• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
LARI DARI BAYANGAN KEMATIAN

LARI DARI BAYANGAN KEMATIAN

May 6, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
LARI DARI BAYANGAN KEMATIAN

LARI DARI BAYANGAN KEMATIAN

by SAME KADE
May 6, 2025
in Action
Reading Time: 26 mins read

Bab 1: Satu Peluru, Satu Awal

Hujan turun deras membasahi atap gudang tua di pinggiran kota. Petir menyambar langit malam, menyinari sesaat wajah lelaki yang berdiri di balik tumpukan peti kayu. Matanya tajam, penuh kewaspadaan, memindai setiap sudut ruang yang hanya diterangi lampu temaram.

Namanya Raka. Seorang agen lapangan senior dari satuan rahasia yang bahkan keberadaannya tak tercatat secara resmi. Malam itu, seharusnya hanya misi pengiriman data intelijen. Sederhana. Cepat. Bersih.

Namun, semuanya berubah ketika suara peluru pertama meletus.

Dor!

Satu peluru melesat ke arah kepalanya. Refleksnya menyelamatkannya—ia menjatuhkan diri ke lantai, berguling ke balik peti besi. Debu dan serpihan kayu beterbangan. Napasnya memburu. Ia mengenali suara tembakan itu. Terlalu dekat. Terlalu akurat.

Itu bukan serangan dari musuh luar.

Itu tembakan dari senjata sahabatnya sendiri.

“Raka, keluar. Jangan buat ini makin sulit,” terdengar suara berat dari balik bayangan. Raka membeku. Itu suara Arvin—rekan setim, orang yang dulu pernah menyelamatkan nyawanya dalam misi di Balkan.

“Kau pengkhianat?” tanya Raka lantang, meski jantungnya berdetak liar.

“Tidak, aku hanya menjalankan perintah. Kau terlalu tahu banyak, Rak. Kau jadi ancaman.”

Seketika, semuanya runtuh dalam benaknya. Tugas terakhirnya di Sudan. Data yang ia bawa. Percakapan yang ia curi dari frekuensi rahasia. Semua mulai masuk akal. Raka bukan lagi agen. Ia kini target.

Dengan cepat, ia meraih pistol di pinggangnya, menahan rasa sakit dari luka di bahu akibat serpihan peluru. Ia tahu ia tak bisa bertahan di tempat itu terlalu lama. Sekali tertangkap, segalanya selesai—termasuk hidupnya.

Suara langkah kaki makin mendekat. Arvin dan dua orang lainnya. Mereka datang bukan untuk menangkap, tapi menghabisi.

Raka menarik napas dalam, lalu melompat keluar dari persembunyian. Satu tembakan. Dua. Tiga. Ia berlari ke arah pintu belakang gudang, melompati puing-puing dan genangan air hujan. Alarm berbunyi. Lampu merah menyala. Tapi ia tak menoleh.

Malam itu, peluru pertama melesat. Tapi bukan sebagai akhir.

Itu adalah awal dari pelarian paling berbahaya dalam hidupnya.

Bab 2: Musuh dalam Selimut

Raka duduk terdiam di pojok kamar sebuah losmen kumuh di pinggiran kota. Hujan masih mengguyur deras, seolah belum puas mencuci jejak-jejak darah dari malam sebelumnya. Bahunya perih, luka bekas tembakan mulai membiru. Tapi bukan rasa sakit itu yang menyiksanya. Melainkan kenyataan bahwa orang yang paling ia percaya telah mengarahkan senjata ke arahnya.

Arvin.

Rekan satu regu. Teman seperjuangan. Pengkhianat.

Raka menatap cermin retak di depannya. Matanya merah. Pandangannya kabur, bukan karena luka, tapi karena amarah dan duka yang bercampur menjadi satu. Ia mengulang lagi percakapan terakhir mereka di gudang. Arvin menyebut dirinya “ancaman.” Ancaman untuk siapa? Untuk organisasi? Untuk negara? Atau untuk rencana busuk yang tengah dijalankan segelintir orang di balik layar?

Ia menyalakan ponsel lama yang selama ini ia simpan untuk keadaan darurat. Tidak tersambung ke jaringan utama. Hanya satu kontak yang masih ia percaya: Gilang. Analis teknis internal yang diam-diam pernah memperingatkannya soal kebocoran data di tubuh organisasi.

“Rak? Astaga, kau hidup?” Suara Gilang terdengar cemas di ujung sana.

“Ssst… Aku butuh bantuan. Aku diserang. Arvin. Dan dua lainnya. Mereka ingin aku mati.”

“Aku tahu. Nama dan fotomu sudah beredar di markas pusat. Kau disebut sebagai ‘agen pengkhianat’ yang mencuri informasi negara. Mereka akan memburumu habis-habisan.”

Raka mengatupkan rahang. “Aku tak mencuri apa pun. Tapi aku memang melihat sesuatu yang seharusnya tak kulihat.”

Gilang terdiam. Lalu berbisik, “Rak, dengar baik-baik. Bukan hanya Arvin. Mereka semua mungkin terlibat. Kepala divisi, satuan lapangan, bahkan unit protokol. Kau tidak aman di mana pun.”

Pikiran Raka berputar cepat. Dulu, ia percaya pada sistem. Pada prosedur. Pada loyalitas. Tapi malam itu membuktikan bahwa ia hanya pion. Dan pion yang tahu terlalu banyak… akan dibuang.

Ia mematikan telepon. Waktu tak banyak. Ia merobek seprei kumal, mengikat lukanya dengan kasar, lalu mengenakan jaket hitam dan topi lusuh. Langkahnya mantap. Ia tak bisa lagi sembunyi. Ia harus bertindak.

Di luar, hujan mulai reda. Tapi badai sesungguhnya baru saja dimulai. Bukan dari langit—melainkan dari pengkhianatan yang menyaru dalam wujud persahabatan.

Dan Raka bersumpah, ia akan mencari tahu siapa dalang dari semua ini. Satu per satu.

Termasuk yang dulu ia sebut saudara.

Bab 3: Buronan Nomor Satu

Pagi itu, kota seperti biasa. Lalu lintas padat, klakson bersahutan, dan orang-orang terburu-buru menjalani rutinitas. Namun, bagi Raka, setiap langkah yang ia ambil adalah pertaruhan nyawa. Ia menyusuri trotoar dengan wajah tertutup masker dan topi lusuh. Luka di bahunya mulai mengering, tapi rasa nyerinya masih nyata—pengingat bahwa ia tak boleh lengah sedetik pun.

Ia mampir ke kios koran di sudut jalan. Pandangannya langsung tertumbuk pada halaman depan sebuah harian nasional.

“AGEN RAHASIA JADI PENGKHIANAT NEGARA – RA, Buronan Paling Dicari Saat Ini!”

Fotonya terpampang jelas. Gambar dari file organisasi. Wajahnya yang dulu dihormati, kini menjadi simbol pengkhianatan. Tubuhnya menegang. Ia menyadari: kini bukan hanya diburu oleh satuan lamanya, tapi oleh seluruh aparat negara.

Di sekelilingnya, masyarakat tak menyadari siapa pria di balik masker itu. Tapi satu laporan dari warga bisa membuatnya dikepung dalam hitungan menit. Ia harus tetap bergerak.

Raka menyelinap masuk ke gang sempit, menuju tempat persembunyian yang telah disiapkan Gilang—sebuah kamar kecil di atas warung kelontong. Dari sana, ia memantau berita, pergerakan tim pencari, dan pola patroli aparat. Dunia luar kini menjadi labirin penuh jebakan.

Di layar televisi kecil yang tergantung di pojok ruangan, siaran pers dari kepala Badan Operasi Khusus diputar berulang:

“RA adalah ancaman bagi keamanan nasional. Ia telah mencuri data sensitif dan mencoba melarikan diri. Kami mengimbau masyarakat untuk melapor bila melihat keberadaannya.”

