Bab 1: Langkah Pertama
Laras memandang keluar jendela kantor dengan tatapan kosong. Kota Jakarta yang sibuk dan penuh sesak dengan kendaraan serta orang-orang berlalu-lalang tampak begitu jauh baginya. Meskipun berada di lantai 30 sebuah gedung pencakar langit yang megah, dengan segala pencapaian yang telah diraih dalam kariernya, ia merasa kosong. Hidupnya seakan terjebak dalam rutinitas yang tidak memberinya kebahagiaan.
Sebagai seorang pengacara muda di firma hukum ternama, Laras telah melewati banyak proses panjang untuk berada di titik ini. Ia berasal dari keluarga biasa, dengan orangtua yang selalu menekankan pentingnya pendidikan dan keberhasilan dalam hidup. Setelah bertahun-tahun bekerja keras, ia berhasil menembus dunia hukum yang keras dan penuh persaingan, mendapatkan pekerjaan di firma hukum terbesar di kota. Setiap hari, ia membenamkan diri dalam tumpukan dokumen dan rapat-rapat panjang, yang seakan tidak pernah ada habisnya.
Namun, meski segala prestasi yang ia raih terkesan sempurna, Laras merasakan sesuatu yang hilang. Ketika teman-temannya mengagumi kariernya yang gemilang, dia justru merasa terasing dari dunia itu. Ia merasa seperti sedang menjalani hidup orang lain—hidup yang dipaksakan untuknya, bukan pilihan sejatinya. Hidupnya dipenuhi oleh pekerjaan yang tidak memberikan ruang untuk dirinya sendiri.
Suatu pagi yang cerah, seperti biasa, Laras berjalan menuju meja kerjanya. Sesampainya di sana, ia melihat tumpukan berkas yang harus diselesaikan sebelum akhir pekan. Arga, rekan kerjanya yang selalu terlihat sempurna dalam segala hal, menghampirinya dengan senyuman khas yang tidak pernah lepas dari wajahnya. Arga adalah sosok yang sudah sangat dikenal di perusahaan ini, sukses, karismatik, dan sangat ambisius—tipe pria yang selalu tahu apa yang ia inginkan.
“Laras, kamu tahu deadline klien besar itu, kan?” tanya Arga, membuka percakapan sambil menunjukkan berkas yang harus segera diselesaikan.
Laras mengangguk sambil menyusun kembali pikirannya. “Ya, aku tahu. Aku akan selesaikan secepatnya.”
Arga tersenyum. “Kamu selalu bisa diandalkan. Bagus kalau kamu sudah siap. Tapi, bagaimana kalau kita makan malam bersama setelahnya? Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan denganmu.”
Laras merasa sedikit terkejut. Selama ini mereka hanya berinteraksi dalam konteks profesional. Meskipun Arga selalu ramah dan penuh perhatian, Laras tidak pernah menganggapnya lebih dari sekadar rekan kerja. Namun, ajakan itu membuatnya merasa sedikit canggung. Ada sesuatu yang berbeda dari sikap Arga yang biasanya tidak pernah terlalu mendalam.
“Ah, tentu saja, kita bisa bicara setelah itu,” jawab Laras dengan senyuman tipis, berusaha menyembunyikan kebingungannya.
Hari berlalu dengan cepat, dan malam pun tiba. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Laras menemui Arga di restoran mewah yang mereka pilih. Di tengah percakapan yang semakin intens tentang proyek-proyek mereka, Arga secara tidak langsung mulai membuka diri tentang harapannya terhadap Laras. Ia menyatakan ketertarikannya lebih dari sekadar rekan kerja, dan mengungkapkan bahwa ia merasa ada koneksi khusus antara mereka berdua.
Laras terdiam sejenak, terkejut oleh pengakuan itu. Arga adalah pria yang cerdas, sukses, dan selalu menginspirasi. Banyak orang di firma hukum yang mengagumi sosoknya, dan mungkin Laras juga pernah merasa kagum, namun perasaannya tidak pernah lebih dari itu. Ia merasa nyaman dengan Arga, tetapi tidak tahu apakah itu cukup untuk membangun sebuah hubungan lebih dari sekadar profesional.
Keesokan harinya, setelah pertemuan itu, Laras kembali terjebak dalam rutinitas hariannya. Semua pekerjaan menumpuk di mejanya, dan di tengah semua itu, ia merasa ada sesuatu yang mengganjal. Terkadang, dia bertanya-tanya apakah inilah yang diinginkan dari hidupnya. Keberhasilan yang terus dipacu, pencapaian yang seakan tak ada habisnya, namun pada akhirnya, apa yang ia dapatkan? Kebahagiaan, atau sekadar pengakuan dari orang lain?
Laras mencoba mengalihkan pikirannya dengan fokus pada pekerjaannya. Namun, semakin banyak berkas yang ia selesaikan, semakin ia merasa jauh dari dirinya sendiri. Ada bagian dalam hidupnya yang tidak pernah ia perhatikan—sesuatu yang jauh lebih penting dari sekadar karier atau kesuksesan duniawi. Namun, ia tidak tahu apa itu. Ia merasa seperti sedang berjalan di atas jalur yang sempit, tanpa tahu apakah jalur tersebut benar-benar membawanya ke tujuan yang diinginkannya.
Di tengah kebingungannya, Laras mulai merasa cemas. Mungkin, untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa takut akan masa depannya. Apakah ia benar-benar memilih jalan yang tepat? Apakah semua yang telah ia perjuangkan selama ini akan membawanya ke kebahagiaan, atau justru membuatnya semakin jauh dari kehidupan yang ia inginkan?
