Bab 1 – Cermin Warisan
Hujan turun deras sore itu, membasahi pekarangan rumah tua yang telah lama tak dihuni. Di balik jendela berdebu, Alina berdiri terpaku, memandangi lorong gelap yang memisahkan ruang tamu dengan ruang tengah. Aroma kayu lembap dan debu tua menyambutnya sejak pertama kali ia melangkahkan kaki ke dalam rumah warisan milik bibinya—Nyonya Ratna—yang meninggal secara mendadak dua minggu lalu.
Rumah itu tampak seperti membeku dalam waktu. Tirai-tirai lusuh masih tergantung di jendela, rak buku berisi novel-novel tua masih berdiri kokoh di sudut ruangan, dan foto-foto keluarga yang menguning tergantung dengan miring di dinding kusam. Semua terasa asing, namun dalam waktu yang sama, ada sesuatu yang samar-samar menggelitik ingatannya.
Alina tidak pernah terlalu dekat dengan bibinya. Bahkan, ingatannya tentang sosok perempuan itu lebih seperti bayangan kabur—seorang wanita pendiam yang tinggal sendiri di rumah besar di pinggiran kota, menjauh dari hiruk-pikuk kehidupan. Namun kini, rumah itu menjadi miliknya. Dan lebih dari itu, warisan yang tak terduga sedang menantinya di balik pintu sebuah ruangan yang terkunci.
Kunci itu ditemukan dalam amplop cokelat kecil di atas meja makan, bersama sepucuk surat singkat tulisan tangan:
“Untuk Alina,
Jika kau membaca ini, berarti aku sudah tidak ada.
Bukalah kamar loteng dan jagalah baik-baik apa yang ada di dalamnya.
Jangan takut, tapi jangan pernah menatapnya terlalu lama.
– Ratna”
Alina membaca surat itu berulang-ulang, mencoba memahami maksud dari kalimat terakhir. Jantungnya berdetak lebih cepat ketika ia menaiki tangga kayu menuju loteng, yang mengerang pelan setiap kali diinjak. Di ujung lorong gelap, sebuah pintu tua berdiri. Warnanya telah memudar, dan gagangnya dingin saat disentuh. Dengan tangan sedikit gemetar, Alina memasukkan kunci ke dalam lubang dan memutarnya.
Klik.
Pintu terbuka perlahan, mengeluarkan derit panjang yang memekakkan telinga.
Ruangan itu dipenuhi debu dan jaring laba-laba. Hanya ada satu benda mencolok di tengah ruangan: sebuah cermin besar berbingkai ukiran kayu gelap, berdiri tegak seperti penjaga waktu. Permukaannya tertutup kain putih kusam, tampak seperti tubuh seseorang yang diselimuti kain kafan.
Dengan ragu, Alina mendekat dan menarik kain penutup itu.
Cermin itu… indah sekaligus mengerikan. Bingkainya dipenuhi ukiran rumit berupa wajah-wajah kecil yang tampak meringis dan menangis. Permukaannya begitu bersih, seakan tidak terjamah oleh waktu. Namun ketika Alina menatap bayangannya sendiri, ada sesuatu yang membuatnya merinding.
Itu dirinya—namun… bukan dirinya sepenuhnya.
Wajah itu tersenyum sedikit lebih lebar dari yang seharusnya. Mata itu… menatap balik dengan cara yang aneh, seolah sadar akan keberadaannya.
Alina mundur satu langkah.
“Ah, mungkin hanya lelah,” gumamnya, mencoba menenangkan diri.
Namun saat ia berbalik hendak keluar dari ruangan, suara lirih menggema di telinganya.
“Selamat datang kembali…”
Alina membeku. Tidak ada siapa-siapa di sana. Tapi suara itu jelas terdengar… dari arah cermin.
Bab 2 – Pantulan yang Tak Sama
Pagi hari berikutnya, sinar matahari mencoba menembus jendela kaca yang buram, menciptakan bayangan samar di lantai kayu rumah tua itu. Alina terbangun dengan kepala berat dan perasaan tidak nyaman. Malam sebelumnya, suara lirih dari cermin terus terngiang di telinganya, meskipun tidak ada apa pun saat ia kembali memeriksanya.
Ia mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya ilusi—efek dari lelah dan emosi yang bercampur setelah memasuki rumah penuh kenangan kelam. Namun, rasa ganjil itu tidak juga pergi.
Saat berdiri di depan wastafel kamar mandi, Alina memandangi wajahnya di cermin kecil di atas bak cuci. Ia menyibakkan rambutnya, mencuci muka, lalu kembali menatap pantulan dirinya. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang membuatnya berhenti.
Pandangan matanya terpaku.
Wajah di cermin memang miliknya—tapi ekspresinya terasa… salah.
Matanya sendiri terlihat normal, namun pantulan di cermin menatap dengan tajam, dingin, nyaris seperti membenci. Ketika Alina mengangkat tangan kanan untuk menyentuh pipinya, bayangan di cermin mengangkat tangan kiri—bukan gerakan biasa yang seharusnya berlawanan arah.
Namun yang membuatnya menggigil adalah… pantulan itu terlambat sepersekian detik.
Alina mundur. Nafasnya memburu. Ia menatap kembali, memastikan bahwa matanya tidak mempermainkannya. Tapi ketika ia mengedipkan mata, sosok di cermin mengedip sesaat kemudian—seperti menirunya, bukan mencerminkannya.
“Ini tidak masuk akal,” gumamnya. “Mungkin hanya pantulan cahaya.”
Ia segera berbalik, berusaha mengabaikan kejadian aneh itu. Tapi sepanjang hari, rasa waswas mengikutinya seperti bayangan yang enggan lepas. Ia merasa diawasi, meskipun tidak ada siapa pun di rumah itu selain dirinya.
Menjelang sore, Alina memutuskan untuk kembali ke loteng. Ia pikir, jika ia menatap cermin besar itu sekali lagi, ia bisa membuktikan bahwa tidak ada apa-apa. Bahwa semuanya hanya perasaan aneh akibat atmosfer rumah tua ini.
Cermin itu masih berdiri angkuh di tengah ruangan. Kali ini, tidak lagi tertutup kain. Permukaannya berkilau dalam remang cahaya sore, seolah memanggilnya untuk mendekat.
Dengan langkah pelan, Alina berdiri di hadapannya.
Wajahnya terlihat jelas. Namun lagi-lagi, ada yang tidak selaras. Rahangnya terasa terlalu kaku, senyumnya muncul tanpa ia sadari, dan—yang paling mengerikan—pantulan itu tidak berkedip ketika ia berkedip.
Alina tersentak mundur.
Dan saat itu, untuk sepersekian detik yang mengerikan, pantulan di cermin tersenyum lebar—padahal wajah Alina tidak tersenyum.
Ia menutup mulutnya, berusaha menahan jeritan yang hampir lolos dari tenggorokannya. Detak jantungnya berlari liar, seakan tubuhnya menyadari sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh logika.
Cermin itu bukan sekadar benda mati.
Ia menyimpan sesuatu… atau seseorang.
Seseorang yang selama ini berdiam… di balik pantulan
Bab 3 – Ketukan dari Dalam
Malam turun perlahan, menyelimuti rumah tua itu dengan kabut dingin yang merambat dari sela-sela jendela. Angin malam menderu pelan, menggesekkan ranting-ranting pohon ke dinding luar rumah, menciptakan bunyi mencicit seperti cakar yang mengais. Alina duduk di ruang tamu dengan selimut menutupi tubuhnya, matanya tak lepas dari layar ponsel yang kosong dari notifikasi. Sejak ia tiba di rumah warisan ini, dunia luar terasa menjauh—seperti ada dinding tak kasat mata yang memisahkannya dari kehidupan sebelumnya.
Pikiran Alina kembali pada cermin itu. Sejak kejadian siang tadi, ia tidak berani lagi menyentuhnya. Namun, bayangan pantulan yang tidak mengikuti geraknya terus bermain dalam benaknya, seolah mengendap di sudut mata. Ia tahu, ada sesuatu yang tidak beres—sesuatu yang tidak berasal dari dunia ini.
Saat jarum jam menunjuk pukul sebelas malam, suara itu terdengar untuk pertama kalinya.
Tok. Tok. Tok.
Tiga ketukan pelan, namun cukup jelas. Alina menoleh, mencoba mencari sumber suara. Tidak ada siapa pun. Ia menajamkan pendengaran. Beberapa detik berlalu dalam sunyi yang mencekam.
Tok. Tok. Tok.
Kali ini lebih keras. Suaranya datang dari atas… dari arah loteng.
Jantung Alina berdetak lebih cepat. Ia menatap langit-langit dengan wajah tegang, meraih senter kecil dari atas meja, dan bangkit dengan ragu. Langkahnya perlahan, kaki telanjangnya menjejak lantai kayu dingin yang sesekali berderit. Ia tahu ini bukan keputusan bijak—pergi memeriksa suara aneh di tengah malam bukanlah hal yang biasa ia lakukan. Tapi rasa penasaran bercampur takut mendorongnya terus maju.
