• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
SATU LANGKAH DARI KEMATIAN

SATU LANGKAH DARI KEMATIAN

May 9, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
SATU LANGKAH DARI KEMATIAN

SATU LANGKAH DARI KEMATIAN

by SAME KADE
May 9, 2025
in Action
Reading Time: 29 mins read

Bab 1: Peluru Pertama

Langit malam di perbatasan Lareda tampak kelam, seolah menahan napas menunggu tumpahan darah pertama. Kota itu telah lama mati, hanya menjadi tempat singgah para kriminal, penyelundup, dan mereka yang tak ingin ditemukan. Namun malam ini, detak jantung kota kembali hidup—bukan karena harapan, melainkan karena ancaman.

Seorang pria berpakaian gelap bergerak cepat di antara bayangan gudang tua. Napasnya berat, keringat menetes meski suhu malam menggigit. Namanya adalah Arga Wisesa—dulu dikenal sebagai salah satu agen bayangan terbaik milik pemerintah, kini hanya buronan tanpa negara, tanpa nama.

“Target ada di lantai dua. Lima penjaga. Waktu masuk: tiga menit. Waktu keluar: tidak ada jaminan,” bisik suara dari alat komunikasi di telinganya.

Arga tidak menjawab. Ia menatap jam digital kecil di pergelangan tangan kirinya—waktu terus berdetak, dan setiap detiknya adalah taruhan antara hidup dan mati.

Satu langkah. Dua langkah. Ia mendekat ke pintu belakang gudang, merunduk, menarik napas panjang, dan—

DOR!

Peluru pertama meledak dari balik kegelapan. Tidak mengenai tubuhnya, tapi cukup dekat untuk mengikis kepercayaan dirinya. Arga berguling ke samping, berlindung di balik tong besi berkarat. Matanya mencari sumber tembakan, pikirannya bekerja cepat. Serangan ini bukan kebetulan—seseorang tahu ia datang.

“Ada yang bocorkan informasiku…” gumamnya sambil mengeluarkan pistol berperedam dari balik rompinya.

Tembakan demi tembakan bersahutan. Teriakan dalam bahasa asing terdengar dari dalam gudang. Arga tahu, waktunya habis. Jika ia tidak bergerak sekarang, misi berakhir, dan nyawanya pun ikut terkubur di tanah asing ini.

Dengan kecepatan yang telah ia latih bertahun-tahun, Arga menyerbu masuk. Dua peluru menghantam dua penjaga pertama—senyap dan cepat. Satu lagi menyerangnya dari samping, tapi Arga menangkis dengan pisau, memutar tubuh lawannya hingga menubruk dinding.

Lantai dua tinggal sepuluh meter. Tapi suara langkah berat dari tangga membuatnya berhenti. Tiga penjaga bersenjata lengkap mengepung dari atas. Mereka tidak seperti pengawal biasa. Ini bukan perang antara tentara—ini eksekusi.

Namun Arga bukan sembarang pria. Ia hidup dalam dunia yang hanya mengenal satu hukum: bertahan atau mati.

Dengan satu ledakan kilat dari granat kejut, Arga melompat menuju tangga, menghujamkan peluru ke dada satu penjaga, menendang senjata dari tangan yang lain, dan mengakhiri semuanya dalam waktu kurang dari dua belas detik.

Darah menetes. Asap masih mengepul. Tapi target yang ia cari… telah tiada.

Hanya satu ponsel yang tertinggal, dengan satu pesan terbuka:

“Permainan baru dimulai. Selamat datang kembali, Arga.”

Dan malam itu, ia sadar—peluru pertama bukanlah akhir. Itu hanyalah tanda dimulainya perang yang jauh lebih besar.

Bab 2: Nama yang Terhapus

Hujan turun deras di atas kota tua Caracas, menciptakan irama kelam di atas atap seng yang berkarat. Arga duduk di sudut kamar penginapan sempit, hanya diterangi cahaya redup dari lampu meja yang berkedip. Matanya menatap layar ponsel yang masih menampilkan pesan misterius dari gudang malam tadi.

“Permainan baru dimulai. Selamat datang kembali, Arga.”

Pesan itu bukan sekadar ancaman—itu adalah tanda bahwa hidupnya tidak lagi milik dirinya. Seseorang, entah siapa, telah mengatur skenario baru. Dan yang paling mengejutkan: namanya telah dihapus.

Ia mencoba mengakses jaringan lama—kode, frekuensi rahasia, bahkan jalur komunikasi yang dulu hanya digunakan oleh unit khusus tempat ia pernah bertugas. Tidak ada yang merespons. Bahkan lebih dari itu: sistem tidak mengenali siapa itu “Arga Wisesa”.

Lelaki itu berdiri, berjalan ke cermin retak di kamar kecil itu. Wajahnya masih sama, tapi ia tahu… dunia telah memperlakukannya seolah ia tak pernah ada.

“Aku sudah mati,” gumamnya, menatap bayangannya sendiri.

Ia membuka tas kecil di lantai, mengeluarkan satu-satunya bukti masa lalunya—kartu identitas dari lembaga yang dulu merekrutnya. Kartu itu kini kosong. Tidak ada nama. Tidak ada foto. Hanya plastik bening dan chip yang hangus.

Mata Arga menatap kosong. Dalam dunia spionase dan operasi hitam, dihapus dari sistem berarti lebih dari sekadar dilupakan. Itu adalah hukuman tertinggi. Artinya, ia telah dianggap berbahaya bagi misi, tak bisa dikendalikan, atau lebih buruk… dikhianati.

Tiba-tiba, suara ketukan tiga kali menggema dari pintu. Ia meraih pistol secara refleks.

“Siapa?” tanyanya tanpa mendekat.

Tak ada jawaban. Hanya secarik amplop tergelincir dari bawah pintu.

Dengan sigap, ia memeriksa amplop itu. Tidak ada nama pengirim. Di dalamnya, hanya ada satu foto dan sebuah catatan tulisan tangan.

Foto itu memperlihatkan seorang perempuan—wajah yang tidak asing. Anjani. Satu-satunya orang dari masa lalunya yang masih hidup dan pernah menyelamatkan nyawanya sekali waktu.

Di bawah foto, tulisan itu berbunyi:

“Mereka akan mengincarnya… karena kamu. Jika kau ingin menebus hidupmu, selamatkan dia.”

Arga mencengkeram foto itu erat-erat. Rahangnya mengeras. Siapa pun yang menghapus namanya, kini mulai menyerang satu-satunya sisa dari hidup lamanya.

“Kalau ini perang, aku akan menyalakan apinya sendiri,” ucapnya pelan.

Malam itu, tanpa nama, tanpa negara, tanpa siapa pun di sisinya, Arga mulai menyusun langkah. Ia bukan lagi agen. Ia bukan lagi manusia dalam sistem.

Kini, ia hanya satu hal: bayangan hidup yang menolak mati.

Dan di luar sana, seseorang akan membayar mahal karena mencoba menghapusnya dari dunia.

Bab 3: Kota Tanpa Jalan Keluar

Kabut tipis menyelimuti kota Velmer, sebuah wilayah di perbatasan utara yang tak tercantum dalam peta resmi negara mana pun. Di sinilah tempat para pelarian, pengkhianat, dan mereka yang sudah tidak punya tujuan hidup memilih bersembunyi. Kota itu ibarat titik mati peradaban—jika seseorang masuk ke dalamnya, hampir mustahil keluar dengan selamat.

Arga melangkah menyusuri gang sempit yang becek. Bau busuk dari tumpukan sampah bercampur bau besi dari bengkel tua yang tak pernah berhenti beroperasi. Lampu jalan mati, dan mata-mata asing mengintainya dari balik tirai robek dan jendela retak.

Ia mengenakan jaket tua berkerah tinggi dan menyembunyikan wajah di balik topi lusuh. Di tempat seperti ini, menyapa orang asing bisa menjadi alasan untuk dibunuh. Semua orang punya senjata. Semua orang menyimpan rahasia. Dan semua orang tahu: jangan bertanya.

Arga mendekati sebuah bar tua di ujung jalan, dengan papan nama yang hanya tinggal setengah huruf menyala. Di dalam, asap rokok tebal memenuhi udara. Musik lawas berdentum dari speaker rusak, dan meja-meja dipenuhi orang-orang yang pernah memiliki masa lalu yang tak bisa ditebus.

Ia mendekati bartender—seorang wanita paruh baya bermata tajam.

“Aku mencari seseorang,” kata Arga, suara pelan namun tegas.

Bartender tidak menjawab, hanya mengerling ke arah kamera tua yang menghadap pintu.

“Semua yang dicari di kota ini biasanya tidak ingin ditemukan,” jawabnya datar.

