Bab 1: Kenangan yang Terlupakan
Lira duduk di meja kerjanya, matanya terfokus pada layar komputer yang memancarkan cahaya dingin. Namun, pikirannya sama sekali tidak terhubung dengan apa yang ia kerjakan. Jari-jarinya mengetik otomatis, tapi kata-kata yang keluar tidak punya arti. Setiap detik terasa begitu berat, seperti ada sesuatu yang terperangkap dalam dirinya, sesuatu yang belum bisa ia lepaskan.
Beberapa tahun yang lalu, hidupnya berbeda. Setiap pagi, ia terbangun dengan rasa penuh harapan, dengan senyum yang tak pernah pudar, karena di sampingnya ada Reza, pria yang ia cintai dengan sepenuh hati. Mereka adalah pasangan yang tak terpisahkan. Reza dengan tatapan matanya yang lembut dan kata-kata manisnya, membuat hari-hari Lira terasa penuh warna. Namun itu semua berubah dalam sekejap. Kecelakaan yang merenggut nyawa Reza membuat dunia Lira runtuh begitu cepat, tanpa peringatan.
Setelah kejadian itu, Lira merasa dirinya seperti berjalan dalam mimpi buruk yang tak pernah berakhir. Setiap sudut rumah mereka mengingatkannya pada tawa Reza, setiap benda yang ada di sana adalah kenangan indah yang kini hanya bisa ia simpan dalam ingatannya. Tidak ada lagi tawa yang mengisi rumah itu, hanya sepi yang terus menemani.
Lira mencoba menjalani hari-harinya, bekerja keras, berusaha untuk tidak terlalu tenggelam dalam kesedihan. Namun, setiap malam ketika ia duduk sendirian di kamar tidurnya, kenangan itu datang begitu saja. Reza—dengan segala kelembutannya, dengan pelukannya yang hangat, dengan kata-kata penyemangatnya—terus menghantuinya. Lira sering merasa seolah-olah Reza masih ada di sana, berdiri di sampingnya, mengingatkannya untuk kuat dan melanjutkan hidup. Tapi kenyataannya, ia tahu, itu hanya bayang-bayang, sebuah bayangan yang tidak bisa ia sentuh lagi.
Hari itu, di ruang kerjanya yang sunyi, Lira memandangi foto Reza yang masih ada di atas meja. Itu adalah foto mereka berdua, berpose di sebuah pantai pada liburan mereka yang terakhir. Senyum keduanya terekam sempurna di foto itu, seolah-olah waktu tidak pernah ingin berhenti. Lira meraih foto itu, merasakan bingkai kayu yang sedikit berdebu. Ia tersenyum kecil, meski air mata mulai mengalir di pipinya. “Apa kabar, Reza?” bisiknya pelan.
Lira tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus hidup dalam kenangan. Waktu terus berjalan, dan dunia tidak akan berhenti hanya karena ia merasa hilang. Tapi, bagaimana mungkin ia melupakan seseorang yang telah mengisi setiap ruang dalam hidupnya? Bahkan kini, setelah bertahun-tahun, hatinya masih terasa kosong, seperti ada bagian dari dirinya yang hilang.
Sudah cukup lama sejak Lira merasa ada orang yang benar-benar mengerti dirinya. Di tempat kerjanya, di antara tumpukan laporan dan pertemuan bisnis yang tak ada habisnya, ia merasa seperti sedang hidup dalam dunia yang asing. Semua orang tampaknya sibuk dengan kehidupan mereka sendiri, sementara Lira seperti seorang pengamat—tidak benar-benar terlibat, hanya berjalan di atas jalur yang sudah ditentukan tanpa mengetahui arah tujuan.
Namun, hari itu, ada sesuatu yang berbeda. Ketika Lira sedang sibuk dengan dokumen-dokumen di mejanya, ia menerima telepon dari Arga, seorang teman lama dari masa SMA. Arga adalah teman yang selalu ada, bahkan saat ia dan Reza bersama. Arga sering menjadi pendengar setia bagi Lira saat ia dan Reza mengalami konflik. Tetapi setelah kecelakaan itu, Lira menarik diri dari banyak orang, termasuk Arga. Ia merasa dunia terlalu berat untuk dibagi.
“Tanya kabar?” suara Arga terdengar dari ujung telepon, membawa kehangatan yang sudah lama tidak ia rasakan.
Lira menghela napas sebelum menjawab. “Ya, aku baik-baik saja. Terima kasih sudah menghubungi.”
“Baik-baik saja, ya? Apa kamu yakin?” Arga terdengar tidak percaya. “Kau sudah lama menghindar dariku, Lira. Ayo, temui aku. Aku ingin tahu bagaimana kabarmu sebenarnya.”
Lira tidak tahu mengapa ia merasa enggan. Namun, ada sesuatu dalam suara Arga yang membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Ia tahu bahwa Arga tidak akan menilai atau menghakimi, dia hanya ingin mendengarkan.
Setelah beberapa saat ragu, Lira akhirnya setuju untuk bertemu Arga. Meskipun ia tahu, pertemuan ini akan membuka kembali pintu-pintu kenangan yang sudah lama ia tutup rapat-rapat.
Keesokan harinya, mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang nyaman. Arga sudah duduk menunggu ketika Lira tiba, mengenakan jaket merah yang familiar. Wajah Arga tampak lebih dewasa, lebih matang dibandingkan saat terakhir kali mereka bertemu. Rambutnya yang dulu tebal kini lebih tipis, namun senyumannya tetap hangat seperti dulu.
“Lira,” Arga menyapanya dengan suara yang lembut, tetapi ada sedikit keheningan yang terasa di udara. Mungkin ini adalah pertemuan pertama mereka setelah bertahun-tahun, dan keduanya tahu bahwa tidak ada kata-kata yang bisa mengubah kenyataan bahwa banyak hal telah berubah.
Lira duduk, dan mereka mulai berbicara, berbagi cerita tentang hidup mereka masing-masing. Namun, percakapan mereka tidak terhindarkan membawa mereka pada kenangan tentang masa lalu—tentang Reza, tentang bagaimana hidup mereka dulu dipenuhi dengan tawa, tentang perjalanan-perjalanan yang mereka lakukan bersama, dan tentang bagaimana semuanya terasa hilang begitu cepat.
“Aku masih merasa dia di sini,” Lira akhirnya mengungkapkan perasaannya yang sudah lama terpendam. “Setiap kali aku merasakan hujan, aku seperti mendengar suaranya. Aku tahu ini bodoh, tapi rasanya aku masih belum siap untuk melepaskannya.”
Arga hanya diam, mendengarkan dengan penuh perhatian. “Tidak ada yang salah dengan itu, Lira. Semua orang punya cara sendiri untuk melepaskan sesuatu. Kamu tidak perlu buru-buru.”
Lira menatap Arga, merasa ada ketulusan dalam kata-katanya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa sedikit lebih ringan. Walaupun kenangan tentang Reza tidak akan pernah hilang, setidaknya ia tahu ada orang yang siap mendengarkan dan memahami perasaannya.
