• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

RAHASIA DI BALIK TOPENG

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

by SAME KADE
May 10, 2025
in Action
Reading Time: 29 mins read

Bab 1: Kota yang Terkurung

Langit kota Valdora diselimuti kabut abu-abu pekat yang tak pernah benar-benar pergi sejak tembakan pertama dilepaskan enam bulan lalu. Suara derap sepatu tentara yang berpatroli di jalan-jalan utama terdengar seperti palu godam yang memukul kesunyian. Tak ada lagi tawa anak-anak, tak ada lagi pasar yang riuh, dan tak ada lagi suara azan dari menara tua masjid yang kini berubah menjadi pos penjagaan musuh.

Revan berdiri di atas atap sebuah gedung apartemen rusak, mengamati dengan mata tajam pergerakan pasukan asing di bawah sana. Wajahnya tertutup debu dan bekas luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Di balik jaket kulit tuanya, terselip pistol semi-otomatis dan pisau tempur yang sudah menemaninya sejak hari pertama perang meletus.

Kota ini bukan lagi rumah bagi siapa pun. Valdora telah berubah menjadi penjara besar tanpa jeruji, di mana harapan dikurung bersama ketakutan.

Revan menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam amarah yang berkecamuk di dadanya. Ia kembali ke kota ini bukan untuk mencari pengampunan, melainkan untuk menyelesaikan apa yang dulu ia tinggalkan. Di masa lalu, ia adalah bagian dari unit bayangan pemerintah—pasukan yang tak diakui secara resmi, namun selalu bergerak di garis depan misi berbahaya. Tapi pengkhianatan dari dalam membuatnya kabur, menyisakan luka dan penyesalan yang masih menganga.

Di jalan bawah, sebuah kendaraan lapis baja melintas pelan. Bendera musuh berkibar di atasnya—merah gelap dengan lambang tengkorak bersayap. Revan memicingkan mata. Di dalam kendaraan itu, ia melihat seseorang: pria berbadan tegap dengan tanda pangkat emas menyala di bahunya.

“Dia masih hidup…” gumam Revan lirih. “Dan dia di sini.”

Itu adalah Jenderal Alviero, komandan tertinggi pasukan pendudukan, dan orang yang telah membantai ratusan warga sipil dalam satu malam. Termasuk, kekasih Revan—Lira.

Revan mengepalkan tangan. Dendam yang ia pendam selama bertahun-tahun kini menyala kembali.

Malam mulai turun perlahan. Di kejauhan, lampu kota yang redup menyala satu per satu, tapi bukan untuk memberi terang, melainkan untuk memperjelas target bagi drone pembunuh yang terbang rendah di langit. Kota ini bukan tempat untuk bermimpi—ini ladang pembantaian.

Namun bagi Revan, inilah awal dari perlawanan. Ia menyentuh kom radio kecil di sakunya dan berbisik,
“Target terlihat. Tahap satu dimulai.”

Di balik kota yang terkurung ini, perang yang sesungguhnya baru saja dimulai.

Bab 2: Api di Tengah Bayangan

Langkah Revan menggema di lorong sempit yang gelap dan lembap. Aroma besi karat dan tanah basah memenuhi hidungnya saat ia menuruni anak tangga tua yang berderit setiap kali diinjak. Ini bukan pertama kalinya ia memasuki tempat seperti ini, tapi tetap saja ada sesuatu yang membuat punggungnya merinding.

Lorong bawah tanah ini dulunya adalah bagian dari sistem pembuangan air kota. Kini, ia menjadi tempat persembunyian terakhir bagi orang-orang yang menolak tunduk. Di balik pintu baja yang berkarat, suara-suara lirih terdengar—bisikan harapan yang nyaris padam, tapi belum benar-benar mati.

Begitu pintu dibuka, aroma kopi murahan dan pelumas senjata menyambutnya. Beberapa wajah menoleh. Mata mereka penuh curiga, tapi juga lelah. Di antara mereka, berdiri seorang perempuan dengan rambut diikat kencang dan seragam tempur yang sudah lusuh. Ia melangkah maju, menghampiri Revan dengan tatapan tajam.

“Jadi kau yang dikirim oleh ‘Bayangan’?” suaranya datar namun tegas.
Revan mengangguk. “Revan. Mantan Operasi Hitam. Sekarang hanya seseorang yang ingin menyelesaikan urusan lama.”
Perempuan itu menyipitkan mata. “Kau pembawa masalah, atau penyelesai masalah?”
Revan menatapnya lurus. “Tergantung siapa yang bertanya.”

Ia adalah Kirana, pemimpin kelompok perlawanan yang dikenal sebagai Nyala Senyap—kelompok kecil namun mematikan yang beroperasi di celah-celah kota yang telah dijajah. Kirana adalah simbol semangat terakhir Valdora. Dan kini, dia hanya punya dua pilihan: mempercayai Revan atau membunuhnya sebelum dia menjadi beban.

“Perkenalkan kami dengan rencanamu,” desaknya.
Revan membuka gulungan peta tua dari ranselnya, memperlihatkan skema jalur listrik utama kota. Ia menunjuk ke satu titik merah.
“Ini jantungnya. Pusat kendali komunikasi musuh. Jika kita menghancurkannya, mereka akan buta selama minimal dua belas jam.”
Kirana terdiam sejenak, lalu tersenyum samar. “Gila. Tapi aku suka.”

Dari balik bayang-bayang, salah satu anggota perlawanan bertepuk pelan. Yang lain mulai bergerak, menyiapkan senjata dan peralatan. Percikan semangat mulai muncul—api kecil yang menyala di tengah kegelapan yang telah terlalu lama membungkus kota ini.

Namun, saat mereka tengah berdiskusi, Revan mendadak diam. Suaranya tertelan kenangan yang muncul tiba-tiba. Ia melihat pantulan dirinya di permukaan logam helm—mata yang dulu penuh keyakinan, kini dipenuhi luka dan kehampaan.

Kilasan ingatan menyeruak. Lira, berdiri di tengah reruntuhan rumah sakit yang terbakar, darah mengalir di keningnya. Suaranya bergetar waktu itu, “Tinggalkan aku, Rev. Tapi jangan tinggalkan rakyatmu.”

Ia tidak bisa menyelamatkan Lira. Tapi mungkin… hanya mungkin… ia bisa menyelamatkan kota ini.

“Kalau aku gagal,” kata Revan pelan, “jangan cari aku. Anggap saja aku sudah mati sejak lama.”

Kirana menatapnya dalam diam. “Kita semua sudah mati sejak hari pertama kota ini dijajah. Tapi yang membuat kita tetap hidup… adalah kemarahan. Dan kemarahan itu… kini punya pemimpin baru.”

Malam itu, di ruang bawah tanah kota yang remuk, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, mereka punya sesuatu yang menyerupai harapan.

Dan Revan tahu, ketika api menyala di tengah bayangan, satu percikan bisa menyalakan revolusi.

Bab 3: Jaringan Rahasia

Waktu menunjukkan pukul 02.47 dini hari ketika Revan dan dua anggota perlawanan lainnya, Tama dan Siska, menyelinap melalui saluran air tua yang membentang di bawah kompleks industri barat. Suara tetesan air yang berulang-ulang menggema seperti detak waktu yang terus menagih keberanian mereka.

Misi mereka jelas: menyusup ke pusat logistik pasukan pendudukan untuk mencuri data tentang jalur komunikasi dan distribusi senjata musuh. Tempat itu dikenal sebagai Sarang Besi—bekas gedung kantor teknologi yang kini disulap menjadi markas penyimpanan, penuh penjagaan dan kamera pengawas.

Revan merangkak lebih dulu. Senter kecil di helmnya menyala redup, cukup untuk melihat peta jalan sempit yang sudah ia pelajari semalam. Setiap langkah mereka harus presisi. Salah satu jebakan atau sensor pergerakan bisa mengakhiri nyawa siapa pun yang lalai.

“Berhenti,” bisik Revan. Ia mengangkat tangannya, menunjuk ke arah kabel tipis melintang tak kasatmata.
“Tripwire. Mereka memasang perangkap bahkan di tempat yang tak mereka sangka akan dilalui.”

Tama, mantan teknisi jaringan yang kini berubah menjadi peretas perlawanan, mengeluarkan alat pemotong kecil. Dengan gerakan hati-hati, ia menjinakkan jebakan itu dalam waktu kurang dari dua menit.
“Masih seperti hacking dulu,” gumamnya. “Hanya saja kali ini, kalau gagal, bukan data yang hilang… tapi kepala.”

Setelah berhasil melewati lorong sempit, mereka tiba di ruang bawah tanah gedung tersebut. Pintu besi anti-ledak berdiri kokoh di hadapan mereka. Di sebelahnya, panel digital dengan pemindai retina—pengamanan tingkat tinggi milik pasukan pendudukan.

