BAB 1: TITIK AWAL
Satria duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer yang menyala. Lampu-lampu kantor yang redup dan suara ketikan keyboard rekan-rekannya di sekitar semakin membuatnya merasa terasing. Pekerjaan ini seharusnya memberinya kepuasan, namun semakin ia mencoba terjun ke dalamnya, semakin besar rasa kosong yang ia rasakan. Satria menghela napas panjang, kemudian kembali menatap jam dinding yang menunjukkan pukul empat sore. Waktu berlalu begitu cepat, namun perasaan terperangkap dalam rutinitas seakan tidak kunjung berlalu.
Sejak pagi, Satria seperti berada dalam keadaan hampa. Meski ia sudah duduk di meja kerja sejak pagi, tidak ada yang benar-benar ia kerjakan dengan sepenuh hati. Sesekali, pandangannya melayang ke luar jendela kantor yang menghadap ke jalanan kota yang sibuk, dengan deretan kendaraan yang melaju tanpa henti. Begitu ramai, tetapi bagi Satria, itu hanya sebuah keramaian yang tidak bisa ia rasakan. Hidupnya terasa terjebak dalam rutinitas yang tak pernah berakhir.
Satria mengerutkan kening. Begitu banyak orang yang menginginkannya untuk sukses—terutama ayahnya. Ayahnya, seorang pengusaha sukses di bidang konstruksi, selalu berharap agar Satria meneruskan bisnis keluarga. Namun, Satria merasa terpojok. Sejak kecil, ia sudah dibentuk dalam dunia yang penuh tuntutan tinggi. Semua yang ia lakukan di bawah sorotan mata ayah yang penuh harapan, yang tak pernah bisa menerima jika Satria memilih jalan yang berbeda.
Ayahnya adalah figur yang keras. Setiap kali mereka berbicara tentang masa depan, topik yang tidak bisa dihindari adalah tentang melanjutkan bisnis keluarga. Tak ada ruang untuk pilihan pribadi, dan tak ada toleransi untuk kegagalan. Satria ingat jelas bagaimana ia sering kali merasa tidak cukup baik di mata ayahnya. Apa pun yang ia lakukan seolah selalu tidak memenuhi harapan.
Namun, meski hidupnya terasa seperti berada dalam sebuah jerat, Satria tidak bisa memungkiri bahwa ada keinginan dalam dirinya untuk sesuatu yang lebih. Ia ingin menjadi seseorang yang dapat menentukan arah hidupnya sendiri, tanpa harus mengikuti jejak yang telah ditentukan. Meski begitu, rasa takut akan kegagalan menghalangi langkahnya. Ia sering kali merasa bingung dan ragu, apakah jalan yang ia pilih benar-benar akan membawanya ke kebahagiaan yang sejati.
Pada saat itulah, telepon genggamnya bergetar, memecah keheningan ruang kerja. Satria menoleh dan melihat nama yang tertera di layar—Dika. Sahabat lama yang dulu selalu ada di sisi Satria, bahkan saat mereka masih duduk di bangku SMA. Dika adalah orang yang selalu berani mengejar impian, orang yang tidak takut untuk memilih jalan yang tidak biasa, bahkan ketika itu membuat orang lain mengernyitkan dahi. Dika selalu menjadi sumber inspirasi bagi Satria, meskipun mereka kini berada di dunia yang sangat berbeda.
Satria mengangkat telepon, dan suara Dika langsung terdengar di ujung sana, ceria seperti biasa. “Bro, kamu lagi sibuk nggak?” suara Dika terdengar penuh semangat.
Satria tersenyum kecil. “Lagi sibuk, tapi nggak ada yang bener-bener penting. Ada apa?”
“Ada sesuatu yang ingin gue ceritain, tapi gue rasa ini bisa jadi peluang buat lo juga,” jawab Dika, dengan nada yang sepertinya penuh antusiasme.
Dika mulai bercerita tentang sebuah tawaran pekerjaan di sebuah perusahaan startup besar di luar kota. Perusahaan itu sedang mencari orang yang memiliki latar belakang kuat di bidang bisnis, dan Dika merasa Satria akan cocok dengan posisi itu. “Gue tahu lo nggak puas dengan pekerjaan lo sekarang, dan ini bisa jadi kesempatan besar buat lo. Coba pertimbangin, bro,” lanjut Dika.
Satria terdiam sejenak. Tawaran ini datang begitu mendalam, namun seiring dengan datangnya perasaan senang, datang pula perasaan cemas. Ia harus pergi jauh dari keluarganya, dan tentu saja dari ayah yang selalu menginginkan dia tetap bekerja di perusahaan keluarga. Dika, yang kini sukses di dunia wirausaha, sangat tahu betul bahwa tawaran ini bisa menjadi pintu menuju kehidupan yang lebih baik bagi Satria. Namun, Satria tidak bisa menepis rasa khawatirnya. Ia merasa bertanggung jawab atas keluarga, apalagi jika mengingat pengorbanan ayahnya selama ini.
“Apa lo bener-bener yakin ini yang terbaik buat gue, Dik?” tanya Satria dengan suara pelan. Ia tahu bahwa ini adalah momen penting yang bisa menentukan arah hidupnya, namun ia juga merasa bingung untuk memilih jalan mana yang harus ia ambil.
Dika tertawa ringan. “Bro, gue tahu lo orangnya penuh pertimbangan, tapi kadang-kadang, kita harus berani ambil risiko. Lo nggak akan tahu apa yang bisa lo capai sampai lo melangkah keluar dari zona nyaman.”
Satria mendengarkan kata-kata Dika, dan sesuatu dalam dirinya terasa tersentuh. Seperti ada secercah harapan yang muncul dari dalam dirinya yang selama ini terkubur. Ia menyadari bahwa mungkin inilah saatnya untuk melakukan sesuatu yang berbeda, meski itu berarti meninggalkan segala hal yang sudah ia kenal.
Ketika percakapan itu berakhir, Satria meletakkan teleponnya di meja, dan kembali menatap jendela. Matahari mulai tenggelam, dan langit terlihat kemerahan, menciptakan suasana yang memikat hati. Dalam hatinya, Satria merasa cemas, namun di sisi lain, ada rasa penasaran yang muncul. Apakah ia siap untuk menghadapi hidup dengan cara yang berbeda? Apakah ia siap untuk mengejar mimpinya, meski harus meninggalkan kenyamanan yang telah ia jalani selama ini?