Tangga kayu menuju loteng berderit pelan saat ia menaikinya. Udara di sana lebih dingin, bau debu dan kayu tua begitu kuat menusuk hidung. Pintu loteng terbuka sedikit, seolah menantinya.
Dengan tangan gemetar, Alina mendorongnya perlahan.
Ruangan itu gelap. Cermin besar masih berdiri di tempat yang sama, tampak lebih gelap dari sebelumnya. Ia menyorotkan senter ke permukaannya—tidak ada apa-apa, hanya bayangannya sendiri yang tampak pucat dalam cahaya temaram.
Alina menarik napas panjang. “Hanya imajinasi,” bisiknya.
Tok. Tok. Tok.
Ketukan itu terdengar lagi—dari dalam cermin.
Alina menegang. Sorot senter langsung diarahkan ke permukaan kaca. Tidak ada yang bergerak. Tapi suara itu tidak mungkin berasal dari tempat lain. Ia mendekat, nyaris menempelkan wajah ke permukaan cermin, mencoba melihat lebih dalam.
Dan saat itulah ia melihatnya.
Sebuah tangan pucat menempel di sisi dalam cermin, seolah berusaha keluar, menekan kaca dari balik permukaan. Jemarinya kurus, kukunya panjang, dan perlahan-lahan… tangan itu mengetuk kembali.
Tok. Tok. Tok.
Alina mundur dengan panik, menjatuhkan senter. Cahaya menari di lantai, menciptakan bayangan liar di seluruh ruangan. Ia tersandung dan jatuh, punggungnya membentur lantai kayu.
Saat ia bangkit tergesa, cermin itu kembali tenang. Tidak ada tangan, tidak ada ketukan. Hanya pantulannya sendiri, tampak gemetar dan ketakutan—atau lebih tepatnya, menikmati rasa takutnya.
Dengan napas terengah, Alina berlari keluar dari loteng, membanting pintu di belakangnya. Ia mengunci pintu itu dan menekan punggungnya ke permukaan kayu, mencoba meredakan rasa panik.
Tapi saat ia berjalan kembali ke kamarnya, suara itu terdengar lagi.
Tok. Tok. Tok.
Kini datang dari… cermin kecil di kamar mandi.
Bab 4 – Surat yang Disembunyikan
Hujan kembali turun di pagi hari, membasuh genteng-genteng rumah tua dengan ritme monoton yang menenangkan, namun di telinga Alina, suara itu terdengar seperti detik-detik menuju sesuatu yang buruk. Setelah malam penuh teror—dengan ketukan dari dalam cermin dan sosok tangan yang muncul begitu nyata—ia nyaris tidak tidur. Mata lelahnya menyimpan bayang-bayang ketakutan, dan tubuhnya mulai lemah karena kewaspadaan yang terus-menerus.
Ia tahu, tidak mungkin terus menghindar. Cermin itu bukan benda biasa. Ada rahasia yang tersimpan di dalamnya, sesuatu yang sejak awal ingin disampaikan oleh almarhumah bibinya.
Setelah menenangkan diri dengan secangkir kopi hangat, Alina memutuskan menyusuri kembali isi rumah, berharap menemukan petunjuk tentang apa sebenarnya yang terjadi. Ia memulai dari ruang kerja bibinya—ruangan yang tertutup dan nyaris tidak tersentuh. Debu tebal menutupi meja dan rak buku, dan aroma kamper bercampur kertas tua memenuhi udara.
Alina membuka satu demi satu laci meja, memeriksa berkas-berkas lama, dokumen warisan, dan catatan medis. Namun tidak ada satu pun yang menjelaskan soal cermin atau… apa pun yang menyeramkan.
Hingga ia menemukan sebuah buku harian tua dengan sampul kulit cokelat pudar.
Ia membuka halaman pertama. Tulisannya adalah milik Ratna—tertata rapi, tapi tergesa.
“Hari ini aku kembali menutup cermin itu. Ia menatapku lagi, Alina. Ia menatap seperti tahu apa yang kulakukan di dunia nyata. Aku takut jika suatu saat ia keluar…”
Alina bergidik. Ia membuka halaman berikutnya, membaca lebih cepat, menyerap setiap kalimat dengan campuran ngeri dan penasaran. Ratna menulis tentang mimpi-mimpi buruk yang terus datang setelah cermin itu dipindahkan ke loteng. Tentang suara ketukan yang hanya ia dengar. Tentang pantulan yang tidak bergerak serentak. Semuanya… terjadi juga padanya.
Pada halaman terakhir, tulisan Ratna tampak lebih goyah, tinta seperti menetes karena tangan yang gemetar.
“Jika aku tidak sempat, surat ini akan menjelaskan. Aku menyimpannya di balik rak buku, di belakang patung kayu. Dia tidak boleh tahu isi surat itu. Jika ia tahu, semuanya akan terlambat…”
Alina segera menoleh. Matanya menelusuri rak buku di dekat jendela. Di sana, di antara deretan buku tebal dan barang-barang antik, terdapat sebuah patung kayu kecil berbentuk wajah manusia yang tampak memekik diam-diam. Ia mengangkatnya, dan menemukan celah kecil di balik rak. Dengan hati-hati, ia menarik selembar amplop lusuh yang diselipkan rapi dan ditutup lak merah yang telah mengering.
Ia membuka amplop itu dengan hati-hati.
Isinya satu lembar kertas berisi tulisan tangan:
“Cermin itu adalah warisan kutukan keluarga. Dulu milik kakek buyut kita, yang dikenal sebagai pemanggil arwah. Ia mengurung sesuatu di balik cermin—entitas yang tidak pernah seharusnya ada. Sosok itu tidak bisa keluar… kecuali jika seseorang menatapnya terlalu lama, atau jika jiwanya cukup lemah untuk ditarik masuk. Jika kau membukanya, jangan biarkan ia melihatmu. Jangan izinkan ia meniru apa yang bukan miliknya. Jangan biarkan ia menjadi dirimu…”
Alina menelan ludah. Tangannya gemetar hebat. Surat itu bukan peringatan biasa. Itu adalah pengakuan dan peringatan terakhir.
Dan saat ia menunduk… ia melihat sesuatu dari sudut matanya.
Di cermin kecil di sisi ruangan, pantulan dirinya sedang membaca surat—namun tangannya terbalik, dan senyumnya perlahan muncul… meski wajah Alina nyata tak menunjukkan apa-apa.
Bab 5 – Luka Lama Terbuka
Malam turun tanpa permisi, seolah menyelimuti rumah warisan itu dengan tirai gelap yang menyesakkan. Sejak Alina membaca surat peninggalan bibinya, udara di dalam rumah terasa lebih berat—seperti ada sesuatu yang kini sadar bahwa rahasianya telah terbongkar.
Alina mengurung diri di kamar, duduk memeluk lutut di pojok tempat tidur sambil terus menatap cermin kecil yang ditutup dengan kain hitam. Bayangan senyum aneh dari pantulan dirinya siang tadi masih menghantui pikirannya. Itu bukan dirinya, bukan wajah yang ia kenal seumur hidup.
Ia merasa lelah, bukan hanya secara fisik, tetapi juga batin. Rumah ini, peninggalan ini, dan cermin sialan itu… semuanya menggali kembali sesuatu yang sudah lama ia kubur dalam-dalam: masa lalu yang penuh luka.
Dulu, sebelum ia pindah ke kota dan memutuskan menjauh dari keluarga, Alina pernah mengalami malam-malam seperti ini. Malam ketika suara-suara aneh terdengar dari kamar Ratna, bibinya yang tinggal sendiri di rumah besar ini. Saat itu, Alina masih remaja, dan setiap malam ia mengintip lewat celah pintu kamar. Ia melihat Ratna duduk di depan cermin besar, berbicara sendiri, menangis, tertawa… dan sesekali, berteriak seperti kerasukan.
Tak ada yang percaya padanya ketika ia menceritakan itu pada ayahnya. Mereka menganggap Alina hanya kelelahan, atau terlalu banyak membaca cerita horor. Tapi satu hal yang tak bisa ia lupakan—tatapan mata Ratna ketika tertangkap basah sedang berbicara pada cermin. Tatapan itu kosong… atau lebih tepatnya, bukan milik manusia.
Dan kini, bertahun-tahun kemudian, Alina berada di tempat yang sama. Menghadapi kengerian yang pernah ia lupakan dengan paksa. Luka lama itu kembali terbuka, perihnya tak hanya menyakitkan, tapi juga menakutkan.
Seketika, lampu kamar berkedip-kedip. Alina menegang. Ia bangkit pelan dan berjalan ke arah saklar, namun sebelum ia sempat menekan tombol, suara itu datang.
“Alina…”
Suara pelan, seperti bisikan. Tapi sangat jelas terdengar di telinganya. Ia menoleh. Tak ada siapa pun. Cermin kecil yang tadi tertutup kain kini… telah terbuka. Kain hitamnya tergeletak di lantai.