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan meskipun Laras semakin sadar akan kegelisahannya, ia tetap melangkah dengan penuh tekad—seperti orang yang tidak bisa berhenti berlari. Namun, entah kenapa, dalam hatinya, ia merasa ada jalan lain yang menunggunya. Jalan yang lebih memadai untuk menemukan kebahagiaan sejati. Tetapi, jalan itu masih terlalu kabur baginya, dan ia tidak tahu apakah ia siap untuk menemukannya.*
Bab 2: Pertemuan dengan Dewa
Laras tidak menyangka bahwa kehidupannya akan terbalik arah hanya karena sebuah acara amal kecil yang diadakan oleh sebuah lembaga sosial. Saat itu, ia menerima undangan dari salah satu kliennya untuk menghadiri gala amal yang diselenggarakan untuk menggalang dana bagi anak-anak jalanan yang membutuhkan. Meskipun acara tersebut bukan bagian dari rutinitas kerjanya, Laras merasa hal ini bisa menjadi kesempatan untuk memperluas jaringan profesionalnya. Tanpa berpikir panjang, ia menerima undangan tersebut, meskipun hatinya sebenarnya merasa tidak begitu antusias.
Pada hari yang telah ditentukan, Laras mengenakan gaun hitam elegan, rambutnya disisir rapi, dan ia melangkah dengan percaya diri memasuki gedung yang dipenuhi oleh cahaya gemerlap dan suara musik yang meriah. Di sekitar ruangan, terlihat para dermawan dan eksekutif dari berbagai perusahaan terkemuka, berbaur dalam percakapan hangat sambil menikmati hidangan mewah. Semua terlihat sempurna, seperti yang diharapkan dalam dunia sosialita.
Namun, meski berada di tengah keramaian, Laras merasa semakin terasing. Di antara obrolan yang tak pernah berujung dan senyuman yang terlihat dibuat-buat, ia merasa seperti berada di luar dunia ini. Kehidupan yang ia jalani selama ini—dunia penuh ambisi, pencapaian, dan kompetisi—membuatnya merasa semakin terjauhkan dari arti kehidupan yang sesungguhnya. Di tengah gemerlap tersebut, ia mulai bertanya pada dirinya sendiri, “Apa sebenarnya yang aku cari dalam hidup ini?”
Laras mengalihkan pandangannya dari kerumunan orang di sekitarnya, mencoba menemukan sedikit ketenangan. Saat itulah matanya tertuju pada seorang pria muda yang sedang berbicara dengan beberapa anak muda di pojok ruangan. Pria itu mengenakan pakaian kasual yang sederhana, berbeda dengan kebanyakan tamu yang hadir dengan pakaian mewah. Meski tidak mencolok, ada sesuatu yang menarik dari sosoknya—senyum tulus dan cara berbicaranya yang penuh empati. Laras merasa tertarik, meskipun ia tidak tahu mengapa.
Tak lama kemudian, seorang wanita mendekatinya dan memperkenalkan diri. “Laras, ini Dewa,” katanya sambil menunjukkan pria muda itu. “Dia bekerja di sini sebagai relawan. Semua yang ada di sini berkat usaha kerasnya.”
Laras mengangguk sopan, meskipun masih sedikit bingung dengan perkenalan ini. “Senang bertemu denganmu, Dewa.”
Dewa tersenyum ramah, dan seketika itu, Laras merasakan kehangatan dalam tatapannya. “Saya juga senang bertemu denganmu, Laras. Terima kasih sudah datang mendukung acara ini.”
“Senang bisa mendukung,” jawab Laras sambil merasa sedikit canggung. “Tapi sejujurnya, saya lebih sering terjebak dalam pekerjaan, jadi jarang mengikuti acara seperti ini.”
Dewa tertawa kecil. “Itu wajar. Dunia pekerjaan memang kadang membuat kita lupa pada hal-hal yang lebih penting. Tapi, ini semua tentang memberi, bukan hanya menerima.”
Laras merasa sedikit terkejut dengan jawabannya. Kata-kata Dewa seperti menyentuh bagian dari dirinya yang selama ini terpendam. Di tengah kesibukan dan ambisi yang ia jalani setiap hari, ia jarang sekali mendengar kata-kata yang menyentuh hati seperti itu. Seolah-olah Dewa mengerti persis apa yang dirasakan Laras—kekosongan yang tak terungkapkan dalam dirinya.
Malam itu, Laras dan Dewa berbicara lebih lama. Dewa menceritakan tentang pekerjaannya sebagai sukarelawan yang mengabdikan diri untuk membantu anak-anak jalanan dan masyarakat miskin. Ia bercerita dengan penuh semangat, menjelaskan bagaimana ia merasa bahwa hidupnya menjadi lebih berarti saat bisa memberikan sedikit kebahagiaan bagi mereka yang membutuhkan. “Bagi saya,” kata Dewa, “kehidupan bukan tentang berapa banyak yang kita miliki, tetapi seberapa banyak yang kita berikan kepada orang lain.”
Laras terdiam mendengar penuturan Dewa. Sejak kapan ia merasa begitu terhubung dengan seseorang? Ia yang selama ini merasa terasing di dunia kerjanya, yang selalu mengejar target dan pencapaian, tiba-tiba merasa seperti telah melupakan sisi lain dari hidup—sisi yang lebih hangat dan penuh kasih sayang.
