Bab 1: Misi Terakhir
Angin malam berembus dingin di ketinggian. Di dalam helikopter tempur yang bergetar hebat oleh suara baling-balingnya, Kapten Ray Satriya duduk dengan tenang, meski sorot matanya tajam seperti seekor elang yang siap menyergap mangsanya. Seragam lorengnya basah oleh keringat, bukan karena takut, melainkan karena konsentrasi penuh. Ini bukan misi biasa. Ini adalah misi terakhirnya — setidaknya itu yang ia yakini.
“Sepuluh menit lagi ke titik drop,” ujar pilot melalui radio.
Ray hanya mengangguk. Di hadapannya, lima prajurit pasukan khusus yang dipimpinnya menatapnya dengan tatapan penuh percaya. Mereka adalah keluarga dalam senyap, saudara tanpa ikatan darah, dan satu-satunya orang yang bisa ia andalkan dalam medan tempur.
Namun jauh di dalam hati, Ray merasakan sesuatu yang janggal. Informasi intelijen yang mereka terima terlalu bersih, terlalu mudah. Seolah-olah jebakan itu sengaja dibuka lebar menunggu mangsanya datang.
“Kapten, Anda yakin ini bukan perangkap?” bisik Letnan Aldi, wakilnya, sambil menurunkan suara.
Ray tidak langsung menjawab. Ia menatap layar peta digital yang berkedip-kedip, lalu berkata pelan, “Jika ini perangkap, maka kita akan memecahkannya dari dalam.”
Mereka mendarat di sebuah lembah gelap yang dikelilingi tebing curam. Begitu menjejakkan kaki di tanah, Ray merasakan firasat buruk menguat. Tidak ada tanda-tanda pergerakan musuh, tidak juga suara burung malam — hanya keheningan yang terlalu sunyi untuk menjadi wajar.
Langkah mereka semakin dalam menuju kamp penyanderaan yang dikabarkan berada di tengah hutan. Namun, lima belas menit kemudian, neraka dimulai.
Ledakan mendadak memecah kesunyian. Dua anak buah Ray terlempar ke udara, tubuh mereka terhempas keras ke tanah. Jeritan memenuhi radio. Ray segera memerintahkan formasi bertahan, tapi serangan datang dari segala arah — senjata otomatis, mortir, dan tembakan presisi seolah sudah tahu persis posisi mereka.
“Ini jebakan! Mundur!” teriak Ray, sambil menarik Aldi dari reruntuhan.
Namun yang membuatnya terpaku bukan hanya serangan mendadak itu. Dari kejauhan, ia melihat sosok berpakaian tentara, yang seharusnya rekan mereka, menembak ke arah pasukan Ray. Ia mengenali wajah itu. Mayor Dika — atasannya sendiri.
Pengkhianatan.
Dengan luka di bahu dan amarah yang mendidih, Ray berlari menuju helikopter. Ia berhasil naik sesaat sebelum kendaraan itu dihantam rudal, meledak di udara bersama harapan terakhir timnya.
Ia terlempar ke jurang, tubuhnya menghantam bebatuan, namun kesadarannya tidak sepenuhnya padam. Di tengah gelap dan nyeri, hanya satu kalimat yang terngiang di kepalanya:
“Aku akan kembali. Dan mereka semua akan membayar.”
Bab 2: Buronan di Negeri Sendiri
Tiga hari sejak ledakan itu. Tiga hari sejak seluruh timnya dinyatakan tewas dalam operasi yang disebut sebagai “kecelakaan misi.” Dan tiga hari sejak Ray Satriya secara resmi dicap sebagai pengkhianat negara.
Luka di bahunya belum sembuh, tapi luka di hatinya jauh lebih dalam. Bukan hanya karena kehilangan rekan-rekannya, tapi karena tuduhan kejam yang menghantam namanya — sebagai penjual informasi rahasia militer kepada musuh.
Ray menatap layar televisi kecil di dalam warung tua tempatnya bersembunyi. Berita pagi menyiarkan wajahnya dalam warna merah menyala, dengan judul yang mencolok:
“Prajurit Elit Diduga Jadi Pengkhianat — Kapten Ray Satriya Dicari Hidup atau Mati.”
Wajahnya yang biasanya tegas kini tertutup oleh kumis tipis dan luka memar. Ia telah mencukur rambutnya, mengganti identitas, dan bergerak dari satu tempat ke tempat lain tanpa tujuan pasti. Namun satu hal yang ia tahu pasti: dia harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.
Ia menyusuri lorong-lorong kota Jakarta seperti bayangan. Di antara gemerlap lampu dan hiruk-pikuk masyarakat yang tak tahu apa-apa, Ray menjadi hantu dalam sistem yang dulu ia bela.
Teman-temannya di militer? Sudah tak bisa dipercaya. Bahkan, rumah keluarganya diawasi. Ia hanya punya satu harapan — menyusuri kembali jejak tim lamanya, menggali lebih dalam dari sekadar laporan resmi, dan mencari siapa dalang di balik pengkhianatan itu.
Ray menghubungi satu-satunya orang yang mungkin masih bisa membantunya: Letnan Aruna Prameswari, mantan kekasihnya sekaligus agen intelijen yang dulu ia percaya sepenuh hati. Namun hubungan mereka tak berakhir baik — dan sekarang, ia tidak tahu apakah Aruna masih di pihak yang sama.
Melalui koneksi gelap, Ray mengatur pertemuan dengan informan yang dikenal dengan nama sandi Burung Hantu. Di sebuah gedung tua yang hampir runtuh di pinggiran kota, Ray mendengarkan informasi pertama yang mengubah segalanya.
“Nama lo dikorbankan, Kapten,” kata pria bertopi yang hanya terlihat dari balik bayangan. “Mereka butuh kambing hitam, dan lo cocok banget. Elit, populer, dan terlalu tahu banyak.”
Ray mengepalkan tangannya. Nafasnya berat.
“Siapa mereka?” desaknya.
“Lo harus kembali ke tempat itu,” ucap si informan, sembari menyelipkan sebuah flashdisk ke dalam saku jaket Ray. “Zona Merah. Semua jawaban ada di sana.”
Malam itu, Ray menatap langit Jakarta dengan mata penuh amarah dan tekad. Ia bukan lagi prajurit negara. Ia adalah buronan di negerinya sendiri.
Namun di dalam bayangan, ia bersumpah: jika sistem menolak kebenaran, maka ia sendiri yang akan menegakkannya — meski dengan darah.
Bab 3: Zona Merah
Langit di perbatasan Timur tampak kelabu, seakan turut menyembunyikan rahasia gelap yang mengendap di bawahnya. Zona Merah — itulah sebutan untuk wilayah yang sudah dicoret dari peta resmi negara. Tak ada hukum, tak ada pemerintah, hanya ada kekuatan senjata dan transaksi darah.
Ray Satriya berdiri di atas tebing curam, memandangi bentangan hutan dan reruntuhan desa yang dulu pernah ramai. Tempat itu pernah menjadi garis depan konflik separatis. Namun kini, lebih dari sekadar medan perang, Zona Merah menjadi sarang bagi para penyelundup, tentara bayaran, dan sisa-sisa pasukan bayangan yang tak lagi terikat sumpah.
Ia kembali ke titik awal. Tempat timnya terakhir kali menginjakkan kaki. Tempat misi mereka berubah menjadi neraka.
Langkah Ray mantap, meski tubuhnya belum pulih sepenuhnya. Ia menyusuri jalur lama, jalan setapak yang tak tercatat dalam GPS, hanya bisa diingat oleh mereka yang pernah menjelajahinya dengan darah dan nyawa.
Dalam keheningan yang menekan, Ray mendapati reruntuhan kamp gerilya yang pernah mereka serbu. Namun kini kamp itu berubah — lebih tertata, lebih modern, dan dijaga oleh orang-orang bersenjata lengkap yang tak mengenakan seragam manapun.
Ia berjongkok di dekat sebuah batu besar. Coretan samar di permukaannya menarik perhatiannya: simbol militer yang disilang dengan tinta merah — kode bahwa tempat ini telah dikuasai oleh pihak ketiga. Dan itu berarti satu hal: operasi rahasia masih berlangsung… tapi di luar kendali negara.
“Ray Satriya,” suara berat menyapanya dari balik semak.
Refleks, Ray berguling dan membidik dengan pistol. Tapi orang itu tak bersenjata. Seorang lelaki tua dengan mata sayu dan luka lama di wajahnya.
“Aku pikir kamu sudah mati,” lanjutnya.
“Jadi masih ada yang mengenaliku di sini,” jawab Ray, masih waspada.
“Semua yang hidup di Zona Merah tahu siapa ‘Mata Elang’. Tapi sekarang kamu datang bukan sebagai pahlawan, melainkan sebagai ancaman bagi mereka.”
Pria itu adalah Baharudin — mantan informan militer yang memilih bertahan di Zona Merah sejak pasukannya dibubarkan. Ia mengungkapkan fakta yang mengguncang Ray: tim lamanya tidak semua tewas. Dua orang dari mereka sempat ditangkap dan dibawa ke markas bayangan di tengah hutan, dijadikan alat barter untuk senjata canggih.
“Dan kau yakin mereka masih hidup?” tanya Ray.
“Jika belum dijual… mungkin.”
Malam itu, Ray merenung di bawah langit berbintang, diapit oleh suara binatang malam dan desingan peluru sesekali dari kejauhan. Ia tahu, semakin dalam ia masuk ke Zona Merah, semakin tipis batas antara hidup dan mati. Tapi ia juga tahu, semakin dekat ia pada kebenaran.
Ray tidak hanya mencari jawaban — ia membawa dendam. Dan di tempat seperti Zona Merah, dendam adalah bahan bakar yang paling mematikan.
Bab 4: Jejak yang Ditinggalkan
Kabut pagi menggantung di antara pepohonan hutan yang sunyi. Tanah lembab menghisap jejak kaki siapa pun yang lewat. Bagi Ray Satriya, setiap langkah adalah taruhan hidup, tapi juga harapan untuk menemukan kebenaran yang disembunyikan terlalu dalam.
Bersama Baharudin, Ray menyusuri jalur bekas patroli timnya dulu. Jalur yang hanya diketahui oleh pasukan elit dan nyaris mustahil ditemukan oleh orang luar. Namun, ketika Ray menemukan sisa sobekan kain kamuflase di dahan berduri dan peluru bekas tembakan terbenam di batang pohon, ia tahu satu hal: seseorang pernah bertahan di sini… dan mungkin meninggalkan lebih dari sekadar peluru kosong.
“Ini dari senjata militer standar. Masih baru,” gumam Ray, memungut selongsong peluru lalu menggenggamnya erat. “Mereka sempat melawan.”
Baharudin hanya mengangguk, matanya menelusuri sekitar. “Tapi tidak cukup kuat untuk keluar.”