Arga meletakkan sebuah koin perak kecil di atas meja—kode lama dari dunia intelijen bawah tanah. Mata si bartender berubah seketika. Ia mengambil koin itu, lalu berbisik, “Kalau kau masih hidup besok pagi, datang ke terowongan bekas kereta di bawah Pasar Tua. Seseorang menunggumu.”

Arga hendak pergi ketika dua pria besar berdiri di hadapannya. Senyum mereka palsu, tapi pisau di balik jaket mereka sangat nyata.

“Kau bukan orang sini,” ucap salah satu dari mereka. “Dan kami tidak suka wajah baru.”

Arga memutar tubuh pelan, tangannya sudah menggenggam senjata kecil di balik jaket. Tapi ia tahu, menarik pelatuk di tempat seperti ini hanya akan memicu pembantaian. Maka ia memilih bicara.

“Aku hanya lewat.”

Satu detik. Dua detik. Lalu, tanpa aba-aba, pukulan dilayangkan ke arah wajahnya.

Namun Arga lebih cepat.

Dengan satu gerakan, ia menjatuhkan lawan pertama menggunakan siku, lalu memutar tubuh untuk menghantamkan lutut ke perut pria kedua. Dalam hitungan detik, keduanya terkapar.

Semua yang ada di bar diam. Tak ada yang bertepuk tangan. Tak ada yang marah. Hanya diam.

Karena di Velmer, kekerasan adalah bahasa ibu.

Arga keluar dari bar, berjalan kembali ke kegelapan. Ia tahu, waktu semakin menipis. Dan Velmer bukan kota untuk mereka yang ingin hidup. Kota ini seperti lubang hitam—menghisap siapa pun yang masuk, tanpa memberi jalan keluar.

Namun ia tidak datang untuk bersembunyi.

Ia datang untuk menemukan kebenaran, meski harus menyusuri kota tanpa nama ini dengan darah sebagai petunjuknya.

Bab 4: Bayaran untuk Pengkhianatan

Suara derit rel berkarat terdengar nyaring ketika Arga melangkah menuruni tangga menuju terowongan bekas kereta di bawah Pasar Tua Velmer. Cahaya lampu remang-remang di sepanjang dinding menciptakan bayangan panjang yang bergerak seperti hantu. Bau lembap dan debu tua memenuhi udara, menambah atmosfer kota yang seakan tidak pernah mengenal cahaya siang hari.

Di ujung terowongan, seorang pria berdiri membelakanginya. Rambutnya pendek, tubuhnya tinggi dan kurus, namun tetap tegap seperti seseorang yang terbiasa hidup dalam disiplin militer. Saat pria itu berbalik, dada Arga terasa menegang.

Beno.

Dulu mereka sahabat. Rekan satu tim dalam misi-misi tak bernama. Saling menyelamatkan nyawa lebih dari sekali. Tapi hari ini, yang berdiri di hadapannya bukan lagi sahabat—melainkan pengkhianat.

“Aku tahu kau masih hidup,” ucap Beno datar, tangannya tetap di saku jaket.

Arga menahan gejolak amarah di dadanya. Ia mendekat perlahan. “Kenapa, Ben? Kenapa kau jual namaku?”

Beno tertawa kecil, getir. “Kita ini alat, Ga. Selalu jadi pion dalam permainan yang kita sendiri tak pernah mengerti. Kau hanya terlalu percaya sistem. Terlalu setia pada negara yang bahkan tidak mau mengakui keberadaanmu.”

“Mereka menghapusku karena kau.” Arga menatap tajam, rahangnya mengeras. “Kau bocorkan misi di Caracas. Kau biarkan aku jadi buruan.”

Beno mengangguk. Tanpa rasa bersalah.

“Aku diberi pilihan: lenyap bersama namaku, atau bertahan dengan harga pengkhianatan. Dan aku… memilih bertahan.”

Arga mengepalkan tangan. “Dengan menjualku?”

Beno menghela napas. “Dengan memastikan aku tidak ikut mati bersamamu.”

Hening sesaat. Hanya suara tetesan air dari atap terowongan yang terdengar.

“Aku tidak datang ke sini untuk menagih dendam,” lanjut Arga. “Aku datang untuk menanyakan satu hal—siapa yang menarik pelatuk pertama? Siapa yang menyusun semua ini?”

Beno menunduk, lalu menyerahkan secarik foto dari dalam jaketnya. Arga menerimanya.

Seorang pria berkepala botak dengan luka bakar di sisi wajah, duduk di kursi roda. Matanya tajam. Di baliknya, bendera kecil dengan lambang hitam—organisasi bawah tanah yang pernah diberantas oleh unit Arga sendiri, tapi kini… tampaknya bangkit kembali.

“Ravel. Dulu kita kira dia mati. Tapi dia kembali… dan dia ingat semua.”

Arga mengangguk pelan. Nama itu menghantam pikirannya seperti tembakan senapan jarak dekat.

“Aku sudah terlalu dalam, Ben. Tak bisa mundur.”

Beno tersenyum pahit. “Kita semua begitu.”

Namun sebelum Arga sempat bicara lagi, sebuah peluru menghantam dada Beno dari kejauhan—DOR!

Tubuh Beno terhuyung, lalu jatuh ke lantai terowongan. Darah mengalir cepat dari dadanya.

Arga langsung berlindung di balik tiang, menatap sekeliling. Tapi sang penembak telah menghilang.

Ia mendekati Beno yang mulai sekarat. Mata mereka bertemu sekali lagi.

“Bukan aku yang minta mereka membunuhmu… tapi mereka tahu kau akan datang padaku. Ini… balasan karena aku memilih bicara.”

Beno menarik napas terakhirnya. Tangan Arga mengepal erat.

Di dunia tempat mereka tumbuh, tidak ada kata maaf. Hanya ada bayaran untuk setiap kesetiaan yang patah—dan hukuman untuk pengkhianatan.

Malam itu, Arga kembali berdiri sendiri.

Namun kali ini, ia membawa nama baru di daftar buruan: Ravel.

Dan ia bersumpah—bayaran untuk semua pengkhianatan ini hanya akan ditebus dengan darah.

Bab 5: Jejak yang Ditinggalkan

Langkah kaki Arga menggema di sepanjang lorong sempit menuju apartemen sewaan yang ia jadikan tempat berlindung sementara. Udara dini hari menyusup melalui celah-celah jendela reyot, membawa serta hawa kematian yang masih tertinggal dari pertemuannya dengan Beno malam tadi.

Di tangannya, foto Ravel masih tergenggam erat. Pria itu seharusnya sudah mati lima tahun lalu dalam operasi pembumihangusan markas pemberontak di perbatasan selatan. Arga sendiri menyaksikan kobaran api melalap bangunan tempat Ravel terakhir terlihat. Namun kini, kenyataan mencabik semua kepastian yang pernah ia genggam—Ravel hidup, dan sedang memimpin permainan ini dari bayangan.

Di meja kayu yang rapuh, Arga menata kembali potongan-potongan informasi yang ia miliki: peta kota Velmer, daftar nama kontak lama, dan satu folder lusuh milik Beno yang sempat ia ambil sebelum peluru menjemput lelaki itu. Di dalam folder itu, ada peta digital bertanda merah pada tiga lokasi: Gudang 17, Pemakaman St. Helga, dan Panti Rehabilitasi Rohani Immaculata.

Tiga tempat dengan satu kesamaan: semuanya tempat yang pernah dikubur oleh sistem.

Arga memutuskan memulai dari Gudang 17—tempat yang dulu dikenal sebagai fasilitas penyimpanan logistik militer, sebelum dihentikan secara mendadak dan ditutup dengan alasan “tidak layak operasi.” Namun di dunia Arga, alasan semacam itu biasanya hanya penutup dari sesuatu yang jauh lebih kelam.

Gudang 17 terletak di pinggiran barat Velmer, dikelilingi semak-semak liar dan pagar kawat yang mulai berkarat. Arga menyusup melewati celah di sisi timur, senyap seperti bayangan. Ia melangkah pelan menuju pintu utama yang setengah terbuka.

Di dalam, bau lembap bercampur karat langsung menusuk hidung. Rak-rak logistik kosong, berlapis debu. Namun yang menarik perhatian Arga adalah lantai yang tak sepenuhnya rata—ada bekas pergeseran, seperti penutup pintu tersembunyi.

Ia menarik tuas di sisi rak besi tua. Suara klik terdengar, lalu lantai perlahan bergeser, memperlihatkan tangga menurun ke ruang bawah tanah.

Di sanalah ia menemukan jejak yang ditinggalkan.