Dalam pantulan itu, ia melihat kamarnya. Sama persis. Tapi kosong.
Tak ada dirinya.
“Alina,” suara itu terdengar lagi, kini dari arah belakangnya.
Dengan jantung berdentam hebat, ia berbalik. Kosong.
Tapi ketika ia menatap kembali cermin, dirinya sudah kembali ada di sana—namun tubuhnya sedikit condong ke kanan, kepala miring tak wajar, dan mata menatap lurus… dengan darah menetes dari sudut bibir.
Alina memundurkan langkah. Ia tahu ini bukan mimpi. Ini nyata. Cermin itu tidak hanya mencerminkan—ia meniru, dan menunggu waktu untuk menggantikan.
Tangannya mencari-cari sesuatu—apa saja yang bisa digunakan untuk menghancurkan kaca itu. Ia meraih bingkai foto dari meja dan melemparkannya sekuat tenaga ke arah cermin.
Cras!
Kaca pecah berhamburan. Namun pantulan itu tetap ada. Masih tersenyum. Masih menatapnya.
Dan di bawah cermin yang retak, sesuatu jatuh dari celah dinding. Sebuah kotak kecil berbalut kain usang. Dengan tangan gemetar, Alina membukanya.
Di dalamnya—foto lama. Potret dirinya waktu kecil… berdiri di depan cermin besar yang sama. Tapi di belakangnya, tampak siluet bayangan hitam yang menggenggam bahunya.
Alina terdiam.
“Dari dulu… dia sudah bersamaku…?”
Bab 6 – Teman Imajinasi
Langit siang itu mendung, menyelimuti rumah tua dengan cahaya kelabu yang membuat segalanya terlihat lebih muram. Setelah insiden semalam, Alina hampir tidak berani tidur. Ia duduk di ruang tengah, memandangi kotak kayu peninggalan Ratna yang kini terbuka di atas meja. Di dalamnya, selain foto masa kecil, ia juga menemukan sebuah buku kecil—buku harian miliknya sendiri, yang ia kira telah hilang bertahun-tahun lalu.
Jari-jarinya gemetar ketika membalik halaman-halaman itu. Ia membaca lembar demi lembar, dan di sana, tertulis satu nama yang membuat tengkuknya meremang.
“Rani.”
Teman imajinasinya saat kecil.
Rani adalah “teman” yang dulu selalu menemani Alina bermain saat ia tinggal di rumah ini bersama Ratna. Ayahnya sering menganggap itu hal biasa bagi anak-anak. Namun Ratna—bibinya—selalu memperingatkan agar Alina berhenti bermain dengan Rani. Ratna bahkan pernah menutup semua cermin di rumah hanya karena Alina mengaku sering melihat Rani dari balik pantulan.
Kini, kenangan itu terasa seperti kepingan teka-teki yang mulai menyatu.
Alina menutup buku harian itu dan menghela napas. Ada sesuatu yang salah sejak dulu, sejak ia mulai “berteman” dengan Rani. Dan kini, ketika cermin itu kembali aktif… bayangan tentang Rani pun mulai muncul kembali dalam mimpinya.
Sore harinya, saat Alina melangkah ke kamar mandi lantai atas, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku.
Di kaca yang berembun karena uap hangat, tergambar tulisan dari jari yang tak terlihat: “Aku rindu bermain bersamamu.”
Tangannya langsung menyeka permukaan kaca, berharap itu hanya ilusi. Tapi saat ia berbalik, sosok gadis kecil berdiri di lorong—bergaun putih, rambut panjang menjuntai, dan wajah yang… tak bisa dikenali dengan jelas. Seolah wajah itu berganti-ganti bentuk, seperti wajah seseorang yang lupa bagaimana rasanya menjadi manusia.
“Rani…?” bisik Alina, setengah tak percaya dirinya mengucapkan nama itu.
Sosok itu tidak menjawab. Ia hanya tersenyum… senyum yang retak dan kosong. Kemudian ia perlahan melangkah mundur, masuk ke dalam kegelapan lorong, dan menghilang begitu saja—tanpa suara, tanpa jejak.
Alina berlari kembali ke ruang tengah. Napasnya memburu. Ia mengambil buku harian Ratna lagi, mencari-cari halaman yang menyebut soal “Rani.” Di sana tertulis dengan huruf tebal:
“Rani bukan teman imajiner. Ia anak yang tertinggal. Dahulu pernah ada gadis kecil yang tinggal di rumah ini. Ia meninggal karena jatuh dari tangga, tepat di depan cermin besar itu. Sejak saat itu, ia tidak pernah benar-benar pergi. Ia muncul melalui pantulan. Ia memilih anak-anak sebagai ‘teman’—dan mencoba hidup kembali melalui mereka.”
Alina menggigit bibirnya. Tangga… tempat ia sering bermain saat kecil. Tempat ia sering melihat Rani tersenyum dari ujung anak tangga, menepuk-nepuk tangan kecilnya mengajak bermain.
Rasa dingin menyergap tubuhnya.
Malam itu, saat mencoba tidur, suara tawa kecil terdengar dari dalam cermin di kamar. Tawa pelan, putus-putus, seperti dari anak yang tertahan di ruang sempit.
Dan ketika Alina memberanikan diri melihat ke cermin…
Ada gambar tangan kecil menempel dari balik kaca, seolah ingin keluar. Di bawahnya tertulis dengan uap: “Kau temanku selamanya, kan?”
Bab 7 – Wajah di Balik Bayangan
Udara malam terasa pekat dan menggigit, seolah rumah tua itu semakin menolak kehadiran Alina. Lantai kayu berderit setiap kali ia melangkah, dan setiap sudut gelap seolah menyembunyikan sepasang mata yang mengawasinya tanpa henti. Tapi malam ini, Alina tidak bisa lagi menunda. Ia harus tahu—siapa sebenarnya yang bersembunyi di balik pantulan itu.
Sejak kemunculan sosok “Rani” di lorong dan suara tawa dari dalam cermin, Alina tidak lagi bisa membedakan mana kenyataan dan mana yang bukan. Ia mulai meragukan dirinya sendiri. Tapi satu hal yang pasti: bayangan di cermin itu bukan miliknya.
Dengan senter dan buku harian Ratna di tangan, Alina menyusuri koridor lantai dua. Tujuannya jelas: kamar Ratna. Di dalamnya ada sebuah lemari tua, dan berdasarkan catatan di halaman terakhir buku harian, lemari itu menyimpan “wajah sebenarnya” dari apa yang disebut Ratna sebagai penunggu bayangan.
Alina membuka pintu kamar Ratna yang berdebu. Aroma kayu lapuk dan sesuatu yang busuk langsung menyeruak. Ia menahan napas dan melangkah masuk, sorotan senter menari-nari di dinding penuh retakan. Di pojok ruangan, berdirilah lemari tua dengan ukiran bunga mawar yang telah pudar warnanya. Kunci gantungnya sudah berkarat.
Dengan tangan gemetar, Alina menarik pintu lemari.
Ckreeeek…
Di dalamnya, hanya ada sebuah cermin bundar kecil, setengah tertutup kain putih. Tapi saat Alina menarik kain itu, ia terperanjat. Pantulan di cermin bukan dirinya—melainkan sosok perempuan dewasa yang wajahnya rusak, matanya hitam legam, dan kulitnya seperti terbakar sebagian.
Perempuan itu menatap Alina… lalu tersenyum.
“Siapa kau…?” tanya Alina pelan.
Tak ada jawaban, hanya pantulan yang semakin jelas. Tapi perlahan, dari balik sosok mengerikan itu, muncul bayangan lain—wajah seorang anak kecil. Rani. Ia berdiri di belakang sosok perempuan itu, memegang ujung bajunya seperti seorang anak yang takut pada ibunya sendiri.
Tiba-tiba, suara Ratna terngiang dalam benak Alina, seperti gema dari masa lalu:
“Dia bukan hanya sekadar hantu. Dia adalah sisa jiwa yang ditinggalkan oleh kebencian dan dendam. Rani hanyalah wadah. Yang mengendalikan adalah wajah di balik bayangan.”
Alina melangkah mundur. Keringat dingin membasahi punggungnya. Ia menutup kembali lemari itu dengan cepat, namun saat ia berbalik hendak keluar…
Bayangan di cermin lemari kini berdiri di belakangnya.
Ia menjerit dan memukul udara, tapi tak ada yang bisa disentuh. Lampu kamar mendadak mati. Dalam gelap, ia hanya bisa mendengar napasnya sendiri… dan suara langkah kaki yang bukan miliknya.
Lalu… suara pelan, serak, dan sangat dekat:
“Aku telah memakai wajahmu… sekarang giliranku hidup di dunia nyata.”
Lampu kembali menyala.
Alina berdiri sendiri di kamar.
Atau… begitulah yang ia kira.
Karena saat menatap cermin di meja rias, pantulan dirinya tidak bergerak. Tubuhnya berbalik, tapi wajah di cermin tetap menghadap ke depan—dan tersenyum lebar.
