Bab 1: Awal yang Terkubur
Aria duduk termenung di samping jendela kamar yang berdebu, menatap langit yang kelabu. Matahari yang hampir terbenam tak memberikan kehangatan, hanya menambah kesan suram pada suasana di rumah yang semakin terasa sunyi. Rumah yang dulu penuh canda tawa, kini hanya menyisakan kenangan yang perlahan memudar, digantikan oleh keheningan yang semakin mendalam.
Di luar, adik-adiknya sedang bermain di halaman belakang, mencoba mengalihkan perhatian dari kenyataan yang ada. Aria memandangi mereka sejenak, lalu beralih pada tumpukan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Sejak kematian ibunya dua tahun yang lalu, hidupnya berubah total. Kepergian sang ibu, yang menjadi tulang punggung keluarga, meninggalkan Aria sebagai satu-satunya orang yang bisa diandalkan oleh adik-adiknya. Ayahnya? Entah di mana, tak pernah lagi tampak sejak hari ibu dimakamkan. Aria tak pernah tahu apa yang terjadi padanya, dan lebih memilih untuk tidak peduli. Ia cukup dengan beban yang sudah ada di pundaknya.
Selama dua tahun terakhir, Aria belajar untuk menutupi rasa kehilangan yang begitu dalam. Ia bekerja di sebuah kafe kecil di pusat kota, tempat yang memberinya sedikit pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, setiap kali ia pulang ke rumah, rasa lelah yang tak hanya fisik tapi juga mental selalu menggerogoti. Setiap malam, ketika semua terlelap, ia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang hilang. Ibunya, wanita yang selalu menjadi tempat ia bergantung, kini hanya tinggal dalam ingatan.
Ingatan itu datang lagi, saat Aria mengingat hari-hari terakhir ibunya. Ibunya yang dulu selalu bangun pagi untuk menyiapkan sarapan, memandikan adik-adiknya, dan memastikan semuanya siap sebelum Aria berangkat ke sekolah. Ibunya yang meski terlihat lelah, selalu tersenyum dengan penuh kasih sayang. Namun, segala yang indah itu berakhir saat penyakit yang tak terdeteksi merenggutnya begitu cepat. Tak ada yang siap. Tak ada waktu untuk mengucapkan selamat tinggal. Ibunya yang selalu ada, kini hilang begitu saja, meninggalkan celah kosong di hati Aria yang tak pernah bisa terisi.
“Aria,” suara adiknya, Fira, memecah lamunannya. Aria menoleh dan melihat Fira yang berdiri di depan pintu kamar dengan wajah bingung. “Kenapa, Kak? Kamu nggak ikut makan malam?”
Aria tersenyum tipis, berusaha menutupi perasaan yang kembali datang begitu saja. “Nanti, Fira. Kakak lagi sibuk. Ayo, kamu makan dulu ya.”
Fira mengangguk, tapi tetap tidak menjauh. Ia tahu ada sesuatu yang salah, meskipun Aria berusaha untuk tidak menunjukkan apa yang dirasakannya. Fira, yang baru berusia 10 tahun, terlalu muda untuk memahami sepenuhnya apa yang terjadi pada keluarga mereka. Tapi, Aria tahu, adiknya mulai merasa kehadiran ibunya yang hilang. Fira sering bertanya-tanya kenapa ibunya tak pernah pulang, kenapa mereka tidak bisa seperti dulu.
Aria menarik napas panjang, menatap adiknya dengan lembut. “Fira, kamu bisa bantu Kakak sejenak? Ada yang harus dibersihkan di dapur.”
Fira mengangguk dan berlari menuju dapur, meninggalkan Aria dengan pikirannya yang terus berputar. Ia tahu bahwa ia harus terus kuat untuk adik-adiknya. Tak ada pilihan lain. Ayah mereka? Tak pernah peduli lagi. Aria hanya bisa berharap suatu hari nanti ayahnya akan kembali, namun ia juga tahu itu hanyalah harapan kosong.
Di tengah kebingungannya, Aria teringat pada sebuah janji yang ia buat pada ibunya di malam terakhir mereka bersama. Saat ibunya berbaring lemah di tempat tidur, dengan tangan yang gemetar dan mata yang hampir tak bisa membuka, ibunya sempat menggenggam tangannya dan berkata, “Jaga adik-adikmu, Aria. Jangan biarkan mereka merasa kehilangan seperti kamu. Kau harus menjadi ibu bagi mereka, meski aku tak ada.”
Janji itu selalu menghantui Aria. Ia merasa terperangkap dalam tanggung jawab yang begitu besar, merasa bahwa ia harus menjadi lebih dari sekadar kakak bagi adik-adiknya. Ia harus menjadi ibu, ayah, dan segala yang mereka butuhkan. Setiap langkahnya terasa berat, namun tak ada pilihan selain terus maju.
Hari-hari berlalu dengan cepat. Aria berusaha untuk tetap tegar, meskipun di dalam hatinya, perasaan terperangkap semakin menggerogoti. Setiap pagi, ia bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, memastikan bahwa adik-adiknya bisa berangkat sekolah dengan perut kenyang. Setelah itu, ia bergegas pergi ke kafe tempatnya bekerja. Kadang-kadang ia merasa seperti seorang robot yang hanya bergerak mengikuti rutinitas tanpa bisa merasakan apa-apa. Begitu pulang ke rumah, ia kembali menjadi pengganti ibu, meskipun hatinya terasa kosong.
Salah satu malam, setelah selesai bekerja, Aria duduk di meja makan dengan sepotong roti yang tak tersentuh. Fira dan adik laki-lakinya, Raka, sudah tidur di kamar masing-masing. Aria menatap kosong ke luar jendela, menunggu sesuatu yang mungkin tak akan pernah datang—perubahan, atau setidaknya, keajaiban yang bisa mengubah hidup mereka. Namun, yang datang hanya keheningan. Keheningan yang semakin menambah kesepian dalam dirinya.
Tiba-tiba, pintu depan terbuka, dan sosok yang sudah lama tidak terlihat muncul. Ayahnya. Aria menahan napas, terkejut. Ia belum pernah bertemu dengan ayahnya sejak hari pemakaman ibu mereka. Ayahnya hanya muncul sesekali, jarang, dan sering kali meninggalkan mereka dalam keadaan bingung. Ia tak tahu apa yang harus ia rasakan sekarang. Kecewa? Marah? Atau sekadar bingung dengan keberadaannya?
Ayahnya menatap Aria dengan tatapan kosong, seakan tak tahu harus memulai dari mana. Aria hanya bisa berdiri terpaku, tidak tahu apa yang harus diucapkan. Hati Aria sudah terlalu penuh dengan rasa sakit dan kekecewaan untuk bisa menerima kehadirannya begitu saja. Namun, di dalam hatinya, ia tahu—apapun yang terjadi, mereka adalah keluarganya, dan ia harus memutuskan apakah akan memberi kesempatan lagi pada ayahnya, atau membiarkannya pergi seperti dulu.
“Ayah,” akhirnya Aria berkata dengan suara yang agak serak, “Kamu… baru pulang?”
Ayahnya menunduk, tak tahu bagaimana menjawab. Tapi, Aria tahu, ini adalah awal dari sesuatu yang akan membawa mereka pada perubahan besar. Namun, apakah Aria siap untuk membuka kembali pintu yang sudah lama terkunci?*
Bab 2: Jejak yang Menghantui
Aria duduk di meja makan yang sudah hampir kosong, hanya tersisa piring-piring yang tak lagi bersih. Adik-adiknya sudah tidur lebih awal, kelelahan setelah seharian penuh beraktivitas. Rumah yang biasanya terasa ramai kini hanya dipenuhi keheningan. Ayahnya, yang seharusnya menjelaskan segala sesuatu, telah memilih untuk pergi ke kamarnya. Suasana itu kembali mengingatkan Aria pada banyak hal yang telah lama terkubur.