Ruang bawah tanah itu tampak seperti laboratorium darurat. Papan-papan catatan di dinding, foto-foto anggota tim khusus generasi lama—termasuk dirinya sendiri—dan data operasi yang seharusnya sudah dimusnahkan. Namun di tengah ruangan, ada satu hal yang membuat jantungnya berdegup lebih kencang: rekaman video.

Ia menyalakan perangkat pemutar yang berdebu.

Layar memperlihatkan sosok Ravel, duduk di ruang gelap, dengan luka bakar parah di wajahnya. Suaranya serak, namun tegas.

“Mereka mengira aku mati. Mereka bakar tubuhku, lalu pura-pura melupakan. Tapi satu hal yang mereka lupa: orang yang kehilangan segalanya, tak punya apa pun untuk ditakuti.”

“Aku tidak membalas dendam pada Arga… aku hanya ingin dia menyadari bahwa dia hanyalah bidak. Sama seperti aku dulu. Tapi kali ini… bidaknya akan menyerang balik.”

Rekaman berhenti. Arga menghembuskan napas panjang.

Semua ini bukan sekadar tentang balas dendam. Ini tentang membongkar kebenaran sistem yang menciptakan monster seperti mereka.

Dan di antara kegelapan itu, satu jejak kecil yang ditinggalkan Ravel menunjukkan arah: Panti Rehabilitasi Immaculata.

Tempat itu pernah digunakan untuk mencuci otak tahanan perang. Kini, mungkin digunakan untuk mencetak generasi baru dari mereka yang tak punya identitas.

Arga mengemasi barangnya. Ia tahu, setiap langkah selanjutnya akan semakin dalam menuju jurang yang tak bisa dipanjat kembali. Tapi ia juga tahu: kebenaran tidak pernah muncul tanpa pengorbanan.

Dan malam itu, satu hal menjadi jelas:

Ravel meninggalkan jejak bukan untuk ditemukan… tetapi untuk diikuti.

Bab 6: Di Balik Wajah Musuh

Langit di atas Velmer tampak seperti luka besar yang belum sembuh. Awan mendung menggantung berat, seolah tahu bahwa hari itu akan menyingkap sesuatu yang lebih kelam daripada malam.

Arga berdiri di seberang gerbang Panti Rehabilitasi Rohani Immaculata, sebuah bangunan tua dengan cat terkelupas dan taman yang tak lagi terurus. Dari luar, tempat itu tampak seperti rumah ibadah yang ditinggalkan. Namun laporan dari Beno dan rekaman Ravel menunjukkan bahwa tempat ini menyimpan lebih dari sekadar doa-doa yang terlupakan.

Dengan langkah hati-hati, Arga menyusup melalui pintu samping yang tertutup sebagian. Di dalam, lorong panjang menyambutnya dengan keheningan yang menakutkan. Dinding putih pudar dipenuhi foto-foto anak-anak dan simbol keagamaan. Tapi yang membuat Arga merinding adalah suara bisikan dari pengeras suara lama yang berdesis: doa yang terus berulang tanpa jeda.

Ia menyelinap ke lantai bawah—ruang yang tak ada di denah arsitektur bangunan.

Di sanalah ia melihatnya. Ruang pelatihan.

Namun bukan untuk berdoa atau menyembuhkan—melainkan untuk mengubah manusia menjadi alat. Ada target tembak, simulator medan tempur, bahkan ruang pengasingan psikologis. Semua bukti bahwa Immaculata kini menjadi markas tersembunyi Ravel, tempat di mana trauma dikendalikan, dan kehendak dibentuk ulang.

Arga mengaktifkan kamera kecil di dadanya. Semua ini harus direkam.

Tapi langkah kakinya terhenti saat melihat sosok wanita berdiri di ujung lorong, menatapnya dengan mata lelah namun tajam. Rambutnya diikat rapi, mengenakan seragam perawat tua. Wajah itu… tak asing.

“Nadya?”

Wanita itu terdiam sejenak, sebelum menjawab pelan, “Kau seharusnya tidak ke sini, Arga.”

Nadya—mantan analis lapangan yang dianggap tewas dalam misi pembantaian di Belarus dua tahun lalu. Wanita yang dulu menjadi mata dan telinga Arga dalam setiap operasi. Ia tak hanya cerdas, tapi juga satu-satunya yang Arga percaya setelah semua pengkhianatan.

“Bagaimana… kau bisa—?”

“Aku tak mati,” potong Nadya cepat. “Aku diselamatkan. Oleh Ravel.”

Napas Arga tercekat. “Diselamatkan? Oleh pria yang membakar seluruh tim kita hidup-hidup?”

Nadya menatap lurus ke arahnya. Tak ada kebencian. Hanya luka yang belum pulih.

“Kau tahu siapa musuh sebenarnya, Ga? Bukan Ravel. Bukan pemberontak. Tapi mereka yang duduk di balik meja, mengendalikan kita seperti pion. Ravel membuka mataku.”

Arga menggeleng. “Ravel menghancurkan hidupku.”

“Tidak,” bisik Nadya. “Sistem yang kau lindungi itu yang melakukannya.”

Mereka berdiri dalam diam. Tak ada senjata yang diangkat, tapi udara terasa seperti medan perang. Arga tak bisa memproses semuanya sekaligus—Nadya hidup, berada di pihak musuh, dan membela pria yang ingin menjatuhkannya.

Namun sebelum ia bisa bicara lagi, alarm darurat menyala. Lampu merah berkedip di langit-langit.

“Kau harus pergi,” kata Nadya cepat. “Mereka tahu kau di sini. Ini bukan waktunya untuk mati, Arga.”

Ia menarik tuas rahasia di dinding. Sebuah lorong terbuka di balik rak buku tua.

“Percayalah, masih ada sesuatu yang harus kau lihat. Tapi tidak di sini.”

Arga menatap mata Nadya untuk terakhir kalinya. Masih ada rasa percaya, meski tipis.

Ia melangkah masuk ke lorong pelarian, sementara suara sepatu bot dan senjata mulai terdengar dari arah tangga.

Ketika pintu tertutup, Arga tahu satu hal:

Musuh tak selalu memakai wajah asing. Kadang, mereka adalah wajah yang dulu kau cintai.

Dan dalam peperangan ini, kebenaran bisa membunuh lebih cepat daripada peluru.

Bab 7: Tawanan dalam Kegelapan

Suara denting logam dan derit engsel tua menjadi satu-satunya hal yang menemani kesadaran Arga saat ia perlahan membuka mata. Ruangan itu gelap gulita, dingin, dan berbau lembap seperti ruang bawah tanah yang lama ditinggalkan. Ia mencoba menggerakkan tangan, namun keduanya terikat dengan borgol logam yang terpasang erat di dinding.

Ia tidak tahu berapa lama ia tidak sadarkan diri. Terakhir yang ia ingat, ia melewati lorong pelarian yang dibuka Nadya. Tapi seseorang—atau sesuatu—telah menunggunya di ujung jalan.

Arga menarik napas panjang, menenangkan dirinya. Dalam pelatihan, mereka menyebut situasi seperti ini sebagai “fase senyap”—momen saat tubuh ingin panik, namun pikiran harus tetap tajam.

Tiba-tiba, lampu neon di langit-langit menyala dengan suara berdengung. Cahaya putih pucat memperlihatkan ruangan sempit yang lebih mirip sel interogasi. Di depannya, duduk seorang pria—tenang, rapi, dan tak asing.

“Arga. Senang akhirnya kita bisa berbicara sebagai sesama korban.”

Ravel.

Wajahnya sebagian tertutup bekas luka bakar, namun sorot matanya masih tajam seperti dulu. Ia mengenakan jas hitam bersih, jauh dari kesan seorang buronan. Justru sebaliknya, ia tampak seperti seorang eksekutif yang sedang memimpin rapat rahasia.

Arga menatap tajam. “Kalau kau ingin balas dendam, mengapa tidak bunuh aku saja?”

Ravel tersenyum tipis. “Karena kau bukan targetku, Arga. Kau kunci dari semua ini.”

Ia berdiri, berjalan pelan mengelilingi ruangan. “Apa kau pernah bertanya… mengapa operasi kita selalu gagal dengan korban besar? Mengapa informasi selalu bocor di saat genting? Karena kita dimanfaatkan. Kita dikorbankan agar ‘mereka’ tetap berkuasa.”

Arga menggeleng pelan. “Dan caramu memperbaiki itu adalah dengan menjadi seperti mereka?”

Ravel berhenti. “Aku tidak jadi seperti mereka. Aku mengungkapkan wajah mereka yang sebenarnya.”

Ia meletakkan sebuah tablet di hadapan Arga. Layar menyala, memperlihatkan data sensitif—video rahasia, dokumen hitam, rekaman suara para pejabat tinggi yang merancang “pemusnahan kendali” terhadap pasukan elit agar tidak membahayakan sistem ketika perang usai.

