Bab 1: Awal yang Terpisah
Pagi itu, angin sepoi-sepoi menerpa wajah Rizka saat ia berdiri di depan terminal, menatap bus yang perlahan meninggalkan kota kecil tempat ia dibesarkan. Suara mesin yang mulai terdengar semakin samar, dan pelan-pelan, bayangan bus yang berangkat itu pun menghilang di balik tikungan. Di sana, di antara langkah-langkah yang semakin menjauh, ia merasa sesuatu menghangat di dadanya. Sebuah perasaan yang sulit ia jelaskan, tetapi jelas terasa—seolah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak akan pernah kembali.
Rizka menundukkan kepala, menatap tas kecil yang digenggamnya erat. Di dalamnya ada surat-surat yang sudah lama terkumpul, beberapa benda kenangan, dan sebuah foto lama. Itu adalah segalanya yang tersisa dari masa kecil yang penuh tawa, dari keluarga yang kini hanya bisa dikenang dalam diam. Setelah perpisahan itu, entah bagaimana, hidupnya menjadi berbeda. Orang-orang yang dulu begitu dekat dengannya kini hanya bayangan samar yang berusaha ia cari di antara kesibukan kota besar.
“Rizka, berhati-hatilah di sana,” kata ibu sebelum ia pergi. Kata-kata itu terngiang-ngiang di telinganya, seolah sebuah pesan yang tak pernah bisa hilang meskipun ia sudah beranjak jauh. Ibunya selalu memperingatkannya tentang dunia luar yang keras, tentang mimpi yang bisa membuat seseorang tersesat, dan tentang perpisahan yang kadang tak pernah bisa dihindari.
Namun, keinginan untuk mengejar cita-cita, untuk membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia mampu berdiri sendiri, selalu lebih besar daripada rasa takut yang sering menghinggapinya. Keputusan untuk meninggalkan rumah, meninggalkan segala yang ia kenal, bukanlah hal yang mudah. Setiap langkah yang ia ambil terasa begitu berat, namun ia tahu, inilah saatnya. Keputusan ini adalah titik awal dari perjalanan panjang yang penuh ketidakpastian.
Dua tahun telah berlalu sejak ia meninggalkan kampung halaman, namun rasa rindu itu—rindu yang terus membelenggu—tidak pernah bisa hilang. Setiap malam, sebelum tidur, ia sering terbangun dalam kesunyian, mengenang wajah-wajah yang tak lagi bisa ia temui. Ayah yang dulu selalu memberikan pelukan hangat, dan adik-adiknya yang sering kali membuatnya tertawa dengan tingkah laku mereka. Semua itu kini hanya tinggal kenangan yang terkurung dalam hati.
Rizka menghela napas, lalu melangkah dengan pasti ke dalam terminal. Di depannya, pintu gerbang besar yang mengarah ke dunia yang tak kenal ampun itu seolah menunggu untuk disingkap. Ia tahu, ini adalah awal dari sebuah kehidupan yang penuh dengan tantangan baru. Tetapi di balik tekad yang kuat untuk meraih cita-cita, ada sesuatu yang terus mengusik hatinya—rasa rindu yang begitu dalam, yang tak bisa ia ungkapkan, yang tak sempat ia katakan sebelum perpisahan itu terjadi.
Perpisahan memang selalu membawa rasa sakit, tetapi kadang-kadang, rasa sakit itu yang membuat kita lebih kuat. Dan meskipun ia tak tahu apakah ia akan bisa kembali ke rumah itu suatu saat nanti, yang jelas, perjalanan ini akan mengajarinya bahwa perpisahan bukanlah akhir, tetapi justru awal dari sebuah perjalanan baru.
Dengan langkah mantap, Rizka melangkah maju. Di balik punggungnya, kota kecil itu semakin menjauh. Tapi di dalam hatinya, ia tahu satu hal: perjalanan panjang ini baru saja dimulai, dan rindu itu, meskipun tak bisa pulang, akan selalu ada, mengiringi setiap langkahnya.
Bab 2: Jejak Masa Lalu
Rizka duduk di sudut kafe yang sederhana, menatap secangkir kopi yang masih mengepul hangat. Di luar jendela, hujan gerimis turun perlahan, menambah keheningan yang mengelilinginya. Di tengah kesibukan kota besar yang tak pernah tidur, ia merasa terasing, seperti seseorang yang tersesat dalam lautan orang-orang asing. Ia meraba tas kecil yang selalu dibawanya kemanapun, lalu mengeluarkan sebuah amplop biru tua yang sudah lama terkumpul di dalamnya.
Di dalam amplop itu terdapat surat-surat yang selama ini ia simpan dengan hati-hati. Surat-surat itu bukan hanya sekadar tulisan di atas kertas; mereka adalah potongan-potongan kenangan yang membentuk masa kecilnya, kenangan yang tidak pernah bisa ia lupakan meskipun berusaha begitu keras untuk maju ke depan.
Satu per satu, ia membaca tulisan-tulisan tangan yang familiar, yang sering kali membuat matanya berkaca-kaca. Surat dari ibunya yang selalu memberi nasihat dengan kata-kata lembut namun penuh makna, dari ayahnya yang selalu memberi semangat meskipun tubuhnya tak lagi sekuat dulu. Ada juga surat dari sahabat-sahabatnya yang dulu setia menemani di setiap sudut kota kecil mereka, kota yang kini semakin jauh di belakangnya.
“Rizka, jangan lupa pulang. Kami menunggumu,” demikian salah satu kalimat dalam surat yang dikirimkan oleh sahabatnya, Indah. Surat itu sudah kuno, namun tetap terasa hangat, seolah Indah baru saja menulisnya kemarin.
Pikirannya melayang kembali ke hari-hari itu, saat tawa dan canda bersama mereka terdengar meriah di setiap sudut rumah. Mereka biasa duduk di teras rumah, saling berbagi cerita tentang masa depan, tentang mimpi-mimpi yang ingin mereka capai, tentang dunia yang lebih besar yang ada di luar sana. Waktu itu, dunia mereka begitu kecil, begitu sederhana. Namun, ada kenyataan pahit yang harus diterima: setiap pertemuan akan ada perpisahan. Dan perpisahan itu telah datang lebih cepat dari yang ia bayangkan.
Dua tahun yang lalu, saat ia memutuskan untuk meninggalkan rumah, ia tidak pernah tahu betapa sulitnya melepaskan semuanya. Ia pergi dengan harapan dan impian besar di kepala, tetapi dengan perasaan berat di hati. Perpisahan itu tak pernah benar-benar ia pahami sampai saat ia harus hidup di tempat yang baru, jauh dari orang-orang yang paling berarti dalam hidupnya.
Rizka menundukkan kepala, meremas surat-surat itu di tangannya. Di sana, dalam setiap goresan kata, ada cinta yang tak pernah bisa ia balas. Ada rindu yang tak pernah sempat ia sampaikan. Ada janji yang tak bisa ia tepati. Semakin ia mencoba untuk melupakan, semakin kenangan itu kembali datang, mengisi ruang kosong dalam dirinya yang selama ini ia kira sudah penuh dengan keberanian dan harapan.
Namun, pada kenyataannya, meskipun kota besar ini menawarkan peluang tak terbatas, meskipun ia bekerja keras mengejar cita-citanya, ia tak bisa menghindar dari kenyataan bahwa ada sesuatu yang hilang. Ada bagian dari dirinya yang tak bisa ia temukan di sini, di tengah hiruk pikuk kehidupan yang baru.