Raka mengepalkan tangan. Betapa mudahnya mereka membalikkan cerita. Ia yang dulu berdiri paling depan untuk membela negara, kini dijadikan kambing hitam demi menutupi kejahatan mereka.

Dalam diam, ia membuka koper kecil di bawah tempat tidur. Di dalamnya: dokumen, uang tunai, kartu identitas palsu, dan sebuah peta yang telah ia tandai dengan tinta merah—jejak terakhir lokasi data rahasia yang menjadi sumber semua kekacauan ini.

Raka tahu, satu-satunya jalan untuk membersihkan namanya adalah membongkar kebenaran yang tersembunyi. Tapi ia juga sadar, semakin dekat ia ke kebenaran, semakin banyak peluru yang akan diarahkan kepadanya.

Sore menjelang malam, ia keluar dengan identitas baru. Jalanan tampak sama, tapi tak ada lagi tempat yang benar-benar aman. Ia kini musuh publik. Hantu yang diburu. Bayangan yang hidup dalam gelap.

Dan dalam gelap itulah, ia akan bergerak.

Sebagai buronan nomor satu.

Sebagai satu-satunya orang yang tahu kebenaran.

Bab 4: Pesan dari Masa Lalu

Langit malam Jakarta tampak muram, seolah ikut menyimpan rahasia yang terlalu gelap untuk diungkap. Raka duduk di atas atap gedung tua yang sudah lama ditinggalkan. Angin malam berembus pelan, menusuk luka-lukanya yang belum sepenuhnya pulih. Tapi bukan dingin yang membuatnya menggigil—melainkan pesan yang baru saja ia terima.

Sebuah surat. Tanpa nama pengirim. Hanya sebuah amplop cokelat yang diselipkan di bawah pintu tempat persembunyiannya. Di dalamnya, selembar foto usang dan secarik kertas berisi tulisan tangan:

“Kau tahu ini lebih dari sekadar pengkhianatan. Ini tentang siapa yang dulu menghilang… dan kenapa.”

Matanya tak lepas dari foto tersebut. Wajah seorang wanita—muda, berambut panjang, tersenyum di tengah hamparan ladang bunga. Di belakangnya, berdiri seorang pria berpakaian militer, wajahnya disamarkan oleh bayangan. Tapi Raka tahu siapa mereka.

Alya. Dan… Komandan Guntur.

Nama yang selama ini tak pernah disebut lagi dalam lingkaran unit mereka. Guntur, komandan pertama Raka, hilang secara misterius delapan tahun lalu dalam misi di luar negeri. Dinyatakan gugur. Tapi tubuhnya tak pernah ditemukan.

Alya… adalah kekasih masa lalu Raka. Wanita yang pergi tanpa kabar setelah Guntur menghilang. Wanita yang pernah berjanji akan menunggunya sampai misi terakhir.

Jantung Raka berdetak kencang. Pesan itu bukan sekadar peringatan. Itu adalah petunjuk—bahwa semua yang terjadi kini mungkin berakar dari masa lalu. Dari misi yang dianggap gagal. Dari orang-orang yang disangka mati.

Ia membuka kembali peta di tangannya, menandai lokasi ladang bunga yang tampak di foto. Sebuah tempat terpencil di Jawa Tengah. Butuh waktu dan keberanian untuk ke sana. Tapi ia tak punya pilihan. Jawaban ada di sana. Tentang Arvin, tentang data yang ia bawa, bahkan tentang siapa dalang sebenarnya di balik perburuan ini.

Di balik semua pelarian ini, ternyata ada luka lama yang belum sembuh. Raka menyadari bahwa ia bukan hanya diburu oleh senjata dan pasukan, tapi juga oleh kenangan—kenangan yang dulu ia kubur dalam-dalam agar bisa terus bergerak maju.

Dan kini, masa lalu itu datang mengetuk. Membawakan pesan, sekaligus peringatan.

Ketika kau menggali kebenaran, bersiaplah menemukan kenyataan yang tak ingin kau lihat.

Bab 5: Pelarian di Tengah Api

Malam itu, langit memerah bukan karena senja, melainkan karena api yang melalap sebuah kompleks rumah tua di daerah Cililitan. Kobaran api menjilat-jilat udara, dan sirene pemadam meraung di kejauhan. Orang-orang berteriak, berlarian, sementara asap hitam pekat mengepul, menutup pandangan siapa pun yang mendekat.

Di balik kekacauan itu, seorang pria berlari tertatih dari sisi belakang bangunan. Jaketnya hangus sebagian, dan wajahnya berlumur jelaga. Raka. Ia baru saja lolos dari penyergapan yang bukan hanya dirancang untuk menangkapnya, tetapi juga untuk membunuhnya.

Dua jam sebelumnya, ia berada di dalam tempat persembunyian yang baru diberikan Gilang—sebuah rumah tua peninggalan zaman kolonial, tampaknya tak berpenghuni. Tapi Raka, dengan nalurinya yang terlatih, merasakan ada yang janggal. Suara langkah. Sinyal radio statis. Dan yang paling jelas—bau bensin.

Tanpa menunggu waktu, ia memecahkan jendela belakang dan melompat keluar. Namun beberapa detik kemudian, ledakan mengguncang bangunan, membakar hampir seluruh lantai dasar dalam sekejap. Ia jatuh ke tanah, bahunya kembali tergores puing tajam. Napasnya terengah, tetapi ia tahu: ini bukan kecelakaan. Mereka ingin menghapus jejaknya. Sekali dan untuk selamanya.

“Raka, kau di sana?!” suara Gilang masuk melalui alat komunikasi kecil di sakunya. Panik dan tercekat.

“Aku hidup. Tapi nyaris jadi abu.”

“Kau harus pergi dari situ sekarang juga. Kamera CCTV sekitar sudah menangkap pergerakanmu. Mereka mengerahkan unit lapangan dan drone pengintai.”

Raka menatap ke atas. Di sela-sela asap, ia melihat titik cahaya kecil berkelip di langit. Drone. Waktu terus berjalan.

Ia memanfaatkan kobaran api sebagai penutup, menyelinap ke gorong-gorong lama di belakang kompleks. Basah, sempit, dan berbau busuk, tapi itu satu-satunya jalan keluar.

Sambil merangkak di lorong gelap, pikirannya berputar. Mengapa mereka tiba-tiba bertindak agresif? Apa yang begitu penting dari pesan di foto lama itu? Ia mulai menyadari bahwa ini bukan sekadar pembersihan internal. Ini adalah operasi besar yang melibatkan orang-orang berkuasa.

Setelah hampir satu jam merayap dalam gelap, Raka muncul di kawasan pasar tua yang sepi. Ia mengganti pakaian di sebuah warung kosong, lalu berjalan santai ke arah stasiun. Ia perlu menjauh dari Jakarta—sementara waktu.

Tapi sebelum ia naik kereta, sebuah pesan masuk di ponsel aman miliknya.

“Alya menunggumu di tempat lama. Tapi tak semua hal yang kau ingat masih sama.”

Raka terdiam. Nafasnya memburu. Pelarian ini belum berakhir. Justru baru dimulai.

Dan kini, ia bukan hanya dikejar peluru dan pengkhianatan—tetapi juga oleh kenyataan yang mungkin lebih membakar daripada api mana pun.

Bab 6: Bayangan Hitam

Hujan turun deras malam itu, seolah langit ingin mencuci bersih segala kebusukan yang tersembunyi di sudut-sudut kota. Raka berdiri diam di bawah halte tua, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang basah. Jaketnya basah kuyup, dan tubuhnya gemetar bukan hanya karena dingin, tapi juga karena satu hal: ia mulai dihantui bayangannya sendiri.