Arga terpaku. Nama timnya—Phantom 9—tertera di dalam dokumen sebagai bagian dari rencana yang “tidak diperlukan lagi untuk stabilitas nasional.”

“Kita dijadikan hantu perang. Dan ketika tugas selesai, mereka ingin kita menghilang.”

Namun sebelum Arga bisa menjawab, suara keras menggema dari atas. Alarm berbunyi. Tembakan meletus di kejauhan.

Ravel menarik napas. “Mereka datang lebih cepat dari perkiraan. Rupanya ada yang mengikuti jejakmu.”

Ia mendekat dan membisikkan sesuatu di telinga Arga.

“Jika kau ingin tahu siapa sebenarnya musuhmu, temui pria bernama Elman di Distrik 12. Ia punya jawabannya. Tapi hanya jika kau masih hidup sampai besok pagi.”

Ravel menekan tombol di dinding. Borgol Arga terbuka secara otomatis. Lalu, dalam hitungan detik, ia menghilang ke dalam lorong rahasia, meninggalkan Arga yang masih limbung.

Arga berdiri, menggenggam tablet yang diberikan. Di luar, suara tembakan makin dekat. Ia harus keluar—bukan hanya untuk menyelamatkan diri, tapi untuk membawa kebenaran yang baru saja ia dapatkan.

Di tengah kegelapan yang mulai merayap kembali, satu hal menjadi jelas:

Arga bukan sekadar korban dalam permainan ini. Ia adalah pion yang sedang berubah menjadi ancaman.

Dan di dunia yang dipenuhi pengkhianatan, kebenaran seringkali hanya bisa ditemukan… dalam gelap.

Bab 8: Pelarian Berdarah

Langkah Arga bergema di lorong sempit bawah tanah, berlari menembus kegelapan dengan napas terengah. Pintu darurat yang terbuka tak lebih dari celah sempit menjadi satu-satunya harapan keluar dari neraka bawah tanah yang siap runtuh.

Di belakangnya, suara sepatu berat dan hentakan senjata otomatis semakin dekat. Tim eksekusi dari satuan tak dikenal mengejar dengan cepat, tanpa aba-aba, tanpa peringatan—seperti predator yang tahu betul kapan harus membunuh.

Dor! Dor! Dor!

Tembakan menghantam dinding beton di kiri dan kanan. Pecahan semen berhamburan, mengenai wajah dan lengan Arga. Tapi ia tak berhenti. Ia tak punya pilihan selain terus maju, meski darah mulai mengalir dari pelipis akibat serpihan tajam yang menancap.

Sebuah pintu logam terlihat di ujung lorong. Arga menghempaskannya terbuka dan masuk ke sebuah ruangan kosong berisi rak-rak besi dan tangga tua menuju permukaan. Saat tangannya meraih anak tangga pertama, satu peluru menghantam pahanya dari belakang.

“Agh!” Ia mengerang, jatuh sejenak. Darah mengucur deras, membasahi celana dan tangannya. Namun adrenalin membuatnya bangkit. Dengan sisa tenaga, ia memanjat—satu anak tangga, lalu satu lagi. Setiap gerakan terasa seperti menembus api.

Tangga berakhir di bawah penutup saluran air. Arga mendorongnya kuat-kuat. Tutup besi itu terbuka, memperlihatkan langit malam yang pekat dan udara dingin kota yang berembus masuk. Ia keluar, terengah, lalu jatuh di jalanan belakang sebuah pasar gelap yang sudah sepi.

Langkahnya pincang, tangan menekan luka di paha. Ia harus bergerak, harus menjauh.

Tapi suara motor berderu dari kejauhan. Satu motor hitam mendekat, lampunya menyala tajam ke arah Arga. Penunggangnya mengenakan helm dan jaket kulit.

Arga bersiap bertarung, tapi motor itu berhenti tepat di hadapannya.

Sosok itu membuka helm. Nadya.

“Naik! Sekarang!”

Tanpa banyak tanya, Arga naik ke belakang. Nadya memutar gas, dan motor melaju menembus gang-gang sempit kota Velmer. Dari belakang, Arga melihat dua mobil SUV hitam mengejar dari kejauhan. Tembakan kembali terdengar.

“Siapa mereka?” teriak Arga.

“Mereka bukan Ravel, bukan juga polisi. Mereka dari dalam sistem. Orang-orang yang tak ingin kamu keluar dari tempat itu hidup-hidup.”

Motor berbelok tajam, lalu melompat di atas jembatan kecil menuju terowongan tua yang hampir ambruk. Di tengah kejaran dan suara peluru yang tak henti meledak di belakang, Arga mulai sadar—informasi yang ia bawa terlalu berbahaya untuk dibiarkan hidup.

Beberapa menit kemudian, mereka tiba di sebuah gudang tua di tepi kota. Nadya menariknya turun, membuka pintu samping, dan membantu Arga masuk ke dalam ruang rahasia yang tersembunyi di bawah lantai.

Darah masih mengucur. Pandangannya mulai buram. Nadya mencari perban, menyuntikkan sesuatu ke pahanya.

“Kita aman untuk sementara.”

“Tidak,” ujar Arga pelan. “Kita hanya menunda kematian.”

Nadya menatapnya, kali ini tak menyembunyikan kegelisahan.

“Apa yang kau lihat di ruang interogasi?”

Arga menggenggam tablet yang masih terikat di pinggangnya. Ia menatap Nadya tajam.

“Kebenaran. Dan sekarang, mereka akan memburu siapa pun yang mendekatinya.”

Sementara malam makin pekat di luar, dan sirene samar terdengar dari kejauhan, Arga tahu bahwa pelarian ini belum selesai. Bahkan mungkin baru saja dimulai.

Dan setiap langkah selanjutnya, akan selalu dibayar dengan darah.

Bab 9: Satu Malam, Seribu Bahaya

Angin malam menyapu jalanan Distrik 12, meninggalkan aroma besi, debu, dan ketakutan. Di tengah kelamnya kota yang tak pernah benar-benar tidur, Arga dan Nadya menyusuri gang-gang sempit, bersembunyi dari pandangan dunia. Luka di paha Arga sudah dibalut, tapi denyut nyerinya terus mengingatkan bahwa kematian bisa datang kapan saja.

Distrik ini bukan tempat bagi orang yang berharap keadilan. Ini wilayah yang dibangun dari bayang-bayang, dihidupi oleh perdagangan ilegal, informasi gelap, dan nyawa yang bisa dibeli. Tempat di mana kepercayaan adalah mata uang paling langka.

“Kita harus temukan Elman malam ini juga,” kata Nadya pelan. Suaranya nyaris tenggelam oleh deru kendaraan berat dan sirene yang meraung dari kejauhan.

“Kalau dia masih hidup,” sahut Arga, matanya awas mengawasi setiap pergerakan di sekitar.

Mereka tiba di sebuah bar tua bertuliskan “Kapal Tenggelam”, tempat yang konon menjadi titik temu para informan bayangan. Di dalamnya, suasana remang, dipenuhi asap rokok, tawa keras yang mencurigakan, dan mata-mata yang tajam menilai siapa yang pantas keluar hidup-hidup.

Seorang pria besar berdiri di dekat meja belakang. Tatapannya kosong, tapi tangannya menggenggam pistol di balik jaket kulitnya. Nadya menghampiri, menunjukkan tanda berbentuk kalajengking kecil di pergelangan tangannya—sandi lama dari jaringan informasi bawah tanah.

Pria itu mengangguk pelan, lalu membuka pintu rahasia di belakang rak botol minuman. Di baliknya, sebuah lorong gelap menunggu. Arga menahan napas, merasa setiap langkah di lorong itu seperti menginjak ranjau tak terlihat.

Di ujung lorong, seorang lelaki tua duduk di depan layar holografik kuno. Wajahnya kusut, matanya merah karena terlalu lama berjaga.

“Kau Elman?” tanya Arga.

Lelaki itu mengangkat kepalanya. “Kau Arga. Aku sudah menunggu.”

Elman menunjukkan data dalam bentuk visual—dokumen rahasia tentang operasi “Pembersihan Hantu”, nama kode untuk proyek pemusnahan tim-tim elit yang dianggap tahu terlalu banyak. Arga melihat nama-nama rekan-rekannya yang sudah mati. Semuanya dihabisi satu per satu dengan alasan “insiden operasi.”

“Siapa di balik ini?”

Elman menghela napas. “Kau tahu siapa. Tapi kau belum siap mendengarnya malam ini.”

Tiba-tiba, layar padam. Lampu darurat menyala. Sirene kembali meraung—lebih dekat, lebih mengancam.