“Apakah mereka masih menungguku?” Rizka bertanya dalam hati, matanya menatap jauh ke luar jendela, menyaksikan hujan yang semakin deras. Ia tahu jawabannya, meskipun ia tak pernah berani untuk mengatakannya.
Mungkin, memang benar bahwa perpisahan adalah bagian dari kehidupan. Namun, tak ada yang bisa menghapus jejak masa lalu yang telah membentuk siapa dirinya. Setiap kenangan, setiap tawa, setiap tangis, semuanya membentuk sebuah cerita yang tak akan pernah pudar meskipun waktu terus berlalu. Dan Rizka tahu, meskipun ia berjalan jauh, jejak masa lalu itu akan selalu ada, tersimpan dalam hatinya, menemani setiap langkahnya.
Ia menaruh surat-surat itu kembali ke dalam tasnya dengan hati yang berat. Ada rasa hangat yang menyelimutinya, seolah ada pelukan dari jauh yang menguatkannya. Ia tidak bisa kembali, tetapi jejak masa lalu itu akan selalu menjadi bagian dari dirinya, memberikan arah dan harapan saat segala sesuatu terasa samar.
Dengan langkah yang sedikit lebih ringan, Rizka meninggalkan kafe itu. Hujan yang masih turun dengan lebat, seolah ikut mengiringi perasaan yang bertaut antara rindu dan harapan. Di tengah hujan yang jatuh perlahan, ia tahu satu hal pasti—meskipun masa lalu tak bisa kembali, ia akan selalu membawanya di dalam hatinya, sebagai penuntun dalam perjalanan panjang yang belum usai.
Bab 3: Perjalanan yang Tidak Mudah
Rizka menatap ke luar jendela gedung tinggi tempat ia bekerja. Kota ini begitu besar, penuh dengan kehidupan yang tak pernah berhenti. Tetapi bagi Rizka, ada perasaan hampa yang semakin mendalam. Meski ia telah menapaki perjalanan yang penuh perjuangan, ada saat-saat di mana ia merasa terjebak dalam rutinitas yang begitu keras. Setiap hari, ia terbangun lebih awal, bergelut dengan tumpukan pekerjaan, dan kembali pulang larut malam, hanya untuk terlelap dalam tidur yang lelah.
Ia teringat betul bagaimana ia dulu bermimpi untuk bisa hidup mandiri, untuk membuktikan bahwa ia bisa sukses meski tanpa dukungan keluarga yang selalu ada di belakangnya. Tetapi sekarang, setelah dua tahun berada di kota ini, ia mulai merasakan betapa kerasnya dunia yang selama ini ia impikan. Tidak ada lagi ruang untuk bermimpi; yang ada hanya realitas yang terus menghimpitnya.
Rizka menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tidak ada yang mudah di sini. Setiap pencapaian yang ia raih selalu terasa terhimpit oleh beban yang semakin berat. Dia bekerja sebagai asisten manajer di sebuah perusahaan besar, sebuah pekerjaan yang seharusnya memberikan banyak kesempatan untuk berkembang. Namun, seiring berjalannya waktu, ia merasa tidak ada yang berubah. Ia seperti seorang pion yang terjebak dalam permainan besar, tak tahu harus bergerak ke mana.
Dalam beberapa minggu terakhir, ia merasa seperti berjalan di tempat. Setiap usaha yang ia lakukan terasa sia-sia, seakan tidak pernah cukup. Ketegangan antara harapan dan kenyataan semakin memperburuk keadaan. Ada saat-saat di mana ia merasa putus asa, seperti tidak ada jalan keluar dari kebuntuan ini.
Di balik meja kerjanya, ia memandangi layar komputer dengan mata yang mulai lelah. Pekerjaan yang menumpuk tidak mengurangi perasaan kosong yang terus menghantuinya. Setiap kali ia mencoba meraih impian-impian kecilnya, selalu ada saja halangan yang datang, seperti bayangan masa lalu yang tak bisa ia hindari. Terkadang, ia bertanya-tanya apakah keputusan untuk meninggalkan kampung halaman dulu adalah keputusan yang benar.
Namun, meskipun segala sesuatunya terasa sulit, ada satu hal yang tidak pernah berubah dalam dirinya—keinginan untuk terus maju. Ia tidak bisa kembali ke masa lalu, dan ia tidak bisa membiarkan rasa rindu itu menghancurkan masa depannya. Meskipun terkadang ia merasa terpuruk, ia tahu bahwa untuk mencapai tujuan, ia harus terus berjuang, meski terkadang langkahnya terasa berat dan penuh keraguan.
Sore itu, setelah jam kerja usai, Rizka keluar dari gedung perusahaan. Langit yang mulai gelap menambah kesan berat di hatinya. Ia berjalan tanpa tujuan yang jelas, hanya membiarkan langkahnya mengalir mengikuti irama jalanan kota yang padat. Hujan yang mulai turun membuat suasana semakin sendu, tetapi Rizka tidak peduli. Ia merasa seperti hujan itu mencerminkan dirinya—terombang-ambing antara harapan dan keputusasaan.
Di tengah jalan, ia berhenti sejenak di bawah sebuah pohon besar, menepi dari keramaian. Ia mengeluarkan ponselnya, membuka album foto, dan terhenti pada sebuah gambar. Itu adalah foto keluarga yang diambil sebelum ia berangkat ke kota ini. Senyum ibunya yang hangat, wajah ayahnya yang penuh kebijaksanaan, dan tawa adik-adiknya yang ceria. Tiba-tiba, ia merasa sangat merindukan mereka. Keputusan untuk meninggalkan mereka terasa semakin berat sekarang, ketika ia merasa seolah tidak ada yang mendukung perjuangannya di sini.
“Tapi, aku harus kuat,” Rizka berkata pada dirinya sendiri, mencoba mengingatkan bahwa ini adalah jalannya, jalan yang ia pilih. Rasa rindu itu tidak akan pernah hilang, namun ia harus menemukan cara untuk membuatnya menjadi kekuatan, bukan kelemahan.
Dengan perasaan yang campur aduk, Rizka melanjutkan langkahnya. Hujan semakin deras, tetapi ia tidak peduli. Seperti hujan yang turun tanpa henti, begitu pula perasaan rindu yang terus mengalir dalam dirinya. Namun, ia tahu, perjalanan ini tidak akan mudah. Jalan yang ia pilih penuh dengan tantangan, dan terkadang, ia merasa seperti tidak bisa bertahan lagi. Tetapi di balik setiap tetes hujan, ada harapan yang tersembunyi—harapan untuk menemukan kedamaian, untuk menemukan dirinya yang sejati di tengah semua kesulitan ini.
Setiap langkahnya adalah perjuangan, dan setiap langkah itu, meskipun terasa berat, membawa Rizka lebih dekat kepada tujuan yang ingin ia capai. Dia tahu bahwa perjalanannya masih panjang, dan tidak ada yang bisa mempersiapkannya sepenuhnya untuk apa yang akan datang. Namun, satu hal yang pasti—meskipun perjalanan ini tidak mudah, ia akan terus berjalan, karena itulah satu-satunya cara untuk menemukan jalan pulang yang sebenarnya.
Bab 4: Hubungan yang Baru
Rizka menatap cangkir kopi yang sudah hampir habis di tangannya. Pagi itu, ia duduk di kafe yang sama di mana ia sering menghabiskan waktu sendirian, menenangkan pikiran setelah minggu-minggu yang penuh tekanan. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Ia tidak sendirian.