Sudah lima hari sejak kebakaran di Cililitan. Lima hari sejak ia nyaris terbakar hidup-hidup. Kini ia hidup dalam irama pelarian yang makin menyesakkan—tidak hanya dari kejaran aparat, tapi dari suara-suara dalam dirinya yang terus bertanya: Siapa sebenarnya musuh yang sedang ia kejar?

Bayangan hitam itu selalu muncul dalam tidurnya—sosok bertopeng yang berdiri di antara api dan asap, dengan tatapan penuh kebencian. Sosok itu menembak Arvin. Sosok itu juga yang muncul dalam ingatan terakhir sebelum markas mereka dihancurkan.

Dan kini, Raka mulai merasa… ia mengenali cara berjalan sosok itu. Gerak tubuhnya. Cara memegang senjata.

Sebuah pikiran mengusik:
“Bagaimana jika bayangan itu adalah seseorang yang dulu kau percaya?”

Pikirannya kembali pada satu nama: Bayu. Rekan satu timnya, dulu begitu dekat, begitu setia. Tapi ia menghilang secara misterius setelah Misi Lembah Kunci—misi yang menjadi awal dari semua kegagalan. Semua dokumen menyatakan Bayu tewas. Tapi Raka tidak pernah melihat mayatnya. Tidak ada penguburan. Tidak ada upacara. Hanya hilang.

Dan kini, semua potongan mulai terasa masuk akal. Suara. Gerak. Pola penyerangan. Bahkan metode jebakan yang hampir membunuhnya—semuanya terlalu familiar.

Gilang membenarkan dugaannya melalui panggilan suara:

“Ada laporan dari tim intel bebas. Seseorang dengan ciri-ciri mirip Bayu terlihat di perbatasan. Bersenjata. Berseragam tak resmi. Tapi… hidup.”

Raka menggenggam gagang telepon kuat-kuat.
Bayangan itu nyata. Dan dia kembali.

Tapi untuk apa? Balas dendam? Manipulasi? Atau hanya bagian dari permainan yang jauh lebih besar dari yang bisa Raka bayangkan?

Di kamar sempit tempat ia berlindung malam itu, Raka menatap cermin kecil yang tergantung di dinding. Wajahnya tampak lebih tua dari usianya. Lelah. Mata yang dulu tajam kini penuh beban. Tapi saat ia menatap lebih dalam, seolah ada sosok lain di balik pantulan itu—seorang prajurit yang telah kehilangan arah, dan perlahan berubah menjadi bayangan dari dirinya sendiri.

Malam semakin larut, tapi pikirannya justru makin gelisah. Ia sadar, jika ia ingin bertahan, ia harus menghadapi bayangan hitam itu. Entah di medan pertempuran, atau dalam batinnya sendiri.

Karena satu hal kini pasti:
Untuk menang, ia harus menghadapi sosok yang paling ia takuti. Dan bisa jadi, sosok itu adalah dirinya sendiri.

Bab 7: Jejak yang Ditinggalkan

Langkah Raka bergema di antara pepohonan rimbun hutan pegunungan Menoreh. Kabut turun perlahan, menggantung rendah di antara batang pinus, menciptakan suasana yang hampir surealis. Ia mengikuti jalur tanah yang tak pernah diaspal, mengandalkan peta usang yang ia temukan di balik foto Alya—peta yang menunjukkan titik kecil bertanda silang merah dengan tulisan samar: “Tempat Kita Dulu.”

Jejak itu membawanya ke tempat persembunyian lama, sebuah pondok kayu tua yang dulu mereka gunakan saat pelatihan khusus rahasia bersama Bayu dan Alya. Lokasi itu tidak pernah terdaftar dalam arsip militer. Hanya mereka bertiga yang tahu. Dan kini, seolah waktu telah berhenti di sana.

Pondok itu tampak rapuh, dimakan usia, tapi anehnya… bersih. Tak ada debu menebal, tak ada sarang laba-laba. Raka langsung waspada. Seseorang baru saja ke sini.

Ia mengitari bangunan kecil itu, matanya menangkap jejak sepatu di tanah basah. Lebar dan dalam. Meninggalkan bekas yang menunjukkan bahwa pemiliknya membawa beban berat. Ada juga sisa bungkus makanan kaleng dan puntung rokok yang masih baru.

Namun yang paling membuat jantung Raka berdegup kencang adalah benda kecil di sudut pondok: sebuah kalung liontin berukir inisial “A”—kalung yang dulu diberikan Raka pada Alya saat mereka pertama kali bertugas bersama.

Tangannya gemetar saat meraihnya. Di balik liontin itu, ia menemukan kertas kecil tergulung rapi, berisi tulisan tangan yang dikenalnya:

“Jika kau menemukan ini, berarti aku belum terlambat. Tapi waktunya hampir habis. Jangan percaya siapa pun—termasuk yang dulu bersumpah akan menjagamu.”

Pesan itu menampar batin Raka. Alya masih hidup. Ia mungkin terluka, disekap, atau—lebih buruk—digunakan sebagai umpan.

Ia keluar dari pondok dengan langkah cepat, mengikuti jejak kaki yang menuju ke arah barat laut, ke dalam hutan lebih dalam. Tapi jejak itu terhenti tiba-tiba di tepi tebing curam. Di bawah sana, sungai deras mengalir liar, membawa batu dan ranting.

Di atas batu besar, ada bercak darah.

Sedikit. Tapi cukup untuk membuat napas Raka tercekat.

Apakah itu darah Alya? Atau… seseorang sedang mengatur semuanya agar terlihat seperti kecelakaan?

Raka memejamkan mata sejenak, menenangkan pikirannya. Ia sadar, semakin dalam ia menggali, semakin berbahaya permainannya. Namun tidak ada jalan kembali. Setiap jejak yang ditinggalkan membawa cerita, dan cerita ini belum selesai.

Dengan tekad yang kembali menguat, ia memungut sehelai daun berdarah sebagai sampel, lalu melangkah pergi dari tebing. Ia tahu, satu-satunya cara untuk menguak kebenaran adalah dengan menelusuri jejak sampai akhir—meski itu berarti harus kehilangan dirinya sendiri dalam prosesnya.

Bab 8: Zona Mati

Langkah kaki Raka terhenti di depan pagar kawat yang berkarat, setengah roboh, dengan tanda besar bertuliskan:

“DILARANG MASUK – AREA TERTUTUP MILITER – ZONA MATI.”

Angin yang bertiup membawa bau logam karat dan sisa bahan kimia yang menusuk. Raka menatap ke dalam wilayah terlarang itu—bekas kompleks laboratorium bawah tanah yang ditinggalkan sejak operasi rahasia pemerintah yang berujung pada pembantaian satu regu elit. Regu yang dipimpin oleh… Bayu.

Ia menarik napas panjang. Tempat ini bukan hanya penuh bahaya, tapi juga penuh luka lama. Namun jejak yang ia ikuti dari pondok tua berakhir di sini. Dan jika Alya pernah dibawa atau disekap, maka Zona Mati adalah satu-satunya tempat yang cukup tersembunyi untuk menyembunyikan kebenaran.

Dengan sigap, ia melompati pagar dan menyelinap ke dalam. Jalanan tanah yang dipenuhi rumput liar dan puing bangunan membuat setiap langkahnya terasa berat. Kamera pengintai di beberapa titik masih tergantung, meski sebagian besar tampak tidak aktif. Tapi Raka tahu, jika tempat ini masih digunakan oleh pihak tertentu, sistem keamanannya pasti tak sesederhana yang terlihat.

Ia menyusuri koridor bawah tanah yang gelap dan lembap, dengan lampu darurat yang sesekali menyala redup karena korsleting. Bayangan tubuhnya menari di dinding, seolah mengolok-oloknya. Dinding-dinding beton penuh coretan bekas operasi: kode unit, tanda larangan, dan simbol aneh yang tampak seperti peringatan dalam bahasa sandi.