Ayah. Kata itu terasa asing di mulut Aria. Sejak kepergian ibunya, ia jarang sekali mendengar atau merasakan kehadiran ayahnya. Ayah yang dulunya begitu dekat dengan mereka, tiba-tiba menghilang tanpa kabar, dan kini, setelah dua tahun, ia kembali begitu saja tanpa penjelasan. Aria tidak tahu harus merespon apa. Kehadiran ayahnya justru membawa lebih banyak kebingungan dan luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Ia melangkah pelan menuju ruang tamu, tempat ayahnya duduk dengan tubuh yang tampak lebih renta dari yang ia ingat. Mata ayahnya terlihat kosong, seakan menghindari tatapan Aria. Ada ketegangan yang terasa tebal di udara. Aria berhenti sejenak, mengatur napasnya, sebelum memutuskan untuk duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan ayahnya.
“Ayah,” Aria memulai dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. “Kenapa baru sekarang kamu muncul? Kami… sudah lama berusaha sendiri.”
Ayahnya mengangkat wajah, namun ekspresinya tetap tidak berubah. Ia tidak menjawab segera, seolah kata-kata Aria tidak terlalu berarti baginya. Aria bisa merasakan ada sesuatu yang membebani pikirannya, sesuatu yang mungkin lebih dari sekadar kepergiannya yang lama. Sesuatu yang telah lama ia sembunyikan.
“Apa yang kamu lakukan selama ini?” Aria melanjutkan, merasa jantungnya berdetak lebih cepat. “Kenapa kamu meninggalkan kami begitu saja?”
Ayahnya menarik napas panjang. Ia menatap Aria dengan mata yang penuh beban. “Aria,” katanya dengan suara yang serak, “Aku tahu, banyak yang tak bisa aku jelaskan. Tapi, ada hal-hal yang lebih besar daripada apa yang bisa kamu pahami.”
Aria menundukkan kepalanya, mencoba menahan amarah yang mulai naik. Ia tak tahu apakah ia harus merasa kasihan atau marah. Tapi satu hal yang pasti—kehilangan ibu mereka adalah luka yang terlalu dalam untuk bisa disembuhkan hanya dengan kata-kata.
“Apa yang lebih besar dari ini, Ayah? Kami hampir mati kelaparan, dan kamu? Kamu entah ke mana. Kami bertahan hanya dengan aku yang bekerja, dan adik-adik yang hanya bisa menunggu.”
Ayahnya diam, seakan kata-kata Aria semakin membuatnya terbenam dalam kesedihan yang sulit dijelaskan. Aria merasa seolah ada sesuatu yang lebih gelap lagi yang tersembunyi, sesuatu yang tidak ingin diungkapkan oleh ayahnya. Sesuatu yang lebih dari sekadar ketidakhadiran. Namun, Aria tidak tahu apa itu. Ia hanya merasa ada bayang-bayang misterius yang mengelilingi ayahnya, yang bahkan mungkin lebih besar dari kebisuan yang telah lama mereka alami.
Tiba-tiba, Ayah membuka mulutnya, seolah siap untuk berkata sesuatu yang berat. “Kamu tidak tahu, Aria,” katanya pelan, “Ada alasan aku pergi. Aku harus menjauh. Ada hal yang harus kulakukan. Suatu hal yang aku tak bisa ceritakan.”
Aria menatapnya tajam, bingung. “Apa yang kamu maksud, Ayah?”
Ayahnya mengalihkan pandangannya, tidak sanggup menatap mata Aria lebih lama. “Itu tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Kamu masih terlalu muda untuk mengerti semuanya.” Suaranya terdengar penuh penyesalan. “Yang bisa kamu lakukan sekarang adalah melanjutkan hidupmu. Jangan terperangkap dalam masa lalu.”
Aria merasa tubuhnya terhuyung. Ada sesuatu dalam kata-kata ayahnya yang membuatnya merasa semakin terperangkap dalam misteri yang tak terpecahkan. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang harus ia lakukan dengan perasaan yang campur aduk ini?
Ketika ayahnya diam kembali, Aria berbalik, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah. Ia merasa seperti berlari mengejar sesuatu yang tak akan pernah ia dapatkan. Rasa kehilangan yang dalam masih mengekang hati dan pikirannya. Ayahnya yang dulu pernah jadi pelindung, kini terasa seperti orang asing yang tak dapat ia percayai.
Aria kembali ke kamarnya, menutup pintu pelan-pelan di belakangnya. Ia duduk di tepi tempat tidur, memeluk lututnya. Pikiran dan perasaannya bergejolak, berusaha memahami semua yang telah terjadi. Dalam keheningan malam itu, ia mulai merenung. Kehadiran ayahnya seharusnya menjadi jawaban, tapi justru menambah ketidakpastian.
Malam itu terasa begitu panjang. Hening. Tidak ada suara selain detak jam di sudut kamar. Tiba-tiba, suara ketukan di pintu membangunkan Aria dari lamunannya.
“Kak, ada apa? Kenapa diam saja?” suara Raka terdengar dari luar.
Aria tersenyum kecil, meskipun hatinya terasa sesak. “Tidak ada, Raka. Kakak hanya ingin tidur sebentar.”
Raka ragu, tapi akhirnya pergi juga. Aria menarik napas panjang dan berbaring, menatap langit-langit kamar yang gelap. Ia merasa seperti ada sesuatu yang mengintai dari balik bayangan. Sesuatu yang selalu mengikutinya, tak pernah meninggalkannya. Sesuatu yang berasal dari masa lalu yang tak bisa dihindari.
Pagi-pagi sekali, Aria bangun dengan perasaan berat. Pekerjaan di kafe menunggu, dan ia harus tetap bertahan. Tetapi, dalam dirinya, ada pertanyaan yang terus mengganggu. Apa yang ayahnya sembunyikan? Apa yang sebenarnya terjadi di balik kepergiannya? Dan apakah Aria harus mencari jawaban itu, atau membiarkannya terpendam selamanya?
Ketika ia beranjak pergi, adiknya Fira menghampirinya dengan wajah penuh tanda tanya. “Kak, Ayah kenapa? Kenapa dia tidak pernah ada?”
Aria tersenyum tipis, mengelus kepala Fira dengan lembut. “Kita akan tahu jawabannya suatu saat nanti, Fira. Tapi untuk sekarang, yang penting adalah kita tetap bersama, kita saling menjaga.”
Fira menatapnya dengan tatapan polos, seolah-olah tak benar-benar mengerti apa yang dimaksudkan Aria. Namun, di balik matanya yang penuh kepolosan, Aria bisa merasakan kekhawatiran yang tak terucapkan. Mereka semua membutuhkan jawaban. Dan Aria tahu, untuk menemukan jawaban itu, ia harus menghadapinya sendiri.
Dengan langkah berat, Aria meninggalkan rumah. Jejak-jejak masa lalu, jejak yang menguntit dan menghantui, semakin jelas dalam pikirannya. Namun, Aria tidak bisa berhenti. Ia harus mencari kebenaran, meskipun itu berarti membuka luka lama yang belum pernah sembuh.*
Bab 3: Terang yang Memudar
Pagi hari di kota kecil itu tidak jauh berbeda dari hari-hari sebelumnya. Udara segar yang menyentuh wajah, lalu lintas yang mulai ramai, dan suara langkah kaki orang-orang yang terburu-buru menuju tempat tujuan mereka. Namun, bagi Aria, semuanya terasa berbeda. Suasana yang biasanya penuh warna kini terasa suram, seakan-akan langit yang cerah pun mengaburkan segala hal. Ada kekosongan yang menggerogoti setiap langkahnya. Bahkan senyum yang ia pasang di wajahnya, saat melayani pelanggan di kafe, terasa palsu.