“Mereka menemukanku,” ucap Elman lirih. “Ambil ini!” Ia menyelipkan sebuah chip data ke dalam kantong Arga. “Jangan lihat isinya sekarang. Keluar dari kota. Temui seseorang bernama Ratu di Pelabuhan Hitam. Dia bisa membantumu menyeberang ke wilayah netral.”

Pintu belakang meledak. Arga dan Nadya langsung merunduk, peluru beterbangan menghantam rak dan dinding beton.

“Lari!” Elman mendorong mereka ke pintu samping sebelum tubuhnya sendiri tertembus timah panas.

Arga dan Nadya berlari di antara lorong sempit, melompati pagar, menerobos pasar gelap, dan hampir tertabrak mobil yang melaju tanpa lampu. Kota ini berubah menjadi ladang pembantaian.

Setiap sudut menyimpan bahaya. Setiap wajah bisa menjadi musuh. Dan malam itu, seakan seluruh kota memutuskan untuk membunuh siapa pun yang membawa kebenaran.

Setelah menempuh pelarian panjang, mereka bersembunyi di sebuah gudang kosong di pinggiran kota. Nafas terengah, darah di baju, dan tangan yang tak berhenti gemetar.

Arga menatap langit malam yang diselimuti awan gelap. “Satu malam…” gumamnya.

“Seribu bahaya,” lanjut Nadya pelan.

Mereka belum menang. Bahkan belum mendekati kemenangan. Tapi mereka masih hidup—dan selama itu terjadi, perlawanan belum berakhir.

Bab 10: Api di Tengah Kota

Angin kencang membawa bau aspal terbakar saat Arga dan Nadya berlari menyusuri jalanan kota yang penuh kobaran api. Sebuah ledakan besar mengguncang gedung bertingkat di sebelah kanan mereka, mengirimkan serpihan kaca dan puing-puing bangunan terbang ke udara. Semuanya terjadi begitu cepat, dan mereka tidak punya waktu untuk berpikir panjang.

“Mereka tahu kita ada di sini!” teriak Nadya, suaranya hampir tenggelam oleh dentuman ledakan yang semakin dekat. “Kita harus cepat!”

Arga menggenggam chip data yang diberikan Elman dengan erat, matanya waspada ke segala arah. Keadaan kota ini sudah berubah menjadi medan perang. Jalanan yang dulu dipenuhi kendaraan, kini hanya meninggalkan jejak kehancuran. Api berkobar di mana-mana, dan suara tembakan serta jeritan orang-orang tak terdengar lagi sebagai kejutan—mereka hanya menjadi bagian dari kegilaan yang sedang terjadi.

Di depan mereka, sebuah kendaraan tak dikenal melaju kencang, mendekat dengan cepat. Dua mobil sedan hitam melaju di belakangnya, jelas sekali bahwa mereka sedang diburu. Mereka hanya punya satu pilihan: bertahan atau bertempur.

“Ambil senjatamu!” Arga berbisik, menarik Nadya ke balik sebuah mobil yang hancur, berlindung dari tembakan yang datang dari arah mobil-mobil itu.

Nadya segera merogoh tasnya, mengeluarkan senapan serbu kecil, dan mengarahkannya ke pintu mobil yang rusak. Tanpa ragu, ia mengeluarkan tembakan pertama, menghantam kaca depan salah satu mobil pengejar yang mulai berputar kehilangan kendali.

Namun, musuh mereka lebih dari sekadar pengejar biasa. Mereka adalah pasukan bayaran profesional, terlatih, dan tidak akan mundur hanya karena satu tembakan. Beberapa orang di dalam mobil sedan hitam keluar dan mulai mengepung posisi mereka. Suara tembakan semakin keras, ricuh, membuat Arga merasakan degup jantungnya semakin cepat. Semua yang mereka lakukan sekarang, semua keputusan yang mereka ambil, akan menentukan hidup atau mati.

Arga menarik Nadya lebih dalam ke balik reruntuhan, mengambil nafas sejenak. “Kita harus keluar dari sini, sekarang!”

Namun, saat ia berlari menuju jalan utama, sebuah ledakan dahsyat mengguncang tanah di bawah kaki mereka. Api menyembur tinggi, memblokir jalan mereka dengan dinding api yang tak terelakkan.

“Kita terjebak!” Nadya berteriak, wajahnya dipenuhi keringat dan kengerian.

Tapi Arga tak memberi kesempatan pada ketakutan. Dengan refleks tajam, ia berbalik dan menarik Nadya untuk bersembunyi di sebuah lorong sempit yang mengarah ke kawasan industri. Mereka harus melawan jika ingin keluar hidup-hidup. Tidak ada lagi jalan mundur.

“Kita buat jebakan,” kata Arga tegas, merencanakan langkah selanjutnya.

Nadya mengangguk. Mereka harus bertahan hidup. Di tengah kota yang penuh api dan kematian ini, setiap gerakan harus penuh perhitungan.

Arga menata posisi, mempersiapkan senjatanya, dan mulai menarik tali penghubung yang ada di bawah tanah—sebuah alat jebakan yang sudah dipersiapkan sejak lama. Sebuah alat peledak sederhana yang bisa membuat kendaraan mereka terhenti untuk sementara. Dengan cepat, Arga dan Nadya menyusun taktik untuk bertahan di tengah api yang mengelilingi mereka.

Saat pasukan bayaran semakin mendekat, mereka bersembunyi di balik sisa-sisa bangunan yang hancur. Hati Arga berdebar keras. Tembakan terdengar, dan dalam sekejap, mobil pertama dari pasukan pengejar berhenti tepat di atas jebakan yang mereka pasang.

“Boom!” Sebuah ledakan menghancurkan mobil itu, dan sebagian dari pasukan terpelanting keluar. Dalam kekacauan itu, Arga dan Nadya tidak membuang waktu. Mereka melesat menuju sebuah lorong kecil, keluar dari daerah terbakar, menghindari pandangan lawan yang kebingungannya masih belum selesai.

Namun api yang berkobar itu hanya menjadi pengalih perhatian. Pasukan lain yang lebih banyak kembali mengejar, memburu mereka tanpa ampun.

Dalam pelarian yang semakin sulit ini, Arga tahu satu hal: tidak ada tempat aman di kota ini. Dan setiap jalan yang mereka tempuh hanya semakin membawa mereka ke dalam bahaya yang lebih besar.

Malam itu, bukan hanya kota yang terbakar—hidup mereka juga berada di ujung api yang siap melahap segalanya.

Bab 11: Misi yang Tak Pernah Ada

Kota yang dulu penuh hiruk-pikuk kini tampak sepi, terlupakan dalam bayang-bayang bencana yang terus mengintai. Arga dan Nadya bersembunyi di dalam gudang kosong yang tak jauh dari perbatasan kota, menunggu kesempatan untuk bergerak lagi. Kegelapan malam itu begitu tebal, hanya sesekali cahaya lampu jalan yang berkelip jauh di ujung gang. Di luar, angin membawa sisa-sisa abu dari api yang tak kunjung padam.

Arga duduk di lantai dingin, menatap chip data yang sudah ia pegang berjam-jam. Matahari terbit di luar sana, namun perasaan di hatinya tetap terasa seperti malam yang tak berujung. Dalam chip itu, ada jawaban atas semua yang terjadi, tetapi juga mungkin akan membawa lebih banyak pertanyaan yang tak terjawab.

“Apa ini?” tanya Nadya, suaranya hampir bisu, namun penuh keingintahuan.

Arga menatapnya sejenak, kemudian membuka chip itu di perangkat kecil yang mereka bawa. Layar menunjukkan beberapa gambar yang saling berkaitan—gambar-gambar dari beberapa tokoh yang terlibat dalam proyek besar yang selama ini mereka kejar. Tapi bukan itu yang menarik perhatian Arga. Ada satu nama yang terus berulang di setiap data yang muncul.

“Ratu.” Arga bergumam pelan.

“Dia yang ada di balik semua ini?” Nadya bertanya, matanya tertuju pada layar, wajahnya semakin bingung. “Ratu… Apa maksudnya?”

Arga menghela napas. “Ratu bukan hanya nama. Dia adalah kode untuk operasi yang melibatkan banyak pihak. Ini lebih besar dari yang kita kira.” Ia berhenti sejenak, mencerna setiap informasi yang ada di depannya. “Misi ini bukan hanya untuk menghancurkan musuh kita. Misi ini untuk menciptakan sistem yang baru—sistem yang sudah dijalankan sejak lama, dan kita baru saja menginjakkan kaki di dalamnya.”

“Tunggu… jadi kita bukan hanya buronan? Kita bukan hanya melawan mereka yang mengejar kita?” tanya Nadya, mulai terperanjat. “Kita juga bagian dari permainan ini?”