Malam itu, ketika Lira pulang ke rumah, ia merasa sedikit berbeda. Kenangan tentang Reza masih ada, namun kali ini, ia merasa sedikit lebih kuat untuk menghadapinya. Tidak ada yang bisa menghapus masa lalu, tetapi ia mulai menyadari bahwa hidupnya tidak harus berhenti di sana. Seiring berjalannya waktu, Lira akan belajar bahwa perasaan, meskipun terlupakan, bisa kembali menjadi bagian dari perjalanan baru yang penuh harapan.*
Bab 2: Bayang-Bayang Masa Lalu
Pagi itu, Lira terbangun dengan perasaan yang berbeda. Setelah pertemuan kemarin dengan Arga, ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Beberapa hal yang ia simpan dalam-dalam kini mulai muncul ke permukaan, mengganggu ketenangannya. Ia merasa seperti ada bayangan yang mengikutinya, bayangan masa lalu yang tidak bisa ia abaikan begitu saja.
Lira duduk di tepi tempat tidurnya, menatap keluar jendela. Hujan gerimis membasahi jalanan, menciptakan suasana yang hening. Hujan selalu mengingatkannya pada Reza. Mungkin itu sebabnya ia merasa seakan-akan bayangannya masih ada di sana, meskipun fisiknya telah tiada. Ada satu kenangan yang selalu teringat di benaknya setiap kali hujan turun—waktu itu mereka berdua sedang duduk di balkon apartemen mereka, menikmati secangkir teh sambil melihat hujan di luar.
“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Reza waktu itu.
“Pikiranku hanya tentang kita,” jawab Lira, menatap matanya. “Kita berdua. Selalu seperti ini, tidak ada yang berubah.”
Reza tersenyum, lalu menggenggam tangan Lira. “Tapi perubahan itu tak bisa dihindari, sayang. Suatu hari nanti, kita harus siap untuk itu.”
Lira terdiam sesaat mengingat kata-kata Reza. Ia selalu berkata begitu—tentang perubahan, tentang bagaimana segala sesuatu bisa berubah seiring waktu. Namun, ia tidak pernah membayangkan bahwa perubahan terbesar dalam hidupnya akan datang dengan cara yang begitu brutal.
Lira menghela napas, menyadari bahwa dirinya kini terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu. Setiap kenangan tentang Reza datang begitu mendalam, menekan hatinya, membuatnya merasa seolah-olah tidak pernah benar-benar bisa melanjutkan hidupnya. Meskipun ia berusaha keras untuk berdiri, ada sesuatu yang terus menariknya kembali ke masa lalu, ke hari-hari yang tidak bisa ia ulangi.
Beberapa bulan setelah kecelakaan itu, Lira merasa dunia seakan berputar terlalu cepat, sementara dirinya terjebak dalam ruang yang hampa. Kepergian Reza menghancurkan segalanya, dan ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Arga sempat mencoba mendekatkan dirinya kembali dengan dunia luar, menawarkan telinga untuk mendengarkan, tetapi meskipun ia tahu bahwa Arga benar-benar peduli, Lira masih merasa terasing. Ia tak bisa sepenuhnya membuka diri.
Ketika Arga menghubunginya beberapa waktu lalu, Lira merasa sedikit kaget. Ia bahkan belum pernah berbicara banyak dengan Arga setelah Reza meninggal. Meskipun Arga selalu ada untuknya, Lira merasa dirinya seperti dinding kokoh yang sulit ditembus. Namun, pertemuan kemarin membuka kembali ruang yang selama ini tertutup. Percakapan mereka membawanya pada kenyataan bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam penyangkalan. Ada masa depan yang harus dihadapi, dan itu berarti menghadapi bayang-bayang masa lalu.
Hari itu, di kantor, Lira kembali menghadap tumpukan pekerjaan yang tak kunjung selesai. Namun, pikirannya melayang jauh. Setiap kali ia mencoba fokus pada tugas, bayangan Reza kembali muncul di depan matanya. Ia teringat betapa Reza selalu menjadi sosok yang tenang dan penuh pertimbangan, memberi petuah tentang hidup yang sederhana namun penuh makna.
“Jangan pernah takut berubah,” kata Reza suatu kali, di bawah langit yang penuh bintang. “Karena hidup itu tak akan pernah berhenti memberi kejutan, Lira. Yang penting adalah kita terus bergerak maju.”
Lira menunduk, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Kenapa kata-kata itu terasa begitu sulit untuk ia terima sekarang? Meskipun ia berusaha untuk menjalani hidupnya dengan sebaik mungkin, ada bagian dari dirinya yang terus terhenti di masa lalu, berjuang untuk menerima kenyataan bahwa Reza tidak akan pernah kembali.
Seseorang mengetuk pintu ruang kerjanya, memecah keheningan yang menyelimutinya. Lira mengangkat kepala, melihat Arga berdiri di ambang pintu. Senyum kecil terukir di wajahnya, tapi ada kekhawatiran di balik matanya.
“Lira, bolehkah kita berbicara sebentar?” tanya Arga lembut.
Lira mengangguk pelan, mempersilakan Arga masuk. Mereka duduk di kursi yang ada di depan meja kerjanya. Arga duduk tegak, matanya menatap Lira dengan penuh perhatian.
“Ada yang ingin aku katakan,” Arga memulai dengan hati-hati. “Aku tahu, mungkin setelah lama tidak berbicara, aku agak mengganggu. Tapi aku ingin kamu tahu, kamu tidak sendirian. Aku ingin kamu berbagi, Lira. Tidak perlu menanggung semuanya sendirian.”
Lira merasa dadanya sesak. Kata-kata itu seperti membawa kembali semua beban yang selama ini ia coba simpan rapat-rapat. Ia mengalihkan pandangannya, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah.
“Aku tidak tahu bagaimana cara melanjutkan hidup tanpa dia, Arga,” ujarnya dengan suara yang hampir terputus. “Setiap kali aku mencoba untuk bergerak maju, ada sesuatu yang menarikku kembali ke sana, ke masa lalu. Aku merasa aku tidak bisa melupakan Reza, dan aku tidak tahu apakah aku akan pernah bisa.”
Arga mengangguk, dan untuk beberapa saat, keduanya terdiam. Lira merasa seolah-olah seluruh dunia menghilang, dan hanya ada dia dan Arga yang berbagi kesedihan yang tak terungkapkan.
“Aku mengerti, Lira,” kata Arga akhirnya, dengan suara lembut yang penuh empati. “Tapi ingat, perasaanmu itu sah. Tidak ada yang bisa menyuruhmu melupakan seseorang yang begitu berarti dalam hidupmu. Namun, hidup harus terus berjalan. Dan aku di sini untuk membantu kamu melewati ini, tidak ada paksaan, hanya waktumu yang akan menentukan.”
Lira menatap Arga, merasa sedikit lega. Setidaknya, ada seseorang yang mengerti perasaannya tanpa menghakimi. Namun, di dalam hati Lira, sebuah pertanyaan besar masih terus berputar: apakah dia bisa benar-benar melepaskan Reza, ataukah ia akan selamanya terjebak dalam kenangan yang tidak akan pernah bisa ia lupakan?
Sore itu, setelah Arga meninggalkan kantornya, Lira berjalan keluar dan menuju ke tempat favorit mereka bersama Reza—taman yang selalu mereka kunjungi saat waktu senggang. Di sana, Lira duduk di bangku yang dulu biasa mereka duduki, menatap langit yang mulai berwarna jingga. Angin yang berhembus lembut terasa seperti pelukan yang hangat, seolah-olah Reza masih ada di sana, di sampingnya.
