Bab 1: Awal yang Penuh Tekanan
Langit pagi di markas besar militer itu terlihat gelap dan berawan, sebuah pertanda buruk yang sering kali diartikan sebagai takdir yang akan datang. Arka, seorang komandan pasukan elit, berdiri tegap di hadapan meja kerjanya, memandangi layar monitor yang menyajikan peta wilayah musuh. Suasana di ruang komando terasa berat, seakan-akan seluruh dunia menanti keputusan yang akan dia ambil.
“Ini bukan sekadar operasi biasa, Arka. Ini adalah misi yang akan menentukan nasib kita semua,” kata Mayor Dedi, seorang perwira senior yang sudah cukup lama bekerja dengan Arka. Suaranya yang serak menunjukkan ketegangan yang sama terasa di seluruh tim.
Arka menghela napas dalam-dalam. Sebagai pemimpin, ia harus selalu tenang di hadapan anak buahnya. Namun, di dalam dirinya, ada sebuah kekhawatiran yang tak bisa ditutupi. Operasi kali ini bukan hanya tentang mengalahkan musuh di medan perang. Ini adalah soal bertahan hidup, soal melindungi apa yang telah dia perjuangkan, dan lebih dari itu, soal menghadapi masa lalu yang terus menghantuinya.
“Saya tahu,” jawab Arka, matanya masih tertuju pada layar peta. “Namun kita tidak punya banyak waktu. Musuh semakin mendekat.”
Dia mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan jarinya, seolah mencari ketenangan dalam ketukan yang berulang. Jam di dinding menunjukkan pukul 06:30 pagi, namun suasana di ruang itu terasa seperti tengah malam. Detik demi detik berlalu dengan lambat, dan setiap keputusan yang diambil memiliki resiko yang lebih besar dari yang bisa dibayangkan.
Arka memutar kursinya, menatap jendela besar yang menghadap ke medan latihan. Tiba-tiba, ia merasa beban berat di pundaknya semakin menekan. Misi ini adalah salah satu dari banyak operasi berbahaya yang telah ia jalani, namun kali ini berbeda. Ini adalah misi terbesar, dan kesalahan sekecil apapun bisa berujung pada bencana.
“Tim sudah siap, komandan,” terdengar suara Letnan Iwan yang tiba-tiba mengganggu lamunan Arka. Letnan muda itu tampak tegap meski di matanya jelas terlihat rasa cemas yang tak terucapkan. “Semua peralatan sudah diperiksa. Kami siap berangkat kapan saja.”
Arka mengangguk, kemudian berbalik ke arah layar. Satu klik pada tombol mouse mengubah peta besar itu menjadi titik-titik kecil yang menunjukkan posisi pasukan musuh. Semua data yang terkumpul selama minggu-minggu sebelumnya kini berada di ujung jari Arka. Semua itu menggambarkan betapa rumitnya misi ini. Musuh bukanlah target yang biasa. Mereka terlatih, cerdik, dan tidak mengenal ampun. Begitu juga dengan pengkhianat yang mungkin berada di antara mereka.
“Setiap langkah kita akan diawasi, Iwan,” ujar Arka tegas, matanya tajam menatap ke depan. “Operasi ini harus berjalan dengan sempurna. Jika tidak, kita akan terjebak dalam api yang tak bisa dipadamkan.”
Suasana di ruang itu semakin mencekam. Semua anggota tim yang hadir tahu betul arti dari kata-kata Arka. Mereka bukan lagi sekadar tentara; mereka adalah bagian dari sebuah permainan yang jauh lebih besar, dan kali ini mereka harus berhadapan dengan musuh yang tak hanya kuat, tetapi juga licik.
“Siap, komandan,” jawab Iwan dengan suara penuh keyakinan, meskipun di balik matanya, rasa takut dan keraguan tak bisa disembunyikan.
Arka melangkah ke depan, matanya kembali tertuju pada peta. Jantungnya berdegup kencang, namun wajahnya tetap datar. Inilah saat yang telah lama ia tunggu, saat ia harus menunjukkan siapa dirinya. Sebagai seorang pemimpin, Arka harus bisa menenangkan timnya dan memberi mereka arahan yang jelas. Namun, di dalam dirinya, ia tahu bahwa misi ini bukan hanya tentang strategi dan kekuatan fisik. Ini adalah ujian sejati dari tekad, keberanian, dan integritas.
“Baiklah,” kata Arka, akhirnya memecah keheningan. “Kita berangkat. Operasi dimulai sekarang.”
Dengan langkah pasti, Arka keluar dari ruang komando. Di luar sana, langit yang kelabu itu semakin menggantung rendah, seakan menandakan bahwa tantangan terbesar dalam hidupnya baru saja dimulai. Misi ini akan menguji segalanya—tubuh, jiwa, dan hati mereka. Tetapi Arka tahu, tidak ada yang bisa menghindari takdir.
Dan takdir, seperti api, selalu mengintai, menunggu untuk menyala.
Bab 2: Perjalanan Menuju Titik Operasi
Helikopter itu meluncur di atas lanskap yang gelap, memecah keheningan malam yang pekat. Suara mesin yang menderu menggema di sepanjang tubuh pesawat, namun bagi Arka, suara itu tak lebih dari sebuah irama yang sudah terlalu familiar. Ia duduk tegak di kursinya, mata tertuju pada layar monitor yang menampilkan peta wilayah yang akan mereka tuju.
Udara malam terasa dingin menusuk, tapi tubuh Arka terasa panas oleh ketegangan. Setiap detik yang berlalu seperti menghitung mundur menuju momen yang tak bisa ia hindari. Ia tahu betul, perjalanan ini bukan hanya soal mencapai tujuan. Ini adalah perjalanan yang penuh risiko, di mana setiap langkah bisa berujung pada kegagalan. Dalam keheningan pesawat yang hanya dipenuhi oleh suara mesin dan deru angin, pikirannya melayang jauh.
“Komandan, posisi kita masih aman. Musuh belum mendeteksi keberadaan kita,” kata Letnan Iwan, yang duduk di sebelahnya. Suaranya sedikit bergetar, namun tetap berusaha terdengar tenang.
Arka hanya mengangguk tanpa menoleh. Ia menatap ke luar jendela, menyaksikan bayangan gelap pegunungan yang menjulang tinggi di bawah mereka. Pikirannya terus berputar, menilai setiap kemungkinan yang bisa terjadi. Misi ini berisiko tinggi. Apapun bisa terjadi, dan jika mereka salah langkah, nyawa mereka semua akan terancam.
“Berapa lama lagi sampai kita tiba di titik operasi?” tanya Arka dengan nada yang tetap rendah namun penuh penekanan.
“Sekitar dua puluh menit, komandan,” jawab Iwan sambil memeriksa jam tangannya. “Semua tim sudah siap. Kami akan melakukan pendaratan secara diam-diam, sesuai instruksi.”
Arka mengangguk. Pendaratan secara diam-diam adalah hal yang wajib dilakukan jika mereka ingin menjaga agar misi tetap berjalan tanpa diketahui oleh musuh. Setiap detik, setiap langkah, harus dihitung dengan cermat. Jika satu anggota tim melakukan kesalahan, mereka semua akan jatuh bersama.
