• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
OPERASI HANTU MALAM

OPERASI HANTU MALAM

May 1, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
OPERASI HANTU MALAM

OPERASI HANTU MALAM

by SAME KADE
May 1, 2025
in Action
Reading Time: 33 mins read

Bab 1 – Misi Tanpa Jejak

Malam itu, langit seperti selimut hitam yang tak berujung. Tak ada bintang. Tak ada bulan. Hanya kegelapan mutlak yang membentang, seolah dunia sedang menahan napas. Di sebuah pangkalan rahasia, jauh dari peradaban, sekelompok prajurit terbaik berdiri berbaris, wajah mereka tersembunyi di balik topeng hitam tanpa ekspresi.

Mereka adalah “Hantu Malam”—tim operasi khusus yang hanya dipanggil ketika misi biasa sudah dianggap mustahil. Di hadapan mereka, Komandan Arman berdiri tegap, matanya tajam menelusuri setiap sosok di depannya.

“Ini bukan operasi biasa,” kata Komandan Arman, suaranya dalam dan dingin. “Target kalian tersembunyi di wilayah musuh yang dijaga ketat. Tidak boleh ada jejak. Tidak boleh ada suara. Kalian tidak pernah ada di sana.”

Tak satu pun dari anggota tim itu bergeming. Mereka sudah terbiasa dengan misi di ambang kematian. Namun, malam ini berbeda. Ada ketegangan halus yang merayap di udara, menggerogoti ketenangan mereka.

Di ruang briefing, peta elektronik menampilkan area target: sebuah fasilitas penelitian rahasia di tengah hutan lebat, dikelilingi patroli bersenjata dan perangkap tersembunyi. Mereka harus menyusup, mengambil data, dan keluar sebelum matahari terbit—semua tanpa terdeteksi.

“Rute utama ini penuh ranjau,” kata Letnan Nadia, ahli taktik tim, sambil menunjuk jalur merah pada peta. “Kita akan mengambil jalur barat, memanfaatkan celah saat patroli berganti.”

Raka, si penjejak jejak yang terkenal dengan langkah sehalus bayangan, mengangguk. “Aku bisa memimpin jalur depan. Pastikan kita bergerak dalam formasi senyap.”

Satu per satu, anggota tim menyatakan kesiapan mereka. Tak ada keraguan, tak ada ketakutan yang tampak—hanya kesunyian mematikan yang menjadi bahasa mereka.

Setelah semua peralatan diperiksa—senapan peredam suara, pisau tempur, perangkat pemutus sinyal—mereka bergerak dalam diam, menyusuri malam yang kelam. Tidak ada tepuk tangan. Tidak ada doa bersama. Hanya keteguhan yang menderu di dada masing-masing.

Langkah-langkah mereka menyatu dengan irama alam. Seperti bayangan, mereka menghilang ke dalam hutan, membaur bersama kegelapan. Setiap ranting yang patah, setiap suara berdesir, bisa berarti kematian. Tapi mereka sudah dilatih untuk menjadi hantu—tak terlihat, tak terdengar, tak tersentuh.

Sementara itu, di kejauhan, sinyal radio musuh berkedip—tanda bahwa malam ini, bahaya telah menanti di setiap sudut.

Misi telah dimulai.
Dan dalam kegelapan itu, “Hantu Malam” menari di antara hidup dan mati.

Bab 2 – Musuh dalam Bayangan

Hutan itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Setiap langkah tim “Hantu Malam” seolah menyatu dengan desir angin yang mengelus dedaunan. Mereka bergerak cepat dan teratur, menembus lebatnya semak dan pepohonan, menuju lokasi target dengan peta digital yang tertanam dalam ingatan mereka.

Namun, di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang tidak beres.

Letnan Nadia, yang memimpin formasi malam itu, tiba-tiba mengangkat tangan memberi isyarat berhenti. Semua anggota otomatis membeku di tempat, menyatu dengan kegelapan.

Ia merapat ke Komandan Bima, pemimpin lapangan malam ini, dan berbisik, “Ada perubahan pola patroli musuh. Jauh lebih cepat dari yang diperkirakan.”

Bima mengerutkan kening. “Informasi kita meleset?”

Nadia mengangguk pelan. “Entah bagaimana, mereka seolah sudah menduga kita datang.”

Bima menatap sekitar dengan waspada. Insting bertahun-tahun di lapangan berbisik keras di telinganya—ada sesuatu yang salah. Sangat salah.

Mereka melanjutkan perjalanan dengan lebih hati-hati. Setiap sudut diperiksa, setiap suara dianalisis. Namun keganjilan demi keganjilan muncul. Jalan yang seharusnya kosong, tiba-tiba dipenuhi ranjau tambahan. Menara pengawas baru berdiri di titik yang seharusnya aman.

Seolah-olah seseorang telah membocorkan jalur mereka.

Raka, si penjejak jejak, memeriksa tanah berlumpur di dekat mereka. “Ada jejak baru,” bisiknya. “Bukan patroli biasa. Ini tim buru khusus.”

Bima mengepalkan tangan. “Mereka menunggu kita.”

Semua kepala tim langsung bekerja. Letnan Nadia membuka tablet kecil berisi peta digital. “Kita perlu rute baru,” katanya tegas. “Kalau tidak, kita masuk ke perangkap.”

Namun sebelum strategi baru bisa dirancang, suara desingan peluru melintas di atas kepala mereka, menghantam pohon dengan keras.

“Serangan!” seru Bima.

Tim langsung menyebar, berlindung di balik pepohonan besar. Baku tembak sengit tak terelakkan. Musuh tampak bergerak seperti tahu posisi mereka—bukan sekadar patroli biasa, tapi penyergapan terencana.

Di tengah kekacauan itu, Letnan Nadia sempat berpikir cepat: Ini mustahil kecuali… seseorang memberi tahu mereka di mana kita berada.

Pikiran itu membekukan darahnya sejenak.

Ada pengkhianat.
Dan dia ada di antara mereka, atau di markas yang mereka tinggalkan.

Dalam kekacauan malam itu, satu hal menjadi jelas bagi Bima dan seluruh tim: misi ini bukan lagi hanya soal menyusup dan bertahan. Ini tentang mencari tahu siapa musuh sebenarnya—yang tersembunyi di bayangan mereka sendiri.

Peluru terus menari di udara. Tapi bahaya sesungguhnya, justru datang dari tempat yang tak mereka lihat.

Bab 3 – Penyusupan Pertama

Malam semakin pekat. Kabut tipis mulai bergulung di antara pepohonan, menambah kesan suram dan dingin di sekeliling tim “Hantu Malam”. Setelah baku tembak singkat tadi, mereka berhasil memecah pengepungan, namun waktu terus berjalan, dan misi belum juga mendekati tujuan.

Komandan Bima berkonsultasi cepat dengan Letnan Nadia sambil bersembunyi di balik semak lebat.

“Kita lanjut ke jalur alternatif. Rute utara,” ujar Bima singkat.

Nadia menyesuaikan peta digitalnya, lalu mengangguk. “Aman, untuk saat ini.”

Tanpa banyak kata, tim segera bergerak lagi. Setiap langkah diatur sedemikian rupa, setiap tarikan napas dikendalikan agar tidak menciptakan suara sekecil apa pun. Mereka tahu, satu bunyi yang terlalu keras, satu gerakan yang terlalu cepat, bisa berarti kematian.

Di depan, Raka memimpin, matanya yang terlatih membaca setiap kontur tanah, menghindari ranjau dan perangkap kabel yang dipasang musuh. Di belakangnya, Arya, sang penembak jitu, melindungi garis belakang dengan senapan berperedam.

Mereka bergerak dalam bayangan, memeluk kegelapan seperti sekutu lama.

Saat melewati sebuah lembah kecil, Nadia mendeteksi sinyal elektromagnetik samar dari perangkat pemindai jarak jauh milik musuh.

“Berhenti,” bisiknya di saluran komunikasi internal.

Semua anggota membeku di tempat.

Di hadapan mereka, seutas laser pemindai nyaris tak terlihat membentang rendah di antara dua pohon. Satu langkah ceroboh saja akan mengaktifkan alarm.

Raka dengan cekatan merogoh saku rompinya, mengeluarkan cermin kecil khusus. Dengan hati-hati, ia memantulkan sinar laser, mengalihkan jalurnya sementara anggota lain merunduk dan menyelinap melewati batas maut itu.

“Bagai hantu,” gumam Arya kecil, hampir tak terdengar.

Beberapa meter kemudian, mereka menemukan dinding perimeter pertama fasilitas musuh—tembok tinggi berlapis kawat berduri dan sensor gerak.

Letnan Nadia mengeluarkan perangkat pemotong sinyal berukuran saku. Ia memprogramnya cepat, memutus koneksi sensor gerak untuk waktu singkat.

“Lima belas detik,” katanya. “Lari sekarang.”

Tanpa ragu, satu per satu anggota tim meloncat, memanjat, dan menggelinding melewati tembok seperti bayangan gelap yang mengendap di malam hari.

Saat mencapai sisi lain, napas mereka berat, tapi terkendali. Tak ada suara alarm. Tak ada tanda keberadaan mereka yang terdeteksi.

Mereka berhasil.
Untuk saat ini.

Namun, sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, Raka mengangkat tinjunya—sinyal peringatan.

Di kejauhan, terdengar langkah kaki bersepatu bot. Dua penjaga patroli mendekat, berbicara dalam bahasa asing yang berat.

Tim “Hantu Malam” menahan napas. Senjata mereka siap di tangan, namun tembakan adalah pilihan terakhir. Mereka tahu, jika satu peluru lepas, seluruh fasilitas akan memburu mereka.

Komandan Bima memberi isyarat.
Non-lethal.
Senjata sunyi.

Dalam hitungan detik, dua penjaga itu dilumpuhkan dengan tenang—satu ditarik ke dalam bayang-bayang, yang lain dijatuhkan dengan pukulan presisi ke leher. Tak ada suara. Tak ada alarm.

Setelah memastikan jalan aman, Bima memberi aba-aba baru.

“Tujuan kita ada di dalam,” bisiknya. “Masuk. Cepat. Tak ada ruang untuk kesalahan.”