Beberapa meter kemudian, mereka menemukan bekas perkemahan tersembunyi. Ranting-ranting disusun dengan teknik militer, abu api unggun masih tersisa, dan yang paling mengejutkan — sebuah kalung identitas militer yang setengah terkubur lumpur.
Ray mencuci kalung itu dengan air hujan dari daun. Namanya terukir jelas: Sertu Niko Prasetya — anggota timnya yang selama ini dinyatakan tewas. Dadanya sesak. Jika Niko sempat berada di sini, artinya ada kemungkinan besar ia masih hidup… atau pernah ditahan tak jauh dari tempat ini.
“Kita harus ke utara. Ada markas bekas penampungan pasukan bayangan. Sekarang dikuasai kelompok tak dikenal, tapi satu-satunya tempat yang cukup besar untuk menahan seseorang,” ujar Baharudin.
Di perjalanan, Ray mulai menyadari ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar pengkhianatan. Ia menemukan bekas-bekas peti senjata yang ditinggalkan, dengan logo militer asing. Senjata-senjata itu tak semestinya berada di tanah ini — kecuali ada transaksi gelap yang melibatkan kekuatan dari luar negeri.
Di balik reruntuhan gudang senjata, Ray menemukan peta lusuh. Peta itu berisi jalur penyelundupan, lengkap dengan kode-kode operasi yang asing bagi militer reguler. Di sudut kanan bawah peta, ada simbol yang membuat darahnya berdesir dingin: lambang Proyek Mata Elang.
Ray menatap simbol itu dengan rahang mengeras. Kini ia tahu: ini bukan hanya tentang misi yang gagal atau pengkhianatan dari atasannya. Ini tentang rencana besar yang sedang dijalankan di balik layar, menggunakan Zona Merah sebagai ladang uji coba… dan mungkin, sebagai medan perang baru.
“Kita harus bergerak cepat,” ucap Ray, menggulung peta dan menyimpannya. “Jejak ini belum sepenuhnya hilang. Tapi kalau kita terlambat, semua yang tahu kebenaran akan dibungkam selamanya.”
Langkah Ray semakin cepat, penuh amarah dan tekad. Ia bukan lagi sekadar penyintas — ia pemburu. Dan buruannya adalah kebenaran yang selama ini dikubur di tengah kabut Zona Merah.
Bab 5: Bayangan dari Masa Lalu
Malam sudah turun di atas Zona Merah. Hujan mulai turun dengan derasnya, mengaburkan pandangan, dan menambah kesan mencekam di hutan yang dipenuhi reruntuhan. Hanya suara gemerisik daun dan suara hujan yang memecah keheningan malam. Namun bagi Ray Satriya, setiap detik yang berlalu semakin membawanya pada pertemuan yang tak terelakkan dengan masa lalu — masa lalu yang seharusnya terlupakan, tapi kini kembali mengejarnya.
Baharudin memimpin perjalanan mereka menuju sebuah bangunan terkubur di dalam hutan. Bangunan itu dulunya adalah markas penyelundupan senjata yang kini tampak terabaikan. Namun di balik bangunan itu, Ray merasakan ada sesuatu yang lebih dalam, lebih berbahaya.
“Mereka tak tahu kita datang,” kata Baharudin, berbisik. “Tapi aku merasakannya. Ada yang memantau kita.”
Ray mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Di tengah hujan dan kabut, perasaan itu seperti bayangan yang terus mengikutinya, mengingatkan tentang segala hal yang telah hilang dan tak bisa kembali. Ia tahu, pertemuan ini adalah bagian dari takdir yang tak bisa dihindari.
Ketika mereka mencapai pintu depan, Ray melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku. Di depan pintu, ada jejak sepatu besar yang masih segar, bekas orang yang baru saja meninggalkan tempat itu. Tidak hanya itu, ada pula potongan kain yang dikenali Ray — kain yang sama dengan seragam pasukan elit militer.
“Ada orang lain di sini,” kata Ray, matanya tajam, waspada.
Baharudin menatapnya dengan khawatir. “Mereka bukan orang sembarangan. Bisa jadi kita sedang diburu.”
Mereka memasuki bangunan itu dengan hati-hati. Suasana di dalam lebih suram dari luar, dengan dinding-dinding yang retak dan berlumur debu. Di antara sisa-sisa barang yang terlupakan, Ray menemukan sesuatu yang mengejutkan — sebuah foto lama, terlipat dengan rapi, tertinggal di atas meja yang rusak. Foto itu menunjukkan dirinya bersama timnya, tersenyum dalam sebuah momen yang tampaknya bahagia.
Namun ada satu hal yang menarik perhatian Ray — di pojok kanan bawah foto, ada seorang wanita muda dengan mata yang tajam, penuh tekad. Wanita yang tak pernah ia harapkan untuk muncul kembali dalam hidupnya.
“Aruna…” bisik Ray, nama itu terngiang di mulutnya, sebuah nama yang pernah menjadi bagian dari hidupnya.
Di saat itu juga, sebuah suara berat terdengar dari belakang mereka, membuat Ray dan Baharudin terkejut. “Kau masih mencari jawaban, Ray?”
Ray memutar tubuhnya dengan cepat, pistol terangkat. Di hadapannya, berdiri sosok yang hampir membuatnya terjatuh. Seorang wanita, berusia sekitar tiga puluh tahun, mengenakan pakaian militer dengan bekas luka yang menandakan ia pernah melalui banyak peperangan. Aruna Prameswari — mantan kekasihnya, kini berubah menjadi sosok yang lebih keras dan penuh rahasia.
“Aku tak percaya kau masih hidup,” ujar Aruna dengan nada datar. “Tapi aku juga tak percaya kau bisa begitu lama bertahan di Zona Merah tanpa mengerti siapa yang mengatur semuanya.”
Ray menurunkan senjatanya, meskipun ketegangan masih terasa di udara. “Aku mencari kebenaran, Aruna. Dan aku akan mengungkap siapa yang menjebakku. Siapa yang membuat kita semua menjadi boneka dalam permainan ini.”
Aruna tersenyum sinis, namun ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Ray ragu. “Kebenaran? Apakah kamu yakin ingin tahu kebenaran itu, Ray? Karena setelah kamu tahu, tak ada jalan pulang.”
Ray menggertakkan giginya. “Aku tak takut. Aku harus tahu.”
Aruna mendekat dengan langkah tenang, suara langkahnya menggema di dalam ruangan kosong. “Baiklah, kalau begitu. Tapi ingat, setelah ini, tak ada yang bisa kembali seperti semula. Ini bukan hanya tentang kamu. Ini tentang mereka yang memainkan permainan ini sejak lama.”
Aruna kemudian menyingkapkan sesuatu yang lebih mengejutkan lagi — sebuah dokumen yang mengungkapkan rencana besar, sebuah proyek yang bahkan Ray sendiri tak pernah mendengar namanya. Rencana yang melibatkan berbagai negara, kelompok militer, dan konspirasi internasional yang membuatnya semakin terjebak di tengah pertempuran yang tak pernah ia pilih.
“Proyek Mata Elang bukanlah sebuah misi. Itu adalah perang yang dimulai dari kegelapan, Ray. Dan kau, bersama aku, adalah bagian dari itu.”
Ray menggenggam erat foto lama itu, wajahnya mulai berubah. Ia harus memilih: melanjutkan pencariannya atau bergabung dengan Aruna, yang kini terjebak dalam dunia yang lebih besar dan lebih berbahaya dari yang ia bayangkan.
Namun, satu hal yang pasti, kebenaran ini akan mengubah hidupnya selamanya.
Bab 6: Serangan Balik
Keheningan itu pecah oleh suara deru helikopter yang semakin mendekat. Di bawah langit yang gelap, dengan hujan yang masih mengguyur deras, Ray Satriya dan Aruna Prameswari bersembunyi di balik reruntuhan bangunan, hati mereka berdegup cepat. Mereka tahu betul, serangan ini adalah serangan balik — satu langkah yang akan membawa mereka lebih dekat pada kebenaran, namun juga pada bahaya yang lebih besar.
Ray menatap Aruna dengan tatapan tajam, seolah memastikan bahwa wanita itu masih di pihaknya. Ada banyak hal yang tidak ia pahami, tapi satu hal yang pasti: mereka sedang diburu. Dan dalam permainan ini, yang paling kuatlah yang bertahan.
“Pemerintah tahu kita di sini,” bisik Aruna, merapatkan jaketnya ke tubuh. “Mereka pasti sudah mengirim pasukan untuk menghabisi kita.”
Ray menggigit bibirnya. “Jadi kita tidak punya banyak waktu.”
Tak jauh dari mereka, suara langkah kaki terdengar, menggaung di lorong gelap yang menghubungkan bangunan ini dengan hutan. Pasukan bayangan sudah mulai mengepung. Di dalam kekacauan ini, Ray hanya memiliki satu pilihan — bertahan hidup dengan cara apa pun.
“Tunggu,” kata Aruna, mengeluarkan sebuah perangkat kecil dari saku jaketnya. “Aku sudah menyiapkan rencana B. Ini bisa membantu kita keluar dari sini.”
Ray memandang perangkat itu dengan skeptis. “Apa ini? Semacam alat pelacak?”
Aruna mengangguk, lalu menekan sebuah tombol. Dalam hitungan detik, layar perangkat itu menampilkan peta area sekitar mereka, lengkap dengan posisi pasukan musuh yang mulai bergerak mendekat. Satu titik bergerak cepat ke arah mereka — sebuah mobil lapis baja yang membawa pasukan khusus.
“Aku rasa mereka tahu persis posisi kita,” kata Aruna dengan nada serius. “Kita harus bergerak cepat.”
Mereka berlari, menyusuri lorong yang sempit dan penuh puing-puing, berusaha menghindari pengawasan. Ray tahu bahwa setiap detik yang terlewat, semakin kecil peluang mereka untuk selamat. Saat mereka tiba di pintu belakang bangunan, teriakan dari pasukan bayangan terdengar makin jelas. Mereka sudah semakin dekat.
Tiba-tiba, sebuah ledakan keras mengguncang tanah di bawah mereka. Ray dan Aruna terjatuh, tubuh mereka terguling ke tanah. Tanpa pikir panjang, Ray bangkit dan menarik Aruna untuk bangkit.
“Cepat! Kita harus keluar dari sini sekarang!” seru Ray.
Mereka berlari menuju hutan, melompati pagar besi yang hampir runtuh. Namun, pasukan musuh sudah berada di belakang mereka, menembakkan senapan ke segala arah. Di antara peluru yang berdesing, Ray menarik Aruna ke balik sebuah batu besar, bersembunyi sejenak.
“Jangan biarkan mereka mendekat,” ujar Ray dengan suara rendah, hampir bisik. Ia menarik senjatanya dan menyarankan Aruna untuk siap melawan.
Namun, Aruna justru menatapnya dengan tatapan kosong. “Ray… ada yang lebih besar dari ini.”
