• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

RAHASIA DI BALIK TOPENG

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

by SAME KADE
May 17, 2025
in Sejarah
Reading Time: 27 mins read

Bab 1 – Tanah yang Terlupakan

Langit di atas Desa Mandira menghitam jauh lebih cepat dari biasanya. Matahari bahkan belum sepenuhnya tenggelam, tapi awan kelabu menggulung dari arah barat seperti pertanda buruk yang tak bisa dielakkan. Suara angin terdengar serak dan membawa serta aroma tanah kering yang tertimpa kaki-kaki kuda.

Arsa berdiri di atas bukit kecil, matanya menatap kosong ke arah cakrawala. Dari kejauhan, ia bisa melihat debu mengepul—pasukan kerajaan datang. Ia mengenali lambang burung Garwa di panji-panji merah darah yang berkibar. Bukan iring-iringan dagang, bukan pula prajurit patroli. Mereka datang untuk menghancurkan.

“Arsa!” Suara itu datang dari ibunya, Sri Darsini, yang memanggil dengan panik dari bawah bukit. “Cepat, bantu ayahmu! Mereka akan tiba sebelum gelap!”

Tanpa kata, Arsa berlari menuruni bukit, menembus ilalang dan batu-batu kecil yang menghantam telapak kakinya. Di pelataran rumah, ayahnya tengah memikul karung berisi beras dan biji-bijian. “Bawa ini ke gua dekat sungai! Kita harus selamatkan apa yang bisa diselamatkan,” ujar sang ayah sambil menekankan nada mendesak.

Desa Mandira bukan desa besar. Hanya belasan rumah berdinding anyaman bambu, ladang-ladang kecil, dan jalanan tanah yang belum pernah disentuh kemewahan kerajaan. Tapi bagi Arsa, tempat itu adalah segalanya. Di sinilah ia tumbuh, mengenal rasa, tawa, dan luka. Namun, dalam waktu singkat, semuanya akan berubah.

Konon, Raja Mahadewa, penguasa Kerajaan Giling Wesi, memerintahkan pasukannya untuk memusnahkan desa-desa yang dituduh membantu kaum pemberontak. Mandira, yang dianggap simpatisan karena pernah menolak memberi upeti, menjadi salah satu target.

Senja meneteskan cahaya merah terakhir saat suara terompet perang terdengar. Jeritan pertama pecah tak lama kemudian. Rumah pertama yang terbakar adalah milik Pak Tanu, seorang pembuat gerobak tua. Api menjalar cepat dari atap ijuknya, sementara prajurit-prajurit berzirah hitam menyerbu rumah-rumah lain tanpa ampun.

Arsa sempat menarik tangan ibunya menuju hutan, tapi sang ibu menolak.

“Ayahmu masih di dalam rumah. Aku tidak akan meninggalkannya, Arsa,” katanya dengan suara gemetar.

“Kalau begitu biar aku yang—”

“Tidak! Dengarkan Ibu. Kau harus pergi. Bawa ini.” Ia menyelipkan kalung kecil ke telapak tangan Arsa—kalung perak kusam berbentuk bulan sabit, dengan ukiran halus yang asing.

“Ibu, ini apa?”

“Akan kau mengerti suatu hari nanti. Sekarang, lari!”

Arsa ingin membantah, ingin melawan, ingin menyelamatkan semuanya. Tapi suara ledakan dari rumah tetangga memaksanya bergerak. Ia memeluk ibunya sekali lagi, lalu berlari menembus gelap, bersama sekelompok kecil warga yang berhasil lolos.

Malam itu, Desa Mandira menjadi arang. Langit merah menyala, bukan oleh mentari, tetapi oleh kobaran dendam dan kekuasaan. Api menjilat sejarah, menghancurkan kenangan, dan melumat rumah-rumah yang tak sempat menyelamatkan bahkan sehelai kain pun.

Di bawah langit malam yang muram, Arsa berdiri di tepi sungai. Nafasnya terengah, tubuhnya berdebu dan penuh luka. Tapi matanya, mata itu kini menyala. Bukan hanya oleh kesedihan, tetapi oleh tanya yang mengganjal di dada: Mengapa mereka begitu tega? Apa yang sebenarnya terjadi antara desa kecil seperti Mandira dan kerajaan megah itu?

Kalung di tangannya terasa dingin, tetapi ada sesuatu yang menggetarkan jari-jarinya setiap kali ia menggenggamnya. Ia tahu, hidupnya tak akan pernah sama. Bukan lagi seorang anak desa biasa. Ada sesuatu yang menanti—sesuatu yang tersembunyi di balik bayang-bayang kekuasaan.

Dan malam itu, di bawah langit yang mulai redup, Arsa bersumpah dalam hati. Ia akan kembali. Bukan hanya untuk membalas, tetapi untuk memahami. Ia akan mencari arti dari semua ini, bahkan jika itu berarti harus masuk ke jantung istana itu sendiri.

Bab 2 – Asal Usul yang Terpendam

Kabut tipis masih menggantung di atas hutan ketika Arsa membuka matanya. Rasa perih di tubuhnya tak sebanding dengan luka yang lebih dalam di hatinya. Malam tadi, rumahnya—dunianya—dibakar hingga tak bersisa. Ia terbaring di balik semak belukar, ditemani sunyi dan rasa kehilangan yang mendalam.

Di genggaman tangannya, kalung perak berbentuk bulan sabit itu masih utuh. Benda kecil itu seolah berdenyut pelan, seperti memiliki nyawanya sendiri. Setiap kali Arsa menyentuhnya, ada hawa hangat yang menjalar ke dadanya, mengusir sedikit rasa takut yang terus menggelayut.

Namun ada satu pertanyaan yang belum bisa ia lupakan: kenapa ibu memberikan kalung itu seolah-olah itu penting? Apa sebenarnya arti dari kalung ini?

Saat siang menyusup perlahan di balik pepohonan, Arsa bangkit dan berjalan mengikuti aliran sungai kecil. Ia tak tahu ke mana harus pergi, tapi nalurinya membawanya ke satu tempat—rumah tua di tepi hutan, milik Mpu Jayeng, seorang pertapa yang pernah menolong ayahnya bertahun lalu.

Mpu Jayeng tinggal sendirian. Rambutnya telah memutih semua, tapi matanya masih tajam dan penuh pemahaman. Ketika Arsa tiba dalam keadaan compang-camping dan tubuh gemetar, sang Mpu menyambut tanpa banyak tanya. Ia hanya berkata, “Langit tidak akan menjatuhkan petir tanpa alasan, Arsa. Duduklah. Mungkin ini waktunya kau tahu sesuatu.”

Arsa duduk bersila di depan perapian kecil, sambil menggenggam kalung yang diwariskan ibunya. Ia menatap Mpu Jayeng dengan sorot mata meminta penjelasan. Sang pertapa mengangguk pelan, lalu mengeluarkan sebuah kotak kayu tua dari dalam bilik belakang.

“Kau tahu kalung itu?” tanya Arsa pelan.

Mpu Jayeng membuka kotak kayu tersebut dan memperlihatkan benda yang nyaris sama: kalung bulan sabit dengan ukiran serupa. “Aku tahu. Ini adalah lambang kuno—Simbol dari Dinasti Wirakencana, kerajaan yang dulu menguasai sebagian besar tanah timur.”

“Dinasti apa?” Arsa menatap bingung. “Aku tak pernah dengar kerajaan itu.”

“Itu karena sejarah telah disembunyikan, ditulis ulang oleh penguasa saat ini.” Mpu Jayeng menarik napas dalam. “Kerajaan Giling Wesi menghancurkan Dinasti Wirakencana lebih dari dua dekade lalu. Bukan hanya wilayahnya yang ditaklukkan, tapi juga garis darahnya… semua dihapus, dihilangkan dari catatan resmi.”

Arsa merasa napasnya tercekat. “Lalu, kenapa aku… kenapa Ibu memberiku kalung ini?”

“Karena kau bukan anak petani biasa, Arsa,” kata Mpu Jayeng pelan namun mantap. “Darah yang mengalir dalam dirimu adalah darah bangsawan terakhir dari Dinasti Wirakencana. Ibumu—Sri Darsini—adalah putri dari Adipati Arya Banyu, saudara kandung raja terakhir dinasti itu.”

Arsa membeku. Kata-kata itu tak masuk akal baginya. Ia tumbuh sebagai anak desa, tak pernah mendengar tentang darah bangsawan atau sejarah kuno yang dilenyapkan.