“Pintunya dikunci biometrik. Kita butuh identitas petugas aktif,” kata Siska.
Revan terdiam sejenak. Ia membuka ranselnya dan mengeluarkan bola logam kecil berwarna hitam.
“Ini identitasnya.”
Siska menatap bingung, lalu menyadari—bola itu adalah pemindai mata portabel hasil rampasan dari musuh.
“Kau mencuri bola mata itu?”
“Bukan mencuri. Mengambil dari musuh yang tak akan memakainya lagi,” jawab Revan datar.

Pintu terbuka dengan suara mendesing pelan. Di dalamnya, ruangan server terbentang, berisi ratusan unit komputer yang memancarkan cahaya biru redup. Tama segera bekerja, menyalin data ke dalam chip terenkripsi. Sementara itu, Revan menyisir ruangan—dan menemukan sesuatu yang tak mereka perkirakan.

Sebuah folder fisik tersembunyi di balik lemari baja. Isinya: peta jalur komunikasi bawah tanah, daftar nama informan rahasia, dan satu hal yang membuat darah Revan berdesir—foto lama seseorang yang sangat ia kenal.

Lira.

Namun bukan sebagai korban. Di foto itu, Lira mengenakan seragam musuh—lengkap dengan insignia khusus milik unit intelijen.
“Apa maksudnya ini?” bisik Revan. Suaranya nyaris tak terdengar.
“Jangan bilang… dia…” Siska terdiam, tak berani menyelesaikan kalimatnya.

Mata Revan tetap terpaku pada foto itu. Ada dua kemungkinan: Lira masih hidup… atau dia adalah bagian dari rencana yang lebih besar.
Dan jika benar, maka semua yang ia percayai selama ini, bisa jadi sebuah kebohongan.

Tama menyelesaikan unduhan data. “Kita harus pergi sekarang. Drone patroli bergerak ke arah ini.”

Mereka meninggalkan ruangan dengan napas tercekat. Tapi Revan tahu, malam ini mereka tidak hanya mencuri informasi. Mereka membuka pintu ke sebuah rahasia yang jauh lebih dalam—dan lebih gelap.

Di luar, lampu kota masih berpendar seperti biasa. Tapi di balik dinding-dinding beton itu, sebuah jaringan rahasia mulai terungkap. Dan di tengahnya… mungkin berdiri seseorang yang telah lama ia anggap mati.

Bab 4: Darah di Jalan Sempit

Subuh merayap pelan di atas langit Valdora yang kelabu. Kabut masih menggantung rendah, membalut gang-gang sempit dengan hawa dingin dan sunyi. Di jalanan kecil di distrik selatan—tempat yang disebut warga sebagai “Perut Kota”—hiruk-pikuk perang tak terdengar, tapi ketegangannya terasa di udara.

Revan, Kirana, dan dua anggota tim perlawanan—Daus dan Nina—bergerak cepat, menyusuri lorong sempit di antara bangunan tua yang dindingnya penuh coretan dan peluru. Mereka baru saja menerima informasi dari data yang dicuri: ada titik pertemuan rahasia antara pasukan pendudukan dan mata-mata lokal yang disamarkan sebagai warga biasa.

Jalan sempit itu sunyi, terlalu sunyi.

“Kau yakin ini jalur yang benar?” tanya Nina sambil menoleh cepat ke belakang.
“Data yang kita curi menyebutkan koordinat ini,” jawab Revan. “Mereka bertemu di rumah tua dengan lambang silang merah di pintunya.”
Daus menunjuk ke depan. “Itu dia.”

Tapi sebelum mereka sempat bergerak lebih jauh, suara peluit panjang mendadak memecah kesunyian. Lalu, peluru pertama ditembakkan.

“Serangaaaaan!” teriak Kirana.

Mereka terjebak.

Dari jendela-jendela bangunan tua, muncullah pasukan musuh berpakaian sipil—unit khusus yang disebut Pemburu Bayangan. Mereka bukan tentara biasa. Mereka dilatih untuk bertarung di ruang sempit, cepat, tanpa ampun. Tak ada peringatan. Tak ada belas kasihan.

Revan segera berlindung di balik tumpukan kayu lapuk dan membalas tembakan. Daus jatuh terkena peluru di bahu, darah mengalir deras dan membasahi gang sempit yang hanya selebar satu mobil. Nina menyeretnya mundur, mencari tempat aman di balik dinding retak.

“Kita harus keluar dari sini!” seru Kirana sambil menembakkan peluru ke arah atas. “Mereka sudah mengepung!”

Revan melirik ke sisi kiri. Sebuah lorong kecil mengarah ke sistem ventilasi tua—sempit, gelap, tapi bisa jadi jalan selamat. Ia menembakkan peluru terakhirnya, lalu berteriak, “Ke sini! Lewat saluran udara!”

Satu per satu, mereka merayap masuk. Daus setengah sadar, wajahnya pucat. Nina menahan tangisnya, menggigit bibir saat melihat darah terus menetes di lantai logam.
“Bertahan, Daus… Kau harus bertahan…”

Di belakang mereka, suara langkah kaki dan jeritan perintah makin dekat. Tiba-tiba, sebuah granat dilemparkan ke dalam gang. Dentuman keras mengguncang lorong, menutup akses keluar dengan reruntuhan.

Mereka berhasil lolos… tapi dengan harga yang mahal.

Di ujung lorong sempit itu, mereka akhirnya sampai di ruang bawah tanah bekas toko buku. Sunyi. Aman untuk sementara. Daus terbaring dengan napas berat, Kirana memeriksa lukanya dengan cepat, mencoba menghentikan pendarahan.

Revan terduduk, tubuhnya penuh debu dan luka kecil. Tapi pikirannya bukan di situ.

Dalam kekacauan tadi, ia sempat melihat satu wajah di antara musuh—wajah yang dikenalnya. Lira.

Bukan dalam foto. Bukan dalam ingatan. Tapi nyata. Ia berdiri di balkon, mengenakan jaket hitam khas unit intelijen, mengarahkan pandangan dingin ke arah Revan. Tak ada emosi. Tak ada pengakuan.

Seolah Revan hanyalah bagian dari masa lalu yang sudah dia kubur.

Revan memejamkan mata, menahan gejolak yang menyeruak dari dalam dadanya. Darah telah tumpah hari ini, bukan hanya dari tubuh, tapi juga dari hati.

Dan di jalan sempit Valdora, ia menyadari satu hal: perang ini bukan hanya tentang kota yang terjajah, tapi tentang dirinya sendiri yang mulai runtuh sedikit demi sedikit.

Bab 5: Bayangan Lama, Luka Baru

Langit Valdora diselimuti awan gelap. Kota itu seolah tahu bahwa sesuatu sedang pecah di bawah permukaannya—bukan hanya perang bersenjata, tetapi perang batin yang mulai menggerogoti hati para pejuang.

Revan berdiri di balik jendela pecah di markas bawah tanah yang tersembunyi di balik reruntuhan sekolah tua. Wajahnya penuh debu, matanya memerah, bukan karena lelah, melainkan karena perasaan yang tak bisa ia ungkapkan. Pemandangan jalan sepi di luar hanya menambah keheningan yang menusuk.

Lira.

Nama itu kini terus membayang, hadir bukan sebagai kenangan, tapi sebagai ancaman nyata. Sosok yang pernah menjadi cinta dan cahaya dalam hidupnya… kini berdiri di pihak musuh. Apa yang membuatnya berpaling? Apa yang memaksanya mengenakan seragam musuh dan menjadi mata-mata?

“Revan,” suara Kirana pelan memecah lamunan. “Daus masih belum sadar. Nina menjaganya. Tapi aku ingin bicara soal sesuatu… yang mungkin berhubungan dengan Lira.”

Revan menoleh cepat. Tatapannya tajam, seolah menuntut penjelasan.
Kirana menarik napas. “Aku menemukan dokumen tua saat memeriksa data dari markas musuh. Ada berkas rahasia berlabel Proyek Ember Hitam. Nama Lira tercantum di dalamnya… bukan sebagai target, tapi sebagai agen perekrutan.”
Revan terdiam. Jantungnya berdetak kencang. Luka lama yang belum kering kini seperti disayat kembali.

“Aku tahu ini berat, Van,” lanjut Kirana. “Tapi jika benar dia terlibat dalam proyek itu, mungkin selama ini dia bukan korban. Mungkin… dia bagian dari dalangnya.”

Revan mengepalkan tangannya. Semua kenangan itu kembali—saat mereka tertawa di atap menara radio, saat Lira menggenggam tangannya sebelum pergi dalam misi terakhir yang katanya tak berbahaya. Setelah itu… hanya kabar kematiannya yang datang. Tapi sekarang, kebenaran perlahan menunjukkan wajah aslinya.