Dengan mata yang mulai berkaca-kaca, Lira membiarkan dirinya tenggelam dalam kenangan. Ia tahu bahwa melepaskan seseorang yang begitu berarti bukanlah hal yang mudah. Namun, di sinilah ia berada—di tengah bayang-bayang masa lalu yang harus ia hadapi jika ia ingin melangkah ke depan. Bayang-bayang itu tak akan pernah hilang, tetapi mungkin, dengan waktu dan penerimaan, Lira bisa belajar untuk hidup berdampingan dengan kenangan itu, tanpa membiarkannya menghalangi langkahnya menuju masa depan yang lebih baik.
Begitu banyak yang masih harus ia hadapi, dan ia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai.*
Bab 3: Perjalanan Mencari Diri
Lira berjalan menuruni jalan setapak di pinggiran kota, matanya tertuju pada pepohonan yang bergoyang diterpa angin. Pagi itu, udara terasa lebih segar dari biasanya, membawa semangat baru yang tidak sepenuhnya bisa ia pahami. Setelah percakapan emosional dengan Arga kemarin, Lira merasa seperti ada yang berubah dalam dirinya. Ada keraguan yang semula membelenggunya, tapi di sisi lain, ada secercah harapan yang mulai muncul, meskipun tipis.
Perjalanan menuju tempat yang sering ia kunjungi untuk sekadar menyendiri ini terasa seperti simbol dari perjalanan hidupnya yang semakin hari semakin jauh dari apa yang ia kenal. Tiga bulan setelah kepergian Reza, ia merasa seperti seorang diri yang terdampar, mencari pegangan namun tidak tahu harus mencarinya ke mana. Namun, satu hal yang ia sadari: ia harus mulai bergerak. Mungkin tidak cepat, tetapi langkah pertama harus diambil.
Di tempat yang sudah ia kenal sejak lama ini, Lira berhenti sejenak di sebuah kafe kecil yang terletak di ujung jalan setapak. Tempat ini selalu berhasil memberi ketenangan bagi pikirannya, terutama saat dirinya merasa tersesat. Ia duduk di pojok kafe yang sepi, memesan secangkir kopi hitam, dan menghadap jendela besar yang memberikan pandangan luas ke luar. Matanya terarah pada jalan yang ramai, orang-orang berlalu lalang, setiap orang tampak sibuk dengan dunianya masing-masing. Dalam keramaian itu, Lira merasa sendiri, meskipun di sekitarnya ada begitu banyak orang.
Momen ini, duduk sendirian di kafe, mengingatkannya pada hari-hari ketika ia dan Reza biasa menghabiskan waktu bersama. Mereka duduk di tempat seperti ini, berbicara tentang segala hal mulai dari hal-hal kecil yang tidak berarti hingga mimpi-mimpi besar yang mereka harapkan bersama. Reza selalu meyakinkan Lira bahwa hidup ini penuh dengan kemungkinan, bahwa waktu akan menjawab segala pertanyaan. Lira tertawa kecil, mengenang betapa cerianya mereka waktu itu.
Namun, kini semuanya terasa berbeda. Reza sudah tiada, dan Lira tidak tahu harus melangkah ke mana. Waktu seakan berjalan begitu cepat, tetapi ia merasa terjebak dalam putaran yang tidak bisa ia hentikan. Pekerjaan, rutinitas, dan kenangan-kenangan yang tak kunjung hilang membebani pikirannya.
Lira menghela napas panjang dan meminum kopi yang sudah setengah habis. Ia merasa cemas, namun juga sadar bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Perasaan itu—rindu, kehilangan, dan kesedihan—memang sah, tetapi ia harus belajar untuk tidak membiarkan mereka menguasai hidupnya. Di satu sisi, ada kebingungan yang merasuki dirinya. Apa yang seharusnya ia lakukan? Mencari jalan keluar? Mencari siapa dirinya setelah segala yang telah terjadi?
Sambil merenung, pikirannya melayang kepada percakapan dengan Arga beberapa hari lalu. Ia teringat bagaimana Arga berusaha membuka dirinya, berbicara dengan jujur, dan memberinya ruang untuk merasakan apapun yang ia rasa. Kata-katanya penuh dengan pengertian, dan meskipun Lira merasa sedikit canggung, ia menyadari bahwa ia tidak sendirian. Arga ada, dan mungkin ia bisa menjadi bagian dari jalan yang Lira tempuh, meskipun untuk saat ini Lira merasa belum siap untuk lebih.
“Apa yang sebenarnya aku cari?” Lira bergumam pada dirinya sendiri. Ia mengingat kembali kata-kata Reza yang dulu sering diulangnya, “Terkadang, kita harus keluar dari zona nyaman untuk menemukan siapa diri kita yang sebenarnya.” Tentu saja, kata-kata itu kini terasa penuh makna, meskipun Reza tidak ada untuk memberi penjelasan lebih lanjut.
Lira memutuskan untuk keluar dari kafe dan melanjutkan langkahnya. Ia berjalan lebih jauh ke taman yang letaknya tidak jauh dari situ. Pohon-pohon besar yang ada di taman ini selalu membuatnya merasa kecil, tetapi dengan cara yang menenangkan. Suara dedaunan yang berdesir lembut memberi ketenangan bagi pikirannya yang sempat terombang-ambing. Saat duduk di bangku panjang di tengah taman, Lira menyandarkan punggungnya, menatap langit biru yang begitu luas, seolah-olah memberi ruang untuk harapan-harapan yang belum terungkapkan.
“Apakah aku siap untuk menghadapinya?” tanya Lira pada dirinya sendiri. Ia merasa cemas, tetapi ada semangat yang perlahan tumbuh dalam hatinya. Ia tahu, meskipun perjalanan ini penuh ketidakpastian, ia harus menghadapinya. Tidak ada cara lain selain terus bergerak, terus mencari apa yang hilang.
Lira berdiri dan berjalan lagi, kali ini lebih mantap. Ia merasa bahwa langkah-langkah kecil yang ia ambil hari demi hari adalah bagian dari prosesnya untuk menemukan diri. Dalam perjalanan ini, mungkin ada banyak hal yang harus ia lepaskan, tetapi ada juga banyak hal yang harus ia pelajari. Setiap perasaan yang ia rasakan—baik itu sedih, marah, atau bahkan bahagia—adalah bagian dari perjalanan itu.
Hari itu, Lira memutuskan untuk tidak terburu-buru. Ia ingin berjalan pelan-pelan, mengambil waktu untuk memahami perasaan-perasaan yang sering ia sembunyikan, belajar untuk menerima setiap bagian dari dirinya yang mungkin selama ini ia coba lupakan. Dalam pencarian itu, Lira tahu bahwa ia akan menemukan kekuatan yang selama ini ia cari-cari. Ia akan belajar untuk tidak hanya mengenang Reza, tetapi juga merayakan hidup yang telah ia jalani dan apa yang ada di depannya.
Sebulan berlalu, dan meskipun perjalanan mencari dirinya belum selesai, Lira mulai merasakan perubahan. Ia mulai lebih sering menghabiskan waktu dengan diri sendiri, menjalani rutinitas baru yang memberinya kedamaian, dan perlahan-lahan, ia juga membuka dirinya pada kemungkinan untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan orang lain, termasuk Arga. Tetapi, yang lebih penting, ia mulai belajar menerima kenyataan bahwa hidup tidak selalu berjalan seperti yang kita harapkan, dan itu tidak mengurangi nilai hidup itu sendiri.