Bab 8 – Cermin Kedua
Kehidupan Alina kini terperangkap dalam kabut ketidakpastian. Semalam, ia merasa dirinya kehilangan kendali—kendali atas tubuhnya, atas pikirannya, dan bahkan atas waktu yang berjalan. Cermin yang dulu hanya mencerminkan rupa kini menjadi sebuah pintu menuju dunia yang tak pernah ia kenali. Dunia yang penuh dengan bayangan yang ingin keluar dan menggantikan tempatnya.
Alina memandangi cermin besar di ruang tengah, tempat yang dahulu ia gunakan untuk bercermin setiap pagi. Kini, cermin itu bukan lagi sekadar benda mati—ia hidup, dan setiap kali ia menatapnya, sesuatu yang lain muncul di baliknya.
Hari itu, ia tidak sendirian di rumah. Ayahnya—yang sudah beberapa kali diteleponnya, namun tidak percaya dengan apa yang terjadi—akhirnya tiba setelah beberapa hari. Namun, sepertinya bahkan ia pun mulai merasakan adanya kejanggalan.
“Alina…” Suara ayahnya terdengar ragu. “Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Kenapa rumah ini terasa… berbeda?”
Ayahnya berdiri di pintu ruang tengah, memandang cermin yang kini dipenuhi bayangannya sendiri. Wajahnya tampak khawatir, namun tidak lebih dari itu.
“Cermin ini… tidak seperti dulu,” jawab Alina, suaranya bergetar. “Ada yang tak beres. Aku… aku tidak merasa seperti diriku sendiri lagi.”
Tiba-tiba, terdengar suara keras dari dalam ruang tamu. Suara benda jatuh. Alina berlari ke sana, hanya untuk menemukan cermin kedua yang ia belum pernah lihat sebelumnya—duduk di atas meja kayu besar, dikelilingi lilin-lilin yang terbakar.
Cermin itu lebih besar dan lebih gelap. Permukaannya licin, seolah menunggu untuk menyerap cahaya. Tidak ada bingkai, hanya bayangan gelap yang mengelilinginya, membuatnya tampak seperti memiliki kekuatan untuk menghisap dunia di sekitarnya.
“Ayah… itu cermin kedua,” kata Alina pelan, matanya tidak bisa lepas dari cermin itu. “Aku tahu ini bukan cermin biasa. Itu… itu yang membuat aku bisa melihat sosok-sosok itu. Bayangan yang bukan milikku.”
Ayahnya mendekat, ingin menyentuh permukaan cermin. Tetapi tepat saat jarinya hampir menyentuh kaca, sebuah tangan muncul dari dalam cermin. Tangan yang kecil, pucat, dan dengan kuku panjang yang mencakar-cakar kaca dari dalam, seperti mencoba keluar.
Ayah Alina mundur, wajahnya berubah pucat, dan mulutnya terbuka seolah ingin berteriak, namun tidak ada suara yang keluar. Cermin itu tidak hanya mencerminkan, ia menyerap.
“Ini tidak bisa dibiarkan,” kata ayahnya dengan suara serak, meraih tangan Alina dan menariknya mundur. “Kita harus menghancurkannya. Cepat!”
Namun saat mereka berbalik, bayangan mereka di cermin berdiri tegak di tempat mereka semula, dengan senyum lebar yang terbentuk perlahan, lebih lebar dari yang semestinya.
Alina menatap cermin itu dengan mata yang terbuka lebar. Tangan dari dalam cermin mulai keluar, menjalar ke arah tubuh mereka, menjepit mereka dalam cengkeraman yang dingin dan kuat. Ada sesuatu yang buruk sedang terjadi. Mereka bukan hanya sedang menghadapi bayangan—mereka menghadapi diri mereka yang hilang.
Tanpa berpikir panjang, Alina meraih sebuah potongan kaca yang terjatuh dari cermin pertama, dan dengan segenap tenaga, melemparkannya ke arah cermin kedua.
Cras!
Cermin itu pecah. Pecahan-pecahan kaca berhamburan, dan suara gemerincingnya seakan menggetarkan seluruh rumah. Namun, tidak ada perasaan lega. Sosok-sosok itu tidak hilang.
Mereka tetap ada. Di balik pecahan kaca, tampak pantulan wajah Alina dan ayahnya. Namun, kali ini, wajah mereka tidak bergerak, dan di belakang mereka berdiri sosok yang lebih besar. Sosok yang lebih tua, dengan wajah yang tampak tak manusiawi.
“Alina, jangan lihat itu!” teriak ayahnya.
Tapi sudah terlambat. Alina terpaku, matanya tidak bisa berpaling. Wajah yang ada di cermin itu bukan wajah ayahnya. Wajah itu terlalu asing—seperti wajah yang telah terkubur dalam waktu.
“Kita tidak bisa melarikan diri dari mereka…” kata suara itu, kini terdengar jelas. “Kita adalah bagian dari mereka.”
Bayangan itu mulai melangkah keluar dari pecahan kaca.
Bab 9 – Rumah yang Tidak Pernah Sunyi
Sejak cermin kedua pecah, Alina merasa rumah ini semakin hidup dengan cara yang sangat menakutkan. Tidak hanya suara langkah kaki yang mengerikan, tetapi juga bisikan yang tak pernah berhenti. Rumah yang dulu terasa aman, kini dipenuhi dengan kehadiran yang tak terlihat, tapi sangat nyata. Seperti ada sesuatu yang mengintai di setiap sudut, menunggu untuk keluar dari bayang-bayang.
Malam itu, hujan turun deras, menghantam atap rumah yang sudah tua. Suara gemericik air mengalir di selokan luar menambah kesunyian yang tegang. Di dalam, Alina duduk di ruang tamu, matanya tidak bisa berhenti memindai setiap inci ruangan yang penuh bayang-bayang yang tidak dikenal. Rumah ini tidak pernah sunyi.
Suara ketukan pintu yang pelan membuatnya tersentak. Ia menoleh cepat. Tidak ada siapa-siapa. Hanya pintu yang terkatup rapat, seperti biasa. Namun, ketukan itu berulang. Lebih keras. Lebih cepat.
Dengan hati berdebar, Alina berjalan menuju pintu depan, tangan gemetar di atas gagang pintu. Begitu pintu terbuka, ia terkejut mendapati hanya ada kegelapan di luar sana, kecuali kilatan petir yang menerangi sekejap wajahnya.
Tidak ada orang.
Namun, dari dalam rumah, terdengar suara lain—suara langkah kaki yang berjalan pelan dari arah lorong gelap. Alina menoleh, mata membelalak, dan jantungnya berdebar keras. Ia tahu suara itu bukan milik ayahnya, karena ayahnya sudah berada di ruang kerja, mengunci diri di sana.
Langkah kaki itu semakin jelas, lebih dekat, sampai akhirnya berhenti di depan ruang tamu. Dan kemudian… ada suara seperti helaan napas berat di dekat telinganya.
Ia menoleh dengan cepat, tapi lagi-lagi, hanya ada kegelapan yang semakin mendalam di dalam rumah. Setiap ruang terasa semakin sempit, seolah rumah ini menghisapnya perlahan.
“Siapa itu?” teriaknya, suaranya serak karena takut. Tidak ada jawaban. Hanya angin yang berdesir di celah-celah jendela.
Tiba-tiba, Alina merasakan sesuatu yang lebih mengerikan dari sekadar suara. Bayangan besar yang bergerak di balik cermin ruang tamu menatapnya dengan tatapan kosong yang sangat familiar—wajah itu adalah wajahnya sendiri. Tapi ada sesuatu yang salah. Mata bayangan itu kosong, tak bernyawa, sementara mulutnya membentuk senyuman yang semakin lebar dan lebih lebar.
“Kau tak bisa lari dariku…” bisik suara dari balik cermin. Suara yang familiar, namun sangat asing.
Alina mundur. Ia merasa sesuatu yang dingin menyentuh kulitnya, seakan tangan tak terlihat menggapai tubuhnya, menariknya mendekat ke cermin. Kekuatan itu semakin kuat. Ia ingin berteriak, namun mulutnya terkunci, seolah ada tangan lain yang menutupnya.
“Tidak…” ia berbisik dalam hati. “Aku harus pergi.”
Tapi saat ia berbalik, wajah-wajah itu sudah memenuhi setiap cermin di rumah ini. Wajahnya sendiri, namun berbeda. Ada yang tersenyum dengan penuh kebencian, ada yang menangis tanpa air mata, dan ada yang hanya diam, memandang dengan mata yang kosong.
Semua cermin yang sebelumnya hanya berfungsi untuk memantulkan, kini berubah menjadi pintu menuju dunia lain—dunia yang penuh dengan bayangan yang haus akan kehidupan. Rumah ini, yang dulu penuh dengan kenangan indah, kini menjadi penjara yang tak bisa lepas.
Tiba-tiba, suara ketukan datang lagi, lebih keras dari sebelumnya. Dari dalam dinding rumah. Alina berlari ke arah suara itu, menuju ruang bawah tanah, tempat yang tidak pernah ia jelajahi sejak kecil. Pintu basement itu terbuka dengan sendirinya. Tidak ada kunci yang bisa menghalangi.