Ia berjalan menyusuri jalan utama dengan langkah lemah. Di benaknya masih bergulir pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab tentang ayahnya. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa ayahnya begitu lama menghilang dan kini tiba-tiba muncul begitu saja, tanpa penjelasan? Keputusan ayah untuk pergi tanpa memberi alasan membuat Aria merasa semakin terasing. Seolah-olah, ayah yang dulunya begitu dekat dengan mereka, kini menjadi orang asing yang sulit dikenali.
Setiap kali Aria mencoba untuk berbicara dengan ayah, kata-katanya terasa sia-sia. Ayahnya tampak seperti orang yang sedang menyembunyikan sesuatu yang besar, sesuatu yang tak ingin dibicarakan. Setiap pertemuan mereka selalu berakhir dengan keheningan yang membekap. Aria merasa seperti terperangkap dalam sebuah labirin, di mana jawabannya justru semakin menjauh, semakin tersembunyi di balik bayangan yang kelam.
Sesampainya di kafe, Aria bergegas masuk, mencoba melupakan kegelisahan yang terus mengusik. Hari ini, kafe tempat ia bekerja lebih ramai dari biasanya. Para pelanggan datang dan pergi dengan cepat, memesan kopi atau makanan ringan sambil sibuk dengan dunia mereka sendiri. Namun, Aria tidak bisa sepenuhnya fokus pada pekerjaannya. Hatinya tetap terseret ke dalam kegelisahan yang begitu mendalam.
Di balik meja kasir, Aria mencoba tersenyum pada pelanggan yang baru datang, namun senyum itu terasa seperti beban yang semakin berat. “Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” katanya dengan suara yang hampir terdengar kaku.
Seorang wanita paruh baya dengan kacamata tebal tersenyum dan memesan secangkir cappuccino. Aria segera memproses pesanan itu, namun pikirannya terus melayang. Setiap kali ia melirik keluar jendela kafe, bayangan ayahnya yang berdiri di ruang tamu rumah mereka tadi malam kembali muncul. Wajah itu, yang penuh penyesalan dan kesedihan, tampak seperti bayangan yang sulit untuk dihapus. Rasa tak puas dengan penjelasan singkat ayahnya semakin menggerogoti pikiran Aria. Apa yang disembunyikan ayah? Dan mengapa ia begitu takut untuk berbicara tentang masa lalu mereka?
Malam sebelumnya, setelah makan malam yang hening, Aria kembali ke kamarnya dan memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak. Ia tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian. Keinginan untuk memahami, untuk mengungkap apa yang tersembunyi, semakin kuat. Ia memutuskan untuk mencari buku catatan lama yang mungkin bisa memberi petunjuk. Buku itu adalah milik ibunya, yang dulu sering menulis tentang kehidupannya, tentang keluarga mereka, dan tentang ayahnya yang mulai berubah sebelum kepergiannya. Aria mengingat bagaimana ibunya selalu berkata bahwa suatu saat mereka harus siap menghadapi kenyataan yang sulit.
Dengan hati berdebar, Aria mengambil buku catatan itu dari lemari ibunya yang kini penuh dengan kenangan. Buku itu sudah agak usang, dengan halaman-halaman yang mulai menguning. Ia duduk di meja belajar, membuka lembar demi lembar, berharap menemukan jawaban yang selama ini ia cari. Namun, yang ditemukan justru lebih banyak pertanyaan. Catatan itu tidak memberikan jawaban pasti, tetapi hanya sekilas penggambaran tentang perasaan ibu yang semakin terisolasi dan khawatir tentang sesuatu yang lebih besar. Setiap halaman mengungkapkan kecemasan yang mendalam, tetapi tidak pernah menyebutkan apa yang benar-benar terjadi.
Di salah satu halaman terakhir, Aria menemukan tulisan yang cukup mencolok. “Jika kamu membaca ini suatu hari nanti, Aria, aku ingin kamu tahu bahwa ada hal yang lebih besar yang terjadi dalam keluargamu. Sesuatu yang perlu kamu pahami saat waktunya tiba. Tapi saat ini, aku hanya bisa berdoa agar kamu bisa bertahan.”
Aria menutup buku itu dengan tangan yang gemetar. Kata-kata ibu membuatnya semakin terpuruk dalam kebingungannya. Apa yang dimaksud oleh ibu? Apa yang harus Aria pahami? Kenapa ibunya merasa perlu menulis kalimat itu? Rasa takut dan ketidakpastian kembali menghantui Aria. Ia merasa seperti terjebak dalam dunia yang gelap, di mana terang yang pernah ada kini mulai memudar.
Hari-hari berikutnya, Aria semakin merasakan tekanan yang semakin besar. Meski ia berusaha untuk tetap kuat demi adik-adiknya, hatinya tak bisa memungkiri perasaan yang terus menggerogoti. Ia tidak tahu berapa lama lagi ia bisa mempertahankan fasad kebahagiaan ini. Setiap langkahnya terasa semakin berat, dan semakin hari, terang yang ada dalam hidupnya terasa semakin memudar.
Saat bergegas pulang dari kafe, Aria kembali menemukan ayahnya duduk di ruang tamu, menatap televisi dengan kosong. Wajahnya terlihat lebih tua, lebih lelah. Aria merasa ada jurang yang semakin lebar antara mereka, meski mereka tinggal dalam satu atap yang sama. Tidak ada kata-kata yang bisa mengisi ruang kosong di antara mereka.
“Aria,” suara ayahnya memecah keheningan, meskipun ia tidak menatapnya. “Ada hal yang perlu kamu ketahui… ada hal yang sudah lama aku sembunyikan.”
Aria terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Akankah ia akhirnya mendapatkan jawaban yang ia cari selama ini? Namun, ketika ayahnya mulai berbicara, kata-katanya justru semakin sulit dipahami.
“Ada banyak yang harus aku jelaskan… tetapi bukan sekarang, Aria. Belum saatnya.” Ayahnya menundukkan kepalanya, seolah berat untuk melanjutkan.
Aria merasa dunia seakan berputar lebih lambat. Ia ingin mendesak, ingin bertanya lebih banyak, tetapi ia tahu, entah mengapa, ayahnya masih menahan sesuatu. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar ketidakhadiran, sesuatu yang lebih gelap dan rumit daripada yang bisa Aria bayangkan.
Dengan napas berat, Aria berbalik dan menuju kamarnya. Sesampainya di dalam, ia duduk di sudut kamar, menatap langit malam yang gelap. Ia merasa seperti terombang-ambing di tengah lautan yang luas, tanpa petunjuk arah. Namun, satu hal yang ia tahu—ia harus menemukan jawaban. Walaupun terang yang dulu ada semakin memudar, Aria bertekad untuk meneruskan pencariannya, untuk mengungkap apa yang disembunyikan dan apa yang akan datang.
Malam itu, Aria tidur dengan mimpi buruk yang tak kunjung usai. Segala perasaan yang selama ini ia coba sembunyikan, kini mulai keluar dengan cara yang tak terduga. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi satu hal yang pasti—terang yang memudar itu, akan segera menemukan titik terangnya kembali, walaupun dengan cara yang tidak akan pernah ia bayangkan.*
Bab 4: Persimpangan Takdir
Pagi itu, Aria terbangun lebih awal dari biasanya. Hembusan angin yang dingin menyusup melalui celah-celah jendela kamar, menambah rasa hampa yang menggelayuti hatinya. Walaupun semalam ia telah berusaha tidur dengan tenang, pikirannya terus diganggu oleh percakapan terakhirnya dengan ayah. Kata-kata yang keluar dari mulut ayah, meskipun samar, seolah menyiratkan bahwa akan ada perubahan besar dalam hidupnya. Sebuah perubahan yang datang bukan karena keinginannya, tetapi lebih karena takdir yang tak dapat dihindari.