Suasana di dalam helikopter semakin tegang, tetapi tak ada satu pun anggota tim yang menunjukkan keraguan. Mereka semua telah dilatih untuk menghadapi situasi seperti ini, untuk menahan rasa takut, dan untuk bertindak cepat dalam kondisi ekstrem. Namun, di balik ketenangan mereka, Arka bisa merasakan ada kegelisahan yang samar. Setiap anggota timnya punya rahasia, dan tak satu pun yang tahu apa yang ada di hati yang lain. Tapi dalam momen seperti ini, mereka hanya memiliki satu tujuan—menyelesaikan misi, apa pun yang terjadi.
Arka menatap wajah-wajah yang ada di sekelilingnya. Ada Letnan Iwan, yang baru saja mendapatkan promosi, namun tak pernah berani bertanya lebih dalam tentang masa lalu Arka. Ada juga Sersan Dita, seorang ahli teknologi yang lebih sering menghabiskan waktu dengan komputer daripada berbicara, namun tak ada yang meragukan kemampuan tempurnya. Tim mereka adalah campuran dari individu-individu dengan latar belakang berbeda, namun satu kesamaan menyatukan mereka—keinginan untuk bertahan hidup.
“Komandan,” suara Sersan Dita tiba-tiba memecah keheningan. “Ada gangguan sinyal di sektor lima. Mungkin itu bukan masalah besar, tapi saya sarankan kita tetap waspada.”
Arka langsung merespons, matanya tajam menatap Dita. “Apa kita bisa mematikan sistem komunikasi musuh?”
Dita mengangguk cepat. “Jika kita berhasil mengakses jaringan mereka, kita bisa memblokir sinyal. Tapi itu memerlukan waktu, dan musuh bisa mendeteksi jika ada yang tidak beres.”
“Semua harus dilakukan dengan cepat,” jawab Arka, nada suaranya semakin tegas. “Keberhasilan misi ini bergantung pada kecepatan kita. Kita tidak bisa menunggu lebih lama.”
Helikopter terus melaju dengan kecepatan tinggi, menyusuri pegunungan yang terjal. Seiring mereka mendekati titik operasi, ketegangan semakin mencekam. Arka tahu bahwa apapun yang terjadi setelah ini, mereka tidak bisa mundur. Operasi ini adalah titik balik bagi mereka semua. Tidak hanya untuk misi ini, tetapi untuk masa depan mereka yang penuh dengan pertanyaan tanpa jawaban.
Akhirnya, suara helikopter mulai berkurang, dan jarak mereka dengan titik pendaratan semakin dekat. Waktu untuk berpikir semakin sedikit, hanya ada satu tujuan—mendarat dengan selamat dan melaksanakan misi.
“Tiba di titik pendaratan,” kata Arka, menguatkan dirinya dengan suara yang mantap.
Semua anggota tim mulai bersiap, memeriksa kembali perlengkapan mereka, memastikan senjata dan peralatan dalam kondisi terbaik. Arka merasakan detak jantungnya semakin cepat. Ini adalah bagian dari operasi yang paling berbahaya—mereka harus memasuki zona musuh yang padat dan memulai misi mereka tanpa diketahui.
Helikopter mulai menurunkan ketinggian, semakin dekat dengan tanah. Arka menarik napas dalam-dalam, merasakan beratnya beban yang harus ia pikul. Ketika pintu helikopter terbuka, angin dingin dan bau tanah yang basah menyapu wajahnya.
“Turun!” perintah Arka.
Mereka melompat satu per satu ke tanah yang gelap dan lembab. Suasana hening sesaat sebelum langkah pertama mereka diambil. Di depan, hanya ada kegelapan dan bayang-bayang musuh yang siap menghantui setiap gerakan mereka.
Ini adalah perjalanan yang penuh ketegangan, tetapi juga penuh harapan. Mereka berada di titik tanpa kembali, dan misi ini hanya bisa diselesaikan dengan keberanian dan tekad yang kuat.
Dengan langkah-langkah mantap, mereka mulai bergerak ke dalam bayang-bayang malam, menuju operasi yang akan menentukan hidup dan mati mereka.
Bab 3: Penyusupan Dimulai
Malam itu begitu sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki mereka yang ringan menyentuh tanah basah, seolah tanah pun ikut menyembunyikan keberadaan mereka. Tim Arka telah mencapai pinggiran wilayah yang dikuasai musuh. Udara malam yang dingin menggigit kulit, namun tidak satu pun anggota tim yang merasa kedinginan. Rasa takut sudah lama terhapuskan, digantikan oleh fokus yang tajam pada misi yang ada di depan mata.
“Jaga jarak, tetap tenang, dan ikuti komando,” bisik Arka melalui mikrofon yang terhubung langsung ke seluruh tim. Suaranya rendah, namun tegas, membawa aura kewaspadaan yang meluas ke setiap sudut tim.
Mereka bergerak dalam formasi yang rapat, masing-masing dengan peran yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Iwan memimpin jalur utama, sementara Dita bertanggung jawab untuk mengendalikan perangkat elektronik dan mengawasi kemungkinan gangguan sinyal. Sementara itu, Arka berada di tengah, siap memberi perintah jika diperlukan. Mereka seperti bayangan yang bergerak tanpa suara, menyusuri lorong gelap hutan yang penuh dengan reruntuhan bangunan yang ditinggalkan, menyatu dengan malam yang mencekam.
“Posisi kita sudah hampir terdeteksi,” bisik Dita, matanya fokus pada layar kecil yang menampilkan data sensor. “Ada sinyal yang mengarah ke lokasi kita.”
Arka melangkah lebih cepat. Ketegangan di dalam tim mulai meningkat, namun tak ada yang menunjukkan rasa panik. Dalam keheningan, suara mereka lebih seperti bisikan angin yang menyatu dengan suara alam. Hati Arka berdetak lebih cepat, namun pikirannya tetap jernih. Ini adalah momen yang telah dipersiapkan dengan matang, dan ia tak bisa membiarkan ketegangan merusak konsentrasi.
“Tunggu di sini,” perintah Arka, menghentikan langkah tim di belakang sebuah bangunan runtuh yang cukup besar. Mereka tersembunyi dengan baik, hanya sedikit celah yang memisahkan mereka dari ancaman yang ada di depan. Arka memeriksa jam tangannya, menandakan waktunya semakin dekat. Mereka hanya memiliki waktu sedikit, dan semakin lama mereka menunggu, semakin besar kemungkinan keberadaan mereka terdeteksi.
“Ikuti rencana. Dita, aktifkan penghalang sinyal di sektor tiga,” perintah Arka. “Iwan, pimpin tim ke kiri. Kita akan memutuskan jalur utama musuh.”
Sersan Dita menundukkan kepala, menunjukkan bahwa ia memahami instruksinya. Dengan jari-jarinya yang lihai, ia mulai mengetik kode pada perangkat genggamnya, memprogram perangkat penghalang sinyal untuk mengaburkan jejak mereka. Keberhasilan misi ini sangat bergantung pada perangkat ini—jika mereka gagal menutup komunikasi musuh, mereka akan berada dalam bahaya besar.
Iwan dan tim bergerak lebih cepat, mengikuti perintah Arka dengan ketepatan milimeter. Setiap langkah mereka tak lebih dari bayangan dalam kegelapan. Mereka tahu persis, jika satu langkah salah, mereka akan langsung terjebak dalam jebakan maut yang telah dipersiapkan oleh musuh.