Di bawah sana, di dalam kegelapan yang pekat, ia menemukan sesuatu yang tak pernah ia duga. Cermin besar, yang lebih tua dan lebih angker daripada semua cermin lainnya. Cermin itu dipenuhi debu, dengan ukiran yang hampir tidak terbaca. Namun, di bawah permukaan kaca, Alina bisa melihat sosok-sosok yang menatapnya—mereka terperangkap.
Ketika ia mendekat, wajah-wajah yang ada di cermin itu mulai bergerak. Ada bayangan tubuh yang tidak mengenal waktu—beberapa wajah tampak familiar. Mereka semua memiliki satu kesamaan: mereka adalah orang-orang yang pernah hidup di rumah ini. Mereka yang tidak pernah meninggalkan dunia ini.
“Alina…” suara itu terdengar begitu pelan, namun jelas. “Jangan biarkan mereka menguasaimu. Kau tak akan pernah keluar dari sini.”
Dengan mata yang penuh ketakutan, Alina mundur, menyadari bahwa rumah ini bukan hanya tempat tinggal—ini adalah perangkap.
Dan ia sudah terjebak.
Bab 10 – Terperangkap dalam Pantulan
Alina merasa dirinya semakin terperangkap. Tidak hanya oleh ruang dan waktu, tetapi juga oleh pantulan dirinya sendiri, yang kini tidak lagi mengenalinya. Cermin-cermin yang menghiasi setiap sudut rumah seolah menjadi penjara yang tidak dapat ia lari dari sana. Setiap bayangan yang muncul semakin mencengkeram jiwanya, membuatnya merasa seperti kehilangan identitas.
Malam itu, setelah kejadian mengerikan di ruang bawah tanah, ia kembali ke ruang tamu. Namun, rumah itu seolah mengubah wajahnya, seiring dengan semakin kuatnya pengaruh dari cermin-cermin tersebut. Bayangan yang memantul dari kaca kini bukan hanya mencerminkan dirinya, tetapi juga sosok-sosok asing yang tak pernah ia kenal.
“Siapa kalian?” Alina berbisik, matanya tak bisa lepas dari cermin yang terpasang di dinding ruang tamu. Wajah-wajah itu menatapnya, memandang dengan tatapan kosong yang semakin lebar. Mereka tidak bergerak. Mereka hanya menunggu.
Tiba-tiba, suara gemerisik terdengar dari belakangnya, diikuti oleh seseorang yang berbisik dari dalam cermin.
“Alina…” Suara itu terdengar begitu dalam dan berat, seperti datang dari kedalaman yang tak terjangkau. “Kau tidak bisa lari dari kami. Kami adalah bagian dari dirimu.”
Alina membalikkan badan, terkejut melihat pantulan wajahnya sendiri di cermin, tapi ada yang sangat berbeda. Matanya tidak lagi menunjukkan ketakutan. Sebaliknya, wajahnya tersenyum sinis—senyuman yang sangat asing, yang bukan berasal dari dirinya.
“Kau tidak bisa pergi. Semua jalanmu tertutup di sini.”
Setiap kata yang keluar dari pantulan itu terasa seperti cambukan di hatinya. Alina mundur dengan cepat, jantungnya berdegup kencang, tetapi semakin mundur, semakin banyak bayangan yang muncul. Setiap dinding seolah dipenuhi dengan cermin yang memantulkan dirinya—setiap kali ia menoleh, wajahnya yang berbeda muncul di tempat yang lain.
Rasa takut mencekam dirinya. Apakah ini benar-benar dirinya? Ataukah sesuatu yang jauh lebih jahat sedang menguasai dirinya, mengambil kendali atas tubuhnya?
Suaranya terputus, matanya tak lagi bisa menahan air mata yang mulai mengalir. Di balik cermin-cermin itu, bayangannya semakin banyak, seolah tak terbatas. Mereka bergerak, semakin mendekat, mengelilingi Alina, menutup setiap kemungkinan untuk kabur.
“Kalian… bukan aku…” kata Alina, hampir berbisik, tetapi suaranya tidak terdengar lagi. Ia merasakan jiwanya terguncang, seolah dipisahkan dari tubuhnya sendiri.
Mata-mata yang kosong itu semakin mendekat, dan tiba-tiba, salah satu bayangan—wajah yang sama, namun lebih gelap dan menakutkan—menarik dirinya lebih dalam ke dalam kaca.
Dengan seluruh kekuatan yang tersisa, Alina menjerit, mencoba untuk berlari menjauh dari bayangan yang semakin menggenggamnya. Namun, tidak ada tempat yang aman. Setiap langkah hanya membawa dirinya lebih dalam ke dalam labirin kaca yang tak berujung.
Di hadapannya, cermin besar yang pernah ia lihat di ruang bawah tanah, kini kembali muncul. Cermin itu, dengan semua rahasia kelam yang tersembunyi di dalamnya, memanggilnya.
“Masuklah, Alina…” suara itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat, lebih dalam. “Kau tidak bisa melarikan diri. Selama kau ada di sini, kami akan selalu ada di dalam dirimu.”
Alina terhuyung mundur, tak mampu menghindar dari apa yang sedang terjadi. Dia tidak bisa lagi membedakan mana yang nyata dan mana yang hanya bayangan. Setiap cermin kini bukan hanya sekadar alat untuk melihat diri. Mereka adalah pintu yang menghubungkannya dengan sesuatu yang lebih gelap, lebih menakutkan. Dan Alina mulai merasa, bahwa dia sudah tidak bisa kembali lagi.
Pada saat itu, ia merasa ada tangan besar yang menarik tubuhnya menuju kaca. Cermin itu semakin membesar, memuntahkan bayangan-bayangan yang lebih banyak, yang semuanya tampak seperti dirinya, namun dengan ekspresi yang penuh kebencian dan kemarahan.
Dengan mata yang terbuka lebar, Alina menyadari sesuatu yang mengerikan. Ia terperangkap di dalam pantulannya sendiri.
Tangan itu semakin kuat. Ia merasa tubuhnya mulai terangkat dari lantai, dipaksa untuk mendekati cermin besar yang kini membuka dirinya lebih luas lagi, seperti sebuah mulut raksasa yang siap menelannya.
Namun, tepat ketika hampir semuanya gelap, sesuatu terjadi.
Cermin itu retak. Pecahan kaca berterbangan. Semua bayangan yang memenuhi ruang tamu hancur, menghilang bersama suara keras dari kaca yang pecah. Alina jatuh ke lantai, tubuhnya lemas, namun masih bisa merasakan gemuruh ketakutan yang terus mengguncang hatinya.
Tapi apa yang ia lihat selanjutnya membuatnya terhuyung mundur.
Di atas lantai, di tengah pecahan kaca, ada wajah yang sama dengan dirinya, tetapi wajah itu sudah tidak lagi berpijar. Wajah itu gelap.
Dan sosok itu tersenyum.
Bab 11 – Arwah yang Marah
Pagi hari yang biasanya cerah kini terasa kelabu dan suram. Alina duduk terpaku di sudut kamar, tatapannya kosong, menatap dinding dengan penuh kebingungan. Semalaman dia tidak bisa tidur, dipenuhi dengan bayangan-bayangan mengerikan yang terus menghantuinya. Cermin-cermin itu, seperti iblis yang tak pernah berhenti mengejarnya, menari-nari di pikiran Alina.
Suara-suara aneh kembali terdengar. Lirihan pelan, di antara desiran angin, seolah menggoda kesadarannya untuk kembali terperangkap dalam dunia yang tak kasat mata. Arwah-arwah yang terperangkap di dalam cermin itu kini semakin sering berbicara, tidak hanya dalam mimpi, tetapi dalam kenyataan.
“Kau tidak akan pernah bisa keluar.”
“Kami akan menunggumu.”
Alina menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. Apakah ini benar-benar terjadi? Apakah dia hanya berhalusinasi? Ataukah semua yang terjadi adalah kenyataan yang mengerikan?
Namun, saat dia bangkit dan melangkah keluar dari kamar, sesuatu yang lebih mengerikan terjadi. Langkah-langkah berat terdengar di atas lantai kayu. Dengan cepat, Alina menoleh ke arah sumber suara, namun hanya ada keheningan yang mencekam. Seperti ada yang menunggu, mengintai dalam bayang-bayang.
Tidak ada yang tampak di lorong, namun aroma busuk tiba-tiba tercium. Aroma yang sangat familiar—seperti aroma tanah basah, busuk, dan sesuatu yang membusuk. Itu adalah bau yang sama dengan yang dia rasakan saat pertama kali membuka ruang bawah tanah, tempat cermin pertama kali menunjukkan bayangan mengerikan.
Dengan ragu, Alina berjalan ke arah ruang tamu, namun yang ia temui justru sesuatu yang jauh lebih mengerikan.