Di hadapannya duduk seorang pria muda, seorang rekan kerja yang baru saja ia kenal beberapa bulan terakhir. Namanya Arya, seorang analis data di perusahaan tempat Rizka bekerja. Mereka pertama kali berbicara dalam sebuah proyek besar yang melibatkan banyak orang, namun setelah proyek itu selesai, mereka tetap saling berbincang, berbagi cerita tentang kehidupan, dan akhirnya menjadi lebih akrab.
Arya bukanlah tipe orang yang biasanya Rizka dekati. Ia lebih memilih untuk menjaga jarak, menjaga dirinya tetap fokus pada pekerjaan, dan tidak banyak melibatkan perasaan dalam hubungan apapun. Tetapi Arya berbeda. Ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuatnya merasa nyaman, seolah Arya tahu kapan harus memberi ruang dan kapan harus mendekat tanpa memaksa.
“Mungkin kita harus lebih sering melakukan ini,” kata Arya, memecah keheningan. Suaranya lembut, penuh ketulusan, namun ada juga sedikit kekhawatiran di sana, seperti ia sedang berusaha mencari cara untuk mengungkapkan sesuatu yang lebih.
Rizka tersenyum tipis, mencoba mencerna kata-kata itu. “Maksudmu? Lebih sering bertemu?” tanyanya, meskipun ia tahu benar apa yang sedang dimaksudkan oleh Arya.
“Ya,” jawab Arya. “Aku tahu ini agak cepat, tapi aku merasa kita bisa menjadi teman baik. Aku senang bisa berbicara denganmu. Dan aku ingin kamu tahu, jika ada apapun yang bisa aku bantu, aku akan ada di sini.”
Rizka terdiam sejenak, matanya menatap kosong ke luar jendela. Kata-kata Arya menyentuhnya, tetapi ada bagian dari dirinya yang ragu untuk melangkah lebih jauh. Ia tahu, hubungan seperti ini bisa jadi komplikasi baru dalam hidupnya. Ia takut terlalu dekat dengan seseorang, karena ia tidak ingin lagi merasakan sakitnya perpisahan, seperti yang ia alami dengan keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Namun, ada juga rasa yang tak bisa ia pungkiri. Ada kehangatan yang tumbuh dalam setiap percakapan dengan Arya, dan kehadirannya yang selalu membawa kedamaian, meskipun sesekali Rizka merasakan ketegangan yang tak terucapkan. Rasa rindu terhadap rumah dan orang-orang yang telah ia tinggalkan selalu mengganggu, tetapi dengan Arya, entah mengapa, ia merasa sedikit lebih ringan.
“Terima kasih, Arya,” jawab Rizka akhirnya, suaranya agak gemetar, seolah ada perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan sepenuhnya. “Aku… aku hargai itu. Aku juga merasa kita bisa menjadi teman baik. Hanya saja… kadang aku merasa sulit untuk membuka diri.”
Arya mengangguk, matanya tidak melepas Rizka, seolah memahami perasaan yang tak terucapkan. “Aku mengerti,” katanya. “Tidak ada yang terburu-buru. Kita bisa berjalan pelan-pelan.”
Percakapan mereka berlanjut, dan dengan setiap kata yang diucapkan, Rizka mulai merasa lebih terbuka, meskipun ada bagian dari dirinya yang terus menahan. Ia tahu, ini adalah hubungan yang baru, dan meskipun ia tidak bisa memprediksi ke mana arah hubungan ini akan berlanjut, ia merasa sedikit lebih tenang. Kadang, terkadang, membuka diri kepada seseorang bisa menjadi langkah kecil menuju penyembuhan, meskipun rasa rindu itu tidak pernah benar-benar hilang.
Setelah beberapa kali bertemu, Rizka mulai merasakan kenyamanan yang aneh. Tidak ada tekanan, tidak ada ekspektasi besar. Mereka berbicara tentang hal-hal sederhana—tentang pekerjaan, tentang mimpi mereka, tentang kebiasaan sehari-hari yang kadang bisa terasa membosankan, namun selalu membuat mereka tertawa. Arya membuatnya merasa lebih ringan, seolah dia bukan hanya seorang rekan kerja, tetapi juga seseorang yang bisa ia percayai.
Namun, meskipun begitu, rasa rindu itu tetap ada, selalu mengingatkannya pada kenangan yang belum sepenuhnya bisa ia lepaskan. Arya, meskipun baik dan sabar, tidak bisa menghapus kenangan tentang rumah yang jauh dan orang-orang yang ia tinggalkan. Tetapi untuk pertama kalinya, Rizka merasa ada harapan kecil, seperti ada cahaya yang perlahan masuk ke dalam hati yang selama ini tertutup rapat.
Hari itu, saat Arya mengantarnya pulang setelah pertemuan mereka, Rizka merasakan sesuatu yang berbeda. Di tengah percakapan ringan mereka, ada sebuah kehangatan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Arya berhenti sejenak di depan pintu apartemen Rizka.
“Aku senang bisa menghabiskan waktu bersamamu,” kata Arya, senyum kecil tergurat di wajahnya.
Rizka menatapnya, matanya sedikit berkaca. “Aku juga… Terima kasih sudah mendengarkan aku.”
Sebelum berpaling masuk ke dalam apartemennya, Rizka berhenti sejenak, merasakan ada sesuatu yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Mungkin hubungan ini memang baru, mungkin masih ada banyak hal yang belum ia pahami, tetapi satu hal yang pasti—untuk pertama kalinya setelah lama, ia merasa bahwa membuka hati untuk orang lain bukanlah hal yang menakutkan.
Ketika pintu apartemen itu tertutup, ia berdiri di sana sejenak, menatap ke luar jendela, dan menyadari bahwa, meskipun perjalanan ini penuh dengan rindu dan kenangan yang sulit untuk dilupakan, ada juga ruang untuk memulai sesuatu yang baru. Dan mungkin, hanya mungkin, itu adalah langkah pertama menuju kedamaian yang selama ini ia cari.
Bab 5: Pergolakan Hati
Rizka duduk di meja kerjanya, tatapannya kosong, mata yang sebelumnya bersemangat kini kehilangan arah. Di luar jendela, langit tampak mendung, seolah mencerminkan perasaannya yang sedang kacau. Hari-hari terakhir ini, ia merasa terombang-ambing antara dua dunia—dunia yang ia tinggalkan dan dunia yang sedang ia bangun.
Setelah bertemu dengan Arya beberapa kali, ada perasaan yang sulit ia hindari. Arya, dengan segala kesederhanaannya, telah berhasil menyentuh sisi lembut hatinya yang selama ini ia kubur rapat-rapat. Namun, perasaan itu datang dengan berbagai pertanyaan yang mengganggu. Apakah ini waktunya untuk membuka hati kembali? Ataukah ia hanya sedang mencari pelarian dari rasa rindu yang tak pernah usai?
Pikirannya kembali melayang ke masa lalu, ke rumah yang ia tinggalkan jauh di sana. Ia ingat senyum ibu, suara ayah yang memberi nasihat, dan canda tawa adik-adiknya yang dulu selalu mengisi setiap sudut ruang keluarga mereka. Semua itu terasa semakin jauh, semakin samar. Ia tahu, semakin lama ia berada di kota ini, semakin banyak kenangan yang harus ia lupakan, atau setidaknya ia pikir ia harus melupakan mereka.