“Belum saatnya,” kalimat itu terus terngiang-ngiang di telinganya. Ayahnya tidak memberi penjelasan lebih lanjut tentang apa yang dimaksudnya, dan itu membuat Aria semakin bingung. Ia merasa terjebak, seakan-akan ada sesuatu yang harus ia ketahui, namun ia tidak tahu harus mencari ke mana.
Dengan langkah berat, Aria bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke luar kamar. Di ruang tamu, ayahnya sudah duduk seperti biasa, menatap layar televisi tanpa ekspresi. Tiba-tiba, Aria merasa ada jarak yang semakin lebar antara mereka. Tidak ada kata-kata yang terucap, hanya keheningan yang menyesakkan.
Aria memilih untuk tidak berlama-lama di sana. Ia mengambil tasnya, bersiap untuk pergi bekerja di kafe. Meskipun ia berusaha keras untuk fokus pada pekerjaannya, setiap detik yang berlalu membuatnya semakin tak tenang. Hari itu, ada sesuatu yang terasa berbeda—sebuah perasaan yang mengusik hatinya, seolah-olah ada sesuatu yang akan terjadi.
Ketika ia memasuki kafe, ia melihat Raka, adiknya, sedang duduk di sudut dengan buku di tangannya. Raka memang lebih suka menyendiri, terutama sejak ibunya meninggal. Adik bungsunya itu, meskipun masih kecil, tampak lebih pendiam dan tertutup. Aria duduk di meja dekatnya dan mencoba mengobrol.
“Raka, kamu kenapa? Ada apa?” Aria bertanya dengan lembut, berusaha membuka percakapan.
Raka menatapnya sekilas dan kembali menunduk ke buku yang sedang dibacanya. “Tidak ada, Kak,” jawabnya singkat.
Namun, ada sesuatu dalam tatapan Raka yang membuat Aria merasa bahwa ada yang tak beres. Ada kecemasan di balik mata polos itu, seolah-olah Raka tahu lebih banyak daripada yang ia ungkapkan.
Aria tidak bisa menahan rasa penasaran. “Apa kamu tahu tentang ayah? Ada sesuatu yang dia sembunyikan, kan?”
Raka terdiam sejenak, seolah ragu untuk menjawab. Setelah beberapa saat, ia mengangguk pelan. “Ayah pernah bilang, ada sesuatu yang harus kita tahu suatu saat nanti. Tapi aku juga tidak tahu apa itu.”
Jawaban itu membuat Aria semakin bingung. Mengapa ayah begitu tertutup? Mengapa ia merasa perlu menyembunyikan sesuatu yang besar dari mereka? Aria merasakan kegelisahan yang semakin menumpuk, seperti ada batu besar yang menghalangi jalannya. Tapi ia tahu, di suatu titik, ia harus mencari tahu apa yang terjadi.
Setelah bekerja sepanjang hari, Aria kembali ke rumah dengan pikiran yang dipenuhi pertanyaan. Di rumah, suasana masih terasa dingin. Ayahnya tetap berada di ruang tamu, menatap kosong. Aria melangkah perlahan menuju kamar, namun langkahnya terhenti ketika ia melihat sebuah benda yang tidak pernah ia lihat sebelumnya di meja ruang tamu.
Itu adalah sebuah kotak kayu kecil, dengan ukiran yang rumit. Kotak itu tampak sangat tua, bahkan terlihat seperti benda kuno yang sudah berusia puluhan tahun. Ada rasa penasaran yang mendalam dalam diri Aria. Ia tidak pernah melihat kotak itu sebelumnya, dan yang lebih aneh lagi, ayahnya seolah tidak pernah memperhatikannya. Kotak itu ada di sana, di meja yang biasa ia gunakan, tanpa penjelasan.
Tanpa berpikir panjang, Aria mendekati kotak tersebut dan membuka tutupnya. Di dalamnya terdapat sebuah kunci kecil, terbuat dari logam yang tampaknya sudah berkarat. Tidak ada petunjuk lain di dalam kotak itu, hanya kunci yang tampak begitu biasa namun memiliki daya tarik misterius.
Aria memegang kunci itu dengan hati-hati, merenung sejenak. Kunci itu pasti memiliki makna, tetapi kunci apa yang harus dibuka? Ke mana arah pencarian ini akan membawa dirinya? Semua pertanyaan itu muncul begitu saja, dan Aria merasa seolah telah terjerat dalam sebuah labirin tak terlihat.
Saat ia hendak menyimpan kunci itu kembali ke dalam kotak, suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Ayahnya berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa ia artikan. Seperti biasa, ekspresinya datar, tetapi Aria bisa merasakan ketegangan yang memancar darinya.
“Kamu menemukan itu?” tanya ayahnya dengan suara pelan, hampir terdengar seperti bisikan.
Aria mengangguk pelan, tak bisa menahan rasa ingin tahu yang semakin membuncah. “Apa ini, Ayah? Kenapa ada kunci ini di sini?”
Ayahnya berjalan mendekat dan duduk di kursi dekat meja. Ia menatap Aria dengan tatapan serius, seperti sedang mempertimbangkan apakah harus mengungkapkan sesuatu yang sudah lama ia pendam.
“Ini bukan hanya kunci biasa, Aria,” jawabnya dengan suara berat. “Ini adalah kunci menuju sesuatu yang sangat penting. Sesuatu yang bisa mengubah segalanya.”
Aria terdiam. Kalimat itu membekukan darahnya. Apa maksud ayahnya? Sesuatu yang bisa mengubah segalanya? Apa yang sebenarnya terjadi dalam keluarga mereka? Apa yang disembunyikan oleh ayahnya?
“Apakah kamu akan memberitahuku, Ayah?” Aria memaksa diri untuk bertanya, meskipun hatinya merasa berat. “Apa yang terjadi? Apa yang terjadi di masa lalu kita?”
Ayahnya menghela napas panjang, menatap Aria dengan mata yang penuh kelelahan dan penyesalan. “Aria,” katanya dengan lembut, “Kamu masih terlalu muda untuk memahaminya. Tetapi suatu saat, kamu harus tahu. Kamu akan tahu, karena kunci ini adalah bagian dari takdirmu.”
Aria merasa dunia seakan terbalik. Takdir? Kunci? Apa hubungan semua ini dengan dirinya? Ia tidak tahu harus bagaimana. Namun, satu hal yang pasti—semakin dalam ia menggali, semakin besar pula misteri yang terungkap. Aria merasa seperti berada di persimpangan takdirnya, di mana setiap langkah yang ia ambil akan membawa perubahan yang besar dalam hidupnya.
Malam itu, Aria kembali ke kamarnya dengan perasaan yang semakin penuh dengan kebingungannya. Kunci itu masih ada di tangannya, seolah memberi petunjuk pada jalan yang harus ia tempuh. Namun jalan itu bukanlah jalan yang mudah, dan Aria tahu, ia harus siap menghadapi apa pun yang akan datang.
Ia memandangi kunci itu sejenak, lalu menyimpannya di dalam laci meja. Sebelum menutup mata untuk tidur, ia berjanji pada dirinya sendiri—ia akan mengungkap kebenaran ini. Terlepas dari apa yang akan terjadi, ia tidak bisa membiarkan dirinya terjebak dalam ketidakpastian ini. Ia harus tahu, bahkan jika itu berarti membuka luka-luka lama yang mungkin tak bisa disembuhkan.
