Bab 1 – Undangan Tanpa Nama
Hujan mengguyur deras kota pagi itu, membasahi trotoar dan kaca jendela kamar Arman yang berembun. Suara gemericik air mengiringi lamunannya yang entah sudah berapa lama tak tersentuh kenangan masa lalu. Di meja kayu tua, secarik amplop cokelat kusam tergeletak—tanpa perangko, tanpa nama pengirim, hanya satu tulisan dengan huruf tangan bergaya kuno:
“Pulanglah. Sudah waktunya kau kembali.”
Tak ada penjelasan, tak ada alamat pengirim. Tapi yang membuat jantung Arman berdegup lebih kencang adalah tulisan kecil di bagian bawah surat:
“Wira menunggumu.”
Nama itu menghantam dadanya seperti palu. Wira. Sahabat masa kecilnya yang hilang di tengah hutan dekat desa mereka—hilang tanpa jejak, tanpa penjelasan. Kasus itu sudah lama dianggap tertutup oleh aparat desa dan keluarga, meskipun Arman selalu merasa ada yang disembunyikan. Ia masih ingat malam ketika Wira lenyap—teriakan samar dari arah kuburan tua, suara langkah tergesa, dan bisikan aneh yang tak pernah bisa ia lupakan hingga kini.
Setelah kepergian Wira, Arman pindah ke kota bersama keluarganya. Ia menolak kembali ke desa, bahkan ketika ibunya meninggal beberapa tahun lalu. Desa itu menyimpan terlalu banyak bayangan kelam, dan Arman memilih menguburnya dalam-dalam.
Namun sekarang, kenangan itu kembali menggeliat. Undangan misterius itu terasa seperti panggilan dari masa lalu yang belum selesai.
Dengan tangan gemetar, Arman melipat ulang surat itu dan memasukkannya ke dalam saku jaket. Ia menatap keluar jendela, hujan masih belum reda—seperti pertanda bahwa langit pun tahu apa yang akan ia hadapi.
“Jika ini ulah seseorang yang iseng… dia tahu terlalu banyak,” gumamnya pelan.
Atau mungkin… bukan orang.
Hening menyelimuti ruangan. Detik demi detik terasa lambat. Di balik hujan dan kabut pagi itu, Arman sadar: ia tidak punya pilihan lain selain menghadapi apa yang selama ini ia hindari.
Dan dengan satu koper kecil, satu tiket bus menuju desa kelahirannya, dan sejuta pertanyaan yang belum terjawab, Arman pun memulai perjalanan pulang—tanpa tahu bahwa setiap langkahnya akan membawanya lebih dekat ke rahasia gelap yang terkubur… dan suara-suara yang tak pernah benar-benar diam.
Bab 2 – Desa yang Membisu
Langit kelabu menggantung rendah ketika bus yang ditumpangi Arman akhirnya berhenti di gerbang Desa Sukatani. Udara terasa lembap dan sunyi, seperti menyimpan napas dalam-dalam. Tak ada deru kendaraan, tak ada suara riuh. Yang terdengar hanyalah desir angin yang menyelinap di antara pepohonan dan tiupan lembut daun-daun kering yang luruh di tanah.
Arman melangkah turun dari bus, menenteng koper kecil yang kini terasa lebih berat dari seharusnya. Sejak menjejakkan kaki di tanah desa, perasaannya tak nyaman. Bukan hanya karena udara yang dingin menusuk, tetapi juga karena tatapan diam dari beberapa warga yang kebetulan lewat.
Mereka menatapnya tanpa senyum, tanpa sapaan. Hanya sekelebat mata yang cepat dialihkan, seperti enggan mengakui kehadirannya. Arman mengenali beberapa wajah—tetangga lama, pedagang warung dekat rumah masa kecilnya—namun tak satu pun dari mereka menunjukkan ekspresi ramah.
Seolah desa ini telah melupakan dirinya. Atau sengaja pura-pura lupa.
Langkahnya membawanya menyusuri jalan tanah yang berkelok, diapit oleh rumah-rumah kayu tua yang tampak semakin usang. Beberapa jendela tertutup rapat, tirai tersibak sedikit, seakan ada mata yang mengintip diam-diam dari balik bayangan.
“Sudah berubah,” gumam Arman pelan. Tapi yang lebih mengejutkan, justru betapa sedikitnya yang berubah. Rumah-rumah itu masih berdiri di tempat yang sama, warung-warung kecil masih ada, hanya saja semuanya tampak lebih… mati.
Ia melewati sebuah toko kelontong yang dulu sering ia kunjungi bersama Wira. Pemiliknya, Pak Rasta, sedang menyapu di depan toko. Arman mencoba menyapa.
“Pak Rasta… masih ingat saya? Arman, anak Bu Kirana.”
Pak Rasta menghentikan sapuannya. Wajah tuanya menegang sesaat, matanya menyipit menatap Arman. Lalu ia hanya mengangguk singkat, tanpa berkata sepatah kata pun, dan kembali menyapu dengan gerakan yang tampak lebih cepat, seolah ingin segera mengakhiri percakapan yang tak pernah benar-benar dimulai.
Arman berdiri kaku, tersenyum kikuk. Ada sesuatu yang salah. Ia bisa merasakannya di udara, di sorot mata orang-orang, dan dalam diam yang menjerat setiap sudut desa.
Ketika ia tiba di rumah peninggalan orang tuanya, bangunan itu berdiri seperti mayat hidup—tua, kusam, dan menyimpan banyak luka. Rumput liar menjalar di halaman, cat tembok mulai mengelupas. Tapi kunci yang ia bawa masih pas dengan lubang pintu.
Begitu pintu terbuka, aroma lembap dan debu menyeruak ke hidung. Rumah itu seolah menelan kembali kehadirannya dengan hening yang menggema. Tak ada suara selain derit pintu dan detak jantungnya yang kini berdegup lebih cepat.
Malam pertama di desa itu berjalan dalam sunyi yang tak wajar. Tak ada suara jangkrik. Tak ada lolongan anjing. Hanya angin yang sesekali menari pelan di sela-sela jendela tua.
Dan saat jam dinding tua berdentang dua kali, Arman mendengar sesuatu dari kejauhan—sebuah bisikan samar. Lirih. Patah-patah.
“Ar… man…”
Ia terdiam, tubuh menegang. Suara itu datang dari arah utara… dari arah kuburan lama.
Bab 3 – Kuburan di Hutan Larangan
Kabut pagi masih menggantung tipis ketika Arman melangkah menyusuri jalan setapak yang mengarah ke utara desa. Di kejauhan, deretan pepohonan tua menjulang seperti dinding alam yang membatasi dunia nyata dan dunia yang tak kasatmata. Hutan itu dikenal dengan nama Hutan Larangan, tempat yang sejak kecil selalu dipenuhi cerita menyeramkan—tempat di mana suara-suara terdengar tanpa sumber, dan bayangan bergerak tanpa tubuh.
Namun, bagi Arman, tempat itu bukan sekadar cerita rakyat. Di sanalah Wira terakhir kali terlihat. Di sanalah segalanya bermula.
Langkah kakinya terhenti di depan sebuah gapura bambu reyot yang separuh rubuh. Di atasnya terukir papan kayu lapuk bertuliskan samar:
“Dilarang Masuk. Kawasan Suci.”
Arman memandangi tulisan itu beberapa saat, lalu menepis ragu yang membebani pikirannya. Ia tahu, jika ingin menemukan jawaban, maka tempat inilah kuncinya.
Begitu ia menjejakkan kaki melewati batas gapura, suasana berubah drastis. Udara terasa lebih dingin, angin berembus aneh—pelan namun membawa suara samar, seperti bisikan yang enggan menghilang.
Tanah di bawah kakinya lembek, ditumbuhi rumput liar dan lumut basah. Ranting pohon menjuntai rendah, seperti tangan-tangan kurus yang hendak meraih siapa saja yang lewat. Arman menyibak semak belukar, dan setelah berjalan sekitar lima belas menit, ia tiba di tempat itu.
Kuburan tua.
Puluhan nisan tak terawat berdiri miring, sebagian hampir rebah, sebagian lainnya tertutup semak dan tanah longsoran. Tidak ada bunga. Tidak ada tanda bahwa tempat ini pernah dikunjungi siapa pun. Hanya deretan batu nisan tua yang diam mematung di tengah hening yang pekat.
Arman melangkah pelan, matanya menelusuri satu per satu nisan. Sebagian besar tulisannya sudah memudar. Tapi tiba-tiba, pandangannya tertumbuk pada sebuah nisan kecil di sudut barat kuburan. Ia berjongkok.
Tulisan di atasnya membuat bulu kuduknya meremang:
“Tidak bernama.”
Di bawahnya, terdapat ukiran samar yang seperti baru saja ditorehkan—lambang segitiga dengan lingkaran di tengah, lambang kuno yang hanya ia lihat sekali, dalam mimpi buruknya bertahun lalu.
Seketika, angin berembus lebih kencang. Dedaunan berjatuhan, dan terdengar suara seperti langkah kaki di balik pepohonan. Arman menoleh cepat. Tak ada siapa-siapa.