Tapi kenapa hati ini tak bisa berbohong? Kenapa rasa rindu itu selalu hadir, mengguncang pikirannya setiap kali ia berusaha mengabaikannya?
Sementara itu, Arya hadir dalam kehidupan yang baru, seorang pria yang berbeda. Tidak seperti yang lain, Arya tidak menghakimi. Ia tidak pernah meminta lebih dari apa yang Rizka mampu berikan. Ada sesuatu yang membuat Rizka merasa aman di dekatnya. Namun, apakah ini cukup untuk membuka hati yang sudah lama terkunci? Bagaimana jika ia terjebak dalam sebuah hubungan yang pada akhirnya hanya akan menambah rasa sakit?
Hari itu, Arya mengajaknya pergi makan siang di sebuah restoran kecil yang hangat. Mereka duduk berhadapan, tetapi kali ini, ada ketegangan yang terasa di udara. Arya tampak lebih serius dari biasanya.
“Rizka, ada yang ingin aku bicarakan,” kata Arya pelan, suaranya sedikit bergetar.
Rizka menatapnya, mencoba membaca raut wajahnya yang tampak penuh harapan. Ada sesuatu yang berbeda kali ini. Hati Rizka berdegup lebih cepat.
“Ada apa, Arya?” Rizka bertanya, mencoba menahan perasaan yang mulai meluap. Ia merasa cemas, takut mendengar kata-kata yang mungkin akan mengubah semuanya.
“Aku merasa kita sudah cukup dekat,” jawab Arya, memandangnya dengan mata yang penuh ketulusan. “Aku ingin kamu tahu, aku serius dengan hubungan ini, Rizka. Aku tidak ingin kamu merasa terburu-buru, tapi aku ingin kita bisa saling mengenal lebih dalam.”
Jantung Rizka berdegup kencang. Kata-kata itu, meskipun sederhana, terasa berat baginya. Arya serius. Tidak ada yang lebih menakutkan bagi Rizka selain harapan yang bisa saja hancur begitu saja. Ia tahu betul, membuka hati berarti membiarkan luka-luka lama terbuka kembali, dan itu bukanlah hal yang mudah.
Ia menunduk, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai berkecamuk. Dalam setiap detik yang terasa begitu panjang itu, pikirannya terpecah antara keinginan untuk menjaga hubungan ini tetap ada dan ketakutan akan rasa sakit yang akan datang.
“Arya…” Rizka mulai, suaranya sedikit gemetar. “Aku… aku tidak bisa janji apa-apa. Aku ingin, tapi hatiku tidak sepenuhnya ada di sini. Ada bagian dari diriku yang masih terjebak di tempat yang jauh, di masa lalu. Aku tidak bisa begitu saja melupakan semuanya.”
Arya terdiam, wajahnya tidak menunjukkan ekspresi kecewa, hanya penuh pengertian. “Aku tidak ingin memaksamu, Rizka. Aku hanya ingin kamu tahu, aku ada untukmu. Aku ingin melihat kamu bahagia, meskipun itu berarti aku harus memberi ruang untukmu.”
Rizka merasakan sesuatu di dalam dirinya yang tiba-tiba mencair. Kata-kata Arya yang lembut, penuh pengertian, membuat hatinya sedikit lebih tenang. Namun, perasaan ragu itu masih ada, berbisik di setiap sudut pikirannya, seolah memperingatkannya untuk berhati-hati.
Perjalanan menuju kebahagiaan memang tidak pernah mudah, dan Rizka merasa seperti berada di persimpangan jalan. Satu jalan mengarah ke kenyamanan dan rasa aman yang mungkin ditemukan bersama Arya, tetapi jalan itu juga mengandung risiko yang besar—risiko untuk membuka hati dan akhirnya merasakan sakit. Jalan lainnya adalah kembali ke masa lalu, memelihara kenangan yang indah meskipun penuh dengan rasa kehilangan.
Namun, dalam diamnya, Rizka menyadari sesuatu yang penting: tidak ada yang bisa benar-benar mengubah masa lalu, tetapi masa depan masih terbuka lebar. Ia harus memilih apakah ia akan terus hidup dalam bayang-bayang kenangan, ataukah ia akan berani melangkah ke depan, meskipun perjalanan itu penuh dengan ketidakpastian.
“Aku… Aku tidak tahu apakah aku siap, Arya,” kata Rizka dengan suara pelan, mengungkapkan keraguan yang selama ini ia pendam. “Tapi aku akan coba. Aku akan coba, walau itu sulit.”
Arya tersenyum tipis, dan Rizka merasakan kehangatan yang menenangkan dari senyum itu. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi setidaknya, ia tidak lagi berjalan sendirian. Ada seseorang di sampingnya yang siap untuk mendampinginya, meskipun mereka belum tahu ke mana jalan ini akan membawa mereka.
Dalam keheningan itu, hanya ada suara detak jantung mereka yang saling bersatu dalam ketidakpastian, namun juga dalam harapan yang perlahan tumbuh.
Bab 6: Kenyataan yang Menyakitkan
Rizka duduk termenung di balkon apartemennya, mata memandang jauh ke arah kota yang terus bergerak, tidak peduli apa yang terjadi dalam hidupnya. Hujan yang turun perlahan-lahan menciptakan genangan di jalanan, menambah kesan suram yang sudah menyesakkan di dada. Perasaannya pun seolah terperangkap dalam badai yang tak kunjung reda.
Selama beberapa minggu terakhir, hubungan dengan Arya semakin terasa dekat. Mereka semakin sering bertemu, saling berbagi cerita, dan tanpa disadari, Rizka mulai membuka diri. Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang terus mengganggu pikirannya—sesuatu yang lebih besar dari sekadar rasa rindu atau ketakutan akan masa lalu. Ada kenyataan yang perlahan-lahan mulai terungkap, kenyataan yang membuat hatinya terhempas.
Pagi itu, setelah beberapa hari tidak bertemu, Arya meneleponnya. Suaranya terdengar lebih serius dari biasanya, penuh dengan ketegangan yang tidak bisa disembunyikan.
“Rizka, ada hal penting yang harus aku katakan,” kata Arya, suaranya sedikit bergetar, penuh ketidakpastian.
Rizka merasa jantungnya berdegup kencang. Ada sesuatu yang tidak beres. Perasaan cemas itu kembali menguasai dirinya. “Apa yang terjadi, Arya? Kenapa suaramu seperti itu?”
“Ada sesuatu yang harus kamu tahu tentang aku,” lanjut Arya, suaranya semakin terdengar berat. “Aku… aku sebenarnya sudah punya seseorang di masa lalu. Seseorang yang masih ada dalam hidupku sekarang.”
Kata-kata itu bagaikan petir yang menyambar di tengah ketenangannya. Rizka merasa tubuhnya kaku, seolah setiap kata yang keluar dari mulut Arya adalah sebuah palu yang menghancurkan kenyamanan yang telah ia bangun dengan susah payah. Hatinya berdebar keras, dan untuk sesaat, ia merasa dunia ini berputar begitu cepat, membuatnya kehilangan arah.
“Apa maksudmu?” Rizka bertanya, meskipun hatinya sudah bisa menebak jawabannya.