Di salah satu ruangan bekas laboratorium, ia menemukan bekas aktivitas baru—kursi berdebu dengan bekas tali, botol air mineral yang masih utuh, dan kain yang tampak seperti bekas perban. Detak jantungnya bertambah cepat. Alya pernah di sini.

Namun tak lama kemudian, suara gemerisik terdengar dari lorong belakang. Raka refleks berlindung di balik meja logam. Napasnya tertahan. Sepasang langkah kaki mendekat. Perlahan, bayangan seorang pria bersenjata laras panjang muncul—berseragam hitam tanpa lambang, wajahnya tertutup masker taktis.

Bukan tentara. Bukan polisi. Ini bayangan hitam itu.

Raka nyaris menarik pelatuk pistolnya, tapi sebelum ia sempat bergerak, suara dari radio si pria terdengar samar:

“Target tidak ada di titik Delta. Ulangi, target kosong. Lanjut ke titik Zulu.”

Langkah kaki itu menjauh. Tapi satu hal kini pasti: Zona Mati masih hidup. Dan diawasi.

Setelah keadaan dirasa aman, Raka membuka salah satu laci meja tua di laboratorium. Di dalamnya, ia menemukan flashdisk hitam dengan label lusuh: “Epsilon-3”—kode yang hanya dipakai dalam dokumen misi rahasia militer. Ia menyimpannya hati-hati.

Saat keluar dari lorong, matanya menangkap tulisan samar di dinding:
“Apa yang mati di sini… tidak pernah benar-benar mati.”

Raka menatap tulisan itu lama, lalu melangkah keluar dari kompleks itu dengan satu pemahaman baru—ia bukan hanya sedang melawan sistem atau konspirasi, tapi juga masa lalu yang ingin bangkit kembali. Dan zona ini, bukan sekadar tempat mati—ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih kelam.

Bab 9: Kebenaran yang Membunuh

Dalam keheningan malam yang membalut apartemen sewaan di sudut kota, Raka duduk sendiri di depan laptop tua yang baru saja berhasil membaca isi flashdisk bertanda Epsilon-3. Tangannya gemetar saat file pertama terbuka—sebuah video berdurasi lima menit yang mengubah segalanya.

Rekaman buram itu menampilkan ruang gelap dengan lampu redup. Seorang pria terikat di kursi, wajahnya babak belur, dan darah menetes dari sudut bibirnya. Kamera bergerak, memperlihatkan sosok yang berdiri di depannya—Bayu, masih hidup, masih bernapas, dan kini tampak sebagai algojo.

Raka menahan napas.

“Katakan siapa yang mengkhianati tim kita,” ujar Bayu dalam video, suaranya dingin dan datar.

Pria yang diinterogasi tak menjawab, hanya menatap kosong ke arah kamera, seolah tahu bahwa rekaman ini akan sampai ke tangan seseorang yang ia kenal. Lalu, satu kalimat lirih keluar dari bibirnya sebelum layar menjadi gelap:

“Bukan mereka yang mengkhianatimu, Bayu. Tapi sistem yang menciptakanmu.”

Video itu berhenti. Dan pada detik itulah, Raka merasa dunia di sekelilingnya runtuh. Selama ini mereka semua hanya pion. Timnya dibentuk bukan untuk menjalankan misi patriotik, melainkan untuk menutupi eksperimen gelap dalam proyek rahasia pemerintah. Dan saat misi bocor, mereka yang tahu terlalu banyak—Alya, Bayu, bahkan dirinya—dihabisi satu per satu.

Raka membuka file lain. Ada laporan. Transkrip. Foto-foto. Dokumen yang membuktikan keterlibatan petinggi militer dan korporasi senjata dalam jaringan ilegal yang memanfaatkan regu bayangan sebagai alat pembasmi tanpa jejak hukum. Termasuk operasi pembersihan di Zona Mati—tempat para “saksi” dilenyapkan.

Ia berhenti pada satu folder berlabel: “Project Obsidian.”

Di dalamnya, ia menemukan catatan eksperimen pada manusia—eksperimen terhadap ketahanan, sugesti, dan kontrol mental. Subjek pertamanya? Bayu. Nama lengkap, nomor registrasi, dan hasil uji mentalnya tercantum dengan jelas. Bayu bukan hanya seorang tentara. Ia adalah korban… dan sekaligus produk dari sistem yang rusak.

Ketika membaca paragraf terakhir, mata Raka basah:

“Jika subjek tak mampu dikendalikan, aktifkan protokol eliminasi: termasuk terhadap siapa pun yang mengetahui tahap eksperimen, termasuk keluarga, rekan tim, dan pendukung logistik.”

Raka terdiam lama. Kebenaran ini seperti peluru yang menembus dadanya—tajam, sunyi, dan tak bisa ditarik kembali. Ia kini tahu bahwa perjuangannya bukan sekadar untuk bertahan hidup. Tapi untuk mengungkap kebusukan yang bisa membunuh siapa pun yang terlalu dekat.

Termasuk dirinya.

Pintu belakang apartemen tiba-tiba bergetar. Ada yang mencoba masuk. Raka buru-buru mencabut flashdisk dan memasukkannya ke dalam saku jaket. Dengan senjata di tangan, ia mengendap ke arah pintu. Di baliknya, bayangan seseorang tampak jelas dari bawah cahaya remang lorong.

Bayu?

Atau… seseorang yang dikirim untuk membungkamnya?

Raka tahu, sejak detik itu, ia tidak bisa percaya siapa pun. Bahkan pada kenangan yang selama ini ia pegang erat. Karena kebenaran… tak selalu membebaskan.

Kadang, kebenaran bisa membunuh.

Bab 10: Dikhianati Dua Kali

Raka berjalan menyusuri gang sempit yang gelap, dengan langkah hati-hati. Setiap sudut kota ini terasa asing baginya—bahkan udara yang ia hirup pun tampak beracun. Sekali lagi, ia merasa dunia yang dulu dikenalnya kini hanyalah ilusi yang dibangun di atas kebohongan. Dikhianati dua kali.

Kali pertama, saat pemerintah menipunya—membuatnya percaya bahwa ia berjuang untuk sebuah tujuan mulia, untuk negeri yang lebih baik. Mereka menggunakannya sebagai alat dalam permainan kekuasaan mereka. Kedua, dan yang lebih menghancurkan, saat Bayu—teman yang dianggapnya sebagai saudara—terungkap sebagai bagian dari jaringan yang telah menghancurkan mereka semua.

Bayu, yang dulu berbagi senyum, tawa, dan perjuangan, ternyata tak lebih dari pemain lain dalam konspirasi yang lebih besar. Kepercayaan yang ia berikan pada Bayu sekarang terasa seperti pisau yang tertancap di punggungnya.

Namun, ini belum cukup. Kini, Alya—wanita yang telah menjadi pusat pencariannya—ternyata tak bisa sepenuhnya dipercaya. Dalam rekaman yang ia temukan, ada petunjuk yang mengarah pada keterlibatan Alya dalam jaringan yang lebih luas. Dan meskipun ia ingin menolak, kebenaran itu seperti racun yang menggerogoti setiap harapan yang masih ada.

Setelah bertemu dengan sumber terpercaya di bawah tanah, Raka akhirnya tahu bahwa Alya bukan hanya korban. Ia juga bagian dari rencana besar yang melibatkan organisasi yang lebih tua dan lebih berbahaya daripada yang bisa dibayangkan Raka. Alya adalah penghubung, seorang mata-mata yang dibius dengan janji akan kekuasaan, tanpa menyadari bahwa ia telah menjadi alat dalam permainan yang lebih kejam.

Ketika Raka tiba di gedung tinggi yang terletak di tengah pusat kota, ia merasa sesuatu yang janggal. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, tetapi ada sesuatu yang bergetar di udara—sebuah perasaan bahwa dirinya sedang diawasi. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang penuh dengan pertanyaan.