Malam itu, mereka berbicara banyak tentang kehidupan, tentang kebahagiaan yang tidak selalu bisa diukur dengan uang atau status sosial. Dewa tidak menghakimi hidup Laras yang penuh dengan ambisi dan pencapaian, tetapi ia mengingatkan Laras akan hal-hal sederhana yang sering terlupakan, seperti kebahagiaan dari memberi tanpa pamrih dan kedamaian yang datang dari ketulusan hati.
Laras merasa seakan ada pintu baru yang terbuka di dalam dirinya. Dewa dengan segala kesederhanaannya, mengajarkan Laras tentang kehidupan yang lebih penuh makna. Semakin banyak waktu yang ia habiskan bersamanya, semakin ia merasa ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Hatinya yang selama ini penuh dengan keraguan dan kebingungan, mulai merasakan sesuatu yang baru: ketenangan.
Setelah acara amal itu selesai, Laras mengucapkan selamat tinggal pada Dewa, tetapi di dalam hati, ia tahu, ini bukanlah pertemuan terakhir mereka. Sesuatu dalam dirinya telah berubah, dan meskipun ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, ia merasakan bahwa pertemuan ini adalah awal dari perjalanan yang akan membawa kehidupan yang lebih bermakna. Ketika Laras meninggalkan tempat itu, hatinya merasa lebih ringan. Ia tidak lagi terjebak hanya dalam dunia yang penuh tekanan dan harapan duniawi, tetapi juga merasa bahwa ada dunia lain—dunia yang lebih luas, penuh kasih dan pengabdian.
Hari-hari setelahnya, Laras terus memikirkan pertemuannya dengan Dewa. Ada semacam perasaan yang tak bisa ia jelaskan, sebuah keinginan untuk lebih dekat dengan kehidupan yang lebih sederhana, lebih manusiawi. Laras merasa seolah-olah ia telah menemukan sebuah titik balik, di mana hidupnya yang penuh dengan pencapaian dan kesuksesan bisa dipertanyakan kembali.*
.Bab 3: Keputusan yang Menunggu
Hari-hari setelah pertemuan dengan Dewa meninggalkan bekas yang mendalam dalam hati Laras. Meski ia berusaha melanjutkan rutinitas kerjanya seperti biasa, pikirannya sering melayang, teringat kembali pada percakapan malam itu yang begitu menginspirasi. Setiap kali ia duduk di meja kantornya, memandangi tumpukan berkas yang harus diselesaikan, ada perasaan hampa yang tak bisa ia hindari. Sebuah pertanyaan yang terus berputar di kepalanya: Apakah ini yang benar-benar ia inginkan dari hidupnya?
Sementara itu, hubungan Laras dengan Arga semakin berkembang. Sejak malam itu, Arga semakin sering mengajak Laras untuk makan bersama setelah jam kerja. Mereka mulai berbicara tentang berbagai hal—dari pekerjaan hingga impian mereka di masa depan. Arga selalu memuji kemampuan Laras dan memberikan pujian yang tulus tentang kariernya. Setiap kali bersama Arga, Laras merasa dihargai dan dianggap penting. Dia merasa bahwa hubungan mereka bisa berkembang menjadi sesuatu yang lebih serius, seperti yang diinginkan Arga. Namun, ada bagian dari dirinya yang merasa ragu. Meskipun Arga adalah pria yang cerdas dan sukses, sesuatu dalam diri Laras merasa bahwa ia masih mencari sesuatu yang lebih, sesuatu yang lebih dari sekadar kemewahan dan kesuksesan yang ditawarkan dunia.
Suatu malam, setelah menghadiri sebuah acara formal bersama Arga, Laras kembali ke apartemennya dengan perasaan yang campur aduk. Arga menunggu di depan pintu apartemennya, memberikan pelukan hangat, dan berkata, “Aku ingin kita lebih serius, Laras. Aku rasa kamu adalah sosok yang tepat untuk mendampingiku, baik dalam karier maupun kehidupan pribadi.”
Laras terdiam, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Arga. Di satu sisi, ia merasa terhormat dan bahagia mendengar pengakuan tersebut. Arga memang pria yang baik, penuh perhatian, dan sangat mendukung kariernya. Namun, ada sebuah suara kecil dalam hatinya yang terus bertanya, apakah ia benar-benar mencintai Arga atau hanya merasa nyaman dengan status quo yang diberikan kepadanya. Mungkin, yang ia inginkan bukan hanya sekadar kesuksesan dan stabilitas, tetapi juga perasaan yang lebih mendalam, sesuatu yang lebih tulus dan menyentuh hatinya.
Setelah pertemuan itu, Laras merasa semakin tertekan. Di satu sisi, ada Arga yang menawarkan masa depan yang pasti, penuh dengan kenyamanan dan stabilitas. Namun, di sisi lain, ada Dewa, yang meskipun tidak memiliki banyak harta atau kemewahan, hidup dengan cara yang sederhana namun penuh makna. Dewa tidak pernah memaksakan apapun pada Laras. Ia hanya menunjukkan padanya cara hidup yang lebih manusiawi, penuh dengan kasih dan pengabdian kepada orang lain. Setiap kali mereka bersama, Laras merasa hidupnya lebih berarti—bahkan jika itu berarti melepaskan kenyamanan dan kemewahan yang selama ini ia kejar.