Arga mengangguk pelan, matanya memancarkan ketegasan. “Ini lebih dari sekadar misi. Ini adalah perang yang disiapkan sejak lama. Kita terjebak dalamnya tanpa sadar.”

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, memecah keheningan di ruang gudang itu. Arga dan Nadya langsung berlari ke sudut ruangan, menyembunyikan diri di balik tumpukan barang. Beberapa detik kemudian, sosok laki-laki dengan pakaian hitam muncul di pintu, berjalan mantap menuju pusat gudang.

“Ratu bukan sekadar simbol,” kata laki-laki itu dengan suara berat dan tegas. “Dia adalah pengendali. Semua orang yang terlibat dalam proyek ini adalah bagian dari sistem yang lebih besar.”

Laki-laki itu berhenti sejenak, menatap ke sekitar, namun tidak menyadari kehadiran mereka. Nadya yang semula hendak bergerak, menahan nafasnya, sementara Arga berusaha menenangkan diri. Mereka harus mendapatkan lebih banyak informasi.

“Apa yang kita lakukan?” bisik Nadya, matanya memandang Arga.

“Jangan bergerak,” jawab Arga dengan suara serak. “Dia lebih tahu dari yang kita kira.”

Laki-laki itu akhirnya bergerak menuju meja kecil yang terletak di sudut. Dia duduk, membuka dokumen yang tersebar di atasnya, dan mulai membaca. Tiba-tiba, telepon di saku jaketnya berdering. Dia mengangkatnya, mendengarkan percakapan singkat dengan seseorang di ujung sana.

“Mereka sudah mengetahui, kita harus mempercepat rencana,” laki-laki itu berkata dengan serius. “Segera persiapkan mereka untuk tahap akhir.”

Laki-laki itu lalu keluar dengan cepat, meninggalkan mereka dalam keheningan yang mencekam. Begitu pintu gudang tertutup, Arga dan Nadya saling berpandangan. Semua yang baru saja mereka dengar semakin memperjelas bahwa misi ini jauh lebih rumit dan berbahaya daripada yang mereka bayangkan.

“Kita harus segera mencari Ratu,” kata Arga, tangannya menggenggam kuat chip data itu. “Semua ini, semua yang terjadi, tak pernah ada—sebelum kita tahu siapa dia.”

Mereka tahu waktu semakin mendesak. Kota yang terbakar, pertempuran yang terus terjadi, dan semua yang mereka lakukan sampai saat ini hanyalah bagian dari permainan besar yang sudah diatur sebelumnya. Misi ini tak pernah ada, dan mereka hanya menjadi pion dalam permainan yang lebih besar.

Tetapi mereka tak akan mundur. Tidak sekarang. Tidak setelah mereka mengetahui apa yang sebenarnya tersembunyi di balik semua ini.

Bab 12: Sekutu dari Neraka

Gelapnya malam semakin dalam, menciptakan atmosfer yang tegang di sekitar Arga dan Nadya. Mereka melangkah hati-hati di sebuah lorong sempit, menyusuri reruntuhan kota yang sebelumnya penuh dengan kehidupan. Jalan-jalan yang mereka lewati kini hanya menjadi puing-puing dan kenangan masa lalu. Namun, mereka tidak bisa berlama-lama di sini. Musuh semakin mendekat, dan waktu yang mereka miliki semakin sempit.

“Kita hampir sampai,” kata Arga, dengan nada yang tegas namun dipenuhi keraguan. Ia menatap peta yang tertera di layar perangkat kecil yang ia bawa. “Tempat ini seharusnya aman, tapi…” ia menghela napas. “Aku tidak suka dengan rasa tenang yang aneh ini.”

Nadya mengangguk, matanya tajam mengawasi setiap sudut. Di tengah semua bahaya yang mengepung mereka, ada sesuatu yang lebih besar sedang bergerak di balik bayang-bayang. Mereka menuju ke tempat yang sudah lama terlupakan—sebuah markas yang dilapisi kabut misteri dan teror.

Saat mereka memasuki ruang yang lebih luas, langkah mereka terhenti. Di depan mereka, duduk seorang pria yang wajahnya tertutup bayangan, duduk di kursi metal yang tampak seperti peninggalan perang lama. Punggungnya tegak, dan aura di sekitarnya begitu menekan. Arga dan Nadya saling bertukar pandang.

“Kalian akhirnya datang.” Suara pria itu, dalam dan serak, menggetarkan udara yang tegang. “Aku menunggu kalian.”

“Siapa kamu?” tanya Arga, suara penuh kewaspadaan. Tidak ada yang pernah membicarakan pria ini. Bahkan dalam catatan yang mereka temukan, nama dan identitasnya tertutup rapat, disamarkan dalam operasi yang lebih besar.

Pria itu tersenyum tipis, senyum yang lebih terasa seperti ancaman daripada tanda persahabatan. “Aku tidak punya nama,” katanya datar, “Tapi kalian bisa memanggilku Inferno.”

“Inferno?” Nadya bertanya, heran. “Kamu… maksudmu?”

Pria itu berdiri perlahan, langkahnya penuh dengan ketenangan yang mencurigakan. “Kalian berpikir bahwa kalian sendirian dalam permainan ini?” tanyanya, mendekat. “Kalian salah. Setiap langkah yang kalian ambil telah dipantau. Setiap keputusan yang kalian buat adalah bagian dari rencana yang lebih besar.”

Arga dan Nadya terdiam. Apa yang dimaksud dengan Inferno ini? Mereka sudah terjebak dalam permainan yang penuh bahaya, namun kata-katanya menggambarkan sesuatu yang lebih kelam.

“Aku bukan teman, bukan sekutu dalam arti yang kalian pahami,” lanjut Inferno. “Namun, aku punya tujuan yang sama. Kalian ingin menghentikan Ratu, kan?”

Arga tidak menjawab, tetapi sorot matanya mengungkapkan bahwa ia sedang menimbang setiap kata yang diucapkan oleh pria itu.

“Aku tahu lebih banyak tentang Ratu daripada yang kalian kira,” Inferno melanjutkan, berjalan mundur beberapa langkah. “Aku sudah berurusan dengannya jauh lebih lama daripada kalian. Dan aku tahu bahwa dia jauh lebih berbahaya dari yang kalian bayangkan. Kalian tidak akan bisa mengalahkannya sendirian.”

“Apa yang kamu inginkan?” tanya Nadya, tak sabar.

“Kepercayaan.” Inferno menjawab singkat. “Aku akan bantu kalian, tetapi ada harga yang harus kalian bayar.”

Mata Arga menyipit. “Harga? Apa maksudmu?”

Inferno tersenyum lebih lebar, meskipun ekspresinya tetap datar. “Kalian harus percaya bahwa aku tahu jalan keluar dari perang ini. Tapi untuk itu, kalian harus bersedia untuk menanggung konsekuensinya.”

“Kami tidak butuh sekutu!” Nadya berkata, hampir tak bisa menahan amarahnya. “Kami bisa menang tanpa bantuan orang sepertimu!”

“Jangan terburu-buru,” jawab Inferno, suaranya terdengar lebih dalam dan mengintimidasi. “Kalian bisa memilih untuk melawan Ratu sendirian, atau kalian bisa menerima bantuan yang akan membuat kalian lebih kuat. Pilihan ada di tangan kalian. Tapi ingat, Ratu tidak akan berhenti sampai kalian mati.”

Keheningan merayap di antara mereka. Nadya menggertakkan giginya, berjuang untuk tetap tenang, sementara Arga merenung dalam-dalam. Ia tahu bahwa mereka berada di ujung jurang, dan terkadang, dalam perang, tak ada pilihan yang benar-benar bersih.

“Apa yang kamu tawarkan?” tanya Arga akhirnya, suaranya penuh keraguan.

Inferno mengangkat tangan, dan tiba-tiba, layar besar di belakangnya menyala, menampilkan gambar yang jelas dan tajam. Gambar-gambar dari orang-orang yang selama ini mereka buru, gambar-gambar dari Ratu dan sekutunya, serta rencana mereka yang lebih besar—rencana yang melibatkan kekuatan politik, ekonomi, dan militer yang jauh melampaui apa yang bisa mereka lawan.

“Aku bisa memberikan kalian informasi yang akan mengungkapkan cara untuk menghancurkan Ratu dari dalam,” kata Inferno, matanya menyala dengan api yang tidak bisa dipadamkan. “Tapi, seperti yang ku katakan, ada harga yang harus kalian bayar. Aku ingin kebebasan, dan aku ingin melihat dunia ini terbakar habis. Apakah kalian siap untuk membayar harga itu?”