Misi penyusupan pertama mereka baru saja dimulai.
Dan di kegelapan malam itu, “Hantu Malam” benar-benar menjadi hantu—tak terlihat, tak terdengar, tak terhentikan.

Bab 4 – Jejak Darah di Hutan Hitam

Hutan itu, yang dikenal para penduduk sekitar sebagai “Hutan Hitam”, bukan hanya gelap oleh malam. Pepohonan tua dengan batang melintir seperti tangan keriput menciptakan lorong-lorong sempit yang membuat siapa pun mudah tersesat. Kabut tipis terus bergulir rendah di tanah, membungkus dunia dengan kesan angker.

Tim “Hantu Malam” bergerak cepat, menyusuri jalur sempit di antara pepohonan. Mereka berhasil menyusup ke dalam fasilitas, mencuri sebagian data penting, lalu melarikan diri sebelum alarm besar dibunyikan. Namun, langkah mereka tak sepenuhnya mulus.

Di tengah pelarian, suara letusan senjata terdengar, membelah keheningan.

“Awas!” teriak Arya, melompat ke belakang batang pohon besar sambil membalas tembakan.

Raka yang memimpin di depan segera merunduk, matanya mencari jalur aman di antara kabut. Sementara itu, Bima melindungi tim dari belakang, melumpuhkan musuh satu per satu dengan tembakan presisi.

Namun satu tembakan lolos.

Letnan Nadia yang berlari di tengah formasi tersentak. Darah segar menyembur dari lengannya yang tertembak.

“Aku kena!” serunya, menggigit bibir menahan sakit.

Tanpa membuang waktu, Raka segera menarik Nadia ke balik perlindungan. Bima menekan luka Nadia dengan cepat sambil mengangguk pada Arya.

“Teruskan. Kita harus tetap bergerak,” perintah Bima.

Tak bisa berhenti. Tak ada waktu untuk mengobati dengan benar. Mereka harus keluar dari hutan ini sebelum pasukan musuh mengepung dari semua arah.

Jejak darah tertinggal di tanah basah, membentuk garis samar yang menyatu dengan lumpur dan kabut. Setiap tetes darah itu seperti isyarat maut yang bisa saja membawa musuh langsung ke posisi mereka.

“Kita harus hapus jejak,” ujar Raka cepat.

Dengan kain darurat, ia membalut luka Nadia sekenanya. Arya dan Bima kemudian menggunakan cabang-cabang pohon untuk mengaburkan jejak darah di tanah. Gerakan mereka cepat, terlatih, nyaris otomatis. Mereka sudah terbiasa menipu mata musuh, bahkan di situasi seburuk ini.

Namun Hutan Hitam seakan memihak musuh malam itu. Suara aneh terdengar dari kejauhan—desiran langkah, hembusan napas, dan bisikan samar yang tak bisa dijelaskan.

Nadia, meski terluka, tetap bertahan. Matanya menatap lurus ke depan, wajahnya pucat namun tegas.

“Jangan pikirkan aku,” katanya. “Misi tetap jalan.”

Bima mengangguk. “Kita semua keluar hidup-hidup,” balasnya, pendek dan pasti.

Langkah mereka kembali berpacu dengan waktu. Sesekali, tembakan terdengar dari belakang, membelah kabut. Tanda bahwa pasukan pengejar semakin dekat.

Dalam situasi itu, pilihan mereka hanya satu: terus bergerak, terus bertarung, atau terjebak di dalam hutan yang akan menjadi kuburan tanpa nama.

Tak jauh di depan, samar-samar terlihat sungai kecil yang membelah hutan. Bima segera membuat keputusan cepat.

“Gunakan sungai. Air akan menghapus jejak darah.”

Mereka menceburkan diri ke dalam air yang dingin menggigit, membiarkan arus membawa mereka sejauh mungkin dari jalur pengejaran. Darah dari luka Nadia perlahan tersapu air, menyamarkan bukti kehadiran mereka.

Di tengah arus, dengan tubuh menggigil dan napas berat, Bima menatap ke langit malam.

Misi ini baru setengah jalan.
Tapi jejak darah yang mereka tinggalkan di Hutan Hitam adalah janji:
Mereka akan bertahan.
Atau mati sebagai prajurit tanpa suara.

Bab 5 – Sandera yang Berbahaya

Arus sungai membawa mereka cukup jauh dari titik pengejaran. Tubuh-tubuh lelah itu akhirnya merangkak naik ke tepi sungai, menggigil, basah, dan tetap waspada. Luka Nadia sudah mulai memburuk, tapi ia bersikeras tetap berjalan.

Mereka tak punya pilihan.

Dalam perjalanan melintasi hutan lebih dalam, mereka menemukan sesuatu yang tak terduga—sebuah kamp kecil tersembunyi di balik tebing batu. Di sana, diikat dan dijaga dua orang bersenjata, seorang pria bertubuh kurus, dengan wajah penuh luka dan mata yang menyala tajam.

Seorang tahanan.

Bima segera mengamati situasi. Dua penjaga, posisi terbuka, mudah untuk dilumpuhkan tanpa mengeluarkan suara. Tapi yang menarik perhatian bukanlah penjaganya—melainkan pria yang dirantai itu. Dia tampak… berbahaya. Bukan seperti sandera biasa.

“Aneh,” gumam Arya di saluran komunikasi internal. “Kenapa sandera dijaga ketat di tempat terpencil seperti ini?”

Bima memberikan isyarat.
Tangkap hidup-hidup.
Mungkin dia tahu sesuatu.

Dalam hitungan detik, Raka dan Arya bergerak seperti bayangan. Dua penjaga itu dilumpuhkan dengan cepat dan tanpa suara. Tak ada waktu untuk bertanya. Begitu aman, Bima mendekat ke tahanan.

Pria itu menatap mereka, tersenyum miring. “Butuh bantuan, teman-teman?” suaranya serak, namun penuh ejekan.

Bima mengerutkan kening. Ada sesuatu yang tidak beres. Pria ini tampak terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja diselamatkan.

“Kau siapa?” tanya Bima dingin.

“Aku?” Pria itu terkekeh. “Katakan saja… aku masalah yang sedang kalian bawa pulang.”

Sebelum Bima bisa bereaksi, suara letusan granat kejut mengguncang udara.

BOOM!

Tanah bergetar, pohon-pohon bergoyang. Dari balik kabut dan pepohonan, belasan prajurit musuh muncul, bersenjata lengkap, mengurung tim “Hantu Malam”.

“Ini jebakan!” teriak Raka.

Bima mengumpat dalam hati. Mereka baru sadar—tahanan ini bukan korban, melainkan umpan.

Dalam kekacauan, pria itu berhasil melepaskan diri, bergerak cepat seperti binatang buas, mengambil senjata dari salah satu penjaga yang tumbang, lalu menghilang ke dalam hutan.

“Kejar!” perintah Bima tegas.

Namun saat mereka hendak bergerak, hujan peluru membombardir dari segala arah. Tidak mungkin mengejar tanpa meninggalkan korban. Keputusan harus diambil dalam hitungan detik.

“Fokus keluar dari kepungan!” teriak Nadia, meski tubuhnya mulai melemah karena luka.

Dalam pertempuran sengit itu, mereka berjuang mati-matian. Taktik gerilya digunakan, berpindah dari satu perlindungan ke perlindungan lain. Arya melindungi tim dengan tembakan-tembakan presisi, sedangkan Raka mencari celah untuk kabur.

Mereka tahu, prioritas utama sekarang adalah bertahan hidup.

Namun jauh di lubuk hati, Bima tahu satu hal: pria tadi bukan sandera biasa. Dia membawa rahasia besar—mungkin tentang siapa dalang di balik penyergapan ini. Dan membiarkannya lolos adalah ancaman baru bagi misi mereka… dan bagi banyak nyawa lainnya.

Di balik suara tembakan dan hiruk-pikuk peperangan, satu tekad membara dalam dada Bima:

Mereka harus menemukan pria itu.
Apa pun risikonya.

Bab 6 – Pertaruhan di Tengah Malam

Malam menggantung berat di atas kepala mereka, seakan langit sendiri ikut menekan napas para pejuang “Hantu Malam”. Sisa kabut tipis masih bergelayut di antara pohon-pohon, membuat setiap sudut tampak penuh bayangan dan ancaman tersembunyi.

Tim berlindung di sebuah gua kecil di tepi jurang. Nafas mereka berat, pakaian basah dan penuh lumpur, luka Nadia semakin memburuk. Bima memeriksa kondisi mereka satu per satu, sementara pikirannya terus berputar.

Mereka dalam posisi terdesak. Peluru tersisa sedikit. Stamina menipis. Dan yang paling berbahaya: pria berbahaya yang mereka lepas kini entah di mana, mungkin sedang merencanakan langkah berikutnya.

“Kita harus bergerak sebelum fajar,” kata Bima perlahan. “Jika tidak, mereka akan menemukan kita.”

“Tapi bagaimana dengan Nadia?” Arya menimpali. “Dia tidak mungkin kuat terus berlari.”

Nadia menahan sakitnya dan berkata pelan, “Aku masih bisa bertarung.”

Bima menatapnya. Di matanya, ia melihat tekad yang tak bisa dipatahkan. Namun dia tahu, tekad saja tidak cukup di medan seperti ini.

“Kalau begitu kita bertaruh,” gumamnya.

Semua mata menoleh.

Bima menggambar rencana di atas tanah basah dengan batang kayu. Rencananya sederhana, tapi gila: mereka akan memancing musuh keluar dengan serangan palsu, sementara Raka dan Arya membawa Nadia meloloskan diri ke titik ekstraksi di sisi barat hutan.

“Ini pertaruhan,” lanjut Bima. “Kalau kita gagal, kita semua mati di sini.”

Tak ada yang mundur. Ini bukan hanya soal hidup atau mati. Ini soal menyelesaikan misi… dan menjaga janji satu sama lain untuk kembali hidup-hidup.

Tengah malam, langit masih diselimuti awan tebal. Bima dan Raka mulai bergerak, meninggalkan jejak buatan di sepanjang jalur selatan. Suara pecahan ranting, pantulan cahaya kecil, semua diatur untuk memancing perhatian musuh.