Di tengah ruangan, cermin besar yang sudah pecah kembali utuh. Cermin itu terlihat baru, namun ada sesuatu yang salah. Setiap pantulannya tidak hanya menampilkan Alina, tetapi juga sosok lain. Sosok itu, dengan wajah pucat dan mata yang menyala, menatapnya dengan penuh kebencian. Arwah-arwah itu, kini tak hanya terjebak di dalam kaca, tapi seolah berusaha keluar dari pantulannya, berusaha untuk meraih tubuhnya.
Alina merasakan jantungnya hampir berhenti berdetak. Wajah itu, wajah yang familiar, namun lebih menyeramkan dari sebelumnya, muncul dalam cermin dengan senyum penuh amarah.
“Kau mengganggu kami…” bisik suara itu, penuh kebencian. “Sekarang, saatnya membayar.”
Tiba-tiba, sebuah angin dingin berhembus begitu kencang, membuat seluruh lampu di ruangan itu berkelap-kelip. Semua cermin yang ada di rumah itu mulai bergetar, seolah terancam oleh sesuatu yang ingin keluar. Bayangan yang ada di dalamnya semakin bergerak, melompat-lompat, berusaha untuk keluar, menembus kaca yang mereka terperangkap di dalamnya.
Alina mundur dengan ketakutan yang tak bisa dia bendung. Suara langkah kaki itu kembali terdengar, lebih keras dan lebih jelas, seolah semakin mendekat. Ia berlari ke pintu, namun pintu itu terkunci dengan sendirinya. Ke mana pun ia pergi, keberadaan arwah-arwah itu semakin mendekat. Mereka tidak hanya mengintai, tetapi mereka ingin menariknya ke dalam dunia mereka.
Ketika Alina berbalik, ia melihat sesuatu yang tak bisa dia percaya. Dari dalam cermin besar, tangan yang terulur muncul, meraih lehernya dengan kekuatan yang luar biasa. Ada wajah yang tampak familiar, namun tidak manusiawi, dengan mata yang penuh amarah, seperti arwah yang terperangkap selama berabad-abad.
Alina merasakan dunia sekitarnya berputar. Setiap cermin di rumah itu kini berubah menjadi gerbang yang menghubungkannya dengan dunia lain, dunia yang penuh dengan arwah yang marah, arwah yang terperangkap dan menuntut balas dendam.
“Apa yang kalian inginkan?” Alina berteriak, tubuhnya gemetar, namun tidak ada yang bisa ia lakukan. Arwah-arwah itu hanya tertawa, tertawa dengan kebencian yang tak terkendali.
“Kau telah membuka jalan bagi kami,” kata suara yang datang dari cermin. “Sekarang, kami akan mengambil alih.”
Panik melanda. Alina berusaha berlari, mencoba menjauh, namun suara-suara itu semakin keras, semakin penuh amarah, semakin mengerikan. Cermin-cermin yang seharusnya tidak berbahaya kini menjadi senjata yang menjeratnya. Setiap gerakan yang ia lakukan hanya membawa dirinya semakin dekat pada bayangan-bayangan itu yang tak pernah berhenti mengejar.
Di luar cermin, di dunia nyata, alam pun tampak semakin gelap. Tidak ada lagi cahaya yang masuk ke rumah ini, hanya kegelapan yang semakin dalam, yang menyelimuti segalanya.
Alina sadar—bahwa tidak ada lagi tempat untuk lari. Dia tidak hanya terperangkap oleh cermin, tetapi juga oleh arwah yang marah, arwah yang kini menguasai rumah itu dan siap menariknya ke dalam dunia yang penuh dengan kesedihan dan kebencian.
Bab 12 – Kebenaran yang Terpantul
Alina terhuyung dalam keputusasaan. Cermin-cermin itu semakin menggila, seolah ingin menelan seluruh keberadaannya. Bayangan-bayangan yang tak bisa ia jelaskan kini mengelilinginya, mengurungnya dalam kegelapan yang semakin mencekam. Ia tidak tahu lagi mana yang nyata dan mana yang hanya ilusi. Namun, ada satu hal yang ia tahu dengan pasti: kebenaran yang selama ini ia cari, kini telah terpantul dengan jelas.
Langkahnya semakin lemah. Rasa takut yang begitu dalam mulai menggerogoti pikirannya. Setiap sudut rumah ini seolah menyimpan rahasia kelam yang tak bisa lagi disembunyikan. Sesuatu yang ia takuti, yang selama ini tersembunyi di balik cermin-cermin itu, kini mulai terungkap.
Di hadapannya, sebuah cermin besar yang sebelumnya tampak biasa saja kini menjadi pintu. Bukan hanya sebuah refleksi dirinya, tapi sebuah lorong menuju kebenaran yang terlupakan. Wajah Alina yang tampak dalam cermin itu mulai berubah, mulai memunculkan senyum yang tidak pernah ia kenali. Senyum yang penuh dengan kemarahan, yang kini menyiratkan sebuah rahasia gelap yang tersembunyi di balik setiap kilauannya.
“Kebenaran itu ada di sini, Alina.” Suara itu kembali terdengar, kali ini lebih dalam, lebih mengancam. Suara yang datang dari dalam cermin, seperti berbisik langsung di telinganya. “Kau hanya perlu melihatnya.”
Alina merasa tubuhnya gemetar. Suara itu terasa begitu dekat, seolah berasal dari dalam dirinya sendiri. Ia menatap pantulan wajahnya, merasakan detak jantung yang semakin kencang, hingga hampir terasa menghancurkan dada. Sesuatu yang tak terduga mulai membanjiri pikirannya. Semua ingatan yang hilang, yang ia coba lupakan, kini kembali dengan jelas.
“Apa yang terjadi padaku?” Alina berbisik, mulutnya kering. Namun, cermin itu seolah memiliki jawabannya, seolah membuka tabir yang selama ini ia tutupi.
Di dalam pantulan kaca, ia melihat wajah seorang wanita lain, yang hampir mirip dengannya. Sosok itu mengenakan gaun putih yang usang, wajahnya penuh dengan luka-luka lama, seolah telah hidup ratusan tahun di tempat yang sama. Senyumannya penuh dengan kebencian, dan matanya, mata yang dulu milik Alina, tampak kosong dan penuh dengan amarah.
“Kau… siapa?” suara Alina hampir tak terdengar. Ia merasakan tubuhnya mulai lemah, seolah seluruh energi yang ada terkuras habis.
Wanita di dalam cermin itu menatapnya tajam, dan dengan suara serak, ia berkata, “Aku adalah bayanganmu yang terlupakan.”
Alina terkejut. Bayangan yang terlupakan? Itu tidak masuk akal. Siapa wanita ini, dan apa hubungannya dengan dirinya?
Wanita itu, yang kini mulai menggerakkan tangan menuju kaca, berkata dengan pelan, “Kau adalah bagian dari kami. Semua yang terjadi di sini adalah akibat dari dosa yang tak pernah kau sadari. Kebenaranmu… akan mengubah segalanya.”
Perasaan terperangkap semakin menghimpit dirinya. Apakah semua yang ia alami ini ada hubungannya dengan dirinya yang dulu? Apa yang sebenarnya terjadi pada keluarganya, pada dirinya, yang membuatnya terjebak di rumah ini bersama dengan cermin-cermin yang penuh dengan misteri dan kemarahan?
Kebenaran itu terpantul dalam cermin, jelas dan tidak bisa lagi disangkal. Alina merasakan dunia sekitarnya mengabur, tak mampu lagi membedakan antara kenyataan dan bayangan yang ada di dalam kaca. Semua yang ia kenali, semua yang ia percayai selama ini, ternyata hanyalah sebuah kebohongan yang dibangun selama bertahun-tahun.
“Kau adalah pewaris dari kutukan ini, Alina.” Wanita itu berkata dengan suara yang semakin keras. “Ini semua adalah takdirmu.”
Kata-kata itu membuat Alina merasa seperti ada sesuatu yang besar dan gelap menguasai tubuhnya. Kutukan? Apa yang dimaksud dengan kutukan? Mengapa ia harus terjebak di dalamnya?
Di saat yang sama, Alina merasakan sebuah dorongan kuat yang memaksanya untuk menatap lebih dalam pada cermin itu. Setiap refleksi dirinya yang berbeda mulai menguap, seolah mengaburkan kenyataan, menggantikan semua yang ia ketahui dengan bayangan baru—bayangan yang mengungkapkan kebenaran yang tersembunyi di dalam keluarganya.
Tiba-tiba, sebuah gambar mengerikan muncul di kaca. Gambar itu menunjukkan sebuah tempat gelap, penuh dengan batu nisan yang usang. Di tengahnya, sebuah tulisan samar terlihat: “Mereka yang tak pernah ditemukan.” Dan di bawahnya, sebuah nama muncul, nama yang sangat dikenalnya.
“Ibu…” kata Alina, suara tercekik. Di bawah nama itu, ada sebuah tanggal, sebuah tanggal kematian yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya.