Namun… sesuatu mengintainya. Ia bisa merasakannya. Tekanan di dada, napas yang tiba-tiba sesak, dan aroma anyir yang menyusup ke hidung—seperti bau tanah basah yang tercampur darah.
Dan kemudian…
“Arman…”
Suara itu terdengar lagi. Lebih dekat. Lebih jelas. Ia berdiri terpaku. Suara itu datang dari bawah tanah… dari arah nisan tak bernama.
Tangannya gemetar. Ia mundur beberapa langkah. Tapi sebelum ia sempat berpaling untuk pergi, nisan itu bergetar.
Tanah di sekitarnya retak pelan. Seperti ada sesuatu—atau seseorang—yang mencoba keluar.
Arman menelan ludah. Di kepalanya, satu nama bergema kuat: Wira.
Bab 4 – Suara Pertama
Malam kembali turun di Desa Sukatani. Langit menghitam tanpa bintang, seolah langit pun enggan menatap desa itu lebih lama. Di dalam rumah peninggalan orang tuanya, Arman duduk terpaku di kursi kayu ruang tamu, wajahnya pucat, tangan masih gemetar.
Bayangan siang tadi di kuburan tua masih membekas jelas dalam pikirannya—nisan yang bergetar, suara yang berbisik dari dalam tanah, dan simbol aneh yang belum pernah ia lihat di dunia nyata. Semua itu bukan ilusi. Ia yakin akan satu hal: sesuatu memang mencoba berkomunikasi dengannya.
Namun yang membuatnya tak bisa tidur bukan hanya pengalaman aneh itu. Ada sesuatu yang lebih mengganggu—perasaan bahwa ia sedang diawasi. Sejak pulang dari hutan, hawa di rumah ini berubah. Lebih dingin. Lebih sunyi. Bahkan detik jam dinding terdengar begitu nyaring, seolah sedang menghitung mundur sesuatu.
Arman mencoba mengalihkan pikirannya. Ia membuka buku catatan tua milik ibunya yang ia temukan di dalam lemari. Di halaman-halaman terakhir, ada tulisan tangan yang tergesa, seperti dicatat dalam ketakutan.
“Suara itu kembali datang. Mereka bilang itu hanya angin, tapi aku tahu bedanya. Itu bukan angin. Itu suara anak-anak yang hilang…”
“Wira… maafkan aku. Aku hanya ingin kau tenang…”
Arman mengernyit. Apa maksud tulisan ini? Kenapa nama Wira tertulis di sini? Dan kenapa ibunya seolah menyembunyikan sesuatu?
Tiba-tiba, lampu di ruang tamu berkedip.
Klik. Klik.
Kemudian mati total.
Gelap pekat menyelimuti ruangan. Hanya cahaya samar dari bulan yang masuk melalui jendela, menampakkan siluet-siluet perabotan tua.
Arman bangkit dengan hati-hati, meraba-raba dinding mencari senter. Tapi sebelum ia menemukannya, suara itu kembali terdengar.
Pelan.
Serak.
“Maafkan aku…”
Arman membeku. Suara itu datang dari dalam rumah.
Dari arah kamar ibunya.
Dengan napas tertahan, ia berjalan pelan ke arah kamar itu. Lantai kayu berderit setiap kali diinjak, menambah ketegangan yang mencekik.
Ketika ia menyentuh gagang pintu kamar, suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih jelas.
“Arman… kamu pulang…”
Suara yang dingin namun familiar. Suara seperti milik Wira.
Arman membuka pintu perlahan. Kamar itu kosong. Tapi udara di dalam terasa jauh lebih dingin, seolah suhu turun drastis hanya di ruangan itu. Ia menyalakan senter. Sorotan cahayanya menyapu dinding, meja rias, dan lemari kayu tua.
Kemudian, cahayanya tertumbuk pada sesuatu di cermin.
Seseorang berdiri di belakangnya.
Arman berbalik cepat. Tak ada siapa-siapa.
Namun saat ia kembali menyorot cermin… sosok itu masih di sana. Sosok anak laki-laki dengan wajah pucat dan mata kosong. Pakaian compang-camping. Lehernya berlilit tali yang robek di satu sisi.
Wira.
Seketika, suara-suara lain mulai bergema di seluruh kamar. Tangisan. Bisikan. Jeritan kecil anak-anak yang seolah muncul dari balik dinding.
Arman mundur perlahan, lututnya hampir goyah.
“Apa yang kalian inginkan dariku…?” tanyanya pelan, nyaris tak terdengar.
Dan dari arah cermin, satu suara menjawab:
“Kebenaran.”
Bab 5 – Wira Masih Hidup?
Pagi datang tanpa suara. Langit berwarna kelabu, seolah enggan beranjak dari malam. Arman duduk termenung di beranda rumah, matanya sembab dan kantuk masih menggelayut di kelopak. Ia tidak tidur semalaman. Bayangan wajah Wira di cermin—dengan sorot mata kosong dan leher yang terlilit tali—terus menghantui pikirannya.
Namun satu hal membuatnya gelisah bukan main: suara itu. Suara yang memanggil namanya, suara yang mengenal masa lalunya. Itu bukan sekadar penampakan. Bukan sekadar arwah penasaran. Suara itu membawa pesan yang tak selesai.
Dan di tengah kecamuk rasa takutnya, muncul pertanyaan paling mengganggu dari semua itu:
“Apa mungkin… Wira masih hidup?”
Setelah sarapan seadanya, Arman berjalan ke balai desa. Ia ingin bicara dengan Pak Lurah, berharap ada informasi yang bisa menjelaskan misteri yang terus menghantam pikirannya. Namun, seperti sebelumnya, tatapan warga tetap dingin. Seolah kehadirannya adalah kutukan.
Pak Lurah menyambutnya dengan raut wajah kaku. Lelaki tua itu sudah mengenalnya sejak kecil, namun hari ini sorot matanya penuh kewaspadaan, seperti sedang berhadapan dengan ancaman.
“Ada apa datang ke sini, Man?” tanyanya singkat.
Arman menarik napas panjang. “Aku ingin tahu soal Wira.”
Pak Lurah mengerutkan kening. “Kenapa kau menanyakan dia sekarang?”
“Karena aku melihatnya… semalam. Atau sesuatu yang menyerupainya. Dia memanggil namaku. Dia minta aku mencari kebenaran,” jawab Arman, suaranya sedikit bergetar.
Pak Lurah terdiam beberapa detik, lalu berdiri dan menutup jendela kantornya. Ia memandang Arman tajam, seperti sedang menimbang-nimbang apakah akan berkata jujur atau menyembunyakan sesuatu.
“Ada hal yang seharusnya tidak kau buka kembali,” katanya pelan. “Wira… sudah lama hilang. Kami tidak pernah menemukan jasadnya. Tapi kami—aku dan beberapa orang desa—memutuskan untuk tidak mencari lebih jauh. Karena ada batas yang tidak boleh dilanggar.”
Arman menatap lurus ke mata Pak Lurah. “Tapi bagaimana kalau dia tidak mati? Bagaimana kalau dia masih hidup… atau setidaknya, pernah disembunyikan?”
Wajah Pak Lurah berubah pucat. Ia menunduk, kemudian berkata lirih, “Ada satu orang yang mungkin masih tahu sesuatu. Namanya Mbah Seno. Dulu dia penjaga pemakaman tua di hutan larangan. Sejak kejadian Wira, dia tak pernah keluar rumah lagi.”
Menjelang sore, Arman mendatangi rumah Mbah Seno di ujung desa. Rumah itu kecil, dipenuhi tanaman liar dan lumut di dindingnya. Ketika Arman mengetuk pintu, butuh waktu cukup lama sampai seseorang membukakan. Mbah Seno tampak kurus, rambutnya putih seluruhnya, matanya cekung dan sayu. Namun, begitu melihat wajah Arman, mata tua itu membelalak seperti melihat hantu.
“Kau… kau anak Kirana…” gumamnya.
“Ya, Mbah. Saya ingin tahu… tentang Wira.”
Mbah Seno terdiam. Lama.
Akhirnya ia berkata, “Wira tidak mati.”
Arman menahan napas. “Apa maksud Mbah?”
Mbah Seno berjalan tertatih ke dalam rumah, mengambil sebuah kotak kayu tua. Dari dalamnya, ia mengeluarkan secarik kertas usang bergambar simbol aneh yang sama dengan yang Arman lihat di nisan tak bernama.
“Wira dibawa ke tempat itu,” ucapnya pelan. “Ke dalam tanah. Bukan dikubur, tapi dikurung. Sebagai tumbal. Sebuah perjanjian lama… yang seharusnya tidak pernah dibuat.”
Arman menatap simbol itu dengan jantung berdebar keras. Semua ketakutan yang ia rasakan berubah menjadi satu tekad:
Jika Wira masih hidup—atau jika ada cara untuk membebaskannya—maka ia akan mencarinya. Sampai ke dasar tanah sekalipun.