Arka berjalan di belakang, memastikan setiap gerakan mereka terkoordinasi dengan sempurna. Rasa gugup sudah lama lenyap, digantikan oleh tekad yang lebih besar. Namun, tiba-tiba, sebuah suara keras terdengar dari kejauhan, menggema di antara bangunan-bangunan yang hancur.
“Musuh!” suara Iwan terdengar melalui earpiece. “Ada patroli di sektor dua!”
Detak jantung Arka meningkat. Ia tak menyangka mereka akan berhadapan dengan patroli secepat ini. Tanpa waktu untuk ragu, Arka memberi perintah, “Jangan panik. Semua bergerak ke titik aman, sekarang!”
Iwan segera memberi isyarat kepada tim untuk bergerak menyelam ke balik reruntuhan bangunan. Arka dan timnya menghilang di balik bayang-bayang, bergerak cepat, tanpa suara. Mereka berbaring datar di tanah, menahan napas, mencoba sekedar mendengar suara langkah musuh yang semakin mendekat. Suara langkah itu semakin jelas, semakin dekat. Pasukan musuh sedang dalam jarak yang sangat dekat.
Arka merasakan jantungnya berdetak semakin cepat, namun ia tetap tenang. Ini adalah ujian pertama mereka, ujian yang akan menunjukkan apakah mereka siap untuk misi ini atau tidak. Setiap gerakan mereka harus sempurna—salah sedikit, dan mereka akan terdeteksi.
Patroli musuh terus berjalan melewati mereka, tanpa mengetahui bahwa tim Arka hanya beberapa langkah saja dari mereka. Arka bisa mendengar percakapan mereka, namun tidak ada waktu untuk mendengarkan lebih jauh. Waktu terus berdetak, dan mereka harus bergerak lebih cepat.
“Pasukan musuh sudah lewat,” bisik Iwan melalui mikrofon, suaranya sedikit gemetar namun tetap terkendali. “Kita lanjutkan.”
Arka mengangguk, memberikan isyarat kepada tim untuk kembali bergerak. Mereka melanjutkan perjalanan mereka menuju pusat markas musuh, di mana misi utama mereka menanti. Namun, meskipun mereka berhasil menghindari patroli, Arka tahu bahwa bahaya yang sesungguhnya masih menanti di depan.
“Satu langkah salah, dan kita akan kehilangan semuanya,” gumam Arka dalam hati, berusaha mengusir rasa cemas yang mulai datang.
Mereka melangkah lebih hati-hati, setiap detik seperti berlomba dengan waktu. Penyusupan ini baru dimulai, dan meskipun mereka berhasil melewati ancaman pertama, ini baru permulaan. Musuh yang cerdas dan waspada menunggu mereka di depan, dan setiap langkah mereka semakin dekat dengan titik paling berbahaya dalam misi ini.
Arka tahu, tak ada jalan mundur. Hanya ada satu pilihan: menyelesaikan misi ini dengan selamat atau mengorbankan semuanya.
Bab 4: Pengkhianatan di Dalam
Malam semakin dalam, dan tim Arka semakin mendekati pusat markas musuh. Setiap langkah mereka semakin hati-hati, seolah seluruh dunia sedang mengawasi gerakan mereka. Mereka telah berhasil melewati beberapa patroli dan menghindari jebakan, namun Arka merasakan ada sesuatu yang mengganjal dalam dirinya. Sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan dengan kata-kata, namun sangat terasa.
“Posisi kita hampir sampai,” bisik Iwan di dalam earpiece, suaranya datar, namun ada ketegangan yang jelas terbayang di sana. “Tapi kita perlu lebih cepat. Waktu kita semakin habis.”
Arka mengangguk, mengisyaratkan kepada tim untuk terus maju. Mereka berada di lorong gelap, bersembunyi di balik reruntuhan, menuju sebuah gedung yang menjadi pusat pergerakan musuh. Pintu utama markas hanya beberapa langkah di depan mereka, namun Arka tahu bahwa itu hanyalah bagian dari teka-teki besar yang mereka hadapi. Bahaya masih menunggu, dan kali ini bukan hanya datang dari luar.
“Siapkan peralatan, pastikan semuanya terkunci dengan benar,” perintah Arka. Semua anggota tim segera bersiap. Dita memeriksa perangkat komunikasi, Iwan mengarahkan tim untuk mengatur posisi, sementara Arka terus memperhatikan sekelilingnya, merasakan ketegangan yang menekan.
Namun, tiba-tiba, tanpa peringatan, sebuah suara terdengar di dalam earpiece Arka—suara yang tak diinginkan, suara yang membuat darahnya terasa membeku.
“Arka… ini aku, Dedi.”
Nama Mayor Dedi mengalir begitu saja, namun nada suara yang datang terasa berbeda. Ada sesuatu yang tidak biasa dalam suaranya. Sesuatu yang membuat Arka merasakan jantungnya berhenti sejenak.
“Dedi? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Arka, berusaha tetap tenang meskipun rasa curiga mulai menyelinap ke dalam hatinya.
“Tenang, Arka. Aku di sini untuk membantu,” jawab Dedi dengan suara yang terdengar tertekan. “Tapi… kita ada masalah besar. Ada sesuatu yang tidak beres. Kamu perlu hati-hati.”
Kata-kata itu seperti guratan petir di langit yang gelap. Ada keraguan dalam suara Dedi, sebuah peringatan yang tidak bisa diabaikan. Arka menatap sekelilingnya, mencoba menganalisis situasi. Ke mana Dedi sebenarnya? Kenapa dia tidak berada di markas pusat? Apa yang sebenarnya terjadi?
“Di mana posisi kamu?” tanya Arka, suaranya lebih tegas. “Apa yang kamu ketahui tentang musuh?”
Dedi terdiam sejenak, sebelum suara itu kembali terdengar, kali ini lebih terburu-buru. “Kamu harus mendengarkan baik-baik, Arka. Mereka tidak hanya menunggu kalian di markas. Ada pengkhianat di dalam tim kalian. Seseorang dari kalian bekerja untuk musuh.”
Seketika, dunia seakan berhenti berputar. Kata-kata Dedi menggema di kepala Arka, seolah waktu terhenti. Pengkhianat? Di dalam timnya? Selama ini Arka menganggap bahwa timnya adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Mereka semua telah melalui pelatihan keras, pertarungan bersama, dan rasa saling percaya yang terjalin kuat. Namun sekarang, dengan kata-kata Dedi yang mengguncang ini, semua yang telah ia percayai menjadi goyah.
“Siapa?” tanya Arka, dengan suara yang lebih rendah, hampir seperti bisikan. “Siapa yang bekerja sama dengan musuh?”
Dedi tidak menjawab langsung, tetapi terdengar suara gemerisik di sebelahnya, seakan ia sedang mencoba menghindari sesuatu. “Aku tidak bisa memberitahumu lebih banyak, Arka. Aku hanya bisa memberimu peringatan. Kamu harus berhati-hati.”
Peringatan itu seperti api yang membakar pikiran Arka. Dia tahu bahwa meskipun Dedi mencoba memberi informasi, situasi sekarang jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan. Kepercayaan yang telah lama terbangun di antara mereka semua kini dipertanyakan.