Lira memandang langit senja yang mulai memerah, senyum tipis tersungging di bibirnya. Ia tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, tetapi ia merasa lebih kuat. Langkahnya semakin mantap, dan meskipun bayang-bayang masa lalu masih ada, ia tahu ia akan terus melangkah maju—karena, pada akhirnya, itu adalah satu-satunya jalan yang bisa ia tempuh.*
Bab 4: Rintangan yang Menghadang
Hari-hari Lira semakin penuh dengan ketidakpastian. Setelah beberapa waktu mencari dirinya sendiri, berusaha untuk menerima kenyataan dan bergerak maju, ia mulai merasakan beban lain yang mulai menghalangi jalannya. Rintangan datang begitu tiba-tiba, tak terduga, seolah-olah hidup sengaja menguji seberapa kuat tekadnya untuk bertahan. Ia mulai merasa bahwa perjalanannya menuju pemulihan tidak semudah yang ia bayangkan.
Saat itu adalah sore yang cerah, namun udara terasa lebih berat dari biasanya. Lira duduk di ruang kerjanya, memandangi layar komputer yang terisi email-email yang tak kunjung selesai. Pekerjaan yang semula terlihat begitu ringan kini terasa menumpuk dan membebani. Lira menggigit bibir bawahnya, menatap tumpukan laporan yang harus segera diselesaikan. Namun, pikirannya terus menerawang, mengingat berbagai hal yang terjadi belakangan ini.
Setelah berbulan-bulan berusaha untuk keluar dari bayang-bayang masa lalu, kini ia merasa terjebak kembali dalam rutinitas yang sama sekali tidak memberinya ruang untuk bernapas. Rekan-rekan kerjanya tidak membantu, bahkan semakin menambah beban dengan permintaan yang terus-menerus datang. Ketika ada masalah, Lira selalu menjadi orang yang pertama dituntut untuk menemukan solusi, namun seiring berjalannya waktu, ia mulai merasa tak punya banyak energi untuk memberikan yang terbaik.
Dalam keadaan seperti ini, Lira mulai merasa bahwa ia tidak pernah benar-benar keluar dari bayang-bayang masa lalu. Pekerjaan yang menumpuk, tekanan dari bos yang tidak pernah berhenti, dan rasa kehilangan yang kian mendalam membuatnya merasa bahwa dirinya semakin terperangkap. Ia ingin beristirahat, ingin berhenti sejenak, namun tak ada kesempatan untuk itu.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar, mengingatkan Lira pada pesan dari Arga yang ia terima pagi tadi. Dia sudah mencoba menghubunginya beberapa kali sepanjang minggu, tetapi Lira tidak merasa siap untuk membuka diri sepenuhnya. Namun, entah mengapa, saat ini ia merasa sedikit lebih tenang, seperti ada dorongan untuk berbicara dengan Arga dan menceritakan apa yang tengah dirasakannya.
“Lira, kita perlu bicara. Aku bisa bantu kalau kamu butuh seseorang untuk mendengarkan,” tulis Arga dalam pesan singkatnya.
Lira menghela napas panjang. Di satu sisi, ia merasa nyaman dengan Arga. Dia adalah orang yang selalu ada untuknya, seseorang yang mampu mengerti lebih dari yang Lira ingin ungkapkan. Namun, di sisi lain, Lira masih merasa ragu. Ia belum sepenuhnya siap untuk membuka dirinya begitu dalam.
Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya Lira mengetik balasan: “Aku butuh waktu, Arga. Terlalu banyak yang harus dipikirkan.”
Lira merasa tidak nyaman dengan jawabannya, tetapi ia tahu, ini adalah cara terbaik untuk melindungi dirinya. Untuk saat ini, ia perlu menghadapi masalahnya sendiri.
Pekerjaan kembali menarik perhatiannya, tetapi hatinya masih terasa kosong. Ia mengingat janji-janji yang pernah dibuat dengan Reza, tentang bagaimana mereka akan menjalani hidup dengan lebih bebas dan penuh arti. Namun, semuanya terasa jauh. Kehilangan yang begitu mendalam mengubur semua rencana dan harapan yang mereka buat bersama. Apa yang dulu terasa mudah, kini menjadi sesuatu yang sangat sulit.
Malam tiba lebih cepat dari yang ia perkirakan. Lira menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk, meskipun tidak sepenuhnya memuaskan. Setelah mengirimkan email terakhir, ia memutuskan untuk melangkah keluar dari kantor dan pulang ke apartemennya. Dalam perjalanan pulang, suasana jalan yang sunyi membuatnya merasa seperti ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya.
Setiba di rumah, Lira duduk di sofa dan mematikan lampu, meninggalkan hanya cahaya dari jendela yang memberi sedikit penerangan. Lira menatap ke luar, mengamati langit malam yang gelap, dan merasa begitu hampa. Ada banyak hal yang ia pikirkan—tentang masa depan yang kabur, tentang diri yang tidak lagi dikenalnya, dan tentang rintangan yang terus menghalanginya untuk maju.
Lira kemudian teringat percakapan singkat dengan Arga tadi siang. Mungkin ia seharusnya lebih terbuka padanya, lebih jujur tentang apa yang ia rasakan. Tetapi, perasaan cemas selalu datang setiap kali ia berpikir untuk berbagi beban dengan orang lain. Apakah Arga benar-benar memahami apa yang ia alami? Atau akankah ia hanya melihat Lira sebagai seseorang yang harus diselamatkan?
Pikirannya semakin kacau, dan Lira mulai merasa kesepian. Ia menyadari bahwa meskipun ia dikelilingi banyak orang, tidak ada yang benar-benar bisa merasakan apa yang ia alami. Rintangan dalam dirinya begitu besar dan tak terlihat oleh orang lain. Dia merasa terkunci dalam sebuah ruang kosong yang ia buat sendiri. Bahkan pekerjaan, yang seharusnya bisa memberi fokus dan kestabilan, malah menjadi semakin membebani.
Namun, di tengah keraguan dan kelelahan itu, sesuatu dalam dirinya menguat. Lira tahu bahwa ia tidak bisa terus larut dalam perasaan ini. Rintangan yang menghalangi dirinya adalah sesuatu yang harus ia hadapi, bukan sesuatu yang bisa ia hindari. Keinginan untuk bangkit mulai muncul lagi. Mungkin jalan yang ia pilih bukan jalan yang mudah, tapi Lira tahu, jika ia berhenti sekarang, ia akan kehilangan lebih banyak lagi.
Keesokan harinya, Lira memutuskan untuk keluar dari zona kenyamanannya. Ia menghubungi Arga dan meminta untuk bertemu, meskipun dengan rasa canggung yang masih terasa. Lira tahu bahwa dalam perjalanan mencari dirinya, ia tidak bisa terus bersembunyi. Rintangan yang ia hadapi mungkin tidak akan hilang begitu saja, tetapi dengan langkah pertama ini, ia merasa sedikit lebih dekat dengan pemulihan. Tidak ada yang bisa menghapus masa lalu, tetapi masa depan masih menawarkan harapan.