Malam itu, Revan tak bisa tidur. Ia berjalan menyusuri lorong bawah tanah, menuju ruang data di belakang markas. Di sana, ia membuka kembali chip informasi hasil penyusupan sebelumnya.

File demi file dibuka, dan akhirnya… satu video muncul.

Rekaman pengakuan.

Di layar, Lira muncul, duduk di ruang interogasi. Wajahnya keras, namun di matanya masih terlihat bayangan seseorang yang pernah ia kenal.

“Jika kalian menemukan ini… berarti aku sudah terlalu dalam berada di antara dua dunia. Aku tak bisa kembali. Aku melakukan ini bukan untuk menghancurkan kalian, tapi untuk menyelamatkan orang-orang yang lebih tak bersalah. Kadang… untuk menghentikan kegelapan, kau harus masuk ke dalamnya terlebih dahulu.”

Revan menutup layar. Matanya berkaca. Ia ingin marah, ingin membenci, tapi yang muncul justru rasa bersalah. Mungkinkah selama ini ia yang terlalu cepat menghakimi?

Di luar, suara sirene menggema dari kejauhan. Kirana masuk terburu-buru.
“Markas kita di Distrik 8 diserang. Banyak korban. Kita harus bergerak.”

Revan mengangguk, perlahan. Ia menghela napas dalam, menyimpan semua luka dan bayangan ke dalam dirinya. Tak ada waktu untuk meratap. Perang belum usai.

Dan kali ini, bukan hanya peluru yang akan dia hadapi… tapi juga bayangan masa lalu yang mulai membentuk luka baru.

Bab 6: Titik Buta di Tengah Kota

Valdora bukan hanya kota yang terkepung oleh pasukan musuh. Ia juga adalah labirin keputusasaan dan rahasia. Di balik tembok-tebok hancur dan jalan-jalan rusak, ada titik-titik yang tidak bisa dijangkau oleh satelit, drone pengintai, bahkan intel militer. Titik buta—daerah-daerah yang tak terdeteksi, tak terdokumentasi, dan karenanya… berbahaya.

Dan malam ini, Revan bersama Kirana, Nina, dan dua pejuang baru, Adji dan Talitha, akan masuk ke salah satunya.

Mereka menyebutnya Zona 0.3, bagian tengah kota yang dulu adalah pusat teknologi dan perdagangan, kini menjadi reruntuhan tak berpenghuni. Tapi menurut peta digital yang berhasil diretas Kirana, di sana terdapat bunker komunikasi bawah tanah milik pihak pendudukan yang sudah lama dinonaktifkan—atau setidaknya, itulah yang mereka pikirkan.

“Kita tidak akan bisa mengandalkan sinyal komunikasi di sana,” kata Kirana sambil memeriksa ulang peralatan. “Tempat itu ditandai dengan gangguan elektromagnetik tinggi. Jika terjadi sesuatu, kita hanya punya satu cara keluar: jalan kaki kembali dalam gelap.”

“Dan dikejar musuh dari segala arah,” gumam Adji.

Revan hanya diam. Sejak pertemuannya dengan rekaman Lira, pikirannya tak pernah benar-benar tenang. Tapi ia tahu: titik buta seperti ini bisa jadi satu-satunya celah untuk memukul balik musuh. Mereka harus mencari tahu apa yang disembunyikan.

Mereka tiba di Zona 0.3 saat langit tertutup awan hitam. Bangunan tinggi menjulang seperti tulang-tulang raksasa yang patah. Bau logam dan debu menyengat. Suara sepatu mereka menggema di antara puing-puing. Tak ada suara burung. Tak ada hembusan angin. Hanya kesunyian pekat yang menekan dada.

Talitha menunjuk ke depan. “Menurut peta, bunker itu berada di bawah stasiun metro tua.”

Mereka menyelinap masuk, melewati lorong yang dipenuhi grafiti dan genangan air. Tiba-tiba, suara mekanik terdengar—klik… klik… klik…

Semua terdiam. Revan mengangkat tangan, memberi isyarat berhenti.

Mereka tak sendirian.

Dari balik bayangan, muncul siluet tubuh manusia. Tapi saat cahaya senter diarahkan, sosok itu berlari dengan kecepatan yang tak wajar. Gerakannya patah-patah, seperti bukan manusia biasa.

“Apaan itu barusan?” bisik Nina, wajahnya pucat.

“Bukan prajurit musuh biasa,” jawab Kirana pelan. “Mungkin eksperimen… atau penjaga otomatis.”

Ketegangan meningkat. Mereka mempercepat langkah dan akhirnya menemukan pintu bunker. Revan membobol sistem kunci menggunakan alat pemindai. Pintu terbuka dengan suara berderit berat.

Di dalam, mereka menemukan sesuatu yang tak mereka duga.

Ruangan luas berisi panel kontrol dan layar rusak. Di tengah, ada sebuah pod transparan berisi cairan kehijauan… dan seorang manusia di dalamnya, tak sadarkan diri, mengenakan seragam eksperimen militer.

“Siapa dia?” tanya Talitha.

Revan mendekat, melihat kode di samping pod: Unit Uji C-117
Di layar rusak, tertulis kata-kata samar: “Program Kendali Pikiran – Prototipe Tidak Stabil”

Semua membeku.

Bunker itu bukan hanya tempat komunikasi. Ini adalah fasilitas uji coba senjata manusia—dan salah satu unitnya masih aktif.

Tiba-tiba, alarm berbunyi. Lampu merah menyala. Seseorang—atau sesuatu—sudah mengetahui kehadiran mereka.

“Kita harus keluar. Sekarang!” seru Revan.

Tapi saat mereka berbalik, jalan keluar sudah dipenuhi oleh pasukan robotik ringan yang mengangkat senjata. Satu peluru ditembakkan. Pertempuran pun tak terhindarkan di dalam ruang sempit itu.

Titik buta yang mereka harapkan sebagai keuntungan, ternyata adalah jebakan tersembunyi yang mematikan.

Bab 7: Pengkhianatan dalam Gelap

Hujan turun deras malam itu. Petir sesekali menyambar langit Valdora yang muram. Di markas bawah tanah yang tersembunyi di balik reruntuhan toko tua, Revan berdiri membelakangi jendela retak, matanya menatap layar holografis yang menampilkan peta bunker Zona 0.3 yang baru mereka tinggalkan beberapa jam lalu.

Mereka berhasil lolos, tapi dengan luka. Luka fisik—dan luka kepercayaan.

Dua anggota tim tak kembali.

Talitha tewas tertembak saat menutup jalan keluar. Adji… hilang. Ia menghilang secara misterius di lorong bunker sebelum pertempuran meledak. Tidak ada jejak. Tidak ada sinyal. Dan kini, satu pertanyaan menggelayut dalam pikiran semua orang:

Apakah Adji menghilang… atau melarikan diri?

“Tak ada tanda-tanda pertempuran di lorong tempat terakhir dia terlihat,” ujar Kirana. Ia berdiri sambil memeriksa log interaksi dan rekaman dari helm Talitha.

“Dan tidak ada komunikasi darinya. Seolah dia menghilang begitu saja,” tambah Nina, wajahnya muram.

Revan mengusap wajahnya. Ia ingin percaya bahwa Adji tertangkap atau tersesat. Tapi ada hal-hal yang tidak masuk akal. Sejak awal, Adji terlalu cepat memahami sistem pertahanan di bunker. Beberapa kali ia memberi peringatan lebih dulu sebelum sensor berbunyi. Dan saat mereka dikepung… Adji adalah satu-satunya yang tahu jalan pintas keluar. Tapi anehnya, ia justru tidak muncul bersama mereka.

“Dia tahu sesuatu,” gumam Revan. “Atau… menyembunyikan sesuatu.”

Malam itu, Kirana memberanikan diri menyusup ke pusat arsip digital lama yang masih tersisa di zona netral. Butuh keberanian besar, karena tempat itu sering dijadikan ladang jebakan oleh pasukan musuh. Namun, ia berhasil membobol sistem pencarian dan menemukan nama Adji dalam basis data lama milik pasukan pemerintah yang kini hancur.

Nama asli: Adjirama F. Suwanda.
Posisi: Divisi Strategi dan Rekayasa Informasi.
Status: MIA (Missing in Action) – Dua tahun lalu.
Catatan Khusus: Diduga beralih loyalitas dalam operasi “Hantu Kota.”

Kirana membeku.

Adji bukan orang biasa. Dia bukan sekadar pejuang yang kebetulan bergabung. Dia mantan perwira intelijen, ahli manipulasi sistem komunikasi dan pencitraan data. Dan jika benar dia terlibat dalam operasi “Hantu Kota”—operasi penyusupan besar-besaran yang gagal dua tahun lalu karena bocornya rencana rahasia—maka kehadirannya di dalam tim selama ini bukan kebetulan.