Di saat itulah, Satria tahu bahwa ia berada di titik awal. Sebuah titik di mana ia harus memutuskan apakah ia akan terus terjebak dalam bayang-bayang masa lalu atau berani melangkah menuju masa depan yang tidak pasti namun penuh dengan kemungkinan.*
BAB 2: PILIHAN YANG BERAT
Pagi itu, Satria terbangun dengan perasaan yang lebih berat dari biasanya. Meskipun matahari sudah menyinari kamar tidurnya, seolah-olah ada awan gelap yang terus menggantung di atas kepalanya. Setiap detik yang berlalu membawa lebih banyak keraguan, dan rasanya pilihan yang harus ia buat semakin jauh dari jangkauannya. Satria memejamkan matanya, berusaha menenangkan pikiran yang terus terombang-ambing. Hari ini adalah hari yang penting. Hari yang akan menentukan bagaimana hidupnya akan berubah ke depan.
Setelah beberapa detik mencoba mengumpulkan keberanian, Satria memutuskan untuk segera bangkit dan memulai hari. Ia berjalan menuju kamar mandi, mencuci wajahnya, dan menatap cermin. Refleksinya menatap balik, namun di balik mata yang sedikit lelah, terlihat keraguan yang begitu nyata. Ia merasa terperangkap antara dua dunia yang sangat berbeda—dunia yang dikenal, dunia yang aman namun penuh dengan tekanan, dan dunia yang penuh ketidakpastian, dunia yang menjanjikan kebebasan dan kemungkinan untuk menemukan jati diri.
Satria duduk di meja makan, di hadapannya sebuah piring kosong dan secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Ibunya sibuk mempersiapkan sarapan, sementara ayahnya sudah duduk dengan serius di ujung meja, membaca koran seperti biasa. Seperti yang sudah terjadi setiap hari, Satria merasa dirinya terasing di meja makan ini. Keluarganya tidak pernah berbicara banyak, apalagi tentang masa depan. Ayahnya hanya fokus pada bisnis keluarga, sementara ibunya lebih banyak diam, seperti menunggu untuk dipanggil oleh ayahnya jika ada urusan rumah tangga yang perlu diselesaikan.
Namun hari ini berbeda. Satria merasa harus berbicara, harus memberi tahu mereka tentang tawaran yang datang dari Dika. Ia tahu ini akan mengejutkan mereka, terutama ayahnya yang selalu mengharapkan dia untuk meneruskan perusahaan keluarga. Tetapi, di sisi lain, Satria juga merasa tak bisa terus hidup dalam bayang-bayang harapan yang bukan berasal dari hatinya sendiri.
Satria menarik napas dalam-dalam, lalu mulai berbicara dengan suara yang sedikit gemetar, “Pak, Bu, ada sesuatu yang ingin saya bicarakan.”
Ayahnya tidak langsung mengangkat kepala dari korannya, tetapi ia mendengarkan dengan seksama. Ibunya berhenti sejenak dan menatapnya dengan mata penuh perhatian.
“Saya mendapat tawaran pekerjaan dari teman lama, Dika. Dia menawarkan saya kesempatan untuk bekerja di sebuah startup besar di luar kota. Saya berpikir untuk mempertimbangkan tawaran itu.”
Sejenak suasana hening, hanya terdengar suara sendok yang terjatuh dari tangan ibunya. Ayahnya menurunkan korannya, menatapnya dengan tajam, seolah-olah mencoba mencari tahu apakah Satria serius atau hanya sekadar bercanda.
“Dika? Itu teman yang selalu mengajakmu untuk meninggalkan perusahaan ini?” tanya ayahnya dengan nada datar.
Satria mengangguk pelan, merasakan bagaimana hati ayahnya yang penuh harapan seperti tersentak mendengar nama Dika disebut. “Iya, Pak. Tapi ini bukan tentang Dika, ini tentang pilihan saya. Saya rasa saya harus mencoba sesuatu yang baru.”
Ayahnya menatapnya, kali ini matanya lebih keras. “Kamu yakin? Kamu tahu apa yang ada di luar sana, kan? Dunia itu tidak seindah yang kamu bayangkan. Kami sudah memberikan semua yang kamu butuhkan di sini. Kami sudah membangun perusahaan ini dengan susah payah. Kamu tidak bisa hanya pergi begitu saja tanpa pertimbangan yang matang.”
Satria merasa kata-kata itu seperti beban batu besar yang dijatuhkan di atas dadanya. Ia tahu ayahnya mencintainya, tapi ayahnya juga tidak pernah mengerti dirinya. Selama ini, Satria selalu berusaha memenuhi harapan ayahnya, namun setiap kali ia merasa sedikit bebas, ada suara yang kembali mengingatkannya akan kewajiban dan tanggung jawab.
Ibunya, yang selama ini hanya menjadi pendengar pasif, kini ikut membuka suara. “Satria, kamu sudah besar sekarang. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Tapi jika kamu merasa ini adalah langkah yang harus kamu ambil, kami akan mendukungmu.”
Mendengar kata-kata ibunya, Satria merasa sedikit lega. Namun, rasa lega itu segera digantikan oleh kebingungan yang lebih dalam. Ibunya mendukungnya, tapi bagaimana dengan ayahnya? Bagaimana jika ia merasa dikhianati? Satria tahu bahwa keputusan ini bukan hanya soal pekerjaan, tetapi tentang harapan, kebanggaan, dan masa depan yang diinginkan oleh orang-orang yang sangat ia cintai.
“Pak, Bu, saya hanya ingin mencoba jalan yang saya pilih sendiri. Saya tahu ini berat, tapi saya ingin mencoba sesuatu yang saya rasa lebih sesuai dengan diri saya. Saya tidak ingin menjalani hidup hanya untuk memenuhi harapan orang lain,” ujar Satria dengan suara pelan, meskipun di dalam hatinya terdapat badai perasaan yang begitu kuat.