Dan berhasil.

Suara langkah kaki, lalu teriakan dalam bahasa asing, menggelegar di kegelapan. Pasukan musuh menyebar, mengejar umpan.

Sementara itu, Arya, dengan Nadia di pundaknya, bergerak melintasi jalur rahasia menuju sungai tua yang mengarah ke zona aman.

Tetapi seperti yang sering terjadi dalam misi, segalanya tidak pernah semudah rencana.

Tiba-tiba, dari balik semak, sosok pria berwajah penuh luka itu muncul—sandera berbahaya yang tadi mereka lepaskan. Kini, ia membawa pistol otomatis, dan menodongkan langsung ke arah Arya dan Nadia.

“Kukira kita sudah berpisah,” gumam pria itu, senyumnya licik.

Arya memutar otak cepat. Dengan satu tangan menopang Nadia, satu tangan lagi perlahan mengarah ke pistol di pinggangnya.

Pertaruhan lain dimulai.
Lebih berbahaya.
Lebih pribadi.

“Aku tidak suka dikhianati,” lanjut pria itu. “Tapi aku akan berbaik hati. Letakkan senjata kalian… dan mungkin aku membiarkan kalian hidup.”

Arya menatap Nadia yang setengah sadar, lalu kembali menatap si pria.

Keputusan harus dibuat dalam sekejap.
Satu tembakan.
Satu kesempatan.

Di tengah ketegangan, suara tembakan meledak—namun bukan dari pistol Arya.

Dor!

Pria itu terhuyung, darah mengucur dari bahunya. Dari balik bayangan, Raka muncul, senapannya berasap.

“Jangan pernah mengancam keluargaku,” desis Raka dingin.

Arya segera menyeret Nadia melewati tubuh pria yang terkapar, sementara Bima dan Raka melindungi jalur belakang. Waktu mereka tidak banyak, musuh yang lain pasti segera menyusul.

Dalam gelapnya malam, di bawah tekanan maut, “Hantu Malam” mempertaruhkan segalanya—keberanian, kekuatan, bahkan hidup mereka—demi satu tujuan: menyelesaikan misi, dan membawa pulang semua orang.

Entah mereka akan berhasil…
Atau malam ini menjadi malam terakhir mereka.

Bab 7 – Komando Terkepung

Desiran angin malam menyapu wajah mereka, membawa aroma tanah basah dan kabut tebal yang masih meliputi hutan. Di tengah hutan yang sepi, terdengar langkah kaki yang teredam, namun di dalam hati setiap anggota tim, ada detak yang berdebar keras. Mereka berada dalam posisi yang sulit. Kekuatan mereka terkuras habis, dan sekarang, mereka hanya bisa bertahan—atau mati mencoba.

Bima berdiri di depan gua, matanya tajam menatap ke arah perbatasan hutan. Suara tembakan semakin dekat, mengintai dari segala arah. Mereka sudah dikepung. Tidak ada jalan mundur.

“Ke mana sekarang, Kapten?” tanya Arya, suaranya penuh ketegangan. “Apakah kita bisa lolos dari sini?”

Bima menatap langit yang gelap, seolah meminta petunjuk. Mereka berada di titik paling kritis. Pasukan musuh yang mengejar mereka sudah menyebar, siap membanjiri setiap titik keluar dari hutan ini.

“Satu-satunya pilihan adalah bertahan,” jawab Bima pelan, namun tegas. “Kita buat jebakan, dan tunggu saat yang tepat untuk keluar.”

Raka melangkah ke sisi Bima, matanya berbinar dengan semangat juang yang tak surut. “Aku akan memimpin serangan balik,” katanya dengan nada penuh keyakinan. “Kita akan menggunakan medan ini untuk keuntungan kita.”

Bima mengangguk, merasa yakin dengan keputusan itu. Raka adalah orang yang tepat untuk memimpin serangan mendalam—cepat, efektif, dan penuh taktik.

Namun, satu hal yang mengusik pikiran Bima. Mereka bukan hanya dikepung oleh musuh yang tangguh, tetapi juga oleh seorang pengkhianat yang ada di dalam tim mereka. Pria berbahaya yang mereka lepas, sandera yang berubah menjadi ancaman, pasti telah memberi informasi kepada pihak musuh tentang posisi mereka.

“Dengar,” kata Bima, menatap anggota timnya satu per satu. “Kita hadapi musuh bersama, jangan saling curiga. Fokus pada misi kita.”

Namun, meski kata-katanya meyakinkan, Bima tak bisa menahan rasa khawatir yang semakin menekan. Siapa pun yang berada di dalam tim ini bisa saja memiliki agenda tersembunyi. Mereka harus bertindak cepat, atau semuanya akan berakhir.

Suasana tegang semakin mencekam saat mereka mempersiapkan diri. Senjata mereka sudah terpasang, peluru sudah terisi, dan langkah demi langkah mereka bergerak menyusuri lorong hutan. Mereka menyiapkan jebakan dengan cermat—ranting pohon yang patah, tanah yang ditumpahkan, serta aliran sungai yang disembunyikan oleh kabut. Semua ini dirancang untuk memecah perhatian musuh.

Waktu semakin mendekat.

Ketika pasukan musuh akhirnya terlihat, bayang-bayang mereka muncul dari balik pepohonan. Tembakan pertama pun terdengar. Dentuman yang memekakkan telinga. Tak ada lagi jalan mundur. Semua yang ada di hadapan mereka adalah medan pertempuran yang tak bisa dihindari.

“Arahkan tembakan ke kiri! Sediakan penutup di kanan!” teriak Raka, mengatur posisi mereka dengan sigap.

Pertempuran pecah. Ledakan granat menghancurkan pohon-pohon besar yang berdiri kokoh. Suara tembakan bersahutan, memecah kesunyian malam. Anggota tim “Hantu Malam” bergerak cepat, menyusup melalui hutan yang semakin padat dengan asap dan api.

Bima berdiri di tengah, matanya mengawasi setiap gerakan pasukan musuh. Setiap detik adalah keputusan hidup atau mati. Namun ada satu hal yang tak bisa dia abaikan—suara pelan yang datang dari belakang, suara langkah yang terlalu hati-hati.

Sosok itu muncul.
Pria berbahaya yang mereka lepaskan.

Ia datang dengan senjata di tangan, menatap Bima dengan tatapan penuh kebencian.

“Kau pikir aku akan membiarkanmu melarikan diri begitu saja?” katanya, suaranya dipenuhi amarah.

Tanpa peringatan, ia mengarahkan senjata ke arah Bima. Namun, sebelum ia bisa menembak, Raka sudah melompat, menumbangkan pria itu dengan satu pukulan keras. “Tidak ada tempat untuk pengkhianat di sini,” ujar Raka dengan suara berat.

Bima memandangnya, merasa lega namun tak bisa membiarkan emosi menguasai. Mereka masih dalam perang. Dan musuh yang sesungguhnya masih mengintai di luar sana.

“Fokus,” kata Bima. “Kita masih hidup, tapi hanya untuk beberapa detik lagi.”

Bima memimpin mereka kembali ke titik jebakan, menunggu untuk menyerang balik. Dalam keadaan terkepung ini, hanya ada satu pilihan—perang habis-habisan. Mereka tak bisa mundur. Tidak ada ruang untuk kegagalan.

Dengan posisi semakin terjepit, Bima tahu satu hal: ini adalah titik kritis bagi mereka semua. Jika mereka tidak bertindak sekarang, mereka akan dihancurkan satu per satu.

Dan dalam hati Bima, ada satu pertanyaan yang terus menggema:

Apakah mereka bisa bertahan hidup, atau malah terjebak dalam bayang-bayang maut yang semakin mendekat?

Bab 8 – Kode Merah

Ketegangan semakin memuncak di setiap sudut hutan. Kabut tipis yang sebelumnya menggantung kini mulai terkoyak, memberi ruang bagi cahaya bulan yang pucat untuk menembus hutan gelap. Setiap langkah, setiap gesekan ranting, bahkan hembusan angin yang ringan terasa seperti ancaman yang datang begitu cepat. Pasukan musuh semakin dekat, dan tak ada lagi jalan mundur.

Bima berdiri di depan peta yang terbentang di atas batu besar, meneliti jalur yang mereka rencanakan untuk keluar dari kepungan ini. Gambar peta yang sedikit kabur karena air hujan tak menghentikan tekadnya. Dalam diam, ia tahu bahwa waktu mereka semakin sedikit.

“Rencana tetap sama,” ujar Bima kepada timnya, suaranya penuh ketegasan. “Kita perlu bergerak ke titik ekstraksi dan pastikan kita sampai dalam waktu yang tepat.”

Tangan Bima gemetar sedikit. Bukan karena ketakutan, tetapi karena rasa tanggung jawab yang berat. Ini adalah misi yang sangat berbahaya. Mereka bukan hanya melawan musuh yang lebih kuat, tetapi juga berhadapan dengan tekanan yang datang dari dalam diri mereka sendiri.

Nadia, meski masih terguncang oleh luka-lukanya, menyentuh bahu Bima. “Kita akan berhasil, Kapten. Aku percayakan padamu,” katanya dengan suara yang berat namun penuh keyakinan.

Bima menatapnya, mengangguk. Dia tahu bahwa tidak hanya kehidupan tim yang dipertaruhkan, tetapi juga sesuatu yang lebih besar—keamanan seluruh wilayah yang mungkin terancam oleh misi ini.

Namun, saat ia hendak berbicara, suara static yang datang dari saluran komunikasi menginterupsi.

“Kode Merah, Kapten.”

Itu suara suara dari pusat komando. Kode Merah—peringatan tingkat tertinggi yang menunjukkan bahwa situasi telah berubah menjadi sangat kritis. Pesan singkat ini, meskipun disampaikan tanpa banyak kata, sudah cukup membuat suasana di antara tim semakin mencekam.

“Kode Merah…” suara Arya terdengar khawatir. “Artinya musuh tahu keberadaan kita. Mereka sudah mengunci setiap titik keluar.”

