeruput kopi pesanannya.
Sarah mengangguk penuh simpati. “Gue juga baru dapat revisi kemarin. Sumpah, rasanya pengen resign jadi mahasiswa.”
Reno tertawa. “Resign jadi mahasiswa? Terus lo mau jadi apa?”
“Jadi orang normal, mungkin,” jawab Sarah dengan nada sarkastis.
Mereka bertiga tertawa, meski Toni tahu di balik tawa itu ada rasa frustrasi yang sama.
“Jadi, revisi lo disuruh apa, Ton?” tanya Reno.
Toni menjelaskan saran Bu Rina untuk mempersempit masalah dan mencari ide yang lebih spesifik. Reno mendengarkan dengan ekspresi serius yang jarang muncul di wajahnya.
“Gue punya ide, Ton,” kata Reno tiba-tiba.
“Apa?” tanya Toni, agak skeptis.
“Gimana kalau kita bikin sesi brainstorming bareng? Gue, lo, Sarah, sama Fikri. Kita bantu satu sama lain buat cari ide yang lebih fokus. Siapa tahu lo dapet pencerahan,” usul Reno.
Toni terdiam sejenak. Ide itu terdengar cukup masuk akal, meski ia ragu apakah Reno benar-benar bisa membantu.
“Boleh juga, sih. Kapan kita mulai?” tanya Toni akhirnya.
“Besok sore aja di kafe kampus ini. Gue bakal siapin beberapa contoh jurnal buat kita diskusiin bareng,” jawab Reno dengan semangat.
Toni merasa sedikit lega. Setidaknya, dia tidak harus menghadapi revisi ini sendirian.
Keesokan harinya, mereka bertemu di kafe seperti yang direncanakan. Fikri datang terlambat, membawa print-out jurnal yang terlihat seperti hasil buru-buru. Sarah membawa buku catatan penuh coretan, sementara Reno membawa… donat.
“Ren, kita mau brainstorming, bukan piknik,” komentar Sarah sambil melirik kotak donat.
“Donat itu makanan pemikir,” balas Reno sambil membuka kotak dan menawarkan satu kepada Toni.
Mereka mulai membahas ide-ide masing-masing. Toni menjelaskan konsepnya, dan teman-temannya memberikan masukan.
“Gue rasa, lo bisa fokus ke pengelolaan data mahasiswa yang berkaitan dengan absensi, Ton,” saran Sarah. “Itu spesifik dan relevan.”
“Tapi absensi kan udah banyak sistemnya,” balas Toni.
“Banyak, tapi nggak semua efektif. Lo bisa bikin inovasi, misalnya pakai teknologi terbaru kayak QR code,” tambah Fikri.
Toni mulai merasa ide ini punya potensi. Dia mencatat semua masukan dengan teliti, sambil berpikir bagaimana mengembangkan konsep tersebut.
Setelah dua jam diskusi, mereka berhasil merumuskan kerangka yang lebih jelas untuk skripsi Toni.
“Terima kasih, guys. Serius, gue nggak tahu apa jadinya tanpa kalian,” kata Toni dengan tulus.
“Jangan lupa traktir kita kalau lo lulus duluan,” canda Reno.
Malam itu, Toni pulang dengan semangat baru. Dia merasa bahwa revisi ini tidak lagi menjadi beban berat, tapi tantangan yang bisa dihadapi. Dengan ide dan dukungan teman-temannya, Toni yakin langkah berikutnya akan lebih terarah.*
Bab 6: Ayu dan Inspirasi Tak Terduga
Dua minggu setelah diskusi bersama kelompoknya, Toni merasa ada kemajuan dalam pengerjaan skripsinya. Meski revisi belum sepenuhnya selesai, setidaknya ia punya arah yang lebih jelas: membangun sistem absensi berbasis QR code untuk mahasiswa. Tapi seperti biasa, Toni tidak bisa menghindari godaan menunda-nunda. Ia kembali ke kafe kampus untuk mencari suasana berbeda.
Saat tiba di kafe, Toni melihat Ayu duduk di meja favoritnya. Ayu tampak asyik mengetik sesuatu di laptop, dengan segelas es teh di sebelahnya. Toni ragu mendekat, tapi Ayu yang pertama kali menyadari kehadirannya.
“Toni!” panggil Ayu sambil melambaikan tangan.
Toni tersenyum dan mendekat. “Eh, lagi sibuk ya?”
“Nggak juga. Lagi coba nulis puisi baru,” jawab Ayu.
“Puisi tentang apa kali ini? Kopi? WiFi lagi?” canda Toni.
Ayu tertawa kecil. “Kali ini tentang deadline yang menghantui hidup mahasiswa. Lo mau baca?”
Sebelum Toni sempat menjawab, Ayu sudah memutar laptopnya ke arah Toni. Ia membaca tulisan itu dengan seksama:
“Deadline itu seperti bayangan,
Ia membuntutiku di setiap langkah,
Kadang aku ingin lari,
Tapi bayangan itu terlalu cepat.”