Di ruang rapat yang gelap, hanya ada satu meja besar di tengahnya. Tiba-tiba, sebuah suara dingin terdengar dari sudut ruangan.

“Kamu tahu, Raka, tidak ada yang lebih menyakitkan daripada pengkhianatan dari orang yang kita cintai.”

Raka mengangkat senjatanya dan mengarahkan ke suara itu. Alya muncul dari kegelapan, wajahnya tidak lagi seperti yang ia kenal—terlihat lebih tegas, lebih keras, bahkan sedikit terkesan dingin.

“Kau benar. Aku memang mengkhianatimu. Tapi bukan dengan cara yang kau pikirkan.”

Raka terdiam. Kata-kata itu menghantamnya dengan keras, lebih sakit daripada peluru yang menembus tubuhnya. Seperti ada sesuatu yang patah dalam dirinya, sesuatu yang selama ini ia percayai tanpa ragu.

Alya melangkah maju, tatapan matanya tajam.

“Kebenaran itu bukan untuk orang yang tidak siap, Raka. Kita semua hanyalah pion dalam permainan besar. Jangan terlalu berharap bisa keluar dari sini hidup-hidup.”

Raka merasa tubuhnya kaku. Ia tahu bahwa ini adalah pertarungan yang lebih besar dari yang ia bayangkan. Tidak hanya sekedar bertahan hidup atau mencari kebenaran, tetapi juga memilih antara membunuh atau dibunuh.

Di saat yang sama, seseorang dari belakang menembakkan peluru ke arah Raka. Namun, dengan refleks yang tajam, ia berhasil menghindar. Peluru itu tidak hanya mengejutkannya, tetapi juga membuktikan bahwa ia telah terperangkap. Tidak hanya oleh Alya, tapi juga oleh Bayu yang ternyata tidak pernah benar-benar meninggalkannya.

Saat semua ini terungkap, Raka merasa dipermainkan oleh takdir. Dua kali dikhianati—pertama oleh sistem yang ia percayai, dan kedua oleh orang-orang yang ia anggap sahabat.

Namun, kini Raka tahu satu hal: permainan ini belum selesai. Dan ia akan bertarung untuk mengungkap kebenaran, meski kebenaran itu berarti harus melawan orang-orang yang dulu ia percayai.

Karena, ketika kamu telah dikhianati dua kali, tidak ada lagi yang bisa diandalkan selain dirimu sendiri.

Bab 11: Melawan Takdir

Raka berdiri di tengah reruntuhan kota yang hancur, di tempat yang dulunya dikenal sebagai pusat administrasi militer. Suasana itu mencekam, seolah-olah waktu telah berhenti. Deru angin seakan membawa bisikan-bisikan masa lalu, memaksa Raka untuk menghadapi kenyataan yang sulit diterima. Takdir—kata itu terus terngiang di kepalanya.

Sejak awal, ia merasa seolah-olah telah ditakdirkan untuk hidup dalam bayang-bayang pertempuran yang tak pernah berakhir. Keputusan-keputusan yang ia buat, orang-orang yang ia percayai, semuanya membawa dia ke titik ini: berada di tempat yang penuh dengan kebohongan dan pengkhianatan. Tetapi apakah ini benar-benar takdirnya?

Langkahnya terdengar berat, beradu dengan reruntuhan aspal yang berantakan. Di depannya, sebuah pintu baja besar terbuka, dan di dalamnya terdapat ruang kontrol yang sekarang sudah tampak berantakan. Kertas-kertas berserakan, layar komputer yang hancur, dan lampu-lampu darurat yang berkedip-kedip memberikan gambaran tentang bagaimana tempat ini pernah menjadi pusat kekuasaan yang penuh rahasia.

Di sanalah Raka mengetahui bahwa takdir bukanlah sekadar sebuah garis lurus yang harus ia ikuti. Takdir adalah pilihan—pilihan untuk melawan atau menyerah. Dan malam ini, Raka memilih untuk melawan.

Di ruang itu, layar utama menyala tiba-tiba, menampilkan wajah Alya—wajah yang dulu penuh harapan, kini dipenuhi dengan ketegasan yang tak lagi bisa ia kenali.

“Raka, aku tahu kamu akan sampai ke sini,” kata Alya, suara dingin yang mengirimkan getaran di sekujur tubuhnya. “Tapi kamu tahu, kita tidak bisa menghindari takdir kita. Sudah terlambat untuk kembali.”

Raka menatap layar itu, matanya penuh kemarahan dan kebingungan. Mengapa? Mengapa ia harus terus berjuang untuk sesuatu yang lebih besar daripada dirinya sendiri, sementara mereka yang ia percayai malah menjebaknya ke dalam perangkap?

“Takdir kita tidak pernah ditentukan oleh siapa pun selain diri kita sendiri, Alya,” jawab Raka dengan suara yang tegas. “Aku tidak akan menyerah, tidak akan membiarkan mereka mengontrol hidupku.”

Alya terdiam sejenak, seolah mencerna kata-kata Raka. Lalu, wajahnya muncul kembali di layar, kali ini dengan ekspresi yang lebih serius.

“Kau tahu, Raka, meskipun kita melawan, dunia ini sudah terlalu rusak. Takdir yang kita coba lawan sudah terlalu kuat. Tidak ada jalan kembali. Aku bukan lagi orang yang kau kenal.”

Sebuah suara keras terdengar di luar ruangan, membuat Raka berpaling. Di ambang pintu, muncul sosok yang sudah lama ia kenal—Bayu. Tidak ada lagi senyum ramah yang dulu ia kenal. Wajahnya kini dipenuhi dengan ketegasan yang mengerikan.

“Raka, hentikan. Ini bukan lagi tentang siapa yang benar atau siapa yang salah. Ini tentang bertahan hidup. Kau pikir kau bisa mengubah apa yang sudah terjadi? Kami sudah terlalu jauh untuk mundur,” ujar Bayu dengan nada serius.

Raka menatapnya, perasaan hancur menghampiri. Ia tidak ingin mempercayai apa yang ia dengar, tetapi suara Bayu terdengar penuh keyakinan. Mereka yang pernah ia anggap sebagai teman kini menjadi lawan yang sangat berbahaya. Dan di tengah kebingungannya, satu hal yang pasti: Ia tidak bisa mundur.

“Aku tidak akan menyerah, Bayu,” kata Raka, suaranya tegas dan bergetar. “Kita sudah cukup lama menjadi bagian dari sistem yang rusak ini. Sekarang saatnya untuk menghentikannya.”

Bayu tersenyum sinis, langkahnya perlahan mendekat. Namun, sebelum ia bisa mengatakan lebih banyak, ledakan keras mengguncang ruangan, menyebabkan beberapa dinding runtuh. Suara tembakan terdengar dari luar, dan keduanya segera terjun ke dalam posisi bertahan.

“Kita tidak punya banyak waktu,” ujar Raka dengan cepat. “Jika kita benar-benar ingin mengubah takdir kita, kita harus bertindak sekarang. Kita tidak bisa hanya diam.”

Bayu menatap Raka dengan pandangan yang penuh keraguan, namun ada sesuatu dalam tatapannya yang memberi sedikit harapan.

“Kau masih ingin melawan?” tanya Bayu, seolah ingin memastikan.

Raka mengangguk dengan keyakinan yang semakin kuat. “Iya. Karena melawan takdir adalah satu-satunya cara kita bisa benar-benar hidup.”

Dengan keputusan itu, mereka berdua mulai bergerak, melawan ancaman yang datang dari segala arah. Suara tembakan dan ledakan semakin mendekat, namun Raka tahu bahwa ia tidak bisa berhenti. Takdir yang ingin dipaksakan kepada mereka semua—baik oleh sistem, oleh masa lalu, maupun oleh teman-teman yang telah mengkhianati mereka—harus dihentikan.