Bima merasakan ada yang salah. Kode Merah bukan sekadar peringatan biasa. Itu adalah tanda bahwa pasukan musuh mungkin sudah mendapatkan informasi tentang posisi mereka, atau bahkan lebih buruk—pihak yang lebih besar di balik organisasi ini telah turun tangan.

“Sekarang kita punya dua pilihan,” ujar Bima, berusaha tetap tenang. “Tunggu dan berharap bantuan datang, atau kita terus maju dengan apa yang kita punya.”

Raka menatap Bima dengan serius. “Kita tak punya waktu untuk menunggu. Jika mereka tahu keberadaan kita, kita akan terjepit.”

“Aku setuju,” kata Nadia. “Lebih baik kita menyerang lebih dulu.”

Bima mengangguk, perasaan gelisah di dadanya semakin dalam. Keputusan ini bisa berarti hidup atau mati. Mereka harus bertindak cepat sebelum musuh semakin mengepung.

Di bawah malam yang semakin pekat, mereka bergerak dengan cepat, berusaha memanfaatkan setiap bayangan untuk menyembunyikan jejak mereka. Setiap langkah diambil dengan hati-hati, namun rasa cemas tetap menggelayuti pikiran Bima. Jika informasi tentang keberadaan mereka sudah bocor, maka bukan hanya tim ini yang terancam—seluruh misi ini bisa berakhir dengan kegagalan besar.

“Saatnya untuk bertindak,” kata Bima akhirnya, suaranya tak lebih dari bisikan yang tajam.

Dengan instruksi itu, mereka bergegas menuju titik ekstraksi, namun tak lama kemudian, suara tembakan yang menggema di sekitar mereka mengonfirmasi apa yang sudah mereka duga. Musuh mulai bergerak. Mereka tak hanya terkepung—mereka sudah berada dalam pertempuran hidup dan mati.

Ledakan granat dari belakang memecah ketenangan malam, mengguncang tanah dan mengirimkan debu serta serpihan batu beterbangan. Tanpa peringatan, sekelompok tentara musuh muncul di tengah jalur yang mereka tempuh, berbaris dengan senjata terarah.

Bima tidak bisa lagi menunggu. Ia memberi isyarat, dan seketika itu juga, serangan balik dimulai.

“Dengan penuh perhitungan!” teriak Bima melalui saluran komunikasi. “Jangan beri mereka ruang!”

Pertempuran kembali meletus dengan hebat. Tembakan saling bersahutan, peluru menggores tanah, dan ledakan granat bergema di udara. Arya, dengan kecepatan luar biasa, melompat ke posisi yang lebih tinggi untuk memberikan dukungan tembakan, sementara Raka dengan lihai melumpuhkan musuh satu per satu, mengandalkan taktik gerilya yang sudah mereka kuasai.

Namun, meski mereka berusaha keras, satu hal yang semakin jelas: Kode Merah itu lebih dari sekadar peringatan—itu adalah pengingat bahwa waktu mereka semakin habis. Mereka harus keluar, dan mereka harus keluar sekarang.

“Gerak cepat, kita tidak bisa berlama-lama di sini!” Bima menginstruksikan, tak lagi memberi ruang bagi keraguan. “Semua, ikuti aku!”

Dengan penuh keberanian dan tekad, mereka mulai bergerak menuju titik ekstraksi yang semakin jauh, melawan gempuran musuh yang kian mendekat. Setiap detik adalah pertaruhan. Setiap langkah bisa menjadi langkah terakhir mereka.

Namun di dalam hati Bima, ada satu hal yang tidak bisa dia lepaskan: siapa yang benar-benar mengendalikan permainan ini? Dan mengapa kode Merah dikirimkan begitu cepat? Jawaban itu, ia tahu, hanya bisa ditemukan di garis akhir misi ini—dan dengan harga yang sangat mahal.

Bab 9 – Serangan Tiga Arah

Angin malam yang dingin menyapu wajah Bima, seolah mencoba menyadarkan dia dari ketegangan yang membelit sekujur tubuh. Di hadapannya, langit yang gelap dipenuhi dengan awan mendung, menambah suasana mencekam di medan pertempuran. Detik-detik berlalu terasa begitu lama, sementara ketegangan yang mencekam semakin merasuk ke dalam diri setiap anggota tim.

Musuh sudah terdeteksi, dan mereka tidak hanya bergerak dari satu arah. Seperti yang Bima duga, mereka sekarang berada di tengah-tengah serangan tiga arah—dari kiri, kanan, dan depan. Strategi musuh yang begitu cerdas membuat tim Bima terpojok di tengah hutan, dengan sedikit ruang untuk bergerak.

“Serangan datang dari segala arah. Kita harus memecah perhatian mereka,” kata Bima dengan suara tegas, meski di dalam hatinya ada kecemasan yang sulit disembunyikan.

Arya memeriksa kembali senjatanya, matanya tak pernah lepas dari titik-titik musuh yang mulai muncul di antara pepohonan. “Satu-satunya cara untuk selamat adalah dengan membagi mereka. Kita serang balik dengan serangan tak terduga.”

Bima mengangguk, menyadari bahwa Raka, yang sudah berada di titik pengawasan, harus segera melakukan tugasnya. Dalam misi seperti ini, setiap detik sangat berharga. Mereka harus bekerja lebih cepat dari biasanya.

“Raka, arahkan seranganmu ke kiri. Nadia, siapkan granat di sebelah kanan. Kita akan membuat mereka bingung, memecah formasi mereka!” perintah Bima dengan cepat. “Dan aku, akan mengatur serangan utama dari depan.”

Rencana sudah ditetapkan. Namun, Bima tahu ini adalah permainan yang berisiko. Jika satu sisi gagal, maka semuanya akan hancur. Tetapi dia tidak punya pilihan lain. Mereka harus keluar dari sini, dengan atau tanpa bantuan.

Suara tembakan pertama pecah, memecah keheningan malam. Ledakan pertama mengguncang tanah, menggulung ke dalam hutan seperti gelombang yang tak terbendung. Itu adalah isyarat—perang sudah dimulai.

“Kita bergerak!” teriak Bima, memberi komando untuk memulai pertempuran.

Sementara itu, Raka, dengan kecepatan luar biasa, melesat menuju titik kiri, menyusup dengan sempurna di antara pepohonan. Dengan senapan sniper di tangan, ia sudah memposisikan diri untuk menyerang pasukan musuh dari kejauhan. Setiap bidikan yang dilepaskan adalah potongan teka-teki yang menyusun kekalahan pasukan musuh.

Di sisi lain, Nadia bergerak dengan sigap. Granat yang dibawanya siap digunakan untuk menghancurkan formasi musuh yang semakin mendekat. Dengan sebaran tembakan yang tidak terduga, dia berhasil mengguncang musuh dari sisi kanan, membuat mereka ragu-ragu untuk melanjutkan serangan. Ledakan granat itu memekakkan telinga, menghalau musuh yang semula mengira mereka bisa menguasai medan.

Bima tak tinggal diam. Dengan posisi di tengah-tengah, ia bergerak maju, memimpin serangan langsung ke pasukan musuh yang mencoba menghimpit mereka. Setiap langkah penuh perhitungan. Di balik pohon, ia berhenti sejenak untuk memberi perintah melalui komunikasi.

“Jaga jarak! Jangan beri mereka kesempatan untuk bergerak bebas!” teriaknya, memandu langkah timnya agar tetap dalam formasi yang rapat.

Serangan dari tiga arah mulai memecah formasi musuh, namun hal itu juga membuat pasukan musuh semakin marah. Mereka mulai bergerak dengan agresif, mencoba melawan balik dengan kekuatan penuh.

Dalam keramaian itu, Bima merasakan ketegangan semakin meningkat. Mereka tak hanya berhadapan dengan musuh yang tangguh, tetapi dengan sistem pertahanan yang canggih. Musuh sudah siap dengan jebakan-jebakan yang disiapkan di sepanjang jalan keluar mereka. Tidak ada yang bisa dianggap remeh.

Ketika Bima merunduk di balik sebuah batu besar, ia melihat sebuah bayangan bergerak dengan cepat di hadapannya—seorang pemimpin pasukan musuh. Orang ini bukan sembarang tentara. Ia jelas memiliki pengalaman bertempur yang lebih banyak, dan itu membuat Bima semakin berhati-hati.

“Pimpin serangan balik!” teriak pemimpin musuh, memberi komando kepada pasukannya.

Bima segera menyadari bahwa mereka sedang menghadapi musuh yang lebih terlatih. Strategi serangan tiga arah ini mungkin bukan hanya untuk mengecoh mereka, tetapi untuk menunggu saat yang tepat—saat Bima dan timnya terperangkap dalam cengkraman yang tak bisa lepas.

“Gawat, mereka mulai mempersempit jarak!” teriak Arya dari titik pengawasan.

Bima menggertakkan gigi, matanya menyala penuh tekad. Tidak ada waktu untuk mundur. Ini adalah titik kritis, dan mereka harus bertahan.

“Raka! Gerakkan seranganmu ke titik utama, sekarang!” perintah Bima.

Raka, yang sudah berada di posisi strategis, merespons dengan cepat. Ia memimpin tembakan sniper dengan presisi yang luar biasa, menembus formasi musuh yang semakin padat. Setiap tembakan adalah pesan bagi pasukan musuh bahwa mereka tidak akan mudah ditundukkan.

Di sisi lain, Nadia mengarahkan serangan terakhir dengan sebuah granat berdaya ledak tinggi. Ledakan besar mengguncang tanah, memecah barisan musuh yang semakin rapat. Namun, Bima tahu ini bukan kemenangan—hanya pertempuran kecil yang dimenangkan dalam perang yang lebih besar.

Musuh mulai mundur, berusaha mengatur kembali posisi mereka. Tetapi Bima sadar, ini hanya taktik sementara. Mereka harus segera keluar dari hutan ini atau pasukan musuh akan kembali dengan kekuatan lebih besar.

“Gerak cepat, kita tidak punya banyak waktu!” teriak Bima. “Jalan keluar sudah dekat!”

Serangan tiga arah itu bukan hanya ujian fisik, tetapi juga ujian psikologis. Setiap anggota tim harus bertahan—untuk diri mereka, dan untuk misi yang lebih besar yang menanti di luar sana. Ketika mereka bergerak cepat menuju titik ekstraksi, setiap langkah menjadi lebih berat. Mereka harus bertahan, apapun yang terjadi.