Bab 6 – Larangan yang Dilanggar
Angin malam berembus kencang dari arah hutan larangan. Suara gemerisik dedaunan terdengar seperti bisikan yang saling bertukar rahasia kelam. Di tengah suasana yang membekukan tulang itu, Arman berdiri seorang diri di depan gapura reyot tempat ia pertama kali melanggar batas yang seharusnya tak pernah diinjak manusia.
Larangan.
Kata itu kini terus bergema di pikirannya, namun justru terasa seperti tantangan. Semakin ia tahu apa yang disembunyikan oleh warga desa, semakin kuat dorongan dalam dirinya untuk mengungkapnya. Ia telah menyeberangi batas, dan kini jalan kembali tidak ada.
Sepeninggal dari rumah Mbah Seno, Arman tak lagi bisa memejamkan mata. Ucapan lelaki tua itu terus mengusik hatinya:
“Wira tidak mati… Tapi dia bukan lagi Wira yang kau kenal. Dia… dijadikan pengunci. Dijadikan penjaga. Dan siapa pun yang membangunkannya, akan menanggung akibatnya.”
Kata-kata itu membuat dada Arman terasa sesak. Ia merasa bersalah. Ia telah membangunkan sesuatu di dalam kuburan tua itu. Sesuatu yang seharusnya tetap terkunci.
Namun rasa bersalah itu tidak lebih besar daripada dorongan untuk mengetahui kebenaran.
Hari itu, Arman kembali menyusuri jalur menuju hutan larangan, kali ini dengan membawa lentera, tali, dan sekop kecil yang ia temukan di gudang belakang rumah. Langit mendung menggantung di atas kepala, seolah mengiringinya dengan firasat buruk.
Begitu melewati gapura, kabut tebal segera menyambutnya. Pepohonan seolah merapat, membuat jalur yang kemarin tampak lebih sempit dan mencekik. Suasana jauh lebih sunyi dari sebelumnya, bahkan suara burung pun tak terdengar. Seolah alam tahu bahwa ada sesuatu yang sedang terusik.
Arman menuju ke nisan tak bernama di ujung barat pemakaman. Tanah di sekitarnya kini tampak lebih gembur, seakan ada yang baru saja bergerak di bawah sana. Ia berlutut, menyentuhkan telapak tangan ke tanah.
Dingin. Terlalu dingin.
Dengan ragu, ia mulai menggali.
Satu sekop. Dua sekop. Tiga. Tanah gelap mulai terbuka, dan bau anyir langsung menyergap hidungnya—bau tanah busuk bercampur besi, seperti darah yang membeku.
Tiba-tiba, tanah di depannya bergetar.
Arman berhenti. Ia mundur perlahan. Tapi sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, suara itu terdengar lagi, kali ini lebih keras dan penuh derita:
“Kenapa… kau bangunkan aku…?”
Dari dalam lubang, muncul kabut tipis yang membentuk wujud samar—seperti tubuh seorang anak laki-laki yang tak utuh. Matanya kosong, kulitnya pucat kebiruan, dan di lehernya masih tergantung tali putus yang menggantung longgar. Wira. Tapi bukan Wira yang dulu.
“Aku hanya ingin menyelamatkanmu…” ujar Arman dengan suara gemetar.
Namun sosok itu hanya menatapnya dalam diam. Kemudian, dengan suara yang jauh lebih tua dan dalam, ia berkata:
“Larangan telah dilanggar. Sekarang mereka akan bangkit…”
Seketika, nisan-nisan di sekeliling mulai bergetar satu per satu. Tanah bergelombang, retakan-retakan muncul, dan dari bawahnya terdengar suara gemeretak… seperti kuku-kuku mencakar peti mati.
Arman berdiri dengan lutut gemetar, jantungnya nyaris meledak oleh ketakutan.
Ia baru menyadari, larangan itu bukan hanya tentang menginjak tanah kuburan.
Larangan itu adalah perlindungan terakhir dari sesuatu yang jauh lebih tua dan lebih jahat dari sekadar roh penasaran.
Dan kini semuanya telah terbangun.
Bab 7 – Nenek Penjaga Kubur
Langit mulai menghitam ketika Arman lari meninggalkan pemakaman tua di tengah hutan larangan. Napasnya memburu, tubuhnya gemetar, dan pikirannya kacau. Ia tidak tahu harus ke mana, hanya satu hal yang ada dalam benaknya—cari orang yang tahu lebih banyak sebelum semuanya terlambat.
Sambil terengah, ia teringat ucapan samar Mbah Seno kemarin:
“Kalau kau benar-benar nekat… carilah Nenek Sumi. Dialah yang dulu menjaga batas dunia ini dengan dunia mereka.”
Nenek Sumi. Nama itu terdengar asing di telinganya, namun wajah warga yang langsung menunduk saat nama itu disebut membuatnya tahu—perempuan tua itu bukan orang sembarangan.
Rumah Nenek Sumi terletak di kaki bukit sebelah utara desa, tersembunyi di balik kebun bambu yang rimbun dan suram. Tak banyak yang berani mendekatinya, apalagi setelah kabar beredar bahwa ia telah lama berhenti berbicara dengan siapa pun. Beberapa bahkan menganggapnya sudah gila. Namun malam ini, Arman tidak punya pilihan lain.
Ia mengetuk pintu kayu lapuk itu tiga kali.
Tak ada jawaban.
Ia hendak berbalik, tapi daun pintu berderit terbuka perlahan… sendiri.
“Aku tahu kau akan datang.”
Suara parau itu berasal dari sudut ruangan, dari balik bayang-bayang lampu minyak yang menyala redup. Nenek Sumi muncul—bertubuh kecil, mengenakan kain lusuh, dan mata yang menyala dalam kegelapan seperti bara.
“Wira memanggilmu, ya?” gumamnya tanpa ekspresi.
Arman mengangguk, bingung antara takut atau lega. “Dia… muncul di kubur. Memanggil namaku. Dan sekarang… tanah itu hidup. Mereka bangkit.”
Nenek Sumi menghela napas berat. “Larangan telah dilanggar. Kau membuka kunci pertama.”
Arman melangkah mendekat. “Tolong aku, Nek. Aku ingin menyelamatkan Wira… dan desa ini.”
Perempuan tua itu menatapnya lama, lalu berkata dengan nada lirih, “Kalau begitu, kau harus tahu sejarah sebenarnya.”
Ia berjalan ke sebuah rak tua dan mengambil kitab lusuh bersampul kulit. Di dalamnya terdapat tulisan tangan kuno dan gambar simbol-simbol pemakaman. Salah satunya adalah simbol yang sama persis dengan yang terukir di batu nisan tak bernama.
“Dulu, desa ini berdiri di atas tanah kutukan. Ada makhluk dari alam gelap yang haus jiwa. Untuk mengikatnya, para leluhur membuat perjanjian—setiap beberapa puluh tahun, satu jiwa akan dikorbankan dan dikubur hidup-hidup untuk menjaga segel itu tetap tertutup.”
Arman merasa perutnya mual.
“Dan Wira…?” tanyanya perlahan.
Nenek Sumi mengangguk. “Dia adalah tumbal terakhir.”
“Kenapa harus dia?” Arman tak bisa menyembunyikan amarahnya.
“Karena ia adalah yang terpilih… darahnya membawa garis keturunan penjaga. Tapi ia memberontak. Ia ingin keluar dari kutukan. Dan sebelum segel selesai, dia menyeruput kekuatan itu—menyatu… tidak sepenuhnya mati, tidak sepenuhnya hidup.”
Arman terpaku, jiwanya bergetar oleh fakta-fakta mengerikan yang baru ia ketahui.
“Lalu, apa yang harus aku lakukan?” bisiknya.
Nenek Sumi menatap ke jendela gelap, kemudian berkata dengan suara datar, “Kau harus ke makam tua itu sekali lagi. Tapi kali ini… bukan untuk mencari, melainkan untuk mengurung kembali. Sebelum fajar, atau semuanya akan binasa.”
Arman menggenggam lentera erat-erat. Ia tahu jalan kembali ke hutan larangan tidak akan sama lagi. Kini ia tidak hanya membawa ketakutan…
Ia membawa harapan terakhir.
Bab 8 – Kutukan Tiga Malam
Langit malam semakin pekat ketika Arman kembali turun dari rumah Nenek Sumi. Angin terasa lebih dingin dari biasanya, membawa aroma anyir yang menusuk hidung. Sejak langkah pertamanya keluar dari kebun bambu, suasana desa berubah drastis. Lampu-lampu rumah padam. Tak ada suara jangkrik. Tak ada bunyi ayam. Hening. Terlalu hening.
Langkah Arman terhenti di tengah jalan tanah yang membelah desa.
Ia menoleh ke arah pemakaman di kejauhan. Kabut tipis mengambang rendah di atasnya. Dalam diam, ia tahu: kutukan telah dimulai.
Nenek Sumi menyebutnya sebagai Kutukan Tiga Malam. Sebuah masa transisi, ketika gerbang antara alam manusia dan alam kegelapan terbuka sedikit demi sedikit. Dan jika tidak dihentikan, malam ketiga akan menjadi akhir dari segalanya.