Ayahnya menatapnya dengan tatapan yang sulit dimengerti. Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya ayahnya membuka mulut. “Kamu sudah dewasa, Satria. Kalau kamu merasa ini adalah keputusan yang terbaik, maka jalanilah. Tapi ingat, hidup tidak mudah. Jika kamu memilih jalanmu sendiri, kamu harus siap dengan segala konsekuensinya.”
Satria mengangguk, meski dalam hatinya masih terasa berat. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, dan ia juga tahu bahwa apa pun yang ia pilih, tidak akan ada yang bisa mengubah kenyataan bahwa ia telah membuat pilihan besar dalam hidupnya. Pilihan yang akan mengubah arah hidupnya selamanya.
Setelah sarapan, Satria keluar dari rumah dengan langkah yang terhitung lebih mantap. Ia merasa ada beban yang sedikit berkurang setelah berbicara dengan orang tuanya. Namun, perasaan cemas tetap ada. Ia tahu bahwa keputusan ini akan membawa konsekuensi, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang-orang yang ia cintai.
Sekarang, ia hanya perlu melangkah lebih jauh. Mengambil keputusan ini bukanlah hal yang mudah, tetapi Satria tahu satu hal—hidupnya tidak bisa terus terjebak dalam pilihan orang lain. Ia harus mencari jalan yang sesuai dengan dirinya, meski itu berarti harus menghadapi jalan yang penuh ketidakpastian.
Di persimpangan ini, ia tahu bahwa keputusan yang ia buat akan menentukan siapa dirinya kelak.*
BAB 3: DI BALIK BAYANGAN
Langit sore itu terlihat kelabu, awan tebal menggelantung rendah, menandakan hujan yang akan turun dalam beberapa menit ke depan. Satria berdiri di balkon apartemennya, memandang ke luar dengan pikiran yang mengembara jauh. Setelah keputusan besar yang ia buat di rumah tadi pagi, kini ia merasa seperti berada di persimpangan yang lebih besar lagi—perjalanan hidupnya terasa semakin kabur. Keputusan untuk mengejar mimpi dan mengambil langkah keluar dari zona nyaman ternyata tidak sebanding dengan harapan yang selama ini ia genggam.
Dua hari setelah percakapan itu dengan orang tuanya, Satria merasa seolah-olah sedang hidup dalam bayangan. Bayangan harapan-harapan yang kini mulai memudar. Di satu sisi, ia merasa lega bisa mengambil keputusan ini, namun di sisi lain, ada perasaan cemas yang terus menghantui. Semua hal yang telah ia tinggalkan, semua orang yang ia tinggalkan—apakah itu benar-benar langkah yang tepat? Apakah ia akan menemukan kebahagiaan yang ia cari di dunia baru yang penuh ketidakpastian ini?
Hujan mulai turun dengan deras. Satria menutup balkon dan duduk di meja kerjanya. Di hadapannya tergeletak sebuah dokumen berisi rincian tawaran pekerjaan dari startup yang telah membuatnya ragu. Tawaran itu memang menggoda—gaji yang menggiurkan, posisi yang menarik, dan kesempatan untuk berkembang. Tetapi ia juga tahu, di balik tawaran itu ada banyak hal yang harus ia bayar dengan harga mahal. Ia akan meninggalkan keluarga, teman-teman, dan segala yang ia kenal. Yang lebih mengganggu pikirannya adalah bayangan akan kekecewaan orang tuanya, terutama ayahnya yang selama ini berharap banyak padanya untuk melanjutkan bisnis keluarga.
Satria meletakkan dokumen itu ke samping dan menghela napas panjang. Ia menginginkan perubahan, tetapi perubahan itu juga datang dengan harga yang harus ia bayar. Pikirannya melayang kepada Dika, sahabat lama yang kini menjadi salah satu pendiri startup tersebut. Dika selalu bersemangat untuk keluar dari belenggu yang mengikat, untuk mencari kebebasan sejati di dunia yang tak terikat oleh apapun. Mungkin itulah yang membuat Satria merasa tertarik. Ia ingin mengikuti jejak Dika, untuk akhirnya memutuskan sendiri apa yang terbaik untuk hidupnya, tanpa perlu menuruti ekspektasi orang lain.
Namun, ada sesuatu yang membuatnya ragu. Satria merasa seperti berada di bayang-bayang keputusan itu—bayang-bayang yang menuntutnya untuk berlari tanpa tahu apa yang menunggunya di depan. Ia bisa melihat dengan jelas bahwa di balik langkah yang ia ambil, ada sesuatu yang lebih gelap, sesuatu yang tak terlihat namun sangat mempengaruhi setiap aspek dari hidupnya. Rasanya seperti ada dua sisi dari koin yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
Saat sore berlanjut, Satria menerima pesan singkat di ponselnya. Ternyata, itu adalah pesan dari Dika. Tertulis di layar ponsel, “Sudah siap untuk melangkah, bro? Jangan biarkan keraguan menghentikanmu. Ini kesempatan besar.”
Satria tersenyum kecut membacanya. Ia tahu Dika tidak akan memahami apa yang sedang ia rasakan. Dika selalu berpikir bahwa dunia ini penuh dengan kemungkinan yang tidak terbatas, bahwa setiap langkah yang diambil akan membuka pintu-pintu baru yang lebih menjanjikan. Tetapi bagi Satria, ini lebih dari sekadar peluang pekerjaan. Ini tentang meninggalkan masa lalu, meninggalkan kenyamanan, dan menghadapi ketidakpastian yang sangat menakutkan.
Setelah beberapa detik termenung, Satria membalas pesan Dika. “Aku butuh waktu untuk berpikir lebih lama. Ini bukan keputusan mudah.”
Beberapa detik kemudian, pesan balasan Dika muncul. “Tentu, bro. Pikirkan baik-baik. Tapi jangan sampai kamu terjebak di tempat yang sama selamanya.”
Satria membaca pesan itu berulang kali, meresapi setiap kata yang tertulis. Seiring waktu berlalu, hatinya mulai dipenuhi dengan kebingungan yang semakin dalam. Apakah ia benar-benar siap menghadapi segala hal yang menantinya di dunia baru ini? Atau apakah ia akan menyesal setelah membuat keputusan yang tidak dapat diputar balikkan?