Bab 10 – Kebenaran yang Tersembunyi

Di bawah cahaya rembulan yang redup, hutan yang sebelumnya dipenuhi dengan suara pertempuran kini sunyi. Hanya desiran angin yang menyusuri dedaunan yang terdengar. Di tengah kesunyian itu, Bima berdiri memandangi peta yang baru saja dia dapatkan dari pusat komando. Peta itu terlihat biasa saja, namun di dalamnya tersembunyi sesuatu yang jauh lebih besar—sebuah petunjuk yang mungkin bisa mengubah arah misi ini.

Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Setelah serangan tiga arah yang memecah formasi musuh, mereka berhasil merebut satu titik strategis. Namun, itu bukan kemenangan mutlak. Masih ada banyak hal yang belum mereka pahami, dan setiap keputusan yang diambil membawa konsekuensi yang lebih berat.

“Bima…” Nadia mendekat, suara beratnya menggantung di udara malam. “Ada sesuatu yang perlu kamu ketahui.”

Bima menoleh, dan melihat ketegangan yang terukir jelas di wajah Nadia. Ada yang tidak beres—sesuatu yang lebih gelap dari sekadar misi ini. Bima tahu bahwa seorang prajurit seperti Nadia tidak akan berbicara begitu kecuali ada sesuatu yang benar-benar mengganggu pikirannya.

“Apa yang kamu maksud?” tanya Bima dengan hati-hati.

Nadia terdiam sejenak, seolah mengumpulkan kata-kata yang tepat untuk diucapkan. “Aku menemukan sebuah informasi… yang tidak seharusnya ada di antara dokumen misi kita. Ini bukan hanya tentang musuh yang kita hadapi, Bima. Ini lebih dari itu.”

Bima menatapnya tajam, merasa ada sesuatu yang sangat penting yang hampir terlupakan. Semua ini—semua misi ini—bukan hanya sekedar tentang melawan musuh di lapangan, tetapi ada sesuatu yang lebih besar yang tersembunyi di balik layar. Sesuatu yang mungkin akan mengubah pandangannya tentang apa yang sedang mereka perjuangkan.

“Apa yang kamu temukan?” tanya Bima, suaranya lebih tegas.

Nadia membuka map kecil yang ia pegang dan menunjukkannya pada Bima. Di dalam map itu terdapat sebuah dokumen yang terlipat rapi, namun isinya sangat mencurigakan. Peta yang tampaknya biasa saja, namun dengan beberapa koordinat yang tidak sesuai dengan laporan misi yang diberikan.

“Ini adalah lokasi yang tidak ada dalam briefing kita. Tidak ada yang memberitahukan tentang tempat ini. Tetapi berdasarkan kode yang ada di peta ini, sepertinya lokasi ini adalah markas utama mereka.”

Bima menyimak dengan seksama, setiap detail peta itu semakin membingungkan. Lokasi yang ditunjukkan adalah sebuah tempat yang jauh di luar jangkauan misi yang telah disusun sebelumnya. Bima mulai merasakan ketegangan yang luar biasa di dadanya.

“Kenapa kita tidak diberi informasi tentang ini?” tanya Bima, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Nadia.

Nadia menggelengkan kepala, matanya berkilat tajam. “Itulah yang aku takuti. Ada sesuatu yang besar di balik ini, Bima. Aku curiga ada pihak dalam organisasi kita yang terlibat dalam permainan ini. Mereka mengatur misi kita, tapi tidak memberikan kita informasi yang lengkap.”

Bima merasa sebuah perasaan tidak menyenangkan menjalar dalam dirinya. Sebuah pertanyaan menggantung di benaknya: Apakah ini semua hanya sebuah permainan yang lebih besar yang sedang dimainkan oleh orang-orang yang seharusnya melindungi negara?

Ketika Bima dan Nadia kembali ke tempat perkemahan sementara, suasana semakin tegang. Pasukan musuh yang tersisa mulai mundur, namun ada sesuatu yang terasa aneh. Ada semacam kekosongan di udara. Seolah ada sesuatu yang sangat buruk akan terjadi dalam waktu dekat.

Raka dan Arya sudah siap dengan peralatan mereka, tetapi jelas terlihat bahwa mereka juga merasakan ketegangan yang semakin memuncak. Bima tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Ia harus menemukan jawabannya.

“Arya, Raka, kumpulkan semua informasi yang kalian punya,” kata Bima dengan suara serius. “Ada sesuatu yang jauh lebih besar dari misi ini yang sedang terjadi. Kita harus menggali lebih dalam.”

Raka mengangguk, wajahnya serius. “Aku sudah mendapat beberapa informasi dari intelijen, Kapten. Tapi ini… ini bisa merusak segalanya.”

Arya, yang sebelumnya tampak tenang, kini menunjukkan ekspresi yang berbeda. “Bima, kita perlu tahu siapa yang mengendalikan semua ini. Apa yang sedang terjadi di balik semua perintah ini?”

Bima menatap timnya. Mereka bukan hanya menghadapi pasukan musuh di lapangan. Mereka juga berhadapan dengan bayang-bayang kekuatan yang lebih besar—sebuah permainan yang dimainkan oleh tangan-tangan tersembunyi, yang mungkin sudah mengatur setiap langkah mereka.

“Apa yang sebenarnya terjadi di sini?” tanya Bima dengan penuh kebingungan, namun juga tekad. “Jika kita tidak segera menemukan jawabannya, kita semua akan terjebak dalam permainan yang lebih berbahaya daripada yang kita bayangkan.”

Di tengah kegelapan yang menyelimuti perkemahan mereka, Bima merasakan kebenaran itu semakin dekat. Tidak ada lagi ruang untuk keraguan. Mereka harus menyingkap misteri ini, bahkan jika itu berarti mereka harus menghadapi kebenaran yang tak pernah mereka duga sebelumnya.

Serangan yang mereka hadapi, musuh yang mereka lawan, dan bahkan tim mereka sendiri—semua itu adalah bagian dari puzzle yang lebih besar. Dan jika mereka gagal mengungkapkannya, maka semua yang telah mereka perjuangkan akan sia-sia. Kebenaran yang tersembunyi ini, meski menakutkan, harus diungkap, atau mereka akan terperangkap dalam kebohongan yang lebih besar dari apapun yang pernah mereka bayangkan.

Bima menghela napas, merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Tidak ada jalan mundur lagi.

Bab 11 – Perang di Antara Bayangan

Hutan yang sebelumnya terasa seperti tempat perlindungan kini berubah menjadi medan pertempuran yang penuh ancaman. Kegelapan malam menyelimuti setiap langkah, sementara angin yang berhembus membawa bau tanah basah yang memekakkan indera. Bima tahu, di antara bayangan pohon yang lebat, musuh sedang mengintai. Mereka tidak hanya bersembunyi di balik pohon, tetapi di dalam setiap sudut kegelapan yang ada.

“Jangan lupakan, kita tidak sendirian di sini,” bisik Nadia, suaranya hampir tak terdengar di tengah malam yang hening. “Musuh tidak akan memberi kita kesempatan untuk beristirahat.”

Bima mengangguk, matanya tajam menatap ke depan, mencari tanda-tanda gerakan yang mencurigakan. Tim mereka telah berada di titik ini terlalu lama, dan meskipun mereka telah meraih beberapa kemenangan kecil, Bima tahu bahwa perang ini lebih dari sekadar pertempuran fisik. Ini adalah perang di antara bayangan—sebuah permainan yang dimainkan dalam kegelapan, di mana siapa pun bisa menjadi musuh, dan siapa pun bisa menjadi teman.

Kaki Bima melangkah perlahan, setiap gerakan terhitung. Timnya bergerak dengan penuh kehati-hatian, berusaha untuk tidak menarik perhatian pasukan musuh yang tersebar di sekitar mereka. Namun, meskipun mereka telah terbiasa dengan ketegangan ini, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang terasa lebih gelap.

“Ada yang tidak beres,” gumam Raka, matanya memindai setiap sudut dengan cermat. “Aku merasa seperti sedang diawasi.”

“Jangan panik, kita masih dalam kendali,” jawab Bima dengan suara tenang, meskipun hatinya tidak sepenuhnya yakin. “Tetap waspada, kita akan sampai di titik ekstraksi dengan selamat.”

Namun, perasaan tidak nyaman itu semakin mengganggu Bima. Seiring berjalannya waktu, dia mulai merasakan bahwa bukan hanya musuh yang harus dihadapi, tapi juga ketidakpastian yang menyelimuti langkah mereka. Siapa yang sebenarnya mengendalikan permainan ini? Dan apa tujuan akhir mereka?

Tiba-tiba, suara ledakan keras menggema dari sisi kanan, disusul dengan tembakan bertubi-tubi. Tim Bima segera membalas dengan senapan mereka, namun ledakan itu tidak hanya mengarah pada mereka. Itu adalah tanda—sebuah peringatan bahwa musuh sedang mendekat dengan kekuatan penuh.

“Posisi mereka terlalu kuat!” teriak Arya, yang sudah mulai memberi perlawanan.

Bima mengangkat tangan, memberi isyarat untuk berhenti. Mereka harus mengatur strategi dengan cepat. Meskipun mereka telah terbiasa bertempur di bawah tekanan, kali ini mereka dihadapkan pada musuh yang lebih terorganisir. Serangan mereka sangat terkoordinasi, seolah mereka sudah tahu setiap langkah yang akan diambil.

“Ada yang salah, Bima,” ujar Nadia, suaranya terengah-engah. “Mereka sepertinya tahu persis posisi kita.”

Bima mengerutkan kening. Itu tidak mungkin. Tim mereka telah bergerak dengan sangat hati-hati, menjaga setiap langkah. Tidak ada cara musuh bisa melacak mereka begitu akurat, kecuali… kecuali ada seseorang di dalam tim mereka yang membocorkan informasi.