Ray mengernyit. “Apa maksudmu?”
“Jika kita terus berlari, mereka akan mengejar kita tanpa henti,” jawab Aruna dengan tenang. “Kita harus memukul mundur mereka. Harus ada yang tersisa dari kita untuk melanjutkan pencarian ini.”
Tanpa menunggu jawaban Ray, Aruna melangkah keluar dari tempat persembunyian mereka, melepaskan tembakan bertubi-tubi ke arah pasukan bayangan yang semakin mendekat. Ray terpaksa mengikuti langkah Aruna, memanfaatkan kekacauan untuk bergerak lebih cepat.
Namun, serangan balik itu tidak datang dari arah yang mereka duga. Tiba-tiba, dari sisi kiri hutan, sebuah ledakan dahsyat mengguncang tanah. Sebuah jebakan yang disiapkan dengan rapi oleh pasukan bayangan, yang ternyata sudah merencanakan serangan ini jauh sebelumnya. Ledakan itu menghancurkan pohon-pohon besar, menghalangi jalan keluar mereka.
“Dari sini!” teriak Aruna, menarik Ray ke arah sebuah lorong bawah tanah yang tersembunyi di bawah reruntuhan.
Mereka melompat masuk ke dalam lorong gelap itu, mendengar suara langkah-langkah berat dari pasukan musuh yang semakin dekat. Tapi di dalam lorong itu, ada sedikit harapan. Dari sini, mereka bisa merencanakan langkah selanjutnya, mencari tahu siapa yang mengendalikan permainan ini.
Namun, Ray tak bisa menahan rasa curiganya. Aruna jelas tahu lebih banyak daripada yang ia ungkapkan. Ada yang disembunyikan dari dirinya — sesuatu yang lebih besar dari sekadar pengkhianatan. Dalam pencarian ini, apakah Aruna benar-benar berada di pihaknya? Atau akankah ia menjadi pengkhianat yang lebih berbahaya dari yang ia bayangkan?
Langkah kaki mereka bergema di lorong sempit itu. Mereka harus terus bergerak. Dalam permainan ini, hanya ada satu hal yang pasti: bertahan hidup adalah kemenangan sementara, dan kebenaran mungkin hanya akan terungkap setelah semuanya terlambat.
Bab 7: Mata-Mata dalam Seragam
Keheningan yang memekakkan telinga menguasai lorong sempit di bawah tanah itu. Hanya suara napas yang terengah-engah dan langkah kaki pelan Ray serta Aruna yang memecah kesunyian. Mereka terus melangkah lebih dalam, menembus kegelapan, menjauh dari kejaran pasukan bayangan yang semakin menggila. Namun, di balik setiap langkah mereka, ada perasaan cemas yang menggantung — apakah mereka benar-benar aman, atau hanya berjalan menuju jebakan yang lebih besar?
Di dalam kegelapan, Aruna berhenti sejenak, menoleh ke belakang untuk memastikan tidak ada yang mengikuti. “Kita hanya punya waktu sedikit. Pasukan bayangan akan melacak kita hingga ke sini dalam waktu kurang dari sepuluh menit.”
Ray mengangguk, matanya tajam, berusaha mencari celah untuk melarikan diri. “Apa kita masih bisa keluar?”
Aruna mengeluarkan perangkat kecil dari saku jaketnya, memindai peta area bawah tanah yang ditunjukkan layar perangkat itu. “Ada sebuah lorong keluar di ujung sana, tapi—”
Tiba-tiba, suara derap langkah kaki terdengar semakin dekat. Sebelum Aruna sempat menyelesaikan kalimatnya, satu suara familiar menghentikan langkah mereka.
“Kau tak akan kemana-mana, Ray.”
Ray menoleh dengan cepat, memandang sosok yang berdiri di ujung lorong. Dengan seragam militer yang rapi dan senapan terhunus, berdiri seorang pria yang wajahnya tak asing lagi bagi Ray — Andi Pratama, teman sekaligus rekan satu tim yang telah lama hilang sejak operasi terakhir mereka.
Andi berdiri dengan sikap tegap, matanya penuh teka-teki, seolah tak ada yang berubah dari dirinya. Tapi Ray tahu, apa yang terlihat belum tentu sama dengan kenyataan. Ada yang aneh dalam tatapan Andi. Dan di balik seragam militer itu, Ray merasa ada sesuatu yang disembunyikan.
“Kau… kau masih hidup?” suara Ray terdengar terkejut, bahkan ada sedikit kebingungan. Namun, di dalam hatinya, rasa curiga mulai merayap. Tidak mungkin Andi bisa selamat tanpa alasan yang jelas.
Andi mengangkat alis, sedikit tersenyum, namun senyuman itu terasa lebih seperti senyuman seorang musuh daripada seorang sahabat. “Aku tidak hanya selamat, Ray. Aku ditempatkan di sini untuk tujuan yang lebih besar. Sama seperti kalian berdua.”
Aruna mendekat, wajahnya serius. “Apa maksudmu? Kenapa kau ada di sini? Di sisi musuh?”
Andi mengangkat tangannya, memberi isyarat agar mereka tidak panik. “Bukan, aku bukan musuh kalian. Aku hanya menjalankan perintah.” Ia menghela napas, matanya menatap tajam ke arah Ray dan Aruna. “Kalian masih belum paham sepenuhnya apa yang terjadi di sini, bukan? Semua yang terjadi — semua yang kalian alami — adalah bagian dari permainan yang lebih besar.”
Ray merasa pusing, kebingungan memenuhi pikirannya. “Permainan? Apa yang kau bicarakan? Kami hanya berusaha untuk bertahan hidup!”
Andi menggelengkan kepala. “Itulah masalahnya, Ray. Kalian tidak melihat gambaran besarnya. Aku bukan hanya seorang tentara. Aku adalah mata-mata. Dan aku ditempatkan di sini untuk memastikan misi ini berhasil.”
Mata Andi menyipit, wajahnya penuh ketegasan. “Kalian sedang berada di pusat konspirasi internasional yang melibatkan kekuatan-kekuatan besar di luar sana. Semua yang kalian pikirkan tentang perang ini hanyalah bagian dari kebohongan yang disebarkan. Yang lebih besar sedang terjadi.”
Ray merasa seolah-olah dunia di sekitarnya mulai berputar. “Kau… kau bekerja untuk mereka?”
Andi mengangguk, tetapi ada sedikit rasa bersalah yang tampak di matanya. “Aku bekerja untuk mereka yang mengendalikan proyek ini. Mata Elang adalah bagian dari operasi militer yang jauh lebih besar — operasi yang melibatkan banyak negara dan kekuatan tersembunyi yang menguasai dunia dari balik layar.”
Aruna menyentuh lengan Ray, menahan amarah yang mulai muncul. “Jadi, kita semua hanya pion dalam permainan mereka?”
Andi tidak langsung menjawab, namun nada suaranya berubah lebih berat. “Kalian tidak tahu siapa yang sebenarnya menggerakkan semua ini. Mereka yang berada di atas, yang mengendalikan segalanya, bukan hanya negara atau pasukan militer. Kalian hanya melihat sebagian kecil dari permainan ini.”
Ray merasa ada sesuatu yang tak beres. Semua yang terjadi di Zona Merah, semua misi yang gagal, bukan hanya kebetulan. Ada tangan-tangan tersembunyi yang menggerakkan setiap langkah mereka, yang memanipulasi takdir mereka.
“Lalu, kenapa kau membantu kami sekarang?” tanya Ray, suaranya rendah, penuh curiga.
Andi menghela napas panjang, tampaknya berjuang untuk memilih kata-kata yang tepat. “Karena mereka yang mengendalikan ini, yang sebenarnya ada di balik layar, tak akan membiarkan kita pergi begitu saja. Jika kalian ingin bertahan hidup dan mengungkap kebenaran, kalian harus tahu siapa yang sebenarnya mengendalikan permainan ini.”
Ray menatap Andi dengan penuh keraguan. “Tapi kau sudah terlalu jauh terlibat. Kau bahkan berada di sisi yang salah.”
Andi menatap ke dalam mata Ray. “Aku tahu. Tapi kadang, untuk mengungkap kebenaran, kita harus berada di tempat yang paling gelap. Kalian ingin tahu siapa yang mengendalikan proyek ini? Maka kalian harus mengikuti jejakku. Tapi hati-hati, Ray, ini bukan lagi tentang siapa yang benar atau salah. Ini tentang siapa yang bertahan.”
Dalam sekejap, Andi menghilang ke dalam kegelapan lorong, meninggalkan Ray dan Aruna dalam kebingungan. Mereka berdiri terpaku, berusaha mencerna segala informasi yang baru saja mereka terima.
Ray menatap ke arah yang sama, hatinya berat. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
Aruna mengangkat bahu, matanya masih fokus pada lorong yang gelap. “Kita lanjutkan perjalanan ini. Apa pun yang terjadi, kita harus mencari tahu siapa yang ada di balik semua ini. Kita tidak bisa mundur sekarang.”
Mereka melangkah maju, namun kali ini dengan beban yang jauh lebih berat. Kebenaran yang mereka cari kini semakin kabur, dan setiap langkah mereka membawa mereka lebih dalam ke dalam bayang-bayang konspirasi yang lebih besar dari yang mereka bayangkan.
Bab 8: Penjara Bawah Tanah
Langkah-langkah Ray dan Aruna semakin berat, semakin lambat. Mereka berjalan melalui lorong-lorong gelap yang penuh dengan kelembapan, udara yang pengap, dan bau tanah yang khas. Setiap langkah mereka bergema, dan suara itu seolah memberi tanda bahwa mereka semakin mendekati sesuatu yang lebih menakutkan dari yang mereka bayangkan.
Mereka telah tiba di ujung lorong, di sebuah pintu baja yang berat, yang tampak seperti pintu keluar. Namun, seperti yang mereka duga, ini bukanlah jalan menuju kebebasan.
Ray menyentuh gagang pintu, merasakan dinginnya logam yang menyelimuti tangannya. Tanpa kata, Aruna berdiri di sampingnya, matanya waspada, siap jika ada bahaya yang mendekat. Hanya ada satu kemungkinan—mereka telah sampai di penjara bawah tanah, tempat yang jauh lebih kelam dari yang bisa mereka bayangkan.
“Aku rasa kita tidak akan mudah keluar dari sini,” kata Aruna pelan, suaranya hampir tenggelam oleh keheningan yang mencekam.
Ray mengangguk, wajahnya serius. “Jika ini benar-benar penjara bawah tanah, maka kita harus siap untuk bertarung. Tempat seperti ini tidak pernah tanpa jebakan.”