“Dedi, tunggu! Apa yang terjadi—” kata Arka, namun suara Dedi tiba-tiba terputus. Tidak ada lagi jawaban, hanya kesunyian yang menekan.
Suasana semakin mencekam. Arka merasakan ada sesuatu yang sangat tidak beres. Tim yang sebelumnya bergerak kompak kini terasa seperti sekumpulan individu dengan rahasia masing-masing. Arka memutar tubuhnya, menatap Iwan, yang berdiri di sebelahnya, siap untuk melanjutkan operasi.
“Iwan,” kata Arka dengan suara berat. “Kita punya masalah. Ada pengkhianat di dalam tim. Dedi sudah memberi peringatan.”
Iwan terlihat terkejut, namun ekspresinya segera berubah menjadi serius. “Pengkhianat? Tapi siapa yang bisa…”
Sebelum Iwan menyelesaikan kalimatnya, Arka memberi isyarat dengan tangan agar mereka diam. Keringat dingin mulai mengalir di tengkuknya. Di luar sana, musuh sudah menunggu, namun ancaman yang lebih besar mungkin sudah ada di dalam timnya sendiri. Apakah itu mungkin? Bisakah ada seseorang yang selama ini bekerja sama dengan musuh dan merusak semua yang telah mereka usahakan?
Arka mengambil keputusan cepat. “Tim, kita harus segera memeriksa semua peralatan dan memastikan tidak ada yang terkontaminasi. Semua perangkat harus diuji ulang. Jangan percayakan pada siapapun sampai kita tahu siapa yang sebenarnya bekerja untuk musuh.”
Suasana di tim berubah. Ada ketegangan yang baru muncul di antara mereka. Meskipun tidak ada yang mengungkapkan secara langsung, semua tahu bahwa kepercayaan yang selama ini ada mulai retak. Mereka melanjutkan perjalanan, tetapi kali ini dengan kewaspadaan yang jauh lebih tinggi. Setiap gerakan, setiap kata, bahkan setiap tatapan, kini dipenuhi dengan rasa curiga.
Arka menatap ke depan, matanya penuh tekad. Misi ini harus selesai, meskipun dengan harga yang harus dibayar sangat mahal. Dan siapa pun yang bekerja dengan musuh, ia akan menemui akhirnya di tangan Arka.
Dengan langkah yang lebih hati-hati, mereka melangkah menuju pusat markas musuh, tetapi kali ini, ketegangan dalam hati Arka tidak hanya berasal dari musuh yang mengintai di luar sana. Ada sesuatu yang jauh lebih berbahaya di dalam timnya sendiri.
Bab 5: Api yang Membakar
Langit masih gelap, namun cahaya pagi yang mulai merekah memberikan sedikit harapan di tengah kegelapan yang membelenggu. Arka berdiri tegak di hadapan pintu markas musuh yang terletak di pusat kompleks. Ia merasakan ketegangan yang menumpuk di dadanya, jauh lebih berat daripada apa pun yang pernah ia rasakan sebelumnya. Sebuah ketidakpastian menggantung di udara, seolah seluruh dunia menunggu langkah selanjutnya.
Tim Arka kini terjebak dalam kebingungannya sendiri. Setiap anggota tim merasa ada sesuatu yang salah, tapi tak satu pun yang bisa menunjuk dengan pasti siapa yang berkhianat. Mereka kini terpisah oleh keraguan, dan keraguan itu adalah musuh yang lebih berbahaya dari peluru atau granat. Setiap suara di sekitar mereka terasa seperti ancaman. Setiap langkah yang mereka ambil, semakin dekat dengan titik yang tak bisa lagi dibatalkan.
“Semua siap?” tanya Arka dengan suara rendah, berusaha menjaga ketenangannya meskipun ada api yang membakar dalam dadanya. Ia tahu, bahwa jika mereka berhasil melewati momen ini, mereka akan mendekati akhir misi. Namun, jika gagal, tak hanya mereka yang akan jatuh, tetapi semuanya akan hancur.
Iwan mengangguk, wajahnya menunjukkan ketegangan yang jelas. Dita terlihat sibuk memeriksa peralatan komunikasi dan perangkat penghalang sinyal yang sebelumnya telah mereka pasang. Namun, meski mereka siap secara teknis, ketegangan dalam diri mereka tak bisa disembunyikan.
“Saya tidak tahu siapa yang bisa kita percayai lagi, Arka,” kata Dita dengan suara tertekan, matanya tak pernah lepas dari layar perangkat genggamnya. “Tapi kita harus bergerak. Waktu kita terbatas.”
Arka menghela napas panjang. Ia tahu, hanya ada satu jalan yang bisa mereka ambil sekarang: maju. Tidak ada tempat untuk mundur. Apalagi dengan ancaman yang tak terduga di dalam tim mereka. Jika pengkhianatan itu benar adanya, maka musuh yang mereka hadapi lebih banyak dari yang tampak.
“Baiklah,” kata Arka, suaranya lebih tenang dari yang ia rasakan. “Semua posisi, bergerak!”
Langkah mereka kembali terdengar di lorong gelap, menembus keheningan yang seakan menunggu untuk meledak. Pintu markas di depan mereka adalah gerbang menuju misi yang sudah dipersiapkan dengan cermat. Namun, Arka tahu, meskipun mereka berhasil menembus pintu itu, bahaya yang lebih besar mungkin sudah menunggu di dalam. Misi ini bukan hanya soal menghancurkan markas musuh, tapi tentang menemukan siapa yang telah mengkhianati mereka.
Ketika pintu utama terbuka perlahan, suara derit besi yang beradu dengan logam menambah ketegangan yang sudah mencekam. Di dalam, sebuah ruangan gelap dengan sedikit cahaya yang menembus lewat celah-celah di langit-langit terlihat kosong. Namun, Arka tahu, ini hanya awal dari permainan yang jauh lebih berbahaya.
“Tunggu,” bisik Arka, menghentikan langkah tim. “Ada sesuatu yang aneh.”
Seketika, suara langkah kaki berat terdengar dari dalam ruangan, menggema dengan keras. Arka menegang, dan sebelum ia bisa memberi perintah, pintu lainnya di belakang mereka terbuka dengan cepat, menyisakan mereka terperangkap di tengah ruangan.
Kehadiran musuh tak terduga membuat tim Arka terperangkap dalam jebakan. Beberapa pria berseragam hitam muncul dari balik bayang-bayang, senjata mereka terarah langsung ke tim. Senjata-senjata itu berkilat di bawah cahaya redup, siap untuk menghujani mereka dengan kematian. Arka merasakan nafasnya tercekat, namun ia berusaha tetap mengendalikan diri.
“Serah terima!” teriak salah satu pria berseragam hitam, matanya menyipit dengan tatapan penuh ancaman. “Kalian sudah terlalu lama di sini. Tidak ada jalan keluar.”
Iwan bergerak untuk mengambil posisi yang lebih baik, namun Arka segera memberi isyarat untuk tetap diam. Ini adalah saat yang sangat menentukan. Mereka telah tiba di titik yang tak bisa ditarik mundur, dan serangan yang langsung datang menunjukkan bahwa musuh sudah menunggu mereka. Sesuatu di dalam dirinya memberontak, mengingatkan Arka bahwa ada lebih banyak yang sedang terjadi daripada sekadar misi.