Di luar, malam semakin larut, dan angin malam berhembus lembut, membawa jejak-jejak takdir yang tak bisa dihindari. Aria sudah berdiri di ambang jalan yang akan mengubah hidupnya selamanya.*
Bab 5: Bayang-Bayang yang Menarik
Hujan turun dengan derasnya malam itu, menciptakan suara gemericik yang menenangkan di atas atap rumah. Aria duduk di jendela kamar, menatap ke luar, membiarkan matanya menerawang pada garis horizon yang samar tertutup kabut. Sesekali, kilatan petir menyambar di kejauhan, diikuti oleh suara guntur yang menggelegar, seolah alam merasakan ketegangan yang membelit hatinya. Sesuatu di dalam dirinya merasa tidak bisa tenang. Sesuatu yang telah lama tertahan, yang kini kembali muncul dengan cara yang tak terduga.
Kunci yang ia temukan di meja ruang tamu masih ada di dalam saku jaketnya. Itu bukan hanya sekadar benda mati, Aria mulai merasakannya. Kunci itu adalah simbol, sebuah titik awal bagi sebuah perjalanan yang akan mengubah hidupnya. Namun, perjalanan itu bukanlah perjalanan yang mudah. Ada bayang-bayang yang mulai menariknya ke dalam dunia yang lebih gelap dan lebih berbahaya, dan Aria merasa bahwa ia tak punya pilihan selain mengikutinya.
Hari-hari yang berlalu tidak memberikan jawaban apapun. Ayahnya tetap terperangkap dalam diamnya, enggan berbicara lebih banyak tentang masa lalu mereka, tentang apa yang terjadi di balik pintu yang terkunci itu. Namun, Aria merasa ada kekuatan yang lebih besar yang mengendalikan jalan hidupnya. Setiap malam, saat ia terjaga, bayang-bayang itu datang kembali, menariknya lebih dalam ke dalam misteri yang belum terpecahkan.
Pagi ini, Aria memutuskan untuk kembali ke tempat yang telah lama ia hindari—rumah tua milik kakeknya yang terletak di pinggiran kota. Rumah itu adalah tempat yang penuh dengan kenangan, kenangan akan masa kecilnya bersama ibunya, dan kenangan akan kejadian-kejadian aneh yang selalu diceritakan dengan penuh misteri oleh ibunya. Sejak ibunya meninggal, rumah itu tidak pernah lagi dihuni, meskipun kadang-kadang Aria merasa ada sesuatu yang mengintai di sana.
Dengan langkah yang lebih mantap dari biasanya, Aria berjalan menuju rumah tua itu. Setiap langkah yang ia ambil seakan-akan dipenuhi dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada rasa takut yang menyelubungi, tetapi juga rasa penasaran yang menguatkan tekadnya. Ia tahu, rumah ini memiliki hubungan erat dengan apa yang sedang terjadi dalam hidupnya, dengan kunci yang ditemukan, dan dengan ayah yang semakin tertutup.
Ketika Aria sampai di depan rumah itu, pintu besar yang biasanya terbuka lebar kini tertutup rapat. Rumah itu terlihat lebih suram daripada yang ia ingat, dengan cat dinding yang mulai pudar dan halaman yang penuh dengan semak belukar yang tidak terawat. Ia ragu sejenak, tetapi rasa penasaran yang menguasainya membuatnya melangkah maju. Pintu yang terkunci seakan menunggu untuk dibuka.
Dengan tangan gemetar, Aria merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan kunci kecil yang tadi malam ia simpan. Ia melihat dengan seksama, menyadari bahwa kunci itu memiliki bentuk yang sangat unik, dengan ukiran yang seolah menyimpan pesan yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang tahu. Tanpa ragu, Aria memasukkan kunci itu ke dalam lubang kunci di pintu rumah. Dengan suara berderit, pintu itu terbuka.
Sebuah angin dingin yang tajam menyambutnya, seolah memberi pertanda bahwa ia sedang memasuki wilayah yang tidak seharusnya ia masuki. Aria melangkah ke dalam rumah, dengan hati yang berdebar. Kegelapan menyelimuti seluruh ruangan, hanya diterangi oleh sinar rembulan yang masuk melalui celah-celah jendela. Bau tua dan lembap menguar dari setiap sudut rumah, seperti rumah itu telah lama ditinggalkan oleh waktu.
Aria berjalan perlahan ke dalam, menelusuri lorong-lorong yang familiar namun terasa asing. Setiap langkahnya menggema di ruang yang kosong, seolah rumah itu sedang mengamati setiap gerak-geriknya. Di tengah lorong, Aria menemukan sebuah pintu yang terletak di ujung. Pintu itu tampak berbeda dari yang lain. Pintu itu lebih berat, lebih kokoh, dan ukiran di pintunya tampak lebih rumit. Seperti ada sesuatu yang sangat berharga di balik pintu itu.
Tanpa berpikir panjang, Aria mendekati pintu tersebut dan mencoba membuka kunci yang ada di tangannya. Namun, tiba-tiba sebuah suara lembut memanggilnya, membuatnya terhenti sejenak. “Aria…” Suara itu terdengar begitu dekat, namun Aria tidak bisa melihat siapa yang memanggilnya.
Ia berbalik, namun tak ada siapa pun di sana. Hanya bayang-bayang yang melayang di dinding. Aria menelan ludahnya, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Suara itu—apakah itu suara ibunya? Ataukah suara lain yang berasal dari tempat yang lebih dalam, dari kegelapan yang menunggu untuk ditelusuri?
Sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, Aria membuka pintu itu dengan tangan yang gemetar. Begitu pintu itu terbuka, sebuah cahaya redup menyinari wajahnya. Di dalam ruangan itu, terdapat meja kayu besar yang sudah lama usang, dengan tumpukan buku-buku tebal yang tampaknya telah berdebu selama bertahun-tahun. Di atas meja, ada sebuah kotak besar yang tertutup rapat. Kotak itu tampak lebih besar dari yang ia bayangkan, dengan ukiran yang mirip dengan ukiran yang ada pada kunci yang ia temukan.
Aria mendekat dan membuka kotak itu. Di dalamnya, terdapat sebuah buku tua yang terikat dengan kulit berwarna gelap, dan sebuah foto lama yang terlipat rapi di dalamnya. Buku itu tampak seperti sebuah jurnal, dengan tulisan tangan yang hampir tidak terbaca karena sudah mulai pudar. Namun, ada sesuatu yang mencolok—di halaman pertama, terukir sebuah nama: “Elara.”
Hatinya berdegup kencang. Siapa Elara? Mengapa nama itu ada di jurnal yang tampaknya sangat penting ini? Di balik foto yang terlipat, Aria menemukan lebih banyak petunjuk—foto seorang wanita yang tampaknya mengenakan pakaian dari zaman dulu, berdiri di depan sebuah bangunan yang familiar. Bangunan itu—apakah itu rumah mereka?
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di belakangnya, membuat Aria terlonjak. Ia menoleh cepat, tetapi hanya menemukan bayang-bayang yang melintas di dinding. Aria merasa ketegangan yang luar biasa di seluruh tubuhnya. Ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang mengintai dari balik bayang-bayang, sesuatu yang sangat berbahaya.
Tak bisa menunda lagi, Aria menggenggam erat buku dan foto itu, berlari keluar dari ruangan. Namun, saat ia melewati pintu, ia merasakan kehadiran lain—sesuatu yang sangat dekat. Sesuatu yang memandangnya dengan tatapan yang penuh rahasia. Bayang-bayang itu, yang kini tampak semakin jelas, tampak mengikutinya, menariknya ke dalam dunia yang jauh lebih gelap dari yang ia bayangkan.