Laras merasa bingung, terjebak antara dua dunia yang sangat berbeda. Arga dan dunia korporat yang penuh dengan pencapaian dan ambisi, atau Dewa yang mengajarkan tentang kebahagiaan yang sederhana, tentang memberi tanpa pamrih, tentang hidup dengan cara yang lebih tulus. Ia merasa terperangkap dalam kebingungannya, tidak tahu ke mana harus melangkah. Setiap pilihan terasa berat dan penuh konsekuensi.
Pagi itu, Laras memutuskan untuk bertemu dengan Dewa. Ia ingin berbicara dengannya, mengungkapkan kebingungannya, dan mencari pencerahan. Dewa menyambutnya dengan senyuman hangat, seperti biasa. Mereka duduk di kafe kecil di sudut kota, tempat yang menjadi favorit Dewa untuk melarikan diri sejenak dari dunia yang keras. Laras merasa nyaman di sana, jauh dari hiruk-pikuk kantor dan tekanan yang selalu mengikutinya.
“Dewa, aku merasa terjebak,” ujar Laras, membuka percakapan dengan suara rendah. “Aku tidak tahu apa yang sebenarnya aku inginkan. Arga… dia sangat baik padaku, dan aku tahu dia bisa memberiku masa depan yang pasti. Tapi, ada sesuatu dalam diriku yang merasa kosong. Sementara di sisi lain, aku merasa ada yang berbeda setiap kali aku bersamamu. Aku merasa lebih hidup. Tapi, aku takut untuk meninggalkan semuanya… aku takut mengambil langkah yang salah.”
Dewa mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tidak terburu-buru memberikan jawaban, hanya menyarankan agar Laras lebih banyak mendengarkan hati nuraninya. “Laras, hidup ini bukan tentang memilih antara dua jalan yang tampaknya terlihat benar. Hidup ini lebih tentang menemukan siapa kita sebenarnya. Terkadang, kita terjebak dalam harapan dan ekspektasi orang lain, sampai kita lupa apa yang sebenarnya kita butuhkan untuk bahagia.”
Laras merenung sejenak, kata-kata Dewa seperti sebuah pencerahan yang perlahan meresap ke dalam hatinya. Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu fokus pada apa yang diinginkan oleh orang lain—karier yang sukses, hubungan yang stabil, dan hidup yang terlihat sempurna di mata orang lain. Namun, apa yang sebenarnya ia inginkan? Apa yang membuat hatinya damai dan bahagia?
Dewa melanjutkan, “Kadang-kadang, untuk menemukan kebahagiaan sejati, kita harus berani melepaskan apa yang kita kira akan membawa kita bahagia. Hidup yang penuh dengan pencapaian mungkin memberi kita rasa aman, tapi kebahagiaan yang sejati datang dari dalam diri kita sendiri. Dari kedamaian yang kita temukan saat kita hidup dengan tulus.”
Laras merasakan hatinya berdebar mendengar kata-kata Dewa. Ia tahu bahwa ia harus membuat keputusan besar, keputusan yang akan menentukan arah hidupnya ke depan. Ia tidak ingin terjebak dalam kebingungan ini selamanya. Meskipun memilih jalan yang lebih sederhana bersama Dewa mungkin terasa lebih sulit dan penuh ketidakpastian, ada sesuatu dalam dirinya yang mengatakan bahwa itu adalah pilihan yang benar. Ia merasa bahwa kebahagiaan yang ia cari bukanlah sesuatu yang bisa diukur dengan kekayaan atau kesuksesan, tetapi dengan seberapa banyak makna yang ia temukan dalam setiap langkah yang ia ambil.
Dengan tekad yang mulai bulat, Laras mengucapkan terima kasih kepada Dewa atas semua pencerahannya. Ia tahu bahwa langkah selanjutnya akan sulit, namun setidaknya ia merasa lebih jelas tentang arah yang harus ia tuju. Mungkin ini saatnya untuk meninggalkan dunia yang penuh ambisi dan mengejar kehidupan yang lebih bermakna, meski itu berarti melepas kenyamanan yang selama ini ia miliki.*
Bab 4: Mengambil Langkah Berani
Keputusan Laras untuk mengejar kehidupan yang lebih bermakna bukanlah keputusan yang datang dengan mudah. Setelah berbicara panjang lebar dengan Dewa, hatinya mulai merasa lebih tenang. Namun, ia tahu bahwa untuk melangkah ke arah yang berbeda, ia harus melepaskan sesuatu yang telah lama menjadi bagian dari hidupnya—dunia kerja yang penuh dengan tekanan dan kompetisi, serta hubungan yang stabil dengan Arga yang begitu penuh harapan.
Hari-hari berikutnya berjalan dengan lambat. Laras masih merasa cemas, berusaha membiasakan diri dengan perasaan yang baru ini. Ia terus merenung dan bertanya-tanya apakah ini benar-benar jalan yang harus ia ambil, tetapi dalam hatinya, ia tahu bahwa ini adalah saat yang tepat untuk mengambil keputusan besar. Ketika ia kembali ke meja kerjanya, segala sesuatu yang biasa terasa semakin jauh, seolah-olah dunia kantornya semakin terasa asing. Setiap rapat, setiap dokumen yang harus ia tanda tangani, tampak seperti rutinitas tanpa makna.
Laras mulai merasa semakin jelas bahwa meskipun ia telah mencapai banyak hal dalam hidupnya, ia belum mencapai kedamaian batin yang ia cari. Pekerjaan, meskipun memberi kenyamanan finansial, tidak pernah memberi rasa puas yang mendalam. Dalam percakapannya dengan Dewa, ia belajar bahwa kebahagiaan bukanlah tujuan yang bisa dicapai dengan mengikuti jalan orang lain. Kebahagiaan itu adalah proses menemukan diri sendiri, mengenal apa yang benar-benar penting, dan memberi makna pada setiap langkah yang diambil.