Revan mendengarkan laporan Kirana dengan rahang mengeras. Sekarang semuanya masuk akal—kenapa rute mereka selalu terendus musuh, kenapa beberapa misi bocor, dan kenapa bunker yang seharusnya mati… justru hidup kembali saat mereka datang.

“Dia bukan hilang,” kata Revan dingin. “Dia membuka pintu dari dalam.”

Keesokan harinya, mereka menemukan pesan terenkripsi dalam perangkat milik Talitha—pesan terakhir yang sempat ia unggah sebelum ditembak jatuh.

“Adji membawa sesuatu. Chip biru. Dia menyebut ‘Kode Awal’. Jangan biarkan dia sampai ke mereka.”

Kode Awal. Frasa yang sebelumnya pernah muncul dalam dokumen “Proyek Ember Hitam”. Sesuatu yang mampu memicu aktivasi unit kendali pikiran secara massal.

Kini jelas, pengkhianatan ini bukan sekadar pengkhianatan kecil. Ini adalah kunci jatuhnya seluruh perlawanan.

Bab 8: Ledakan di Gerbang Utara

Langit pagi tampak abu-abu. Asap hitam masih menggantung di udara dari pertempuran semalam. Di tengah kehancuran itu, suara deru kendaraan lapis baja terdengar sayup dari arah utara. Gerbang Utara—satu dari empat jalur utama yang menghubungkan Valdora ke luar kota—kini menjadi medan perang berikutnya.

Di balik puing-puing tua dan reruntuhan gedung, Revan berdiri memandangi siluet tembok pertahanan musuh di kejauhan. Bersamanya, Kirana dan Nina memeriksa ransel berisi bahan peledak. Mereka hanya punya satu kesempatan.

Misi mereka sederhana: ledakkan Gerbang Utara, satu-satunya akses pasukan musuh untuk mendatangkan logistik berat. Tapi kesederhanaan itu menipu—karena pasukan lawan telah memperkuat gerbang dengan sistem pertahanan otomatis, ranjau elektromagnetik, dan drone pembunuh yang tak mengenal ampun.

“Kalau kita gagal, mereka akan bisa mengangkut seluruh unit tempur ke dalam kota dalam waktu kurang dari 48 jam,” kata Kirana serius sambil menatap peta digital di tangannya. “Kita bukan cuma mempertaruhkan nyawa, tapi juga semua perlawanan yang tersisa.”

Revan hanya mengangguk. Ia tahu apa yang dipertaruhkan.

Mereka bergerak saat kabut pagi masih menggantung rendah. Dengan bantuan tim sabotase kecil, mereka menyusup melalui saluran pembuangan tua yang konon terhubung ke bagian bawah pos penjagaan gerbang. Jalanan sempit, licin, dan berbau busuk. Tapi itu satu-satunya jalur tanpa penjagaan langsung.

Di tengah perjalanan, mereka dihentikan oleh sesuatu yang tak terduga—sebuah kamera pengintai aktif yang tidak tercatat dalam peta pertahanan.

“Ini baru,” bisik Nina. “Mereka sudah tahu kita akan datang.”

Tiba-tiba terdengar suara keras—BOOM! Saluran tempat mereka berjalan runtuh sebagian. Dua anggota tim yang berada paling belakang tertimbun reruntuhan.

“Kita ketahuan!” teriak Kirana.

Dari atas, drone pemburu meluncur, menembakkan peluru-peluru kecil yang bisa meledak di udara. Mereka terpaksa berlari ke arah pos utama lebih cepat dari yang direncanakan. Revan, dengan penuh keberanian, memimpin jalan sambil menembak balik, melindungi timnya.

Sesampainya di titik target, mereka hanya memiliki waktu lima menit sebelum bala bantuan datang. Kirana menanamkan peledak di dua pilar utama penyangga struktur gerbang, sementara Nina menjaga perimeter dengan senjata otomatis.

Tiba-tiba, dari balik tumpukan puing, Adji muncul.

Wajahnya penuh luka, tapi ekspresinya tetap tenang.

“Aku tidak di pihak mereka,” katanya datar. “Tapi jika kalian ledakkan gerbang ini, kalian akan menghancurkan lebih dari sekadar jalur logistik.”

Semua senjata terarah padanya. Revan maju, penuh amarah.

“Kenapa kami harus percaya kamu sekarang?”

Adji tak menjawab. Ia mengangkat tangannya, lalu melempar sebuah modul kecil ke tanah. Proyektor holografis menyala, menampilkan citra sebuah konvoi pengungsi yang disekap dan akan dipindahkan lewat Gerbang Utara sebagai tameng manusia.

“Ledakkan gerbang ini, dan mereka mati bersamamu.”

Waktu terus berjalan.

Bom sudah aktif.

Kirana menatap Revan. “Apa kita lanjutkan?”

Revan menatap layar, menatap Adji, menatap langit.

Dua pilihan.

Hancurkan musuh—atau selamatkan mereka yang tak berdosa?

Keputusan diambil. Bukan tanpa luka. Bukan tanpa harga.

Mereka mengubah rencana. Menyerbu titik kontrol utama, membebaskan para sandera dengan risiko tinggi. Pertempuran jarak dekat tak terhindarkan. Nina terluka. Kirana nyaris tertangkap. Tapi akhirnya… semua pengungsi berhasil dievakuasi.

Dan tepat saat matahari tergelincir ke barat, ledakan besar mengguncang langit Valdora.

Gerbang Utara runtuh, bersama puluhan kendaraan tempur musuh yang baru saja memasuki area.

Api menjalar ke langit. Debu mengepul. Dentuman itu terdengar sampai ke pusat kota.

Bab 9: Kode Terakhir dari Langit

Langit Valdora pagi itu tampak biru kelabu—langka untuk kota yang sudah bertahun-tahun diselimuti asap, debu, dan perang. Namun ketenangan itu hanya semu. Karena di balik warna langit yang tenang, ada sesuatu yang turun… bukan hujan, bukan bom, melainkan sebuah sinyal.

Revan menerima pesan itu dari antena relay yang mereka bangun sendiri di atas atap bekas menara televisi. Sinyal itu lemah, hampir tak terdeteksi, terselip di antara frekuensi tua yang sudah lama ditinggalkan. Tapi bentuknya aneh: bukan suara, bukan gambar, melainkan urutan kode numerik dalam pola berulang.

212—44—212—11—88—33.

Berulang. Terus. Seolah memanggil seseorang yang masih hidup untuk menjawab.

“Ini bukan kebetulan,” ujar Kirana sambil memperbesar tampilan kode di layar komputernya. “Format ini mirip dengan protokol militer kuno—digunakan hanya dalam kondisi genting.”

Nina memandang layar itu penuh rasa curiga. “Atau jebakan. Bisa saja mereka tahu kita punya antena itu.”

Namun Revan hanya diam. Angka-angka itu bukan hanya kode baginya. Ada sesuatu yang mengusik ingatannya. Pola itu… seperti sesuatu dari masa lalunya. Ia merasa pernah melihatnya, tapi di mana?

Mereka akhirnya menyusuri arsip data usang yang mereka ambil dari markas militer yang ditinggalkan di Zona Timur. Setelah beberapa jam pencarian, mereka menemukannya—pola itu adalah bagian dari sistem enkripsi “Langit Satu”, program satelit pengintai rahasia yang diluncurkan sepuluh tahun sebelum kota terkurung.

Program itu dinyatakan hilang saat perang dimulai.

Namun jika kode ini berasal dari “Langit Satu”, berarti satu dari satelit terakhir yang masih aktif berhasil bertahan di orbit, dan kini mencoba menjangkau siapa pun yang masih hidup… untuk alasan yang belum diketahui.

Kirana, dengan cepat, melakukan sinkronisasi frekuensi.

Dan kemudian, layar menampilkan sesuatu.

Gambar.

Kabur. Terputus-putus. Tapi cukup jelas: tampak jalur peta udara yang menampilkan wilayah utara Valdora, dan satu titik merah yang berdenyut pelan di dekat perbukitan tua—lokasi yang disebut warga sebagai “Kawasan Hitam”, tempat yang selama ini diyakini sudah hancur total.

Lalu muncul potongan tulisan:

“K-01. Protokol Awal. Sisa cadangan. Koordinat terakhir. Akses sebelum gelombang datang.”

Tiba-tiba sinyal hilang.

“Apa itu?” tanya Nina, gelisah.

“Sesuatu… atau seseorang… di luar sana mencoba memberi tahu kita,” jawab Revan pelan. “Sesuatu yang penting, sebelum—‘gelombang’ datang.”

Kirana menyipitkan mata. “Apa maksudnya gelombang?”

Revan menatap langit yang kini perlahan tertutup awan gelap.