Malam semakin larut, hujan masih turun dengan deras. Suara tetesan air yang jatuh ke jendela terdengar seperti irama yang menenangkan, meskipun hatinya tidak merasa tenang sama sekali. Satria mengambil keputusan untuk keluar dari apartemennya, berjalan-jalan di sekitar kota untuk mencoba membersihkan pikirannya. Sesekali ia melihat orang-orang berlalu-lalang, sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa peduli dengan kebingungannya.
Langkah kaki Satria akhirnya membawanya ke sebuah kafe kecil di sudut jalan. Kafe itu sudah lama menjadi tempat pelariannya saat ia merasa tertekan. Begitu memasuki kafe, Satria merasa sedikit tenang meskipun keraguan masih terus menyelimuti pikirannya. Ia duduk di meja pojok, memesan secangkir kopi panas, dan mulai merenung.
Tak lama kemudian, seorang wanita memasuki kafe. Ia mengenakan jaket tebal dan tampak sedikit tergesa-gesa. Ketika wanita itu berjalan melewati meja Satria, pandangan mata mereka bertemu sejenak, dan Satria merasa ada sesuatu yang aneh. Wanita itu tersenyum kecil, lalu melanjutkan langkahnya ke meja sebelah. Satria kembali terdiam, berusaha tidak terlalu menghiraukan perasaan yang tiba-tiba muncul.
Namun, saat wanita itu mulai berbicara dengan pelayan kafe, Satria mendengar sesuatu yang mengejutkan. Ia mendengar percakapan singkat tentang “keputusan yang berat” dan “pilihan yang sulit,” kata-kata yang terdengar sangat familiar di telinganya. Tiba-tiba, ia merasa seperti ada sesuatu yang menghubungkannya dengan wanita itu. Mungkinkah ia juga sedang berada dalam posisi yang sama seperti dirinya? Mungkinkah wanita itu juga sedang bergelut dengan bayang-bayang keputusan besar yang harus ia ambil?
Satria merasa ada suatu ketertarikan yang tidak bisa ia jelaskan. Entah itu hanya perasaan sesaat, atau mungkin karena ia terlalu banyak berpikir, yang jelas ia merasa terhubung dengan orang asing ini. Di balik bayang-bayang keputusan yang ia hadapi, ia melihat diri wanita itu—terjebak dalam kebimbangan, di tengah ketidakpastian yang tak kunjung berakhir.
Ia berdiri dan mendekati meja wanita itu. “Maaf, saya tak bermaksud mengganggu,” katanya dengan suara pelan, “tapi saya mendengar sedikit percakapan Anda. Apakah Anda juga sedang menghadapi keputusan yang sulit?”
Wanita itu menatapnya sejenak, seolah-olah menganalisis apakah ia layak untuk diajak berbicara. Setelah beberapa detik, ia tersenyum dan mengangguk. “Saya rasa kita semua punya keputusan sulit yang harus diambil. Dan kadang, kita harus menghadapi bayang-bayang itu, yang terus menghantui kita.”
Satria duduk di hadapannya, merasa sedikit lega. Mungkin, dalam beberapa hal, mereka sebenarnya lebih mirip dari yang ia kira.*
BAB 4: JALAN YANG BERBEDA
Pagi itu, Satria bangun dengan perasaan yang campur aduk. Hujan semalam meninggalkan udara yang lembap, dan suara rintik-rintik air yang jatuh dari atap rumah terdengar menenangkan. Namun, pikirannya masih terganggu dengan percakapan yang ia lakukan semalam. Wanita yang ia temui di kafe, yang wajahnya tampak asing namun terasa begitu familiar, terus mengganggu ingatannya. Mereka berbicara sedikit tentang pilihan hidup, tentang keberanian menghadapi jalan yang berbeda—dan entah bagaimana, kata-katanya terus terngiang dalam benaknya.
“Saat kita berada di persimpangan, Satria, kita selalu bisa memilih jalan kita sendiri. Tapi ingat, tidak semua jalan akan membawa kita kembali ke tempat yang kita kenal,” wanita itu berkata dengan tatapan yang penuh makna.
Satria tahu ia harus membuat keputusan, tetapi kenyataannya, memilih jalan yang berbeda itu terasa sangat menakutkan. Jalan yang telah ia pilih sebelumnya, untuk terus bekerja di perusahaan keluarga, membawa kenyamanan yang tak bisa disangkal. Namun, tawaran dari Dika, sahabat lamanya yang telah sukses dengan startup-nya, menggoda untuk mencoba sesuatu yang baru. Sesuatu yang jauh berbeda dari rutinitas yang sudah ia jalani bertahun-tahun. Namun, perasaan takut akan kehilangan segala yang telah ada—keluarga, teman-teman, dan kehidupan yang sudah ia kenal—terus menghantui.
Setelah berjam-jam berpikir, Satria memutuskan untuk keluar dari apartemennya dan berjalan-jalan di sekitar kota. Ia merasa ada sesuatu yang harus ia temui, sesuatu yang belum ia pahami. Mungkin, jawabannya ada di luar sana, di jalan-jalan kota yang berliku.
Ia berjalan menyusuri trotoar yang basah, melihat orang-orang sibuk dengan aktivitas pagi mereka. Beberapa di antaranya tampak bergegas menuju tempat kerja, sementara yang lainnya memilih duduk di kafe-kafe kecil yang tersebar di sudut-sudut jalan. Setiap langkahnya terasa begitu berat, seperti ada beban yang tak terangkat dari pundaknya. Namun, entah mengapa, ia merasakan dorongan untuk terus melangkah. Ada semacam panggilan untuk mengeksplorasi jalan yang belum pernah ia coba sebelumnya.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar, mengalihkan perhatian Satria dari pikirannya yang terus berkecamuk. Itu adalah pesan dari Dika, yang selalu tahu cara menghubunginya tepat pada waktunya.
“Bro, gimana? Sudah siap ambil keputusan? Kamu nggak akan menyesal. Aku janji,” isi pesan itu.
Satria terdiam sejenak. Pesan singkat itu terasa seperti tantangan. Ia tahu Dika ingin mendorongnya untuk mengambil langkah berani, meninggalkan zona nyaman dan menjalani hidup di luar kebiasaan. Namun, ia juga sadar bahwa keputusan itu bukan hanya tentang dirinya sendiri. Ini adalah keputusan yang akan memengaruhi banyak hal—hubungan dengan keluarga, masa depannya, bahkan cara ia melihat dunia.