Di tengah medan pertempuran itu, satu hal yang Raka pelajari adalah bahwa takdir bukanlah sesuatu yang bisa ditunggu untuk datang, melainkan sesuatu yang harus diciptakan. Dan ia akan menciptakan takdirnya sendiri.

Bab 12: Pertempuran di Balik Bayangan

Suara tembakan yang pecah di udara menggema di antara gedung-gedung hancur. Kota yang dulunya menjadi simbol kekuatan kini hanya tinggal serpihan dan kenangan, tempat bagi pertempuran terakhir antara hidup dan mati. Raka merunduk di balik dinding beton, tubuhnya gemetar, bukan karena takut, tetapi karena kesadaran bahwa apa yang ia hadapi kini lebih dari sekadar musuh fisik. Musuh sejati ada dalam bayangannya—bayangan dari masa lalu yang tak pernah hilang.

Di hadapannya, Alya berdiri tegap, mata yang penuh tekad bertemu dengan matanya yang penuh keraguan. Tangan Alya memegang senjata dengan sigap, sementara di sisi lain, Bayu berdiri dengan pandangan kosong, seolah-olah ia telah kehilangan arah dalam dunia yang penuh pengkhianatan ini.

“Kita berada di ujung jurang, Raka,” kata Alya, suaranya tegas, tetapi ada kelelahan yang tercermin di baliknya. “Dan sekarang, kita harus memilih—terus berlari atau menghadapi kenyataan ini.”

Raka menatapnya dalam-dalam, mencoba menemukan secercah harapan di mata wanita yang dulu begitu ia percayai. Namun, yang ia temukan hanyalah bayangan dari seorang Alya yang terperangkap dalam perangkap yang lebih besar. Apakah ini benar-benar pilihan? Ataukah mereka hanya menjalani takdir yang sudah digariskan oleh kekuatan yang lebih besar?

“Aku tidak akan melarikan diri lagi, Alya,” jawab Raka, suaranya penuh keyakinan. “Bukan dari kalian, dan bukan dari kebenaran yang sudah lama aku hindari.”

Alya menunduk sejenak, seolah menyadari bahwa kata-kata Raka bukan hanya sebuah pernyataan, tetapi juga sebuah tantangan. Mereka berada di ambang kehancuran, dan pilihan yang mereka buat hari ini akan menentukan siapa yang selamat—dan siapa yang akan hilang dalam bayang-bayang sejarah.

Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar mendekat. Dari balik kegelapan, muncul tentara bayaran yang disewa oleh jaringan yang tak kenal ampun. Mereka berjalan perlahan, bergerak dengan terampil di antara reruntuhan. Senjata-senjata mereka bersinar di bawah cahaya redup, mengingatkan Raka bahwa ini bukan sekadar pertempuran untuk bertahan hidup—ini adalah pertempuran untuk memperjuangkan masa depan.

Dengan gerakan cepat, Raka menarik senjatanya dan berlari ke arah Alya dan Bayu. Tidak ada waktu untuk ragu. Serangan datang begitu mendalam, dan mereka hanya punya sedikit kesempatan untuk membalikkan keadaan. Tembakan terdengar, mengiris udara, namun Raka tetap berlari, memanfaatkan setiap pelindung yang ada di sekitarnya.

“Alya, kamu tahu kita tidak bisa lari dari ini! Kalau kita ingin bertahan, kita harus bertarung bersama!” teriak Raka, sementara peluru melesat di sekitar mereka.

Alya menatapnya sejenak, lalu mengangguk. Tidak ada lagi pilihan. Mereka harus bekerja sama, meskipun kepercayaan mereka telah terkoyak. Dalam sekejap, keduanya bergerak, berbalik, dan bertempur melawan musuh yang datang dari segala arah. Bayu, yang sebelumnya terlihat ragu, akhirnya ikut beraksi, melibatkan dirinya dalam pertempuran yang sangat menentukan.

Raka merunduk, menghindari tembakan yang mengancam hidupnya, lalu dengan cepat melemparkan granat ke arah kelompok musuh yang mendekat. Ledakan mengguncang tanah, membekas di dalam kepalanya, sementara asap tebal memenuhi udara. Dalam kerusakan itu, ia tahu bahwa mereka berada di ambang kemenangan atau kehancuran. Di balik asap itu, ada kebenaran yang siap ditemukan—meskipun kebenaran itu bisa jadi lebih menghancurkan daripada perang itu sendiri.

Penyergapan berlangsung cepat dan kejam. Mereka bertempur dengan segala yang mereka punya—senjata, keterampilan, dan insting. Setiap langkah mereka dihitung, setiap napas penuh ketegangan. Raka dan Alya saling melindungi, bersembunyi di balik tembok dan reruntuhan, tetapi Bayu berada di posisi yang lebih terbuka, mengalihkan perhatian musuh agar mereka bisa mendapatkan ruang gerak.

Namun, ketika ledakan berikutnya meledak, Bayu tertembak. Raka melihat sosoknya terjatuh ke tanah, darah mengalir deras dari luka yang mengancam hidupnya. Kehilangan satu orang berarti kehancuran bagi mereka semua. Tetapi dalam sekejap, Raka tahu bahwa mereka tidak bisa mundur. Jika Bayu jatuh, mereka harus melawan dengan dua kali lipat kekuatan.

“Bayu!” Raka berteriak, berlari untuk mendekati sahabatnya yang terjatuh. Namun, Bayu menggenggam tangannya, matanya penuh dengan kesungguhan.

“Kamu tidak bisa berhenti, Raka. Ini bukan hanya tentang aku, ini tentang masa depan. Bertarunglah untuk kita semua.”

Raka menatap Bayu dengan hati yang hancur. Namun, kata-kata itu memberinya kekuatan baru. Dalam sekejap, ia berdiri tegak, mengarahkan senjatanya kepada musuh yang mendekat, dan menembak dengan akurat. Ledakan demi ledakan mengguncang tanah, tetapi Raka tahu bahwa pertarungan ini belum selesai.

Bayangan dari masa lalu masih mengintai, dan mereka harus menghadapinya. Tapi dalam pertarungan ini, ada satu hal yang jelas: Tidak ada yang bisa menghentikan mereka.

Bab 13: Harga Sebuah Kebenaran

Raka berdiri di tengah reruntuhan gedung yang hancur, darah yang mengalir dari luka di tubuhnya seolah tak terasa lagi. Matanya kosong, seakan mencerna segala yang baru saja terjadi. Setiap napas yang ia hirup terasa semakin berat, seiring dengan kenyataan yang perlahan mulai terungkap. Kebenaran yang selama ini ia cari ternyata memiliki harga yang jauh lebih tinggi daripada yang ia bayangkan.

Di depan Raka, Alya berdiri tegak, memandangnya dengan tatapan yang penuh penyesalan. Mereka berdua baru saja melalui pertempuran sengit yang memakan banyak korban. Sekarang, di tengah kehancuran, keduanya hanya memiliki satu tujuan: mencari tahu siapa yang sebenarnya berada di balik semua ini.

“Kau tahu, Raka, aku tidak pernah ingin membuatmu seperti ini,” kata Alya, suaranya lembut, namun ada kebimbangan yang jelas tergambar. “Aku hanya… aku hanya terjebak dalam permainan ini, seperti halnya kamu.”

Raka menatapnya, tubuhnya lelah, tetapi matanya masih penuh semangat. Kata-kata Alya tidak lagi mengejutkannya. Sudah terlalu lama ia mencurigai bahwa ada sesuatu yang lebih besar di balik semua kejadian ini. Namun, setiap jawaban yang mereka dapatkan seolah semakin menggali lubang yang lebih dalam, dan kebenaran yang mereka temukan semakin sulit untuk diterima.