Lira mengumpulkan keberanian dan langkah demi langkah, ia mulai membuka diri untuk menerima bantuan. Rintangan di hadapannya mungkin besar, tetapi ia mulai belajar untuk tidak lagi berlari darinya.*
Bab 5: Menerima Cinta yang Datang
Lira terbangun di pagi hari dengan perasaan yang lebih ringan dari biasanya. Cuaca cerah di luar jendela apartemennya memberikan semangat baru. Setelah melewati beberapa minggu penuh keraguan dan kebingungan, hari ini ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Entah itu karena ia mulai menerima kenyataan bahwa hidupnya tak bisa kembali seperti dulu, atau karena ia perlahan mulai membuka hati untuk kemungkinan baru, Lira merasa bahwa ia berada di titik yang berbeda—titik yang lebih siap untuk menerima perubahan, terutama dalam hal perasaan.
Setelah bertemu dengan Arga beberapa hari yang lalu, sesuatu dalam dirinya mulai bergeser. Saat itu, di tengah obrolan santai mereka di kafe, Arga mengungkapkan perasaannya dengan cara yang begitu tulus. “Lira, aku tahu kita sudah lama saling kenal, tapi aku merasa ada sesuatu yang lebih antara kita. Aku tidak ingin mengganggu prosesmu, tapi aku ingin kamu tahu, aku selalu ada untukmu, lebih dari sekadar teman,” kata Arga dengan mata yang penuh harap.
Lira yang saat itu masih terkejut hanya terdiam beberapa saat, meresapi kata-kata Arga. Perasaannya campur aduk—rasa terkejut, bingung, dan sedikit takut. Ia tahu bahwa Arga adalah orang yang baik, seseorang yang selama ini ada untuknya, namun apakah ia siap untuk membuka hati lagi? Apakah ia bisa mencintai setelah apa yang telah terjadi pada dirinya?
Namun, ada sesuatu dalam diri Lira yang mulai percaya bahwa mungkin inilah saat yang tepat untuk mencoba menerima cinta yang datang. Selama ini, ia terus berusaha menutup hatinya, takut untuk merasa lagi. Namun, seiring waktu, ia mulai sadar bahwa mencintai bukanlah sebuah kelemahan, melainkan sebuah kekuatan. Mengunci perasaan bukanlah cara yang sehat untuk menyembuhkan luka. Cinta, dengan segala bentuknya, adalah bagian dari kehidupan yang tidak bisa dihindari.
Hari ini, Lira memutuskan untuk bertemu dengan Arga. Mereka sepakat untuk pergi ke sebuah kafe kecil yang tidak terlalu ramai, tempat yang biasa mereka kunjungi untuk berbicara santai. Lira merasa sedikit gugup, tetapi ada rasa harapan yang mengisi hatinya. Ia tahu bahwa pertemuan ini mungkin akan menjadi titik balik, titik di mana ia harus membuat keputusan besar mengenai perasaannya.
Saat Lira tiba di kafe, Arga sudah menunggu di meja yang mereka pilih sebelumnya. Wajahnya terlihat cerah, meskipun ada sedikit kecemasan yang tersembunyi di matanya. Arga berdiri begitu Lira mendekat dan menyambutnya dengan senyum hangat, yang membuat Lira merasa lebih tenang.
“Lira, terima kasih sudah datang,” kata Arga dengan nada yang lembut.
Lira tersenyum, meskipun ada sedikit rasa canggung di dalam dirinya. “Aku yang harusnya berterima kasih,” jawabnya. “Terima kasih sudah sabar menunggu.”
Mereka duduk berhadapan, memesan kopi dan beberapa makanan ringan. Obrolan mereka dimulai dengan topik ringan, tetapi Lira merasa ada ketegangan yang menyelimuti percakapan itu. Arga, yang biasanya ceria, terlihat sedikit lebih serius. Lira bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang penting yang ingin disampaikan Arga.
“Lira, aku tahu kamu sedang melalui banyak hal, dan aku tidak ingin menambah bebanmu. Aku hanya ingin kamu tahu, apa pun yang terjadi, aku akan selalu mendukungmu,” kata Arga, menatap Lira dengan penuh perhatian.
Lira menundukkan kepala, merasakan emosi yang mulai meluap dalam dirinya. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Bagaimana bisa ia menerima perasaan ini, sementara hatinya masih terikat pada kenangan yang lama? Namun, ada suara kecil dalam dirinya yang berkata, mungkin ini adalah kesempatanmu untuk merasakan kebahagiaan lagi.
“Aku… aku tidak tahu harus mulai dari mana,” Lira akhirnya berkata dengan suara pelan. “Aku rasa aku sudah terlalu lama menutup hatiku. Aku takut kalau aku membuka diri, aku akan terluka lagi.”
Arga mendengarkannya dengan penuh perhatian, tidak memaksakan apapun. “Lira, aku mengerti. Aku tidak akan terburu-buru. Aku hanya ingin kamu tahu, aku ada di sini. Tidak peduli seberapa lama waktu yang kamu butuhkan.”
Lira menghela napas, perasaan bersalah mulai merayapi dirinya. Ia tahu Arga telah menunjukkan ketulusan yang begitu besar, namun perasaan takutnya terus menghalangi. “Aku juga takut, Arga. Aku takut aku tidak bisa mencintai dengan sepenuh hati setelah apa yang telah terjadi.”
Arga mengangguk dengan bijak. “Aku tidak akan memaksakanmu, Lira. Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku ada untukmu, dalam setiap langkah yang kamu pilih. Aku ingin kamu merasa nyaman, baik itu sebagai teman atau lebih.”
Lira terdiam, merenungkan kata-kata Arga. Ia merasa seperti ada beban yang sedikit berkurang. Arga tidak meminta apapun selain waktu dan ruang untuk Lira, dan itu membuatnya merasa dihargai. Setelah beberapa saat, Lira menatap Arga dengan pandangan yang lebih lembut.
“Aku… aku ingin mencoba, Arga. Tidak dengan terburu-buru, tetapi aku ingin membuka hati sedikit demi sedikit,” kata Lira dengan suara yang penuh keraguan, tetapi juga keberanian.
Arga tersenyum, dan kali ini senyum itu terasa lebih tulus. “Itu sudah lebih dari cukup, Lira. Aku tidak akan kemana-mana. Kita bisa berjalan bersama, perlahan.”
Lira merasa lega mendengar kata-kata itu. Ia tahu bahwa proses ini tidak akan mudah. Ia tidak bisa langsung melupakan masa lalunya, tetapi dengan dukungan Arga, ia merasa sedikit lebih siap untuk menerima cinta yang datang. Ini adalah langkah pertama menuju kehidupan yang lebih penuh, kehidupan yang tidak hanya dipenuhi dengan kenangan lama, tetapi juga harapan dan kemungkinan baru.