Ia membalas pesan itu dengan cepat, “Masih berpikir, Dika. Ini bukan keputusan yang mudah.”
Setelah mengirim pesan, Satria melanjutkan langkahnya, tanpa tujuan pasti. Namun, tiba-tiba ia berhenti di depan sebuah taman kota yang asri. Pohon-pohon besar yang rimbun dan bunga-bunga berwarna cerah menciptakan pemandangan yang damai. Ada sesuatu yang menenangkan di sini. Ia memutuskan untuk duduk di bangku taman yang terletak di bawah pohon besar, membiarkan pikirannya mengalir bebas.
Di tengah ketenangan taman itu, Satria merasa seolah dunia berhenti sejenak. Semua keraguan dan kebingungan yang mengganggu pikirannya seakan menguap. Terkadang, dalam keheningan, jawaban-jawaban terbesar bisa ditemukan. Mungkin, ia telah terlalu lama terjebak dalam rutinitas yang sama, terlalu takut untuk mencoba sesuatu yang baru. Ia melihat sekeliling taman, menyadari bahwa dunia ini penuh dengan jalan-jalan yang belum pernah ia jelajahi. Setiap jalan, meski berbeda, menawarkan peluang yang berbeda pula.
Ia menatap langit yang mulai cerah, lalu merenung. Mengambil jalan yang berbeda bukan berarti harus meninggalkan segalanya. Ini adalah perjalanan baru yang harus ia jalani untuk menemukan siapa dirinya yang sebenarnya. Tidak ada yang salah dengan mencoba sesuatu yang baru, asalkan ia tetap setia pada nilai-nilai yang ia pegang teguh.
Saat itu, ponselnya kembali bergetar. Pesan dari ibu yang penuh perhatian masuk ke layar ponselnya. “Satria, apa keputusanmu? Kami hanya ingin yang terbaik untukmu.”
Satria menghela napas panjang. Pesan itu mengingatkannya pada tanggung jawabnya terhadap keluarga. Ia tahu orang tuanya berharap banyak padanya, terutama ayahnya yang ingin agar ia melanjutkan bisnis keluarga yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Namun, dalam hatinya, Satria tahu bahwa ia juga harus memberi ruang untuk dirinya sendiri, untuk impian-impian yang selama ini terkubur.
Ia tersenyum kecil, menyadari bahwa keputusan besar ini bukan hanya tentang memilih antara dua jalan yang jelas. Ini tentang bagaimana ia bisa menciptakan jalannya sendiri, meski itu penuh dengan ketidakpastian. Ia tak bisa hidup hanya untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa memilih jalan yang berbeda bukanlah suatu kesalahan, melainkan langkah berani menuju sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang lebih berarti bagi dirinya.
Dengan tekad baru, Satria mengambil ponselnya dan membalas pesan ibunya. “Aku akan memilih jalanku, Ma. Mungkin ini berat, tapi aku percaya ini yang terbaik untukku.”
Setelah mengirim pesan, ia berdiri dari bangku taman dan melangkah dengan langkah yang lebih mantap. Ia tahu bahwa jalan yang akan ia pilih ke depan penuh dengan tantangan, tetapi ia juga tahu bahwa hanya dengan menempuh jalan yang berbeda, ia bisa menemukan dirinya yang sejati.
Satria berjalan menyusuri jalan yang belum pernah ia lalui sebelumnya, merasa bahwa setiap langkah membawa dia lebih dekat pada kebebasan yang selama ini ia cari. Jalan yang berbeda, meski penuh ketidakpastian, akhirnya terasa lebih memanggilnya.*
BAB 5: KEPENTINGAN DAN PENGORBANAN
Satria duduk di meja kantornya, menatap layar komputer dengan pandangan kosong. Di luar jendela, hujan turun dengan deras, seakan mencerminkan kerumitan pikirannya. Keputusan yang telah ia ambil beberapa minggu lalu mulai terasa semakin membebani dirinya. Ia telah memilih untuk mengikuti jalan yang berbeda—untuk meninggalkan perusahaan keluarga yang telah membesarkan nama keluarganya dan bergabung dengan startup milik sahabat lamanya, Dika. Namun, meski ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini adalah pilihan terbaik, ada sesuatu yang terasa mengganggu, seperti bayangan yang tak bisa diabaikan.
Hujan yang semakin deras hanya memperburuk suasana hati Satria. Ia teringat percakapan dengan ayahnya beberapa hari yang lalu. Ayahnya, yang telah menghabiskan seluruh hidupnya membangun perusahaan keluarga, tentu saja kecewa mendengar keputusan Satria untuk meninggalkan semuanya demi sebuah risiko yang belum terbukti.
“Satria, kamu anak satu-satunya yang bisa melanjutkan perusahaan ini,” kata ayahnya dengan suara tegas, yang seakan menggema di telinga Satria. “Kamu tahu betul apa yang sudah kami bangun, dan kamu akan melepaskannya hanya demi sebuah impian yang belum tentu berhasil?”
Satria tahu betul bahwa ayahnya tidak pernah mengerti apa yang ia rasakan. Ayahnya terlahir dari keluarga yang keras, di mana segala keputusan didasarkan pada prinsip dan tanggung jawab keluarga. Bagi ayahnya, mempertahankan keberlanjutan bisnis adalah yang terpenting. Namun, bagi Satria, hidup tidak bisa hanya sekadar tentang melanjutkan apa yang sudah ada. Ia ingin mencoba sesuatu yang baru, mengejar passion-nya, dan menemukan jalannya sendiri.
Namun, pengorbanan yang harus ia buat mulai terasa nyata. Ketika ia memutuskan untuk keluar dari perusahaan keluarga dan bergabung dengan Dika, ia tahu ia tidak hanya meninggalkan pekerjaan yang stabil dan nyaman, tetapi juga melepaskan hubungan erat yang telah terjalin selama bertahun-tahun. Ayahnya yang tegas, ibunya yang selalu mendukung apapun yang ia pilih, dan bahkan saudara-saudaranya yang masih berharap ia bisa membawa perusahaan itu menuju puncak kesuksesan.
“Satria, kamu harus paham, keputusan ini bukan hanya tentang kamu,” kata ibunya suatu hari. “Ini tentang masa depan keluarga kita.”