“Entah… tapi aku rasa kita kehabisan waktu.”

Bab 10: Pertaruhan Nyawa

Waktu terasa berjalan lebih lambat saat mereka melangkah menuju Kawasan Hitam. Udara yang biasanya tercemar kini terasa lebih berat, dipenuhi keheningan yang mencekam. Hanya langkah kaki mereka yang terdengar, dihantam angin dingin yang datang dari perbukitan yang membeku.

Di hadapan mereka, Kawasan Hitam tampak seperti kota mati—reruntuhan bangunan, jalan-jalan yang terendam lumpur, dan kabut tebal yang menutupi semua hal. Revan tahu bahwa mereka tidak hanya melawan musuh fisik di depan mata, tetapi juga ancaman yang lebih besar: waktu.

Sinyal satelit itu—Kode Terakhir dari Langit—adalah kesempatan satu-satunya. Jika mereka gagal menemukan tempat yang dimaksud, maka akan terlambat untuk apa pun. Gerakan musuh sudah semakin mendekat. Ini adalah pertaruhan nyawa.

“Mereka pasti tahu kita datang,” kata Kirana dengan suara tegang. “Jangan berharap mereka memberi kita kesempatan kedua.”

“Tidak ada jalan mundur,” jawab Revan, wajahnya dipenuhi tekad. “Kita sudah terlalu dekat.”

Saat mereka melewati tumpukan puing-puing yang pernah menjadi rumah-rumah megah, Revan merasakan perasaan aneh. Sesuatu yang familiar… bau besi, darah, dan api—terasa seolah pertempuran ini sudah terjadi sebelumnya.

“Kenapa kita masih melangkah?” Nina bertanya, matanya penuh keraguan. “Kenapa tidak lari saja, seperti yang dilakukan orang-orang lain?”

Revan berhenti sejenak, menatap Nina dengan tatapan tajam yang penuh makna. “Karena ini bukan tentang kita. Ini tentang semua orang yang masih berharap. Mereka yang terjebak dalam bayangan kota ini. Ini tentang memberikan mereka kesempatan.”

Mereka terus maju, semakin mendekati titik yang ditandai dalam peta satelit. Setiap langkah mereka terasa seperti menambah berat pada pundak mereka. Keringat membasahi wajah mereka meskipun udara semakin dingin.

Tiba-tiba, mereka mendengar suara di kejauhan—suara mesin. Deru kendaraan besar yang tidak biasa di kawasan ini. Mereka berhenti sejenak, merunduk di balik tumpukan puing. Sesuatu yang besar—sebuah konvoi.

“Musuh,” bisik Kirana. “Kita tidak sendirian di sini.”

Revan mengangguk. Tim harus bergerak cepat. Jika mereka terjebak dalam pengepungan, mereka akan menjadi sasaran empuk. Mereka harus menemukan lokasi yang dimaksud sebelum pasukan musuh mencapai tempat itu.

Tak lama setelah itu, mereka menemukan bangunan besar yang hampir hancur. Revan melihat tanda yang mereka cari: sebuah pintu baja tua yang tertutup rapat. Di atas pintu itu, terdapat simbol yang sangat dikenal oleh mereka—simbol program “Langit Satu”. Ini adalah tempat yang mereka cari.

“Ini dia,” Revan mengangguk pada Kirana. “Waktunya untuk membuka pintu ini.”

Namun, saat Kirana berusaha membuka pintu, suara ledakan keras terdengar dari jauh. Suara tembakan semakin mendekat.

“Mereka sudah tahu kita di sini!” teriak Nina.

Revan tidak punya waktu untuk ragu. “Kita harus masuk sekarang!”

Dengan tangan yang gemetar, Kirana berhasil membuka pintu baja itu. Mereka bergegas masuk ke dalam. Pintu menutup rapat di belakang mereka, menyisakan suara ledakan dan tembakan yang semakin terdengar keras dari luar.

Di dalam, mereka menemukan ruang besar yang dipenuhi perangkat-perangkat lama. Kabel-kabel yang sudah berkarat, layar-layar yang mati, dan mesin-mesin yang tidak berfungsi. Namun, di tengah ruangan itu, ada sesuatu yang menyala—sebuah komputer utama yang masih aktif.

“Kita tidak punya banyak waktu,” kata Kirana sambil menghubungkan perangkat mereka ke sistem utama.

Di luar, suara tembakan semakin intens, menandakan bahwa pasukan musuh tidak jauh dari mereka. Waktu terus berjalan, dan mereka harus segera menemukan apa yang tersembunyi di dalam sistem ini.

Revan merasa seperti berada di ujung jurang. Jika mereka gagal, semuanya akan sia-sia. Semua nyawa yang telah terkorbankan, semua yang telah mereka perjuangkan, akan hilang begitu saja.

“Sudah hampir selesai,” kata Kirana dengan suara serak, matanya terpaku pada layar. “Aku menemukan data penting… ini adalah kunci untuk menghentikan gerakan mereka.”

Tapi tiba-tiba layar itu berkedip. Sebuah pesan muncul. Tertulis dengan jelas:

“Terakhir. Pilih dengan bijak.”

Kirana terdiam, matanya melotot. “Revan… ini bukan hanya tentang menghentikan mereka. Ini lebih besar dari itu. Ini tentang keputusan yang harus kita buat—keputusan yang akan menentukan nasib kita semua.”

Revan memandang layar, napasnya terengah-engah. Satu pilihan yang akan mengubah segalanya.

“Jangan gagal,” bisik Revan, seolah berjanji pada dirinya sendiri dan semua orang yang telah mempercayainya.

Bab 11: Mata di Atas Menara

Langit Valdora berubah kelam. Tidak hanya karena awan tebal yang menggelayuti, tetapi juga karena perasaan yang menyesakkan, seolah-olah dunia ini sedang menunggu sesuatu yang buruk terjadi. Di tengah kegelapan itu, mereka berdiri di depan Menara Pengawas, sebuah bangunan tinggi yang sudah lama terbengkalai. Suara mesin yang berderak pelan di dalamnya adalah satu-satunya tanda kehidupan yang tersisa.

Revan menatap menara itu dengan penuh kewaspadaan. Dia tahu, apa pun yang berada di puncaknya, akan menjadi penentu nasib mereka—dan mungkin nasib seluruh kota ini. Mata di atas menara bukan hanya sekadar istilah; itu adalah tempat terakhir dari harapan dan ancaman yang tak terungkapkan.

“Kita harus cepat,” kata Kirana, suaranya bergetar. “Setiap detik yang kita buang, mereka akan semakin dekat.”

Mereka mendekati pintu utama menara yang sudah usang. Besi-besi pintunya berkarat, dan suara deritannya saat terbuka memberi perasaan yang tak nyaman, seolah-olah menara itu sendiri menuntut mereka pergi. Namun, mereka tidak punya pilihan.

Di dalam, suasana lebih gelap dari yang mereka perkirakan. Hanya ada lampu-lampu darurat yang berkedip-kedip, memberikan nuansa yang semakin menambah rasa tertekan. Mereka mulai mendaki tangga-tangga yang berputar, langkah mereka bergema di dalam ruang kosong. Setiap langkah yang mereka ambil terasa semakin berat, dan ketegangan yang mengikat dada mereka semakin terasa.

“Mereka tahu kita datang,” kata Nina, matanya terfokus ke belakang mereka. “Musuh pasti sudah mengejar.”

Revan tidak menoleh. “Kita harus sampai ke puncak. Tidak ada pilihan lain.”

Tiba-tiba, terdengar suara decitan logam dari lantai atas. Mereka semua berhenti sejenak, mendengarkan suara itu. Suara itu datang dari salah satu ruangan di lantai atas—ruangan yang tidak terjamah cahaya. Seperti ada sesuatu, atau seseorang, yang menunggu di sana.

Mata mereka saling bertukar pandang, dan seketika itu pula, mereka tahu bahwa mereka sedang berjalan menuju lebih dari sekadar puncak menara. Mereka menuju kebenaran yang selama ini tersembunyi.

Sesampainya di puncak menara, mereka disambut dengan pemandangan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Layar besar di depan mereka menyala, menampilkan peta besar kota Valdora, dengan puluhan titik merah yang berkelap-kelip di berbagai lokasi—titik-titik yang selama ini tak terdeteksi oleh pihak manapun.

“Ini…” Revan tertegun. “Ini bukan hanya peta. Ini adalah sistem pemantauan militer yang aktif.”

Kirana berjalan mendekat dan mulai memeriksa layar itu lebih dekat. “Itu adalah sistem pengawasan dari satelit militer. Mereka bisa memantau setiap gerakan di kota ini.”

Nina mendekat. “Berarti kita sudah terpantau? Seluruh kota ini?”