“Malam pertama, mereka akan memanggil,” ucap Nenek Sumi saat itu, suaranya rendah dan berat.
“Malam kedua, mereka akan mencari.”
“Dan malam ketiga… mereka akan mengambil.”
Arman mencoba memaknai kalimat itu, namun pikirannya tak henti dihantui suara-suara aneh yang mulai ia dengar sejak senja tadi. Suara anak kecil menangis. Suara tanah bergetar. Suara langkah kaki yang tidak terlihat siapa pun pemiliknya.
Malam pertama telah tiba.
Di rumah peninggalan almarhum orang tuanya, Arman menutup semua jendela dan mengganjal pintu dengan kursi. Namun, rasa aman tetap tak datang. Setiap kali menutup mata, ia melihat wajah Wira. Kadang utuh, kadang rusak. Kadang memanggil, kadang… menggigit.
Tepat pukul dua dini hari, suara itu kembali datang—ratapan lirih dari halaman belakang.
Arman memaksakan diri melihat ke luar. Cahaya bulan yang redup memantulkan bayangan seseorang berdiri di samping pohon jambu. Kecil. Bungkam. Seperti anak-anak.
Tapi anak itu… tidak punya wajah.
Arman mundur, menahan teriakan. Namun tiba-tiba, suara dari belakang telinganya berbisik:
“Jangan tutup mata, kalau tidak… mereka masuk.”
Ia menoleh, tapi tak ada siapa-siapa.
Jantungnya berdegup liar. Ini bukan mimpi. Ini awal dari neraka.
Keesokan paginya, Arman mendatangi Mbah Seno dengan wajah pucat dan tubuh gemetar. Lelaki tua itu hanya duduk di serambi rumahnya, menatap kosong ke arah hutan.
“Sudah dimulai, ya?” gumamnya.
“Aku pernah melewati malam pertama. Tapi tak pernah sanggup bertahan sampai malam ketiga.”
Arman menatapnya heran. “Kau… juga?”
Mbah Seno mengangguk lemah. “Dulu aku juga membangunkan. Sama sepertimu. Bedanya… aku lari. Dan kutukan tetap hidup hingga sekarang.”
Ia menatap Arman dalam-dalam. “Kau tidak boleh lari, Nak. Kau harus hadapi. Sebelum malam ketiga. Atau semua ini—” Ia menunjuk ke desa yang tenang namun suram, “akan menjadi tanah tanpa jiwa.”
Arman merasakan napasnya semakin berat.
Malam kedua akan datang…
Dan waktunya hampir habis.
Di penghujung hari, langit memerah seperti luka terbuka. Suara lonceng tua dari arah balai desa berbunyi tiga kali—sesuatu yang sudah bertahun-tahun tak terdengar. Warga mengunci diri di rumah masing-masing, menyulut dupa, dan menggantungkan kemenyan di depan pintu.
Mereka tahu.
Mereka semua tahu.
Kutukan Tiga Malam telah kembali.
Dan kali ini, tak ada yang bisa lari.
Bab 9 – Rahasia Para Sesepuh
Pagi datang, tapi cahaya matahari seperti enggan menembus langit desa. Kabut tak juga menghilang, menggantung rendah di antara pepohonan dan atap-atap rumah. Desa Karangsari tak lagi tampak seperti tempat tinggal yang damai. Suasana lebih mirip lukisan kelam—sunyi, berat, dan seolah menyimpan sesuatu yang ingin tetap tersembunyi.
Arman melangkah cepat menuju balai desa. Ia tahu, waktunya semakin sempit. Malam kedua akan segera tiba, dan ia belum menemukan jalan untuk mematahkan kutukan itu.
Namun kali ini, ia tidak sendiri.
Di balai desa, empat sesepuh duduk melingkar. Mbah Seno, Pak Lurah, dan dua orang tua lain yang selama ini hanya dikenal Arman sebagai ‘penjaga adat’ yang jarang bicara. Di tengah lingkaran mereka terhampar kain putih, dengan simbol-simbol kuno yang baru pertama kali dilihat Arman. Api dari lampu minyak memantulkan bayangan yang bergerak-gerak di dinding bambu.
“Kau ingin tahu kebenaran?” tanya Pak Lurah. Suaranya datar, tanpa ekspresi.
“Kebenaran tentang desa ini… dan tentang Wira?”
Arman mengangguk.
Mbah Seno menghela napas panjang. Ia menunjuk simbol di kain itu—lingkaran dengan tiga garis memanjang ke luar, seperti sinar matahari yang terbelah.
“Dulu… Karangsari bukan desa biasa. Kami adalah pelindung perbatasan antara dua alam: dunia manusia dan dunia ‘yang lain’. Para leluhur membuat perjanjian kuno untuk menjaga keseimbangan. Tapi keseimbangan itu punya harga.”
Pak Lurah melanjutkan, “Setiap generasi, seorang anak harus dipilih. Mereka disebut Penerus Penjaga Segel. Anak itu harus menyerahkan hidupnya agar gerbang tidak terbuka.”
Arman terdiam, dadanya sesak.
“Wira… adalah anak yang terpilih itu, bukan?” desaknya.
Mbah Seno mengangguk perlahan. “Tapi dia tahu. Dia tahu bahwa dia bukan dipilih secara spiritual. Ia dipilih… karena garis darahnya. Karena kakek buyutnya adalah pemegang kunci utama.”
“Jadi selama ini… kalian mengorbankannya?” suara Arman meninggi, matanya membara.
“Bukan kami yang memilih, tapi perjanjian itu,” jawab sesepuh tertua dengan lirih. “Jika tak ada yang dikorbankan, maka kutukan akan melahap semuanya. Bukan hanya Wira. Tapi seluruh desa.”
Arman mengepalkan tangan. “Tapi Wira belum mati. Aku melihatnya. Aku mendengarnya!”
“Karena ia memberontak,” kata Pak Lurah pelan. “Dia menolak mati sebagai tumbal, tapi karena segel sudah mulai dibuka, arwahnya terjebak. Tidak bisa hidup. Tidak bisa mati. Dan jika tak segera diikat kembali… dia akan menjadi jembatan.”
“Jembatan?” Arman menatap bingung.
“Jembatan bagi mereka untuk masuk ke dunia ini. Malam kedua, roh-roh akan mulai mencari tubuh untuk ditunggangi. Dan Wira akan memimpin mereka.”
Seketika suasana menjadi lebih dingin.
Arman berdiri perlahan, tubuhnya masih gemetar oleh semua kenyataan yang menghantamnya seperti gelombang. “Lalu, bagaimana cara menghentikan ini semua?”
Pak Lurah menatapnya lama. “Kau harus memanggil Wira. Tapi bukan untuk menyelamatkannya. Kau harus memutus ikatannya. Dengan darah. Hanya kau yang bisa.”
“Kenapa aku?” bisik Arman.
“Karena kau adalah satu-satunya keturunan keluarga penjaga yang tersisa,” ujar Mbah Seno. “Dan karena Wira… memilihmu sebelum dia dikorbankan.”
Arman memejamkan mata. Ingatan masa kecilnya bersama Wira berkelebat—bermain layang-layang, berenang di sungai, berjanji untuk saling melindungi sampai akhir. Tak pernah ia bayangkan, akhir itu akan seperti ini.
Matahari mulai tenggelam. Malam kedua datang dengan angin yang lebih dingin dan suara bisikan yang lebih nyaring. Kali ini, desa tidak hanya sunyi—tapi mulai bergerak.
Bayangan hitam tampak menari di antara pepohonan.
Dan di kejauhan, di pemakaman hutan larangan, suara langkah kaki terdengar semakin dekat.
Bab 10 – Nama yang Terhapus
Malam kedua datang dengan membawa kegelapan yang lebih pekat. Desir angin di luar rumah Arman terdengar seperti bisikan dari dunia lain, seolah alam pun ikut merasakan ancaman yang tengah menggantung di desa Karangsari. Di luar, kabut tebal mulai merayap masuk ke sela-sela rumah, menutupi jalanan yang seharusnya terlihat jelas. Tapi kabut itu bukan sekadar kabut biasa. Ia seperti sesuatu yang hidup, bergerak dan menyelusup, masuk ke dalam rumah dengan senyap.
Arman duduk termenung di meja kayu tua, menatap kain putih yang terhampar di hadapannya. Simbol-simbol kuno itu kini tampak lebih mengerikan, seolah bergetar dengan kehidupan yang tersendat di dalamnya. Perasaan takut yang luar biasa menyelimutinya, tapi tekadnya lebih kuat. Ia harus mengakhiri kutukan ini.
Di luar sana, suara langkah kaki terdengar semakin jelas. Langkah yang bukan milik manusia.
Arman ingat kata-kata Nenek Sumi yang masih terngiang di benaknya:
“Wira tidak akan kembali sepenuhnya, Nak. Kalau kau ingin mengembalikan semuanya, kau harus melupakan nama itu. Hapus Wira dari ingatanmu, dari semua yang ada di dunia ini.”
Nama Wira. Nama yang terhapus.