Toni tersenyum kecil. “Puisi lo kayaknya relate sama semua mahasiswa.”
“Ya kan? Kadang nulis itu caraku buat melampiaskan stres,” kata Ayu sambil tersenyum.
Mereka berbincang sebentar sebelum Toni memutuskan untuk membuka laptopnya dan mulai bekerja. Tapi setelah beberapa menit mengetik, ia mulai merasa mandek lagi. Ide tentang sistem absensi berbasis QR code memang menarik, tapi Toni kesulitan menggambarkan teknis pelaksanaannya secara detail.
Melihat Toni yang mulai memegang kepala dengan frustasi, Ayu bertanya, “Lo kenapa?”
Toni mendesah panjang. “Gue mentok lagi. Rasanya kayak ide gue udah buntu.”
Ayu berpikir sejenak, lalu tersenyum. “Tunggu di sini. Gue punya sesuatu buat lo.”
Ayu berdiri dan pergi ke rak buku kecil yang ada di kafe itu. Ia kembali membawa sebuah buku tebal dengan sampul warna-warni. “Ini buku tentang inovasi teknologi sederhana. Lo baca aja, siapa tahu ada ide yang nyangkut.”
Toni mengambil buku itu dan membuka halaman pertama. Buku itu berisi kumpulan kisah sukses inovasi teknologi kecil yang membawa dampak besar. Salah satu bab menarik perhatian Toni: cerita tentang seorang mahasiswa yang menciptakan aplikasi sederhana untuk membantu para petani lokal menjual hasil panen mereka langsung ke konsumen.
Toni membaca beberapa paragraf dan mulai merasa terinspirasi. “Ayu, lo tahu nggak, ini lumayan banget buat ngebuka pikiran gue,” katanya sambil tersenyum.
“Ya iyalah. Kadang lo cuma butuh perspektif baru buat bikin ide lo lebih hidup,” jawab Ayu.
Obrolan mereka terus berlanjut, dan Ayu mulai memberi masukan-masukan menarik untuk proyek Toni.
“Kalau lo bikin sistem absensi berbasis QR code, coba pikirin gimana caranya supaya user-friendly. Misalnya, QR code-nya bisa di-scan pakai aplikasi bawaan ponsel, jadi nggak perlu aplikasi tambahan,” kata Ayu sambil memutar-mutar sedotan es tehnya.
Toni tertegun. Masukan Ayu terdengar sederhana, tapi sangat masuk akal. “Iya, bener juga. Gue nggak kepikiran soal itu. Kalau terlalu ribet, mahasiswa malah males pakai,” gumamnya sambil mencatat ide tersebut.
Mereka terus berdiskusi hingga malam, dan Toni merasa seperti menemukan partner brainstorming yang ideal. Ayu tidak hanya mendengarkan, tapi juga memberikan sudut pandang yang berbeda.
“Kenapa lo selalu punya ide bagus, Yu?” tanya Toni akhirnya.
Ayu tersenyum kecil. “Gue cuma mencoba melihat sesuatu dari sudut pandang yang sederhana. Kadang, solusi terbaik itu ada di hal-hal kecil yang sering kita abaikan.”
Toni mengangguk, mencerna ucapan Ayu. Mungkin benar, selama ini ia terlalu fokus pada hal-hal besar dan rumit sehingga melupakan inti dari proyeknya: membuat sesuatu yang sederhana tapi efektif.
Ketika waktu menunjukkan pukul sembilan malam, kafe mulai sepi. Ayu menutup laptopnya dan menatap Toni. “Gue harus balik. Tapi kalau lo masih butuh bantuan, lo tahu harus cari gue di mana, kan?”
Toni tersenyum. “Iya. Makasih banget, Yu. Lo bener-bener bantu gue hari ini.”
“Tenang aja. Gue yakin lo bisa selesai tepat waktu, asal jangan kebanyakan mikir hal-hal nggak penting,” kata Ayu sambil berdiri.
Setelah Ayu pergi, Toni duduk sendirian di kafe itu. Ia membuka catatannya dan mulai merancang ulang proposalnya berdasarkan masukan Ayu. Untuk pertama kalinya, ia merasa lebih percaya diri dengan proyeknya.
Sebelum pulang, Toni menuliskan pesan singkat untuk Ayu di WhatsApp.
Toni: “Thanks ya, Yu. Gue nggak tahu apa jadinya skripsi gue tanpa lo.”
Ayu: “Sama-sama, Ton. Tapi inget, gue bantu lo cuma buat satu hal: lo harus traktir gue kalau udah lulus!”
Toni: “Deal!”