Begitu pintu itu terbuka dengan suara berderit yang menusuk telinga, mereka disambut oleh sebuah ruangan besar yang gelap dan penuh dengan jeruji besi. Di dalam ruangan itu, terlihat beberapa sosok manusia yang terjebak dalam sel, beberapa di antaranya tampak terluka, namun semua wajah mereka kosong. Mereka tidak tahu lagi apakah mereka masih hidup atau sudah kehilangan harapan.
Ray menatap Aruna dengan tatapan penuh kekhawatiran. “Ada apa dengan mereka?” tanyanya dengan suara rendah, hampir berbisik.
Aruna menggenggam senjatanya lebih erat. “Mereka korban dari eksperimen yang dilakukan di sini. Semua yang ada di sini adalah mereka yang sudah tahu terlalu banyak dan dipenjara agar mulut mereka tetap terkunci.”
Mereka melangkah lebih jauh, semakin dalam ke dalam penjara yang terasa seperti lubang hitam yang menelan segala sesuatu. Setiap sudut tampak seperti bagian dari labirin yang penuh dengan penderitaan. Mereka berhati-hati, mencoba untuk tidak menarik perhatian, tetapi jejak mereka tak terelakkan. Pintu-pintu sel lainnya terbuka, seolah memanggil mereka untuk menyelidiki lebih jauh.
Di ujung ruangan, mereka melihat seorang pria tua yang duduk di sudut, tubuhnya kurus, namun matanya masih tajam. Wajahnya penuh dengan garis-garis penderitaan, dan setiap gerakannya menunjukkan bahwa dia sudah bertahun-tahun berada di tempat ini.
“Siapa dia?” bisik Ray.
Aruna menatap pria itu dengan cemas. “Dia salah satu ilmuwan yang terlibat dalam proyek ini. Namun, dia tahu terlalu banyak. Mereka tak bisa membiarkannya bebas.”
Ray mendekat, mencoba berbicara dengannya. “Apa yang terjadi di sini? Kenapa kalian semua dipenjara?”
Pria itu mengangkat wajahnya perlahan, matanya berbinar dengan keputusasaan yang mendalam. “Kalian tidak tahu apa yang kalian hadapi,” katanya dengan suara yang serak. “Kalian sedang berada di pusat eksperimen besar yang melibatkan teknologi militer canggih. Mereka yang mengendalikan ini tidak peduli dengan nyawa. Mereka hanya peduli dengan kekuasaan dan kontrol.”
Aruna menggigit bibirnya. “Kita harus keluar dari sini,” katanya tegas. “Jika kita tidak menemukan jalan keluar, kita akan menjadi bagian dari eksperimen mereka selamanya.”
Namun, saat mereka berbalik untuk mencari jalan keluar, sebuah suara keras menggema di seluruh penjara bawah tanah. “Kalian pikir kalian bisa kabur begitu saja?” Suara itu datang dari ujung lorong, dalam kegelapan yang tak terlihat.
Tiba-tiba, bayangan seorang pria muncul dari kegelapan. Dikenalnya sebagai Komandan Dewa, sosok yang terkenal karena kebrutalan dan tak kenal ampun. Dia adalah orang yang bertanggung jawab atas banyak eksperimen gelap yang berlangsung di penjara ini.
“Ray Satriya, Aruna Prameswari,” kata Komandan Dewa, suaranya rendah dan penuh ancaman. “Kalian pikir bisa melarikan diri? Ini adalah tempat kalian berdua berakhir.”
Ray menggertakkan giginya, matanya menyala penuh kemarahan. “Kami tidak akan mati di sini,” jawabnya dengan tegas, suara penuh tekad. “Kami akan menghentikan semua ini.”
Komandan Dewa tertawa dingin, langkahnya berat dan penuh dengan ancaman. “Kalian tidak tahu siapa yang kalian hadapi. Aku adalah kekuatan yang mengendalikan segala sesuatu di sini. Kalian hanya pion dalam permainan yang lebih besar.”
Aruna segera menarik Ray ke belakang, berusaha mencari celah untuk menyerang, namun Komandan Dewa sudah mengeluarkan perintah. Sejumlah prajurit bersenjata lengkap muncul dari kegelapan, mengarahkan senjata mereka ke arah Ray dan Aruna.
Ray memandang Aruna, sebuah isyarat tak terucapkan di antara mereka. Ini adalah pertarungan terakhir mereka untuk bertahan hidup. Mereka harus menemukan cara untuk melawan, atau mereka akan menjadi bagian dari eksperimen yang lebih mengerikan dari yang bisa mereka bayangkan.
Dengan keberanian yang tersisa, Ray menarik senjatanya, siap menghadapi pertempuran yang menentukan. Jika mereka bertahan, hanya satu hal yang pasti: mereka tidak akan membiarkan penjara ini menelan mereka tanpa perlawanan.
Bab 9: Kode Darah
Pertarungan di penjara bawah tanah itu berlangsung sengit. Suara tembakan dan benturan senjata memenuhi udara, menggema di sepanjang lorong-lorong gelap yang sempit. Ray dan Aruna berlari melintasi koridor, menyusuri jejak darah yang semakin membekas di lantai. Wajah mereka dipenuhi keringat dan debu, tubuh mereka terasa lelah, namun mata mereka tetap tajam, siap menghadapi apa pun yang datang.
Komandan Dewa dan pasukannya terus mengejar, tak memberikan kesempatan untuk berhenti. Setiap langkah mereka seperti bayangan yang tak bisa dielakkan. Namun, di tengah keputusasaan itu, ada satu hal yang tidak bisa Ray lupakan — sebuah kode yang disampaikan oleh pria tua di penjara.
“Kode darah… kalian harus temukan kode darah itu,” kata pria tua itu, suaranya penuh dengan desakan.
Ray berlari lebih cepat, mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan pria itu. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kode darah? Mengapa kode itu begitu penting? Dan bagaimana bisa mereka menemukannya di tengah pertempuran ini?
“Ray! Fokus!” seru Aruna, menariknya kembali ke kenyataan. “Kita harus keluar dari sini!”
Ray menatap ke depan, berusaha mencari petunjuk. Di ujung lorong, ada sebuah pintu logam yang terpisah dari yang lainnya, tertutup rapat. Di atas pintu itu, sebuah simbol aneh tercetak dalam darah. Sebuah tanda yang tidak asing lagi. Itu adalah simbol yang pernah mereka lihat di dokumen rahasia milik Andi, yang kini berada dalam genggaman tangan musuh.
Ray mendekat dengan hati-hati, melihat lebih dekat simbol itu. Tanda yang terlukis bukanlah sekadar gambar — itu adalah kode yang harus dipecahkan. Sebuah pesan yang terukir dalam darah, yang mengarah pada kunci untuk mengungkap segala misteri yang tersembunyi di balik proyek Mata Elang.
“Kita harus masuk,” kata Ray, matanya menyala penuh semangat. “Kode ini mengarah ke sesuatu yang lebih besar. Ini bisa jadi jalan keluar kita.”
Aruna mengangguk, meski wajahnya masih dipenuhi rasa cemas. “Tapi kita harus hati-hati, Ray. Ini bisa saja jebakan.”
Ray menyentuh pintu logam itu, merasakan dinginnya yang menembus ke dalam kulit. Perlahan-lahan, ia memutar tombol pintu, dan terdengar suara berderit pelan saat pintu terbuka sedikit. Namun, sebelum mereka melangkah lebih jauh, sebuah suara datang dari belakang mereka.
“Jangan coba melarikan diri.”
Ray dan Aruna berbalik, hanya untuk melihat Komandan Dewa muncul dari bayang-bayang, diikuti oleh beberapa prajurit bersenjata. Wajah Komandan Dewa terlihat lebih keras, matanya berkilat penuh kebencian.
“Kalian pikir bisa kabur begitu saja?” Komandan Dewa berkata dengan suara dingin, penuh ancaman. “Semua ini sudah direncanakan jauh sebelum kalian tiba di sini. Kalian tidak tahu siapa yang benar-benar mengendalikan permainan ini.”
Ray menggenggam senjatanya dengan erat, berdiri di depan Aruna. “Kami akan berhenti jika kalian bisa memberi jawaban. Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Apa yang kalian lakukan dengan proyek Mata Elang?”
Komandan Dewa tersenyum sinis. “Kalian masih terjebak dalam kebodohan kalian. Proyek Mata Elang lebih dari sekadar militer. Ini adalah eksperimen untuk mengendalikan pikiran manusia, untuk menciptakan prajurit yang tak kenal rasa takut, yang bisa diprogram untuk melakukan apa saja, kapan saja. Dan kalian? Kalian hanyalah bagian dari eksperimen itu. Kode darah yang kalian cari? Itu adalah bagian dari ujian terakhir. Kalian hanya dipilih untuk melihat apakah kalian cukup kuat untuk bertahan.”
Tiba-tiba, sebuah ledakan kecil mengguncang lantai di bawah kaki mereka, membuat mereka terhuyung. Di saat yang sama, pintu logam itu terbuka lebar, seolah memberi kesempatan. Ray dan Aruna tidak menyia-nyiakan peluang itu.
Mereka melompat masuk ke dalam ruangan, berlari menuju bagian dalam yang lebih gelap, namun suara tembakan segera mengikuti. Komandan Dewa masih mengejar mereka, tapi kini, mereka telah berada di dalam ruang yang penuh dengan layar-layar monitor besar, semuanya menampilkan data yang tidak mereka pahami.
Ray menyentuh layar yang terdekat, matanya terpaku pada angka-angka yang terus berubah. Di layar itu, ada informasi yang sangat terperinci tentang eksperimen yang telah dilakukan di bawah tanah ini. Proyek Mata Elang ternyata lebih dari sekadar pengendalian militer. Mereka mencoba menciptakan prajurit yang memiliki kemampuan luar biasa, dengan kemampuan untuk mengakses potensi tersembunyi dalam otak manusia melalui teknologi canggih yang belum pernah dibuka ke dunia luar.
“Ini… ini bukan hanya eksperimen biasa,” gumam Aruna, matanya terpaku pada layar. “Mereka mencoba mengubah cara kita berpikir. Mengendalikan pikiran kita.”
Ray menyentuh kode yang ada di layar, mencoba memasukkan kombinasi angka yang ada dalam ingatannya, yang dilihatnya saat berhadapan dengan Andi. Tidak ada waktu lagi. Setiap detik berlalu terasa sangat berharga.
Akhirnya, dengan suara klik yang terdengar, layar itu berubah. Sebuah peta muncul, menunjukkan lokasi-lokasi yang tersembunyi di seluruh dunia, tempat-tempat yang sebelumnya tidak terdeteksi. Di salah satu titik di peta itu, ada tanda besar bertuliskan “Zona Merah: Titik Nol”.
Ray menarik napas dalam-dalam. “Ini bukan hanya tentang kita. Ini tentang dunia.”
Aruna menatap layar dengan tajam. “Ini bukan lagi tentang bertahan hidup, Ray. Ini tentang menghentikan mereka sebelum semuanya terlambat.”