Arman teringat dengan jelas bagaimana Wira pertama kali membawanya ke tempat itu, ke pemakaman tua yang penuh dengan rahasia. Mereka berlari bersama, tertawa bersama, dan berjanji akan selalu ada satu sama lain. Tetapi, kini, semuanya hanya kenangan yang buram, seakan-akan dunia telah berusaha menghapusnya dari realitas.
“Bagaimana bisa?” Arman bergumam pada dirinya sendiri. “Bagaimana aku bisa melupakan Wira?”
Namun, sesuatu di dalam dirinya mengatakan bahwa itu adalah satu-satunya cara. Satu-satunya cara untuk mengakhiri kutukan ini.
Saat Arman berjalan menuju pemakaman, tubuhnya terasa sangat berat. Setiap langkah menuju hutan larangan semakin membuatnya merasakan beban yang tak terungkapkan. Rasanya seperti ada yang mengikatnya, menariknya, hingga ia tak mampu bernapas dengan bebas. Namun, ia terus maju, menatap ke depan dengan tekad yang mulai memudar seiring berjalannya waktu.
Malam sudah semakin larut. Langit malam yang hitam semakin menebal, dan bulan yang memudar seakan hanya menyisakan bayang-bayang gelap di langit. Arman sampai di pemakaman tua itu, tempat di mana semuanya bermula.
Di sana, di bawah pohon besar yang merunduk ke tanah, Arman bisa melihatnya. Wira.
Tapi, itu bukan Wira yang ia kenal. Wira berdiri di sana, dengan tubuh yang tampak terbuat dari bayangan, tidak lagi memiliki bentuk yang nyata. Hanya mata yang menyala dengan cahaya putih yang tak bisa dijelaskan. Wira itu menatap Arman dengan tatapan kosong, seolah ia tidak mengenal siapa pun.
“Wira!” Arman berteriak, suaranya serak. “Kau harus kembali, Wira. Kembalilah kepada kami.”
Namun, Wira hanya diam. Suaranya menghilang, tidak ada jawaban, hanya bisikan angin yang datang dari segala arah.
“Nama itu… sudah terhapus.”
Kalimat itu datang dari mulut Wira, tetapi tidak sepenuhnya terdengar seperti suaranya. Kalimat itu datang dari bukan tubuh Wira. Dari entitas lain yang kini telah merasuki tubuhnya.
Arman merasakan teror yang luar biasa. Ia jatuh ke tanah, mendekap dadanya yang terasa sesak. “Aku… harus melupakanmu?”
Wira—atau apa pun yang kini merasuki tubuh sahabatnya itu—mengangkat tangan, dan dalam kilasan cahaya putih yang terpantul dari bulan, sebuah nama muncul di tanah. Nama yang terukir dengan darah, memunculkan huruf-huruf yang asing namun terasa sangat familiar.
“Wira,” Arman berbisik, gemetar. “Apa yang terjadi padamu?”
Tiba-tiba, nama itu mulai memudar. Seolah dihapus oleh tangan yang tidak terlihat. Hanya beberapa detik, Wira hilang dari pandangan, dan hanya tinggal ruang kosong di tempatnya berdiri.
Arman merasa tubuhnya lemas. Jantungnya berdetak kencang, tubuhnya gemetar, dan keringat dingin membasahi dahi. Semua yang ia lakukan, semua yang ia coba lakukan, sepertinya sia-sia. Nama itu, yang menjadi kunci segalanya, terhapus begitu saja, seolah tak pernah ada.
Namun, sebelum ia sempat sepenuhnya kehilangan harapan, sesuatu berbisik lagi.
“Masih ada satu cara, Arman.”
Arman menoleh cepat, dan di sana, di tengah kegelapan, Nenek Sumi muncul, dengan wajah yang lebih tua dan lebih keriput dari sebelumnya. Ia memegang sebuah ranting pohon yang terbuat dari kayu hitam, mengarahkannya ke arah tanah yang kosong.
“Sekarang… waktunya kau memilih, Nak,” kata Nenek Sumi dengan suara serak. “Apakah kau akan menghapus segalanya… atau kau akan mengorbankan segalanya untuk mengembalikan mereka?”
Arman menatap mata tua itu, merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Kutukan ini hanya bisa diakhiri dengan pengorbanan besar.
Apa yang akan dipilihnya? Mungkinkah ada harapan setelah nama yang terhapus? Ataukah ia harus mengorbankan sesuatu yang lebih besar lagi?
Bab 11 – Suara yang Semakin Nyaring
Malam itu, hutan larangan seolah hidup dengan segala kengerian yang tersembunyi di dalamnya. Arman merasa setiap langkahnya semakin berat, seakan-akan bumi itu sendiri berusaha menahannya, menghambat pergerakannya menuju kegelapan yang semakin mendalam. Di kejauhan, kabut tebal mulai menyelimuti seluruh desa, menutupi segala yang ada, menciptakan sebuah dunia yang hanya dipenuhi oleh bayangan dan bisikan yang tidak jelas asal-usulnya.
“Masih ada satu cara, Arman,” suara Nenek Sumi kembali terngiang di telinga Arman. Satu cara untuk menghentikan kutukan yang telah lama menjerat desa ini. Satu cara yang menuntut pengorbanan, sebuah keputusan yang tak bisa diputar balik.
Arman berusaha menggenggam hati, menguatkan dirinya, namun semakin ia melangkah lebih dalam ke hutan, semakin nyaring suara itu terdengar—suara yang memanggil, memaksa, mengundang rasa takut yang tak tertahankan.
Suara itu tidak datang dari manusia. Arman tahu itu.
“Kenapa kau masih mendengarkan suara itu?” Tiba-tiba, suara Nenek Sumi terdengar lagi, kali ini lebih dekat, memecah keheningan yang mencekam.
Arman menoleh, dan di belakangnya, dengan langkah-langkah pelan, Nenek Sumi muncul dari dalam kabut. Wajahnya yang keriput kini tampak lebih pucat, lebih rapuh, seakan-akan waktu telah menghapus segalanya darinya, meninggalkan hanya bayangan.
“Apa yang sebenarnya terjadi di desa ini?” tanya Arman, suaranya bergetar. “Kenapa suara itu semakin nyaring? Apa yang sebenarnya harus kulakukan?”
Nenek Sumi menatapnya dengan pandangan yang dalam. “Suara itu adalah suara yang berasal dari dunia lain, dunia yang sudah lama terlupakan oleh manusia. Itu adalah suara dari mereka yang terperangkap, dari mereka yang telah dibawa keluar dari kehidupan ini. Mereka tidak bisa kembali. Mereka hanya bisa berteriak. Dan jika suara itu semakin keras, maka pintu antara dunia ini dan dunia mereka akan semakin tipis.”
“Jadi apa yang harus kulakukan?!” Arman hampir berteriak, frustrasi. “Aku tak bisa membiarkan semuanya hancur!”
Nenek Sumi mendekat, suaranya pelan namun penuh makna. “Tunggu saat yang tepat, Arman. Kunci untuk menghentikan semuanya ada padamu, tapi itu hanya bisa terjadi jika kau siap mengorbankan dirimu sendiri.”
Arman merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. “Apa maksudmu dengan itu?” tanyanya, semakin bingung.
“Suara itu akan membawa mereka ke sini. Mereka akan mencoba masuk ke dunia kita, dan hanya satu orang yang bisa menghentikan mereka… tapi dengan harga yang sangat tinggi.” Nenek Sumi melanjutkan, “Pengorbananmu adalah bagian dari takdir yang tak bisa ditawar.”
Suara itu kembali terdengar, lebih keras kali ini, seolah datang dari setiap penjuru hutan. Arman menutup telinganya, namun itu sia-sia. Suara itu masuk ke dalam pikirannya, menggema tanpa ampun.
“Arman…” suara itu semakin jelas, seolah berbicara langsung kepadanya. “Kami butuhmu. Kau tahu apa yang harus kau lakukan. Datanglah, Arman. Jangan biarkan mereka menguasai dunia ini.”
Itu adalah suara Wira. Arman bisa mengenali dengan jelas, meskipun terasa seperti ada sesuatu yang aneh. Wira, sahabatnya, yang telah menghilang dalam bayang-bayang kutukan ini. Wira, yang seharusnya sudah mati.
“Tidak!” Arman berteriak, menepis suara itu, tetapi semakin keras suara Wira memanggilnya. “Tidak, ini bukan dia! Ini bukan Wira lagi!”
Langkah Arman semakin cepat. Rasa takut mulai menyelimuti seluruh tubuhnya, namun tekadnya masih lebih kuat. Ia harus mengakhiri kutukan ini, tak peduli apa yang harus ia korbankan. Tak peduli betapa kelam jalan yang harus dilaluinya.
Tetapi saat itu, ia melihatnya.
Di tengah kabut yang semakin pekat, sosok Wira berdiri. Wajahnya pucat, matanya kosong, dan tubuhnya terlihat terbuat dari bayangan. Wira menatap Arman dengan tatapan kosong, lalu membuka mulutnya.
“Arman…” suara itu terdengar sekali lagi. “Kenapa kau tidak datang? Mengapa kau menolakku?”