Kata-kata ibunya menghantui Satria. Ia tahu bahwa keluarganya sudah sangat bergantung pada keberhasilan perusahaan. Ayahnya yang sudah tua membutuhkan seseorang yang bisa mengemban tugas itu. Tetapi, di sisi lain, Satria juga merasa bahwa ia tidak bisa hidup hanya untuk memenuhi harapan orang lain. Ia ingin menjadi dirinya sendiri, tanpa terikat oleh tanggung jawab yang dipaksakan.
Seiring waktu, Satria mulai merasa dilema ini semakin membebaninya. Setiap kali ia bertemu dengan Dika, sahabatnya yang penuh semangat, ia merasa semakin yakin bahwa jalan yang ia pilih adalah jalan yang benar. Dika selalu memotivasi Satria untuk tidak takut mengambil risiko, untuk berani mengejar impian meski jalan yang dilalui penuh ketidakpastian.
“Jangan ragu, Satria,” kata Dika suatu kali. “Semua orang yang berhasil pernah berada di posisi ini. Mereka harus melepaskan sesuatu yang mereka cintai, agar bisa mendapatkan yang lebih besar.”
Namun, saat berada di perusahaan keluarga, segala sesuatunya terasa berbeda. Satria merasa seperti seorang pengkhianat. Ia bisa merasakan tatapan ayahnya yang penuh kekecewaan setiap kali ia datang ke rumah. Perasaan itu semakin menyiksa saat pertemuan-pertemuan keluarga yang diadakan setiap minggu di rumah orang tuanya. Semua orang bertanya tentang perkembangan perusahaan, berharap Satria akan datang dengan kabar baik tentang bisnis keluarga. Namun, kenyataannya, Satria tidak bisa memberi jawaban yang mereka harapkan.
Satu minggu sebelum pengunduran dirinya resmi diumumkan, Satria menemui ayahnya di ruang kerja ayahnya, ruang yang penuh dengan kenangan dan rasa tanggung jawab. Ayahnya duduk di kursi kerjanya yang besar, menatap Satria dengan wajah yang lebih tua dari yang biasa ia lihat. Satria bisa melihat kelelahan di mata ayahnya, tetapi juga kebanggaan yang besar. Ayahnya, yang selama ini menganggap Satria sebagai penerusnya, kini melihat anaknya akan melepaskan semua itu.
“Kenapa, Satria?” tanya ayahnya dengan suara pelan, seolah tak percaya dengan apa yang sedang terjadi. “Kamu akan meninggalkan semuanya. Semua yang kami bangun selama ini. Untuk apa? Untuk impian yang belum tentu ada ujungnya?”
Satria menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. “Aku… aku hanya ingin mencoba sesuatu yang berbeda, Pa. Ini bukan tentang meninggalkan kalian, atau perusahaan ini. Tapi ini tentang mencari jalan yang sesuai dengan diri aku sendiri.”
Ayahnya menghela napas panjang, lalu berkata, “Terkadang, kita harus memilih antara kepentingan pribadi dan keluarga. Tapi ingat, Satria, ada banyak hal yang harus dikorbankan. Jangan sampai pilihanmu malah merusak semuanya.”
Kata-kata ayahnya membuat hati Satria semakin berat. Ia merasa seolah ia terperangkap dalam dua dunia yang berbeda. Di satu sisi, ia ingin mengejar impiannya dan membuktikan bahwa ia mampu mencapai sesuatu yang lebih besar dari yang ditawarkan oleh perusahaan keluarga. Namun, di sisi lain, ia tahu bahwa memilih jalan itu berarti melepaskan banyak hal—termasuk cinta dan harapan keluarganya terhadapnya.
Pagi itu, ketika hujan masih turun dengan derasnya, Satria merasa bahwa dunia di sekitarnya semakin membingungkan. Setiap pilihan membawa konsekuensinya sendiri, dan Satria tahu bahwa apa yang ia pilih kali ini tidak hanya akan mempengaruhi dirinya, tetapi juga orang-orang yang ia cintai. Dalam keheningan itu, Satria mulai memahami bahwa hidup memang penuh dengan pengorbanan. Setiap langkah yang kita ambil akan memengaruhi banyak hal. Namun, pada akhirnya, yang terpenting adalah memilih jalan yang akan membuat kita merasa utuh—meski itu berarti mengorbankan kepentingan dan harapan orang lain.*
BAB 6: PERSIMPANGAN TAKDIR
Satria berdiri di depan pintu kaca besar yang menghadap ke kota yang ramai. Matahari pagi baru saja muncul, memancarkan sinar keemasan yang menembus celah-celah gedung tinggi di sekitarnya. Ia merasa seperti terjebak di persimpangan jalan yang tidak bisa ia hindari. Hidupnya yang sebelumnya terasa begitu pasti kini berubah menjadi serangkaian pilihan yang rumit. Apa yang harus ia lakukan? Pilihan mana yang benar?
Malam sebelumnya, ia menerima telepon dari Dika, sahabat lamanya, yang mengabarkan bahwa sebuah peluang besar datang untuk startup mereka. Sebuah perusahaan besar tertarik untuk melakukan investasi, yang bisa membawa bisnis mereka ke level yang lebih tinggi. Dika, yang sudah lama menjadi teman seiring perjalanan karier Satria, sangat antusias. Namun, bagi Satria, panggilan itu hanya membuat hati dan pikirannya semakin kacau.
Satria selalu menghargai persahabatannya dengan Dika, tetapi sekarang ia menyadari bahwa ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. Ada tanggung jawab besar yang ia tinggalkan ketika ia keluar dari perusahaan keluarga. Apakah benar ia sudah siap untuk mengejar impian yang seakan berada di luar jangkauan? Bahkan lebih besar lagi, ia teringat percakapan terakhirnya dengan ayahnya, yang memohon agar ia kembali dan meneruskan bisnis keluarga.
“Satria, jangan biarkan semua yang kami bangun selama ini hancur karena keputusan impulsifmu,” kata ayahnya, suaranya penuh keprihatinan. “Kami sudah bekerja keras selama bertahun-tahun. Jangan sia-siakan semuanya hanya karena ketidakpastian.”