Dia menatap Nadia, Raka, dan Arya, berusaha mencari tanda-tanda kecurangan di antara mereka. Tidak ada yang mencurigakan, namun perasaan tak tenang itu semakin kuat. Ini adalah perang yang tidak hanya melibatkan senjata, tetapi juga kepercayaan. Kepercayaan yang kini mulai retak di antara mereka.

“Semua, kita harus bergerak cepat. Ini bukan hanya pertempuran biasa,” perintah Bima dengan nada serius. “Kita berada di medan yang lebih berbahaya dari yang kita kira.”

Namun, sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, sebuah bayangan gelap melintas di antara pohon-pohon yang tinggi. Hanya dalam sekejap, satu per satu, pasukan musuh muncul dari kegelapan. Mereka mengenakan pelindung tubuh yang hampir tak terlihat, berbaur dengan bayangan di malam hari.

“Siap-siap!” teriak Raka, yang sudah siap dengan sniper di tangan.

Tembakan pertama menyambar, menembus udara yang hening, menghancurkan keheningan malam yang mencekam. Ledakan itu menggetarkan bumi, dan Bima tahu bahwa ini adalah tanda—musuh tidak akan memberi ampun. Pertempuran ini akan menentukan apakah mereka akan bertahan atau kalah.

Namun, di balik serangan yang berlangsung sengit itu, Bima merasakan kehadiran seseorang—seorang pemimpin pasukan musuh yang sangat berpengalaman. Dengan langkah yang penuh perhitungan, pemimpin itu memimpin pasukannya, seolah dia tahu setiap langkah yang akan diambil tim Bima.

Bima menyadari sesuatu yang mengejutkan: mereka tidak hanya bertempur melawan pasukan musuh yang kuat, tetapi juga melawan seorang taktik ahli yang memiliki pemahaman luar biasa tentang medan pertempuran ini. Perang ini sudah menjadi permainan antara bayangan, di mana setiap langkah mereka dapat menjadi langkah terakhir.

“Arya, Raka, fokus pada pemimpin musuh. Kita harus menghentikan mereka sebelum semuanya terlambat,” perintah Bima dengan suara yang tegas.

Bima, bersama dengan timnya, bergerak maju dengan cepat, berusaha mengecoh musuh dengan manuver yang mereka kuasai. Setiap tembakan yang dilepaskan adalah bagian dari strategi untuk mengguncang formasi musuh, namun Bima tahu, ini lebih dari sekadar tembakan biasa. Ini adalah perang psikologis—memecah kepercayaan musuh, dan mengendalikan alur pertempuran.

Saat Bima berhasil mendekat, ia melihat pemimpin musuh di balik barisan pasukannya. Wajahnya tersembunyi di balik helm yang gelap, namun Bima bisa merasakan ketajaman tatapannya—sebuah tatapan yang seakan bisa melihat ke dalam dirinya, mengungkapkan setiap keraguan yang ada.

Bima menekan pelatuk senjatanya, dan sebuah peluru melesat tepat mengenai sasaran—hanya dalam sekejap, pemimpin musuh itu jatuh tersungkur. Namun, meskipun musuh mereka kehilangan pemimpin, Bima tahu bahwa perang ini masih jauh dari selesai.

“Ini belum berakhir,” gumam Bima, menatap langit yang semakin gelap.

Perang ini adalah perang di antara bayangan—pertempuran di luar dan dalam, melawan musuh yang tak terlihat dan ketidakpastian yang semakin menambah ketegangan di hati. Bima tahu, tidak ada jalan pulang yang mudah. Mereka harus terus bergerak maju, menghadapi segala bahaya yang mengintai dari kegelapan yang tak pernah tidur.

Bab 12 – Pelarian Terakhir

Langit yang mulai memudar menjadi kelabu. Awan-awan gelap bergulung di atas mereka, seolah alam sendiri turut merasakan ketegangan yang melanda pasukan Bima. Di tengah pertempuran yang sudah berlangsung berhari-hari, tak ada lagi ruang untuk kesalahan. Setiap langkah mereka kini adalah langkah menuju kemungkinan pelarian yang semakin sempit.

Bima berdiri di atas bukit kecil, menatap ke bawah. Di kejauhan, kamp musuh terlihat jelas. Mereka telah dikepung dari segala arah. Setiap gerakan, setiap langkah harus penuh perhitungan. Tidak ada waktu lagi untuk ragu. Ini adalah pelarian terakhir mereka.

“Nadia, bagaimana situasinya?” tanya Bima, suaranya datar, tetapi ada ketegangan yang tersembunyi di baliknya.

Nadia, yang duduk di sampingnya dengan tatapan tajam, mengintip ke bawah melalui teropong. “Mereka semakin dekat. Aku rasa kita hanya punya satu jalan keluar. Jika kita tidak bergerak sekarang, mereka akan mengepung kita sepenuhnya.”

Bima mengangguk, matanya beralih ke peta yang terbuka di hadapannya. Jalur yang mereka pilih sebelumnya telah terpotong, dan kini, satu-satunya cara untuk keluar adalah melalui hutan yang terletak jauh di selatan. Tetapi perjalanan itu bukan tanpa bahaya. Hutan itu dikenal sebagai tempat yang sering kali menjadi jebakan bagi mereka yang tidak tahu cara melewatinya.

“Ini bukan hanya soal bertahan hidup lagi,” gumam Bima, lebih kepada dirinya sendiri. “Ini soal menghindari kegelapan yang semakin mendekat. Jika kita gagal, kita akan terperangkap di dalamnya.”

“Jangan khawatir, Kapten,” sahut Arya, yang tiba-tiba muncul di samping mereka. “Kami akan memastikan rencana berjalan lancar. Kita bisa melakukannya.”

Namun, meskipun kata-kata itu terdengar penuh keyakinan, Bima tahu bahwa mereka tak akan pernah benar-benar siap. Musuh sudah begitu dekat, dan tidak ada jalan mundur. Pelarian terakhir ini bukan hanya tentang melarikan diri dari pasukan musuh, tetapi juga dari kebenaran yang semakin terungkap—kebenaran yang selama ini disembunyikan oleh pihak-pihak yang seharusnya melindungi mereka.

“Segera bersiap,” perintah Bima, matanya menyapu ke arah seluruh timnya. “Kita tidak punya banyak waktu. Jika kita ingin selamat, kita harus bergerak sekarang.”

Dengan cepat, pasukan Bima mempersiapkan peralatan mereka. Setiap anggota tim tahu bahwa ini adalah langkah terakhir. Jika mereka gagal, tak ada lagi yang akan bisa mereka lakukan. Mereka harus keluar dari perburuan ini, atau mereka akan terjebak selamanya di dalamnya.

Seiring dengan langkah pertama yang mereka ambil, Bima bisa merasakan ketegangan yang membekap. Setiap suara daun yang terinjak, setiap langkah yang terjaga, seolah membawa mereka semakin dekat dengan ujung dari perjalanan ini. Tidak ada ruang untuk kesalahan. Jika mereka membuat satu kesalahan, itu bisa menjadi akhir dari segalanya.

Namun, justru di saat ketegangan paling tinggi itulah, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Ledakan keras mengguncang bumi, memecah keheningan yang sempat tercipta. Bima dan timnya langsung bersembunyi di balik batu besar, mengintip dengan cemas ke arah sumber suara. Dari balik pohon-pohon besar, tampak sebuah helikopter musuh melintas, berputar-putar di udara, mencari mereka.

“Mereka sudah menunggu kita,” bisik Raka, suaranya penuh ketegangan.

Bima menggigit bibir bawahnya. Helikopter itu adalah tanda bahwa pasukan musuh tidak hanya berada di darat, tetapi mereka juga menguasai udara. Pelarian terakhir ini semakin sulit. Kini, mereka harus berjuang untuk bertahan hidup, melawan tidak hanya pasukan yang mengepung, tetapi juga teknologi yang memudahkan musuh untuk melacak mereka.

“Rencana kita tidak berubah,” kata Bima dengan tegas. “Kita ambil rute hutan, terus bergerak ke arah selatan. Jika kita bisa sampai ke titik ekstraksi, kita masih punya peluang.”

Namun, saat mereka mulai bergerak, situasi semakin sulit. Setiap kali mereka melangkah, mereka merasa seperti ada mata yang terus mengawasi. Helikopter musuh semakin dekat, dan suara mesinnya yang menggema semakin menambah ketegangan. Ini bukan hanya pelarian—ini adalah perlombaan dengan waktu.

“Ke kiri!” perintah Bima dengan cepat, mengubah arah mereka begitu melihat sebuah jebakan di depan mereka—sebuah barikade yang sengaja dipasang untuk memerangkap siapa pun yang mencoba melarikan diri.

Namun, tidak hanya jebakan fisik yang mengancam mereka. Di dalam kegelapan malam, musuh mereka semakin pintar. Seorang tentara musuh yang terlihat mengenakan pakaian kamuflase bergerak cepat, berusaha mendekati mereka dengan tujuan mengintai.

“Raka, Arya, buat jalur aman untuk kita!” perintah Bima, sambil bersembunyi di balik semak-semak. “Nadia, terus pantau pergerakan mereka. Jangan biarkan mereka mengungkapkan posisi kita.”

Saat Raka dan Arya bergerak untuk menyiapkan perlindungan, Bima merasakan sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang membuatnya semakin curiga terhadap misi ini. Pelarian mereka bukan hanya untuk melarikan diri dari pasukan musuh, tetapi juga dari sebuah kenyataan yang semakin sulit untuk diterima. Siapa yang benar-benar mereka hadapi? Apa yang sebenarnya terjadi di balik perintah-perintah yang telah mereka terima?

Di balik kerumunan pohon yang lebat, mereka akhirnya mencapai jalan setapak menuju hutan yang lebih dalam. Rasa lega yang sempat muncul, seketika hilang begitu mereka mendengar suara helikopter semakin mendekat. Ketegangan semakin memuncak—mereka harus bertahan, atau pelarian terakhir ini akan menjadi langkah terakhir mereka.

Bima merasakan perasaan yang sulit dijelaskan. Mungkin ini adalah akhir dari semua, atau mungkin hanya awal dari sebuah kenyataan yang lebih kelam. Tidak ada jaminan—hanya satu harapan: mereka harus keluar dari hutan ini, atau mereka akan terjebak dalam perang yang tidak mereka mengerti.