Mereka berbicara lebih lama setelah itu, saling berbagi cerita dan tawa, namun untuk Lira, momen ini adalah titik awal dari perjalanan baru dalam hidupnya. Menerima cinta bukan berarti melupakan yang lalu, melainkan memberi kesempatan bagi dirinya untuk merasakan kebahagiaan kembali, tanpa rasa takut. Karena, pada akhirnya, cinta adalah obat yang tidak hanya menyembuhkan luka, tetapi juga memberikan makna baru dalam hidup.*
Bab 6: Keputusan yang Berat
Lira duduk di tepi jendela apartemennya, menatap hujan yang mulai turun dengan deras. Suara gemericik air yang jatuh ke kaca memberikan sensasi tenang, namun hatinya justru dipenuhi oleh kebimbangan yang tak kunjung reda. Beberapa hari terakhir, perasaannya semakin kacau. Setelah berbicara dengan Arga, ia merasa seolah-olah ada dua dunia yang menarik dirinya ke arah yang berbeda. Dunia yang satu menawarkan kenyamanan dan kebahagiaan, sementara dunia yang lain menyisakan luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Lira tahu bahwa Arga tulus. Lelaki itu selalu ada untuknya, memberi dukungan tanpa pamrih, bahkan saat ia sedang terpuruk. Namun, di balik perasaan bersyukurnya atas kehadiran Arga, ada bagian dari dirinya yang merasa ragu. Apakah ia bisa sepenuhnya membuka hati lagi? Apakah ia benar-benar siap untuk menjalin hubungan yang lebih serius setelah semua yang telah terjadi dalam hidupnya?
Hujan yang terus turun membuat Lira semakin merenung. Waktu terasa berjalan sangat lambat saat ia berusaha merumuskan keputusan yang harus diambil. Arga tidak pernah memaksanya untuk memilih, tetapi semakin lama, Lira merasa semakin sulit untuk mengabaikan kenyataan bahwa ia harus menentukan arah hidupnya. Ia tidak bisa terus berlarut-larut dalam kebingungannya.
Kehidupan tidak menunggu. Arga juga tidak akan menunggunya selamanya. Lira menyadari bahwa di balik ketulusan Arga, ada perasaan yang semakin dalam. Jika ia tidak segera mengambil keputusan, ia akan kehilangan kesempatan itu. Namun, hatinya terus bertanya-tanya, Apakah ini benar-benar yang aku inginkan? Apakah ia cukup siap untuk mencintai lagi? Ataukah ia sedang melarikan diri dari rasa sepi yang semakin menggerogoti dirinya?
Saat itu, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Arga muncul di layar. Lira membaca pesan itu dengan hati yang berdebar. “Lira, aku hanya ingin kamu tahu, aku menghargai setiap keputusan yang kamu buat. Aku hanya ingin kamu bahagia. Apapun itu.” Kata-kata sederhana itu seperti pisau yang menusuk hatinya. Arga tidak memaksanya. Ia hanya ingin Lira bahagia, apapun caranya.
Namun, itulah yang membuat Lira semakin tersiksa. Mengapa perasaan ini begitu rumit? Bukankah cinta itu seharusnya sederhana? Kenapa ia merasa terjebak dalam keputusan yang seharusnya jelas? Ia mencintai Arga, itu tidak bisa dipungkiri. Tetapi apakah itu cukup? Atau apakah ia hanya takut mengambil langkah itu karena kenangan masa lalu yang belum sepenuhnya hilang?
Lira menutup matanya dan membiarkan pikirannya mengembara. Beberapa tahun yang lalu, ia pernah mengalami luka yang begitu dalam. Seorang pria yang ia cintai, yang seharusnya menjadi masa depannya, pergi begitu saja tanpa alasan yang jelas. Kepergian itu meninggalkan ruang kosong dalam hatinya yang sulit diisi oleh siapa pun. Sejak saat itu, Lira tidak pernah benar-benar bisa membuka hati sepenuhnya. Ia takut, terlalu takut untuk jatuh cinta lagi. Kenangan akan rasa sakit itu terus menghantuinya.
Namun, Arga berbeda. Ia tidak meminta banyak. Arga hanya ingin menjadi bagian dari hidup Lira, dan ia memberi ruang bagi Lira untuk tumbuh tanpa tekanan. Sikapnya yang sabar dan perhatian adalah hal yang jarang ia temui dalam diri seseorang. Tetapi Lira tidak bisa mengabaikan satu kenyataan: ia masih terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya.
Hujan semakin deras, seolah-olah mencerminkan badai yang sedang bergelora dalam diri Lira. Ia memutuskan untuk keluar dari apartemennya, berjalan menyusuri jalanan yang basah. Saat langkah-langkahnya membawanya semakin jauh dari tempat tinggalnya, Lira merasa sedikit lega. Setidaknya, saat ini, ia tidak terperangkap dalam empat dinding yang penuh dengan pikiran yang membingungkan.
Di tengah jalan, ia bertemu dengan seorang wanita tua yang duduk di bangku taman, dengan payung yang hampir terbuka sepenuhnya. Wanita itu menatap Lira dengan senyum ramah. Tanpa diduga, wanita itu membuka percakapan dengan Lira.
“Anak muda, hujan ini seperti membawa banyak kenangan, bukan?” tanya wanita tua itu sambil menatap ke arah hujan yang semakin lebat.
Lira sedikit terkejut dengan pertanyaan itu, namun ia tersenyum dan mengangguk. “Ya, terkadang hujan membawa kenangan yang sulit untuk dilupakan.”
Wanita tua itu menghela napas. “Aku paham. Kadang-kadang, kita terjebak dalam kenangan yang lama dan itu membuat kita takut melangkah ke depan. Tapi ingat, anak muda, hidup ini terus berjalan. Kamu tidak akan bisa melihat ke depan jika kamu terus menatap ke belakang.”
Lira terdiam sejenak, merenung pada kata-kata yang baru saja didengarnya. Seakan-akan wanita itu tahu apa yang sedang ia rasakan. Hujan ini memang mengingatkan Lira pada banyak hal, tetapi kata-kata itu memberi sedikit pencerahan. Mungkin, inilah saatnya bagi dirinya untuk berhenti menatap masa lalu dan mulai melihat ke depan, menerima kenyataan bahwa cinta mungkin memang datang lagi.
Wanita itu melanjutkan, “Terkadang, kita tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi jika kita menunggu terlalu lama, kita mungkin akan kehilangan kesempatan yang ada. Jangan terlalu takut dengan perasaanmu. Biarkan hatimu memimpin, karena kadang-kadang, kita harus mempercayai cinta, meskipun itu tampak menakutkan.”
Lira menatap wanita itu dengan penuh rasa terima kasih. “Terima kasih, Bu. Anda benar. Saya rasa saya sudah lama menutup hati saya. Mungkin sekarang saatnya untuk membuka kembali.”
Wanita itu tersenyum bijak, lalu berkata, “Tidak ada yang salah dengan itu, anak muda. Cinta bukanlah beban. Cinta adalah hadiah yang datang pada waktunya.”
Lira mengangguk, merasa lebih ringan setelah berbicara dengan wanita tersebut. Setelah berpisah dengan wanita itu, Lira berjalan kembali ke rumah. Hujan mulai mereda, tetapi ada rasa tenang yang mengisi hatinya. Ia tahu, keputusan ini bukanlah hal yang mudah, tetapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Lira merasa siap. Siap untuk membuka hati, siap untuk memberi kesempatan pada Arga, dan siap untuk membiarkan dirinya mencintai lagi.
Saat ia kembali ke apartemennya, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan singkat dari Arga. “Aku tahu ini mungkin bukan hal yang mudah bagimu, tapi aku ingin kamu tahu, aku akan selalu mendukungmu, apa pun yang kamu pilih.”