Aria tahu bahwa ia sudah melangkah terlalu jauh. Ia tidak bisa mundur lagi. Apa pun yang ada di balik bayang-bayang itu, ia harus menghadapi dan mengungkapnya. Karena Aria kini tahu, tak ada yang bisa lari dari takdir yang telah ditentukan.*
Bab 6: Perjalanan Tanpa Tujuan
Malam itu, Aria berjalan menyusuri jalanan kota dengan langkah yang semakin berat. Hujan yang tak henti-hentinya mengguyur sepanjang hari membuat setiap sudut kota terasa lebih sepi dari biasanya. Lampu jalan yang temaram memantulkan bayangannya yang terdistorsi di trotoar basah, memberikan kesan bahwa ia hanyalah sosok yang terperangkap di dalam labirin ketidakpastian. Ia tidak tahu ke mana harus pergi atau apa yang harus dilakukannya. Semua yang ia miliki hanyalah sebuah buku tua dan foto usang yang mengingatkannya pada sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya sendiri—dan sebuah pertanyaan yang terus menghantui: siapa Elara?
Sejak meninggalkan rumah kakeknya, Aria tidak tahu harus ke mana. Setiap jejak yang ia coba temukan membawa semakin banyak pertanyaan tanpa jawaban. Buku yang ia temukan di rumah kakek, dengan tulisan tangan yang sulit dibaca, tampaknya memiliki lebih banyak makna daripada yang bisa ia pahami. Foto wanita dalam pakaian lama, yang seolah-olah tersenyum misterius, semakin menambah rasa gelisah dalam dirinya. Apakah wanita itu—Elara—ada hubungannya dengan keluarganya? Mengapa dia harus terlibat dalam teka-teki ini?
Aria mendongak ke langit, berharap melihat bintang-bintang yang mungkin bisa memberi petunjuk, namun hanya mendung yang terlihat, menambah suasana hati yang semakin berat. Ia berbalik menuju sebuah kafe kecil di sudut jalan, tempat ia biasa duduk untuk menenangkan pikiran. Meskipun kafe itu tidak jauh dari rumah, malam ini terasa seperti dunia yang berbeda. Rasanya seperti ia berjalan tanpa tujuan, mengikuti arus yang entah akan membawanya ke mana.
Saat ia memasuki kafe, aroma kopi yang kuat menyambutnya, memberikan sedikit kenyamanan di tengah kegelisahan yang mencekam. Meja yang biasa ia duduki kosong, hanya ada beberapa pelanggan yang sibuk dengan percakapan mereka sendiri. Aria memilih duduk di sudut, memesan secangkir teh hangat. Ia tidak merasa ingin berbicara dengan siapa pun, hanya ingin meresapi kesunyian dan mencoba mencari cara untuk mengatur pikirannya yang kacau.
Namun, pikirannya kembali teralih pada buku yang ia simpan di dalam tas. Di luar kafe, langit mulai menunjukkan tanda-tanda akan turun hujan lagi. Aria membuka tasnya, mengeluarkan buku itu, dan membukanya perlahan. Halaman pertama, yang sudah agak pudar, menunjukkan tulisan yang samar. Aria melipat halaman-halaman itu dengan hati-hati, berharap bisa menemukan sesuatu yang lebih jelas. Namun, semakin ia membaca, semakin ia merasa buku ini bukan hanya sekadar jurnal. Ini adalah catatan yang sangat pribadi, mungkin sebuah warisan lama yang sengaja disembunyikan.
Tiba-tiba, suara pintu kafe terbuka, dan seorang pria berpakaian rapi masuk. Ia langsung menarik perhatian Aria, meskipun pria itu tidak melakukan hal yang luar biasa. Ada sesuatu yang misterius dalam aura pria itu—sesuatu yang menarik perhatian, seperti magnet yang tak bisa dihindari. Ia tidak mengenal pria itu, tetapi Aria merasa sudah pernah melihatnya di suatu tempat, meskipun ia tidak bisa mengingatnya.
Pria itu berjalan menuju meja di pojok, dan tanpa disadari, Aria mendapati dirinya menatapnya dengan intens. Setiap gerakan pria itu terkesan penuh perhitungan, seperti seseorang yang tahu lebih banyak dari yang ia perlihatkan. Ia memesan secangkir kopi dan duduk, seolah menunggu seseorang.
Aria merasa tidak nyaman, tetapi ia tidak bisa mengalihkan pandangannya. Ada sesuatu yang aneh dalam cara pria itu memandang ke sekeliling, seolah ia sedang mencari seseorang. Mungkin, Aria berpikir, ini hanya perasaan paranoia saja, tetapi ketegangan dalam dirinya semakin kuat.
Tak lama setelah pria itu duduk, pelayan kafe menghampirinya, dan Aria melihat pria itu memberikan sebuah amplop kecil yang tampaknya diserahkan dengan sangat hati-hati. Aria tidak tahu apa isinya, tetapi ia bisa merasakan ada sesuatu yang penting dalam amplop itu, sesuatu yang tidak boleh sampai jatuh ke tangan yang salah.
Ketika pria itu membuka amplop dan memeriksa isinya, Aria merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Mungkin itu hanya kebetulan, atau perasaan aneh yang ia rasakan, tetapi ia bisa melihat bahwa pria itu sedang memegang sesuatu yang sangat mirip dengan buku yang ia temukan. Sebuah buku tua, dengan tulisan yang hampir tidak terbaca. Bahkan dari jarak sejauh itu, Aria bisa melihat desain sampulnya yang familiar.
Seketika, ia merasa dunia seolah-olah runtuh di sekitarnya. Apa yang terjadi di sini? Apakah pria ini tahu sesuatu yang ia tidak tahu? Mengapa amplop itu berisi buku yang sangat mirip dengan jurnal yang ia temukan di rumah kakek?
Tanpa pikir panjang, Aria memutuskan untuk mendekati pria itu. Kakinya melangkah secara otomatis, seakan-akan ada kekuatan tak terlihat yang mendorongnya untuk pergi. Saat ia hampir sampai di meja pria itu, pelayan kafe tiba-tiba datang dan memberikan pesan kepada pria tersebut, membuat Aria terhenti sejenak.
Pria itu menatap pelayan dengan senyum tipis sebelum kembali mengalihkan perhatiannya ke buku yang ada di tangan. “Terima kasih,” katanya dengan suara rendah, yang hanya bisa didengar oleh Aria yang berdiri cukup dekat.
Aria berdiri di tempatnya, merasa bingung dan terombang-ambing oleh ketegangan yang luar biasa. Apakah ia harus bertanya pada pria itu? Apa yang harus ia katakan? Ia tidak tahu mengapa, tetapi ia merasa seperti berada dalam persimpangan takdir yang besar. Setiap langkah yang ia ambil semakin mendekatkannya pada jawaban, tetapi jawaban itu mungkin akan mengungkapkan sesuatu yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan.
Di dalam dirinya, Aria merasa bahwa ia sudah terlalu jauh untuk mundur. Ia sudah terjerat dalam misteri yang tak bisa ia hindari. Buku tua itu, amplop itu, dan pria yang tampaknya tahu lebih banyak—semuanya mengarah pada satu titik yang tak terhindarkan.
Aria menarik napas panjang, menenangkan diri, lalu melangkah ke meja pria itu. “Maaf, saya… saya rasa kita pernah bertemu sebelumnya,” katanya dengan suara yang agak ragu, mencoba membuka percakapan.
Pria itu menatapnya sejenak, dan Aria merasakan tatapan itu tajam, seolah bisa melihat ke dalam dirinya. “Mungkin kita memang pernah bertemu,” jawab pria itu, suara lembut tetapi penuh makna. “Atau mungkin kamu sedang mencari sesuatu yang lebih dari yang kamu kira.”
Kata-kata itu seperti tamparan yang membuat Aria terdiam. Apa yang pria itu maksudkan? Mungkin ia benar—mungkin ia sedang mencari sesuatu yang lebih besar dari sekadar buku atau foto tua. Sesuatu yang akan mengubah hidupnya, sesuatu yang sudah lama menunggu untuk ditemukan.