Komandan Dewa muncul di pintu, matanya penuh amarah. “Kalian sudah terlambat. Tidak ada yang bisa menghentikan kami sekarang.”
Namun, Ray dan Aruna sudah siap. Kode darah yang mereka temukan adalah kunci untuk mengungkap segalanya, dan mereka tidak akan berhenti sebelum mengungkap kebenaran yang ada di balik semua ini.
Bab 10: Menembus Neraka
Keheningan yang mengerikan menghantui setiap langkah mereka. Setelah menemukan peta di layar yang mengarah ke “Zona Merah: Titik Nol,” Ray dan Aruna tahu bahwa perjalanan mereka belum berakhir. Ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih gelap dan lebih berbahaya. Mereka telah melangkah lebih dalam ke dalam sarang musuh, dan kini mereka harus berhadapan dengan kenyataan yang jauh lebih mengerikan dari yang pernah mereka bayangkan.
Zona Merah bukan hanya sebuah lokasi di peta; itu adalah jantung dari eksperimen yang telah membentuk dunia bawah tanah ini. Titik Nol, seperti yang tertera di layar, adalah pusat dari segala kekacauan — tempat di mana semua rahasia kelam ini diciptakan, tempat di mana dunia berada di ambang kehancuran.
Ray dan Aruna berdiri di depan pintu besi yang besar, dikelilingi oleh dinding beton yang tampak tidak berujung. Sebuah lorong panjang terbentang di depan mereka, gelap gulita, hanya diterangi oleh cahaya redup dari lampu-lampu yang bergoyang lemah. Bau logam dan tanah yang lembap semakin menyengat seiring dengan setiap langkah mereka. Di luar, hujan deras terus mengguyur, memukul keras atap dan dinding penjara.
“Mereka tahu kita akan datang,” bisik Aruna, matanya menyapu sekitar. “Kita tidak akan pernah bisa sampai ke titik ini tanpa mereka menyadari langkah kita.”
Ray mengangguk, senjata di tangan siap siaga. “Mereka sudah tahu kita tahu. Mereka hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengakhiri ini. Tapi kita harus terus maju. Zona Merah adalah kunci untuk menghentikan semua ini.”
Mereka melangkah maju, menembus lorong sempit yang terasa seperti terowongan menuju neraka. Tiba-tiba, suara decitan keras terdengar, menandakan pintu besar itu terbuka. Mereka melangkah masuk ke ruang utama yang begitu luas, dipenuhi dengan mesin-mesin canggih dan layar-layar yang menampilkan berbagai macam data yang mereka tidak bisa pahami. Di pusat ruangan, ada sebuah meja besar yang dipenuhi dengan dokumen dan perangkat yang tampaknya berhubungan langsung dengan eksperimen tersebut.
Namun, tak ada yang terlihat seperti yang mereka duga. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, tidak ada perlawanan. Hanya keheningan yang mencekam.
Ray berhenti, menatap ke sekelilingnya. “Ini tidak benar. Mereka pasti menunggu kita di sini,” ujarnya, matanya tetap waspada. “Ini jebakan.”
“Jebakan atau bukan, kita harus temukan apa yang kita cari,” jawab Aruna dengan nada tegas, matanya menyusuri setiap sudut ruangan. “Zona Merah harus mengandung jawabannya.”
Mereka bergerak lebih cepat, memeriksa setiap layar yang ada di dalam ruangan, mencoba menemukan petunjuk lebih lanjut. Tidak lama kemudian, sebuah layar besar menyala secara otomatis, menampilkan gambar wajah yang tidak asing lagi. Wajah Komandan Dewa muncul di layar, dengan senyum sinis yang menggambarkan kebanggaan yang tak terbantahkan.
“Kalian pikir kalian bisa menghentikan kami?” suara Komandan Dewa terdengar melalui speaker, keras dan penuh kebencian. “Kalian hanya dua pion yang terjebak dalam permainan ini. Setiap langkah yang kalian ambil, setiap detik yang kalian habiskan, sudah diperhitungkan. Tidak ada yang bisa menghentikan kami sekarang.”
Ray mengepalkan tangan, wajahnya dipenuhi rasa marah yang membara. “Ini tidak akan berakhir di sini, Dewa. Kami akan menghentikan semua ini.”
Komandan Dewa tertawa dingin. “Kalian ingin menghentikan kami? Ini bukan sekadar eksperimen atau senjata yang dapat kalian musnahkan begitu saja. Zona Merah adalah pusat dari segala sesuatu. Di sinilah, di Titik Nol, semuanya dimulai, dan di sini pula semuanya akan berakhir.”
Dengan satu isyarat tangan, sebuah pintu besar terbuka di sisi ruangan. Dari dalam pintu itu, muncul bayangan-bayangan bergerak — pasukan elit yang telah diprogram untuk menghancurkan siapapun yang mengancam keberadaan proyek ini. Mereka tidak hanya prajurit biasa; mereka adalah hasil dari eksperimen Mata Elang yang telah diprogram untuk mengikuti perintah tanpa ragu.
Ray dan Aruna segera bersiap, senjata mereka terarah pada pasukan yang semakin mendekat. “Mereka bukan manusia lagi, Ray,” kata Aruna dengan tegas. “Kita harus menghentikan mereka sebelum mereka menyerang.”
Pasukan elit itu bergerak cepat, masing-masing membawa senjata canggih yang mengancam. Namun, Ray dan Aruna tidak mundur. Mereka tahu bahwa ini adalah saat yang menentukan, dan mereka harus bertahan hidup.
Dengan kecepatan luar biasa, Ray melepaskan tembakan pertama, menghancurkan salah satu senjata musuh yang berusaha menghujani mereka dengan peluru. Aruna mengikuti dengan serangan tajam, setiap gerakan begitu presisi, menghancurkan satu per satu musuh yang datang.
Namun, meskipun mereka berhasil menumbangkan beberapa pasukan elit, jumlah musuh semakin banyak. Waktu semakin sempit. Di layar besar, Komandan Dewa tertawa lebih keras, seolah meremehkan perjuangan mereka.
“Ini sudah terlambat,” kata Komandan Dewa. “Zaman baru telah dimulai. Dunia ini akan berada di bawah kendali kami, dan kalian… kalian hanya akan menjadi kenangan.”
Namun, di saat-saat paling kritis itu, Aruna melihat sesuatu yang terlewatkan sebelumnya. Sebuah kode tersembunyi di pojok layar besar yang mereka temui sebelumnya. Dengan cepat, dia mengetikkan kombinasi angka yang dia ingat dari dokumen yang pernah mereka lihat.
Tiba-tiba, suara keras terdengar, dan seluruh ruangan bergetar. Sistem keamanan Zona Merah mulai berfungsi, mengunci pintu-pintu, dan layar menunjukkan countdown—waktu mundur yang menandakan bahwa sesuatu yang sangat besar sedang terjadi.
Ray menatap Aruna dengan mata penuh harapan. “Apa yang terjadi?”
“Ini adalah kesempatan kita,” jawab Aruna, penuh percaya diri. “Kita bisa menghancurkan sistem mereka dari dalam, menghentikan semuanya sebelum terlambat.”
Namun, mereka tahu ini bukanlah akhir. Ini hanya awal dari perjalanan berbahaya mereka untuk menghentikan rencana jahat yang telah mengancam dunia. Mereka harus menembus lebih dalam ke dalam neraka yang lebih gelap, lebih berbahaya, dan penuh dengan risiko.
Dan mereka siap menghadapinya.
Bab 11: Benteng Pengkhianat
Matahari yang terbenam menyorotkan cahaya merahnya ke dalam ruang kendali utama yang penuh dengan alat-alat canggih. Ruangan ini terasa seperti sarang laba-laba yang terjalin rapat, di mana setiap langkah yang diambil adalah langkah menuju kehancuran. Ray dan Aruna telah berhasil melewati banyak rintangan, tapi mereka tahu bahwa tantangan terbesar mereka masih ada di depan mata.
Mereka telah menghancurkan sebagian besar sistem keamanan di Zona Merah dan menghentikan eksperimen yang berlangsung. Namun, satu hal yang masih membayangi mereka adalah kenyataan bahwa mereka telah jatuh ke dalam perangkap yang jauh lebih besar. Semua yang mereka lakukan, semua yang mereka temukan, hanyalah bagian dari sebuah permainan yang lebih licik dan lebih jahat. Mereka bukan hanya berhadapan dengan musuh yang terlihat, tetapi juga dengan pengkhianatan yang mengakar dalam.
“Ray, ini bukan akhir dari semuanya,” kata Aruna dengan suara rendah, matanya menyapu seluruh ruang yang tampaknya hening namun penuh ancaman. “Kita telah dikhianati. Semua ini sudah direncanakan dari awal.”
Ray menggenggam erat senjatanya, bibirnya tersenyum tipis. “Aku tahu. Itu sebabnya kita harus menemukan siapa yang benar-benar mengendalikan permainan ini.”
Mereka berdua kini berdiri di depan sebuah pintu besar yang terbuat dari baja kokoh, dipenuhi dengan lapisan penghalang keamanan canggih. Layar monitor di samping pintu memperlihatkan wajah yang tidak asing lagi — wajah yang mereka temui sebelumnya, namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda.
Di layar itu, wajah Komandan Dewa menyeringai dengan senyum yang penuh kebanggaan. Namun, di belakangnya, berdiri sosok lain yang lebih mengejutkan. Seorang pria yang mereka kenal baik, seseorang yang telah mereka percayai, kini berdiri di sana dengan senyum liciknya yang penuh dengan pengkhianatan.
“Jadi, kalian akhirnya sampai juga,” suara Komandan Dewa bergema melalui speaker, menyertai tawa yang dingin. “Aku harap perjalanan kalian menyenangkan. Tapi sayangnya, ini adalah akhir dari segalanya.”
Aruna mendekat, matanya tajam menatap sosok pria di belakang Komandan Dewa. “Andi… bagaimana bisa…?” suaranya tercekat, tak percaya. Pria yang selama ini mereka anggap teman, sahabat dalam perjuangan mereka, kini berdiri sebagai musuh yang mengkhianati mereka.
Pria itu, Andi, tersenyum sinis. “Kalian terlalu naif,” katanya dengan suara penuh ironi. “Tidak ada yang namanya teman dalam dunia ini. Semuanya adalah tentang kekuasaan dan pengaruh. Dan kalian, Ray dan Aruna, hanya alat untuk mencapai tujuan itu. Zona Merah? Itu hanya sebuah alat untuk menguasai dunia. Dan aku… aku adalah kunci utamanya.”
Ray merasa tubuhnya kaku. Semua yang mereka lakukan selama ini, semua pengorbanan yang telah mereka bayar, hanyalah permainan bagi Andi. Pria yang mereka percayai ternyata adalah pengkhianat yang paling kejam.