Lira tersenyum kecil. Sepertinya, inilah waktu yang tepat.*
Bab 7: Jejak Hati yang Terlupakan
Lira berdiri di depan jendela apartemennya, menatap jalanan kota yang ramai meskipun sudah larut malam. Hujan yang turun dengan lembut menyelimuti dunia di luar, memberi suasana yang tenang, namun hatinya terasa sebaliknya—ada kegelisahan yang tak kunjung hilang. Sejak percakapan terakhir dengan Arga, ia merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Sebuah kelegaan yang datang seiring dengan keputusan untuk membuka kembali hatinya, namun juga ada kecemasan yang tak bisa ia jelaskan.
Kenangan-kenangan masa lalu yang sudah lama terkubur di sudut hati kembali muncul, seperti bayang-bayang yang tak bisa ia usir. Lira merasakan betul bagaimana setiap keputusan yang ia buat, baik dalam kehidupan pribadi maupun cintanya, selalu terikat dengan masa lalu yang penuh luka. Kenangan tentang seseorang yang pernah ia cintai dengan sepenuh hati, namun pada akhirnya meninggalkannya begitu saja, meninggalkan bekas yang begitu dalam.
Namun, kali ini berbeda. Lira tahu bahwa meskipun masa lalu selalu menyusup ke dalam pikiran, ia tak boleh lagi membiarkan dirinya terjebak di sana. Jika ia terus menoleh ke belakang, ia tidak akan pernah bisa melangkah maju.
Setelah percakapan panjang dengan Arga beberapa malam lalu, Lira menyadari bahwa ia tidak ingin hidupnya terus didominasi oleh rasa takut dan ragu. Arga telah menunjukkan sisi dirinya yang tulus dan sabar. Dia bukanlah pria yang memaksakan kehendaknya. Arga hanya ingin memberikan yang terbaik untuk Lira, dan itu adalah sesuatu yang sangat langka. Lira tahu bahwa ia tak bisa terus menunggu kesempurnaan yang mungkin tak akan pernah datang. Ia harus memilih untuk membuka diri, menerima kenyataan bahwa hidup terus berjalan, dan cinta bisa hadir kembali.
Malam itu, Lira memutuskan untuk menulis surat. Surat untuk dirinya sendiri, untuk mengingatkan dirinya bahwa ia tidak perlu terus mencari jawaban yang sempurna. Surat itu berisi tentang perjalanan panjang yang telah ia lalui, tentang segala rasa takut dan ragu yang pernah ada, serta tentang keinginan untuk menorehkan jejak baru dalam hidupnya. Lira tahu bahwa meskipun cinta itu datang dengan ketidakpastian, ia harus memulainya dengan keberanian.
Tangan Lira menulis dengan perlahan, setiap kata yang tertulis di kertas seperti beban yang perlahan terlepas. Ia menulis tentang dirinya yang selama ini bersembunyi dari perasaan, tentang bagaimana ia menutup pintu hatinya setelah kepergian seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya. Ia menulis tentang bagaimana ia merasa terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu, dan bagaimana itu menghalangi dirinya untuk melihat kemungkinan baru yang bisa saja lebih indah.
Saat tulisan itu selesai, Lira menatap surat itu dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega karena akhirnya bisa menuliskan perasaannya dengan jujur. Di sisi lain, ia merasa seolah-olah surat itu adalah sebuah keputusan besar yang tidak bisa ia balikkan. Apakah ia benar-benar siap untuk memulai lagi? Apakah ia bisa menerima Arga sepenuhnya tanpa membandingkannya dengan masa lalu yang kelam?
Pikiran Lira terhenti ketika ia mendengar ketukan di pintu. Dengan sedikit kebingungan, ia berjalan menuju pintu dan membukanya. Di depan pintu, Arga berdiri dengan senyum tipis di wajahnya, membawa satu tas kecil. Ia terlihat sedikit basah, mungkin karena hujan yang baru saja reda.
“Arga?” tanya Lira, sedikit terkejut.
Arga mengangguk, kemudian melangkah masuk tanpa menunggu jawaban. “Aku tahu ini mungkin agak mendadak, tapi aku ingin kita berbicara,” kata Arga dengan suara lembut.
Lira merasa sedikit cemas, tetapi ia mengangguk, mempersilakan Arga masuk. Mereka duduk di ruang tamu, di atas sofa yang biasanya hanya menjadi tempat bagi Lira untuk menghabiskan waktu sendiri. Namun malam ini terasa berbeda. Ada kehadiran Arga yang memberikan rasa tenang, meskipun ada sesuatu yang berat di dalam hatinya.
“Lira, aku tahu kita sudah berbicara banyak, tapi aku hanya ingin mengatakan satu hal,” kata Arga, menatap Lira dengan tatapan penuh pengertian. “Aku tahu kamu tidak bisa melupakan masa lalu begitu saja. Aku juga tahu, aku bukan orang yang bisa langsung menggantikan tempat itu. Tetapi, aku ingin kamu tahu, aku tidak akan menyerah. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku akan ada untukmu, entah itu dalam kesulitan atau kebahagiaan.”
Lira terdiam, hatinya bergejolak. Arga tidak meminta banyak. Ia hanya ingin menunjukkan bahwa ia siap untuk berada di samping Lira, mendampinginya dalam setiap langkah, tanpa paksaan, tanpa terburu-buru. Sebuah kehadiran yang tulus, sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Air mata mulai menggenang di mata Lira. Selama ini, ia merasa seolah-olah ia tidak layak dicintai lagi, karena bayang-bayang masa lalunya selalu menghantui. Namun, di hadapan Arga, ia merasa diterima apa adanya. Tidak ada penilaian, tidak ada tuntutan. Hanya cinta yang tulus dan sabar.
“Arga,” suara Lira serak, hampir tak terdengar. “Aku takut. Aku takut membuka hatiku lagi. Aku takut akan terluka lagi.”
Arga menggapai tangan Lira dengan lembut, menggenggamnya erat. “Aku tahu itu, Lira. Aku tidak akan memaksamu untuk segera melupakan semuanya. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa kamu tidak sendirian.”
Lira terdiam, merasakan kehangatan dari genggaman tangan Arga. Perlahan, ia merasa ada sesuatu yang tumbuh dalam dirinya. Cinta. Cinta yang selama ini terpendam, yang akhirnya ia izinkan untuk tumbuh kembali.
“Arga,” kata Lira dengan suara pelan, “Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa. Tapi… aku ingin mencoba. Aku ingin mencoba membuka hati dan memberi kesempatan lagi. Mungkin ini tidak akan mudah, tapi aku ingin berjalan bersama kamu.”
Arga tersenyum, senyum yang tulus, yang menyinari ruang hati Lira. “Aku siap. Kita akan berjalan bersama, perlahan, seperti hujan yang turun pelan-pelan. Tidak terburu-buru, tapi pasti.”
Lira menunduk, merasakan hangatnya air mata yang menetes di pipinya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bahwa mungkin—mungkin—ia telah menemukan kembali jalan menuju kebahagiaan. Jejak hati yang terlupakan perlahan-lahan ditemukan kembali, dan meskipun itu tak sempurna, Lira tahu bahwa ini adalah awal dari sebuah perjalanan baru yang penuh dengan harapan.