Pada suatu pagi yang cerah, Laras duduk di balkon apartemennya, memandangi pemandangan kota Jakarta yang sibuk. Gedung-gedung pencakar langit dan jalan-jalan yang penuh kendaraan mengingatkannya pada kehidupannya yang telah begitu mapan dan sukses.*
Bab 5: Perjalanan Dimulai
Laras menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar, membaca pesan terakhir dari Arga. Pesan yang seharusnya memberi kelegaan, justru terasa berat. Arga telah membalas emailnya dengan tenang, meskipun ia tahu bahwa perpisahan ini akan meninggalkan luka. “Aku mengerti,” begitu kalimat terakhir Arga dalam pesan itu. Tidak ada marah, tidak ada protes, hanya pengertian yang membuat hati Laras merasa lebih lega, namun juga penuh penyesalan.
Setelah mengirimkan pesan itu, Laras merasa beban yang selama ini mengganggu pikirannya mulai terangkat. Ia tahu bahwa langkahnya untuk meninggalkan dunia yang selama ini ia kenal adalah langkah yang benar, meskipun ia belum sepenuhnya tahu ke mana langkah itu akan membawanya. Kini, ia berhadapan dengan kenyataan bahwa hidupnya akan berubah total. Tidak ada lagi Arga yang menawarkan kenyamanan, tidak ada lagi pekerjaan yang memberi jaminan masa depan yang pasti. Yang ada hanya dirinya sendiri dan keputusan untuk mencari arti sejati dalam hidup.
Hari-hari setelah perpisahan itu terasa sepi dan penuh refleksi. Laras menghabiskan banyak waktu untuk sendiri, menjelajahi setiap sudut pikirannya. Ia berusaha memahami apa yang benar-benar ia inginkan dari hidup ini, jauh dari harapan orang lain, jauh dari ekspektasi dunia. Terkadang, ia merasa bingung dan terombang-ambing, tetapi ada satu hal yang mulai jelas baginya: ia harus melangkah keluar dari zona nyaman yang selama ini ia huni.
Suatu pagi yang dingin, Laras memutuskan untuk mengunjungi tempat yang sering dikunjungi Dewa—sebuah rumah anak-anak jalanan yang dikelola oleh sebuah yayasan tempat Dewa bekerja. Tempat itu terletak di pinggiran kota, jauh dari keramaian dan hiruk-pikuk kehidupan kota besar. Ketika Laras tiba di sana, ia disambut dengan hangat oleh beberapa anak yang tampak ceria meski hidup dalam kesederhanaan. Mereka bermain di halaman rumah yang sederhana, tertawa riang seperti tak ada beban di dunia ini.
Laras merasakan sesuatu yang berbeda ketika melihat kebahagiaan anak-anak itu. Mereka tidak memiliki banyak, bahkan seringkali hidup dalam kekurangan, namun senyuman mereka tulus dan penuh kebahagiaan. Ia menyadari, di tengah kekurangan dan perjuangan, mereka menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana—sesuatu yang selama ini ia lupakan dalam kehidupannya yang penuh ambisi dan kesuksesan.
Dewa menemui Laras di halaman rumah itu. Senyuman di wajahnya seakan mencerminkan ketulusan yang sulit untuk dipahami. “Apa yang kamu pikirkan, Laras?” tanya Dewa, seolah-olah sudah tahu bahwa Laras datang dengan pertanyaan besar dalam hatinya.
Laras duduk di samping Dewa, mengamati anak-anak yang sedang bermain. “Aku merasa seperti mereka,” kata Laras, suaranya perlahan. “Meskipun aku hidup dalam kemewahan, aku merasa seperti aku kehilangan kebahagiaan sejati. Apa yang aku cari selama ini tidak pernah memberi aku kedamaian.”
Dewa menatap Laras dengan penuh pengertian. “Kadang kita terjebak dalam pencapaian dan pengakuan dari dunia luar, sampai kita lupa untuk mendengarkan diri kita sendiri. Kebahagiaan sejati datang bukan dari apa yang kita miliki, tapi dari bagaimana kita menjalani hidup dengan penuh makna. Kamu sudah membuat keputusan besar untuk mengubah hidupmu, dan itu bukanlah hal yang mudah. Tapi percayalah, perjalanan ini akan membawa kamu pada kebahagiaan yang lebih dalam daripada yang pernah kamu bayangkan.”
Laras menghela napas panjang, merasa beban berat yang selama ini ia bawa mulai terasa lebih ringan. Kata-kata Dewa membantunya melihat kehidupan dari perspektif yang berbeda. Terkadang, ia merasa bahwa kebahagiaan itu bukan tentang seberapa banyak yang kita capai, tetapi tentang bagaimana kita memberi makna pada setiap hal yang kita lakukan. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi ada ketenangan dalam dirinya yang mulai tumbuh.
Setelah beberapa minggu, Laras memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya di firma hukum. Keputusan itu bukanlah hal yang mudah, tetapi ia merasa bahwa itu adalah langkah yang harus diambil untuk menemukan kembali dirinya. Dunia hukum yang selama ini ia geluti, dengan segala tekanan dan tuntutan yang ada, bukan lagi tempat yang memberinya kebahagiaan. Laras merasa bahwa hidupnya harus lebih berarti, lebih dari sekadar pekerjaan yang menguras waktu dan energi tanpa memberikan kedamaian batin.