Toni tersenyum kecil. Di tengah tekanan skripsi, ia merasa beruntung memiliki seseorang seperti Ayu. Inspirasi memang bisa datang dari mana saja, bahkan dari orang yang awalnya ia anggap hanya seorang pembaca puisi aneh di kafe.*
Bab 7: Kejar Waktu dan Langkah Terakhir
Toni merasa seolah-olah waktu sedang bergerak lebih cepat dari biasanya. Tinggal dua minggu lagi sebelum batas akhir pengumpulan skripsi, dan meskipun ia sudah merasa lebih percaya diri setelah banyak berdiskusi dengan Ayu dan teman-temannya, tugas itu masih terasa sangat berat.
Setiap hari, Toni bangun lebih pagi dan mencoba menghabiskan waktu semaksimal mungkin di depan laptop, mengetik, membaca jurnal, atau memperbaiki bagian-bagian proposal yang masih terasa belum solid. Namun, ada kalanya rasa frustasi mulai menyelimuti, terutama ketika melihat halaman kosong yang masih banyak dan terbayang betapa sedikit progres yang telah ia capai.
Suatu pagi, Toni duduk di meja belajarnya dengan secangkir kopi hitam yang hampir dingin. Ia membuka file skripsinya, namun tiba-tiba ponselnya bergetar. Ada pesan dari Ayu.
Ayu: “Kamu masih hidup, Ton? Atau udah hilang di dunia skripsi?”
Toni tersenyum dan segera membalas.
Toni: “Hidup, tapi rasanya kayak setengah mati. Skripsi ini mau makan gue hidup-hidup.”
Ayu: “Santai aja, masih banyak waktu. Lo udah sampai mana sekarang?”
Toni: “Masih di bab 3, tapi kayaknya nggak ada habisnya. Belum nulis tentang metodologi, malah bingung soal sampel yang akan diambil.”
Ayu: “Sampel? Lo mau ambil data dari mana?”
Toni: “Rencananya sih, data mahasiswa aktif dari beberapa fakultas. Cuma gue bingung, cara ngumpulin datanya kayak gimana.”
Ayu: “Kenapa nggak coba survei online? Lebih gampang, kan? Lo bisa pakai Google Forms, terus langsung analisis hasilnya.”
Toni: “Oke, itu bisa jadi ide. Makasih, Yu.”
Ayu memang selalu berhasil memberikan solusi sederhana yang jelas dan mudah dipahami. Toni memutuskan untuk segera mencoba ide survei online itu. Dalam beberapa jam, ia berhasil menyusun formulir survei menggunakan Google Forms dan membagikannya ke beberapa teman untuk uji coba.
Beberapa hari setelahnya, Toni mulai mengumpulkan data yang cukup dari survei tersebut. Meski awalnya masih sedikit cemas tentang kualitas datanya, semakin banyak respons yang diterima, ia mulai merasa lebih yakin. Statistik sederhana yang ia kumpulkan memberikan gambaran jelas tentang preferensi mahasiswa terhadap sistem absensi berbasis QR code yang akan ia bangun.
Namun, pekerjaan belum selesai. Sekarang, Toni harus menghadapi bagian yang paling menakutkan: menulis metodologi dan analisis data. Ia kembali mencari dukungan dari Ayu yang selalu hadir dengan solusi cerdas.
Suatu sore, Toni menghubungi Ayu lagi.
Toni: “Yu, gue udah ngumpulin data, tapi analisisnya… Gue bener-bener butuh bantuan.”
Ayu: “Kapan kita ketemu? Gue bisa bantu jelasin cara analisis data yang tepat buat lo.”
Toni merasa lega dan segera setuju untuk bertemu di kafe kampus. Ketika sampai di sana, Ayu sudah menunggu dengan laptop terbuka dan secangkir teh.
“Jadi, lo udah punya data, kan?” tanya Ayu dengan semangat.
“Iya, baru bisa ngumpulin sebagian, tapi bingung cara nganalisisnya. Gue nggak ngerti apa yang harus ditarik dari data ini,” jawab Toni.
Ayu mengangguk dan membuka salah satu file data yang sudah diunggah Toni. “Oke, ini yang lo punya. Kita lihat bersama ya. Pertama-tama, lo harus tentukan apa yang lo ingin cari dari data ini. Misalnya, lo ingin tahu seberapa besar minat mahasiswa terhadap sistem absensi QR code.”
Toni mengangguk. “Iya, itu salah satu tujuan gue. Tapi gue nggak yakin apa yang harus dibandingkan.”
“Gampang, lo tinggal analisis frekuensi saja. Dari situ, lo bisa lihat seberapa banyak yang setuju atau tidak setuju dengan penggunaan QR code,” jawab Ayu sambil menunjukkan cara menggunakan pivot table di Excel.
Toni mulai merasa paham, dan setelah Ayu menjelaskan langkah demi langkah, ia akhirnya bisa menyusun analisis yang dibutuhkan. Mereka bekerja sama sepanjang sore, memecahkan masalah satu per satu, sampai akhirnya Toni merasa siap untuk menulis bab metodologi dan hasil penelitian.