Di antara kerumunan musuh yang mengelilingi mereka, Arka menangkap pandangan seorang pria yang berdiri sedikit lebih jauh. Pria itu mengenakan pelindung wajah yang menghalangi identitasnya, tetapi Arka merasakan sesuatu yang sangat akrab dari tatapan itu. Ada ketegangan dalam mata pria itu, seolah-olah ia tahu lebih banyak dari yang ia tunjukkan.
Tiba-tiba, sebuah ledakan keras mengguncang ruangan. Suara itu datang dari luar, disusul dengan gelombang panas yang terasa menyentuh kulit. Api mulai membakar dengan cepat, menyebar dari sisi ruangan ke seluruh area, merobek ketenangan sekejap yang masih ada. Suara tembakan meledak bersamaan dengan api yang menjalar di dinding dan lantai.
“Gawat!” teriak Iwan, melompat ke samping untuk menghindari api yang mendekat. “Ada bom!”
Semua anggota tim langsung bergerak, berusaha menghindari ledakan yang semakin dekat. Ruangan yang awalnya penuh dengan musuh kini menjadi medan pertempuran yang kacau. Api berkobar di mana-mana, dan panik melanda. Sebagian besar musuh mulai mundur, berusaha menghindari api yang semakin menyebar.
Namun, dalam kekacauan itu, Arka bisa merasakan ada yang salah. Ia berlari menuju pintu keluar dengan cepat, tetapi sebuah tangan tiba-tiba menariknya mundur. Arka terkejut, namun tak sempat berbalik—sebuah pisau tajam sudah terhunus di dekat tengkuknya.
Pria yang tadi menatapnya, pria yang Arka kenal dengan baik, kini berdiri di belakangnya, senyum tipis terlihat di wajahnya yang penuh kekejaman.
“Kau terlambat, Arka,” kata pria itu dengan suara rendah, penuh ejekan. “Pengkhianatan sudah terjadi. Dan api ini adalah pembakar jalanmu.”
Semua yang terjadi dalam sekejap itu terasa seperti sebuah pukulan yang tak terhindarkan. Dalam kekacauan yang tak terduga ini, Arka tahu bahwa tak ada jalan mundur. Api yang membakar bukan hanya berasal dari ledakan di sekitar mereka, tetapi juga dari pengkhianatan yang kini menyelimuti seluruh tim.
Dan dalam api yang membakar itu, satu hal jelas—Arka harus bertarung lebih keras dari sebelumnya untuk mengungkap siapa yang sebenarnya berkhianat dan menghancurkan musuh yang tak hanya ada di luar sana, tetapi juga di dalam barisan mereka sendiri.
Bab 6: Keterbatasan Waktu
Jeritan ledakan masih menggema di telinga Arka, sementara api yang melahap ruangan semakin mendekat. Suasana semakin kacau, dan saat itu, Arka tahu—waktu mereka semakin habis. Nyawa mereka tak hanya tergantung pada kemampuan bertahan hidup, tetapi juga pada seberapa cepat mereka bisa keluar dari neraka ini.
Dengan hati yang berdebar kencang, Arka menoleh ke arah timnya yang tersebar, mencoba mengatur formasi dengan cepat di tengah kekacauan yang melanda. Wajah mereka sudah penuh dengan keringat, dan mata mereka tak pernah lepas dari api yang semakin mendekat. Ada kepanikan yang terlihat jelas, namun Arka tahu, panik adalah musuh terbesar dalam situasi ini.
“Iwan! Dita!” teriak Arka, suaranya penuh perintah. “Bersiap untuk mundur! Kita tidak punya banyak waktu!”
Iwan dan Dita segera bergerak, meskipun langkah mereka terganggu oleh api yang semakin menjalar ke seluruh ruangan. Iwan menembakkan beberapa tembakan ke arah musuh yang masih bertahan, mencoba membuka jalan keluar. Sementara Dita memimpin langkah menuju pintu belakang, tempat mereka sebelumnya sempat merencanakan rute evakuasi.
Arka berlari mengejar mereka, tubuhnya terbungkus dalam asap hitam yang membumbung tinggi, menyelimuti pandangan. Setiap langkah yang diambilnya terasa lebih berat, semakin menambah kesadaran bahwa mereka berada di ambang batas antara hidup dan mati. Pintu keluar semakin dekat, namun Arka merasa ada sesuatu yang masih mengganjal di hatinya.
“Sesuatu tidak beres,” gumamnya dalam hati. Seperti sebuah naluri yang memperingatkan, ia tahu bahwa pengkhianatan yang telah mereka hadapi bukanlah akhir dari masalah. Ancaman yang lebih besar masih mengintai.
Sesampainya di pintu belakang, Dita berhenti dan memeriksa pintu dengan cermat. Namun, begitu ia berusaha untuk membuka kunci, suara keras tiba-tiba terdengar dari luar. Pintu itu dipaksa tertutup kembali oleh tembakan dari pihak musuh. Arka merasakan tubuhnya membeku sejenak. Mereka terperangkap.
“Kita nggak punya banyak waktu!” seru Iwan, memutar tubuhnya dan mengambil posisi. “Ayo keluar sebelum kita jadi sasaran tembak!”
Sebuah rencana darurat segera terbentuk di kepala Arka. Mereka harus menembus jalan keluar yang lebih cepat—di sisi lain kompleks. Namun, rute itu berbahaya. Itu berarti mereka harus melewati lapangan terbuka, di mana posisi mereka akan mudah terdeteksi oleh pasukan musuh yang terus mengepung.
“Ke sana!” Arka memberi isyarat, menunjuk ke arah lapangan terbuka yang terletak beberapa meter di depan mereka. “Kita harus melewati sana untuk menuju titik evakuasi!”
Dita mengangguk, meskipun ketegangan di wajahnya terlihat jelas. “Tapi mereka sudah menunggu di luar. Kita tidak akan bisa begitu saja lolos.”
Arka mengerti kekhawatiran Dita, tapi ia tahu bahwa itu adalah satu-satunya pilihan. Di hadapan mereka ada dua pilihan: tetap terjebak di dalam dan menghadapi kematian oleh api atau tembakan musuh, atau mereka keluar dan berisiko dihujani peluru. Hanya satu yang bisa dilakukan—berlari dan bertarung untuk hidup.
“Ayo! Waktu kita habis!” kata Arka, dengan nada tegas. “Bersiap untuk tembakan pembuka!”
Iwan memimpin dengan langkah pasti, meski dengan senapan terarah ke depan. Dita dan Arka mengikuti di belakangnya, berlari dalam formasi, hati mereka berdebar kencang. Api masih menyala di belakang mereka, namun semangat untuk bertahan hidup jauh lebih kuat. Setiap detik yang berlalu terasa seperti waktu yang semakin dipersingkat. Mereka harus mencapai titik evakuasi dalam waktu yang semakin sempit.
Setibanya di tengah lapangan terbuka, musuh yang sebelumnya tersembunyi mulai terlihat. Pasukan musuh, dengan perlengkapan tempur lengkap, bergerak cepat menuju posisi mereka. Mereka mulai menembakkan peluru, menghujani tim Arka dengan tembakan. Beberapa peluru melesat begitu dekat, hampir mengenai mereka. Udara panas dari ledakan granat yang menghantam tanah membuat Arka merasakan betapa rapuhnya hidup ini.