“Aku tidak ingin menyakitimu, Rizka. Tapi aku rasa kamu berhak tahu.” Arya menghela napas panjang, seolah sulit untuk melanjutkan. “Dia adalah seseorang yang sudah lama ada dalam hidupku. Dan aku… aku masih merasa ada ikatan di antara kami.”
Rizka merasa seolah segala sesuatu yang ada di sekelilingnya menghilang dalam sekejap. Ada suara bising yang terdengar begitu jauh, tetapi hatinya justru terasa sepi. Ia merasa seperti terjebak dalam kenyataan yang sangat pahit, kenyataan yang tidak pernah ia duga akan datang. Selama ini, ia selalu merasa bahwa Arya adalah seseorang yang dapat ia percayai, seseorang yang bisa mengerti dirinya. Namun kenyataan ini menghancurkan segala harapannya.
“Arya, jadi selama ini kamu sudah punya seseorang? Kenapa kamu tidak memberitahuku lebih awal?” suara Rizka bergetar, mencampurkan rasa marah dan kecewa.
“Aku memang seharusnya memberitahumu lebih awal, Rizka. Aku tahu itu. Tapi aku tidak ingin membuatmu terluka, apalagi saat kita mulai semakin dekat.” Suara Arya kini terdengar penuh penyesalan. “Aku tidak pernah bermaksud membuatmu merasa seperti ini.”
Rizka terdiam, mengunci pikirannya dalam kebingungan yang membelenggu. Ia memejamkan mata, mencoba menahan air mata yang sudah mulai menggenang. Perasaan sakit itu begitu dalam, begitu tajam. Rasa sakit yang datang bukan hanya karena pengkhianatan yang dirasakannya, tetapi juga karena kenyataan bahwa ia sudah mulai membuka hati, sudah mulai merasakan sesuatu yang tulus. Namun, kenyataan itu datang begitu saja, mengusik segala harapan yang ia bangun dengan perlahan.
“Jadi apa sekarang?” Rizka bertanya pelan, suaranya terdengar hampa. “Apa yang harus aku lakukan dengan semua ini, Arya? Apa aku masih bisa mempercayaimu setelah semuanya?”
“Aku tidak tahu, Rizka,” jawab Arya, suaranya penuh keputusasaan. “Aku ingin memperbaiki semuanya, aku ingin kita bisa berjalan bersama. Tapi aku juga tahu, aku tidak bisa memaksamu untuk menerima aku lagi setelah apa yang terjadi. Aku… aku minta maaf.”
Kata-kata itu seperti pedang yang mengiris hatinya. Rizka merasa terjebak dalam kebingungannya sendiri. Selama ini, ia berusaha untuk membuka hati, untuk mengatasi rasa rindu dan sakit yang terus menghantuinya, tetapi kenyataan ini menghantamnya begitu keras. Rasa sakitnya begitu dalam, seolah ia kehilangan lebih dari sekadar seseorang yang ia sayangi. Ia merasa kehilangan bagian dari dirinya yang sudah ia harapkan ada di dunia ini—kepercayaan.
Setelah panggilan itu berakhir, Rizka duduk terdiam, merenungi semua yang baru saja terjadi. Ia merasa seperti terhimpit antara dua pilihan yang sama-sama sulit. Di satu sisi, ia ingin memberi Arya kesempatan, ingin mempercayainya kembali. Tetapi di sisi lain, rasa sakit yang ia rasakan begitu dalam, dan itu membuatnya takut untuk melangkah lebih jauh lagi.
Kenapa segala sesuatunya selalu berakhir dengan kenyataan yang menyakitkan? Kenapa harus ada luka yang harus ia tanggung setiap kali ia mencoba membuka diri?
Perasaan itu semakin menggerogoti hatinya, membuatnya merasa seolah tak ada jalan keluar. Ia ingin menutup mata dan melupakan semuanya, tetapi kenyataan itu tetap ada, begitu nyata, begitu menyakitkan. Ia tahu, ini adalah pelajaran hidup yang pahit, tetapi juga perlu diterima—bahwa terkadang, kenyataan tak selalu seindah harapan, dan kepercayaan bisa hancur hanya dalam sekejap mata.
Dengan napas yang berat, Rizka berdiri, menatap hujan yang masih turun di luar jendela. Ia merasa kehilangan arah, seperti seorang pejalan kaki yang tak tahu harus melangkah ke mana. Satu hal yang pasti—perjalanan ini tidak akan pernah mudah, dan mungkin, ia harus belajar untuk menerima kenyataan yang tak bisa ia hindari.
Bab 6: Kenyataan yang Menyakitkan
Rizka duduk termenung di balkon apartemennya, mata memandang jauh ke arah kota yang terus bergerak, tidak peduli apa yang terjadi dalam hidupnya. Hujan yang turun perlahan-lahan menciptakan genangan di jalanan, menambah kesan suram yang sudah menyesakkan di dada. Perasaannya pun seolah terperangkap dalam badai yang tak kunjung reda.
Selama beberapa minggu terakhir, hubungan dengan Arya semakin terasa dekat. Mereka semakin sering bertemu, saling berbagi cerita, dan tanpa disadari, Rizka mulai membuka diri. Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang terus mengganggu pikirannya—sesuatu yang lebih besar dari sekadar rasa rindu atau ketakutan akan masa lalu. Ada kenyataan yang perlahan-lahan mulai terungkap, kenyataan yang membuat hatinya terhempas.
Pagi itu, setelah beberapa hari tidak bertemu, Arya meneleponnya. Suaranya terdengar lebih serius dari biasanya, penuh dengan ketegangan yang tidak bisa disembunyikan.
“Rizka, ada hal penting yang harus aku katakan,” kata Arya, suaranya sedikit bergetar, penuh ketidakpastian.
Rizka merasa jantungnya berdegup kencang. Ada sesuatu yang tidak beres. Perasaan cemas itu kembali menguasai dirinya. “Apa yang terjadi, Arya? Kenapa suaramu seperti itu?”
“Ada sesuatu yang harus kamu tahu tentang aku,” lanjut Arya, suaranya semakin terdengar berat. “Aku… aku sebenarnya sudah punya seseorang di masa lalu. Seseorang yang masih ada dalam hidupku sekarang.”
Kata-kata itu bagaikan petir yang menyambar di tengah ketenangannya. Rizka merasa tubuhnya kaku, seolah setiap kata yang keluar dari mulut Arya adalah sebuah palu yang menghancurkan kenyamanan yang telah ia bangun dengan susah payah. Hatinya berdebar keras, dan untuk sesaat, ia merasa dunia ini berputar begitu cepat, membuatnya kehilangan arah.
“Apa maksudmu?” Rizka bertanya, meskipun hatinya sudah bisa menebak jawabannya.
“Aku tidak ingin menyakitimu, Rizka. Tapi aku rasa kamu berhak tahu.” Arya menghela napas panjang, seolah sulit untuk melanjutkan. “Dia adalah seseorang yang sudah lama ada dalam hidupku. Dan aku… aku masih merasa ada ikatan di antara kami.”
Rizka merasa seolah segala sesuatu yang ada di sekelilingnya menghilang dalam sekejap. Ada suara bising yang terdengar begitu jauh, tetapi hatinya justru terasa sepi. Ia merasa seperti terjebak dalam kenyataan yang sangat pahit, kenyataan yang tidak pernah ia duga akan datang. Selama ini, ia selalu merasa bahwa Arya adalah seseorang yang dapat ia percayai, seseorang yang bisa mengerti dirinya. Namun kenyataan ini menghancurkan segala harapannya.