Ketika kafe mulai sepi dan malam tiba, Toni menatap layar laptopnya dengan lega. Semua data telah dianalisis, metodologi sudah dirinci dengan jelas, dan bahkan bab hasil penelitian sudah hampir selesai.
“Ayu, serius, lo itu pahlawan skripsi gue,” kata Toni sambil tersenyum lelah.
Ayu tertawa kecil. “Nggak perlu berterima kasih, Ton. Ini cuma kerja tim. Lo yang kerja keras, gue cuma ngebantu sedikit.”
Toni merasa begitu beruntung memiliki Ayu di sampingnya. Ia tidak hanya membantu secara teknis, tapi juga memberikan semangat di saat-saat Toni merasa hampir putus asa. Mereka berdua telah menjalani perjalanan panjang bersama, dan Toni merasa ini adalah bagian dari proses yang membantunya menjadi lebih baik.
Ketika Toni kembali ke kosannya malam itu, ia merasa lebih ringan. Skripsi yang semula tampak seperti gunung yang sulit didaki kini tampak lebih seperti bukit yang bisa dia selesaikan. Beberapa bagian masih perlu disempurnakan, tapi Toni yakin, dengan bantuan teman-temannya—terutama Ayu—ia akan sampai di garis finish tepat waktu.
Keesokan harinya, Toni memutuskan untuk mengerjakan revisi terakhir, menulis bab kesimpulan dan mereview keseluruhan skripsi. Ia mengingat pesan Bu Rina yang selalu mengingatkan agar skripsi tidak hanya berupa data, tetapi juga menyampaikan sesuatu yang bermanfaat.
“Ini bukan sekadar tugas, ini untuk masa depan,” pikir Toni sambil menulis dengan penuh semangat.
Dalam beberapa hari, Toni berhasil menyelesaikan seluruh skripsinya dan siap mengumpulkan. Ia tahu ini bukanlah akhir dari perjalanan panjangnya, tetapi ia merasa lebih siap untuk menghadapi dunia nyata yang menunggu di luar sana.*
Bab 8: Ujian Terakhir dan Sebuah Kelegaan
Dua minggu terakhir terasa seperti pengejaran waktu yang tak henti-hentinya. Toni akhirnya berhasil menyelesaikan seluruh bagian skripsinya—dari latar belakang hingga analisis data, bahkan sampai bab kesimpulan yang sempat ia anggap mustahil untuk diselesaikan. Kini, skripsinya sudah lengkap dan siap dikumpulkan. Namun, seperti yang selalu terjadi, ada rasa cemas yang melanda setiap kali ia memikirkan ujian sidang yang sudah di depan mata.
Toni duduk di meja belajarnya, menatap laptop dengan pandangan kosong. Semua pekerjaan yang dilakukan selama berbulan-bulan, semacam perjalanan panjang penuh tantangan, kini hanya menunggu satu momen: sidang skripsi. Ia sudah menyiapkan segala sesuatunya—berlatih presentasi, mengulang kembali materi, dan membaca setiap referensi yang relevan. Namun rasa takut akan pertanyaan mendalam dari para penguji tetap menggantung di pikirannya.
Pagi itu, Ayu mengirim pesan singkat kepadanya.
Ayu: “Besok sidang, siap?”
Toni: “Siap sih, tapi tetep deg-degan. Gue takut ditanya macem-macem yang nggak gue siapin.”
Ayu: “Tenang aja. Lo udah ngerjain ini dengan baik. Lo cuma butuh percaya diri.”
Toni menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia ingat pesan Bu Rina yang selalu berkata bahwa di dunia akademik, yang paling penting adalah kemampuan untuk menjelaskan apa yang kita kerjakan dan mengapa itu penting.
Malam sebelumnya, Toni merasa seperti akan terkena serangan jantung ketika melihat namanya terpampang dalam daftar sidang skripsi di papan pengumuman kampus. Dia adalah orang keempat yang dijadwalkan untuk presentasi. Sempat ada rasa cemas, namun dukungan dari Ayu dan teman-temannya membuatnya merasa sedikit lebih tenang.
Keesokan harinya, Toni tiba lebih awal di ruang sidang. Ia melihat beberapa teman seangkatannya juga sudah berkumpul, siap untuk ujian masing-masing. Di antara mereka, ada Reno dan Sarah yang sedang duduk di sudut ruang menunggu. Toni menghampiri mereka.
“Ton, lo udah siap?” tanya Reno dengan wajah setengah serius, setengah tertawa.
Toni mengangguk. “Gue udah siap sih, tapi kayaknya perut gue nggak bisa diajak kerja sama.”
Sarah menepuk bahu Toni dengan lembut. “Lo pasti bisa, Ton. Lo udah kerja keras, dan dosen lo juga nggak akan ngeselin kok.”