Laras mulai mencari cara untuk bisa lebih terlibat dalam dunia yang telah diperkenalkan oleh Dewa—dunia sosial dan pengabdian. Ia mulai menyumbangkan waktu dan tenaganya untuk membantu anak-anak di rumah tempat Dewa bekerja, mengajarkan mereka keterampilan hidup dan memberikan mereka pelajaran tentang dunia yang lebih luas. Setiap kali ia melihat senyum di wajah anak-anak itu, ia merasa bahwa ia telah menemukan bagian dari dirinya yang selama ini hilang.
Perjalanan Laras tidaklah mudah. Ada banyak ketidakpastian yang ia hadapi. Terkadang, ia merasa takut jika keputusannya akan membawa hidupnya ke dalam kekacauan. Namun, setiap kali ia merasa ragu, ia teringat pada kata-kata Dewa: “Hidup ini adalah perjalanan. Terkadang kita tidak tahu ke mana kita akan pergi, tetapi jika kita berjalan dengan hati yang tulus, kita akan menemukan tempat yang tepat.”
Laras memulai perjalanan baru ini dengan penuh keberanian, meskipun ia tahu bahwa masih banyak tantangan yang harus ia hadapi. Namun, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa bahwa ia sedang berada di jalur yang benar—jalur yang membawanya pada kedamaian batin, pada kehidupan yang lebih bermakna.*
Bab 6: Cahaya di Ujung Terowongan
Hari-hari pertama Laras di dunia baru yang ia pilih terasa berat. Meskipun ia sudah mulai bekerja sebagai sukarelawan di rumah anak-anak jalanan yang dikelola oleh yayasan, perasaan ragu masih sering menghantui hatinya. Dunia yang ia masuki penuh dengan ketidakpastian—berbeda jauh dengan dunia sebelumnya yang teratur dan penuh dengan segala kenyamanan yang sudah ia kenal. Kini, Laras harus belajar menjalani kehidupan yang lebih sederhana, dengan penghasilan yang jauh lebih kecil dan tantangan yang lebih besar.
Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Meski ia merasa cemas dan ragu, ada perasaan yang lebih dalam yang memberi ia dorongan untuk terus maju. Setiap kali ia melihat senyum anak-anak yang ia bantu, setiap kali ia mendengar cerita tentang perjuangan mereka, hatinya merasa lebih hidup. Ia mulai merasa bahwa hidupnya kini memiliki makna yang lebih dalam daripada sebelumnya. Terkadang, ia bertanya-tanya mengapa ia baru menyadari hal ini setelah mengambil langkah besar yang penuh risiko. Tetapi kini, setelah melangkah ke dunia yang berbeda ini, ia merasa bahwa ia akhirnya menemukan tempat di mana ia bisa memberi lebih banyak dan menerima lebih banyak kedamaian.
Salah satu hari yang paling berkesan bagi Laras adalah ketika ia diundang untuk menjadi pembicara di sebuah acara yang diselenggarakan oleh yayasan untuk menggalang dana. Di sana, ia bertemu dengan banyak orang yang memiliki visi yang sama dalam membantu masyarakat yang membutuhkan. Ketika gilirannya tiba untuk berbicara, Laras merasa gugup, tetapi sekaligus merasa sesuatu yang luar biasa dalam dirinya. Ia tidak hanya berbicara tentang pengalamannya yang telah mengubah hidupnya, tetapi juga tentang bagaimana ia melihat dunia yang lebih besar dari sekadar pekerjaan dan pencapaian.
“Dulu, saya terjebak dalam dunia yang penuh dengan ambisi dan kesuksesan,” kata Laras di depan audiens. “Saya berlari mengejar hal-hal yang saya kira akan membawa kebahagiaan, tetapi akhirnya saya merasa kosong. Hingga akhirnya, saya menyadari bahwa kebahagiaan sejati bukan berasal dari apa yang kita miliki, melainkan dari bagaimana kita memberi dan berbagi dengan orang lain. Saya merasa diberkati karena bisa berada di sini, dengan anak-anak yang mengajarkan saya lebih banyak tentang kehidupan daripada yang saya pelajari di dunia yang sebelumnya saya jalani.”
Laras menatap audiens dengan mata yang penuh harapan, dan seketika itu, ia merasakan sesuatu yang luar biasa. Ia melihat bahwa orang-orang di sekitarnya terinspirasi oleh kata-katanya, dan itu membuat hatinya berbunga-bunga. Ia merasa bahwa langkah-langkah kecil yang ia ambil untuk mengubah hidupnya kini mulai memberi dampak yang lebih besar daripada yang ia bayangkan. Ketika ia turun dari panggung, banyak orang yang datang menyalaminya dan mengungkapkan rasa terima kasih mereka atas kata-kata yang menyentuh hati mereka.
Beberapa hari setelah acara itu, Dewa menghubungi Laras. Ia mengucapkan selamat atas keberhasilannya berbicara di depan umum dan berbagi pandangan hidup yang penuh makna. “Kamu tahu, Laras,” kata Dewa, “aku selalu percaya bahwa kamu memiliki potensi untuk lebih dari apa yang kamu pikirkan. Kehidupan ini penuh dengan kejutan, dan kamu baru saja mulai membuka pintu menuju dunia yang lebih besar.”