“Itu sebabnya pasukan kerajaan membakar Mandira,” lanjut sang Mpu. “Bukan sekadar hukuman untuk tidak membayar upeti. Mereka tahu sesuatu yang tersembunyi di sana. Mereka tahu warisan dinasti lama belum sepenuhnya musnah.”

Arsa menunduk, kalung itu berkilau di tangan kotor dan berdarahnya. Tiba-tiba semua terasa berat. Ia bukan siapa-siapa, hanya anak dari sebuah desa kecil yang hancur. Bagaimana bisa ia menjadi bagian dari cerita besar yang ditelan waktu?

“Apa yang harus kulakukan?” tanyanya pelan.

Mpu Jayeng menatapnya dalam. “Temukan naskah tua yang tersembunyi di Perpustakaan Batu di Gunung Malurang. Di sanalah asal-usulmu tercatat. Jika kau ingin tahu siapa dirimu, apa yang sebenarnya terjadi pada keluargamu, kau harus ke sana.”

Arsa menggertakkan gigi. Ketakutan masih bergelayut, tapi kini ada bara kecil yang mulai menyala di dalam dadanya. Bukan api dendam, melainkan keinginan untuk mengetahui kebenaran. Ia tak bisa lagi lari dari takdirnya.

Dan kalung itu… kini bukan sekadar peninggalan. Ia adalah kunci, penuntun jalan menuju masa lalu yang terlupakan.

Di malam yang dingin, Arsa menatap langit berbintang di atas gubuk tua Mpu Jayeng. Ia tahu perjalanannya baru saja dimulai. Di balik bayang-bayang kerajaan yang megah, ada rahasia yang selama ini dikubur.

Dan kini, perlahan-lahan, tabir itu mulai terkuak.

Bab 3 – Di Balik Benteng Batu

Langkah kaki Arsa terdengar pelan menjejak tanah berbatu saat ia menaiki lereng curam menuju puncak Gunung Malurang. Udara dingin menusuk hingga ke tulang, namun tekad yang membara dalam hatinya lebih kuat dari gigil yang merayap di kulit. Di balik kabut yang menggantung, siluet bangunan tua mulai tampak—Perpustakaan Batu. Tempat yang diyakini Mpu Jayeng sebagai gudang pengetahuan yang mengabadikan sejarah dinasti-dinasti yang pernah berjaya di tanah ini.

Perpustakaan itu bukan bangunan biasa. Ia terletak di dalam benteng batu kuno yang sudah lama ditinggalkan. Dinding-dindingnya berdiri tegak meski zaman telah menggerogoti sisinya. Tidak ada gerbang utama, hanya celah sempit di antara dua tebing curam yang mengarah ke dalam ruangan berkubah batu.

Arsa melangkah hati-hati, matanya menelusuri setiap ukiran yang tertinggal di dinding. Beberapa di antaranya tampak seperti simbol—bulan sabit, matahari, dan lambang kerajaan yang belum pernah ia kenali. Semuanya menunjukkan bahwa tempat ini bukan sekadar perpustakaan, tetapi juga tempat penyimpanan rahasia yang terlupakan.

Ketika ia tiba di ruang tengah, aroma debu dan batu tua menyambutnya. Rak-rak batu berdiri memanjang, penuh dengan gulungan daun lontar dan lempengan logam berisi aksara kuno. Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja lempung yang di atasnya terdapat peti kecil yang terkunci rapat.

Sebelum ia sempat menyentuh apapun, suara lembut bergema dari balik bayangan, “Tidak banyak yang tahu tempat ini masih ada.”

Arsa terlonjak, lalu menoleh cepat. Seorang lelaki tua berbalut jubah abu-abu berdiri di sana. Wajahnya tirus, namun matanya menyimpan cahaya tajam penuh waspada.

“Siapa kau?” tanya Arsa, waspada namun tidak takut.

“Aku penjaga pengetahuan ini,” jawab lelaki itu. “Namaku Rakawi Senapati. Tugas keluargaku sejak turun-temurun adalah menjaga kebenaran yang tak boleh dibakar oleh penguasa.”

Arsa merogoh saku bajunya dan menunjukkan kalung bulan sabit itu. “Aku datang untuk mencari jejak keluargaku… Dinasti Wirakencana.”

Tatapan Rakawi berubah serius. Ia melangkah mendekat, lalu menunjuk ke sebuah rak yang tertutup kain. “Ikuti aku.”

Mereka menyingkap rak itu, dan Rakawi mengeluarkan satu gulungan besar yang dibalut kain sutra merah. Setelah dibuka, tulisan halus memenuhi permukaannya. Di bagian atas gulungan itu, terlihat jelas lambang bulan sabit dan tulisan kuno: “Kisah Raja Surya Dharma dari Wirakencana.”

Arsa menelan ludah. Namanya tak tercantum di situ, tapi sesuatu dalam hatinya bergetar saat matanya menyusuri tiap kata. Gulungan itu menceritakan kisah jatuhnya Dinasti Wirakencana, bagaimana raja terakhir dikhianati oleh salah satu panglimanya sendiri yang kemudian membuka pintu bagi Kerajaan Giling Wesi untuk menyerbu.

Namun, bagian paling penting adalah catatan tentang seorang bayi yang diselamatkan malam itu—anak dari saudari raja, Sri Darsini, yang berhasil melarikan diri ke arah selatan bersama seorang pengawal setia.

Arsa membeku. “Itu… itu pasti ibuku…”

Rakawi mengangguk. “Bukan kebetulan kau memiliki kalung itu. Hanya keluarga darah Wirakencana yang diberi lambang bulan sabit. Kau adalah harapan yang tersisa.”

Arsa merasakan dunianya berguncang. Ia bukan hanya anak dari desa Mandira. Ia adalah bagian dari sejarah yang berusaha dihapus. Dan lebih dari itu, ia membawa janji yang belum terpenuhi—janji untuk menyuarakan kebenaran.

Namun, Rakawi memandangnya dengan berat.

“Tapi jalanmu tidak akan mudah. Pasukan Giling Wesi masih mengincar segala yang berhubungan dengan Wirakencana. Jika mereka tahu kau masih hidup… kau akan diburu.”

Arsa menggenggam kalungnya erat. “Aku tidak akan lari. Jika aku memang satu-satunya yang tersisa, maka aku akan mencari tahu semuanya. Dan aku akan membuat mereka tahu bahwa Wirakencana belum mati.”

Rakawi mengangguk, lalu memberinya satu gulungan lagi, kali ini lebih kecil. “Ini adalah peta menuju tempat peristirahatan Raja Surya Dharma. Di sanalah disimpan naskah asli perjanjian yang pernah dilanggar oleh Kerajaan Giling Wesi. Bukti penghianatan mereka.”

Arsa menerima gulungan itu dengan hati gemetar. Ia tahu, langkah berikutnya akan membawanya lebih jauh ke dalam bayang-bayang kekuasaan yang gelap. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa mantap. Di balik benteng batu ini, ia tidak hanya menemukan catatan sejarah, tapi juga menemukan kembali siapa dirinya.

Langit senja menyinari Gunung Malurang ketika Arsa keluar dari celah batu. Di balik awan yang menggantung, ia tahu badai akan datang. Tapi ia juga tahu, bahwa badai itu tak akan membuatnya berhenti.

Ia bukan lagi hanya Arsa dari Mandira. Ia adalah warisan yang hidup dari Dinasti Wirakencana.

Bab 4 – Suara Rakyat yang Bungkam

Desa-desa di kaki Gunung Malurang kini seperti tubuh tanpa jiwa. Sepanjang jalan tanah yang berdebu, Arsa menyaksikan wajah-wajah muram dengan sorot mata yang seperti sudah kehilangan harapan. Tak ada tawa anak-anak, tak terdengar nyanyian petani saat bercocok tanam. Yang terdengar hanyalah bisik-bisik pelan dan napas yang tertahan.

Arsa menuruni lereng dan tiba di Desa Wanaraja, desa yang dahulu dikenal sebagai pusat pertanian subur dan perdagangan rempah. Tapi kini, pasar yang biasanya ramai dengan pedagang dan pembeli hanya dihuni oleh tiang-tiang kayu kosong, tikar berdebu, dan senyum-senyum pahit. Beberapa petani duduk lesu di sudut jalan, menjajakan hasil panen seadanya, yang lebih sering dibarter ketimbang dibeli dengan uang.

“Tidak ada yang berani bicara,” kata seorang perempuan tua, ketika Arsa menanyakan perihal penguasa baru. “Kami semua tahu… kalau bicara, itu artinya lenyap.”