Dengan perasaan yang campur aduk antara bingung dan cemas, Aria duduk di meja pria itu. Ia tahu, perjalanan ini, meskipun tanpa tujuan yang jelas, akan membawa jawabannya—meskipun jawaban itu mungkin jauh lebih berbahaya daripada yang ia bayangkan.*
Bab 7: Langkah yang Hilang
Pagi itu, Aria terbangun dengan rasa lelah yang luar biasa, meskipun tidurnya cukup panjang. Pikirannya masih penuh dengan bayang-bayang dari pertemuan dengan pria misterius di kafe. Kata-kata pria itu berputar-putar di kepalanya, seperti sebuah teka-teki yang belum terpecahkan. “Mungkin kamu sedang mencari sesuatu yang lebih dari yang kamu kira.” Kalimat itu terus bergema dalam pikirannya. Apa yang sebenarnya dicari oleh pria itu? Dan lebih penting lagi, apa yang sebenarnya sedang Aria cari?
Meskipun ia merasa ada yang hilang, Aria tidak bisa melupakan satu hal: ia tidak bisa berhenti merasa ada bagian dari dirinya yang harus ditemukan, seolah-olah ada langkah yang hilang dalam perjalanan hidupnya. Langkah itu membawa kembali kenangan lama—kenangan tentang ibunya, tentang masa kecil yang sederhana, dan tentang rumah yang kini tampak begitu jauh. Semua itu terasa semakin samar, terbungkus dalam lapisan-lapisan waktu yang sulit ditembus.
Aria memutuskan untuk kembali ke rumah kakeknya, mencoba mencari petunjuk lebih lanjut tentang hubungan keluarganya dengan misteri yang kini menguasai pikirannya. Saat ia menuju ke arah rumah tua itu, langkahnya terasa lebih berat dari sebelumnya, seakan-akan beban yang tak terlihat mengikutinya ke mana-mana.
Saat tiba di rumah, ia merasakan ada sesuatu yang berbeda. Rumah yang dulu terasa sangat familiar kini tampak seperti tempat asing, seolah-olah dunia di luar rumah itu bergerak sementara dunia di dalamnya terhenti. Semua tampak begitu sunyi, dan udara di dalamnya terasa berat. Aria tidak tahu apa yang ia cari di sana, tetapi dorongan untuk menemukan jawaban lebih besar dari rasa takut yang melingkupinya.
Ia membuka pintu dengan kunci yang kini terasa lebih dingin di tangannya. Pintu itu mengeluarkan suara berderit yang seakan-akan memberi isyarat bahwa ada sesuatu yang sedang menunggu di baliknya. Setiap langkah Aria di dalam rumah itu kini terasa lebih berat, seolah-olah setiap dinding dan sudut rumah ini menyimpan rahasia yang belum terungkap.
Di ruang tamu, meja tempat ia menemukan buku dan foto itu sudah tampak lebih rapuh. Buku itu, yang kini ia bawa ke mana-mana, tergeletak di atas meja dengan sampul yang mulai mengelupas. Aria mendekat, merasakan sesuatu yang tak terucapkan menggugahnya untuk membuka halaman-halaman yang lebih jauh. Di halaman terakhir, ia menemukan tulisan yang hampir tidak bisa dibaca karena goresan tinta yang samar. Namun, dengan penuh hati-hati, ia memaksa dirinya untuk membaca.
“Elara… bukan hanya nama. Ini adalah kunci. Jangan biarkan waktumu hilang.”
Kalimat itu menorehkan perasaan mendalam di hati Aria. Apakah ini petunjuk yang ia cari? Apa yang dimaksud dengan “jangan biarkan waktumu hilang”? Ia merasa semakin terperangkap dalam misteri ini, seolah-olah waktu itu sendiri sedang bermain-main dengannya.
Tiba-tiba, Aria merasakan perasaan aneh menyusup ke dalam tubuhnya. Seperti ada sesuatu yang sedang mengamatinya, sesuatu yang tak terlihat namun begitu nyata. Ia berbalik cepat, mencari-cari sumber perasaan itu, tetapi rumah itu tetap sunyi. Tak ada yang berubah. Namun, perasaan itu semakin menguat, hingga Aria merasa sangat terpojok.
Tanpa sadar, ia mulai bergerak menuju lorong yang mengarah ke ruang bawah tanah, tempat yang ia ingat seharusnya terkunci rapat. Ruang itu selalu menjadi tempat yang tidak pernah ia jelajahi, tempat yang selalu dilarang oleh ibunya. Namun, dorongan untuk mencari tahu semakin kuat, seolah-olah ruang itu menyimpan jawaban dari segala sesuatu yang telah terjadi.
Dengan tangan gemetar, Aria menemukan kunci lain yang tersembunyi di dalam saku jaketnya—kunci yang ia temukan sebelumnya di ruang tamu. Ia merasa aneh saat pertama kali menemukannya, tetapi kini ia sadar bahwa kunci itu bukan hanya untuk membuka pintu biasa. Kunci itu adalah pintu menuju masa lalu, menuju kebenaran yang selama ini disembunyikan.
Setelah memutar kunci itu ke dalam lubang kunci yang berkarat, pintu terbuka perlahan. Begitu terbuka, angin dingin yang suram menyambutnya, dan Aria bisa merasakan bahwa ia baru saja melangkah ke dalam dunia yang lebih gelap daripada yang ia bayangkan.
Ruang bawah tanah itu gelap, dengan hanya sedikit cahaya yang masuk dari celah-celah jendela kecil di atas. Bau lembap dan tanah basah memenuhi udara. Aria merasa tubuhnya semakin berat seiring ia melangkah lebih dalam, tetapi ia terus maju, menuruni tangga yang semakin sempit.
Di bawah, ruang itu jauh lebih besar dari yang ia kira. Di tengah-tengah ruangan, terdapat sebuah peti kayu besar yang terletak di atas sebuah panggung. Peti itu tampak tua, namun sangat terawat, seolah-olah baru saja diletakkan di sana beberapa waktu lalu. Di samping peti, ada sebuah lukisan besar yang menggambarkan sebuah keluarga. Aria bisa melihat wajah-wajah yang tidak asing—wajah ibunya, wajah kakeknya, dan wajah seorang wanita muda dengan senyum yang penuh misteri. Wajah itu… wajah Elara.
Rasa takut mulai merayap di dalam dirinya. Apakah ini yang selama ini tersembunyi? Apakah semua ini terkait dengan Elara? Aria mendekati peti itu dengan perlahan, merasakan ketegangan yang semakin memuncak. Sesuatu di dalam dirinya memberitahunya bahwa ini adalah titik balik—langkah yang hilang, langkah yang harus diambil untuk mengetahui kebenaran.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Aria membuka tutup peti itu. Begitu tutupnya terangkat, sebuah cahaya merah samar menyinari wajahnya, dan Aria menemukan sesuatu yang sangat mengejutkan: sebuah artefak kuno yang terlihat sangat mirip dengan kunci yang ia temukan. Artefak itu tampak seperti sebuah patung kecil, terbuat dari logam yang berkilau, dengan ukiran yang sangat rumit, persis seperti ukiran pada kunci yang kini ia pegang.
Tiba-tiba, suara berat bergema di ruangan itu, seolah-olah berasal dari dinding itu sendiri. “Kamu telah menemukannya…” suara itu berkata pelan, namun jelas terdengar di telinga Aria. “Tapi itu hanya permulaan. Apa yang kamu cari tidak akan mudah ditemukan. Langkahmu… baru saja dimulai.”
Aria terdiam, tubuhnya membeku. Suara itu… suara itu bukan dari orang lain. Itu datang dari artefak yang ia pegang. Ada sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, yang menunggu untuk terungkap—dan Aria tahu, tanpa keraguan, bahwa ia baru saja menginjakkan kaki pada jalan yang tak terelakkan.