Arga menatap layar itu, matanya menyipit, dan dalam sekejap, sebuah keputusan berat harus diambil.

“Kita tidak punya banyak pilihan,” kata Arga akhirnya, menghela napas berat. “Kita akan bekerja sama. Tapi, jika kau mencoba mengkhianati kami, aku akan pastikan kau menyesal.”

Inferno hanya tertawa kecil. “Kalian sudah memilih. Dan percayalah, kalian akan membutuhkan sekutu dari neraka ini lebih daripada yang kalian kira.”

Malam itu, dalam ruangan yang penuh dengan ketegangan, mereka akhirnya sepakat. Sekutu dari neraka ini, Inferno, akan membantu mereka. Namun, dengan harga yang tak terbayangkan. Perang baru saja dimulai, dan jalan keluar tidak lagi tampak sejelas sebelumnya.

Bab 13: Terowongan Kematian

Suasana malam semakin mencekam. Di balik desisan angin yang berhembus kencang, langkah Arga dan Nadya terdengar keras di lorong sempit yang mereka lewati. Terowongan ini bukan hanya sekadar jalan bawah tanah biasa. Tempat ini telah lama terlupakan oleh waktu, diselimuti debu dan bayang-bayang. Ini adalah tempat yang akan membawa mereka langsung ke pusat kekuasaan, tempat di mana Ratu dan para pengikutnya bersembunyi.

“Ini jalannya,” Arga berbisik, matanya memindai setiap sudut gelap di terowongan yang seolah tak berujung. “Kita harus hati-hati.”

Nadya mengangguk, rasa waspada jelas terukir di wajahnya. “Aku tahu. Tapi kenapa harus lewat sini? Kenapa tidak langsung ke markas Ratu?”

Arga meraih bahu Nadya, mengalihkan pandangannya sejenak ke arahnya. “Markas Ratu terlalu aman. Kami takkan pernah bisa masuk begitu saja. Terowongan ini adalah satu-satunya jalan yang bisa membawa kita lebih dekat.”

Mereka terus berjalan dengan langkah pelan dan hati-hati. Udara di dalam terowongan terasa semakin sesak. Kegelapan yang tebal seakan mengurung mereka, membuat setiap langkah terasa lebih berat. Hanya suara langkah kaki mereka yang bergema dalam ruang sunyi itu.

Namun, mereka tahu, mereka bukan satu-satunya yang berada di dalam terowongan ini.

“Kamu yakin tidak ada yang mengikutinya?” Nadya bertanya, suaranya gemetar meski ia berusaha keras untuk terdengar tenang.

Arga berhenti sejenak, mendengarkan suara di sekeliling mereka. Tak ada yang terdengar, selain degupan jantungnya yang semakin cepat. Ia menatap Nadya dan menggelengkan kepala. “Sejauh ini, kita aman. Tapi kita harus terus bergerak.”

Mereka melanjutkan perjalanan, meski setiap langkah membawa perasaan yang semakin tidak nyaman. Terowongan ini, yang dulu mungkin hanya menjadi saluran air atau jalan bawah tanah biasa, kini menjadi terowongan maut yang siap menelan mereka kapan saja.

Tiba-tiba, suara dentingan logam terdengar dari kejauhan, lalu suara langkah kaki yang semakin mendekat. Arga berhenti dan menarik Nadya ke belakang, menempelkan tubuh mereka pada dinding terowongan yang lembap. Mereka berdua berdiri tegak, menahan napas.

“Kita tidak sendirian,” bisik Arga dengan suara serak.

“Siapa itu?” Nadya berbisik kembali, matanya mencari-cari di dalam kegelapan. Mereka bisa merasakan bayangan bergerak, semakin mendekat, namun mereka tidak bisa melihat siapa yang mendekat.

Tiba-tiba, sosok-sosok berseragam hitam muncul dari kegelapan, wajah mereka tersembunyi di balik pelindung. Mereka bergerak cepat, dengan ketelitian seperti mesin, menyisir setiap inci terowongan. Pasukan yang tak terlihat, yang jelas sekali datang untuk mencari mereka.

“Mereka pasti dari pasukan elit Ratu,” Arga berbisik, matanya menyipit. “Kita harus terus bersembunyi.”

Nadya mengangguk cepat, kedua tangan terkepal erat. “Jika mereka menemukan kita, kita mati.”

Mereka tetap di tempat, tak bergerak sedikit pun, berharap pasukan itu tak mendeteksi kehadiran mereka. Ketegangan makin meningkat seiring dengan detik-detik yang berlalu. Teriakan dari salah satu anggota pasukan yang jauh di depan menambah tekanan di dada mereka.

“Ayo cepat!” perintah salah satu dari pasukan itu, suaranya keras dan penuh tekanan. Mereka mulai bergerak lebih cepat, melintasi terowongan, semakin dekat dengan tempat persembunyian mereka.

Arga dan Nadya saling berpandangan, dan tanpa kata, mereka memutuskan untuk berlari. Mereka harus keluar dari terowongan ini secepatnya. Meskipun jalan di depan masih gelap dan berliku, mereka tahu, mereka tidak bisa mundur.

Mereka berlari dengan sekuat tenaga, melewati sudut-sudut yang semakin sempit dan berkelok. Langkah mereka disertai dengan suara detak jantung yang semakin cepat. Tiba-tiba, sebuah suara keras menggema di belakang mereka—seperti sebuah pintu yang terbanting, dan langkah-langkah berat mulai mengikuti mereka.

“Mereka sudah mengetahui kita!” Nadya berteriak, suaranya melengking di dalam ruang sempit. “Kita tidak punya banyak waktu!”

“Ayo!” Arga membalas, suaranya dipenuhi tekad. “Kita harus keluar dari sini!”

Mereka terus berlari, semakin cepat, sampai akhirnya terowongan itu membuka ke ruang yang lebih besar. Namun, di sana, mereka bertemu dengan sekumpulan pasukan yang sudah menunggu di pintu keluar. Tertangkap.

Namun, sebelum pasukan itu bisa bergerak lebih jauh, terdengar suara tembakan yang menggelegar. Seorang pria, yang tidak mereka kenal, muncul di balik bayang-bayang, memegang senapan dengan keterampilan yang mematikan. Pasukan elit itu terkejut, dan sementara mereka kebingungan, pria itu membunuh dua orang dengan presisi yang luar biasa.

“Lari!” pria itu berteriak, mengarahkan senapan ke arah pasukan yang tersisa.

Arga dan Nadya tidak berpikir dua kali. Mereka berlari, memanfaatkan kekacauan yang diciptakan pria misterius itu. Tetapi, saat mereka berlari melewati pintu keluar, mereka menyadari sesuatu yang lebih menakutkan: jalan keluar ini bukanlah jalan menuju keselamatan, tetapi menuju perangkap yang lebih besar.

Bab 14: Satu Langkah dari Kematian

Udara terasa lebih panas dari biasanya. Sinar matahari yang terik seakan menekan, menambah beban yang sudah terasa berat di tubuh Arga dan Nadya. Mereka berada di jantung markas Ratu, sebuah kompleks yang tersembunyi di balik lapisan beton yang keras dan dinding pengaman yang tak bisa ditembus. Segala sesuatu terasa seperti tekanan yang terus-menerus meningkat.

“Ini dia,” kata Arga pelan, matanya menatap gedung tinggi yang menjulang di hadapan mereka, seakan menantang siapa pun yang berani mencoba menaklukannya. “Jika kita masuk ke sana, tidak ada jalan keluar lagi.”

Nadya memandang gedung itu dengan tatapan tajam, seakan berusaha menembus lapisan dinding yang membungkusnya. “Apa pun yang terjadi, kita harus berhenti di sini. Ini satu-satunya cara untuk mengalahkan Ratu.”

Namun, meskipun tekad mereka bulat, bayangan gelap terus menghantui. Setiap langkah mereka menuju gedung itu semakin terasa lebih berat, seperti menginjak pasir quicksand yang perlahan-lahan menarik mereka lebih dalam.

“Kita tidak punya waktu,” Arga melanjutkan, suara nya serak karena ketegangan yang melingkupi dirinya. “Mereka pasti sudah mengetahui kita ada di sini. Satu langkah lagi, dan kita masuk ke dalam sarang mereka.”

Mereka berdua saling menatap, lalu bergerak cepat. Setiap sudut yang mereka lewati, setiap lorong yang mereka susuri, terasa penuh dengan ancaman. Mereka tahu, bukan hanya pasukan Ratu yang mengintai, tetapi juga para pengkhianat yang bisa saja melangkah lebih cepat, mengungkap rencana mereka, dan mengirim mereka ke liang kubur dalam sekejap.