Arsa menatap matanya. Ada luka yang dalam di sana, luka yang tidak bisa dijahit dengan kata-kata. Rakyat di sini bukan hanya diam karena takut, mereka bungkam karena sudah terlalu sering disakiti, dan suara mereka tidak lagi dianggap penting.

Pemerintahan Giling Wesi memang menjanjikan stabilitas setelah keruntuhan Dinasti Wirakencana. Namun, stabilitas itu dibangun di atas ketakutan. Mereka memasang mata-mata di setiap dusun, memenjarakan siapa saja yang mempertanyakan kebijakan, dan membakar naskah-naskah lama yang menyebut sejarah sebelum kekuasaan mereka. Bahkan menyebut nama Raja Surya Dharma bisa dianggap tindakan pemberontakan.

Arsa menginap di rumah seorang pemuda bernama Leman, seorang tukang kayu yang kehilangan ayahnya dua tahun lalu, setelah ia dituduh menyembunyikan lambang Wirakencana di bawah altar rumah. Tidak ada pengadilan. Tidak ada pembelaan. Hanya penangkapan malam hari dan berita kematian seminggu kemudian.

“Sejak itu, kami memilih diam,” ujar Leman malam itu, saat mereka duduk di beranda rumah beratap daun kelapa. “Kami belajar bahwa lebih baik menunduk daripada kehilangan segalanya.”

“Tapi berapa lama lagi kalian bisa menunduk?” tanya Arsa lirih. “Sampai tak ada yang tersisa dari kalian, bahkan harga diri pun tidak?”

Leman menatapnya, dan untuk pertama kalinya, wajah itu memperlihatkan sesuatu yang menyerupai api kecil—api yang hampir padam, namun masih hidup. “Kau bicara seperti orang yang tak tahu rasanya kehilangan. Tapi matamu… seperti seseorang yang menyimpan dendam lama.”

Arsa tak menjawab. Ia hanya menatap langit gelap yang bergelayut di atas desa. Ia tahu, suara rakyat seperti bara dalam abu. Mungkin tak tampak, tapi bisa membakar kapan saja jika dihembuskan dengan benar.

Keesokan paginya, Arsa berkeliling desa dan mulai mencatat apa yang dia lihat. Ia menuliskan nama-nama orang yang kehilangan anggota keluarga, nama desa yang dijatuhi pajak lebih dari hasil buminya, nama-nama tentara Giling Wesi yang melakukan penindasan tanpa perlawanan. Ia mencatat semua, bukan hanya sebagai bahan untuk perlawanan, tapi sebagai pengingat: bahwa suara yang dibungkam tak berarti menghilang.

Saat sore menjelang, Arsa berdiri di alun-alun kecil Wanaraja. Ia mengeluarkan gulungan kecil—sebagian salinan sejarah yang ia temukan dari Benteng Batu. Lalu dengan suara tenang tapi penuh keyakinan, ia membacakan bagian yang menyebut janji Raja Surya Dharma kepada rakyatnya: bahwa kerajaan bukanlah menara gading, melainkan rumah besar bagi mereka yang mempercayainya.

Beberapa orang mulai berkumpul. Wajah-wajah takut itu memandang Arsa, awalnya cemas, lalu perlahan berubah menjadi harap.

“Kami bukan hanya korban. Kami adalah saksi. Dan saksi tidak boleh diam,” ucap Arsa lantang. “Yang mereka takuti bukan senjata, tapi kebenaran. Dan kebenaran itu hidup dalam suara kalian.”

Tiba-tiba, seorang lelaki paruh baya berteriak, “Apa kau ingin membuat kami mati, Nak?”

Arsa menatapnya. “Mati karena bicara jauh lebih terhormat daripada hidup sebagai bayangan.”

Keheningan menyelimuti alun-alun. Namun, saat Arsa melangkah pergi, ia mendengar sesuatu yang membuatnya berhenti—tepuk tangan. Satu, dua, lalu beberapa orang lainnya. Tepuk tangan yang lirih tapi jujur. Tepuk tangan dari orang-orang yang mulai merasakan kembali denyut di dada mereka. Tepuk tangan dari mereka yang suaranya mulai kembali.

Malam itu, di Desa Wanaraja, suara rakyat mulai bangkit. Bukan dengan teriakan atau senjata, tapi dengan keberanian untuk berkata: kami masih ada.

Dan Arsa tahu, ini baru permulaan.

Bab 5 – Intrik di Balik Tirai Istana

Dari luar, Istana Giling Wesi berdiri megah dengan dinding marmer abu-abu dan pilar-pilar emas yang berkilauan di bawah sinar matahari. Tapi kemegahan itu hanya menutupi sesuatu yang jauh lebih kelam—sebuah sistem kekuasaan yang dibangun di atas jebakan, pengkhianatan, dan darah mereka yang dianggap tak berguna.

Di balik tirai-tirai tipis yang menjuntai anggun, bisik-bisik halus beredar lebih tajam daripada pedang prajurit. Para penasihat, bangsawan, dan juru tulis tidak sekadar bekerja; mereka mengatur strategi, saling menjatuhkan, dan memutarbalikkan fakta demi kekuasaan yang lebih besar. Tidak ada yang benar-benar bersih di istana ini. Bahkan air yang mengalir di kolam tengah pun seakan membawa kabar bohong dari satu sayap istana ke sayap lainnya.

Adalah Menteri Utama Raksapati yang dikenal sebagai sosok paling licik di lingkaran dalam istana. Usianya yang telah melewati separuh abad tak mengikis kelicikannya. Ia bisa tersenyum hangat pada pagi hari sambil memberi hadiah pada anak petinggi, lalu memerintahkan pembunuhan ayah anak itu di malam harinya. Bagi Raksapati, politik adalah permainan catur di mana setiap pion bisa dikorbankan demi posisi raja.

Namun, ada yang berubah dalam beberapa minggu terakhir. Seorang putri muda dari keluarga bangsawan yang terlupakan tiba-tiba menarik perhatian raja. Namanya Putri Laksmi. Cantik, tenang, namun matanya menyimpan sorot tajam yang tidak bisa dipalsukan. Tak ada yang tahu pasti dari mana datangnya pengaruh sang putri, tapi satu per satu pejabat mulai merapat padanya, berharap menumpang arus naik ke pusat kekuasaan.

Raksapati mencium ancaman itu. Dan seperti biasa, ia tidak tinggal diam.

Malam itu, ia memanggil tiga orang yang paling ia percayai ke ruang rahasia di bawah aula perjamuan. Mereka berbicara dalam bisikan, namun isi pembicaraannya cukup untuk mengguncang takhta kerajaan.

“Kita perlu tahu apa sebenarnya yang dibawa perempuan itu ke istana,” desis Raksapati, menatap potongan kertas dari laporan mata-matanya. “Ia terlalu tenang. Terlalu… terencana.”

Seorang pria berbadan kecil, bertato di lehernya, menyeringai. “Rumor mengatakan ia membawa dokumen tua. Gulungan sejarah kerajaan sebelum Dinasti Giling Wesi berkuasa.”

Raksapati mengangguk pelan. “Kalau itu benar, maka kita berhadapan dengan bom waktu. Kebenaran adalah racun jika disebarkan di waktu yang salah.”

Sementara itu, Putri Laksmi tengah duduk di taman dalam istana, ditemani pelayannya yang setia, Rara. Di tangannya tergenggam potongan naskah tua yang sudah hampir lusuh termakan waktu. Naskah itu berasal dari leluhurnya—salah satu penasihat utama Raja Surya Dharma. Di dalamnya tercatat perjanjian dan wasiat yang menyangkal klaim sah Dinasti Giling Wesi atas takhta.

Laksmi tahu, langkah yang akan diambilnya berisiko. Tapi ia tak lagi bisa hanya diam. Ia menyaksikan sendiri penderitaan rakyat di luar tembok tinggi istana. Ia membaca laporan tentang desa-desa yang diperas hingga kering, dan mendengar kisah tentang keluarga yang hancur karena kekuasaan buta.

“Jika aku tidak bicara sekarang,” ujarnya pelan kepada Rara, “maka aku akan menjadi bagian dari kebusukan ini.”

Di tempat lain, Raja Darmawangsa—penguasa Giling Wesi—tengah menghadapi dilema. Ia duduk di singgasananya yang dingin, dikelilingi ukiran naga dan singa. Raja yang dulu dikenal sebagai pemersatu wilayah barat itu kini seperti boneka di antara tarik ulur kekuatan yang saling mencakar di belakangnya. Ia tahu tentang Putri Laksmi. Ia tahu tentang pengaruh Raksapati. Dan ia tahu, sebentar lagi badai akan pecah di tengah istananya sendiri.