“Kita semua terjebak, Alya,” jawab Raka, suaranya berat. “Tapi aku bukan hanya terjebak karena permainan ini. Aku terluka karena kita semua memilih untuk berbohong satu sama lain. Kau, aku, Bayu, semuanya. Kita hanya mengejar kebenaran tanpa tahu harga yang harus dibayar.”

Alya menunduk, seolah menyesali keputusan-keputusan yang telah ia buat. Kebenaran yang mereka cari ternyata bukan hanya tentang siapa yang benar atau siapa yang salah, tetapi juga tentang pengorbanan yang harus mereka lakukan untuk mencapainya.

Raka berjalan mendekati meja yang terletak di tengah ruangan. Di atasnya terdapat dokumen-dokumen yang sangat penting—berisi rincian tentang operasi besar yang dilakukan oleh organisasi yang telah menipu mereka semua. Kebenaran itu tertulis jelas, namun harganya begitu mahal.

Ketika Raka membuka salah satu berkas, sebuah nama muncul di halaman pertama: “General Hakim”. Nama yang tidak pernah ia duga. Seorang tokoh yang selama ini dihormati, namun ternyata memiliki agenda tersembunyi yang lebih gelap dari yang mereka bayangkan. General Hakim adalah orang yang selama ini mengendalikan segalanya dari balik layar.

Raka merasakan bumi seakan bergetar di bawah kakinya. Ini bukan hanya tentang pengkhianatan pribadi. Ini adalah konspirasi besar yang akan mengguncang dunia. Semua yang ia dan teman-temannya alami—semua pertempuran, semua kehilangan—ternyata adalah bagian dari permainan yang jauh lebih rumit.

“Jadi selama ini, General Hakim adalah orang yang berada di balik semua ini?” tanya Alya dengan suara gemetar, matanya tidak bisa berpaling dari berkas yang ada di tangan Raka.

Raka mengangguk perlahan. “Iya. Semua yang kita lakukan, semua yang kita perjuangkan, hanya bagian dari rencana besar yang sudah dirancang sejak awal. Dan sekarang, kita harus menghadapi kenyataan pahit ini.”

Alya terdiam. Kebenaran ini menghancurkan segalanya. Mereka telah menjadi pion dalam permainan besar yang tidak mereka pahami sepenuhnya. Harga dari kebenaran ini adalah keyakinan yang hancur, persahabatan yang terkoyak, dan masa depan yang semakin tidak pasti.

Tiba-tiba, suara tembakan terdengar dari luar, memecah keheningan. Raka dan Alya saling pandang, dan dalam sekejap, insting mereka berbicara lebih cepat daripada pikiran. Mereka berlari keluar, menuju medan pertempuran yang masih terus berlangsung.

Di luar, suara ledakan kembali mengguncang tanah, menandakan bahwa pertarungan belum selesai. Namun kali ini, Raka tahu bahwa mereka tidak hanya bertempur untuk bertahan hidup—mereka bertempur untuk mengungkapkan kebenaran yang telah dibayar dengan darah dan air mata.

Dengan tekad yang lebih kuat, Raka dan Alya kembali ke tengah pertempuran. Setiap langkah mereka penuh dengan kesadaran bahwa kebenaran yang mereka bawa memiliki dampak yang jauh lebih besar daripada apa yang mereka bayangkan. Harga sebuah kebenaran adalah kehilangan, tetapi juga harapan untuk masa depan yang lebih baik.

Ketika Raka menembakkan peluru terakhirnya, tubuhnya terasa kaku dan lelah, tetapi hatinya dipenuhi oleh satu pemikiran yang jelas: Mereka tidak akan pernah kembali lagi ke dunia yang dulu mereka kenal. Apa yang mereka hadapi sekarang adalah masa depan yang baru, yang penuh dengan tantangan dan pengorbanan.

“Alya,” kata Raka dengan suara berat, “kita tidak bisa berhenti sekarang. Ini baru permulaan.”

Alya menatapnya dengan mata yang penuh semangat, walaupun masih ada keraguan di dalam dirinya. Namun, mereka tahu bahwa perjalanan mereka belum berakhir. Kebenaran ini harus dibawa ke permukaan, tidak peduli berapa banyak nyawa yang harus dikorbankan.

Harga sebuah kebenaran memang tidak pernah murah, tetapi jika mereka tidak melanjutkan perjuangan ini, maka semua yang telah mereka lalui selama ini akan sia-sia. Dan itu, tidak akan pernah bisa mereka terima.

Bab 14: Di Ambang Kehidupan

Kehidupan Raka kini bergantung pada seutas napas yang tersisa. Di tengah reruntuhan kota yang hancur, dia berdiri dengan tubuh yang kotor, penuh luka, dan darah yang mulai mengering. Tak ada suara selain angin yang berbisik pelan di antara reruntuhan. Alam seakan tahu bahwa mereka berada di ambang kehancuran—tapi juga di ambang sebuah keputusan yang akan menentukan segalanya.

Alya berdiri di sisi Raka, wajahnya lelah, tetapi matanya menunjukkan keteguhan yang tidak bisa dipatahkan. Mereka baru saja keluar dari pertempuran sengit, dan meskipun musuh masih ada di sekitar mereka, ada sesuatu yang lebih menakutkan yang membayangi: keputusan yang harus mereka buat untuk melanjutkan hidup atau mengakhiri semuanya.

“Raka, kita sudah begitu dekat,” kata Alya, suaranya hampir tak terdengar, tetapi penuh dengan keyakinan yang tak tergoyahkan. “Tapi aku tahu, ini bukan hanya tentang memenangkan pertempuran… Ini tentang bertahan hidup, dan itu akan lebih sulit daripada apa pun yang kita hadapi.”

Raka menatap Alya. Ada begitu banyak pertanyaan yang tak terjawab, begitu banyak rasa sakit yang belum terungkap. Namun, satu hal yang pasti: mereka tidak bisa mundur lagi. Seluruh perjalanan ini, semua pengorbanan, semua kehilangan, telah membawa mereka ke titik ini. Di ambang kehidupan, di mana setiap pilihan bisa berujung pada kematian.

“Aku tahu,” jawab Raka, suara rendah namun tegas. “Tapi untuk bertahan hidup, kita harus melepaskan sesuatu, Alya. Apa yang telah kita korbankan, apakah itu akan pernah cukup?”

Pertanyaan itu menggantung di udara, menyelubungi mereka dalam keheningan yang penuh makna. Apa yang mereka korbankan untuk bertahan hidup? Apakah itu keyakinan mereka? Apakah itu persahabatan yang telah hancur? Atau bahkan nyawa mereka yang terus digantungkan di tepi jurang?

Di kejauhan, suara mesin mulai terdengar, semakin dekat. Raka tahu bahwa ini adalah saat terakhir mereka untuk memilih. Musuh—jaringan besar yang telah mengendalikan takdir mereka—sedang mengepung. Mereka berada di ambang keputusan yang tak bisa dihindari.

Tiba-tiba, Bayu muncul dari balik reruntuhan, wajahnya penuh keringat dan darah. Meskipun terluka parah, ada kilatan semangat yang tak terpadamkan dalam tatapannya. Dia melangkah maju, tanpa ragu. Keputusan ini juga bukan hanya milik Raka dan Alya. Ini adalah keputusan mereka semua.

“Kita masih punya satu kesempatan,” kata Bayu dengan suara serak, berusaha mengabaikan rasa sakit yang menghimpit tubuhnya. “Kita bisa menghentikan mereka semua. Tapi kita harus melakukannya bersama-sama. Kalau tidak, semua yang kita perjuangkan selama ini akan sia-sia.”