Toni tersenyum lelah. “Mudah-mudahan, deh. Yang penting, nggak malu-maluin di depan dosen.”
Reno tertawa. “Jangan khawatir, lo malah lebih keren dari kebanyakan orang yang presentasi di sini. Mereka udah ngelihat kerja keras lo.”
Mereka semua menyemangati Toni, memberi keyakinan bahwa ia sudah melakukan yang terbaik. Waktu berlalu dengan cepat, dan tak lama kemudian, giliran Toni untuk masuk ke ruang sidang.
Saat memasuki ruang sidang, Toni merasa jantungnya berdetak kencang. Tiga dosen penguji duduk di meja besar, memandangnya dengan serius. Salah satu di antaranya adalah Bu Rina, dosen pembimbingnya, yang memberi senyum ringan untuk menenangkan Toni.
“Selamat pagi, Toni. Silakan mulai presentasinya,” kata Bu Rina.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Toni mulai membuka laptopnya dan memulai presentasi. Ia berbicara dengan suara yang sedikit lebih pelan dari biasanya, namun ia mencoba untuk tetap fokus. Ia mulai menjelaskan latar belakang dan tujuan skripsinya, kemudian berlanjut ke metodologi, pengumpulan data, hingga analisis yang telah ia lakukan.
“Jadi, sistem absensi berbasis QR code ini saya desain dengan tujuan untuk mempermudah proses absensi mahasiswa tanpa perlu aplikasi tambahan. Mahasiswa cukup menggunakan ponsel mereka, memindai QR code di ruang kuliah, dan data absensi langsung tercatat,” jelas Toni, mengarahkan pointer ke layar yang menampilkan diagram alur sistem.
Toni merasa sedikit lebih tenang saat melihat Bu Rina mengangguk-angguk dan sesekali mencatat di buku. Begitu juga dengan dosen penguji lainnya. Namun, tiba-tiba salah satu penguji yang lebih senior bertanya.
“Lalu, Toni, bagaimana sistem ini mengatasi potensi masalah seperti mahasiswa yang menggunakan ponsel temannya untuk absensi? Apa ada fitur yang bisa mencegah hal itu?”
Toni merasa sedikit terkejut dengan pertanyaan tersebut, namun ia sudah mempersiapkan jawaban untuk berbagai skenario.
“Terima kasih atas pertanyaannya. Untuk menghindari hal tersebut, sistem ini akan dilengkapi dengan fitur verifikasi wajah melalui aplikasi yang ada di ponsel mahasiswa. Jadi, mahasiswa harus melakukan pemindaian wajah saat pertama kali login, dan setiap kali mereka ingin absensi, sistem akan melakukan verifikasi wajah secara acak,” jawab Toni dengan percaya diri.
Dosen penguji tersebut terlihat puas dengan jawaban Toni.
“Bagus, ini menunjukkan bahwa Anda sudah mempertimbangkan beberapa aspek teknis dan keamanan dalam sistem yang Anda bangun,” kata dosen itu sambil mencatat.
Toni melanjutkan presentasinya, menjelaskan hasil analisis data yang diperoleh dari survei online yang ia lakukan. Setiap pertanyaan dijawab dengan lugas dan jelas. Ketika dia mencapai bagian akhir, yakni kesimpulan dan rekomendasi, Toni merasa sedikit lebih ringan.
Akhirnya, presentasi selesai. Toni menghela napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan lain.
“Apakah ada pertanyaan lagi?” tanya Bu Rina dengan suara lembut.
Salah satu penguji lain mengangkat tangan. “Bagaimana Anda melihat implementasi sistem ini dalam skala yang lebih besar? Misalnya, untuk universitas dengan ribuan mahasiswa?”
Toni menjawab dengan keyakinan. “Untuk implementasi di universitas besar, sistem ini akan memerlukan server yang lebih kuat dan kapasitas penyimpanan data yang lebih besar. Namun, berdasarkan analisis saya, penggunaan cloud computing dapat menjadi solusi yang efektif dan efisien.”
Setelah beberapa pertanyaan lainnya, Bu Rina akhirnya menutup sidang. “Terima kasih, Toni. Kami akan memberikan penilaian dan mengumumkan hasilnya segera.”
Toni berdiri dan mengucapkan terima kasih kepada para penguji. Ketika keluar dari ruang sidang, perasaan lega langsung mengalir dalam dirinya. Walaupun masih ada sedikit ketegangan, ia merasa seperti beban berat telah terangkat dari pundaknya.
Di luar, Reno dan Sarah sudah menunggunya.
“Gimana, Ton?” tanya Sarah dengan cemas.
Toni tersenyum lebar. “Gue rasa, semuanya lancar. Pertanyaan-pertanyaannya nggak terlalu sulit, kok.”
Reno tertawa. “Itu dia, lo lebih pintar dari yang lo kira.”