“Kita harus terus bergerak. Tidak ada waktu lagi,” ujar Bima, memimpin timnya menuju hutan, meninggalkan suara helikopter yang semakin memekakkan telinga mereka.

Pelarian terakhir ini adalah ujian sejati—bukan hanya bagi fisik mereka, tetapi juga bagi keyakinan mereka akan tujuan yang lebih besar. Akankah mereka selamat? Hanya waktu yang akan menjawab.

Bab 13 – Duel di Atas Tebing

Suara angin yang menderu keras menambah kesan menyeramkan dari pemandangan yang terhampar di depan mata. Tebing tinggi dengan jurang terjal di bawahnya mengintai setiap langkah mereka. Di atasnya, hanya ada batu-batu besar yang tampak kokoh, namun berbahaya. Setiap langkah harus dihitung dengan teliti—kehilangan pijakan berarti jatuh ke dalam kehampaan.

Bima dan timnya berhenti sejenak di ujung tebing, menatap ke arah kamp musuh yang terlihat dari kejauhan. Mereka telah berhasil menghindari jebakan dan pasukan musuh yang mengejar mereka, namun perjalanan mereka masih jauh dari aman. Rute yang mereka pilih ini bukan hanya penuh tantangan fisik, tetapi juga menyimpan bahaya yang lebih besar dari yang mereka duga.

Bima memeriksa peta yang sudah usang, menyadari bahwa jalur mereka menuju titik ekstraksi terpotong. Hanya ada satu cara untuk keluar—melewati tebing ini dan menuruni lereng di sisi lain.

“Ada masalah?” tanya Arya, yang berdiri di sampingnya, memandang raut wajah Bima yang tampak serius.

“Kita harus melewati tebing ini,” jawab Bima singkat. “Tapi kita bukan satu-satunya yang tahu rute ini.”

“Aku punya perasaan buruk tentang ini,” Nadia menimpali. “Jika kita melanjutkan, kita akan langsung memasuki zona berbahaya. Musuh pasti sudah mempersiapkan sesuatu.”

Bima menghela napas. Dia tahu ini adalah keputusan yang penuh risiko, tetapi jika mereka tidak segera bertindak, mereka akan terjebak di sini—di antara dua ancaman yang tidak bisa mereka hindari. Keputusan sudah diambil. Mereka harus maju, tidak ada waktu lagi.

“Siapkan perlengkapan, kita akan mulai menuruni tebing. Raka, pastikan agar mereka tetap bergerak cepat dan hati-hati,” perintah Bima tegas.

Ketika tim mulai bergerak, Bima merasa sebuah ketegangan yang lebih besar menyelimuti dirinya. Sesuatu yang sangat tidak biasa. Sepertinya mereka sedang diperhatikan. Musuh sudah tahu posisi mereka. Di saat yang bersamaan, suara langkah kaki yang berat mulai terdengar di belakang mereka, dan Bima segera memberi tanda agar timnya berhenti.

“Diam!” bisiknya keras. Tim segera menunduk, sembunyi di balik batu besar, mengamati ke belakang.

Di kejauhan, tampak beberapa sosok bergerak cepat, dengan langkah yang penuh perhitungan. Musuh sudah tiba di atas tebing yang sama. Mereka tidak lagi bersembunyi dalam kegelapan, namun bergerak terang-terangan, seolah tahu bahwa Bima dan timnya tidak akan bisa melarikan diri.

Bima menggigit bibir bawahnya, menyadari bahwa ini adalah saat yang ditunggu-tunggu oleh mereka—duel yang tak terhindarkan. Musuh yang datang ini bukan sembarang tentara, mereka adalah pasukan elit yang dilatih untuk menghadapi situasi seperti ini. Dan kini, musuh terbesar mereka sudah berdiri di hadapan mereka.

“Tunggu sinyalku,” ujar Bima, matanya tajam menatap pasukan musuh yang semakin dekat.

Akhirnya, salah satu dari pasukan musuh maju ke depan, menghadap langsung ke Bima. Sosok itu mengenakan pelindung tubuh hitam, dengan helm yang menyembunyikan sebagian besar wajahnya. Tetapi Bima tahu siapa dia. Seseorang yang sangat dikenalnya—pemimpin pasukan musuh yang selama ini terus memburu mereka.

“Bima,” suara pemimpin itu terdengar datar, namun penuh dengan ancaman. “Kau pikir kau bisa melarikan diri? Ini adalah akhir dari perjalananmu.”

Bima menatap tajam pemimpin itu, jantungnya berdetak lebih cepat. “Jika kau ingin pertempuran, maka aku akan memberimu pertempuran,” jawabnya dengan penuh keyakinan. “Namun, bukan hanya untukku—ini untuk timku.”

Sebelum pemimpin musuh itu bisa merespons, Bima melompat ke depan, menghujamkan pisau yang telah disiapkan ke arah lawan. Pertempuran dimulai tanpa kata-kata lebih lanjut, hanya benturan antara baja dan kecepatan, antara strategi dan keberanian.

Tebing yang terjal menjadi saksi bisu dari duel yang tak terhindarkan. Setiap gerakan penuh ketepatan. Bima menghindar dari serangan berbahaya yang datang dengan sangat cepat, melompat ke samping untuk mengambil posisi yang lebih baik. Namun pemimpin musuh itu lebih tangkas dari yang dia kira.

Mereka berputar, saling menyerang dan bertahan. Gerakan Bima semakin lincah, berusaha mencari titik lemah pada musuh yang begitu terlatih. Setiap pukulan dan tangkisan terasa begitu berat, seolah tanah di bawah mereka mengguncang setiap kali senjata mereka bersentuhan.

Namun, tiba-tiba pemimpin musuh itu melakukan serangan yang sangat cepat—sebuah tusukan langsung ke arah dada Bima, yang hampir saja mengenai sasaran. Bima hanya memiliki sedikit waktu untuk menghindar, dan dengan reflek cepat, dia berhasil menyelamatkan dirinya dari serangan mematikan itu.

“Kenapa kau melawan?” tanya pemimpin musuh dengan senyum licik. “Kau tahu ini sudah berakhir. Kalian kalah.”

Bima merasakan panas di telapak tangannya. Sebuah luka kecil akibat serpihan batu yang menggoresnya, namun tidak cukup untuk membuatnya lemah. Hanya ada satu hal yang harus dilakukan—dia harus menghentikan lawan ini, sebelum semua terlambat.

Dengan keberanian yang tersisa, Bima memutar senjatanya, dan dalam sekejap, dia melancarkan serangan balik yang mengejutkan. Kali ini, dia berhasil menembus pertahanan pemimpin musuh dan membuat lawannya terhuyung ke belakang. Namun, tak ada waktu untuk merasa lega.

Di sekitar mereka, pasukan musuh mulai bergerak maju, semakin banyak yang datang. Bima tahu, dia tidak bisa mengandalkan duel ini untuk menang. Mereka harus segera menemukan jalan keluar.

“Tim, mundur!” teriak Bima dengan suara keras, memberi perintah pada timnya untuk segera bergerak. “Kita tidak punya banyak waktu!”

Namun, sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, pemimpin musuh yang terluka berdiri kembali. Dengan tatapan penuh kebencian, dia berteriak, “Ini belum berakhir!”

Dengan pasukan yang semakin mendekat, Bima tahu mereka hanya memiliki satu kesempatan untuk lolos. Sebuah langkah ceroboh, satu detik kesalahan, bisa berarti ajal. Mereka harus segera meninggalkan tebing ini, sebelum mereka terjebak dalam pertempuran yang tak bisa mereka menangi.

“Sekarang!” perintah Bima tegas, dan timnya segera bergerak mundur dengan cepat, berusaha menuruni tebing yang curam.

Duel di atas tebing ini bukan sekadar pertarungan fisik. Itu adalah ujian keberanian, kekuatan mental, dan kepercayaan diri yang tak tergoyahkan. Meski mereka berhasil menghindari maut untuk sementara, Bima tahu—pelarian mereka belum berakhir. Pertarungan ini baru saja dimulai.

Bab 14 – Darah dan Janji

Malam yang mencekam masih membungkus mereka dalam gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang tipis menembus celah-celah pepohonan hutan. Udara dingin mengiris kulit, namun panas yang terpendam di dada Bima lebih menyiksa daripada dinginnya malam ini. Terlebih setelah apa yang baru saja terjadi.

Langkahnya berat, terasa seperti setiap jejak di tanah menjadi lebih dalam, seolah-olah bumi ingin menahannya lebih lama. Setiap detik yang berlalu seakan menyentuh hati yang rapuh. Beberapa langkah di belakangnya, timnya berjalan dengan kelelahan yang jelas terlihat. Mereka semua terluka—bukan hanya fisik, tetapi juga mental.

“Bima,” suara Arya memecah keheningan, memanggil dengan nada berat. “Kita butuh waktu untuk pulih. Kita… kita hampir kalah tadi.”

Bima tidak menjawab, matanya terfokus pada medan di depan. Masih ada satu tujuan yang harus mereka capai. Itu lebih penting daripada apapun. Kemenangan, kekalahan, semua itu hanyalah bagian dari harga yang harus dibayar. Namun ada sesuatu yang lebih mendalam yang mengusik pikirannya—rasa bersalah.

Darah yang tumpah, bukan hanya darah mereka, tetapi juga darah orang-orang yang ada di sisi mereka. Pengorbanan yang telah terjadi, pengkhianatan yang mengintai di balik tiap sudut. Bima tidak bisa mengabaikan kenyataan itu. Hati kecilnya bertanya, apakah mereka benar-benar berada di jalan yang benar?

“Bima, kau mendengar apa yang aku katakan?” Arya bertanya lagi, kali ini lebih tegas.

Bima berhenti, menatap ke bawah, meresapi setiap kata yang baru saja diucapkan oleh sahabatnya. Dia merasa ada sesuatu yang mengendap di dalam dirinya, menuntut untuk dikeluarkan. Sesuatu yang sudah lama terkunci rapat dalam hati.

“Arya,” jawab Bima, suaranya rendah, penuh penyesalan. “Aku tahu kita hampir kalah. Tapi kita tidak bisa mundur. Kita sudah berjanji untuk menyelesaikan ini.”