Arman berdiri terpaku, hampir tidak bisa bergerak. Suara itu semakin membingungkan, semakin mengikis kemampuannya untuk berpikir jernih. Ia tahu, ini bukanlah Wira yang ia kenal, tetapi entah mengapa tubuhnya seperti dipaksa untuk mendekat.
“Jangan… jangan dengarkan itu, Arman!” teriak Nenek Sumi, tetapi sudah terlambat.
Arman melangkah maju, matanya tidak bisa berpaling. Suara Wira semakin nyaring, semakin memanggil, dan akhirnya, ia tiba di depan sosok itu—di depan Wira yang terperangkap.
“Arman…” Wira berkata dengan suara yang terdengar lebih penuh harapan. “Lakukanlah. Beri kami kesempatan untuk kembali.”
Namun, saat Arman hendak mengulurkan tangan, sesuatu yang lebih gelap merasuki dirinya. Bukan Wira yang ia temui, tetapi bayangan yang menguasainya, membawanya pada takdir yang lebih kelam.
Di belakang Wira, kabut semakin tebal, menyelimuti segala sesuatu. Dan suara itu, suara yang semakin nyaring, mulai memanggil dunia yang lebih gelap untuk masuk.
“Arman…” kata suara itu, kali ini bukan lagi Wira. “Kami akan membawamu bersama kami.”
Arman merasa tubuhnya tertarik, hampir kehilangan kendali. Apakah ini akhir dari segalanya? Apakah ini saatnya dunia yang lain menembus realitas mereka?
Dalam kegelapan itu, Arman harus memilih. Apakah ia akan mengorbankan dirinya untuk mengakhiri ini semua, ataukah ia akan menjadi bagian dari dunia yang lebih gelap?
Tiba-tiba, kabut itu berhenti. Dan dalam kesunyian yang mencekam, hanya ada satu suara yang bisa didengar oleh Arman.
Suara yang semakin nyaring… yang akhirnya menggapai puncaknya.
Bab 12 – Ritual Pemanggilan Terbalik
Suasana di hutan larangan semakin mencekam. Arman berdiri di tengah-tengah lingkaran batu besar, yang dikelilingi oleh kabut tebal dan angin yang berdesir menambah kesan seram di malam itu. Hutan yang seolah hidup, dengan setiap daun yang bergerak bagaikan tangan tak kasat mata yang menyentuh kulitnya, membuat jantung Arman berdetak lebih kencang. Ia bisa merasakan energi yang tak terdefinisikan mengalir dalam udara, memengaruhi pikiran dan tubuhnya, menyelimuti setiap langkahnya dengan rasa takut yang semakin dalam.
Di sekelilingnya, wajah-wajah yang tak dikenal muncul dari kegelapan, seolah mereka sudah menunggu dengan sabar. Arman merasa seakan-akan dirinya bukan lagi bagian dari dunia ini. Dunia yang penuh dengan kesepian dan kegelapan, seakan-akan telah menariknya untuk menyelesaikan takdir yang tak bisa dihindari.
“Arman,” suara Nenek Sumi kembali terdengar, mengingatkan Arman tentang tugas yang harus diselesaikan. “Ingat, ritual ini adalah satu-satunya cara untuk menutup pintu yang terbuka antara dua dunia. Ritual pemanggilan terbalik ini adalah kesempatan terakhirmu.”
“Bagaimana cara melakukannya?” Arman bertanya dengan suara serak, suaranya hampir tertelan oleh angin yang berputar-putar.
Nenek Sumi mengangkat tangan, menunjuk ke arah batu besar yang terletak di tengah lingkaran. “Ikuti langkah-langkahnya dengan hati yang tulus, Arman. Pemanggilan terbalik hanya akan berhasil jika kau benar-benar siap mengorbankan segala yang kau miliki. Ini bukan tentang kekuatanmu, tapi tentang keberanianmu untuk melepaskan sesuatu yang sangat berharga.”
Arman menelan ludah, matanya beralih ke batu besar yang diselimuti lumut dan ukiran-ukiran kuno. Ukiran itu tampak hidup, seakan bergerak mengikuti setiap gerakan Arman, memperhatikan setiap langkahnya. Rasanya, batu itu tahu lebih banyak tentang dirinya daripada yang bisa ia bayangkan.
Langkah pertama dimulai. Arman mengambil tempat di tengah lingkaran batu, menutup matanya, dan mendalamkan napas. Dada terasa berat, dan pikiran yang semula berkecamuk kini terasa lebih teratur. Arman tahu ini adalah titik balik. Setiap keputusan yang ia buat malam ini akan mengubah takdirnya selamanya.
“Ucapkan mantra ini dengan hati yang murni,” suara Nenek Sumi terdengar kembali, lebih dalam, seperti bergema dari tempat yang jauh. “Bukan untuk panggilan, tetapi untuk menutup jalan yang telah terbuka.”
Dengan penuh keyakinan, Arman mulai mengucapkan mantra yang diajarkan oleh Nenek Sumi. Mantra yang terdengar asing, namun pada saat yang bersamaan, terasa sangat akrab. Kata demi kata keluar dari bibirnya, disertai getaran yang tak bisa dijelaskan. Semakin lama, suara itu semakin keras, seakan-akan mantra itu sendiri mengubah udara di sekelilingnya.
Tiba-tiba, angin berhenti berhembus, dan semuanya menjadi sunyi. Namun, dalam keheningan itu, suara-suara aneh mulai terdengar. Suara gemerisik daun, suara langkah kaki yang jauh, terdengar jelas, seperti sesuatu yang bergerak di bawah permukaan tanah, menunggu untuk keluar. Arman bisa merasakan kehadiran mereka, makhluk-makhluk yang terperangkap antara dua dunia, yang ingin keluar dan membawa kegelapan lebih dalam.
Suara itu semakin jelas, semakin mendekat. Mereka datang. Arman hampir tidak bisa menahan ketakutannya. Tangannya gemetar saat melanjutkan mantra yang semakin lama semakin berat diucapkan. Setiap kata terasa seperti belenggu, menariknya lebih dalam ke dalam dunia lain yang tak terjamah.
Saat itu, sesuatu yang menakutkan terjadi.
Di atas batu besar yang ada di hadapannya, sebuah simbol mulai muncul. Simbol yang sebelumnya tidak ada, namun kini tampak terukir dengan jelas, terbakar dengan cahaya biru yang dingin. Cahaya itu tidak berasal dari dunia ini. Cahaya yang berasal dari dunia lain.
Simbol itu berbentuk lingkaran, dengan garis-garis yang saling bersilangan, mengingatkan Arman pada lingkaran kutukan yang pernah dia lihat di pemakaman tua. Namun, kali ini, simbol itu tampaknya lebih hidup—seperti sesuatu yang baru saja terbangun dari tidur panjang.
Arman berhenti sejenak, matanya terfokus pada simbol itu. Ia bisa merasakan sesuatu yang besar tengah mendekat, sesuatu yang lebih kuat dari apa pun yang pernah ia rasakan sebelumnya.
“Tutup pintu itu, Arman!” suara Nenek Sumi memecah kekosongan, memberi Arman dorongan terakhir. “Kau harus melakukannya sebelum terlambat!”
Arman mengangguk, menggenggam erat batu di hadapannya, dan melanjutkan mantra dengan sepenuh hati. Semua yang ada dalam dirinya kini ia serahkan untuk menuntaskan ritual ini. Dalam keheningan yang menakutkan, mantra itu seperti sebuah jalan yang menghubungkan dua dunia.
Tiba-tiba, terdengar suara keras yang memecah keheningan malam, suara jeritan yang penuh penderitaan. Jeritan yang datang dari dunia lain. Arman terhuyung mundur, hampir terjatuh, namun ia bertahan. Jeritan itu semakin nyaring, semakin menggema, dan kini terdengar seperti ribuan suara yang berpadu dalam satu kesatuan.
“Tidak!” Arman berteriak. “Harus berhenti!”
Namun, suara itu tak berhenti. Mereka semakin mendekat, dan Arman tahu ia hanya memiliki waktu yang sangat sedikit. Dalam detik-detik terakhir, ia merasakan kekuatan luar biasa mengalir melalui tubuhnya, memaksanya untuk mengucapkan kata-kata terakhir dari mantra itu.
Tiba-tiba, semuanya berhenti.
Suara jeritan itu menghilang, dan cahaya biru dari simbol itu memudar perlahan-lahan. Keheningan kembali menyelimuti hutan larangan, seakan-akan dunia yang dilalui Arman telah berubah.
Namun, apa yang sebenarnya sudah berakhir?
Arman berdiri di tengah lingkaran batu, terengah-engah, matanya terbuka lebar. Ia tahu bahwa apa yang baru saja terjadi bukanlah akhir dari segalanya. Ada sesuatu yang lebih besar lagi yang sedang menunggunya di luar sana. Sesuatu yang bahkan lebih gelap dari yang pernah ia bayangkan.