Kata-kata itu terus menggema dalam benaknya. Tanggung jawab terhadap keluarga, terhadap perusahaan yang sudah dibangun dengan susah payah, sangat membebani hatinya. Namun, Satria juga tahu bahwa hidupnya bukan hanya tentang mengikuti jalan yang sudah ditentukan oleh orang lain. Ia ingin meraih kebahagiaan dan menemukan makna dalam setiap langkahnya. Tetapi bagaimana bisa ia memilih antara keluarga yang sangat dicintainya dan mimpinya sendiri yang jauh dari pasti?
Di sisi lain, ia merasa semakin jauh dari orang tuanya. Kedua orang tuanya selalu menginginkan yang terbaik untuknya, tetapi mereka melihatnya lebih sebagai penerus perusahaan mereka daripada sebagai individu yang memiliki impian dan keinginan pribadi. Satria merasa tertekan, terbelenggu dalam harapan mereka. Ia merasa seperti ia tidak bisa menjadi dirinya sendiri tanpa rasa bersalah yang menghantuinya.
Ia mengambil ponselnya dan menelusuri pesan-pesan yang ia terima sepanjang pagi. Dika masih menunggu balasan darinya, menanyakan kapan mereka bisa bertemu untuk membahas rencana besar yang mereka punya. Dalam satu pesan, Dika bahkan menawarkan solusi yang tampaknya sangat menggoda.
“Kita bisa bertemu dengan para investor minggu depan, Satria. Mereka tertarik dengan ide kita. Ini kesempatan besar, bro. Kalau kita bisa meyakinkan mereka, startup kita bisa berkembang pesat, bahkan lebih besar dari yang pernah kita bayangkan.”
Satria tahu bahwa ini adalah tawaran yang luar biasa. Ia ingin melangkah lebih jauh, keluar dari bayang-bayang perusahaan keluarga yang membatasi ruang geraknya. Tetapi ada rasa takut yang menggelayuti hatinya. Bagaimana jika ia gagal? Apa yang akan terjadi jika keputusan ini berakhir buruk? Dan yang lebih penting lagi, apa yang akan terjadi pada hubungan keluarganya?
Pikiran-pikiran itu terus berputar di kepalanya, membuatnya semakin bingung. Ia menoleh ke luar jendela, memandang kota yang sibuk, yang kini terasa sangat jauh dari dirinya. Semua orang berlomba-lomba mengejar impian mereka sendiri, tetapi bagaimana dengan impiannya? Apakah ia benar-benar siap untuk meninggalkan zona nyaman yang telah lama ia bangun? Apakah ia sanggup menghadapi risiko kehilangan semuanya?
Satria menghela napas panjang. Perasaan kesepian mulai merayap. Ia merasa seolah-olah berdiri di persimpangan takdir yang berat, dengan dua arah yang sama-sama penuh dengan ketidakpastian. Jika ia mengikuti jalan yang satu, ia akan meninggalkan segalanya yang ia kenal, yang sudah dibangun oleh keluarganya. Tetapi jika ia memilih jalan yang lain, ia mungkin akan merasa terjebak selamanya, tidak pernah bisa menjadi dirinya sendiri.
Satria mencoba untuk menenangkan pikirannya. Ia tahu bahwa waktu tidak akan menunggunya. Keputusan harus dibuat, dan ia harus menghadapi kenyataan bahwa tidak ada jalan yang benar-benar mudah. Semua jalan pasti akan membawa konsekuensinya masing-masing. Tetapi ia juga tahu bahwa ini adalah saatnya untuk berani mengambil langkah, memilih jalan yang akan memberi makna dalam hidupnya.
Sambil memikirkan keputusan besar yang harus ia buat, Satria kembali teringat pada kata-kata ibunya. Ia ingat betul bagaimana ibunya selalu mengingatkannya untuk membuat keputusan dengan hati yang tulus, dengan mempertimbangkan baik buruknya bagi dirinya sendiri dan orang-orang yang ia cintai.
“Kamu harus menjadi orang yang tahu apa yang kamu inginkan, Satria,” kata ibunya suatu waktu, dengan suara lembut namun penuh keyakinan. “Kadang kita harus memilih antara apa yang kita inginkan dan apa yang orang lain harapkan dari kita. Tapi ingat, hidup ini hanya sekali. Jangan menyesalinya.”
Perkataan ibunya menguatkan tekad Satria. Ia tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang harapan orang lain. Ia harus mencari jalan yang membuatnya merasa utuh, walaupun itu berarti menghadapi risiko besar. Satria akhirnya memutuskan untuk melangkah maju, mengikuti panggilan hatinya, meski tidak tahu pasti apa yang akan ia temui di depan.
Dengan keyakinan yang baru, Satria membuka pesan dari Dika dan mengetikkan balasan.
“Saya siap, Dika. Mari kita lakukan ini.”
Pesan itu terkirim, dan dengan itu, Satria merasa sedikit lega. Ia tahu bahwa ini adalah langkah besar yang akan membawa hidupnya ke arah yang berbeda. Namun, ia juga tahu bahwa tidak ada pilihan yang sempurna. Ia hanya bisa berharap bahwa apa yang ia pilih akan memberi arti bagi dirinya, dan pada akhirnya, membawa kebahagiaan yang ia cari.*
BAB 7: MENEMUKAN JALAN PULANG
Satria duduk di tepi jendela, menatap kota yang perlahan mulai malam. Cahaya lampu kota berpadu dengan langit yang menggelap, menciptakan panorama yang memukau, namun hatinya terasa hampa. Keputusan yang telah ia ambil beberapa minggu lalu, yang awalnya tampak begitu jelas dan penuh harapan, kini meninggalkannya dengan keraguan yang tak kunjung surut. Jalan yang ia pilih membawa ia jauh dari keluarga, jauh dari kenyamanan yang dulu ia miliki, namun ia juga merasakan ada sesuatu yang hilang dari hidupnya.
Sejak saat itu, Satria telah terjun sepenuhnya ke dunia yang baru. Startup mereka berkembang pesat. Dika, sahabat yang selalu ada, tetap setia berada di sisi Satria. Namun, semakin lama, semakin banyak juga perasaan kesepian yang datang menyergap. Meski banyak pencapaian yang diraih, namun kesuksesan tersebut tidak menghapus perasaan rindu terhadap keluarga, terutama ayah dan ibunya. Ia tak bisa menghindari kenyataan bahwa keluarganya, yang dulu menjadi segalanya, kini terasa semakin jauh.