“Arya, jadi selama ini kamu sudah punya seseorang? Kenapa kamu tidak memberitahuku lebih awal?” suara Rizka bergetar, mencampurkan rasa marah dan kecewa.
“Aku memang seharusnya memberitahumu lebih awal, Rizka. Aku tahu itu. Tapi aku tidak ingin membuatmu terluka, apalagi saat kita mulai semakin dekat.” Suara Arya kini terdengar penuh penyesalan. “Aku tidak pernah bermaksud membuatmu merasa seperti ini.”
Rizka terdiam, mengunci pikirannya dalam kebingungan yang membelenggu. Ia memejamkan mata, mencoba menahan air mata yang sudah mulai menggenang. Perasaan sakit itu begitu dalam, begitu tajam. Rasa sakit yang datang bukan hanya karena pengkhianatan yang dirasakannya, tetapi juga karena kenyataan bahwa ia sudah mulai membuka hati, sudah mulai merasakan sesuatu yang tulus. Namun, kenyataan itu datang begitu saja, mengusik segala harapan yang ia bangun dengan perlahan.
“Jadi apa sekarang?” Rizka bertanya pelan, suaranya terdengar hampa. “Apa yang harus aku lakukan dengan semua ini, Arya? Apa aku masih bisa mempercayaimu setelah semuanya?”
“Aku tidak tahu, Rizka,” jawab Arya, suaranya penuh keputusasaan. “Aku ingin memperbaiki semuanya, aku ingin kita bisa berjalan bersama. Tapi aku juga tahu, aku tidak bisa memaksamu untuk menerima aku lagi setelah apa yang terjadi. Aku… aku minta maaf.”
Kata-kata itu seperti pedang yang mengiris hatinya. Rizka merasa terjebak dalam kebingungannya sendiri. Selama ini, ia berusaha untuk membuka hati, untuk mengatasi rasa rindu dan sakit yang terus menghantuinya, tetapi kenyataan ini menghantamnya begitu keras. Rasa sakitnya begitu dalam, seolah ia kehilangan lebih dari sekadar seseorang yang ia sayangi. Ia merasa kehilangan bagian dari dirinya yang sudah ia harapkan ada di dunia ini—kepercayaan.
Setelah panggilan itu berakhir, Rizka duduk terdiam, merenungi semua yang baru saja terjadi. Ia merasa seperti terhimpit antara dua pilihan yang sama-sama sulit. Di satu sisi, ia ingin memberi Arya kesempatan, ingin mempercayainya kembali. Tetapi di sisi lain, rasa sakit yang ia rasakan begitu dalam, dan itu membuatnya takut untuk melangkah lebih jauh lagi.
Kenapa segala sesuatunya selalu berakhir dengan kenyataan yang menyakitkan? Kenapa harus ada luka yang harus ia tanggung setiap kali ia mencoba membuka diri?
Perasaan itu semakin menggerogoti hatinya, membuatnya merasa seolah tak ada jalan keluar. Ia ingin menutup mata dan melupakan semuanya, tetapi kenyataan itu tetap ada, begitu nyata, begitu menyakitkan. Ia tahu, ini adalah pelajaran hidup yang pahit, tetapi juga perlu diterima—bahwa terkadang, kenyataan tak selalu seindah harapan, dan kepercayaan bisa hancur hanya dalam sekejap mata.
Dengan napas yang berat, Rizka berdiri, menatap hujan yang masih turun di luar jendela. Ia merasa kehilangan arah, seperti seorang pejalan kaki yang tak tahu harus melangkah ke mana. Satu hal yang pasti—perjalanan ini tidak akan pernah mudah, dan mungkin, ia harus belajar untuk menerima kenyataan yang tak bisa ia hindari.
Bab 8: Pertemuan dengan Diri Sendiri
Malam itu, Rizka berdiri di depan kaca besar di kamar tidurnya, menatap wajahnya yang tampak lelah. Cermin itu memantulkan bukan hanya penampilannya, tetapi juga ribuan pertanyaan yang selama ini berputar dalam pikirannya. Wajah yang dulu penuh kebahagiaan kini terlihat lebih banyak dihiasi oleh garis-garis kekhawatiran. Ada rasa yang sulit dijelaskan, seolah-olah ia sedang menatap seorang asing yang tak lagi ia kenali.
Selama ini, ia selalu berlari dari kenyataan. Setiap kali perasaan itu muncul, ia berusaha untuk menutupinya dengan kesibukan, dengan segala hal yang bisa mengalihkan perhatian. Tapi malam ini, di hadapan cermin itu, tak ada lagi yang bisa ia hindari. Ia harus menghadapi dirinya sendiri, dengan segala keraguan, ketakutan, dan rasa sakit yang ia simpan dalam hati.
Rizka menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Seperti sebuah perjalanan panjang yang tak kunjung selesai, ia merasa sudah terlalu lama terjebak dalam bayang-bayang masa lalu dan harapan yang tidak pasti. Kini, di titik ini, ia harus menentukan arah hidupnya sendiri. Tidak ada lagi orang lain yang bisa memberinya jawaban. Semua pertanyaan yang selama ini menggantung di benaknya hanya bisa dijawab oleh dirinya sendiri.
“Aku harus memilih, kan?” bisiknya pelan, seperti mencoba meyakinkan dirinya. “Antara masa depan yang penuh ketidakpastian atau terus terjebak dalam kenangan yang sudah lama hilang.”
Kata-kata itu menggema dalam hatinya. Selama ini, Rizka selalu berusaha mencari kebahagiaan di luar dirinya—dalam hubungan dengan orang lain, dalam impian yang ia bangun bersama orang-orang yang datang dan pergi dalam hidupnya. Tapi sekarang, ia menyadari bahwa kebahagiaan itu tidak akan pernah datang jika ia tidak bisa berdamai dengan dirinya sendiri.
Ia menatap lebih dalam ke dalam cermin, berusaha mencari tahu siapa dirinya sebenarnya. Bukan lagi Rizka yang tergantung pada orang lain, yang selalu berlari dari kenyataan, tetapi Rizka yang bisa berdiri tegak, yang bisa menghadapi kenyataan dengan kepala tegak, meskipun itu menyakitkan.
“Aku tidak bisa terus seperti ini,” gumamnya. “Aku tidak bisa terus hidup dengan bayang-bayang ketakutan dan penyesalan.”
Tiba-tiba, bayangan masa lalu datang menghampiri pikirannya. Gambar orang tua yang dulu selalu mengingatkannya untuk tidak pernah menyerah, senyum hangat adik-adiknya yang selalu memberikan semangat di saat-saat sulit, dan tentu saja, kenangan indah bersama Arya—kenangan yang kini terasa semakin jauh dan rapuh. Semua itu seperti serpihan-serpihan kenangan yang terbuang, yang tak bisa ia kumpulkan kembali. Namun, di antara semua kenangan itu, ada satu hal yang selalu ada—rasa rindu yang tidak pernah pergi.
“Aku merindukanmu,” ujar Rizka, seolah berbicara pada bayangannya sendiri. “Aku merindukan diriku yang dulu, yang penuh dengan harapan dan keyakinan. Tapi aku juga tahu, aku tidak bisa terus hidup di masa lalu. Aku harus bergerak maju, meskipun itu terasa sulit.”