Namun, mereka juga tahu, ini adalah satu-satunya kesempatan. Tidak ada pilihan lain. Jika mereka gagal, dunia yang mereka kenal akan hancur dalam kekuasaan tirani yang tak bisa digoyahkan.

“Mereka sudah tahu,” Nadya berkata, suaranya rendah namun penuh tekanan. “Tidak ada lagi jalan mundur. Kita harus masuk sekarang.”

Mereka tiba di pintu utama kompleks, sebuah pintu baja raksasa yang seakan tak mungkin bisa ditembus. Arga mengeluarkan perangkat kecil dari sakunya—sebuah kunci digital yang diberikan oleh Inferno. “Kita hanya punya waktu satu menit untuk masuk. Setelah itu, semuanya berakhir.”

Nadya menatap perangkat itu dengan cemas. “Kita harus segera bergerak. Begitu pintu ini terbuka, kita tidak akan punya waktu untuk berpikir lagi.”

Tepat saat Arga memasukkan kode, suara keras terdengar dari belakang mereka. Mereka berdua langsung berbalik, namun terlalu terlambat. Pasukan elit Ratu sudah mengelilingi mereka, senapan di tangan, dengan wajah yang dingin dan tak berperasaan.

“Kalian tidak akan pergi kemana-mana,” suara pemimpin pasukan itu terdengar berat dan penuh ancaman. “Kalian pikir kalian bisa mengalahkan kami?”

Arga dan Nadya berdiri tegak, meskipun hati mereka berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Mereka sudah tidak bisa lagi menghindari pertempuran ini. Mereka tahu, ini adalah langkah terakhir. Satu langkah yang akan menentukan hidup atau mati.

“Kami akan mencoba,” jawab Arga, matanya penuh tekad, meskipun di baliknya, rasa takut melingkupi.

Di luar, terdengar suara ledakan, diikuti dengan suara tembakan yang saling bersahutan. Suasana semakin tegang, ketegangan semakin terasa. Namun, Arga dan Nadya tahu mereka harus terus maju. Kebenaran yang mereka cari berada di depan mereka. Ratu, yang selama ini mereka buru, tidak akan menyerah begitu saja. Mereka harus bertarung sampai akhir.

Pintu baja itu akhirnya terbuka dengan suara gemuruh, menampakkan ruang besar yang gelap di dalamnya. Di dalam, mereka bisa melihat bayangan-bayangan gelap yang bergerak, para pengawal yang siap menghabisi siapa pun yang berani masuk.

“Ini satu langkah terakhir,” Nadya berbisik, mengencangkan cengkeramannya pada senapan. “Jika kita gagal, ini akan menjadi langkah terakhir kita.”

Arga tidak menjawab. Ia hanya mengangguk, matanya penuh dengan tekad yang mengerahkan seluruh kekuatannya. Mereka melangkah maju, memasuki kompleks yang gelap dan penuh dengan bahaya. Di dalam sana, rahasia yang selama ini mereka cari akan terungkap, dan pertarungan terakhir untuk menghentikan Ratu akan dimulai.

Namun, saat mereka melangkah lebih dalam, tiba-tiba terdengar suara tawa yang dalam dan mengenaskan dari kegelapan di depan mereka.

“Kalian pikir bisa mengalahkan aku?” suara itu bergema, menembus ketenangan yang seakan tak terhingga. “Selamat datang di akhir perjalanan kalian.”

Arga dan Nadya berhenti sejenak, dan saat itu, mereka menyadari sesuatu yang mengerikan. Mereka baru saja melangkah ke dalam jebakan besar. Ratu telah menunggu mereka di sini, dan kali ini, tidak ada jalan keluar.

Dengan satu langkah lagi, Arga dan Nadya akan memasuki permainan terakhir. Ini adalah langkah menuju kematian, atau mungkin, kemenangan yang telah lama mereka cari. Namun, siapa yang akan keluar hidup-hidup dari permainan ini?

Bab 15: Langkah Baru

Matahari mulai terbenam di balik horizon, mewarnai langit dengan nuansa merah dan jingga yang memudar menjadi gelap. Dunia di luar terasa jauh, seakan tak ada yang tersisa untuk diperjuangkan. Namun, bagi Arga dan Nadya, perjalanan ini belum selesai. Langkah mereka masih berlanjut, meskipun beban yang mereka pikul tak kunjung hilang.

Di tengah reruntuhan markas Ratu, setelah pertarungan panjang yang tak terhindarkan, mereka berdiri di antara sisa-sisa api dan debu, merenungi apa yang telah terjadi. Ratu yang dulu tampak tak terhentikan kini terbaring tak berdaya, tak ada lagi kuasa yang bisa menahannya. Semua pengkhianatan yang membentuk cengkraman tirani itu kini hancur bersamaan dengan jatuhnya penguasa yang selama ini menekan mereka.

“Kita melakukannya,” Nadya berbisik, matanya memandang reruntuhan yang terbakar. Suaranya penuh kelegaan, tetapi ada juga kesedihan yang tersirat. “Kita berhasil, tapi…”

“Tapi ini belum berakhir,” Arga menyela, matanya menatap jauh ke depan, ke arah jalan yang kosong dan sepi. “Ini baru awal.”

Keheningan yang menyelimuti mereka seperti belenggu yang sulit dilepaskan. Rasa lelah dan sakit fisik yang mereka rasakan tidak mampu menghapus kesadaran bahwa dunia yang mereka kenal telah berubah. Ratu telah jatuh, namun masih ada sisa-sisa kekuatan yang tersembunyi di luar sana. Masih banyak yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa apa yang mereka perjuangkan tidak akan sia-sia.

Arga menatap Nadya dengan tatapan penuh arti. “Kita harus membangun kembali semuanya. Tapi kali ini, dengan cara yang berbeda.”

Nadya mengangguk, tetapi ada keletihan yang tak bisa disembunyikan di wajahnya. “Tapi bagaimana kita memulainya? Siapa yang bisa kita percayai setelah semuanya yang telah terjadi?”

Pertanyaan itu menggantung di udara, namun Arga tahu jawabannya. Tidak ada yang bisa mereka percayai sepenuhnya, tetapi mereka punya satu pilihan: maju dan berusaha memperbaiki dunia yang hancur. Mereka tahu bahwa setiap langkah mereka selanjutnya akan penuh dengan bahaya, namun tidak ada pilihan selain bertahan dan melanjutkan perjuangan.

“Kita mulai dari sini,” jawab Arga, menunjuk ke arah reruntuhan markas yang sekarang tampak kosong dan sepi. “Dunia ini masih penuh dengan kegelapan. Tapi kita bisa menjadi cahaya kecil, bahkan jika itu hanya seberkas.”

Mereka melangkah maju, menginjakkan kaki di atas tanah yang keras dan berbatu. Setiap langkah mereka kini terasa lebih berat, tetapi juga lebih bermakna. Langkah pertama menuju masa depan baru—sebuah dunia yang membutuhkan perubahan. Mereka tahu, jalan itu tidak akan mudah. Akan ada banyak rintangan, banyak musuh yang mencoba menghentikan mereka, dan banyak pengkhianatan yang akan datang di masa depan.

Namun, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, mereka merasa ada secercah harapan yang tak tergoyahkan. Meskipun jalan yang terbentang di depan masih gelap, mereka tahu bahwa mereka tidak lagi berjalan sendirian.

“Kita masih punya banyak hal yang harus diselesaikan,” Nadya berkata, menatap ke depan. “Tapi kali ini, kita tidak akan melakukannya sendirian.”

Arga tersenyum samar, matanya penuh dengan keyakinan. “Tidak. Kali ini, kita bersama. Langkah kita tidak akan berhenti.”

Dan begitu, mereka melangkah bersama, meninggalkan masa lalu yang penuh dengan darah dan air mata, menuju sebuah dunia baru yang mereka percayai bisa menjadi lebih baik—meskipun mereka tahu perjalanan mereka baru saja dimulai. Dalam hati mereka, ada tekad yang tidak tergoyahkan. Mereka akan terus berjalan, menghadapi setiap tantangan dengan keberanian, dan berjuang untuk masa depan yang lebih baik.***

————————–THE END———————–

Source: Shifa Yuhananda
Tags: AksiThrillerKeberanianDanKeputusasaanLangkahMenujuKemenanganPahlawanDanMusuhPerjuanganDanPengkhianatanPertempuranTerakhirRevolusiDanHarapanTantanganHidupMati
Previous Post

MENCARI ARTI DI SETIAP JEDA

Next Post

RINDU YANG TERSISA

Next Post
RINDU YANG TERSISA

RINDU YANG TERSISA

LUKISAN YANG MENANGIS

RAHASIA DI BALIK TOPENG

LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In