Mereka bertiga berjalan keluar dari gedung sidang, merasakan angin sore yang segar. Toni merasa bangga dengan dirinya sendiri, karena akhirnya ia berhasil melewati ujian terbesarnya. Kini, tinggal menunggu hasil sidang dan tanda tangan terakhir untuk mengakhiri perjalanan panjang skripsinya.*
Bab 9: Hasil Sidang dan Langkah Baru
Hari itu, setelah beberapa hari penuh ketegangan dan penantian, pengumuman hasil sidang skripsi akhirnya tiba. Toni berjalan ke ruang pengumuman dengan hati yang berdebar-debar. Meskipun ia merasa presentasinya telah berjalan dengan baik, rasa takut masih menyelimuti dirinya. Setiap langkahnya terasa berat, dan setiap detak jantungnya menggema di telinga. Ia tahu bahwa apa pun hasilnya, ini adalah akhir dari perjuangan panjang yang sudah ia lalui.
Sesampainya di depan papan pengumuman, Toni menatap daftar nama yang tertempel. Matanya mulai mencari nama-nama yang telah lulus sidang, dan tak lama kemudian, ia menemukan namanya—Toni Pratama, lulus dengan catatan perbaikan minor.
Perasaan campur aduk langsung memenuhi dirinya. Di satu sisi, ia merasa lega karena akhirnya bisa lulus. Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa karena harus melakukan perbaikan. Sebuah perasaan yang tidak sepenuhnya memuaskan, tetapi Toni tahu bahwa ini adalah bagian dari proses.
“Alhamdulillah, lulus,” bisiknya pada diri sendiri.
Ia merasa sedikit bingung, antara merasa senang dan merasa tidak cukup puas. Meskipun ada sedikit perbaikan yang diminta oleh penguji, Toni tahu bahwa hasil ini menunjukkan bahwa usahanya dihargai. Ia melangkah menjauh dari papan pengumuman, merasa seperti ada beban yang sedikit terangkat dari pundaknya, meskipun perjalanan belum sepenuhnya selesai.
Toni memutuskan untuk menelepon Ayu, yang selalu menjadi sumber dukungan tak tergantikan sepanjang proses ini.
Toni: “Yu, gue lulus! Tapi… harus ada perbaikan minor.”
Ayu: “Wah, itu kan bagus! Itu artinya lo udah hampir selesai, Ton. Nggak perlu terlalu dipikirin. Lo pasti bisa ngerjain perbaikannya dengan cepat.”
Toni tersenyum mendengar suara Ayu. “Iya, sih. Tapi rasanya kayak masih ada yang ngganjel, Yu.”
Ayu: “Pasti itu cuma perasaan lo aja. Lo udah nyelesaikan banyak hal. Sekarang tinggal rapihin sedikit, terus lo bisa mulai mikirin langkah selanjutnya.”
Setelah berbicara dengan Ayu, Toni merasa sedikit lebih baik. Memang, ada beberapa bagian yang perlu diperbaiki, tetapi itu tidak mengurangi kenyataan bahwa ia telah menyelesaikan sebagian besar dari tugas besar ini.
Hari-hari berikutnya, Toni sibuk mengerjakan perbaikan yang diminta oleh para penguji. Ia merevisi beberapa bagian analisis data yang lebih jelas dan memperbaiki format serta penulisan agar lebih rapi dan sesuai dengan pedoman akademik. Beruntung, Bu Rina, dosen pembimbingnya, memberikan bimbingan yang sangat membantu. Ia memberi saran yang konstruktif tentang bagaimana memperbaiki bagian-bagian yang kurang jelas dan mempertegas hasil penelitian yang telah ia lakukan.
Meskipun sempat merasa lelah dengan semua perbaikan tersebut, Toni akhirnya bisa menyelesaikannya dengan hati-hati. Ia merasa lebih tenang setelah melihat skripsinya menjadi lebih solid dan terstruktur dengan baik. Ketika akhirnya ia menyerahkan skripsinya yang sudah diperbaiki, ada rasa lega yang tak terhingga.
Namun, meskipun tugas akhir sudah hampir selesai, Toni tahu bahwa perjalanan akademiknya belum sepenuhnya berakhir. Di sisi lain, ia juga mulai merasa cemas tentang masa depan setelah lulus nanti. Ia memikirkan tentang langkah-langkah selanjutnya—apakah ia akan melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, mencari pekerjaan, atau memulai bisnis sendiri.
Toni menghabiskan beberapa hari terakhirnya di kampus untuk menyiapkan segala sesuatunya, bertemu dengan teman-teman seangkatan yang juga siap untuk melangkah ke babak baru. Saat itu, Ayu mengundangnya untuk berkumpul bersama teman-teman lainnya di sebuah kafe dekat kampus untuk merayakan kelulusannya, meskipun sedikit tertunda karena perbaikan yang harus dilakukan.