Kebenaran yang tersembunyi selama ini mulai terungkap—bahwa keluarga Alina memiliki sejarah yang lebih kelam dari yang ia bayangkan. Ibunya, yang selama ini selalu menghindari pembicaraan tentang masa lalu, ternyata telah terlibat dalam sebuah ritual gelap yang melibatkan cermin-cermin ini. Dan Alina, tanpa sadar, telah mewarisi kutukan itu.
“Kebenaran itu ada di sini, di dalam dirimu, Alina. Kau adalah bagian dari segalanya,” suara itu kembali bergema, seolah menggema di seluruh rumah.
Alina terjatuh ke lantai, tubuhnya lemas. Kini, semua yang ia lihat di cermin tidak lagi terasa asing. Ia telah melihat kebenaran yang selama ini disembunyikan. Dan, kebenaran itu tidak akan pernah membiarkannya pergi.
Bab 13 – Pecahan Dosa
Alina merasakan dadanya sesak, seolah seluruh udara di sekitar rumah ini telah hilang. Kebenaran yang baru saja terungkap menghantamnya dengan keras, seperti hantaman batu yang jatuh dari ketinggian. Kutukan itu—yang tak pernah ia sadari—sekarang menjadi bagian dari hidupnya, seperti belenggu yang tak bisa dilepaskan.
Langit di luar rumah tampak kelabu, awan-awan berat menggantung rendah, seolah mencerminkan suasana hati Alina yang kini penuh dengan kebingungan dan ketakutan. Ia meraba dada, mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. Namun, bayangan-bayangan itu—yang seharusnya sudah hilang—masih terus mengikutinya. Mereka hadir dalam setiap cermin, menatapnya dengan tatapan kosong dan penuh kebencian.
“Kau tidak bisa lari dari masa lalu, Alina.” Suara itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas, lebih menuntut. “Semua yang terjadi adalah akibat dari dosa yang telah kau warisi.”
Kata-kata itu bergaung di dalam pikirannya. Dosa. Begitu sederhana, namun begitu mengerikan. Ia merasa terperangkap dalam lingkaran tak berujung, di mana setiap langkah yang diambilnya hanya semakin mendekatkannya pada kehancuran. Dosa yang diwariskan oleh ibunya, yang sekarang semakin mengungkapkan bahwa dirinya tak lebih dari pecahan dari masa lalu yang kelam.
Alina berjalan menuju ruang tamu dengan langkah gontai. Setiap langkahnya terdengar seperti gong yang menggema di tengah keheningan rumah itu. Cermin-cermin yang ada di sekitar rumah semakin meresahkan. Mereka kini seolah memiliki kehidupan sendiri, membentuk bayangan yang bergerak, tak terikat oleh waktu dan ruang.
Di tengah ruangan, sebuah cermin besar yang sebelumnya terlihat biasa kini tampak lebih mengerikan. Pantulannya lebih gelap, lebih mengancam. Dari dalam kaca itu, bayangan sosok yang tak dikenal muncul. Seorang pria dengan wajah buram, seolah setengah tenggelam dalam kegelapan. Hanya sepasang mata yang bersinar terang, menatapnya tajam.
“Kau telah sampai pada titik tak kembali, Alina.” Pria itu berkata, suaranya serak, seperti berbisik dari dunia lain.
Alina terdiam, matanya terfokus pada bayangan pria itu. Siapa dia? Mengapa wajahnya terasa begitu akrab, meski ia tak pernah mengenalnya? Apa yang diinginkan arwah ini darinya?
“Kau tahu siapa aku, bukan?” Pria itu melanjutkan, seolah membaca pikirannya. “Aku adalah bagian dari masa lalu yang tak terungkap. Aku adalah dosa yang telah tertimbun dalam keluarga ini selama bertahun-tahun.”
Tiba-tiba, semua ingatan Alina kembali menyeruak. Luka-luka lama yang ia coba lupakan kini terbuka, satu per satu. Wajah-wajah yang telah menghilang dalam hidupnya kini kembali datang, mengingatkan akan setiap kesalahan yang pernah terjadi. Ibunya, yang selama ini ia anggap sebagai sosok yang baik dan penuh kasih, ternyata menyimpan rahasia kelam. Rahasia yang kini menghantuinya.
“Ibumu…” suara pria itu terdengar lebih dalam. “Dia yang pertama kali membuka jalan ini.”
Ibu…? Alina merasa dunia sekitarnya berputar. Semua yang ia percayai selama ini tampak berantakan, seperti pecahan cermin yang tak bisa disatukan lagi. Ia tak bisa menerima kenyataan bahwa ibunya terlibat dalam ritual kelam yang melibatkan arwah-arwah yang terperangkap, dan bahwa dosa itu kini diwariskan kepadanya. Dosa yang terpantul dalam setiap cermin yang ada di rumah ini.
Bayangan pria itu semakin mendekat, tubuhnya seolah meresap ke dalam kaca, keluar dari cermin. Kehadiran arwah itu kini semakin nyata, semakin mengancam.
“Kau tak akan bisa melarikan diri dari semua ini.” Pria itu menyeringai, memperlihatkan gigi-gigi tajam. “Kau adalah pecahan dari dosa yang tak pernah bisa diselesaikan.”
Alina merasa tubuhnya kaku. Segalanya terasa semakin menakutkan, dan ia merasa seperti terjebak di dalam dunia yang bukan miliknya. Di dunia yang dikuasai oleh arwah-arwah yang menuntut balas dendam. Ia tak bisa melarikan diri, karena setiap langkah yang ia ambil hanya semakin memperburuk keadaan. Cermin-cermin itu, yang dulu hanya sebuah benda biasa, kini menjadi pengingat bagi kesalahan yang tak bisa dihindari.
Namun, dalam keputusasaan itu, Alina mendengar suara lain, suara yang lebih lembut namun penuh dengan harapan. Suara ibunya.
“Anakku… jangan biarkan dirimu terperangkap.” Suara itu terdengar dari dalam cermin, namun kali ini tidak seperti suara arwah yang marah. “Kau bisa menghentikan semuanya, tetapi hanya jika kau menghadapinya dengan berani.”
Alina menatap cermin dengan penuh kebingungan. Ibunya? Apakah itu benar-benar suara ibunya? Ataukah hanya imajinasi yang semakin kacau? Namun, satu hal yang ia tahu dengan pasti: jika ada cara untuk mengakhiri kutukan ini, maka ia harus menemukan kebenaran yang lebih dalam, yang tersembunyi di balik setiap cermin yang ada di rumah ini.
Pecahan dosa yang membelenggunya kini harus disatukan. Untuk itu, Alina harus menghadapi setiap kegelapan, menghadapi setiap bayangan yang menuntut balas dendam, dan menemukan jalan keluar dari cengkeraman arwah-arwah yang terperangkap ini.
Bab 14 – Pengorbanan Terakhir
Malam itu, rumah tua yang sepi seolah menelan seluruh suara di sekitarnya. Angin berdesir lembut di luar jendela, tapi udara dalam rumah terasa tegang, sesak, penuh dengan kesunyian yang menekan. Alina berdiri di hadapan cermin besar yang kini terasa lebih menakutkan dari sebelumnya. Cermin yang menjadi saksi bisu dari semua penderitaan, yang menyimpan begitu banyak rahasia, kini seolah mengingatkan Alina bahwa waktunya hampir habis.
Dia harus membuat pilihan. Pilihan yang tak bisa dihindari, sebuah keputusan yang akan mengubah hidupnya—atau mungkin, mengakhiri segalanya.
Sudah lebih dari seminggu sejak suara itu pertama kali muncul, sejak arwah pria misterius itu mengungkapkan bahwa kutukan ini hanya bisa dihentikan dengan sebuah pengorbanan. Pengorbanan yang begitu besar, begitu terlalu, hingga hampir tak ada yang sanggup melakukannya. Namun, tak ada jalan lain. Alina tahu, ini adalah jalan terakhir.
Pecahan dosa yang diwariskan, tak hanya menghantui dirinya, tetapi juga mengancam keberadaan orang-orang yang ia cintai. Ibunya, yang dulu penuh kasih, ternyata adalah bagian dari kegelapan yang selama ini menyelimuti rumah ini. Dosa-dosa yang tidak hanya berakar pada masa lalu, tetapi juga telah tumbuh menjadi sesuatu yang lebih jahat—sesuatu yang telah menguasai banyak jiwa, menuntut balas dendam dari generasi ke generasi.
“Alina…” Suara itu kembali terdengar, kali ini lebih dekat, lebih nyata. Pria itu muncul dari bayangan cermin, wajahnya semakin jelas, dan Alina merasakan jantungnya berdegup semakin kencang. “Kau sudah sampai pada akhir jalan. Pengorbananmu adalah satu-satunya cara untuk memutuskan siklus ini.”
Bayangan pria itu menatapnya tajam. “Kau harus memilih antara menghentikan kutukan ini atau membiarkan dirimu dan semua orang di sekitarmu terjerumus ke dalam kegelapan yang tak pernah berakhir.”