Di luar, hujan mulai berhenti. Lira dan Arga duduk berdampingan, dua jiwa yang kini mulai saling memahami. Dunia di luar tampak sepi, tetapi di dalam hati mereka, ada kisah baru yang sedang dimulai.*
Epilog: Harapan yang Kembali Bersemi
Waktu berlalu begitu cepat, lebih cepat daripada yang dibayangkan Lira. Bulan-bulan yang penuh dengan kebingungan, ketakutan, dan keraguan kini telah digantikan oleh rasa damai yang perlahan mengisi hatinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Lira mulai menyadari satu hal yang paling penting dalam hidupnya—bahwa tidak ada yang bisa menjamin bahwa hidup akan selalu mudah, tetapi dengan keberanian untuk menerima, semuanya akan terasa lebih berarti.
Hari itu, Lira duduk di bangku taman yang terletak di dekat tempat kerjanya. Hujan yang turun beberapa hari terakhir telah meninggalkan udara segar dan tanah yang harum. Bunga-bunga yang mekar di sekeliling taman tampak cantik, seperti menyambut musim baru yang penuh dengan harapan. Lira menarik napas dalam-dalam, menikmati ketenangan yang akhirnya berhasil ia rasakan setelah sekian lama.
Beberapa bulan setelah ia memutuskan untuk memberi kesempatan pada Arga dan membuka kembali pintu hatinya, hubungan mereka semakin erat. Keputusan itu memang tidak mudah, bahkan penuh dengan keraguan pada awalnya. Namun, Lira tahu bahwa dirinya tidak bisa terus-menerus hidup di bayang-bayang masa lalu. Ia harus belajar untuk menerima kenyataan, untuk memaafkan diri sendiri dan orang lain, dan untuk memberikan kesempatan pada cinta yang hadir tanpa memandang kesempurnaan.
Arga telah menjadi bagian yang penting dalam hidupnya. Dia bukan hanya pasangan yang setia mendampingi, tetapi juga teman yang selalu ada ketika Lira membutuhkan seseorang untuk berbicara. Arga mengajarinya bahwa cinta bukanlah tentang pencapaian yang sempurna, melainkan tentang perjalanan yang penuh dengan penerimaan, kesabaran, dan pengertian.
Lira memandang ke sekeliling taman, melihat pasangan-pasangan yang berjalan bergandengan tangan, anak-anak yang berlarian riang, dan orang-orang yang duduk menikmati hari. Kehidupan terus berjalan, meskipun terkadang penuh dengan lika-liku yang tidak terduga. Dan bagi Lira, perjalanan hidupnya kini terasa lebih ringan. Ia tidak lagi merasa terbebani oleh masa lalu yang selalu menghantui. Ia bisa melihat ke depan dengan lebih percaya diri, dengan hati yang lebih lapang.
Sebuah suara lembut membuat Lira terjaga dari lamunannya. Ia menoleh dan melihat Arga yang berdiri di sampingnya, tersenyum. Wajahnya terlihat cerah, meskipun ia tahu hari itu Arga baru saja kembali dari perjalanan bisnis yang cukup panjang.
“Bagaimana, sudah menemukan inspirasi hari ini?” tanya Arga sambil duduk di samping Lira.
Lira tersenyum kecil, merasa hangat di dalam hati. “Mungkin. Terkadang, hanya dengan duduk dan menikmati momen seperti ini, aku merasa bisa menemukan kedamaian dalam hati.”
Arga mengangguk, dan matanya memandang Lira dengan penuh kasih sayang. “Aku senang kamu akhirnya bisa menemukan kedamaian itu. Aku tahu, perjalananmu tidak mudah. Tapi kamu sudah sampai di titik ini, dan itu adalah pencapaian yang luar biasa.”
Lira menunduk, merasakan perasaan yang dalam. Meskipun perjalanannya masih panjang, ia merasa bahwa ia telah menemukan jalan yang tepat. Dulu, ia merasa terjebak dalam kegelapan yang tak berujung, mengira bahwa tak ada lagi harapan untuknya. Namun, pertemuannya dengan Arga telah menunjukkan padanya bahwa selalu ada kesempatan kedua, dan bahwa cinta sejati tidak selalu datang dengan cara yang kita harapkan.
“Kau benar,” jawab Lira dengan suara lembut. “Aku mungkin sudah banyak mengabaikan diri sendiri sebelumnya. Aku terlalu fokus pada rasa sakit, dan aku lupa bahwa hidup ini tidak hanya tentang itu. Ada banyak hal indah yang harus dihargai, dan aku mulai menyadarinya sekarang.”
Arga memegang tangan Lira, menggenggamnya erat seperti memastikan bahwa mereka tidak akan terpisah lagi. “Aku senang bisa berada di sampingmu, Lira. Aku ingin kita terus berjalan bersama, melewati setiap rintangan yang mungkin datang. Aku percaya, kita bisa melewati semuanya, bersama.”
Lira menatap Arga, melihat ketulusan di matanya. Keputusan untuk menerima cinta yang datang padanya ternyata adalah keputusan terbaik yang pernah ia buat. Tidak hanya karena Arga adalah seseorang yang luar biasa, tetapi juga karena dengan membuka hatinya, Lira telah memberikan ruang untuk dirinya sendiri untuk tumbuh dan sembuh.
Saat mereka duduk bersama di bangku taman itu, Lira merasa seolah-olah dunia berhenti sejenak. Semua keraguan yang sempat menguasainya kini telah hilang, digantikan oleh rasa syukur yang dalam. Dia merasa siap untuk menjalani hidup dengan cara yang lebih baik, dengan hati yang lebih lapang dan penuh kasih.
“Terkadang, kita hanya perlu memberi diri kita waktu,” kata Lira, berbicara pelan. “Untuk merasa cukup, untuk mencintai diri kita sendiri, dan untuk memberi kesempatan pada hidup yang lebih baik. Aku sudah melalui banyak hal, dan aku tahu bahwa ini bukan akhir dari perjalanan kita. Tetapi aku percaya, kita bisa menjalani semuanya dengan lebih baik.”
Arga tersenyum, merasakan kebahagiaan yang datang dari dalam hatinya. “Aku percaya padamu, Lira. Kita akan melewati semuanya bersama, dan aku akan selalu mendukungmu.”
Lira menunduk, terdiam sejenak, sebelum kemudian melanjutkan, “Aku dulu takut membuka hati lagi. Aku merasa tidak layak untuk dicintai. Tapi sekarang aku tahu, bahwa cinta itu bukan untuk orang yang sempurna, melainkan untuk mereka yang mau belajar menerima, baik itu diri mereka sendiri ataupun orang lain. Dan aku… aku siap untuk menerima cinta itu, Arga.”
Arga mengangguk penuh pengertian, tidak ada kata-kata yang perlu ditambahkan. Mereka berdua duduk bersama, menikmati kebersamaan yang sederhana namun penuh makna. Seiring berlalunya waktu, Lira tahu bahwa hidup akan terus memberikan tantangan, tetapi kini ia siap menghadapinya. Harapan yang sempat terkubur perlahan mulai bersemi, dan cinta yang dulu terlupakan kini kembali hadir dengan cara yang tak terduga.
Hari itu, Lira tahu bahwa ia telah menemukan kembali dirinya—bukan sebagai seorang wanita yang terluka, tetapi sebagai seseorang yang mampu berdiri tegak dengan harapan yang kembali bersemi, siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang ada di depan.***
——-THE END——