“Jadi, semua yang kita temukan, semua yang kita usahakan, tidak ada artinya bagimu?” tanya Ray, suaranya berat dengan rasa marah yang terpendam.
Andi mengangguk dengan tenang. “Kalian hanya bagian dari rencana besar yang jauh lebih besar dari apa yang bisa kalian bayangkan. Proyek Mata Elang bukan hanya tentang militer atau eksperimen. Itu tentang menciptakan dunia baru, dunia di mana kami yang mengendalikan segalanya. Semua ini dimulai dari sini, dari benteng ini.”
Ray merasakan amarah yang membara di dadanya, tetapi ia tahu bahwa saat ini bukanlah waktunya untuk bertindak gegabah. Mereka telah dibawa ke titik ini dengan penuh perhitungan. Semua yang mereka temui, semua yang mereka percaya, telah dipelintir oleh pengkhianatan yang mendalam.
“Kalian tidak bisa mengubah apa pun, Ray,” lanjut Andi, senyumnya semakin lebar. “Benteng ini adalah pusat kekuasaan kami. Di sini, semuanya dimulai, dan di sini, kami akan memutuskan siapa yang hidup dan siapa yang mati.”
Dengan sebuah gerakan cepat, Andi memberi isyarat kepada pasukannya, yang sebelumnya tersembunyi di balik bayangan ruangan. Pasukan elit bersenjata lengkap mulai bergerak maju, mengepung Ray dan Aruna. Situasi menjadi semakin genting. Mereka tidak lagi berhadapan dengan pasukan biasa, tetapi dengan musuh yang memiliki kekuatan dan kekuasaan di luar imajinasi mereka.
Namun, di balik rasa putus asa, ada secercah harapan. Ray melirik Aruna, yang kini berdiri dengan tegak, matanya menyala penuh semangat.
“Kita harus menghancurkan benteng ini dari dalam, Aruna,” kata Ray, bisikan itu penuh tekad. “Kita tahu cara melawan mereka. Kita hanya perlu mencari titik lemah.”
Aruna mengangguk, sejenak memeriksa lingkungan sekitar mereka. “Aku tahu. Jika kita bisa menghancurkan pusat sistem kendali mereka, kita bisa menonaktifkan seluruh benteng ini. Kita hanya perlu satu kesempatan.”
“Dan kita akan mendapatkannya,” jawab Ray, matanya penuh dengan kebulatan tekad. Mereka tidak bisa membiarkan semua yang telah mereka perjuangkan berakhir di sini. Mereka tidak bisa membiarkan pengkhianatan ini menelan dunia dalam kegelapan yang lebih dalam.
Tanpa kata-kata lebih lanjut, mereka melompat ke dalam aksi. Ray dan Aruna bergerak cepat, berusaha menemukan celah di antara pasukan elit yang mengepung mereka. Mereka tahu ini adalah pertarungan terakhir, pertarungan hidup mati. Mereka harus menghancurkan benteng ini, menghentikan rencana jahat yang telah dirancang Andi dan Komandan Dewa, sebelum semuanya terlambat.
Dengan setiap langkah, mereka menembus kegelapan dan ketakutan, menembus benteng pengkhianat yang telah dibangun dengan penuh darah dan kebohongan. Karena mereka tahu, meskipun mereka telah dikhianati, mereka masih memiliki satu hal yang lebih kuat dari apapun: harapan untuk dunia yang lebih baik.
Bab 12: Operasi Tanpa Nama
Langit malam menyelimuti benteng besar yang sekarang menjadi medan pertempuran. Bintang-bintang yang biasanya terlihat di atas sana kini tertutup oleh kabut asap dan cahaya redup dari lampu-lampu yang mulai padam satu per satu. Di bawah tanah, di tempat yang jauh dari pandangan, Ray dan Aruna berdiri di depan layar besar yang memancarkan cahaya hijau. Di belakang mereka, ruangan yang semula sepi kini penuh dengan suara-suara mekanis dari perangkat yang sedang beroperasi.
“Ini dia,” bisik Aruna, matanya fokus pada layar yang menunjukkan peta kompleks benteng ini. “Sistem kendali utama ada di bawah sini. Tapi kita hanya punya sedikit waktu. Jika kita tidak bertindak sekarang, semuanya akan berakhir.”
Ray mengangguk, wajahnya penuh tekad. “Kita tidak punya pilihan lain, Aruna. Operasi ini harus berhasil. Jika kita gagal, tidak hanya kita yang akan jatuh, tetapi seluruh dunia.”
Mereka berdua tahu bahwa waktu mereka semakin sempit. Andi dan Komandan Dewa telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan sangat matang. Setiap langkah yang mereka ambil, setiap keputusan yang mereka buat, selalu dipantau dengan seksama. Dan meskipun mereka telah menghancurkan banyak sistem keamanan, mereka belum sepenuhnya mengalahkan musuh yang telah merencanakan ini sejak awal.
“Operasi Tanpa Nama,” kata Ray, mengingatkan diri sendiri akan nama yang mereka berikan untuk misi ini. Sebuah operasi yang tidak akan dikenali oleh siapapun, bahkan oleh dunia luar. Tidak ada nama, tidak ada tanda, hanya tujuan akhir yang harus tercapai — menghentikan komplotan jahat ini, menghancurkan Zona Merah, dan menggagalkan rencana global yang telah dipersiapkan oleh Komandan Dewa dan Andi.
“Misi kita sederhana,” lanjut Ray, menatap Aruna dengan penuh keyakinan. “Masuki ruang kendali utama, hancurkan sistem utama mereka, dan pastikan semuanya tidak bisa dipulihkan lagi. Kita harus memutuskan jaringan komunikasi mereka dan membuat mereka terisolasi. Setelah itu, kita lakukan evakuasi. Itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran.”
Namun, Aruna tahu bahwa meskipun misi ini terdengar sederhana, risikonya sangat besar. Mereka tidak tahu pasti apa yang menunggu di dalam, dan mereka juga tidak tahu seberapa jauh musuh mereka telah bersiap untuk menghadapi serangan ini.
“Ray, kita tahu bahwa ini lebih besar dari yang kita bayangkan,” kata Aruna dengan suara tegas. “Tapi kita tidak bisa mundur sekarang. Jika kita gagal, seluruh dunia akan jatuh ke tangan mereka.”
Ray menatap mata Aruna, mengerti bahwa mereka berdua sudah berada di ujung jalan yang tak bisa kembali. Hanya ada satu jalan keluar: keberhasilan. Atau tidak sama sekali.
Dengan langkah mantap, mereka memasuki lorong sempit yang mengarah ke pusat kendali. Di sepanjang jalan, mereka bertemu dengan beberapa pasukan yang mencoba menghalangi mereka. Namun, setiap perlawanan dengan cepat dihentikan dengan serangan cepat dan tepat. Mereka berdua bukan hanya sekadar tentara biasa. Mereka adalah bagian dari sebuah tim yang telah dilatih untuk mengatasi situasi paling ekstrem sekalipun.
“Setiap langkah kita adalah risiko,” kata Aruna, sambil memeriksa senjatanya. “Namun, kita harus tetap bergerak maju. Kita sudah terlalu dekat untuk menyerah.”
Ray mengangguk, menyarungkan senjatanya dan mengambil perangkat kecil yang telah mereka persiapkan untuk menghancurkan sistem pertahanan utama. Mereka tahu bahwa mereka hanya memiliki waktu kurang dari dua puluh menit untuk mencapai ruang kendali utama dan memicu penghancuran sistem.
Begitu mereka sampai di pintu utama ruang kendali, suasana menjadi sangat tegang. Pintu besar yang terbuat dari baja kuat terkunci rapat, tetapi dengan keahlian yang telah mereka pelajari dalam misi sebelumnya, Ray berhasil membuka pintu tersebut. Dengan hati-hati, mereka melangkah masuk.
Di dalam, mereka disambut oleh pemandangan yang mengejutkan: ribuan layar yang menampilkan data, informasi, dan sistem yang saling terhubung. Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja komando yang dipenuhi oleh perangkat canggih, semuanya terkoneksi dengan jaringan yang mengendalikan benteng ini. Ray dan Aruna tahu bahwa ini adalah pusat dari segala kekuatan yang dimiliki oleh Komandan Dewa dan Andi.
Namun, sebelum mereka sempat bertindak lebih lanjut, suara yang familiar kembali terdengar dari speaker besar yang ada di ruangan itu.
“Kalian benar-benar nekat,” suara Komandan Dewa terdengar di seluruh ruangan. “Mereka bilang kalian adalah ancaman terbesar kami. Tapi kalian tidak mengerti. Di balik semua ini, kami adalah masa depan. Kalian… hanyalah bagian dari sejarah yang akan terlupakan.”
Ray menggeram. “Kami tidak peduli dengan apa yang kalian pikirkan. Operasi ini tidak bisa digagalkan. Dunia akan tahu kebenaran tentang apa yang kalian lakukan.”
Tiba-tiba, layar utama menampilkan gambar wajah Andi, yang tersenyum licik. “Kalian masih percaya kalian bisa menghentikan kami? Operasi ini sudah berjalan jauh lebih lama daripada yang kalian kira. Bahkan jika kalian menghancurkan sistem ini, kalian hanya akan mempercepat kehancuran kalian sendiri.”
Ray dan Aruna saling berpandangan. Mereka tahu bahwa saat ini mereka tidak hanya berhadapan dengan pasukan, tetapi dengan sebuah jaringan yang jauh lebih besar dan lebih kuat dari yang mereka bayangkan.
Namun, mereka tidak bisa mundur. Misi ini sudah berjalan terlalu jauh, dan mereka tahu bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan komplotan ini adalah dengan menghancurkan pusat kendali utama yang ada di depan mata mereka.
Dengan cepat, Ray dan Aruna mulai memasang alat penghancur yang mereka bawa. Sementara itu, pasukan elit dari Komandan Dewa mulai bergerak mendekat, bersiap untuk mencegah mereka melanjutkan misi ini. Pertempuran sengit pun tak terhindarkan.
Namun, Ray dan Aruna tahu, meskipun mereka harus melawan segala rintangan yang ada, keberhasilan misi ini adalah satu-satunya harapan bagi dunia untuk bertahan. Mereka harus memutuskan takdir ini sekali dan untuk selamanya.
“Operasi Tanpa Nama sudah dimulai, Aruna,” kata Ray dengan suara penuh keyakinan. “Tidak ada jalan kembali.”
Dengan satu keputusan, mereka melanjutkan langkah mereka. Operasi ini harus berhasil, atau dunia ini akan menemui akhir yang lebih kelam dari yang pernah mereka bayangkan.
Bab 13: Harga dari Sebuah Kebenaran
Guntur petir menggema di langit, menandakan hujan deras yang semakin deras turun. Ruangan itu terasa sepi, hanya ada suara detak jam di dinding yang seakan mempercepat waktu menuju titik akhir. Di tengah gelapnya benteng yang sudah porak-poranda, Ray dan Aruna berdiri di depan sebuah layar besar yang menampilkan gambar yang mengubah segalanya. Kebenaran yang tak pernah mereka duga, yang kini terungkap dengan cara yang tak bisa mereka hindari.