Alina menelan ludah, mulutnya terasa kering. Pengorbanan seperti apa yang dimaksud pria itu? Apa yang harus ia korbankan? Selama ini, ia telah kehilangan banyak hal: kenangan indah dengan ibunya, rasa aman yang dulu ia miliki, bahkan jiwanya yang kini seolah terkoyak karena terjebak dalam permainan arwah-arwah yang tak tahu puas.
Namun, ada satu hal yang lebih penting dari semuanya: kehidupan orang-orang yang ia cintai. Jika pengorbanan itu adalah cara untuk menyelamatkan mereka, maka Alina tak akan ragu. Namun harga yang harus dibayar begitu tinggi.
Dia berbalik, menatap cermin yang besar itu. Bayangan dirinya kini tampak kabur, bercampur dengan wajah-wajah yang pernah ia kenal—ibunya, ayahnya, bahkan teman-temannya. Semua terlihat seperti dalam mimpi yang kelam. “Apa yang harus aku lakukan?” pikirnya, hati yang gelisah.
Dengan langkah berat, Alina mendekatkan dirinya ke cermin. Suara pria itu kembali mengisi ruang. “Jangan ragu. Pilihanmu akan menentukan tak hanya nasibmu, tetapi juga nasib dunia di sekitarmu.”
Cermin itu kini bergetar, memantulkan cahaya yang lebih terang dari biasanya. Bayangan ibunya muncul di hadapannya, wajahnya tampak penuh penyesalan. “Anakku,” suara ibunya terdengar lembut, penuh kehangatan meski di tengah kegelapan yang semakin pekat, “aku tahu ini sulit, tapi kau harus melakukannya. Untuk kita semua.”
Alina merasakan beban di pundaknya semakin berat. Hatinya retak, namun ada sebuah kekuatan yang mengalir dalam dirinya, kekuatan yang belum pernah ia sadari sebelumnya. Pengorbanan itu bukan hanya untuk menghentikan kutukan, tetapi juga untuk menebus semua kesalahan, untuk membebaskan arwah-arwah yang terperangkap, termasuk arwah ibunya yang kini tampak menyatu dengan kegelapan.
“Aku akan melakukannya.” Suara Alina bergetar, namun penuh tekad. Ia tahu bahwa hanya dengan berani menghadapi pengorbanan terakhir inilah ia bisa membebaskan dirinya dan orang-orang yang ia cintai.
Cermin itu pecah, suaranya menggema di seluruh rumah, menggetarkan jantung Alina. Dari dalam cermin, muncul cahaya terang yang menyalakan seluruh ruangan, tetapi tak ada rasa hangat di dalamnya. Hanya kegelapan yang semakin mengelilingi. Dalam kilatan cahaya tersebut, bayangan arwah-arwah yang terperangkap mulai keluar, mereka memandangnya dengan tatapan kosong, penuh harapan dan kebencian.
Alina memejamkan mata, merasakan seluruh tubuhnya dipenuhi oleh perasaan yang sulit dijelaskan. Dalam hitungan detik, ia tahu apa yang harus dilakukan. Menghentikan kutukan ini membutuhkan lebih dari sekedar keinginan untuk bebas. Ini membutuhkan pengorbanan yang akan mengubahnya selamanya. Ia harus menjadi jembatan antara dunia ini dan dunia arwah, untuk membawa kedamaian bagi mereka yang tersisa, sekaligus menebus dosa yang telah diwariskan.
Dengan tekad bulat, Alina melangkah ke tengah ruangan. Arwah ibunya terlihat lagi, kali ini lebih jelas, dengan senyuman yang penuh kasih.
“Selamatkan mereka, Alina.” Ibunya berkata, dan kali ini suaranya penuh dengan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Tiba-tiba, Alina merasakan tubuhnya terangkat, dan ia tahu, saat itu, pengorbanan terbesarnya dimulai.
Bab 15 – Cermin yang Sunyi
Pagi itu, rumah yang dulu selalu dipenuhi dengan kegelisahan, kini tampak sunyi. Alina duduk di hadapan cermin besar yang pernah menjadi sumber segala ketakutannya. Cermin itu kini berbeda. Tidak ada lagi kilatan misterius, tidak ada lagi wajah-wajah yang muncul dengan wajah muram dan penuh kemarahan. Tidak ada lagi suara-suara yang memanggilnya dalam bisikan yang mengerikan. Cermin itu kini… kosong. Hanya ada pantulan Alina yang tenang, wajahnya yang lebih dewasa, lebih kuat dari sebelumnya.
Namun, di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang masih mengganjal. Sesuatu yang mengingatkan Alina bahwa meskipun kutukan telah terhenti, luka-luka yang ditinggalkan oleh masa lalu tetap membekas dalam dirinya. Pengorbanannya tidak akan pernah bisa dihapuskan. Kematian, penderitaan, dan kehilangan telah menorehkan bekas yang dalam di dalam dirinya, bekas yang tidak akan pernah hilang, meskipun ia telah berhasil mengakhiri segala kegilaan yang dimulai dari cermin itu.
Cahaya matahari yang masuk ke dalam ruangan terasa hangat di kulitnya, tetapi hati Alina tetap terasa dingin, seperti ada sesuatu yang hilang. Arwah ibunya, yang selama ini ia perjuangkan untuk dibebaskan, kini tidak ada lagi. Ia sudah pergi. Pengorbanan yang ia lakukan telah membawa kedamaian, tapi juga membuatnya kehilangan bagian penting dari dirinya.
“Apakah ini akhir dari segalanya?” pikir Alina. Ia menatap cermin itu, mencoba mencari jawaban yang tidak bisa ia temukan. Cermin itu kini hanya memantulkan wajahnya sendiri, tidak ada lagi bayangan atau suara yang memanggil. Semua yang terjadi terasa seperti mimpi yang kelam, seperti sebuah kisah yang kini telah berakhir. Namun, ada sebuah pertanyaan yang terus menghantuinya: Apakah benar-benar sudah berakhir?
Alina menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu bahwa kutukan telah berhenti, tetapi di dalam hatinya, ia merasakan perasaan kosong yang tidak bisa ia jelaskan. Ada rasa kehilangan yang tidak bisa digantikan, sebuah kekosongan yang menuntutnya untuk mencari jawaban lebih dalam tentang dirinya, tentang masa lalu yang masih menyelubunginya.
Tiba-tiba, sesuatu terjadi. Cermin yang semula tampak tenang, mulai bergetar. Secara perlahan, permukaan cermin itu berubah, seolah ada sesuatu yang berusaha untuk muncul kembali dari dalamnya. Alina terkejut, tubuhnya kaku, seolah terikat oleh kekuatan yang tak terlihat. Dalam refleksinya, ia melihat wajah-wajah yang familiar, namun berbeda—wajah ibunya, yang kini tampak lebih tua, lebih lelah, dan lebih muram daripada yang pernah ia lihat.
“Anakku…” Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih nyata, lebih dekat. “Jangan lupakan apa yang telah terjadi. Pengorbananmu tidak sia-sia, tetapi ada hal lain yang masih harus kau hadapi.”
Alina terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. Arwah ibunya tidak benar-benar pergi. Ia masih ada, berada di dalam dirinya, di dalam ingatan dan perasaannya yang tak pernah padam. Meskipun cermin itu tidak lagi menjadi sumber ketakutannya, ia tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar mengakhiri kutukan. Ia harus belajar untuk menerima kenyataan ini—kenyataan bahwa pengorbanan bukan hanya tentang menghapus masa lalu, tetapi juga tentang menghadapi kenyataan bahwa segala yang telah terjadi tetap menjadi bagian dari dirinya.
“Teruslah hidup, Alina.” Suara ibunya lembut, penuh harapan. “Cermin ini, meskipun kini sunyi, akan selalu mengingatkanmu bahwa hidup adalah tentang pilihan dan keberanian.”
Dengan perlahan, cermin itu kembali seperti semula, tidak ada lagi getaran, tidak ada lagi bayangan yang mengintip dari dalamnya. Alina menatap pantulan dirinya sendiri dengan tatapan penuh kebijaksanaan. Cermin itu bukan lagi simbol ketakutan, tetapi simbol dari segala yang telah ia hadapi dan terima. Kini, Alina tahu, hidupnya adalah cermin itu—tergantung padanya untuk melihatnya dengan cara yang baru.
Alina berjalan menjauh dari cermin itu, langkahnya kini lebih pasti, lebih kuat. Meski dunia di luar sana masih penuh dengan tantangan, ia tahu bahwa ia telah melewati ujian terbesar dalam hidupnya. Tidak ada lagi bayangan yang mengancam, tidak ada lagi suara yang memanggilnya. Yang ada hanyalah dirinya, dengan segala kekuatan dan kelemahannya.
Cermin itu, yang dulu penuh dengan kegelapan dan ketakutan, kini hanya menyisakan keheningan yang membawa kedamaian. Sebuah akhir yang bukan berarti berakhir, tetapi sebuah permulaan baru. Alina tahu, meskipun cermin itu sunyi, ia akan terus hidup, dengan atau tanpa bayangan yang menghantuinya.***
——————————-THE END—————————-