Langkah yang hilang itu kini terungkap. Namun, Aria tahu, untuk menemukan jawaban, ia harus siap menghadapi apa pun yang akan datang. Karena kali ini, tak ada jalan mundur.*
Bab 8: Langkah Tersisa
Aria menatap artefak kecil yang kini berada di telapak tangannya. Cahaya merah samar yang memancar dari patung itu seolah hidup, bergerak seperti gelombang yang tak terlihat. Rasanya, dunia sekitar seperti terhenti sejenak—waktu berputar pelan, dan Aria seolah menjadi satu dengan udara dingin di ruang bawah tanah itu. Ketegangan memenuhi setiap sudut ruangan, seperti napas yang tertahan, menunggu untuk dilepaskan.
Suara yang sebelumnya bergema, kini seolah terperangkap di dalam kepala Aria. “Apa yang kamu cari tidak akan mudah ditemukan. Langkahmu… baru saja dimulai.” Kalimat itu terus mengalir dalam pikirannya, menembus semua kebingungan dan ketakutan yang menguasai dirinya. Apa yang dimaksud dengan langkah yang baru dimulai? Apa sebenarnya artefak ini? Dan kenapa rasanya seperti ada kekuatan yang berusaha menariknya lebih dalam?
Aria mengingat kembali kata-kata pria misterius di kafe, dan kini, semuanya mulai saling terkait. Dia memang sedang mencari sesuatu yang lebih dari yang ia kira. Tetapi yang ia temui kini, bukan sekadar jawaban, melainkan awal dari sebuah perjalanan yang tak terduga—sebuah perjalanan yang mungkin akan mengubah hidupnya selamanya.
Dengan hati-hati, Aria meletakkan artefak itu kembali ke dalam peti kayu. Ia merasa sesuatu yang tidak terlihat, seperti sebuah tangan halus yang menariknya, mendorongnya untuk menjauhkan diri dari benda itu. Namun, sesuatu dalam dirinya berkata bahwa ia tidak bisa berhenti di sini. Peti itu, dan semua yang ada di dalamnya, tampak seperti bagian dari teka-teki besar yang harus ia selesaikan.
Rasa penasaran mendorong Aria untuk membuka setiap sudut ruang bawah tanah itu. Mungkin, di suatu tempat, ada sesuatu yang ia lewatkan. Suara detak jantungnya bergema di telinga, namun ia terus bergerak, menelusuri setiap sudut dengan penuh kehati-hatian. Matanya menangkap banyak benda tua, beberapa buku kuno, beberapa artefak lain yang terlupakan, dan sebuah rak besar yang dipenuhi dengan gulungan-gulungan peta dan dokumen yang sudah sangat usang.
Saat ia membuka salah satu gulungan peta, ia menemukan sebuah gambar yang sangat menarik perhatiannya—sebuah peta besar yang menggambarkan sebuah wilayah yang tidak ia kenal. Di tengah peta itu, terdapat sebuah simbol yang sama dengan yang terukir pada artefak yang baru saja ditemukannya. Simbol itu, yang menyerupai lingkaran dengan garis-garis misterius, tampak mengelilingi sebuah area yang diberi tanda khusus: “Lembah Elara.”
“Lembah Elara…” bisik Aria, seolah-olah kata-kata itu sendiri membawa kunci untuk mengungkap misteri yang lebih besar. Ia tidak pernah mendengar tentang lembah itu sebelumnya. Namun, mengapa simbol itu ada di sini, di dalam peta yang begitu tua, dan mengapa nama Elara—wanita yang wajahnya ia lihat di lukisan—terkait dengan tempat ini?
Aria merasa peta itu adalah petunjuk yang tak boleh dilewatkan. Ia menggulung kembali peta itu dengan hati-hati dan memasukkannya ke dalam tasnya, berharap itu akan membawanya ke arah yang benar. Namun, ketika ia berpaling, matanya tertumbuk pada sesuatu yang membuat seluruh tubuhnya kaku. Di sudut ruangan, ada sebuah pintu rahasia yang terbuka sedikit. Seolah pintu itu menunggu untuk ditemukan, untuk mengungkapkan apa yang tersembunyi di baliknya.
Tanpa berpikir panjang, Aria melangkah menuju pintu itu. Kunci yang ia temukan sebelumnya terasa lebih berat di tangannya, seolah memberikan beban yang lebih besar dari sekadar membuka pintu. Setiap langkahnya semakin membuat ketegangan di dadanya semakin memuncak. Apa yang akan ia temukan di balik pintu itu? Apakah ini bagian dari langkah yang hilang, atau hanya jebakan untuk membuatnya terperangkap lebih dalam?
Dengan hati yang berdebar, Aria memutar kunci itu di dalam lubang kunci. Pintu itu terbuka dengan suara berderit yang menambah ketegangan. Saat ia melangkah masuk, ruangan itu tampak gelap, lebih gelap dari ruang bawah tanah tempat ia berdiri sebelumnya. Di dalamnya, hanya ada sebuah meja besar yang terbuat dari batu hitam, dan di atas meja itu terletak sebuah kotak berukir rumit yang sangat mirip dengan artefak yang baru saja ia temukan. Namun, kali ini, kotak itu lebih besar, lebih berat, dan lebih menantang.
Aria merasa dorongan untuk mendekati kotak itu begitu kuat, seperti ada sesuatu yang mengikatnya, seolah kotak itu merupakan jawaban dari semua yang ia cari. Namun, sebelum ia bisa menyentuhnya, suara yang sama—suara berat yang tadi bergema di ruang bawah tanah—kembali terdengar, kali ini lebih keras dan lebih menekan.
“Kamu sudah sampai di sini, tetapi apa yang kamu cari bukanlah apa yang kamu harapkan,” suara itu berkata dengan nada yang lebih dalam dan lebih memaksa. “Ini adalah langkah yang terakhir. Langkah yang akan menentukan masa depanmu.”
Aria merasa tubuhnya semakin kaku. Bagaimana suara itu bisa begitu jelas, begitu nyata, padahal tak ada siapa pun di dalam ruangan ini selain dirinya? Apakah ini bagian dari takdir yang tidak bisa ia hindari?
Namun, tanpa berpikir lebih panjang, Aria membuka kotak itu. Di dalamnya, terdapat sebuah batu kristal yang bersinar dengan cahaya biru yang lembut. Batu itu tidak tampak seperti benda biasa—ada sesuatu yang magis tentangnya, sesuatu yang membuat Aria merasa bahwa ia baru saja menemukan kunci untuk membuka misteri yang lebih besar. Sebuah kunci yang mungkin akan mengubah segalanya.
Tiba-tiba, Aria mendengar langkah kaki di luar ruangan. Seseorang mendekat, dan ia bisa merasakan perasaan yang aneh. Seperti ada mata yang mengawasi, seolah dunia ini sedang bergerak lebih cepat daripada yang ia inginkan. Aria merasa panik, tetapi ia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari batu itu. Sesuatu dalam dirinya tahu bahwa batu itu adalah kunci untuk langkah terakhirnya—langkah yang akan menyelesaikan perjalanan ini.
Dengan tangan yang gemetar, Aria menyentuh batu kristal itu. Begitu ia menyentuhnya, seluruh ruangan seketika berubah. Cahaya yang memancar dari batu itu semakin terang, dan Aria merasakan dirinya terangkat, seperti melayang di luar tubuhnya. Dunia sekitar seolah mengabur, dan suara yang terdengar semakin jauh. Hanya ada satu hal yang ia rasakan: perjalanan ini, meskipun penuh dengan kebingungannya, kini membawa Aria pada titik di mana ia harus membuat keputusan terakhir.
Langkah yang hilang itu kini tidak lagi hilang. Semuanya mengarah pada satu titik, satu jawaban. Dan Aria tahu, sekali ia melewati langkah ini, tidak akan ada jalan kembali.***
———-THE END——-