“Bukan hanya kita,” kata Revan, matanya melintas dari satu titik ke titik lainnya di layar. “Tapi juga seluruh pergerakan musuh.”

Namun, sebelum mereka sempat mengungkap lebih jauh, suara derap langkah terdengar semakin dekat dari tangga. Musuh sudah sampai.

“Waktunya habis,” ujar Kirana, suaranya tegas. “Kita harus menonaktifkan sistem ini, atau kita akan menjadi sasaran berikutnya.”

Revan mengangguk. Dia melangkah maju menuju terminal utama di tengah ruangan. “Kita hanya punya satu kesempatan. Kalau kita gagal, seluruh kota ini akan hancur dalam hitungan jam.”

Mereka mulai bekerja cepat, memutuskan kabel dan menghubungkan perangkat mereka dengan terminal. Setiap detik terasa seperti sebuah pertaruhan. Di luar, suara tembakan dan ledakan semakin keras terdengar, menandakan bahwa musuh semakin mendekat.

Namun, meskipun ketegangan memuncak, ada satu hal yang Revan tahu pasti—apakah mereka berhasil atau gagal, segala sesuatu yang akan terjadi setelah ini tidak akan sama lagi.

Tiba-tiba layar besar di depan mereka menyala terang. Sebuah pesan muncul.

“Mata di atas menara tidak pernah tidur. Pilihanmu sekarang—aktifkan atau matikan. Pilih dengan bijak.”

Revan menatap pesan itu, matanya penuh kebingungan dan ketegangan. Apa yang dimaksud dengan Mata di atas menara? Apakah ini adalah jebakan terakhir?

Namun, di balik kebingungannya, satu pikiran menyelinap—mereka tidak bisa berhenti sekarang. Tidak setelah sejauh ini. Ini adalah saat yang menentukan.

Revan mengambil keputusan. Dengan satu gerakan cepat, dia menekan tombol besar di terminal.

Dalam sekejap, layar padam. Dan saat itulah, suara ledakan besar mengguncang menara, menggetarkan seluruh bangunan.

Musuh sudah datang.

Bab 12: Di Antara Peluru dan Doa

Menara Pengawas itu kini runtuh, menyisakan tumpukan puing yang menghalangi jalan mereka. Ledakan yang mengguncang kota seolah menjadi tanda bahwa waktu mereka semakin habis. Di luar, pertempuran berkecamuk dengan sengit, suara tembakan dan jeritan mengisi udara yang sudah tebal dengan ketegangan.

Revan memimpin langkah mereka, matanya terbuka lebar, menilai setiap sudut dengan cepat. Pintu keluar menunggu di depan, namun untuk mencapainya, mereka harus melalui zona yang dipenuhi musuh. Tidak ada waktu untuk ragu. Setiap detik adalah pertaruhan.

Kirana berjalan di sampingnya, wajahnya penuh dengan tekad, meskipun ada kelelahan yang jelas terlihat di mata mereka. “Kita harus cepat,” katanya, suaranya keras, namun ada getaran ketakutan yang tak bisa disembunyikan. “Mereka sudah tahu kita di sini.”

Revan mengangguk, tapi matanya tetap fokus pada jalan yang terbuka lebar di depan. “Kita harus keluar dari sini hidup-hidup. Setiap langkah kita harus terencana dengan sempurna.”

Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, suara tembakan terdengar mendekat. Sebuah peluru melesat begitu dekat dengan telinga mereka, membuat Kirana meringis dan menarik tubuhnya lebih dekat ke dinding puing yang masih berdiri.

“Mereka terlalu banyak,” bisik Nina. “Kita akan terjebak jika terus maju.”

Revan berhenti sejenak, menatap jalan yang terbentang di depan mereka. Jalan itu tidak hanya penuh dengan musuh, tetapi juga dengan ketidakpastian. Jika mereka terus melaju, mereka berisiko menjadi sasaran tembak, namun jika berhenti, mereka mungkin tidak akan pernah keluar dari zona ini.

“Apa pilihan kita?” tanya Kirana, suaranya serak.

“Ada satu cara,” jawab Revan. “Kita harus melewati mereka. Kita harus menciptakan kekacauan, mengambil keuntungan dari kerumunan yang akan terjadi. Dan kita harus percaya, meskipun tidak ada jaminan.”

Mereka semua terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Revan. Mereka tahu, tidak ada lagi ruang untuk kesalahan. Semua yang mereka lakukan sekarang, semua keputusan yang mereka buat, akan memengaruhi nasib mereka—dan mungkin nasib seluruh kota.

Mereka melanjutkan langkah mereka, perlahan namun pasti, menyelinap di balik tumpukan puing yang menutupi jalan. Mereka tahu mereka hanya memiliki sedikit waktu sebelum musuh semakin dekat. Langkah mereka berhati-hati, tak ingin menarik perhatian musuh yang siap menyerang kapan saja.

Namun, tiba-tiba, sebuah ledakan besar mengguncang tanah di bawah kaki mereka, disusul oleh suara tembakan bertubi-tubi yang datang dari arah kanan. Beberapa tentara musuh muncul dari balik reruntuhan, senjata mereka siap menembak.

Revan menarik tubuhnya ke belakang, menunduk untuk menghindari peluru yang berdesing di udara. Dalam detik-detik yang penuh ketegangan itu, ada satu hal yang terlintas dalam pikirannya—harapan. Mungkin, hanya mungkin, mereka bisa mengandalkan keberuntungan dan kecepatan mereka untuk keluar dari jebakan ini.

Kirana memutar tubuhnya, menggenggam senjatanya erat-erat. “Revan, kita tak bisa lari dari sini. Mereka sudah terlalu dekat.”

Revan memandangnya, matanya yang tajam menatap jalan di depan. “Kita tidak punya pilihan lain.”

Dengan keberanian yang luar biasa, Revan melompat keluar dari balik puing dan mulai berlari menuju posisi musuh. Suara tembakan terdengar, namun dengan gerakan cepat dan presisi, ia berhasil menembus garis musuh. Kirana dan Nina mengikuti, berlari dengan segala kekuatan yang mereka miliki.

Akhirnya, mereka berhasil mencapai sebuah ruang tersembunyi di balik bangunan yang masih berdiri. Tubuh mereka terengah-engah, napas mereka berat, namun ada secercah harapan di mata mereka. Mereka selamat untuk saat ini.

Namun, ancaman belum berakhir. Mereka tahu bahwa musuh tidak akan membiarkan mereka lolos begitu saja. Satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan terus bergerak, tidak peduli betapa sulitnya jalan yang harus mereka lewati.

Di ruang kecil itu, mereka duduk sejenak, mengatur napas dan merencanakan langkah berikutnya. Ketegangan masih terasa di udara, tetapi dalam keheningan yang melingkupi mereka, ada sesuatu yang lebih dalam—doa.

Kirana menutup matanya, menundukkan kepala, dan berbisik, “Tuhan, jika ada cara, tunjukkan kami jalan.”

Revan juga menutup matanya sejenak, merasakan beratnya takdir yang mereka hadapi. Dalam keputusasaannya, dia merasa sebuah ketenangan yang sulit dijelaskan. Seperti ada sesuatu yang lebih besar yang mengawasi mereka, memberi mereka kekuatan untuk terus maju.

“Tidak ada yang bisa menghentikan kita,” katanya perlahan, suaranya dipenuhi keyakinan yang datang dari dalam hati. “Kita akan bertahan, bahkan jika dunia di sekitar kita runtuh.”

Dengan semangat baru, mereka bersiap melanjutkan perjalanan. Waktu terus berjalan, dan perang ini semakin intens. Namun, satu hal yang mereka ketahui pasti—mereka tidak akan menyerah.

Bab 13: Benteng Terakhir

Waktu semakin mendekati ujung. Kota Valdora yang dulu megah kini hanya tinggal kenangan, dihancurkan oleh pertempuran tanpa ampun yang terjadi di setiap sudutnya. Hanya sedikit tempat yang masih bertahan—dan di antara puing-puing kota yang hampir roboh itu, satu tempat menjadi harapan terakhir bagi mereka yang masih berjuang untuk hidup.

Benteng yang terkenal dengan keperkasaannya, Benteng Iblis, kini menjadi satu-satunya tempat yang bisa memberikan perlindungan, meskipun hanya untuk sementara. Revan dan timnya tahu, benteng ini adalah garis depan terakhir dalam pertempuran yang tak terhindarkan. Mereka harus sampai ke sana—atau mereka akan terperangkap dalam kekacauan yang semakin meluas.

“Kita hampir sampai,” kata Kirana, suaranya terdengar lelah tetapi penuh semangat. “Jika kita bisa mencapai benteng, kita bisa bertahan sedikit lebih lama.”