“Gimana, Ton? Sidangnya lancar?” tanya Reno, sambil menyeruput kopi hangat.
Toni tersenyum. “Lancar, tapi masih harus perbaiki sedikit. Tapi udah hampir selesai.”
“Ya udah, itu artinya lo lulus! Udah harus lega banget,” kata Sarah dengan penuh semangat.
“Bener banget. Lo udah ngelewatin banyak hal. Perbaikan itu cuma formalitas,” tambah Ayu dengan senyuman lebar.
Toni merasa lebih baik berada di tengah teman-temannya. Ia menyadari betapa besar dukungan yang telah ia terima selama ini, terutama dari Ayu yang selalu ada di setiap langkahnya.
Malam itu, mereka menghabiskan waktu bersama, tertawa dan bercanda. Toni merasa sangat bersyukur bisa melangkah ke tahap berikutnya dalam hidupnya, meskipun perbaikan skripsi masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Namun, untuk sesaat, ia membiarkan diri menikmati momen itu—merayakan pencapaian kecil sebelum menghadapi tantangan baru.
Di tengah obrolan, Toni mulai merenung. Sidang skripsi adalah ujian besar pertama dalam hidupnya yang telah ia lewati, dan meskipun hasilnya tidak sempurna, ia merasa bahwa setiap pengalaman yang didapatkan sepanjang proses ini telah memberikan pelajaran berharga. Toni sadar bahwa hidup tidak selalu berjalan mulus, dan terkadang perbaikan minor pun bisa menjadi bagian dari perjalanan menuju pencapaian yang lebih besar.
Saat malam semakin larut, Toni melangkah pulang dengan pikiran yang lebih ringan. Skripsinya hampir selesai, dan kini ia bisa mulai memikirkan tentang masa depan yang lebih luas. Setelah semua perjuangan dan kerja keras, ia merasa siap untuk langkah berikutnya—apa pun itu.
Di dalam hati, Toni berjanji untuk selalu memberikan yang terbaik dalam setiap langkahnya, karena setiap perjalanan, baik yang mudah maupun yang penuh tantangan, adalah bagian dari proses menuju kesuksesan.*
Bab 10: Langkah Baru, Dunia Baru
Toni duduk di bangku taman kampus, menatap langit yang mulai menggelap. Hari itu adalah hari terakhir ia berada di kampus setelah melewati perjalanan panjang yang penuh perjuangan. Skripsinya akhirnya disetujui, dan gelar sarjana pun tinggal menunggu waktu. Namun, perasaan yang ia rasakan saat ini lebih dari sekadar kebanggaan karena telah menyelesaikan tugas akademiknya. Ada campuran antara rasa lega dan kegelisahan yang menyelimuti dirinya.
“Gue udah selesai, tapi kenapa rasanya kayak baru mulai ya?” pikir Toni dalam hati, sambil mengelus skripsi yang kini tergeletak rapi di tasnya.
Sejak pengumuman kelulusan, banyak hal yang berputar di kepala Toni. Meski ia sudah berhasil menyelesaikan pendidikan sarjananya, pertanyaan besar tentang masa depan masih menghantuinya. Apa yang akan ia lakukan setelah ini? Apakah ia akan melanjutkan studi atau langsung mencari pekerjaan? Dan apakah ia sudah benar-benar siap memasuki dunia yang lebih luas di luar sana?
Rasa gelisah itu sedikit mereda ketika Ayu datang menghampiri dengan senyuman cerah. Ayu duduk di sebelah Toni, mengamati wajah temannya yang terlihat sedikit cemas.
“Lo lagi mikirin masa depan, ya?” tanya Ayu sambil memeluk lututnya.
Toni mengangguk pelan. “Iya, Yu. Skripsi udah selesai, tapi sekarang gue bingung mau kemana. Semua orang pada ngomongin kerja, sementara gue masih belum tahu apa yang gue mau.”
Ayu tertawa ringan. “Emang, sih. Gue juga sempat ngerasa kayak gitu. Tapi, coba aja pikirin dulu, apa yang lo suka, apa yang bikin lo merasa hidup.”
Toni terdiam, merenung. Apa yang Ayu katakan memang benar. Selama ini ia terlalu fokus pada akademik, berjuang untuk memenuhi target-target yang ada, hingga ia lupa untuk bertanya pada dirinya sendiri tentang apa yang sebenarnya ia inginkan dalam hidupnya.
Tiba-tiba, Sarah yang datang bersama Reno ikut bergabung di bangku taman itu. “Eh, gue baru denger dari dosen, kalo lo berencana lanjut kuliah, banyak beasiswa yang bisa lo coba, Ton!” ujar Sarah dengan semangat. “Coba deh lo cari-cari beasiswa magister. Banyak yang nyari mahasiswa dengan latar belakang teknologi.”