Kata-kata itu seperti mantra yang menenangkan hatinya. Meskipun perasaan itu masih ada, meskipun luka itu masih terasa, Rizka tahu bahwa hidup tidak bisa terus-menerus dilihat melalui kaca belakang. Ia harus melihat ke depan, melangkah maju dengan berani.
Di luar jendela, hujan mulai reda, dan sinar bulan perlahan-lahan menerobos awan. Ada sesuatu yang indah dalam keheningan malam itu, sesuatu yang memberi harapan baru. Rizka merasakan sesuatu yang berbeda. Ia merasa seperti ada beban yang perlahan terangkat dari hatinya. Mungkin ini adalah awal dari perjalanan baru dalam hidupnya.
Ia membuka jendela, membiarkan angin malam masuk, membawa aroma tanah basah yang menenangkan. Rizka menatap langit yang tampak luas, merasakan kebebasan yang ia cari selama ini. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak ada yang perlu ia takutkan. Meskipun masa depan masih penuh dengan ketidakpastian, ia tahu bahwa ia bisa menghadapinya.
“Aku akan baik-baik saja,” kata Rizka pada dirinya sendiri, dengan keyakinan yang baru ditemukan. “Aku akan menemukan jalanku. Aku akan menemukan diriku yang sebenarnya.”
Malam itu, di bawah sinar bulan yang lembut, Rizka akhirnya bertemu dengan diri sendiri. Tanpa ada lagi penghalang, tanpa ada lagi ketakutan yang mengekang. Ia merasa lebih kuat, lebih siap untuk menghadapi apapun yang akan datang. Langkahnya mungkin akan penuh dengan rintangan, tetapi ia tahu bahwa ia tidak lagi berjalan sendirian. Kini, ia memiliki dirinya sendiri—dan itu adalah permulaan yang baru.
Bab 9: Kembali ke Rumah
Langkah Rizka terasa berat saat ia melangkah keluar dari stasiun kereta api, menatap deretan mobil yang berlalu-lalang di depan matanya. Kota yang dulu ia kenal kini tampak asing, seakan-akan segala sesuatu telah berubah, meskipun ia tahu bahwa dirinya sendirilah yang telah berubah. Rumahnya—tempat ia tumbuh besar, tempat segala kenangan indah dan pahit terkumpul—sekarang terasa seperti sebuah tempat yang penuh dengan misteri. Ada perasaan tak nyaman yang merayap di dalam dirinya.
Ia melangkah perlahan, menyusuri jalanan yang familiar. Setiap sudut kota ini mengingatkannya pada masa lalu, pada saat-saat ketika ia masih seorang gadis muda yang penuh harapan, yang percaya bahwa semua mimpi dapat terwujud. Namun, seiring berjalannya waktu, harapan itu mulai luntur, tergantikan oleh kenyataan yang keras dan rasa sakit yang tak kunjung hilang.
Ketika ia sampai di depan rumah keluarganya, ia tertegun sejenak. Rumah itu tampak sepi, tidak ada suara tawa atau obrolan hangat seperti dulu. Pintu depan yang dulu selalu terbuka lebar kini tertutup rapat. Rizka merasakan sesuatu yang asing menggelayuti perasaannya. Rumah ini, yang dulu penuh dengan kehidupan, kini terasa sunyi. Seakan-akan, waktu di tempat ini telah berhenti, meninggalkan jejak-jejak kenangan yang kini terasa begitu jauh.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Rizka meraih kunci rumah di saku jaketnya dan membuka pintu. Begitu masuk, ia disambut oleh bau familiar yang membuatnya terdiam sejenak. Bau kayu yang sudah lama tak tercium, aroma makanan yang pernah disiapkan ibunya, dan bahkan suara detak jam dinding yang terasa lebih keras dari biasanya, seakan mengingatkan pada segala hal yang telah hilang.
“Ibu, Ayah…” Rizka menyebutkan nama orang tuanya dengan suara pelan, meskipun ia tahu mereka tidak akan menyambutnya. Rumah ini tidak lagi sama. Bahkan suara mereka yang pernah mengisi hari-harinya kini hanya tinggal kenangan.
Ia melangkah ke ruang tamu yang dulu menjadi tempat penuh cerita. Kursi-kursi yang dulunya selalu dipenuhi oleh anggota keluarga kini tampak kosong. Di atas meja masih ada beberapa album foto yang tergeletak begitu saja, seperti meninggalkan jejak-jejak sejarah yang tak pernah selesai. Rizka mengambil salah satu album itu dan membukanya. Foto-foto lama mulai muncul, wajah-wajah yang dulu penuh senyum ceria—orang tuanya, adik-adiknya, dirinya yang lebih muda dan lebih penuh harapan.
Rizka tertegun sejenak. Wajahnya yang muda, penuh dengan semangat hidup, kini terasa seperti orang lain. “Apa yang telah terjadi pada diriku?” pikirnya dalam hati. Rasa rindu yang dalam pada kehidupan yang dulu muncul begitu saja. Ada keinginan untuk kembali ke masa itu, untuk merasakan kehangatan dan kedamaian yang pernah ada. Namun, ia tahu, kehidupan tidak bisa diputar kembali. Waktu terus bergerak, dan ia harus menemukan jalan keluar dari bayang-bayang masa lalu.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki dari lantai atas. Rizka menoleh ke arah suara itu, dan di sana, di ujung tangga, berdiri seorang perempuan muda—Lara, adiknya. Wajah Lara terlihat terkejut, tetapi juga penuh rasa rindu.
“Kak Rizka…” suara Lara terdengar terputus-putus, seolah-olah ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Kamu… kembali?”
Rizka tersenyum tipis, mencoba menenangkan perasaannya yang tiba-tiba bergejolak. “Iya, aku kembali. Lama tak bertemu, ya?” jawabnya pelan, mencoba menyembunyikan emosi yang menggelora.
Lara menuruni tangga dengan langkah cepat, lalu memeluk Rizka erat. “Aku merindukanmu, Kak,” katanya sambil memejamkan mata, seolah ingin menyerap setiap detik kebersamaan yang terlewatkan.
Rizka membalas pelukan itu, merasa ada bagian dari dirinya yang kembali utuh, meskipun ia tahu perasaan itu tidak akan menghapus semua luka yang ada. Setelah beberapa saat, mereka melepaskan pelukan. Rizka menatap adiknya, merasakan kerinduan yang dalam.
“Apa kabar, Lara?” tanya Rizka, suaranya lembut namun penuh perhatian.
“Biasa saja, Kak. Tapi… semuanya terasa berbeda tanpa kamu. Rumah ini, kita semua… sepertinya tidak ada yang sama lagi,” jawab Lara, suaranya penuh dengan kegetiran.
Rizka mengangguk pelan. “Aku tahu. Aku juga merasa begitu.”
Mereka duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang segala hal yang terjadi sejak Rizka pergi. Lara banyak bercerita tentang perubahan yang terjadi di rumah dan kehidupan mereka. Tentu saja, banyak hal yang hilang dalam perjalanannya, banyak kenangan yang tertinggal di belakang, dan banyak luka yang masih terasa.
“Kenapa kamu tidak memberi kabar lebih sering, Kak?” tanya Lara dengan mata yang penuh harapan. “Kami semua khawatir. Ibu dan Ayah… mereka selalu menanyakanmu. Mereka selalu berharap kamu kembali.”
Rizka menunduk, merasa bersalah. “Aku… aku tidak tahu harus mulai dari mana, Lara. Hidupku di luar sana terlalu rumit. Aku merasa harus mencari diriku dulu sebelum bisa kembali ke sini.”