Laras tersenyum mendengar kata-kata Dewa. Sejak pertama kali bertemu dengannya, Dewa selalu mempercayai potensi dalam diri Laras, meskipun ia sendiri ragu. Kini, ia mulai merasa bahwa ia memang berada di jalur yang benar—jalur yang membawanya pada kehidupan yang lebih bermakna, meskipun masih penuh dengan tantangan. Setiap kali ia merasa lelah, setiap kali ia merasa ingin menyerah, Laras teringat pada kata-kata Dewa yang selalu memberi semangat.
Namun, perjalanan Laras tidak selalu mulus. Suatu hari, saat ia berada di rumah anak-anak jalanan, ia mendapat kabar buruk bahwa yayasan tempatnya bekerja mengalami kesulitan keuangan. Dana yang terkumpul untuk program-program yang mereka jalankan sangat terbatas, dan mereka terpaksa memotong banyak kegiatan yang selama ini sangat membantu anak-anak tersebut. Beberapa anak bahkan harus kembali ke jalanan karena tidak ada tempat lagi untuk mereka di rumah tersebut.
Laras merasa terpukul. Ia merasa bahwa meskipun sudah memberikan sebagian dari hidupnya untuk membantu orang lain, kadang-kadang, dunia ini masih terasa tidak adil. Ia duduk di salah satu sudut rumah tersebut, memandang anak-anak yang sedang bermain, dan merasakan kesedihan yang mendalam. “Apa yang bisa aku lakukan?” pikirnya. “Aku hanya seorang diri. Mampukah aku membuat perbedaan?”
Namun, ketika ia melihat mata cerah anak-anak itu, sebuah kebesaran hati muncul dalam dirinya. Mereka mungkin tidak memiliki banyak, tetapi mereka memiliki harapan. Mereka memiliki semangat untuk bertahan hidup. Laras menyadari bahwa bahkan dalam kesulitan, ada kekuatan untuk terus melangkah. Ia tidak bisa menyerah begitu saja.
Keesokan harinya, Laras mulai mengorganisir acara penggalangan dana kecil-kecilan di lingkungan sekitar, mengundang teman-teman dan rekan-rekannya untuk datang dan mendukung yayasan tersebut. Ia berbicara dengan penuh semangat tentang anak-anak yang membutuhkan tempat tinggal dan pendidikan. Dengan bantuan Dewa dan beberapa relawan lainnya, acara itu ternyata cukup sukses. Mereka berhasil mengumpulkan dana yang cukup untuk menjalankan beberapa program untuk anak-anak jalanan.
Laras merasakan kelegaan yang luar biasa setelah acara itu. Ia tahu bahwa walaupun hidupnya penuh dengan ketidakpastian dan tantangan, ia tidak sendirian dalam perjalanan ini. Ada banyak orang baik yang bersedia membantu dan berbagi. Dari situlah, Laras menyadari bahwa meskipun tidak semua hal berjalan seperti yang ia harapkan, setiap langkah yang ia ambil untuk membantu orang lain membawa kebahagiaan yang lebih besar dari yang ia kira.
Perjalanan Laras baru saja dimulai, dan meskipun masih banyak rintangan yang harus dihadapi, ia merasa semakin yakin bahwa ia telah memilih jalan yang benar. Dengan setiap tindakan kecil yang ia lakukan, dengan setiap senyuman yang ia berikan, Laras tahu bahwa ia sedang membuat perbedaan, dan itu lebih berarti daripada apapun yang pernah ia capai sebelumnya.*
Bab 7: Ujian Keberanian
Meskipun Laras mulai menemukan kedamaian dalam hidup barunya, ia tak bisa menghindari kenyataan bahwa perjalanannya menuju kebahagiaan sejati masih penuh dengan ujian. Setiap hari, ia merasa semakin terhubung dengan anak-anak yang ia bantu di yayasan, tetapi tantangan baru terus datang menghampiri.
Suatu pagi, Laras menerima pesan dari salah satu teman lamanya, Maya. Maya adalah teman dekatnya di masa lalu, seorang rekan kerja di firma hukum yang masih menjalani kehidupan yang sama seperti sebelumnya—penuh dengan ambisi, rapat bisnis, dan segala hal yang berkaitan dengan kesuksesan materi.
“Laras, aku dengar kamu sekarang kerja di yayasan. Aku tahu kamu selalu punya hati besar untuk membantu orang, tapi apakah kamu yakin ini jalan yang benar? Kamu memiliki begitu banyak potensi. Kenapa berhenti dari kariermu yang sukses?”
Pesan dari Maya menghantam perasaan Laras dengan keras. Ia tidak pernah menyesal dengan keputusan yang telah ia buat, namun kata-kata Maya memunculkan keraguan yang sudah lama ia sembunyikan. Apakah ia benar-benar telah mengambil jalan yang benar? Adakah sesuatu yang lebih besar yang ia tinggalkan di dunia korporat? Apakah ia tidak akan menyesal karena tidak mengejar ambisi yang selama ini ia dambakan?
Laras merenung panjang setelah membaca pesan tersebut. Walaupun ia tahu bahwa hidupnya jauh lebih berarti sekarang, ia merasa seperti berada di persimpangan jalan. Bagaimana jika ia kembali ke dunia yang telah ia tinggalkan? Dunia yang menjanjikan kenyamanan finansial dan status sosial yang tinggi. Namun, di sisi lain, ia tahu bahwa hidup seperti itu hanya akan kembali mengikatnya dalam rutinitas yang kosong.