Malam itu, saat langit dipenuhi awan kelabu dan kilat menyambar kejauhan, seseorang menerobos masuk ke ruang kerja raja. Seorang pengawal, wajahnya pucat.

“Yang Mulia… sepotong naskah tua ditemukan tersembunyi di bawah altar tua di Balairung Timur. Kami curiga… ini berkaitan dengan sejarah Dinasti Wirakencana.”

Raja Darmawangsa menutup matanya. Ia tahu, ini bukan sekadar lembaran kertas tua. Ini adalah pintu menuju kebenaran yang selama ini ditutup rapat. Dan jika pintu itu terbuka, tak akan ada yang bisa menghentikan apa yang datang bersamanya.

Intrik mulai membesar. Tirai-tirai istana tak lagi mampu menyembunyikan aroma busuk pengkhianatan dan kebenaran. Dalam bayang-bayang emas dan sutra, perang tanpa senjata tengah dimulai. Perang informasi. Perang legitimasi.

Dan seperti biasanya, rakyat hanya akan tahu hasilnya—bukan siapa yang terluka di belakang layar.

Bab 6 – Kitab Warisan Leluhur

Langit Kerajaan Giling Wesi diselimuti mendung pekat ketika suara lembut lonceng kuil terdengar dari kejauhan. Di ruang perpustakaan rahasia yang tersembunyi di balik lorong istana, Putri Laksmi berdiri terpaku di hadapan sebuah lemari kayu jati tua. Butiran debu menari-nari dalam cahaya lilin yang berkelip, menambah kesan mistis di ruangan itu. Di sanalah, kitab warisan leluhur berada—terkunci di balik kode-kode kuno dan penjagaan magis yang diwariskan turun-temurun.

Kitab itu bukan kitab biasa. Dikenal sebagai Serat Wangsit Nusantara, naskah tersebut menyimpan pengetahuan, silsilah, dan perjanjian berdarah antara para pendiri kerajaan terdahulu. Dalam lembarannya yang telah menguning, tercatat kisah-kisah yang tak pernah diajarkan dalam ruang istana atau ditulis dalam sejarah resmi kerajaan. Sebuah kebenaran yang selama ini tersembunyi rapat oleh generasi penguasa.

“Ini adalah kunci yang bisa mengubah segalanya,” ujar Laksmi perlahan, matanya tajam menatap ukiran halus pada sampul kulit kitab itu. “Dan mungkin… juga awal dari kehancuran.”

Rara, pelayan setianya, berdiri waswas di belakangnya. “Putri, jika kitab ini benar-benar sekuat yang dibicarakan dalam dongeng rakyat… apakah kita cukup kuat untuk membawanya ke cahaya?”

Laksmi tersenyum tipis, meski sorot matanya menunjukkan keraguan. Ia tahu langkah ini berbahaya. Tapi keheningan dan kebohongan lebih menakutkan dari apa pun. Selama berabad-abad, dinasti yang kini berkuasa telah memutar sejarah demi menutupi jejak mereka yang mereka singkirkan. Leluhurnya, bagian dari Dinasti Wirakencana, dihapus dari catatan kerajaan setelah peristiwa yang disebut sebagai Pembersihan Timur. Tidak ada pengadilan. Tidak ada pengakuan. Hanya darah dan api yang menyapu nama-nama besar dari sejarah.

Saat Laksmi membuka lembar pertama kitab, hawa dingin menyeruak dari sela-sela halaman, seolah arwah masa lalu menatap dan menilai keberaniannya. Di sana tertulis dengan aksara Jawa Kuno: “Barang siapa membuka lembar ini, maka ia adalah pewaris beban yang tak bisa dihindari.”

Setiap halaman mengungkap rahasia yang selama ini terkubur. Tentang perjanjian antar kerajaan leluhur yang dilanggar. Tentang pengkhianatan berdarah yang melahirkan Giling Wesi. Tentang bagaimana nama besar raja-raja hari ini dibangun di atas pengkhianatan terhadap saudara sedarah mereka.

Sementara itu, di tempat lain, Raksapati mencium pergerakan yang tidak biasa. Laporan dari mata-matanya mengatakan bahwa Putri Laksmi sering terlihat menyelinap ke sisi timur istana, tempat yang lama dianggap terlarang. Ia tak membutuhkan banyak petunjuk untuk tahu apa yang sedang dicari sang putri.

“Dia telah menemukannya,” gumamnya lirih, sambil menggenggam potongan peta istana tua. “Kitab itu harus dihancurkan sebelum ia sempat membuka semuanya.”

Namun ia tahu, menghancurkan kitab tidak semudah membakar perkamen biasa. Serat Wangsit Nusantara dijaga dengan ilmu lama, tulisan yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang memiliki darah dari garis leluhur asli. Dan itu berarti… hanya Laksmi.

Di perpustakaan, Laksmi menyalin bagian penting kitab tersebut dalam lembaran kertas kulit, mencoba memahami makna simbol dan lukisan yang menyertai tulisan. Salah satu halaman menarik perhatiannya: gambar seekor burung garuda yang dicengkeram rantai emas, dikelilingi oleh api dan mata-mata tersembunyi. Di bawahnya tertulis: “Kerajaan tanpa kebenaran adalah penjara yang dibungkus emas.”

Kalimat itu menggetarkan hatinya.

“Rara, jika ini jatuh ke tangan yang salah, banyak nyawa bisa melayang. Tapi jika tetap tersembunyi… kita akan hidup dalam kebohongan selamanya.”

Rara mengangguk pelan. “Lalu apa yang akan Putri lakukan?”

Laksmi menatap jauh ke arah jendela, ke langit yang kini diguyur hujan deras. Di dadanya, perasaan bercampur antara ketakutan dan keyakinan.

“Aku akan membawa kitab ini ke Balairung Rakyat. Biar mereka sendiri yang membaca sejarahnya. Biar mereka tahu siapa sebenarnya leluhur mereka, dan siapa yang telah mengambil hak mereka.”

Keputusan itu adalah awal dari badai yang akan mengguncang fondasi kekuasaan kerajaan.

Karena ketika kebenaran mulai dibuka, tirai kebohongan tak akan bisa ditutup kembali.

Bab 7 – Pengkhianatan di Tengah Malam

Malam menurunkan tirainya dengan sunyi yang mencurigakan. Bintang-bintang seolah enggan menampakkan sinarnya, dan angin malam berembus pelan namun menggigit. Di balik tembok istana Giling Wesi yang megah, bayangan-bayangan bergerak dalam diam. Malam itu, bukan hanya kesunyian yang menyelimuti kerajaan, tetapi juga rencana busuk yang telah disiapkan sejak lama.

Putri Laksmi tengah tertidur di kamarnya, setelah seharian membaca dan menyalin isi Serat Wangsit Nusantara. Di atas meja kayu dekat jendela, kitab warisan leluhur itu terbungkus kain hitam, dijaga dengan mantra pelindung yang diwariskan dari sang ibu. Namun bahkan sihir pelindung pun tak cukup menghadang ambisi manusia yang terbutakan kuasa.

Di salah satu koridor istana yang gelap, dua sosok berjubah hitam berjalan cepat. Mereka bukan penjaga istana, melainkan pembunuh bayaran yang disusupkan oleh Raksapati—penasihat kerajaan yang selama ini berdiri di balik layar kekuasaan Raja Darmawangsa. Raksapati telah mengetahui bahwa Putri Laksmi menyimpan kitab yang mengancam keberlangsungan dinasti yang ia lindungi. Dan malam ini, ia memilih untuk bertindak.

Sementara itu, di balik menara pengawas, Rara—pelayan setia Laksmi—merasakan keganjilan. Ia melihat gerakan aneh di halaman istana. Sosok asing yang melompati pagar kayu dengan kelincahan yang tak biasa. Nalurinya yang tajam tak bisa diabaikan. Ia segera berlari menuju kamar Putri Laksmi, menembus lorong-lorong gelap dengan jantung yang berdegup tak karuan.

“Putri! Bangun, bahaya!” serunya pelan namun tegas, sambil mengguncang bahu Laksmi.

Laksmi terbangun dengan mata setengah sadar, “Ada apa, Rara?”

“Seseorang masuk. Aku melihatnya. Ini pasti tentang kitab itu.”

Mata Laksmi membelalak. Ia segera bangkit, meraih kitab yang terbungkus, dan membuka papan rahasia di bawah lantai tempat tidurnya. Dengan cepat, ia menyelipkan kitab itu ke dalam ruang sempit tersebut, lalu menutupnya rapat kembali.