Di kejauhan, kabut mulai kembali menyelimuti desa Karangsari. Suara-suara itu, walaupun menghilang sementara, tetap ada di dalam hatinya. Dan di dalam hatinya, Arman tahu satu hal: Ritual ini bukan hanya menutup jalan, tetapi membuka jalan baru yang lebih mengerikan.
Bab 13 – Malam Berdarah di Desa
Keheningan malam di desa Karangsari tiba-tiba pecah. Desa yang biasanya tenang kini terasa seperti sebuah tempat yang terjebak dalam ketakutan. Di luar, kabut tebal mulai turun, menutupi jalanan sempit dan rumah-rumah tua yang berdiri rapuh di pinggir hutan. Angin berhembus kencang, membawa suara-suara aneh yang tak dapat dijelaskan, seperti bisikan dari dunia lain.
Arman berdiri di depan rumah Nenek Sumi, matanya tajam menatap ke arah desa yang kini diselimuti kegelapan. Ada yang salah. Perasaan buruk semakin menggerogoti hatinya. Malam ini, ia merasa lebih terhubung dengan sesuatu yang jahat. Sesuatu yang sudah lama menunggu untuk membebaskan dirinya dari kutukan yang mengikatnya.
“Arman…” suara Nenek Sumi tiba-tiba terdengar dari balik pintu rumahnya. “Kau harus segera pergi. Malam ini adalah malam yang sangat penting. Malam yang menentukan nasib desa ini.”
Arman berbalik dan melihat Nenek Sumi berdiri di ambang pintu, wajahnya terlihat lebih tua dari biasanya. Mata Nenek Sumi yang tajam memancarkan kecemasan yang dalam. Ada sesuatu yang buruk akan terjadi—Arman bisa merasakannya.
“Kenapa? Apa yang harus kulakukan?” tanya Arman dengan suara bergetar.
“Pergilah ke pusat desa,” Nenek Sumi menjawab dengan cepat. “Itulah tempat yang paling dekat dengan sumber kutukan ini. Kau harus menghentikan apa yang sudah dimulai, sebelum semuanya terlambat.”
Tanpa menunggu lebih lama, Arman segera berlari menuju pusat desa. Jalanan yang semula sunyi kini terasa sangat asing. Suara langkahnya berpadu dengan desiran angin, membentuk irama yang menambah ketegangan dalam dirinya. Setiap bayangan yang melintas di sudut matanya semakin membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Setibanya di pusat desa, semuanya berubah. Rumah-rumah di sekitar alun-alun desa tampak gelap gulita, dan suara-suara aneh mulai terdengar di udara. Suara jeritan yang teredam, suara benda-benda yang jatuh, dan sesuatu yang bergerak di kegelapan. Arman merasakan kehadiran yang semakin kuat—sesuatu yang tidak tampak, namun memenuhi setiap inci udara.
Tiba-tiba, sebuah suara keras terdengar dari arah gereja desa. Sebuah teriakan panjang, disusul dengan suara benda yang pecah dan kaca yang berderak. Arman tanpa pikir panjang berlari ke sana.
Begitu ia tiba di depan gereja, ia melihatnya. Sosok-sosok gelap berdiri di pintu gereja, tubuh mereka melengkung dengan cara yang tidak manusiawi. Wajah mereka terlihat kabur, namun yang jelas, mereka bukan manusia. Mereka bergerak dengan sangat cepat, seperti bayangan yang menari di bawah sinar bulan.
“Tidak mungkin…” bisik Arman, wajahnya pucat.
Salah satu sosok itu menoleh ke arahnya, matanya kosong, hanya ada kegelapan yang mendalam. Suara itu kembali terdengar, lebih nyaring, lebih menggoda. Seolah mengundang Arman untuk mendekat, untuk menjadi bagian dari kegelapan yang semakin menyelimuti dunia mereka.
“Jangan dengarkan mereka!” suara Nenek Sumi teriak dari belakang. “Kau harus bertindak sekarang juga, Arman! Jika tidak, mereka akan membantai seluruh desa!”
Tanpa pikir panjang, Arman mengeluarkan pisau kecil yang ia bawa sejak awal. Pisau itu tampak tak berarti, tetapi Arman tahu bahwa malam ini, hanya keberanian yang bisa membawanya keluar dari kekacauan ini. Dengan tangan gemetar, ia melangkah maju, menatap sosok-sosok itu yang semakin mendekat.
Tiba-tiba, salah satu dari mereka melangkah maju dengan kecepatan yang tidak wajar, menyerang Arman dengan kejam. Arman hanya sempat menghindar, namun sosok itu terus mengejarnya, mengeluarkan suara-suara serak yang mengerikan.
“Pergi!” teriak Arman, berusaha menghindar. Pisau itu menyentuh tubuh sosok gelap, tetapi bukan darah yang keluar—melainkan kabut hitam pekat yang membanjiri sekelilingnya.
Sosok itu mengerang kesakitan, namun seakan tak terpengaruh. Ia maju lagi, mendekati Arman dengan kekuatan yang lebih besar.
Namun, pada saat yang sama, sesuatu yang tak terduga terjadi. Dari arah gereja, sebuah cahaya terang menyala, mengalahkan kegelapan yang ada. Cahaya itu seolah muncul dari langit, menyinari seluruh desa. Sosok-sosok gelap itu berteriak, menutupi wajah mereka dengan tangan, dan kabut hitam itu mulai menghilang.
“Ini belum selesai…” suara itu terdengar lagi, suara Wira—atau apa pun yang sudah menguasainya. “Kau tidak bisa menghentikannya. Malam ini, darah akan tertumpah!”
Seiring dengan ucapan itu, tiba-tiba tanah mulai berguncang, dan dari bawah tanah, terbitlah makhluk-makhluk lain—makhluk yang lebih besar, lebih menyeramkan, dengan tubuh yang terlilit oleh akar-akar pohon dan batu-batu hitam. Mereka merayap keluar dari dalam tanah, tubuh mereka bengkak dan penuh dengan cakar-cakar tajam yang siap menerkam.
Malam itu menjadi malam berdarah. Arman bisa merasakan kekuatan yang tak terjangkau menguasai desa ini. Keputusannya untuk melawan kini dipertaruhkan, namun dengan semakin banyaknya makhluk yang muncul dari dalam tanah, ia tahu bahwa ini bukanlah pertarungan yang mudah. Desa ini akan runtuh, dan Arman berada di tengah-tengahnya.
Teriakan-teriakan mulai terdengar, darah mengalir di jalanan, dan kesedihan serta ketakutan memenuhi udara. Arman berlari, mencoba untuk mencari tempat perlindungan, namun jalanan semakin sempit, dan makhluk-makhluk itu semakin banyak. Desa Karangsari yang dulu aman kini hanyalah kenangan—kenangan yang akan dilupakan bersama dengan darah yang tertumpah malam ini.
Dalam keremangan, Arman menyadari satu hal—malam ini, tidak ada yang akan selamat.
Bab 14 – Kematian Kedua
Desa Karangsari telah berubah. Dari sebuah desa yang damai, kini ia menjadi ladang pembantaian. Langit malam yang gelap, dihiasi cahaya bulan yang pucat, memberikan gambaran yang mengerikan. Sosok-sosok tak terlihat kini menguasai tempat-tempat yang dulu biasa dilalui oleh warga. Suara tangisan dan jeritan menghiasi setiap sudut desa. Arman yang terluka, bersembunyi di balik reruntuhan sebuah rumah yang hancur. Jantungnya berdebar kencang, napasnya tersengal, namun rasa takut yang mencekam menghalangi dirinya untuk bergerak lebih jauh.
Ia tahu satu hal—semuanya akan berakhir dengan kematian. Tapi bukan kematian yang biasa. Kematian ini memiliki kekuatan, kekuatan yang sudah lama tersembunyi, yang telah ditunggu-tunggu oleh kekuatan gelap yang menguasai desa ini.
Arman memandang tangan kanannya, yang masih menggenggam pisau yang kini terasa berat dan dingin. Setiap tetesan darah yang menetes dari lukanya terasa seperti peringatan—peringatan bahwa waktu untuk melarikan diri sudah hampir habis. Namun, ia tidak bisa begitu saja menyerah. Wira—sahabatnya yang sudah lama dianggap mati—telah kembali, namun bukan sebagai manusia lagi. Wira kini menjadi bagian dari sesuatu yang jauh lebih gelap. Keberadaannya bukan lagi teman, melainkan sebuah ancaman.
Berlari sekuat tenaga, Arman berusaha mencari perlindungan lebih jauh di dalam hutan. Kegelapan yang pekat menyelubungi, membuat segala sesuatu menjadi lebih menakutkan. Setiap langkah Arman menginjak tanah basah terdengar keras, seolah tanah itu menjerit. Makhluk-makhluk itu—dengan mata merah menyala dan tubuh berbalut kegelapan—terus mengintai dari kejauhan.
“Kenapa kau tidak lari saja?” Suara itu terdengar begitu dekat, namun tidak ada satu sosok pun yang terlihat. Arman memutar kepala ke segala arah, namun hanya hutan yang membisu.