Raka menatap sahabatnya dengan hati yang berat. Setiap detik yang berlalu membawa mereka lebih dekat ke akhir yang tak terhindarkan, namun Raka tahu bahwa mereka tak bisa lagi ragu. Mereka harus bertindak. Sekarang atau tidak sama sekali.

Mereka bertiga saling berhadapan. Hanya ada satu langkah yang bisa mereka ambil—membuka jalan menuju kebenaran, membayar harga terakhir, atau menyerah dan membiarkan dunia mereka runtuh. Raka menarik napas panjang, merasakan rasa sakit yang menyelimuti tubuhnya, tetapi juga ada semangat yang membara dalam dirinya. Ia tahu, pada titik ini, ini adalah kesempatan terakhir mereka untuk mengubah nasib.

“Kita tidak akan mundur,” ujar Raka dengan suara yang menggema. “Ini adalah akhir dari semuanya. Kita tidak hanya berjuang untuk bertahan hidup. Kita berjuang untuk memastikan bahwa semua pengorbanan ini tidak sia-sia.”

Alya mengangguk dengan penuh tekad. “Kita melawan sampai akhir. Tidak ada yang bisa menghentikan kita sekarang.”

Dan dengan itu, mereka melangkah maju. Langkah pertama mereka adalah langkah menuju kebenaran yang mereka cari begitu lama. Mereka tahu, apa pun yang terjadi, mereka akan membayar harga yang mahal untuk memenangkan pertempuran ini. Namun, apakah kemenangan itu sepadan dengan apa yang telah hilang? Itu adalah pertanyaan yang tidak akan pernah terjawab dengan mudah.

Suara kendaraan yang semakin mendekat mengingatkan mereka bahwa waktu semakin habis. Pertempuran terakhir akan segera dimulai, dan hanya satu hal yang pasti: kehidupan mereka akan berubah selamanya.

Bab 15: Bayangan Tak Pernah Mati

Suara langkah kaki mereka terdengar berat di tengah kesunyian yang menyelimuti. Langit yang kelabu seolah menjadi saksi bisu dari akhir perjalanan mereka. Raka, Alya, dan Bayu berjalan bersama, menyusuri jalanan yang kini hancur lebur akibat pertempuran yang tak terhindarkan. Mereka telah melewati begitu banyak cobaan, pengkhianatan, dan pertarungan hidup mati—tapi pada akhirnya, mereka kembali ke tempat ini. Tempat di mana semuanya dimulai, dan tempat di mana mereka akan menghadapi kenyataan yang sulit diterima: Bayangan yang selama ini mengejar mereka, tidak akan pernah mati.

“Ini akhirnya berakhir, bukan?” tanya Alya, suaranya penuh kelelahan. Wajahnya yang dulu cerah kini tampak suram, dipenuhi dengan tanda-tanda kelelahan fisik dan mental. Di tangannya, ada selembar dokumen terakhir yang berisi rahasia yang selama ini mereka cari.

Raka menatapnya dengan pandangan kosong. Kemenangan yang mereka peroleh tak pernah semanis yang dibayangkan. Meskipun mereka telah berhasil menghancurkan jaringan yang menindas mereka, ada sesuatu yang tak bisa mereka lepaskan: bayangan masa lalu yang terus mengikuti mereka.

“Tidak, Alya. Ini belum berakhir,” jawab Raka, suara beratnya bergetar. “Bayangan itu masih ada. Selama kita masih hidup, bayangan itu akan selalu mengejar kita.”

Bayu, yang sejak awal diam, menoleh ke arah Raka. Wajahnya tampak serius, penuh perhitungan. “Kau benar, Raka. Kita telah menghancurkan mereka yang ada di depan kita, tapi ada hal yang lebih besar yang masih mengintai dari bayang-bayang. Musuh yang tak terlihat, yang tak akan pernah bisa kita bunuh.”

Raka mengangguk, menggigit bibirnya. Mereka semua tahu bahwa meskipun jaringan yang memanipulasi mereka telah runtuh, perang ini bukanlah perang yang bisa dimenangkan dengan kekuatan fisik semata. Itu adalah perang melawan sesuatu yang lebih besar—sebuah sistem yang telah menyusup ke dalam setiap celah kehidupan mereka.

Di ujung jalan, mereka melihat sebuah bangunan yang tampak seperti markas lama. Markas itu dulu adalah tempat di mana segalanya dimulai, tempat mereka dulu ditempa dalam latihan keras, tempat mereka dilatih untuk menjadi alat. Di sanalah semua kebohongan itu dimulai.

“Kita harus menghancurkan ini, Raka,” kata Bayu, matanya penuh tekad. “Ini adalah akhir dari semuanya. Jika kita tidak menghancurkan tempat ini, kita tidak akan pernah benar-benar bebas.”

Raka berdiri diam, memandang markas yang kini tampak suram dan menyeramkan. Di balik dinding-dinding tebal itu, masih ada bayangan yang menunggu mereka. Meski mereka telah menghancurkan banyak hal, mereka belum bisa mengusir bayangan itu dari hidup mereka.

“Tidak ada yang benar-benar mati, Bayu,” ujar Raka dengan suara rendah. “Tidak ada yang benar-benar pergi. Bayangan itu akan selalu ada, mengikuti kita, bahkan setelah kita pergi dari sini.”

Alya mengalihkan pandangannya, memandang Raka dengan tatapan tajam. “Tapi kita sudah meruntuhkan segalanya, Raka. Kita harus bisa hidup dengan itu. Kita harus bisa meninggalkan masa lalu dan melangkah ke depan.”

Raka memejamkan matanya, merasakan angin yang seakan menuntunnya kembali ke masa-masa kelam itu. Ia tahu, meskipun mereka melangkah maju, bayangan itu tak akan pernah benar-benar menghilang.

“Mungkin kita tidak bisa mengusir bayangan itu,” kata Raka akhirnya, suaranya penuh kegetiran. “Tapi kita bisa memilih untuk tidak lari darinya. Kita tidak akan membiarkan bayangan itu mengendalikan kita lagi.”

Dengan tekad yang baru, mereka melangkah maju menuju markas lama yang kini menjadi simbol dari semua yang telah mereka hancurkan. Mereka tahu bahwa tak ada yang bisa benar-benar mengakhiri masa lalu. Namun, mereka bisa memilih untuk tidak membiarkan masa lalu itu menghalangi masa depan mereka.

Ketika mereka memasuki markas yang kini kosong, sepi, dan gelap, mereka berhenti sejenak. Rasa takut dan kecemasan mungkin akan terus menghantui mereka, tetapi mereka sudah siap untuk menghadapi apa pun yang ada di depan mereka. Bayangan dari masa lalu mungkin tak akan pernah mati, tetapi mereka yang akan menentukan bagaimana bayangan itu akan membentuk kehidupan mereka ke depan.

Raka menatap Alya dan Bayu. “Kita mulai dari sini. Kita tidak lari lagi.”

Dengan langkah yang mantap, mereka melangkah lebih dalam ke dalam kegelapan markas tersebut. Di sana, di dalam kegelapan itu, mereka tahu bahwa bayangan yang mengejar mereka mungkin tak akan pernah mati, tetapi selama mereka berdiri bersama, mereka bisa menghadapi apa pun.***

————————–THE END—————————-

Source: Shifa Yuhananda
Tags: BetrayalDanPengorbananKehidupanDanKematianKeputusanAkhirMisteriMasaLaluPengkhianatanDanKebenaranPerangMelawanBayanganPerjuanganTanpaAkhirThrillerAksi
Previous Post

CINTA DALAM KEHENINGAN

Next Post

TUNGGUL POHON BERDARAH

Next Post
TUNGGUL POHON BERDARAH

TUNGGUL POHON BERDARAH

LANGKAH DI BAWAH LANGIT BIRU

LANGKAH DI BAWAH LANGIT BIRU

KOTA YANG TERLUPAKAN

KOTA YANG TERLUPAKAN

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In