Baru saja mereka selesai, terdengar suara berderak dari jendela. Seorang bertopeng muncul, tubuhnya ramping dan gerakannya gesit. Ia menghunus keris pendek, matanya menyapu ruangan dengan dingin.

“Serahkan kitab itu, atau kalian tidak akan melihat fajar,” ucapnya dengan suara berat yang sengaja diubah.

Laksmi dan Rara saling pandang. Mereka tidak membawa senjata, tidak pula punya waktu untuk melawan secara fisik. Tapi Laksmi bukan putri yang mudah tunduk.

“Kau hanya boneka. Kau tak akan menemukan apa pun di sini,” ujarnya berani.

Penyerang itu melangkah maju, namun langkahnya terhenti ketika suara terompet panjang menggema di kejauhan. Sinyal peringatan dari penjaga gerbang utama. Seseorang telah menyadari adanya penyusup. Dalam hitungan detik, langkah kaki para prajurit terdengar mendekat. Sang penyerang mengumpat pelan dan melompat keluar jendela, menghilang dalam kegelapan seperti bayangan yang tak ingin tertangkap.

Namun meski selamat dari percobaan pertama, malam itu meninggalkan luka dalam di hati Laksmi.

Karena keesokan paginya, kabar yang jauh lebih menyakitkan datang. Prajurit yang setia pada keluarga Laksmi, Panglima Jaya Guna, ditemukan tewas di kamar pribadinya. Dadanya ditusuk dengan pisau kecil bertuliskan lambang kerajaan, seolah-olah ingin memberikan pesan yang jelas: tak ada tempat aman bagi mereka yang tahu terlalu banyak.

“Ini bukan hanya pengkhianatan terhadapku,” ujar Laksmi dengan rahang mengeras. “Ini adalah pengkhianatan terhadap kebenaran.”

Rara menggenggam tangan Putri Laksmi erat. “Apa yang akan kita lakukan sekarang?”

Laksmi memandang ke arah timur, ke arah tempat Balairung Rakyat berdiri—tempat yang selama ini dianggap keramat dan sakral untuk menyampaikan suara kebenaran rakyat.

“Kita harus bicara kepada rakyat. Jika para bangsawan menolak mendengar kebenaran, maka biarkan rakyat yang menuntutnya. Kebenaran tidak akan mati malam ini, Rara. Tapi kejahatan sudah menunjukkan wajahnya.”

Di balik tembok istana, Raksapati tersenyum licik. Ia tahu, langkah Laksmi selanjutnya akan membuatnya semakin mudah dikendalikan. Karena dalam permainan tahta dan darah, pengkhianatan hanyalah pembuka dari perang yang lebih besar.

Dan malam itu, langit mencatat satu kisah kelam: pengkhianatan yang terjadi di tengah malam, yang akan mengguncang fondasi sebuah kerajaan.

Bab 8 – Darah yang Sama, Luka yang Berbeda

Mentari pagi menyinari pelataran istana dengan sinar lembut, seolah ingin menyembunyikan luka-luka yang sempat terbuka malam sebelumnya. Tapi bagi Putri Laksmi, cahaya itu hanya memperjelas bayang-bayang pengkhianatan yang membayangi keluarganya.

Pagi itu, istana dipenuhi aroma dupa dan suara kidung duka. Panglima Jaya Guna telah disemayamkan dengan segala kehormatan, namun Laksmi tahu, kematiannya bukan sekadar kehilangan seorang panglima. Itu adalah pesan berdarah dari seseorang yang dekat dengan kekuasaan. Seseorang yang mungkin memiliki darah yang sama, tetapi niat yang berbeda.

“Apakah Ayahanda mengetahui siapa dalangnya?” tanya Laksmi pelan kepada Ratu Amara, ibunya, saat mereka duduk dalam ruang dalam.

Sang ratu menghela napas panjang. Garis-garis usia tampak semakin dalam di wajahnya, seolah waktu mendadak mempercepat langkahnya.

“Dunia istana tidak lagi seperti dahulu, Laksmi,” ujarnya lirih. “Kini saudara pun bisa menjadi musuh. Darah yang sama tidak menjamin kesetiaan yang serupa.”

Laksmi mematung. Kata-kata ibunya menggema dalam hatinya. Ia mulai menyadari bahwa ancaman terhadap kitab warisan leluhur bukan datang dari luar istana—melainkan dari dalam, dari mereka yang juga membawa darah yang sama dengannya.

Sore itu, ia memutuskan mengunjungi salah satu sosok yang telah lama menjauh dari istana: Pangeran Mahesa, saudara tirinya. Mahesa adalah anak dari selir raja, yang tumbuh dengan bayang-bayang ketidakdiakui. Ia cerdas, licin, dan memiliki pengaruh kuat di kalangan bangsawan muda yang ingin perubahan.

Laksmi tiba di rumah peristirahatan Mahesa di ujung barat istana. Tempat itu dijaga ringan, nyaris seperti rumah biasa. Tapi aura waspada menyelimuti setiap sudutnya.

“Saudari satu darahku,” sapa Mahesa dengan senyum yang sulit ditebak maknanya. “Angin apa yang membawamu ke sarang harimau?”

“Aku tidak datang membawa pedang, Mahesa. Hanya pertanyaan.”

“Dan mungkin juga tuduhan,” balas Mahesa sambil menuang teh.

Mereka duduk di serambi terbuka. Hening. Hanya suara dedaunan yang diterpa angin sore yang terdengar.

“Kitab itu,” ujar Laksmi akhirnya. “Ada yang ingin mengambilnya dengan cara kotor. Seseorang yang tahu tempat penyimpanannya.”

Mahesa memiringkan kepala. “Dan kau pikir itu aku?”

“Aku pikir hanya sedikit orang yang tahu letak kitab itu, dan salah satunya adalah engkau.”

Mahesa tertawa kecil. Tawa yang lebih mirip ejekan. “Kitab itu bukan hanya warisan kekuasaan, Laksmi. Ia adalah peta masa depan. Dan siapa pun yang memegangnya, bisa menentukan arah negeri ini. Kau benar, aku tahu di mana kitab itu disimpan. Tapi apakah aku menginginkannya? Belum tentu.”

Laksmi menatap mata Mahesa lekat-lekat. “Jika bukan kau, maka siapa? Kita berdua membawa darah yang sama, Mahesa. Tapi kenapa luka kita berbeda? Aku berjuang mempertahankan kebenaran, sementara kau memilih berdiri di garis abu-abu.”

“Karena aku tahu, kebenaran saja tak cukup untuk bertahan hidup di dunia ini,” jawab Mahesa lirih. “Ayah lebih mencintaimu. Ibunda adalah ratu. Aku tumbuh sebagai bayangan. Bayangan yang kau dan semua orang abaikan. Maka jangan heran jika suatu hari bayangan itu berani menyerang terang.”

Keheningan kembali turun. Tak ada lagi kata-kata. Laksmi bangkit perlahan, menatap Mahesa untuk terakhir kali sebelum pergi.

“Jika bayangan itu menyerang, Mahesa, maka aku akan berdiri sebagai cahaya. Dan seperti yang kau tahu, cahaya tidak akan pernah takut pada kegelapan.”

Malam harinya, Rara datang tergesa membawa kabar baru. “Ada yang membakar gudang tua di sebelah timur istana. Di dalamnya, ditemukan jejak-jejak ritual kuno. Sepertinya, seseorang sedang mencoba membangkitkan kekuatan lama.”

Laksmi memejamkan mata. Sebuah kilatan masa lalu menari di benaknya. Dulu, ayahnya pernah memperingatkan tentang kekuatan lama yang disegel di dalam kerajaan. Jika kekuatan itu dibangkitkan kembali, maka kehancuran bukan lagi bayangan, melainkan kepastian.

Di ruang tidurnya yang temaram, Laksmi menatap pantulan dirinya di cermin. Ia menyadari, darah kerajaan yang mengalir di nadinya adalah beban yang harus ia pikul dengan keberanian. Dan luka-luka yang berbeda di antara mereka yang satu darah hanya akan menjadi bara jika tak diredam dengan kebijaksanaan.

Namun malam ini, ia tahu satu hal: pengkhianatan belum berakhir. Permainan belum selesai. Dan langkah selanjutnya akan lebih gelap dari sebelumnya.

Bab 9 – Api dari Timur

Langit timur mulai berubah warna. Bukan merah keemasan yang biasanya hadir saat fajar menyingsing, melainkan merah menyala seperti bara yang baru dinyalakan. Asap tipis membumbung di kejauhan, membawa bau hangus yang pelan-pelan menelusup ke dalam jantung Kerajaan Mandarka.