Satria tahu, ada sesuatu yang hilang. Ada sebuah bagian dari dirinya yang tidak bisa ditemukan dalam dunia baru yang ia pilih. Ia mulai menyadari bahwa kebahagiaan yang sesungguhnya tidak hanya datang dari kesuksesan atau impian besar yang ia kejar, tetapi dari hubungan yang ia miliki dengan orang-orang yang ia cintai. Sementara ia berusaha mengejar ambisinya, ia juga telah melupakan pentingnya kebersamaan dan kedekatan dengan keluarga yang selalu mendukungnya.
Suatu hari, ia memutuskan untuk pulang. Keputusan ini datang begitu saja, seperti panggilan dari dalam hatinya yang sudah lama ia abaikan. Ia tahu ini adalah saat yang tepat, meski tak mudah untuk menghadapinya. Sebelumnya, ia selalu berpikir bahwa kembali ke rumah adalah tanda kegagalan, sebuah pengakuan bahwa jalan yang ia pilih salah. Namun, kini ia menyadari bahwa tidak ada yang salah dengan kembali ke tempat asal, apalagi jika itu membuat hati lebih damai.
Pulang, bagi Satria, bukan hanya soal kembali ke rumah, tetapi juga tentang kembali kepada dirinya sendiri. Ia ingin memperbaiki hubungan yang sempat renggang dengan ayah dan ibunya, dan merasakan kembali kedamaian yang dulu membuatnya merasa utuh. Keputusan untuk pulang adalah bagian dari pencarian jati diri, menemukan tempat yang membuatnya merasa lengkap.
Satria mengemas barang-barangnya dan menghubungi Dika. “Bro, aku akan pulang sebentar. Ada hal yang harus aku selesaikan di rumah,” katanya dengan suara yang tegas namun penuh makna.
Dika yang mendengar itu hanya menjawab dengan nada serius, “Kamu yakin, Satria? Aku tahu ini keputusan besar. Tapi kalau itu yang terbaik untuk kamu, aku akan mendukungmu.”
Pulang ke rumah, setelah begitu lama menjauh, membawa Satria pada perasaan campur aduk. Ia merasa cemas, tetapi di sisi lain, ada perasaan lega yang tak bisa ia pungkiri. Sesampainya di rumah, ia disambut dengan senyuman ibunya yang tampak lebih muda dari yang ia ingat. Wajah ibunya yang ramah membawa kenangan masa kecil yang indah. Ayahnya yang tegas, namun lembut hatinya, berdiri di samping pintu, seolah menunggu kedatangannya dengan penuh harap.
Satria merasa seperti seorang anak yang baru saja pulang dari perjalanan panjang. Ia merasa canggung, namun juga penuh harap. “Ayah, Ibu,” katanya dengan suara pelan, “aku kembali.”
Ayahnya memandangnya lama, sebelum akhirnya berkata, “Kami tidak pernah menginginkanmu pergi, Satria. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Kami takut, kamu melupakan jalanmu.”
Satria mengangguk pelan. “Aku tahu, Ayah. Aku minta maaf karena terlalu lama pergi. Aku hanya… merasa ada yang kurang.”
Kata-kata itu meluncur begitu saja, seolah beban yang selama ini menekan dadanya akhirnya terlepas. Ayah dan ibunya hanya diam, mendengarkan dengan penuh perhatian. Mereka tahu, anak mereka tidak hanya merindukan rumah, tetapi juga dirinya sendiri. Ada perasaan yang selama ini terpendam, yang kini mulai terbuka.
Hari-hari selanjutnya di rumah terasa berbeda. Tidak ada lagi pembicaraan tentang bisnis keluarga yang menekan. Satria mulai merasakan ketenangan yang selama ini ia cari. Ia membantu ayahnya dengan pekerjaan rumah tangga, berbincang-bincang dengan ibunya, dan merasakan kembali kedekatan yang dulu ia lupakan. Satria merasa seperti kembali menemukan bagian dari dirinya yang hilang.
Tapi bukan berarti semuanya berjalan mulus. Satria tahu bahwa ia harus menghadapi kenyataan bahwa keluarganya mungkin tidak akan memahami sepenuhnya keputusan yang telah ia buat. Ada banyak hal yang perlu ia bicarakan dengan ayah dan ibunya. Ada banyak harapan yang harus ia pertanggungjawabkan, dan kadang-kadang, perasaan bersalah itu datang begitu saja. Namun, ia tahu bahwa dengan komunikasi yang terbuka dan hati yang tulus, semuanya bisa dihadapi bersama.
Pada suatu malam, ketika makan malam bersama, ayahnya menatapnya serius. “Satria, apakah kamu sudah siap untuk mengambil alih semuanya? Kami sudah terlalu tua untuk terus mengelola bisnis ini,” katanya.
Satria terdiam. Ini adalah saat yang tepat untuk menjelaskan semuanya. “Ayah, Ibu, aku ingin kamu tahu bahwa aku akan tetap ada untuk kalian. Tetapi aku juga ingin mengejar jalan yang aku pilih. Aku tahu ini mungkin sulit, tapi aku ingin membangun masa depan yang bisa aku banggakan, tanpa harus mengorbankan siapa diri aku.”
Ibunya tersenyum lembut. “Kami tahu, Satria. Kami hanya ingin kamu bahagia. Tak masalah apa jalan yang kamu pilih, selama itu membawa kebaikan untukmu.”
Satria merasa terharu. Ia menyadari bahwa untuk menemukan jalan pulang, ia tidak hanya perlu kembali ke tempat asal, tetapi juga menemukan keseimbangan antara ambisi dan keluarga, antara tanggung jawab dan kebahagiaan pribadi. Ia akhirnya menemukan bahwa jalan pulang bukanlah sebuah pengorbanan, melainkan suatu perjalanan yang membawa kedamaian hati.
Dengan langkah yang lebih mantap, Satria tahu bahwa ia bisa kembali menapaki jalannya dengan hati yang lebih ringan. Kembali pulang bukanlah akhir dari segalanya, melainkan sebuah awal yang baru.***
—————-THE END—————