Revan menatap ke depan. Di depan mereka, Benteng Iblis berdiri menjulang tinggi, tembok batu yang tampak kokoh di balik asap pertempuran yang tebal. Itu adalah benteng yang tak terkalahkan, atau setidaknya begitu yang mereka percayai selama ini. Namun, sekarang, benteng tersebut menjadi simbol terakhir dari harapan—dan ketidakpastian.

Mereka melangkah maju, menyelinap di balik reruntuhan, menghindari deteksi musuh yang semakin banyak. Setiap langkah mereka dihitung dengan hati-hati, karena di luar sana, pasukan musuh siap menyerang kapan saja. Bentrokan sengit terjadi di sekitar benteng, suara tembakan dan ledakan membelah kesunyian kota yang suram.

Nina menunduk, memeriksa peta yang masih basah oleh keringatnya. “Di sini… kita harus berbelok kiri dan masuk melalui gerbang bawah tanah. Itu satu-satunya jalan yang aman.”

“Semua sudah disiapkan?” tanya Revan, memastikan.

“Sudah. Tapi kita harus bergerak cepat,” jawab Nina, wajahnya penuh tekad.

Sesampainya di gerbang bawah tanah, mereka menemukan pintu yang setengah terbuka, dan bau udara lembap yang menyengat langsung menyergap mereka. Ini adalah jalan tersembunyi yang selama ini hanya diketahui oleh sedikit orang. Pintu itu sudah usang, namun masih cukup kuat untuk memberikan perlindungan dari ancaman di luar. Dengan hati-hati, Revan mendorong pintu itu lebih lebar, dan mereka melangkah masuk ke dalam terowongan gelap yang mengarah ke dasar benteng.

Mereka menyusuri terowongan dengan keheningan yang mencekam, hanya suara langkah kaki mereka yang menggema di ruang sempit. Di dalam kegelapan ini, satu-satunya cahaya yang mereka miliki berasal dari lampu senter kecil yang mereka bawa. Revan tahu, meskipun terowongan ini menawarkan perlindungan sementara, itu juga bisa menjadi jerat maut jika mereka tidak hati-hati.

Tiba-tiba, mereka mendengar suara langkah lain. Bukan dari arah mereka, tapi dari belakang—seperti seseorang atau sesuatu yang mengikuti mereka.

“Tidak ada waktu,” bisik Revan. “Kita harus terus maju. Jangan berhenti!”

Namun, langkah itu semakin dekat. Revan mengangkat senjatanya, dan semua anggota timnya ikut bersiap. Mereka tahu, di dalam kegelapan ini, musuh bisa muncul kapan saja.

Ketegangan memuncak, dan tiba-tiba dari kegelapan, seorang tentara musuh muncul. Wajahnya tersembunyi di balik masker, namun matanya menunjukkan niat jahat yang jelas. Dengan gerakan cepat, dia mengarahkan senjatanya ke arah mereka.

Namun, sebelum musuh sempat menembak, Kirana bergerak cepat, menendang senjata musuh dari tangannya. Dalam hitungan detik, pertempuran itu pun terjadi—sebuah pertempuran diam yang penuh dengan desingan peluru dan suara tubuh yang terjatuh ke lantai batu terowongan.

Revan melompat maju, menahan serangan musuh dengan kekuatan yang luar biasa. Dalam satu gerakan yang terkoordinasi, mereka berhasil melumpuhkan tentara musuh itu, namun ada satu hal yang mereka sadari—masih ada lebih banyak lagi yang akan mengikuti mereka.

“Kita sudah ketahuan,” kata Nina, matanya memandang ke jalan gelap yang semakin panjang. “Mereka pasti sudah mengepung benteng.”

Revan menghela napas, sejenak menatap ke depan. Mereka sudah sampai begitu dekat, namun perjalanan ini tidak akan mudah. “Kita harus bertahan. Benteng ini adalah satu-satunya harapan yang kita punya. Jika kita gagal, semuanya akan sia-sia.”

Dengan langkah yang lebih hati-hati, mereka melanjutkan perjalanan menuju pusat benteng. Ketegangan semakin terasa saat mereka mendekati pintu utama. Di atas mereka, di balik tembok batu yang kokoh, suara bentrokan sengit semakin mendekat. Wajah-wajah mereka tampak lelah, namun juga penuh tekad. Mereka tahu, ini adalah ujian terakhir. Hanya sedikit lagi yang memisahkan mereka dari perlindungan yang akan menyelamatkan mereka—atau kehancuran yang akan datang begitu cepat.

Di hadapan mereka, pintu besar benteng terbuka, menunjukkan cahaya terang yang datang dari ruang pusat. Itulah tanda bahwa mereka hampir sampai. Namun, di saat yang bersamaan, suara tembakan kembali terdengar, lebih dekat dari sebelumnya.

Benteng yang mereka anggap sebagai tempat perlindungan terakhir kini menjadi tempat yang penuh dengan ketegangan. Apakah mereka akan bertahan? Ataukah benteng ini akan menjadi batu nisan terakhir mereka?

Bab 14: Perang Terakhir di Tengah Kota

Kota Valdora kini tenggelam dalam kegelapan dan kekacauan. Apa yang dulunya adalah pusat kemegahan dan kehidupan, kini berubah menjadi medan perang yang menyisakan puing-puing kehancuran. Benteng Iblis, yang sebelumnya menjadi harapan terakhir mereka, kini juga menjadi sasaran serangan habis-habisan dari pasukan musuh. Setiap detik terasa seperti pertaruhan hidup dan mati, dan Revan tahu, kali ini mereka tak bisa mundur.

“Waktu kita hampir habis,” kata Kirana, sambil memandang ke luar jendela benteng yang telah hancur. Di luar sana, asap dan debu mengaburkan pandangan, namun suara ledakan dan tembakan yang tak pernah berhenti mengisyaratkan bahwa peperangan semakin mendekat ke titik puncaknya. “Jika kita tidak bertindak sekarang, semuanya akan berakhir.”

Revan memandang sekeliling. Tentara musuh semakin mendekat, mereka telah mengepung benteng dari semua arah. Tidak ada tempat untuk lari. Mereka hanya memiliki satu pilihan—menyerang balik atau terkubur bersama kota ini.

“Apa kita siap?” tanya Revan kepada timnya, suaranya tegas namun ada keraguan yang terselip di dalamnya. “Semua persiapan sudah dilakukan?”

“Sudah,” jawab Nina, dengan nada penuh keyakinan. “Pintu belakang sudah terbuka, pasukan kita sudah siap untuk keluar. Tapi kita harus memastikan agar musuh tidak mendekat dari arah lain.”

Revan mengangguk, menyadari bahwa mereka hanya memiliki satu kesempatan untuk melarikan diri. Jika mereka gagal, maka seluruh tim akan terjebak di dalam pertempuran yang tak mungkin dimenangkan.

“Kita bertarung bersama,” ujar Revan, menatap satu per satu anggota timnya. “Kita akan keluar dari sini, atau kita akan jatuh bersama.”

Mereka bergerak cepat, menyusuri lorong-lorong gelap di dalam benteng. Masing-masing mempersiapkan senjata mereka, memastikan bahwa tidak ada satu pun yang terlupakan. Tangan mereka gemetar, bukan karena takut, tetapi karena kesadaran akan betapa tipisnya garis antara hidup dan mati di medan perang ini.

Di luar sana, musuh sudah berada di depan gerbang utama, siap untuk menghancurkan benteng terakhir yang mereka anggap sebagai tempat perlindungan. Namun, di balik dinding-dinding batu yang kokoh itu, Revan dan timnya sudah mempersiapkan rencana yang tak terduga. Mereka tidak akan menyerah tanpa perlawanan.

Revan memimpin timnya menuju pintu belakang, di mana sebuah pasukan tersembunyi menunggu untuk menyerang balik. Keheningan malam yang tebal memecah ketika suara ledakan besar mengguncang tanah. Itu adalah sinyal yang mereka tunggu-tunggu—waktunya untuk bergerak.

“Kita serang sekarang!” teriak Revan, memberi perintah.

Dengan gerakan yang terkoordinasi, mereka keluar dari benteng, menuju medan perang yang sudah dipenuhi pasukan musuh. Suara tembakan menggema, peluru berdesing di udara, namun mereka tidak gentar. Kiri, kanan, depan, belakang—semuanya menjadi satu. Musuh sudah datang dari semua arah, namun mereka tetap bergerak maju, seperti bayangan yang tak bisa dihentikan.

Kirana mengarahkan senjatanya, membidik musuh yang bersembunyi di balik tumpukan reruntuhan. “Tembak!” teriaknya, dan peluru-peluru menghujani musuh yang mencoba bergerak.

Ledakan di sana sini memecah ketenangan malam, sementara pertempuran semakin sengit. Revan dengan kelincahannya berlari maju, melompat ke belakang mobil rusak yang digunakan musuh sebagai tempat berlindung. Tangan kirinya melempar granat, dan dalam sekejap, sebuah ledakan dahsyat mengguncang wilayah itu, membuat musuh terperosok dan terjatuh.