Hari itu, Laras memutuskan untuk bertemu dengan Dewa, mencari nasihat seperti yang sering ia lakukan. Ia merasa bingung, dilanda perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Dewa menyambutnya dengan senyuman, tanpa bertanya apa yang mengganggu hati Laras. Sepertinya Dewa sudah tahu apa yang ada dalam pikiran Laras tanpa ia perlu mengatakannya.
“Laras, kamu tahu bahwa kehidupan ini tidak hanya tentang memilih antara dua jalan. Setiap pilihan membawa konsekuensinya sendiri. Tapi yang paling penting adalah bagaimana kita menjalani pilihan itu dengan penuh kesadaran dan ketulusan,” ujar Dewa, tetap dengan nada tenang.
Laras mengangguk perlahan, merasa sedikit lebih tenang. “Aku tahu, Dewa. Tapi ada kalanya aku merasa takut… Takut jika aku membuat keputusan yang salah. Takut jika aku melepaskan kesempatan besar yang mungkin datang kembali suatu hari nanti. Bukankah aku seharusnya mengejar mimpi dan ambisi yang lebih besar?”
Dewa menatap Laras dalam-dalam, seakan ingin memastikan bahwa ia benar-benar memahami apa yang sedang ia rasakan. “Kadang, kita terjebak dalam anggapan bahwa kebahagiaan datang dari pencapaian besar dan ambisi tinggi. Namun, kebahagiaan sejati datang dari keberanian untuk memilih jalan yang paling sesuai dengan diri kita, bahkan jika itu tidak sesuai dengan harapan orang lain. Kamu sudah membuat pilihan yang penting, Laras. Sekarang, yang harus kamu lakukan adalah menjalani pilihan itu dengan penuh keyakinan.”
Laras merasa sedikit lega mendengar kata-kata Dewa. Meskipun ketakutannya masih ada, ia merasa bahwa ia harus lebih mendengarkan hati nuraninya dan bukan hanya apa yang orang lain harapkan darinya. Kehidupan yang ia jalani sekarang penuh dengan ketidakpastian, tetapi itulah yang membuatnya lebih berharga. Ia harus belajar untuk merayakan setiap langkah kecil, meskipun dunia luar mungkin tidak selalu mengerti.
Namun, meskipun ia merasa lebih kuat, ujian itu tak berhenti di situ. Beberapa minggu kemudian, yayasan tempat Laras bekerja mengalami masalah keuangan yang semakin serius. Mereka harus mengurangi jumlah anak-anak yang bisa tinggal di rumah tersebut, dan beberapa anak yang sudah sangat ia kenal terpaksa dipindahkan ke tempat lain. Laras merasa hati kecilnya hancur melihat anak-anak itu pergi, terutama Nia, seorang gadis kecil berusia 9 tahun yang telah menjadi sahabatnya. Nia adalah salah satu anak yang paling terpukul oleh perubahan ini, dan Laras merasa seolah-olah ia gagal menjaga mereka.
Pekerjaan Laras sebagai sukarelawan juga semakin menantang. Waktu yang ia habiskan untuk membantu anak-anak semakin banyak, dan terkadang ia merasa seperti tak punya waktu untuk dirinya sendiri. Ia seringkali terjaga larut malam, memikirkan cara untuk mengatasi masalah keuangan yayasan dan memastikan anak-anak yang ia bantu tetap bisa mendapatkan pendidikan dan perlindungan yang mereka butuhkan. Dalam beberapa kesempatan, Laras merasa kewalahan dan hampir menyerah, merasa bahwa ia tidak cukup kuat untuk menghadapi segala rintangan ini.
Pada suatu malam, setelah beberapa hari bekerja keras tanpa henti, Laras duduk di ruang kecil yang kini menjadi tempatnya untuk merenung. Ia merasa cemas, tertekan, dan lelah. Matanya mulai terasa berat, dan seketika itu, ia merasakan keputusasaan yang mendalam. “Aku tidak bisa melanjutkan ini,” pikirnya. “Aku tidak cukup kuat untuk mengubah semuanya.”
Namun, saat itu juga, larut dalam keputusasaannya, Laras mendengar suara ketukan di pintu. Itu adalah Dewa yang datang, seperti biasa, memberikan dukungan yang ia butuhkan. Dewa duduk di sampingnya, mendengarkan keluh kesah Laras tanpa menghakimi.
“Laras, ingatlah, setiap perjuangan yang kita lakukan membawa kita lebih dekat pada tujuan kita,” kata Dewa dengan suara lembut. “Ketika kamu merasa lelah dan hampir menyerah, itulah saat di mana kamu harus percaya pada proses. Dunia ini penuh dengan ketidakpastian, tetapi jika kamu memilih untuk bertahan, kamu akan melihat hasilnya, bahkan jika itu bukan hasil yang kamu harapkan.”
Dewa berbicara dengan penuh keyakinan, dan untuk pertama kalinya setelah berhari-hari merasa lelah, Laras merasa ada secercah harapan. Mungkin perjalanan ini memang penuh tantangan, tetapi ia harus terus melangkah, meskipun langkah kecil. Keberanian bukan hanya tentang tidak merasa takut, tetapi tentang tetap maju meskipun rasa takut itu ada.
Laras memutuskan untuk terus berjuang, mencari cara untuk mendukung yayasan, dan memberi harapan bagi anak-anak yang masih membutuhkan bimbingannya. Ia tahu bahwa setiap pilihan yang ia buat, sekecil apapun itu, akan membawanya lebih dekat pada kehidupan yang ia inginkan—kehidupan yang penuh makna dan keberanian.***
———————–THE END——————-