Namun, dalam kekacauan itu, Arka tak sempat melirik ke belakang. Ia hanya fokus pada satu tujuan: bertahan hidup. Ia mengarahkan senjatanya dan mulai memberikan perlawanan. Iwan menyusul, memberikan tembakan akurat untuk memecah formasi musuh. Dita terus bergerak, menggiring tim dengan cepat menuju titik evakuasi yang sudah mereka rencanakan.
Saat mereka mendekati gerbang kompleks, sebuah suara keras terdengar, menggelegar. Sebuah ledakan besar menghantam tanah, memaksa mereka terpelanting ke sisi. Debu dan serpihan tanah memenuhi udara. Arka merasakan tubuhnya terhuyung, namun ia tidak jatuh. Dengan sisa kekuatan yang ada, ia bangkit dan berlari. Dita sudah berada di dekat gerbang, mencoba membuka pintu besi yang terkunci. Waktu semakin mendesak.
“Gerbangnya terkunci, Arka!” teriak Dita, frustasi. “Kita nggak bisa keluar begitu saja!”
Arka memandang ke sekelilingnya. Waktu yang mereka punya semakin menipis. Mereka dikepung di antara tembakan musuh dan gerbang yang tertutup rapat. Dan api dari ledakan yang semakin dekat menambah tekanan dalam dada mereka. Mereka hanya punya satu kesempatan lagi.
“Jangan biarkan gerbang ini menghentikan kita!” teriak Arka, semakin penuh dengan semangat. “Buka dengan cara apapun! Kita nggak akan mati di sini!”
Dengan dorongan penuh tekad, tim Arka bersatu. Iwan segera menyelinap ke sisi lain, berusaha mencari titik lemah pada gerbang yang terbuat dari baja. Dita mengeluarkan peralatan tambahan dan mulai mencoba membuka kunci dengan cepat. Waktu mereka terus berjalan, semakin terasa berat, namun Arka tetap berusaha menjaga kontrol, meskipun ketegangan dan kebingungan semakin menggulungnya.
Tidak ada yang tahu apakah mereka akan berhasil. Yang jelas, ketahanan mereka diuji, dan Arka menyadari betapa pentingnya setiap detik yang berlalu. Dalam momen seperti ini, tak ada lagi waktu untuk ragu. Semua itu hanya soal siapa yang lebih cepat—siapa yang bisa bertahan hingga detik terakhir.
Dan ketika akhirnya gerbang terbuka, Arka tahu satu hal pasti—perjuangan mereka baru saja dimulai. Kini, mereka bukan hanya bertarung untuk misi, tetapi untuk hidup mereka sendiri.
Bab 7: Perang Total
Detik-detik itu terasa semakin berat. Begitu mereka berhasil meloloskan diri dari jeratan api dan tembakan musuh, Arka dan timnya tahu bahwa mereka kini berada di tengah-tengah kancah yang lebih besar. Tidak ada lagi tempat untuk mundur. Pintu gerbang yang terbuka hanya memberikan mereka sedikit harapan, namun kenyataannya, itu adalah gerbang menuju perang yang jauh lebih sengit.
Di depan mereka, barisan pasukan musuh yang lebih terorganisir sudah mengerahkan seluruh kekuatan mereka. Tentara berseragam hitam dan pasukan elit dengan peralatan canggih siap menghalangi setiap langkah mereka. Angin berhembus kencang, membawa aroma tembakan yang sudah mengisi udara, tanda bahwa perang yang sesungguhnya baru saja dimulai.
“Ini sudah bukan lagi soal misi,” kata Arka, menatap ke depan dengan mata yang tajam. “Sekarang, ini adalah perang total.”
Kata-kata Arka terasa seperti suara perang yang menggema di hati masing-masing anggota tim. Mereka tahu bahwa tidak ada lagi batasan antara mereka dan musuh. Semua aturan yang ada sebelumnya telah runtuh. Mereka kini adalah pasukan yang terjebak di tengah medan pertempuran tanpa tempat berlindung, bertarung untuk hidup dan misi yang lebih besar.
Iwan memeriksa senjatanya, memastikan semuanya berfungsi dengan sempurna. Dita mengaktifkan perangkat komunikasi, mencoba untuk mendengar perintah lebih lanjut dari pusat. Namun, sinyal yang diterima sangat lemah, hanya memberikan pesan samar yang tak dapat dipahami sepenuhnya. Hanya satu yang pasti: mereka tidak bisa mengandalkan bantuan dari luar.
“Arka, kita harus bergerak cepat,” kata Dita dengan suara yang penuh kekhawatiran. “Mereka akan menutup semua jalur keluar. Kita harus mencari titik lemah mereka, atau kita akan terjebak.”
Arka mengangguk, matanya penuh perhitungan. “Jangan biarkan mereka menyadari kita sudah bergerak. Kita ambil rute samping. Iwan, pastikan tidak ada yang mengawasi kita.”
Mereka mulai bergerak cepat, menyelinap di balik reruntuhan dan puing-puing yang tersisa setelah ledakan sebelumnya. Setiap langkah mereka dipenuhi dengan kecemasan yang semakin membesar. Jantung Arka berdegup kencang, namun ia berusaha keras untuk tetap fokus. Mereka harus menemukan celah dalam pertahanan musuh, karena hanya dengan itu mereka bisa melanjutkan misi ini.
Namun, situasi mereka semakin memburuk. Seperti yang Arka duga, musuh sudah mengetahui keberadaan mereka. Tembakan dari senapan mesin mulai menghujani posisi mereka, menggetarkan tanah di bawah kaki. Ledakan granat yang tersembur dari sudut kiri memaksa tim Arka untuk segera berlindung.
“Serangan udara datang!” teriak Iwan, menandakan bahwa musuh tidak hanya mengandalkan pasukan darat, tetapi juga pesawat tempur yang mulai berpatroli di atas langit. Gelombang suara mesin pesawat terdengar semakin mendekat, semakin keras, seolah menantang siapa saja yang berani bertahan.
“Ke sana! Cepat!” Arka berteriak, memimpin tim untuk berlari menyusuri medan yang semakin kacau. Mereka harus segera menemukan tempat aman sebelum serangan udara menghancurkan segalanya. Namun, sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, sebuah suara keras terdengar dari belakang, disusul dengan ledakan yang mengguncang tanah.
Serangan udara itu datang lebih cepat dari yang mereka kira. Gelombang panas menyapu mereka, membuat Arka hampir kehilangan keseimbangan. Tanah di bawah kaki mereka meledak menjadi serpihan-serpihan batu. Beberapa anggota tim terhuyung, namun mereka tetap berlari. Tidak ada waktu untuk jatuh.
“Gerakkan kaki kalian! Tidak ada waktu untuk ragu!” teriak Arka, suara yang penuh komando. Dita dan Iwan mengangguk, berlari lebih cepat. Mereka berlari dalam formasi zig-zag, berusaha menghindari tembakan musuh yang datang dari segala arah.