Namun, di balik kemenangan kecil ini, musuh masih terus berdatangan. Mereka tak memberi ampun. Benteng yang mereka andalkan sebagai tempat berlindung, kini menjadi tempat perang besar yang akan menentukan nasib seluruh kota.

Di tengah pertempuran yang mengerikan, Revan mendengar suara tembakan yang semakin mendekat. Mereka hanya memiliki waktu beberapa menit sebelum musuh benar-benar mengepung mereka. Dalam sekejap, Revan merasa ada sesuatu yang berbeda di medan perang ini. Mereka bukan hanya melawan musuh yang tak kenal ampun, tetapi juga waktu yang semakin habis.

“Kita harus membuat keputusan!” teriak Revan kepada timnya. “Jika kita terus bertahan, kita bisa mengalahkan mereka. Tapi jika kita mundur, kita akan kehilangan segalanya!”

Dengan penuh keyakinan, Kirana menjawab, “Kita bertahan! Kita tidak akan menyerah begitu saja!”

Revan tersenyum tipis, merasakan semangat juang yang mengalir di dalam tubuhnya. “Jika kita bertahan, maka ini adalah perang terakhir. Perang yang akan menentukan siapa yang akan bertahan hidup, dan siapa yang akan jatuh.”

Mereka terus bertarung, langkah demi langkah, menghadapi musuh yang tak henti-hentinya menyerang. Dalam setiap ledakan, setiap tembakan, mereka berjuang untuk tetap hidup, untuk memastikan bahwa kota ini tidak akan jatuh begitu saja.

Namun, pertempuran ini tidak hanya tentang senjata dan strategi. Ini adalah tentang keberanian, tentang kemampuan untuk tetap berdiri tegak meskipun dunia di sekitar mereka hancur. Setiap peluru yang ditembakkan, setiap langkah yang mereka ambil, adalah taruhan hidup mereka. Jika mereka gagal, tidak hanya mereka yang akan hancur, tetapi seluruh kota yang telah mereka perjuangkan.

Saat fajar mulai menyingsing, Revan dan timnya berhasil memukul mundur pasukan musuh yang mengepung. Namun, mereka tahu, pertempuran ini baru dimulai. Perang terakhir yang akan menguji segalanya—keberanian, pengorbanan, dan kehendak untuk bertahan hidup.

“Ini bukan akhir,” kata Revan, menatap ke arah kota yang masih terbakar. “Ini baru permulaan. Mereka mungkin mundur, tapi kita masih harus bertahan.”

Dan dengan itu, mereka kembali melangkah, mempersiapkan diri untuk perang terakhir yang akan menentukan nasib mereka, kota ini, dan seluruh dunia yang kini berada di ambang kehancuran.

Bab 15: Kota yang Kembali Bernyawa

Matahari pagi menyinari kota Valdora yang kini terbaring di antara puing-puing kehancuran. Bangunan yang dulu berdiri megah, kini hanya tersisa kerangka yang rapuh, tertutup debu dan abu sisa pertempuran. Namun, di tengah penderitaan dan kehancuran itu, ada secercah harapan yang mulai menyembul.

Revan berdiri di atas reruntuhan, menatap ke arah horizon yang perlahan mulai cerah. Kota yang dulu penuh suara dan hidup, kini sepi, hanya dihiasi oleh langkah kaki yang terhitung jarang. Mereka telah melewati pertempuran yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya—pertarungan untuk mempertahankan kehormatan, kehidupan, dan masa depan kota ini.

“Kota ini masih bisa hidup,” ujar Kirana, sambil berdiri di samping Revan. Wajahnya terlihat lelah, namun matanya tetap menunjukkan semangat yang tak padam. “Mungkin tidak seperti dulu, tapi masih ada peluang untuk memulai dari awal.”

Revan menatapnya dengan senyum tipis, meskipun rasa lelah dan luka masih membekas di tubuhnya. “Jika kita masih bertahan, itu sudah cukup. Tidak semua orang mendapatkan kesempatan kedua seperti ini.”

Keheningan yang menenangkan itu seketika pecah saat suara helikopter terdengar dari kejauhan, menghampiri mereka. Helikopter itu membawa pasukan penyelamat yang akhirnya datang setelah beberapa hari penantian. Mereka adalah harapan terakhir bagi kota yang hampir hancur, dan keberadaan mereka menjadi simbol bahwa perjuangan mereka belum sia-sia.

Di tengah kesibukan tim penyelamat yang sibuk membersihkan puing-puing dan memberi pertolongan kepada yang terluka, Revan berdiri di depan sebuah gedung yang hancur, namun tetap utuh di bagian depannya. Gedung itu adalah markas pertama mereka, tempat mereka merencanakan perlawanan terhadap musuh. Kini, menjadi simbol bahwa meskipun banyak yang telah hancur, keberanian dan perjuangan mereka tetap bertahan.

“Ini rumah kita,” kata Revan, menatap reruntuhan itu sejenak. “Dari sini semuanya dimulai, dan dari sini juga kita akan membangun kembali.”

Di belakangnya, Kirana mendekat. “Kita membangun dari nol, Revan. Tidak ada yang mudah. Tapi jika ada yang bisa melakukannya, itu adalah kita. Kita telah bertahan sejauh ini.”

Kota Valdora yang dulu penuh dengan suara kebisingan mesin, sekarang hanya diisi oleh suara alat berat yang mulai menggali kembali jalan-jalan yang terputus. Revan merasakan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sejak pertempuran pertama dimulai. Suara-suara itu, meskipun bising, adalah suara kebangkitan—suara yang menandakan bahwa kota ini tidak akan mati begitu saja.

Sementara itu, di salah satu sudut kota yang kini mulai bersih, sebuah kelompok warga mulai berkumpul. Mereka membawa serta kenangan buruk, tetapi juga ada harapan baru di mata mereka. Setiap orang yang selamat, yang berhasil bertahan dari pertempuran, merasa seakan dunia yang baru terbentang di depan mereka.

Di tengah mereka, seorang pria tua yang sebelumnya terbaring tak sadarkan diri di shelter sementara, kini mulai bangkit. “Kami semua akan membangun kembali kota ini, satu batu bata demi batu bata,” ucapnya dengan suara parau. “Kami akan membuat Valdora bernyawa lagi, lebih kuat dari sebelumnya.”

Kata-kata itu menyebar dengan cepat, memberi semangat pada setiap orang yang mendengarnya. Valdora mungkin telah kehilangan banyak hal—nyawa, rumah, bahkan masa depan yang pasti. Namun, di tangan orang-orang yang masih hidup, kota ini bisa kembali. Perang yang telah menghabiskan banyak korban, kini berakhir, tetapi pekerjaan mereka baru dimulai.

Saat sore tiba, Revan berdiri di atas bukit yang menghadap ke kota, ditemani oleh Kirana dan beberapa anggota tim lainnya. Di kejauhan, mereka bisa melihat kegiatan yang mulai berjalan kembali—pembangunan yang perlahan dimulai, keluarga-keluarga yang kembali berkumpul, dan warga-warga yang mulai menjalani hidup mereka kembali. Ada kehidupan di setiap sudut yang dulu dipenuhi kehancuran.

“Ini bukan akhir, Kirana,” ujar Revan pelan, namun penuh keyakinan. “Ini adalah awal dari segalanya.”

Kirana tersenyum, menatap kota yang perlahan kembali bernyawa. “Dan kita akan berada di sini, untuk memastikan bahwa Valdora tidak pernah lagi terjatuh ke dalam kegelapan seperti ini.”

Dari balik kerumunan, sebuah suara terdengar keras, mengalirkan energi baru. Seorang anak kecil berlari dengan senyuman lebar, memegang sebuah bendera kecil yang sudah lusuh. “Valdora akan kembali lebih kuat!” serunya dengan penuh semangat, seolah mewakili harapan setiap orang di kota ini.

Dengan mata yang berbinar-binar, Revan dan timnya memandangnya, menyadari bahwa perjuangan mereka memang telah membawa hasil. Meskipun jalan yang panjang masih harus ditempuh, mereka tahu, kota ini akhirnya berdiri kembali. Dari reruntuhan dan darah yang tumpah, Valdora kembali bernyawa.***

———————————-THE END——————————-

Source: Shifa Yuhananda
Tags: HarapanDalamKehancuranKebangkitanKotaKehidupanBaruKotaValdoraPengorbananPahlawanPerangDanKehidupanPerjuanganTanpaHentiSemangatJuara
Previous Post

LUKISAN YANG MENANGIS

Next Post

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

Next Post
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK - JEJAK DI JALANAN KOTA

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In