Kemudian, suara itu kembali terdengar. Wira. Suaranya, yang dulunya penuh dengan tawa dan persahabatan, kini terdistorsi, mengandung kekejian dan kebencian yang dalam.
“Kau tak bisa melarikan diri, Arman.” Wira berkata, “Kematian kedua ini sudah dipilih untukmu. Waktumu sudah habis.”
Arman merasakan sesuatu yang sangat asing merayap di dalam dirinya. Kematian kedua. Kata-kata itu menghantui setiap pikiran Arman. Apa artinya? Mengapa Wira berbicara seolah ia telah mengetahui sesuatu yang lebih besar daripada yang dapat dipahami manusia biasa?
Tiba-tiba, suasana hutan itu berubah. Aroma tanah basah berubah menjadi bau busuk, dan angin yang berhembus terasa seperti cengkeraman dingin yang menembus hingga ke tulang. Sesuatu yang besar dan gelap muncul dari dalam hutan, sosok besar yang hanya bisa dilihat sekilas. Bayangan gelap yang semakin mendekat, tubuhnya tampak melilitkan akar-akar pohon, seperti makhluk yang bangkit dari tanah itu sendiri.
Arman mundur dengan cepat, namun kaki terhenti, tidak bisa bergerak lebih jauh. Kekuatan yang tak terlihat menahan setiap langkahnya. Itu bukan hanya ketakutan—ini adalah rasa takut yang sangat mendalam, yang seolah menyusup ke dalam jiwanya.
“Kematian kedua dimulai, Arman.” Suara Wira terdengar lagi, lebih jelas kali ini. Wira muncul, tapi sosoknya bukan lagi manusia. Matanya merah menyala, kulitnya tampak seperti terbuat dari kayu dan batu, dan suaranya penuh dengan kebencian.
Arman merasakan tubuhnya lemas. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia harus menghentikan semuanya, tapi bagaimana mungkin? Wira yang ia kenal kini bukan lagi Wira yang sama. Sosok itu telah terpengaruh oleh kutukan yang jauh lebih tua, kutukan yang berakar di tanah Karangsari, sebuah kutukan yang telah membusuk selama berabad-abad.
Sosok Wira mendekat, dan aroma busuk yang menyertainya semakin kuat. “Kau tidak bisa lari dari takdirmu, Arman. Semua yang kau coba lakukan sia-sia. Sebentar lagi, kau akan menjadi seperti kami—terperangkap dalam kutukan ini selamanya.”
Dalam sekejap, Wira melangkah lebih dekat, dan tentakel-tentakel hitam yang muncul dari tubuhnya merambat ke tanah, mencengkeram dengan kejam ke arah Arman.
Namun, Arman tak akan menyerah begitu saja. Ada sesuatu dalam dirinya yang membara. Sebuah hasrat untuk bertahan hidup, untuk melawan segala kejahatan yang mengancam. Dengan pisau yang masih ada di tangan, ia menusukkan ujungnya ke tanah, mengumpulkan seluruh kekuatan yang tersisa dalam tubuhnya. Suara gemuruh mengguncang tanah saat Arman menatap Wira dengan mata penuh tekad.
“Aku tidak akan membiarkan desa ini jatuh ke tangan kalian.” Arman berteriak, meskipun tubuhnya semakin lemah.
Dengan satu gerakan cepat, Arman mencabut pisau itu dan menusukkannya ke tubuh Wira, tepat di tengah dada, tempat yang dulu mereka sebut sebagai titik lemah.
Namun, apa yang terjadi berikutnya tak terbayangkan oleh Arman. Wira hanya tersenyum, sebuah senyum yang penuh penderitaan dan kebencian, sebelum tubuhnya meledak menjadi kabut hitam yang memenuhi udara.
Arman terjatuh ke tanah, kelelahan dan hampir tak sadarkan diri. Namun, sesuatu yang lebih gelap muncul dari tubuh Wira yang hancur. Sosok itu bukanlah Wira lagi—bukan lagi manusia, melainkan suatu entitas yang lebih kuat, yang kini siap menghabisi segalanya.
Kematian kedua belum berakhir. Justru, baru saja dimulai.
Bab 15 – Suara yang Terdiam
Kesunyian itu memekakkan telinga. Setelah segala yang terjadi, setelah semua darah yang tumpah, setelah malam yang penuh dengan teriakan dan kekerasan, desa Karangsari kini terasa begitu hening. Bagaikan tak ada yang pernah terjadi di sini. Seperti waktu berhenti sejenak, memberi kesempatan bagi dunia untuk mencerna apa yang baru saja terjadi.
Namun, bukan kedamaian yang hadir. Justru, ada sesuatu yang lebih gelap mengambang di udara. Suara-suara yang seharusnya sudah hilang kini seolah menyatu dengan angin yang berhembus kencang, membawa bau busuk yang membuat setiap napas terasa berat. Senyap yang mematikan. Begitu terasa, bagaikan bumi sedang menahan napasnya, menunggu sesuatu yang lebih besar.
Arman terjatuh di tanah yang dingin, tubuhnya lelah dan penuh luka. Kehilangan darah, kehilangan harapan. Namun, satu hal yang masih bisa ia rasakan—rasa sakit yang datang begitu mendalam. Ia tahu, ini bukan akhir.
Desa ini masih terperangkap dalam kutukan yang tidak bisa dihentikan. Semua yang telah ia lakukan, semua perjuangan yang ia lewati, ternyata tak cukup untuk mengusir kegelapan itu. Bahkan Wira, sahabat yang kini menjadi makhluk dari dunia lain, masih menyisakan jejak-jejaknya yang menakutkan.
Arman berusaha untuk bangkit, meski tubuhnya hampir tidak mampu. Namun langkahnya terhenti. Di hadapannya, sebuah sosok muncul. Sosok itu tidak berbentuk manusia, lebih mirip bayangan gelap yang merayap perlahan. Suaranya, yang dulu begitu familiar, kini berubah menjadi bisikan yang menusuk ke dalam jiwa.
“Kau pikir ini sudah selesai, Arman?” suara itu bergema di sekitarnya, begitu dalam dan mengerikan. Suara yang tidak lagi bisa dikenali, suara yang membawa kehancuran lebih jauh.
Arman menatap kosong ke depan, namun pandangannya mulai kabur. Segala yang ia alami, semua rasa sakit yang ia rasakan, terasa sia-sia. Wira yang sudah mati—atau yang lebih tepatnya, Wira yang sudah berubah menjadi bagian dari kekuatan yang lebih besar—kembali muncul di hadapannya.
“Kematian bukan akhir, Arman.” Suara itu menggeram pelan, seperti bisikan angin yang berputar-putar tanpa arah.
Arman tahu. Wira tidak akan pernah kembali. Apa yang berdiri di hadapannya bukan lagi sahabatnya. Ini adalah entitas yang telah memanfaatkan tubuh Wira untuk tujuan yang jauh lebih besar, yang jauh lebih gelap.
Sosok itu bergerak, menembus kegelapan malam yang semakin pekat. Akar-akar hitam menjalar di tanah, membentuk labirin yang menghalangi setiap jalan keluar. Arman merasakan tubuhnya semakin lemah, namun tekadnya masih kuat—ia harus melawan, meskipun hanya dengan sisa kekuatan yang ada.
Namun, sebelum ia sempat bergerak, suara itu berhenti. Suara yang terdiam.
“Apa yang sebenarnya kau inginkan, Arman?” Suara itu berubah, tidak lagi penuh dengan kebencian. Suara itu, kini terdengar penuh kebingungan, seolah menunggu jawaban.
Arman menatap kosong ke arah bayangan gelap yang semakin mendekat. “Aku ingin semuanya berakhir.” Suara Arman terdengar lirih, namun penuh dengan keteguhan.
Dan ketika bayangan itu semakin mendekat, suara itu terdiam. Bukan karena kehendak Arman, tetapi karena sesuatu yang jauh lebih besar terjadi di balik kegelapan itu. Sesuatu yang jauh lebih tua dan lebih kuat.
Tanah bergetar. Suara gemuruh terdengar dari bawah tanah, seperti suara makhluk yang bangkit dari kedalaman yang sangat gelap. Bumi ini seolah ingin meledak, dan dari dalamnya, terdengar suara ribuan jeritan—suara orang-orang yang terperangkap dalam kutukan yang tak termaafkan.
Arman mencoba untuk berlari, namun tubuhnya semakin lemah. Semua yang ia lakukan terasa sia-sia. Dan saat ia menoleh, bayangan hitam itu sudah hampir menyentuhnya. Ini adalah saatnya.
Suara yang terdiam akhirnya kembali bersuara, namun kali ini bukan suara Wira. Ini adalah suara yang jauh lebih dalam, lebih penuh dengan kehancuran.
“Sudah saatnya bagi kalian untuk mengetahui kebenarannya.”
Saat itu juga, segala yang ada di sekitar Arman hancur. Alam semesta ini seolah melawan dirinya. Desa yang dulu ia kenal kini tenggelam dalam kegelapan.
Suara itu berakhir.
Dan semua yang ada hanyalah kegelapan yang sempurna.***
—————————–THE END—————————-