Ketegangan memuncak saat mereka hampir mencapai dinding beton yang tampaknya menjadi satu-satunya perlindungan. Namun, rintangan terbesar mereka baru saja dimulai. Musuh kini semakin terdesak dan memperkuat posisi mereka. Mereka tahu, bahwa tim Arka sedang menuju ke titik yang sangat strategis—sebuah titik yang bisa mengubah jalannya perang ini. Itulah sebabnya, pasukan musuh semakin giat menggempur mereka.
“Setiap detik berarti!” teriak Dita, sambil menembakkan senapan ke arah musuh yang datang semakin banyak. “Kita harus bertahan lebih lama lagi!”
Arka, meskipun terengah-engah, tetap menjaga fokus. Ia tahu, jika mereka tidak segera mengambil langkah agresif, mereka akan dikepung. Semua mereka harus bergerak, menyerang, dan bertahan dalam waktu yang sangat terbatas. Musuh yang mengincar mereka bukan hanya pasukan biasa, melainkan pasukan elit yang telah dilatih khusus untuk menghadapi ancaman seperti tim Arka.
“Kita akan serang dari dua sisi!” perintah Arka. “Iwan, posisikan dirimu di sebelah kiri! Dita, sebelah kanan! Saya akan memimpin serangan langsung!”
Mereka menyebar, seperti harimau yang terlatih dengan baik, siap untuk meluncurkan serangan mendalam. Dengan kecepatan dan koordinasi yang sudah terlatih, mereka bergerak menghantam musuh dari dua arah, mengacaukan formasi pasukan musuh.
Ledakan kembali terdengar saat granat mereka menghantam posisi musuh yang terkonsentrasi di tengah medan. Pasukan musuh yang terkejut berusaha melawan balik, namun tim Arka sudah terlanjur mengambil posisi, memberikan tekanan yang begitu besar. Tak ada lagi ruang untuk mundur. Hanya ada satu tujuan: menghancurkan musuh dan melanjutkan misi mereka.
Perang yang mereka hadapi bukan hanya soal peluru yang melesat, tetapi juga strategi yang harus dimainkan dengan hati-hati. Setiap langkah harus dipikirkan dengan cermat, karena setiap keputusan akan menentukan apakah mereka akan berhasil atau gagal.
Arka merasakan getaran dalam dirinya, seperti api yang membara di dalam dada. Perang ini akan menentukan siapa yang bertahan, dan siapa yang akan jatuh. Tidak ada lagi keraguan, hanya pertempuran tanpa ampun.
Dan saat mereka akhirnya berhasil menembus pertahanan musuh, meskipun dengan kerugian yang tak terhindarkan, Arka tahu bahwa mereka belum menang. Mereka hanya berhasil melewati satu bagian dari perjalanan panjang yang harus ditempuh. Perang ini baru saja dimulai, dan di depan mereka, tantangan yang lebih besar menanti.
Bab 8: Jejak yang Dituntun Api
Langit malam tampak muram, gelap tanpa bintang. Asap masih mengepul dari reruntuhan markas musuh yang berhasil mereka hancurkan sebelumnya. Tapi kemenangan itu tak sepenuhnya manis. Kehancuran itu meninggalkan lebih dari sekadar puing—ia menyisakan jejak. Dan jejak itulah yang kini coba diikuti oleh Arka dan timnya.
Mereka bergerak dalam diam, menyusuri jalur hutan yang sebagian telah hangus terbakar. Api dari ledakan sebelumnya menyulut pohon-pohon kering, menciptakan jalur merah yang membara bagai kompas neraka. Aneh, pikir Dita, seolah api itu menuntun mereka ke sesuatu yang lebih dalam—lebih berbahaya.
“Aku merasa kita tidak sedang mengejar musuh,” gumam Iwan pelan. “Tapi seperti sedang diarahkan… ke dalam perangkap.”
Arka tak langsung menjawab. Matanya menelusuri jejak kaki yang samar di tanah berlumpur, bekas roda kendaraan berat, dan sisa jejak sepatu militer yang menuju arah timur. Tapi ada yang janggal—rute itu tak pernah dicantumkan dalam peta operasi. Ini bukan bagian dari rencana.
“Tapi jika ini perangkap,” ujar Arka akhirnya, “maka itu artinya kita semakin dekat dengan sesuatu yang mereka sembunyikan.”
Mereka melanjutkan perjalanan, menyeberangi sungai dangkal yang arusnya membawa abu dan sisa pembakaran. Setiap langkah menjadi pertaruhan, karena selain medan yang tak dikenali, mereka kini tidak tahu siapa yang masih bisa dipercaya. Pengkhianatan di babak sebelumnya telah menghancurkan fondasi kepercayaan dalam tim. Tatapan mereka saling mencurigai, walau tak diucapkan secara gamblang.
Tiba-tiba, sebuah ledakan kecil terdengar tak jauh di depan mereka. Suaranya tidak terlalu besar, tapi cukup untuk membuat semua orang tiarap. Dita segera mengeluarkan drone pengintai, menerbangkannya perlahan ke arah sumber suara. Di layar monitornya terlihat bayangan sebuah bunker tua, setengah terkubur tanah, dengan kobaran api kecil menjilat pintu masuknya.
“Di sanalah,” ujar Arka dengan mantap. “Jejaknya berakhir di situ.”
Namun begitu mereka mendekat, sesuatu tak beres. Pintu bunker terbuka sedikit, seolah mengundang. Tidak ada penjaga, tidak ada sistem pertahanan yang terlihat. Terlalu sunyi. Arka mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk berhenti. Ia merayap maju lebih dulu, matanya menatap setiap detail dengan penuh kewaspadaan.
Saat ia menyentuh pintu bunker, hawa panas keluar dari celahnya. Seakan api masih hidup di dalam. Dengan langkah perlahan, mereka masuk satu per satu. Bau logam terbakar dan bahan kimia menyengat hidung. Dinding bunker dipenuhi coretan-coretan aneh, semacam kode atau pesan.
Di tengah ruangan, mereka menemukan sesuatu yang tak mereka duga—sebuah ruangan penuh layar dan server, yang tampaknya merupakan pusat kendali utama dari operasi yang lebih besar.
Dita mengetik cepat pada salah satu konsol, mencoba mengakses data di dalamnya. “Ini bukan sekadar markas musuh biasa,” ujarnya dengan suara nyaris gemetar. “Ini adalah pusat pengawasan dari seluruh jaringan mereka. Semua koordinat, rencana sabotase, bahkan identitas agen ganda… semuanya ada di sini.”
Iwan menelan ludah. “Termasuk… pengkhianat dari pihak kita?”
Arka mengangguk perlahan. “Jejak ini… memang sengaja dibiarkan. Tapi bukan untuk membawa kita ke kematian. Mereka ingin kita tahu. Mereka ingin kita takut.”
Di layar monitor, satu nama muncul berulang-ulang. Nama yang selama ini mereka percaya. Nama yang selama ini berdiri di belakang layar… menarik benang dari balik semua kekacauan.
Dan saat kobaran api dari luar mulai menjilat bunker dari bawah, Arka menyadari—mereka harus segera pergi. Tapi tidak dengan tangan kosong. Mereka telah menemukan kunci.
Kunci untuk membalikkan keadaan.
Kunci untuk membongkar siapa dalang dari semua ini.