“Mereka…” kata Aruna dengan suara yang hampir tak terdengar, matanya terpaku pada gambar yang ditampilkan. “Mereka sudah merencanakan semuanya sejak lama, Ray. Bukan hanya ini… bukan hanya Zona Merah. Semua yang terjadi, semua yang kita hadapi, semuanya bagian dari rencana besar mereka.”
Ray berdiri diam, mengatur napasnya. Di layar itu, terlihat proyek-proyek gelap yang selama ini mereka anggap sebagai eksperimen militer biasa, ternyata jauh lebih kompleks dan lebih berbahaya. Semua data yang mereka kumpulkan, semua pengorbanan yang mereka buat, hanya bagian dari sebuah permainan besar yang dirancang oleh orang-orang yang mereka anggap sahabat.
“Ini… ini terlalu besar untuk dibiarkan begitu saja,” gumam Ray, wajahnya muram. “Kebenaran ini terlalu berharga, Aruna. Tapi juga terlalu berbahaya.”
Aruna menatapnya, matanya dipenuhi keraguan dan kelelahan. “Ray, jika kita mempublikasikan semua ini, jika dunia tahu tentang semua yang telah terjadi di sini… Apa yang akan terjadi pada kita? Apa yang akan terjadi pada mereka yang terlibat? Kita tidak bisa hanya mengabaikan dampak dari kebenaran ini.”
Ray menggigit bibirnya, tahu betul bahwa mereka berada di persimpangan yang sangat sulit. Setiap pilihan yang mereka ambil bisa mengubah nasib tidak hanya bagi mereka, tetapi juga bagi dunia. Menyebarkan kebenaran berarti membuka pintu bagi kekacauan yang mungkin tak akan bisa dibendung. Namun, menyembunyikan kebenaran sama dengan mengizinkan kebohongan ini terus berlanjut.
“Dunia tidak bisa hidup dalam kebohongan, Aruna,” jawab Ray dengan suara keras, penuh keyakinan. “Kita harus memilih untuk mengungkapkan kebenaran, meskipun itu berarti harga yang harus kita bayar sangat tinggi.”
Namun, sesaat kemudian, sebuah pesan muncul di layar mereka, menginterupsi percakapan mereka. Pesan itu singkat, namun cukup untuk mengguncang seluruh keyakinan mereka.
“Jangan coba menghentikan kami. Semua yang kalian lakukan akan sia-sia. Zona Merah adalah milik kami. Dunia ini akan tetap di bawah kendali kami. Kalian tidak akan pernah menang.”
Pesan itu berasal dari Andi, orang yang selama ini mereka percayai. Pesan itu bukan hanya ancaman kosong, tetapi pengingat bahwa musuh mereka telah menyiapkan segala kemungkinan, dan mereka hanyalah pion dalam permainan yang jauh lebih besar.
Aruna mengusap wajahnya dengan tangan, merasakan beban yang begitu berat. “Apa yang harus kita lakukan, Ray? Kebenaran ini bisa menghancurkan segalanya. Dunia yang kita kenal… bisa runtuh begitu saja.”
Ray menatap layar, matanya kosong sejenak. “Jika kita mengungkapkan ini, kita bukan hanya melawan mereka yang ada di balik Zona Merah. Kita melawan seluruh sistem yang telah dibangun selama ini. Mereka sudah merencanakan ini jauh lebih lama dari yang kita kira.”
Kebenaran yang mereka temui tidak hanya tentang eksperimen militer, bukan hanya tentang teknologi canggih yang telah dipergunakan di Zona Merah. Itu lebih dari sekadar senjata atau peralatan—ini adalah pengendalian dunia yang lebih besar, sebuah rencana untuk menciptakan tatanan baru di mana mereka yang mengendalikan kekuatan ini bisa menguasai seluruh planet dengan cara yang tak terbayangkan sebelumnya. Semua yang terjadi—pengkhianatan, pembunuhan, perang—semuanya telah dipersiapkan untuk mencapai tujuan itu.
“Ray, apa kita siap dengan konsekuensinya?” Aruna bertanya, suaranya bergetar. “Mungkin kita akan dihancurkan. Dunia ini akan hancur.”
“Aruna…” Ray menatapnya dengan tegas, mencoba menenangkan hati yang semakin diliputi keraguan. “Kebenaran bukan sesuatu yang bisa kita tutup-tutupi. Kita tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut. Kita harus bertanggung jawab atas apa yang telah kita temukan.”
Tiba-tiba, suara dari belakang mereka memecah kesunyian. “Kalian benar, Ray,” kata seorang pria, suara tegas dan penuh wibawa, menggetarkan seluruh ruangan. “Kebenaran memang harus disampaikan. Tapi, tahukah kalian harga dari kebenaran itu?”
Ray dan Aruna menoleh dengan cepat. Di hadapan mereka berdiri sosok yang tak asing lagi, namun kali ini wajahnya penuh dengan tekad yang jauh lebih gelap. Itu adalah Komandan Dewa, pemimpin yang selama ini mereka hadapi dan lawan.
“Komandan Dewa…” suara Ray serak, matanya menyipit. “Kamu ternyata ada di sini.”
Komandan Dewa tersenyum sinis. “Tentu saja. Aku tahu kalian tidak akan berhenti sebelum mencapai kebenaran. Tapi apa yang akan kalian lakukan setelah kebenaran itu terungkap? Apakah kalian siap untuk menghancurkan segalanya? Termasuk diri kalian sendiri?”
Ray dan Aruna tidak bisa menghindar dari kenyataan bahwa apa yang mereka hadapi jauh lebih besar dari yang mereka kira. Kebenaran ini tidak hanya akan menghancurkan Zona Merah, tetapi bisa menghancurkan dunia seperti yang mereka kenal. Dan harga dari sebuah kebenaran… terkadang jauh lebih mahal dari apa yang bisa dibayangkan.
“Kita tidak punya pilihan,” kata Ray, matanya tajam menatap Komandan Dewa. “Jika kita harus menghancurkan semuanya, maka kita akan melakukannya. Kami tidak akan membiarkan dunia ini jatuh ke tangan orang seperti kalian.”
Komandan Dewa mengangkat alisnya, menyadari bahwa tekad Ray sudah bulat. “Baiklah, Ray. Jika itu yang kalian inginkan, maka kalian akan merasakan akibatnya. Kebenaran selalu datang dengan harga.”
Saat itu, seluruh sistem di ruangan itu mulai bergetar, dan kedipan merah menyala di seluruh layar. Sistem pertahanan benteng mulai aktif kembali, menyadarkan mereka bahwa keputusan mereka telah memulai sesuatu yang tak bisa dihentikan lagi.
“Aruna,” Ray berkata, suara penuh determinasi. “Kita harus terus maju. Dunia ini membutuhkan kebenaran. Meskipun kita harus membayar harga yang sangat tinggi.”
Aruna menatap Ray sejenak, kemudian mengangguk. “Kita tidak akan mundur. Kita akan membawa kebenaran itu ke dunia.”
Dan dengan itu, mereka melangkah maju, siap untuk menghadapi konsekuensi yang tak terhindarkan. Karena mereka tahu satu hal pasti: kebenaran, meskipun menghancurkan, adalah sesuatu yang tak bisa dikhianati.
Bab 14: Dosa yang Tak Terhapus
Langit malam semakin gelap, tertutup awan tebal yang membawa hujan lebat. Seluruh kota seperti tertutup dalam bayangan, hanya cahaya lampu jalan yang tampak bersinar redup, menambah kesan suram pada malam itu. Di ruang bawah tanah yang sempit dan remang, Ray dan Aruna berdiri di depan layar besar yang kini menampilkan data dan informasi yang lebih mengerikan daripada sebelumnya. Kebenaran yang mereka ungkapkan telah mengubah arah perjuangan mereka, tetapi di baliknya, ada sesuatu yang lebih mengerikan lagi yang belum mereka pahami sepenuhnya.
“Dosa… ini semua dosa,” gumam Ray pelan, suara penuh penyesalan.
Aruna memandangnya, matanya penuh dengan kecemasan. “Apa maksudmu? Kebenaran ini harus disampaikan, Ray. Kita sudah terlalu jauh untuk mundur. Dunia harus tahu apa yang terjadi di Zona Merah.”
Ray menoleh padanya, wajahnya muram, penuh beban. “Kebenaran memang harus disampaikan, Aruna. Tapi ketika kebenaran itu datang dengan darah dan pengkhianatan, dengan dosa yang tak terhapuskan, apakah kita siap menghadapi konsekuensinya?”
Aruna terdiam, menyadari betul bahwa kata-kata Ray memiliki bobot yang sangat dalam. Mereka telah memilih untuk mengungkapkan kebenaran yang mengerikan itu, tetapi dengan setiap langkah yang mereka ambil, semakin jelas bahwa mereka juga terjerat dalam jaring dosa yang begitu besar. Apa yang mereka lakukan bukan hanya sekedar membongkar rahasia militer, tetapi juga menyelami dosa masa lalu yang tak akan bisa dihapuskan begitu saja.
Mata Aruna tertuju pada layar, yang kini menampilkan gambar-gambar yang semakin membingungkan. Gambar-gambar itu menunjukkan para pemimpin dunia yang selama ini mereka percayai, ternyata terlibat dalam persekongkolan yang jauh lebih dalam dari yang mereka bayangkan. Ini bukan sekadar masalah Zona Merah atau proyek militer gelap, ini adalah konspirasi global yang melibatkan banyak pihak yang memiliki kekuatan tak terhingga.
“Ray, kita sedang melawan kekuatan yang jauh lebih besar dari apa yang kita bayangkan,” kata Aruna, suaranya mulai bergetar. “Apa yang kita lakukan sekarang… kita sudah terlalu jauh, kita sudah menginjak garis yang tak bisa kita mundurkan.”
Ray menatap Aruna, matanya penuh kelelahan dan keraguan. “Aku tahu. Setiap langkah yang kita ambil, setiap informasi yang kita buka, kita semakin terjerat dalam dosa yang tak bisa dimaafkan. Mungkin ini yang mereka inginkan—kita terjatuh dalam jurang yang tak ada jalan keluarnya.”
Aruna memegang bahunya, mencoba memberi kekuatan. “Tapi kita tidak bisa berhenti, Ray. Kalau kita berhenti sekarang, semuanya akan sia-sia. Dosa yang mereka buat… itu harus terungkap.”