Laksmi berdiri di menara pengawas, pandangannya menembus cakrawala. “Desa-desa di timur terbakar,” ujar salah satu prajurit pengintai dengan wajah cemas. “Bukan karena kekeringan. Ini pembakaran terencana.”

“Siapa pelakunya?” tanya Laksmi tanpa melepaskan pandangannya dari ufuk timur.

“Seseorang yang tahu titik-titik pertahanan terlemah kita. Penyerang datang diam-diam, lalu menghilang sebelum penjaga desa sempat mengangkat senjata.”

Laksmi menggenggam pinggiran menara. Ini bukan sekadar serangan. Ini pesan.

Beberapa jam kemudian, ruang sidang utama dipenuhi para petinggi kerajaan. Raja Arundaya duduk di singgasana, wajahnya muram. Laksmi berdiri di sampingnya, sementara Mahesa, yang baru saja kembali dari pertemuan dengan para bangsawan timur, tampak tenang—terlalu tenang.

“Pihak istana Timur menolak bertanggung jawab,” ucap Mahesa. “Mereka mengklaim api itu datang dari gerakan pemberontak yang telah lama hidup di hutan-hutan dekat Gunung Pralaksana.”

Raja memukul pegangan kursinya. “Itu tanah Mandarka! Mereka tidak berhak menguasainya, apalagi membakar desa-desa kita!”

“Jika memang pemberontak,” sela Laksmi, “mengapa mereka menyerang dengan begitu rapi? Siapa yang melatih mereka? Siapa yang memberi mereka peta pertahanan?”

Suasana ruangan menjadi tegang. Para bangsawan saling pandang, tetapi tidak ada yang berani bicara.

Ratu Amara berdiri perlahan, matanya tajam menatap Mahesa. “Apakah ini ulah saudaramu di kerajaan timur, Mahesa?”

Mahesa tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum tipis. “Mungkin. Tapi jika benar, bukankah ini saat yang tepat bagi Mandarka untuk mempersiapkan diri? Kekuasaan tidak bisa selamanya dipegang tanpa perlawanan.”

Ucapan itu seperti melempar minyak ke api. Laksmi melangkah maju. “Jangan kau jadikan penderitaan rakyat sebagai alat tawar-menawar politik, Mahesa. Api yang datang dari timur bukan hanya membakar rumah. Ia membakar hati orang-orang yang masih setia pada kerajaan ini.”

Mahesa menunduk, tetapi bukan karena rasa bersalah. Ia hanya menyembunyikan senyum yang tidak pantas.

Hari itu, Laksmi meminta izin langsung pada Raja untuk menyelidiki serangan itu. Ia membawa sepuluh prajurit ke perbatasan timur. Dalam perjalanan menuju desa yang terbakar, ia melihat sendiri bekas kejahatan yang dilakukan: rumah-rumah hangus, sumur diracun, dan hewan ternak dibantai tanpa alasan.

Namun ada satu hal yang membuat darahnya membeku—di sebuah dinding batu di pinggir desa, tertulis simbol lama yang hanya digunakan oleh kelompok rahasia kerajaan: Sangkar Emas.

“Tidak mungkin…” gumamnya.

Sangkar Emas adalah organisasi bayangan yang dibentuk leluhurnya untuk melindungi kerajaan dari ancaman luar. Namun bertahun-tahun lalu, organisasi itu dibubarkan karena terlalu banyak anggota yang menggunakan kekuatannya untuk kepentingan pribadi.

“Jika mereka kembali…” bisik Rara, pengawal pribadinya. “Itu berarti, ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar pemberontakan.”

Laksmi mengangguk. “Ini bukan hanya soal tanah. Ini soal warisan. Mungkin… bahkan soal siapa yang layak menduduki takhta.”

Malam harinya, saat langit menggelap, Laksmi duduk di samping api unggun bersama rakyat yang selamat. Seorang kakek mendekatinya. Wajahnya penuh jelaga, tetapi matanya masih menyimpan nyala yang sama seperti api yang membakar desanya.

“Kami tahu siapa mereka, Tuan Putri,” ujarnya lirih. “Kami melihat panji yang mereka bawa. Lambang ular menggigit ekor—itu lambang lama Sangkar Emas.”

“Bagaimana Anda bisa tahu?” tanya Laksmi terkejut.

“Saya mantan prajurit. Dulu pernah melawan mereka sebelum Raja Arundaya naik takhta.”

Laksmi terdiam. Benar dugaannya. Ini bukan hanya serangan fisik. Ini adalah kebangkitan kekuatan lama yang telah lama disegel.

Malam itu, api unggun menyala redup. Tapi di dalam hati Laksmi, api yang lebih besar mulai tumbuh—api tekad untuk menemukan siapa yang mengobarkan api dari timur. Dan lebih dari itu, untuk memastikan bahwa kerajaan ini tidak jatuh karena api yang dinyalakan oleh darahnya sendiri.

Bab 10 – Pedang di Atas Nama Rakyat

Malam itu, angin dingin menyusup ke sela-sela batu istana yang kokoh. Di dalam ruangan bawah tanah yang remang, cahaya lilin menari-nari, memperlihatkan wajah-wajah serius para pemimpin yang berkumpul diam-diam. Suara bisik dan derap kaki teredam oleh ketegangan yang menggantung di udara.

Laksmi berdiri tegak di depan meja kayu besar, pandangannya tajam mengamati peta kerajaan yang terhampar. Titik-titik merah menandai wilayah yang telah diserang, serta jalur pergerakan musuh yang kian mendekat ke jantung kerajaan.

“Rakyat sudah lama menanggung beban,” ucap seorang bangsawan tua dengan suara serak. “Terlalu lama kita diam, sementara mereka hidup dalam ketakutan dan penindasan.”

“Benar,” sahut Laksmi, “namun pedang kita harus diangkat bukan atas nama dendam, melainkan atas nama rakyat. Kita harus membela mereka yang tak bersuara.”

Raja Arundaya mengangguk pelan. “Perang ini bukan hanya tentang mempertahankan wilayah, tetapi juga mempertahankan kehormatan dan keadilan kerajaan.”

Keesokan harinya, di alun-alun utama, Laksmi berdiri di atas panggung sementara kerumunan rakyat bersorak di hadapannya. Wajahnya yang tegas namun penuh kehangatan menyapa mereka.

“Hari ini, kita berdiri bersama, bukan hanya sebagai rakyat dan pemimpin, tetapi sebagai satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan,” katanya. “Api dari timur yang mencoba membakar tanah kita tidak akan pernah padam, karena semangat juang kita jauh lebih besar.”

Sorak sorai rakyat makin bergemuruh. Laksmi tahu, ini adalah momen penting. Momen ketika pedang akan diangkat bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk melindungi dan membangun kembali.

Di balik layar, ada intrik yang belum terungkap. Mahesa, yang masih menyimpan senyum misterius, berbicara dengan salah satu pengikutnya.

“Biarkan Laksmi menjadi wajah perjuangan ini. Ia akan mengalihkan perhatian mereka, sementara kita menjalankan rencana kita,” katanya dingin.

Pengikut itu mengangguk. “Strategi yang cerdik. Tapi apakah kita yakin rakyat akan terus mengikuti, meski nanti kebenaran terbuka?”

Mahesa tersenyum penuh arti. “Dalam perang, kebenaran bisa jadi pedang bermata dua. Terkadang, yang penting adalah hasilnya, bukan caranya.”

Di tengah semangat yang membara, Laksmi juga merasakan beban berat. Ia tahu, perang akan membawa banyak korban, termasuk dirinya sendiri. Namun, tekadnya untuk melindungi rakyat jauh lebih kuat daripada rasa takut.

Sore itu, saat matahari mulai tenggelam, Laksmi berkeliling ke kampung-kampung yang menjadi saksi luka peperangan. Ia bertemu dengan ibu-ibu yang kehilangan anak, petani yang tanahnya terbakar, dan anak-anak yang menatapnya penuh harap.

“Ini semua demi kalian,” bisiknya. “Demi masa depan yang lebih baik, tanpa rasa takut.”

Malamnya, Laksmi duduk di balkon istana, menatap langit yang bertabur bintang. Angin membawa aroma tanah basah dan daun pinus, mengingatkannya pada masa kecil yang damai sebelum api perang mengoyak hidupnya.

Ia menarik napas panjang, lalu menggenggam sebuah pedang kuno yang diwariskan leluhur. Pedang itu bukan sekadar senjata, tapi lambang harapan dan tanggung jawab.

“Ini bukan hanya pedangku,” pikirnya. “Ini pedang rakyat. Aku harus menjaga kehormatannya.”