Bab 9: Kemenangan yang Berbuah Kepahitan
Pagi menyingsing dengan pelan, menembus kabut sisa ledakan malam sebelumnya. Di kejauhan, langit perlahan berubah warna, seolah berusaha menutupi luka medan tempur dengan sinar yang hangat. Tapi bagi Arka dan timnya, sinar matahari pagi itu tidak membawa kelegaan—hanya kenyataan pahit yang mulai menyelimuti hati mereka satu per satu.
Markas utama musuh telah hancur. Pusat komando yang mereka temukan di bunker malam sebelumnya meledak tepat setelah seluruh data penting berhasil mereka ekstrak. Operasi dinyatakan berhasil oleh pusat. Mereka seharusnya pulang dengan kepala tegak. Namun kemenangan itu terasa hampa.
Di antara puing-puing kemenangan, tubuh rekan mereka, Bagas, tergeletak tak bernyawa. Ia gugur saat melindungi Arka dari tembakan musuh terakhir yang menyerbu saat mereka hendak keluar dari bunker. Darahnya masih membekas di tanah, membentuk jejak merah yang takkan mudah dilupakan.
Tak ada sorak, tak ada pelukan kemenangan. Hanya keheningan.
Arka berdiri di samping jenazah Bagas, tak berkata apa-apa. Matanya menatap lurus ke depan, tapi pikirannya berkecamuk. Ia ingat semua tawa dan strategi yang mereka bicarakan bersama. Bagas bukan hanya rekan, tapi juga saudara dalam peperangan ini.
“Dia harusnya pulang bersama kita,” gumam Iwan, memandangi jenazah Bagas yang telah dibalut kain sederhana.
Dita menggenggam erat perangkat komunikasi yang sebelumnya digunakan Bagas. “Dia tahu risiko, tapi tetap saja… rasanya tak adil.”
Arka mengepalkan tangan. “Kita menang… tapi rasanya seperti kalah.”
Mereka akhirnya kembali ke markas induk. Disambut tepuk tangan, pelukan, dan pujian dari atasan. Tapi tidak satu pun dari mereka bisa menikmati momen itu. Mata mereka kosong, wajah mereka muram. Setiap langkah terasa berat karena satu kursi kosong di dalam helikopter—tempat Bagas seharusnya duduk.
Laporan operasi dibacakan dengan bangga. “Target hancur. Informasi berhasil dibawa pulang. Identitas pengkhianat telah diungkap. Kita berhasil.”
Namun di antara keberhasilan itu, kenyataan lain mulai terkuak. Nama-nama dalam daftar pengkhianat ternyata bukan hanya dari pihak lawan—beberapa di antaranya berasal dari dalam. Orang-orang yang mereka kenal. Yang pernah mereka ajak rapat. Yang pernah berjabat tangan dan mengucap “selamat bertugas”.
“Kita tidak hanya bertempur di medan perang,” ucap Dita lirih. “Tapi juga di antara meja rapat, di balik senyum rekan sendiri.”
Kemenangan itu memang penting, tapi harga yang harus dibayar terlalu tinggi. Selain kehilangan rekan, mereka kini harus memikul beban untuk menyerahkan bukti-bukti pengkhianatan kepada pihak atasan—menyeret beberapa nama besar ke meja investigasi.
Arka menghabiskan malam di ruangannya, menatap layar yang menampilkan wajah-wajah dari daftar yang mereka bawa pulang. Di satu sisi, ia bangga mereka berhasil. Di sisi lain, ia tahu, ini bukan akhir. Ini hanya membuka babak baru yang lebih rumit—perang yang tak lagi menggunakan senjata, tapi intrik, pengkhianatan, dan kekuasaan.
Ia membuka dompet kecil milik Bagas yang ditemukan dalam saku jaketnya. Di dalamnya, ada foto keluarganya. Seorang istri dan anak laki-laki kecil yang mungkin kini sedang menunggu kepulangan yang takkan pernah tiba.
Air mata pertama akhirnya jatuh dari matanya.
Kemenangan, bagi mereka, bukan sekadar soal menghancurkan musuh. Tapi juga soal kehilangan, luka yang tak terlihat, dan kesunyian yang mengiringi pulang.
Bab 10: Api yang Tak Pernah Padam
Beberapa hari telah berlalu sejak operasi berakhir. Markas kembali tenang, namun di dalam jiwa para anggota tim, badai belum juga reda. Satu per satu mereka mencoba kembali ke rutinitas, tapi ada yang berbeda. Ada sesuatu yang tertinggal di lapangan, di bunker terbakar, dan di tubuh Bagas yang tak sempat mereka bawa pulang utuh—api yang tak pernah padam.
Arka berdiri di ruang latihan, memandangi siluet dirinya di kaca besar. Bayangannya tampak gagah, namun matanya menyimpan kelelahan. Bukan karena fisik, tapi karena beban yang menghimpit pikirannya. Ia merasa operasi belum benar-benar selesai. Ada sesuatu yang belum tuntas. Dan itu membakar dalam diam.
Di ruang strategi, Dita terus mengurai data yang mereka dapatkan. Di antara ribuan file, ada satu folder terenkripsi yang belum bisa dibuka. Namanya sederhana: “KELAS_A”. Tapi file itu menyimpan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar dokumen perang.
“Sistem ini terlalu canggih,” ujar Dita sambil mengerutkan kening. “Hanya bisa diakses dengan identifikasi ganda. Dan… salah satu aksesnya milik Bagas.”
Arka menunduk sejenak. “Kalau begitu, kita harus cari jalan lain.”
Sementara itu, Iwan mulai menyelidiki rekam jejak orang-orang yang terlibat dalam pengkhianatan. Ternyata, ada satu nama yang tidak muncul dalam laporan resmi. Seseorang yang selama ini bergerak di bawah radar, memanfaatkan konflik untuk keuntungan pribadi, dan—yang lebih mengerikan—masih aktif di lingkaran dalam.
“Dia belum tertangkap. Dan kalau dibiarkan…” Iwan menatap Arka. “Dia akan menyalakan api baru, yang jauh lebih berbahaya.”
Arka tahu, ia tak bisa membiarkan bara itu menyala menjadi kobaran. Perang mungkin telah selesai, tapi perjuangan mereka belum. Musuh tersembunyi masih bergerak, dan jika mereka lengah, segalanya bisa kembali terbakar.
Malam itu, Arka duduk sendiri di balkon barak. Angin malam meniup lembut, seolah ingin menenangkan hatinya. Tapi di benaknya, wajah-wajah masa lalu terus hadir. Wajah Bagas. Wajah korban-korban perang yang tak bersuara. Dan satu suara dalam hati yang tak henti membisikkan:
“Kau belum selesai. Kau harus kembali. Karena ada nyala api yang tak bisa kau padamkan hanya dengan kemenangan setengah hati.”
Ia menatap jauh ke langit malam, ke arah bintang yang mulai redup tertutup awan. Api itu bukan hanya tentang kemarahan atau balas dendam. Tapi tentang semangat yang terus menyala, bahkan di tengah abu kehancuran.
Arka bangkit, dan untuk pertama kalinya sejak pulang, ia tersenyum tipis. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Operasi berikutnya bukan hanya soal strategi. Ini soal tekad. Soal keadilan. Soal menuntaskan luka yang belum sembuh.
Dan api itu—api yang tak pernah padam—akan menjadi cahaya yang menuntunnya.***
—————————–THE END————————–