Namun, di dalam hati Ray, ada perasaan yang lebih berat daripada sekadar keputusasaan. Mereka bukan hanya berjuang untuk mengungkap kebenaran. Mereka juga berhadapan dengan kenyataan bahwa mereka sendiri tidak bisa lepas dari beban moral yang telah mereka ambil. Setiap informasi yang mereka temukan bukan hanya tentang orang lain, tetapi juga tentang diri mereka sendiri. Mereka tidak bisa menghindar dari kenyataan bahwa mereka terlibat dalam permainan kotor ini, bahkan jika itu berarti mengorbankan jiwa mereka.
Di luar gedung, hujan semakin deras. Petir menyambar di kejauhan, seakan menandakan bahwa dunia akan segera menghadapi kehancuran yang tidak terhindarkan. Tiba-tiba, sebuah pesan masuk ke layar mereka, memecah kesunyian yang tegang.
“Kalian pikir kalian bisa mengubah dunia dengan kebenaran? Kalian tidak akan pernah bisa membersihkan darah yang sudah tertumpah. Kalian tidak bisa melarikan diri dari dosa yang kalian buat.”
Pesan itu datang dari Komandan Dewa, sosok yang selama ini menjadi musuh terbesar mereka. Kata-kata itu bukan hanya ancaman kosong, tetapi peringatan bahwa mereka tidak akan bisa melarikan diri dari konsekuensi atas tindakan mereka. Setiap langkah yang mereka ambil, setiap kebenaran yang mereka ungkapkan, akan semakin menarik mereka ke dalam cengkeraman dosa yang lebih dalam.
“Dia benar, Aruna,” kata Ray dengan suara pelan, hampir tak terdengar. “Dosa yang sudah kita buat… itu tak akan pernah terhapuskan.”
Aruna memandangnya dengan tatapan yang dalam, penuh penyesalan dan keputusasaan. “Apa yang harus kita lakukan, Ray? Apakah kita harus berhenti? Apakah kita harus membiarkan dunia ini tetap dalam kebohongan, hanya agar kita bisa hidup tanpa rasa bersalah?”
Ray menarik napas panjang, berusaha mengendalikan perasaan yang membebani dadanya. “Kita tidak bisa berhenti. Jika kita berhenti sekarang, kita akan mengkhianati segala pengorbanan yang sudah kita buat. Dosa ini… kita akan tanggung bersama. Tapi dunia harus tahu kebenaran.”
Namun, meskipun Ray bertekad untuk melanjutkan perjuangan ini, ia tahu bahwa harga dari kebenaran ini bukan hanya sekedar menghancurkan Zona Merah atau meruntuhkan rezim yang ada. Kebenaran ini, pada akhirnya, akan menghancurkan dirinya dan Aruna. Mereka telah melewati batas yang tidak bisa kembali, dan meskipun mereka tahu bahwa apa yang mereka lakukan adalah hal yang benar, mereka juga tahu bahwa tidak ada yang akan kembali seperti semula setelah ini.
“Aruna…” suara Ray lirih, matanya menatap jauh ke depan. “Jika kita teruskan, kita akan kehilangan segalanya. Tapi kita tidak bisa mundur. Kebenaran adalah harga yang harus dibayar.”
Aruna mengangguk pelan, meskipun hatinya terombang-ambing oleh perasaan yang tak terungkapkan. “Kita sudah jauh, Ray. Tidak ada jalan kembali.”
Mereka berdua saling berpandangan, menyadari bahwa langkah selanjutnya adalah sesuatu yang tak bisa mereka hindari. Kebenaran telah mengubah mereka, dan meskipun mereka tahu bahwa apa yang mereka lakukan akan membawa mereka pada kehancuran, mereka memilih untuk melangkah maju.
Karena kadang-kadang, dosa yang tak terhapus bukanlah sesuatu yang bisa dihentikan. Ia adalah bagian dari perjalanan yang harus dijalani, tanpa bisa dihindari atau diubah.
Bab 15: Elang Terakhir
Hujan turun dengan deras, mengguyur bumi yang tampak seperti tak pernah berhenti menangis. Langit di atas Zona Merah tak lebih gelap dari hatinya sendiri—tempat yang kini menjadi saksi dari perjalanan panjang penuh pengorbanan dan pengkhianatan. Ray berdiri tegak, meskipun kakinya terasa berat, seakan setiap langkah yang ia ambil mengandung beban yang tak bisa lagi dipikul oleh manusia biasa.
Di hadapannya, reruntuhan markas militer yang dulunya kokoh kini hanya menyisakan puing-puing dan abu. Ruang yang penuh dengan rahasia, kejahatan, dan penderitaan itu kini menjadi saksi bisu dari pertarungan hidup dan mati yang telah dijalani. Dalam kehancuran ini, Ray merasa seperti seekor elang yang terbang terhuyung-huyung, terluka parah, namun masih berusaha untuk terbang tinggi meski tanpa arah.
“Kita hampir sampai, Ray,” suara Aruna terdengar tenang di belakangnya, namun masih mengandung ketegangan yang tak bisa disembunyikan.
Ray tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, matanya menatap ke depan, menembus kabut hujan yang menyelimuti. Langkah mereka semakin berat, tetapi mereka tahu bahwa tidak ada jalan mundur. Apa yang mereka mulai harus diselesaikan, tidak peduli dengan harga yang harus dibayar.
Mereka akhirnya tiba di sebuah bangunan yang tak jauh dari reruntuhan markas, tempat yang kini dipenuhi oleh pasukan yang setia pada Komandan Dewa, musuh utama mereka. Komandan yang sudah lama mereka incar, yang telah lama menebar kebohongan dan menyembunyikan dosa-dosa besar, kini menjadi sumber dari semua kegelapan yang menghancurkan kehidupan mereka.
“Ini adalah langkah terakhir kita, Aruna,” kata Ray, suaranya bergetar, namun penuh tekad. “Kita harus menghentikan semua ini sekarang juga. Tidak ada yang bisa menghalangi kita lagi.”
Aruna menatapnya, matanya penuh rasa cemas yang mendalam. “Ray, kau tahu apa yang akan terjadi jika kita gagal, bukan? Ini bukan hanya tentang kita. Ini tentang masa depan.”
Ray menatapnya, sesaat matanya menunjukkan keraguan yang dalam, namun itu tidak menghalangi tekadnya untuk terus maju. “Aku tahu, Aruna. Tapi aku juga tahu bahwa dunia ini tidak akan pernah berubah jika kita hanya diam. Kebenaran harus dihentikan, dan jika harus dengan darah kita sendiri, maka itulah yang akan terjadi.”
Dengan langkah mantap, mereka memasuki gedung yang kini dipenuhi dengan pasukan yang sudah terlatih dan siap tempur. Suasana di dalam penuh dengan ketegangan, dan meskipun mereka tahu bahwa mereka telah mencapai titik tak kembali, tidak ada rasa takut yang menguasai diri mereka. Mereka sudah terbiasa dengan ketegangan, dengan bahaya yang selalu mengancam. Mereka telah berjuang terlalu jauh untuk takut sekarang.
Saat mereka melangkah ke ruang utama, Komandan Dewa muncul di hadapan mereka, dengan senyum yang penuh kejam dan rasa puas yang mencerminkan kemenangan. Namun di balik senyuman itu, ada ketakutan yang jelas. Dia tahu, ini adalah akhir baginya.
“Kalian datang jauh-jauh hanya untuk mati, Ray?” suara Komandan Dewa terdengar menantang, namun ada nada gugup yang tak bisa disembunyikan. “Kalian pikir kalian bisa menghentikan semuanya? Kebenaran yang kalian coba ungkapkan tak akan pernah mengguncang sistem ini. Kalian hanya burung yang terbang di langit, yang tak bisa mengubah dunia yang telah terbangun.”
Ray tidak menghiraukan ucapan itu. Matanya tajam menatap Komandan Dewa, penuh amarah dan kebencian yang telah lama terpendam. “Kebenaran mungkin tidak bisa mengubah dunia, Dewa. Tetapi dunia ini akan berubah ketika setiap kebohongan hancur, dan saat itulah kebenaran akan bangkit.”
Komandan Dewa tertawa pelan, lalu memerintahkan pasukannya untuk menyerang. Namun, Ray dan Aruna sudah siap. Pertarungan sengit pun terjadi. Ledakan demi ledakan mengguncang gedung, tembakan-tembakan menghujam udara, dan setiap gerakan mereka adalah tarung hidup dan mati. Mereka bergerak dengan cepat, dengan segala kekuatan yang masih tersisa dalam tubuh mereka. Dalam darah, air mata, dan keringat, mereka menghadapi musuh-musuh yang berusaha menghentikan langkah mereka.
Namun, di tengah ketegangan itu, sebuah kilatan tajam tiba-tiba melintas. Ray merasakan sakit yang luar biasa, sebuah peluru menembus tubuhnya, dan tubuhnya terhuyung. Namun, dengan sisa-sisa kekuatannya, ia tetap berdiri. “Aku… aku tak akan mundur,” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri.
Aruna yang melihat hal itu berlari ke arahnya, memegang tubuhnya yang goyah. “Ray, jangan mati! Kita sudah terlalu dekat.”
Namun, dengan tekad yang bulat, Ray menjawab pelan, “Kita harus menghentikan ini, Aruna. Aku… aku akan menjadi elang terakhir yang terbang di langit ini.”
Dengan semangat yang tak bisa dipadamkan, mereka berdua melanjutkan pertarungan itu. Dan pada akhirnya, setelah pertempuran yang panjang dan memakan banyak korban, mereka berhasil menjatuhkan Komandan Dewa. Dengan jatuhnya sang pemimpin, seluruh organisasi yang telah menebar teror selama ini hancur berkeping-keping.
Namun, kemenangan itu datang dengan harga yang sangat mahal. Ray terluka parah, dan meskipun ia telah mengalahkan musuh terbesar mereka, ia tahu bahwa ini adalah harga yang harus dibayar untuk kebenaran.
Di bawah langit yang mulai cerah, Ray dan Aruna berdiri, meskipun dunia di sekitar mereka telah hancur. Mereka tahu, meskipun kebenaran telah terungkap dan kemenangan telah diraih, mereka tetap harus membayar dengan darah dan pengorbanan yang tak bisa terhapuskan.
“Elang terakhir telah terbang, Aruna,” kata Ray dengan suara lemah. “Tapi dunia… dunia ini tidak akan pernah sama lagi.”
Aruna menatapnya, matanya dipenuhi air mata. “Kita telah melakukannya, Ray. Kita telah membuat perbedaan.”
Dengan itu, di bawah langit yang akhirnya kembali cerah, mereka berdua tahu bahwa perjalanan mereka telah selesai. Tapi kebenaran yang mereka ungkapkan akan tetap hidup, menjadi warisan yang tidak akan pernah pudar. Mereka adalah para pejuang yang berdiri tegak di hadapan dunia, dan meskipun mereka tahu bahwa harga dari sebuah kemenangan tidak pernah murah, mereka telah membayar segala sesuatunya dengan harga yang setimpal.***
——————–THE END———————–