Lara meraih tangan Rizka, memegangnya dengan lembut. “Kak, rumah ini tetap rumah kamu. Tidak ada yang berubah, meskipun semuanya terasa berbeda. Kami akan selalu ada untukmu, apapun yang terjadi.”
Kata-kata Lara menggetarkan hati Rizka. Ia merasa seolah-olah beban yang telah lama ia bawa di pundaknya sedikit terangkat. Mungkin, ini adalah saat yang tepat untuk kembali. Kembali ke rumah. Kembali ke diri sendiri.
Hari itu, di rumah yang penuh kenangan ini, Rizka memulai langkah barunya. Tidak hanya untuk menghadapi masa lalu, tetapi juga untuk menemukan kedamaian dalam perjalanan hidup yang tak pernah berhenti.
Bab 10: Akhir yang Baru
Pagi itu, sinar matahari menyusup lembut melalui jendela kamar Rizka, menerangi ruang yang penuh dengan kenangan dan harapan baru. Suara riuh anak-anak yang bermain di luar terdengar menyenangkan, memberi tanda bahwa dunia terus berputar, meski kadang terasa seolah berhenti bagi mereka yang tengah terjebak dalam bayang-bayang masa lalu.
Rizka duduk di pinggir ranjang, menatap pemandangan pagi yang begitu tenang. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan udara pagi yang segar memenuhi paru-parunya. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya—sebuah kedamaian yang sebelumnya sulit ia temui, sebuah ketenangan yang seakan membawa ia kembali pada diri yang sebenarnya. Kini, setelah begitu banyak perjalanan batin, ia mulai merasakan bahwa apa yang dulu terasa mustahil, kini mulai menjadi kenyataan. Ia tahu bahwa perjalanan hidupnya masih panjang, tetapi ia sudah siap untuk melangkah.
“Selamat pagi, Kak,” suara Lara terdengar dari pintu kamar. Rizka menoleh dan tersenyum lembut pada adiknya.
“Selamat pagi, Lara. Ada apa?” tanya Rizka, mencoba membuka percakapan yang sudah lama tak mereka lakukan dengan santai.
Lara berdiri di ambang pintu, memandang Rizka dengan mata yang penuh harapan. “Kak, aku tahu ini mungkin tidak mudah, tapi… apakah kamu sudah siap untuk kembali? Untuk melangkah maju dan meninggalkan semua yang sudah terjadi?”
Rizka terdiam, sejenak memikirkan pertanyaan itu. Selama ini, ia selalu merasa terjebak di dalam dirinya sendiri, berputar-putar dalam keraguan dan ketakutan. Namun, sekarang, ia merasa seperti ada cahaya di ujung terowongan yang gelap. Ada harapan baru yang terbuka, sebuah jalan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Mungkin, ini adalah waktu yang tepat untuk meninggalkan masa lalu, untuk menerima kenyataan dan melangkah ke depan.
“Aku pikir… aku siap, Lara,” jawab Rizka dengan suara yang penuh keyakinan. “Aku tidak bisa terus hidup dalam penyesalan dan rasa takut. Aku harus melepaskan semuanya, dan itu berarti aku harus melangkah maju.”
Lara tersenyum, senyum yang penuh dengan kebanggaan dan rasa syukur. “Aku tahu kamu bisa, Kak. Kami semua ada di sini, mendukungmu. Rumah ini, keluarga ini, semuanya tetap akan menjadi tempatmu. Tidak ada yang berubah.”
Kata-kata Lara menyentuh hati Rizka. Ia merasa seolah-olah beban yang ia pikul selama ini sedikit demi sedikit mulai terangkat. Mungkin rumah ini bukan sekadar bangunan yang penuh dengan kenangan, tetapi juga tempat untuk memulai hidup yang baru. Tempat di mana ia bisa menemukan kembali kedamaian yang selama ini ia cari.
Pagi itu, Rizka memutuskan untuk pergi ke tempat yang dulu menjadi saksi banyak peristiwa penting dalam hidupnya—makam orang tuanya. Ia tahu bahwa dengan mengunjungi mereka, ia akan menemukan kedamaian yang ia butuhkan. Makam yang sudah lama ia hindari, tempat yang mengingatkan pada segala rasa kehilangan, kini terasa seperti tempat yang tepat untuk menyelesaikan bagian dari perjalanan hidupnya yang belum tuntas.
Saat tiba di makam, Rizka duduk di samping batu nisan orang tuanya. Angin berhembus lembut, membawa harum bunga yang baru saja ditanam di sekitar makam. Ia menundukkan kepala, merasakan kedamaian yang langka itu kembali mengisi hatinya. “Ibu, Ayah… aku sudah kembali. Aku sudah siap. Maafkan aku karena selama ini tidak bisa memberikan yang terbaik. Tapi aku janji, aku akan melanjutkan hidup ini dengan lebih baik. Aku akan membuat kalian bangga.”
Air mata Rizka menetes perlahan, bukan karena kesedihan, tetapi karena rasa lega yang mendalam. Setelah bertahun-tahun menahan rasa rindu dan penyesalan, ia akhirnya bisa berbicara kepada orang tuanya, meskipun hanya dalam hati. Ia merasa bahwa ini adalah cara terbaik untuk menutup babak lama dalam hidupnya, dan membuka babak baru yang lebih cerah.
Sebelum meninggalkan makam, Rizka menanam sebatang pohon kecil di dekat makam orang tuanya, sebagai simbol kehidupan baru. Sebuah tanda bahwa ia siap untuk menghadapi segala tantangan yang akan datang, dengan keyakinan dan keberanian yang baru ditemukan.
Perjalanan pulang terasa berbeda. Langit yang tadinya mendung kini mulai cerah, seolah mendukung langkahnya untuk kembali ke rumah, kembali ke keluarganya, kembali pada diri sendiri. Rizka tahu bahwa ia tidak bisa mengubah masa lalu, tetapi ia bisa menentukan masa depannya sendiri.
Sesampainya di rumah, Lara sudah menunggu di teras, menatapnya dengan penuh harapan. Rizka tersenyum, berjalan mendekati adiknya. “Aku sudah siap, Lara. Aku siap untuk memulai hidup yang baru.”
Lara memeluknya erat, dan kali ini, pelukan itu terasa lebih hangat, lebih dalam. Rizka tahu, ini bukanlah akhir dari perjalanan hidupnya, melainkan sebuah awal yang baru. Kehidupan memang tak selalu mudah, tetapi sekarang ia tahu bahwa ia tidak lagi harus menghadapinya sendirian. Rumah ini, keluarga ini, dan dirinya sendiri—semuanya adalah bagian dari perjalanan yang panjang dan penuh arti.
“Akhir yang baru, ya?” kata Lara sambil tersenyum, menghapus air mata di pipinya.
“Akhir yang baru,” jawab Rizka, sambil mengangkat wajahnya ke langit yang cerah. Ia merasa lebih ringan, lebih bebas, dan lebih siap menghadapi apapun yang akan datang.
Hari itu, mereka duduk bersama di halaman depan rumah, menikmati kebersamaan yang selama ini terlewatkan. Rizka tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Namun, ia juga tahu bahwa ini adalah kesempatan kedua, sebuah perjalanan yang lebih bermakna, dengan tujuan yang lebih jelas. Dan itu adalah hal yang paling berharga yang bisa ia dapatkan.***
————————–THE END———————-