Bab 11 – Kembali ke Akar

Pagi itu, kabut tipis masih menyelimuti lembah yang menjadi asal muasal klan Laksmi. Udara dingin menusuk kulit, tapi ada kehangatan yang aneh menyelimuti hatinya saat ia menatap hamparan hijau yang luas, yang sejak lama ia rindukan. Setelah sekian lama berjuang di istana dan medan perang, kini saatnya ia kembali ke akar—tempat dimana semuanya bermula.

Langkah kaki Laksmi menyusuri jalan setapak yang sudah dikenal sejak kecil. Di sisi kiri dan kanannya, pohon-pohon tua berdiri kokoh seperti saksi bisu perjalanan panjang keluarganya. Di balik daun-daun yang berguguran, ia melihat jejak-jejak kecil anak-anak desa yang bermain riang, tanpa beban dan tanpa tahu betapa beratnya dunia di luar sana.

“Kau kembali, Laksmi,” suara seorang lelaki tua memecah kesunyian. Lelaki itu adalah Ki Jaya, sesepuh desa yang sejak dulu dianggap sebagai penjaga tradisi dan sejarah klan mereka.

Laksmi tersenyum lembut. “Ya, Ki Jaya. Aku merasa sudah saatnya kembali dan menguatkan akar kami. Karena hanya dengan mengenal asal-usul, kita bisa memahami siapa kita sebenarnya.”

Ki Jaya mengangguk, lalu mengajak Laksmi masuk ke sebuah pendopo sederhana yang dikelilingi bunga-bunga liar. Di sana, tergantung sebuah gulungan kitab tua—kitab warisan leluhur yang selama ini disimpan rapat-rapat.

“Kini saatnya kau membaca dan memahami isi kitab ini. Di dalamnya terkandung kebijaksanaan dan kekuatan yang selama ini menjadi dasar kejayaan nenek moyang kita,” kata Ki Jaya dengan suara penuh hormat.

Laksmi membuka gulungan itu dengan hati-hati. Tulisannya sudah mulai pudar, namun maknanya sangat dalam. Ada cerita tentang asal-usul klan mereka, tentang persatuan, keberanian, dan pengorbanan. Semua tertulis dalam bahasa kuno yang hanya sedikit orang yang bisa memahaminya.

Semakin lama membacanya, semakin banyak hal yang ia pahami tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara kekuasaan dan kasih sayang. Ia menyadari bahwa kekuatan yang sesungguhnya bukanlah hanya berasal dari pedang atau taktik perang, melainkan dari hati yang tulus dan hubungan yang erat dengan rakyat.

Malam itu, di bawah cahaya rembulan, Laksmi duduk termenung. Ia menulis dalam jurnalnya, “Kekuatan terbesar bukanlah yang tampak oleh mata, melainkan yang lahir dari akar dan hati. Aku harus menjadi pemimpin yang tidak hanya memimpin dengan tangan, tapi juga dengan jiwa.”

Keputusan Laksmi pun semakin bulat. Esok hari, ia akan membawa perubahan dari akar, mengajak rakyat bukan hanya untuk bertarung, tetapi untuk membangun masa depan yang penuh harapan bersama-sama.

Langkahnya kali ini bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk seluruh klan yang telah lama terlupakan dan untuk kerajaan yang sedang berada di ambang perubahan.

Bab 12 – Bayang yang Menyatu dengan Terang

Di tengah heningnya senja, ketika cahaya matahari mulai meredup dan bayang-bayang pohon-pohon raksasa di istana semakin memanjang, Laksmi berdiri termenung di tepi halaman. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah basah dan bunga melati, mengingatkannya pada masa lalu yang penuh dengan luka dan harapan. Di balik wajahnya yang tegar, ada pergulatan batin yang tak terlihat oleh mata orang lain.

Hari-hari terakhir di istana terasa semakin berat. Intrik dan bisik-bisik di balik tirai tidak kunjung reda, bahkan semakin tajam menyayat hati. Namun, Laksmi tahu bahwa cahaya sejati sebuah kerajaan tidak hanya datang dari mahkota atau emas, melainkan dari persatuan dan keteguhan hati rakyatnya. Dan untuk itu, dia harus mampu menjembatani bayang-bayang masa lalu dengan terang masa depan.

Tiba-tiba, dari balik gerbang istana muncul sosok yang selama ini menjadi bayangan di hidupnya: Arya, saudara tiri yang selama ini bersembunyi di balik ambisi dan dendam. Tatapan mereka bertemu, penuh makna yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

“Aku tidak pernah berniat menjadi musuhmu, Laksmi,” ujar Arya dengan suara berat namun jujur. “Hanya saja, aku takut bahwa dalam terang ini, aku akan hilang dan terlupakan.”

Laksmi menghela napas panjang. Ia memahami rasa takut itu, karena dirinya sendiri pun pernah tenggelam dalam keraguan yang sama. Namun kini, ia tahu bahwa bayang-bayang dan terang bukanlah musuh, melainkan dua sisi yang harus menyatu agar sebuah kerajaan bisa bertahan.

“Kita tidak perlu saling menolak,” jawab Laksmi pelan. “Bayang-bayangmu, takutmu, semuanya bagian dari dirimu. Aku ingin kita bisa berjalan bersama, menjadi satu kekuatan yang membawa terang bagi rakyat kita.”

Percakapan itu menjadi titik balik bagi keduanya. Mereka mulai membuka diri, membagi beban dan impian yang selama ini dipendam. Di bawah langit jingga yang mulai meredup, dua jiwa yang berbeda itu mulai menyatu, menghapus jarak dan prasangka yang pernah ada.

Malamnya, Laksmi berdiri di balkon istana, menatap bintang yang mulai bermunculan. Ia merasa ada cahaya baru yang menyinari hatinya—sebuah harapan bahwa bayang-bayang masa lalu tidak akan lagi memisahkan mereka, melainkan memperkuat langkah menuju masa depan yang cerah.

“Bayang dan terang, kita adalah dua sisi yang saling melengkapi,” gumamnya. “Dan sekarang, aku siap membawa keduanya dalam satu tujuan.”

Di balik bayang-bayang yang menyelimuti kerajaan, kini tumbuh secercah terang yang menjanjikan perubahan. Dan Laksmi, dengan segala kekuatannya, bertekad menjadi jembatan yang menghubungkan keduanya, membawa rakyatnya keluar dari kegelapan menuju fajar yang baru.

Bab 13 – Kerajaan yang Berdiri di Atas Air Mata

Langit senja berwarna jingga memantul di atas danau yang tenang, menambah kesan magis di sekitar istana yang megah namun sarat akan cerita kelam. Di balik gemerlap kemewahan dan kemegahan bangunan, tersimpan rahasia duka yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang hidup dalam bayang-bayang kekuasaan.

Laksmi berdiri di tepi danau, matanya menatap jauh ke permukaan air yang beriak pelan diterpa angin sore. Setiap tetes air itu seolah menjadi simbol dari air mata yang tak pernah berhenti mengalir dari rakyatnya, dari keluarganya, dari dirinya sendiri. Kerajaan ini memang indah dari luar, namun fondasinya dibangun atas pengorbanan dan penderitaan yang tak terkatakan.

Ia teringat akan nasib para petani yang kehilangan ladang mereka demi proyek perluasan istana, para ibu yang menangis meratapi anak-anak yang harus berhenti sekolah karena pajak yang semakin membebani, dan para prajurit yang rela mengorbankan nyawa demi mempertahankan mahkota yang terkadang terasa jauh dari hati rakyat.

Dalam keheningan itu, sebuah bisikan lembut terdengar dari belakangnya. Arya datang menghampiri dengan langkah tenang, wajahnya menunjukkan kelelahan yang sama.

“Kita membangun kerajaan ini dengan darah dan air mata, Laksmi,” katanya. “Tapi apakah semua itu akan sia-sia jika kita tidak mampu membuatnya berarti bagi mereka yang hidup di bawahnya?”

Laksmi mengangguk perlahan. “Aku takut, Arya. Takut jika semua pengorbanan ini hanya menjadi cerita yang terlupakan, jika kita gagal menjadi pemimpin yang bisa membawa perubahan.”

Arya menatapnya dalam, lalu meraih tangannya. “Kita tidak sendiri. Rakyat kita, meski mereka menangis, mereka juga berharap. Mereka ingin melihat kita bertindak bukan hanya untuk mahkota, tapi untuk masa depan mereka.”