“Janji?” Arya terdiam sejenak. “Janji apa, Bima? Janji untuk membunuh? Janji untuk melukai lebih banyak orang?”

Bima menggigit bibir bawahnya, menahan amarah yang mulai menggelegak. “Ini bukan soal membunuh, Arya. Ini tentang membayar harga yang sudah terlalu lama kita tanggung. Mereka yang ada di belakang kita… mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang sudah terjadi pada kita.”

Bima menatap langit malam, merasakan setiap hembusan angin yang datang. Semua yang mereka hadapi, semua pertempuran yang telah mereka lalui, bukan hanya soal bertahan hidup. Ini adalah tentang melunasi hutang darah yang terhutang sejak lama. Mereka telah terjebak dalam lingkaran yang tak pernah mereka pilih. Namun, kini mereka harus melangkah lebih jauh lagi.

“Semua ini harus berakhir,” Bima melanjutkan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada timnya. “Semua yang sudah kita lewatkan. Semua yang telah dicuri dari kita. Aku akan menghentikannya di sini. Kita akan menyelesaikan semua ini malam ini.”

Arya dan anggota tim lainnya saling memandang. Raka, yang sejak tadi diam, mengangguk pelan. Mungkin dia tidak sepenuhnya mengerti perasaan Bima, tapi dia tahu satu hal—keputusan ini bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk masa depan yang lebih baik. Mereka tidak bisa terus melarikan diri.

Dengan perlahan, Bima merogoh saku jasnya, mengeluarkan sebuah objek kecil yang tampak tak berarti. Sebuah cincin. Cincin yang sudah lama ia simpan, sebagai pengingat dari janji yang dibuat jauh di masa lalu.

“Ini adalah janji kepada mereka yang sudah pergi,” kata Bima pelan, menatap cincin itu dengan tatapan penuh kesedihan. “Janji untuk mengakhiri penderitaan ini. Janji untuk menghentikan semuanya.”

Arya mendekat, menatap cincin itu dengan serius. “Bima, kau tahu konsekuensinya, kan? Jika kita terus maju, kita akan melangkah ke dalam bahaya yang lebih besar.”

Bima menatap Arya dengan tatapan yang keras, namun penuh tekad. “Tidak ada yang lebih besar dari ini, Arya. Kami tidak akan mundur. Aku sudah berjanji. Darah mereka harus dibayar.”

Sebagai jawaban, Arya mengangguk perlahan. Tidak ada lagi kata-kata yang bisa diucapkan. Mereka semua tahu—mereka berada di ambang sesuatu yang sangat besar, sesuatu yang bisa mengubah hidup mereka selamanya. Tidak ada jalan mundur. Mereka tidak bisa berpaling lagi.

“Tim, kita lanjutkan perjalanan. Siapkan segala sesuatunya. Malam ini, kita akan mengakhiri semuanya,” perintah Bima dengan tegas.

Tanpa berkata lebih banyak, tim bergerak maju. Setiap langkah terasa lebih berat, namun tekad mereka lebih kuat dari sebelumnya. Di balik hutan yang gelap ini, di balik bayangan yang mengintai, mereka akan menghadapi musuh terakhir yang menunggu.

Bima tahu, darah yang mengalir malam ini bukan hanya darah musuh yang harus dibayar, tetapi juga darah dari janji yang harus ditepati—janji yang telah lama menunggu untuk dilunasi. Semua yang telah hilang, semua yang telah dirampas, akan dibayar dengan sebuah pengorbanan terakhir. Sebuah janji yang tak bisa lagi diingkari.

Dan malam ini, mereka akan menuntaskan semuanya. Tidak ada lagi yang bisa menghalangi mereka.

Bab 15 – Operasi yang Tak Pernah Ada

Hujan turun deras, membasahi bumi yang sebelumnya kering dan berdebu. Setiap tetesan air yang jatuh terasa seperti pertanda—sebuah pertanda bahwa segala sesuatu yang telah mereka lakukan, dan yang akan mereka lakukan, takkan pernah benar-benar selesai. Bima berdiri di tengah medan yang penuh kabut, menatap ke arah markas musuh yang sudah tampak di kejauhan. Di baliknya, langit gelap tampak seolah menyembunyikan rahasia besar yang siap terungkap.

Timnya telah tiba di lokasi terakhir, tempat yang telah mereka tentukan sebagai titik akhir operasi mereka. Mereka telah melewati begitu banyak ujian, namun belum ada satu pun yang memberi mereka keyakinan bahwa operasi ini akan berhasil. Bahkan kini, mereka mulai meragukan satu hal yang lebih besar—apakah mereka benar-benar tahu apa yang mereka hadapi?

“Bima,” suara Arya yang terdengar serak membawa Bima keluar dari lamunannya. “Apa yang akan kita lakukan sekarang?”

Bima memandang ke arah timnya. Wajah mereka letih, penuh luka, dan kelelahan. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari mereka malam ini—ada api yang menyala di dalam mata mereka. Mereka tahu apa yang dipertaruhkan, dan mereka tahu ini adalah saatnya. Sebuah kesempatan terakhir yang akan menentukan segalanya.

“Ini adalah akhir dari semuanya,” jawab Bima dengan suara tegas. “Malam ini, kita selesaikan operasi ini, dan kita hentikan semuanya. Apa pun yang terjadi.”

Namun, di dalam hati Bima, rasa ragu tak bisa sepenuhnya disingkirkan. Ada banyak hal yang belum mereka ketahui. Musuh yang mereka hadapi lebih berbahaya dari yang diperkirakan. Di balik operasi besar ini, ada lapisan-lapisan kebohongan yang terjalin dengan rapi. Misi yang mereka jalankan seharusnya menjadi yang terakhir, tetapi entah mengapa, rasa tak yakin itu terus menghantui pikirannya.

“Operasi ini seharusnya tidak ada,” kata Bima pelan, seakan berbicara kepada dirinya sendiri. “Mereka tidak pernah menginginkan kita tahu apa yang sebenarnya terjadi. Semua ini… hanyalah sebuah kebohongan.”

“Apa maksudmu?” tanya Nadia, yang berdiri di sampingnya. “Kau ingin mengatakan bahwa kita ditipu sejak awal?”

Bima mengangguk perlahan. “Ini bukan hanya soal kita. Ini lebih besar dari itu. Operasi yang kita jalankan bukanlah operasi yang resmi. Tidak ada yang tahu soal ini—hanya kita dan beberapa orang di atas sana yang terlibat. Bahkan mereka yang kita anggap teman, mungkin mereka juga tak tahu segalanya. Ada sesuatu yang lebih gelap di balik ini.”

Raka menatapnya tajam. “Jadi, ini adalah operasi yang tak pernah ada? Semua ini hanya untuk tujuan mereka yang lebih besar?”

Bima menghela napas panjang, merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. “Ya. Dan kita hanya alat dalam permainan mereka.”

Tim terdiam, mencerna kata-kata Bima yang penuh dengan kebenaran pahit. Mereka tahu bahwa mereka telah dibawa ke dalam permainan yang lebih besar dari yang bisa mereka bayangkan. Mereka telah menjadi pion dalam sebuah permainan politik dan militer yang jauh di luar kendali mereka. Namun, itu tidak mengubah satu hal—mereka telah terlibat. Mereka harus menyelesaikannya.

“Tidak ada lagi mundur,” kata Bima tegas. “Kita sudah terlalu jauh. Apa pun yang terjadi, kita akan menyelesaikan misi ini. Tidak ada pilihan lain.”

Mereka semua saling memandang. Tidak ada keraguan lagi di mata mereka. Mereka telah memilih jalan mereka. Bahkan jika mereka tahu bahwa mereka mungkin tak akan pernah melihat rumah mereka lagi, mereka tahu bahwa ini adalah harga yang harus dibayar untuk mengungkap kebenaran yang selama ini tersembunyi.

Bima memeriksa senjatanya, memastikan semuanya siap. Tak ada waktu untuk ragu. Musuh sudah dekat, dan mereka hanya memiliki sedikit waktu untuk menyelesaikan misi ini. Mereka harus bergerak cepat.

Ketegangan di udara semakin terasa. Suara hujan yang deras menjadi latar belakang dari langkah-langkah mereka yang mantap, semakin mendekati markas musuh yang terletak di kaki gunung. Setiap sudut, setiap bayangan yang bergerak, harus diwaspadai. Mereka tidak hanya melawan musuh di depan mata, tetapi juga melawan waktu yang terus berjalan.

Di depan mereka, markas itu menjulang, seperti sebuah benteng yang penuh dengan rahasia dan kebohongan. Dan di dalamnya, ada orang-orang yang telah menuntut pengorbanan ini—dan mungkin, tidak ada yang benar-benar tahu apa yang mereka cari.

“Ayo, kita selesaikan ini,” ujar Bima, dengan suara penuh tekad.

Mereka melangkah maju, tanpa lagi menoleh ke belakang. Apa pun yang terjadi malam ini, mereka akan menuntaskan apa yang telah dimulai. Operasi yang tak pernah ada, yang kini menjadi kenyataan, harus berakhir malam ini juga.

Mereka tahu, tak ada jaminan bahwa mereka akan keluar hidup-hidup dari sini. Tapi satu hal yang pasti—operasi ini, meskipun tak pernah ada, akan meninggalkan jejak yang tak akan pernah bisa dihapuskan. Tidak ada yang akan bisa menghindari kebenaran yang akan terungkap malam ini.***

——————————THE END—————————

Source: Shifa Yuhananda
Tags: #Konspirasi#PengorbananActionThrillerDarahDanJanjiMisiRahasiaOperasiMiliterPerangPsikologisPertaruhanNyawa
Previous Post

TAKDIR DITANAH ELDORIA

Next Post

GEMA LANGKAH DI TENGAH MALAM

Next Post
GEMA LANGKAH DI TENGAH MALAM

GEMA LANGKAH DI TENGAH MALAM

MALAM TANPA BULAN

MALAM TANPA BULAN

RUMAH YANG TAK LAGI SAMA

RUMAH YANG TAK LAGI SAMA

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In