Toni tersenyum. “Beasiswa magister? Itu ide bagus, Sarah. Tapi gue masih mikir, apa gue mau melanjutkan kuliah atau langsung cari pengalaman kerja?”
Reno yang mendengarnya ikut memberi saran. “Kerja dulu juga nggak masalah, Ton. Lo bisa coba nyari peluang yang sesuai dengan minat lo. Kalau udah dapet pengalaman, nanti baru deh mikir tentang kuliah lagi.”
Toni merasa sedikit lebih tenang mendengar perspektif mereka. Sementara itu, Ayu menepuk pundaknya dengan lembut. “Yang penting, lo jangan terlalu terbebani dengan keputusan ini. Kadang, kita butuh waktu untuk tahu apa yang kita mau. Semua pilihan ada waktunya.”
Mereka semua duduk bersama dan berbincang-bincang, saling berbagi cerita tentang pengalaman masing-masing selama kuliah. Toni merasa sangat beruntung memiliki teman-teman yang selalu mendukungnya, baik di saat-saat sulit maupun bahagia. Kehangatan dalam pertemuan itu membuat Toni mulai merenung bahwa hidup tidak selalu harus dipenuhi dengan rencana yang terperinci. Terkadang, mengambil langkah pertama saja sudah cukup untuk membawa perubahan.
Keesokan harinya, Toni mulai lebih aktif mencari tahu tentang berbagai peluang karir yang mungkin cocok untuknya. Ia memeriksa berbagai situs pencarian kerja, mengirimkan aplikasi, dan mencoba berjejaring dengan orang-orang yang bekerja di bidang teknologi. Selama seminggu penuh, ia merasa sibuk dengan semua itu, namun ada rasa kepuasan setiap kali ia berhasil mendapatkan informasi baru dan mempersiapkan dirinya untuk wawancara kerja pertama dalam hidupnya.
Namun, meskipun sibuk dengan aplikasi dan wawancara, Toni tidak melupakan momen-momen bersama teman-temannya. Mereka sering berkumpul di kafe atau berjalan-jalan bersama, menghabiskan waktu dengan ceria dan berbicara tentang harapan mereka masing-masing. Keberadaan mereka memberi kekuatan bagi Toni untuk tetap semangat menjalani proses transisi ini.
Pada suatu malam, ketika Toni duduk sendirian di ruang tamu apartemennya, ia mendapat telepon dari sebuah perusahaan teknologi besar yang menawarkan posisi sebagai developer junior. Perasaan campur aduk langsung menyelimuti dirinya. Ia merasa terkejut, tidak menyangka tawaran itu datang begitu cepat, namun di sisi lain, ia merasa khawatir karena ini adalah keputusan besar yang harus ia ambil.
Setelah berbicara dengan Bu Rina tentang tawaran tersebut, dosen pembimbingnya memberikan nasihat yang sangat berharga. “Toni, ingatlah bahwa setiap langkah yang kamu ambil akan membawa pelajaran baru. Tidak ada yang sia-sia. Kalau kamu merasa ini adalah kesempatan yang baik untuk berkembang, ambil saja. Jangan takut untuk mencoba sesuatu yang baru.”
Toni pun akhirnya menerima tawaran itu, meskipun masih merasa sedikit ragu. Ia tahu bahwa dunia kerja akan memberikan tantangan yang jauh berbeda dibandingkan dengan dunia akademik. Namun, dengan tekad dan dukungan dari orang-orang di sekitarnya, ia merasa lebih siap untuk melangkah ke dunia baru.
Hari pertama di kantor baru, Toni merasa gugup namun bersemangat. Ia memasuki ruangan dengan pakaian rapi, membawa laptopnya yang sudah siap dipakai. Rekan-rekan kerjanya menyambutnya dengan ramah, memberikan suasana yang membuatnya lebih nyaman. Meski awalnya ia merasa terintimidasi oleh pekerjaan baru dan tim yang lebih berpengalaman, Toni memutuskan untuk mengambil langkah pertama dengan membuka diri dan belajar sebanyak mungkin.
Di tengah perjalanan karier barunya, Toni menemukan bahwa tantangan terbesar bukanlah mengerjakan proyek besar atau memenuhi ekspektasi atasan, melainkan bagaimana menyeimbangkan pekerjaan dengan kehidupan pribadi. Ia belajar untuk lebih menghargai waktu bersama keluarga dan teman-teman, serta tidak terlalu terfokus pada pekerjaan semata.
Setiap hari, Toni merasa semakin percaya diri dalam menghadapi dunia baru ini. Ia tidak lagi merasa cemas tentang keputusan yang telah ia buat, karena ia tahu bahwa setiap pilihan yang diambil adalah bagian dari proses pembelajaran yang akan membawanya menuju kesuksesan. Kini, Toni menyadari bahwa meskipun perjalanan hidupnya belum selesai, ia siap untuk menjalani langkah-langkah baru dengan keyakinan penuh.***
———–THE END——–