Percakapan itu membuka pintu hati Laksmi yang selama ini penuh dengan beban. Ia sadar bahwa menjadi pemimpin bukan hanya soal kekuasaan, tapi juga tentang keberanian untuk mendengar, mengakui kesalahan, dan memperjuangkan keadilan.

Malam itu, di bawah sinar bulan yang lembut, Laksmi dan Arya merancang rencana untuk memperbaiki nasib kerajaan mereka. Bukan lagi dengan tirani dan kebohongan, tetapi dengan ketulusan dan keberanian.

Mereka mulai mengunjungi desa-desa, berbicara langsung dengan rakyat, merasakan denyut nadi kehidupan yang sesungguhnya. Mereka mendengar cerita tentang penderitaan, harapan, dan impian yang selama ini tersembunyi di balik bayang-bayang istana.

Setiap langkah mereka menjadi bukti bahwa kerajaan yang dibangun di atas air mata bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari perjalanan menuju perubahan sejati.

Laksmi menatap langit malam, yakin bahwa suatu hari nanti, air mata itu akan berubah menjadi sumber kekuatan, dan kerajaan mereka akan berdiri kokoh bukan hanya oleh tembok dan batu, tapi oleh cinta dan keadilan.

Bab 14 – Mahkota Tanpa Singgasana

Malam itu, angin dingin berhembus pelan melewati jendela-jendela besar istana yang megah, membawa aroma musim gugur yang menusuk hingga ke tulang. Di ruang singgasana yang biasanya penuh kemegahan, kini hanya ada kesunyian yang berat dan suasana yang kelam.

Laksmi duduk termenung di kursi tinggi singgasana, memandangi mahkota emas yang terletak di atas meja di depannya. Kilauan mahkota itu seperti menantangnya, seolah bertanya apakah ia benar-benar layak memakainya. Tapi bagi Laksmi, mahkota itu kini terasa hampa — sebuah simbol kekuasaan tanpa makna, tanpa pijakan.

Ia menghela napas dalam. Beberapa bulan terakhir telah mengubah segalanya. Kekuasaan yang dahulu tampak menggoda kini berubah menjadi beban yang berat, bukan hanya bagi dirinya, tapi juga bagi seluruh rakyat dan bangsanya. Mahkota tanpa singgasana—itulah yang kini ia rasakan.

Singgasana itu, yang seharusnya menjadi tempat seorang raja atau ratu memerintah dengan keadilan dan kebijaksanaan, kini terasa kosong. Banyak pengkhianatan yang menyelimuti, dan musuh-musuh dalam selimut mengintai dari balik tirai. Teman menjadi lawan, dan lawan berusaha mengambil alih kendali.

Arya, yang selama ini setia mendampingi Laksmi, masuk membawa sebuah gulungan surat. Wajahnya penuh kecemasan, namun ia berusaha menyembunyikannya.

“Laksmi, surat ini datang dari utusan kerajaan tetangga. Mereka mengancam akan mengirim pasukan jika kita tidak menyerahkan sebagian wilayah perbatasan,” kata Arya dengan suara berat.

Laksmi meraih surat itu dan membacanya dengan seksama. Rasa sakit menyergap hatinya. Ancaman itu bukan hanya soal wilayah, tapi juga harga diri kerajaan yang sedang rapuh. Namun ia tahu, menyerah bukanlah pilihan.

“Ini bukan sekadar perang wilayah,” jawab Laksmi pelan. “Ini pertaruhan masa depan seluruh kerajaan. Aku tidak akan biarkan singgasana ini kosong, Arya. Aku harus berdiri, meski sendiri.”

Arya mengangguk, penuh hormat. “Kami semua bersamamu, Laksmi. Kau bukan hanya pemimpin kami, tapi juga harapan kami.”

Di luar jendela, hujan mulai turun perlahan, mengguyur taman kerajaan yang sepi. Hujan itu mengingatkan Laksmi pada hari-hari kelam yang telah ia lalui, dan pada air mata yang pernah mengalir di balik mahkota emas ini. Tapi malam ini, air mata itu bukan untuk melemahkan, melainkan untuk menyemangati.

Dengan tekad yang membara, Laksmi berdiri dan mengenakan mahkota itu. Bukan sebagai simbol kekuasaan kosong, tetapi sebagai janji — janji untuk memperjuangkan keadilan, untuk melindungi rakyatnya, dan untuk membangun kerajaan yang benar-benar berdiri di atas pijakan yang kokoh.

Di bawah hujan yang terus mengguyur, mahkota itu berkilauan, mencerminkan cahaya harapan yang perlahan muncul dari kegelapan. Kerajaan mungkin sedang diuji, tapi dengan hati yang tulus dan keberanian yang teguh, Laksmi yakin ia bisa mengembalikan singgasana yang sejati.

Malam itu, mahkota tanpa singgasana berubah menjadi lambang perjuangan dan harapan baru bagi sebuah kerajaan yang tengah mencari jati dirinya.

Berikut pengembangan Bab 15 – Di Bawah Bayang Kerajaan dengan bahasa yang baik, benar, dan menarik untuk memikat pembaca:


Bab 15 – Di Bawah Bayang Kerajaan

Senja mulai merunduk di ufuk barat, menorehkan warna jingga keemasan yang menyelimuti benteng tua di puncak bukit. Bayangan kerajaan yang megah itu membentang luas, seolah menjadi saksi bisu atas segala perjuangan, pengkhianatan, dan harapan yang pernah terukir di tanah ini. Di bawah bayang-bayangnya, banyak cerita tersimpan, begitu pula dengan masa depan yang masih menggantung tak pasti.

Laksmi berdiri di tepi balkon, matanya menatap jauh ke lembah yang membentang hijau dan tenang. Angin senja mengibas-ngibaskan rambutnya, seolah membisikkan cerita lama yang belum selesai. Ia tahu, kerajaan yang dulu berdiri kokoh kini menghadapi titik balik. Segala luka yang tersimpan, intrik yang menjerat, dan janji yang terucap kini bergumul dalam hati dan pikirannya.

Namun, di balik segala kerumitan itu, ada satu hal yang tetap jelas dalam benaknya: bahwa kerajaan bukan hanya tentang mahkota atau singgasana, melainkan tentang rakyat yang hidup di bawah naungannya. Bayang-bayang besar yang kadang menakutkan itu sebenarnya adalah tanggung jawab, amanah yang harus dijaga dengan sepenuh hati.

Tiba-tiba, seorang pelayan mendekat, menyerahkan sebuah gulungan surat dengan tangan gemetar. Laksmi menerimanya dengan hati-hati, membuka dan membaca setiap kata yang tertulis. Surat itu datang dari sebuah desa di ujung wilayah kerajaan — sebuah kabar yang membawa harapan sekaligus tantangan baru.

Desa itu, yang selama ini terlupakan, kini mengirimkan suara mereka yang penuh kepercayaan dan permohonan. Mereka ingin menjadi bagian dari perubahan, ingin ikut bersama membangun masa depan kerajaan yang lebih adil dan damai. Laksmi tersenyum samar, merasa bahwa perjalanan panjangnya mulai membuahkan hasil.

Bayang kerajaan tidak lagi terasa seperti beban yang mengekang, melainkan cahaya yang membimbingnya. Ia tahu, tantangan masih menanti, musuh tetap mengintai, dan jalan menuju kejayaan masih berliku. Tapi kini, ia tak lagi berdiri sendiri.

Dengan tekad yang bulat, Laksmi menatap mata para pengawalnya yang setia berkumpul di bawah balkon. “Kita tidak hanya mewarisi kerajaan ini,” ucapnya tegas, “kita harus menjaganya, dan menghidupkan kembali harapan di setiap sudut tanah yang kita pijak. Mari kita berjalan bersama, di bawah bayang kerajaan yang tidak lagi menakutkan, tapi menjadi pelindung kita semua.”

Malam mulai merangkak perlahan, mengiringi langkah-langkah kecil yang penuh keyakinan menuju masa depan. Di bawah bayang kerajaan yang megah itu, sebuah babak baru tengah dimulai — babak yang dipenuhi perjuangan, keikhlasan, dan cinta terhadap tanah yang tercinta.

Kerajaan boleh berdiri di atas batu dan emas, tapi yang paling abadi adalah jiwa dan semangat yang hidup di dalamnya. Dan Laksmi, bersama rakyatnya, siap menulis sejarah baru, di bawah bayang kerajaan yang kini menjadi cahaya harapan.***

——————————THE END—————————

Source: Shifa Yuhananda
Tags: #Pengkhianatan#SejarahDramaPolitikHarapanDanCintaIntrikIstanaKerajaanKlasikLegendaKerajaanPerjuanganRakyat
Previous Post

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In