Bab 1: Pintu yang Terkunci
Malam itu, langit di atas kota kecil ini tampak gelap, diselimuti awan tebal yang menutupi bulan. Angin dingin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah yang khas setelah hujan. Namun, di balik ketenangan kota yang terkesan damai, ada sesuatu yang mengusik. Sesuatu yang tidak terlihat, namun terasa di setiap sudut jalanan yang sunyi. Rumah tua di ujung gang itu, yang sudah lama ditinggalkan, menyimpan rahasia yang belum terungkap. Rumah yang selalu dijauhi oleh penduduk sekitar.
Rian, seorang detektif muda yang baru saja dipindah tugaskan ke kota ini, berdiri di depan rumah tersebut. Pintu gerbang besi yang tergores oleh karat menampilkan kesan pertama yang tidak mengundang rasa ingin tahu. Namun, entah mengapa, hatinya dipenuhi rasa penasaran yang mendalam. Apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini? Mengapa orang-orang menghindarinya seperti bayangan yang tak terlihat?
Dia melangkah pelan, menekan langkahnya agar tidak mengganggu kesunyian malam. Di tangan kanannya, dia memegang selembar catatan kecil yang ia dapatkan dari seorang sumber tak dikenal. Catatan yang menyebutkan tentang sebuah kejadian misterius yang terjadi di rumah ini dua puluh lima tahun yang lalu—sebuah kejadian yang menyebabkan keluarga yang tinggal di sini hilang tanpa jejak, dan rumah ini menjadi terasing. Rian tahu, ada sesuatu yang tak beres, dan dia berniat mengungkapnya.
Saat dia sampai di depan pintu utama, matanya terfokus pada sebuah pintu kayu besar yang sudah tua dan tampak rapuh. Pintu itu terkunci, namun di sekitar bingkai pintu ada bekas-bekas gesekan yang aneh, seperti ada yang pernah berusaha memaksanya terbuka. Namun, usaha itu gagal. Pintu itu masih tetap tertutup rapat. Entah siapa yang mengunci pintu itu—atau lebih tepatnya, mengapa pintu itu terkunci dengan begitu rapat setelah bertahun-tahun?
Rian mengeluarkan kunci dari sakunya. Kunci ini tidak ia dapatkan dari sembarang tempat. Sebelumnya, dia berhasil memperoleh informasi tentang keberadaan kunci tersebut dari seorang warga yang tampaknya tahu lebih banyak daripada yang ia ungkapkan. “Jika kamu ingin tahu apa yang terjadi di dalam rumah itu, kamu harus membuka pintu tersebut,” kata warga itu dengan nada yang lebih mirip peringatan daripada saran.
Dengan hati yang berdebar, Rian memasukkan kunci ke dalam lubang kunci dan memutarnya perlahan. Suara dentingannya membuat rasa takut yang tak jelas muncul dalam dadanya. Begitu kunci berputar, pintu itu terbuka perlahan. Ketika pintu itu terbuka, suasana di dalam rumah yang gelap langsung menyergapnya. Udara yang lembap dan berbau apek menyatu dengan aroma kayu tua yang berdebu. Seakan-akan waktu terhenti begitu saja.
Dengan lampu senter yang ia bawa, Rian menerobos masuk. Langkahnya terhenti begitu ia melihat sebuah bayangan samar yang melintas di ujung ruangan. Rian mengerutkan keningnya, menatap tempat itu dengan cermat. Apakah itu hanya permainan cahaya atau… ada sesuatu yang lebih mengerikan di balik rumah ini?
Dia menarik napas panjang, menekan rasa takut yang mulai tumbuh. “Aku harus melanjutkan,” gumamnya pelan. Rumah ini, pintu ini, dan semua yang tersembunyi di dalamnya, kini menjadi kunci dari misteri yang akan ia ungkapkan—meskipun dia tahu, semakin dalam ia menyelami, semakin berbahaya jalan yang harus ditempuh.
Dengan langkah yang semakin mantap, Rian melangkah lebih dalam ke dalam kegelapan, menuju tempat yang menyimpan rahasia yang tidak ingin ditemukan.
Bab 2: Jejak yang Hilang
Pagi menjelang, namun kabut yang tebal masih menggelayuti kota ini, menyelimuti setiap sudutnya dengan suasana sepi yang hampir tak terjamah. Rian berdiri di depan rumah itu, menatap pintu yang kini sudah tertutup rapat kembali setelah ia memasuki ruangan tadi malam. Pikirannya penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab. Ada sesuatu di dalam rumah itu yang harus ia temukan, tetapi ia tahu bahwa semakin dalam ia menggali, semakin besar pula bahaya yang mengintainya.
Rian menghela napas panjang dan berbalik, meninggalkan rumah tersebut. Ia tahu, untuk mengungkap rahasia ini, ia harus mulai mencari tahu lebih banyak tentang masa lalu rumah itu. Petunjuk-petunjuk yang ia temukan semalam hanyalah serpihan kecil dari sebuah teka-teki yang jauh lebih besar dan rumit. Ia memutuskan untuk mengunjungi kantor polisi setempat. Mungkin, di sana ada informasi lebih lanjut yang bisa membantunya.
Begitu ia memasuki kantor polisi yang terletak di tengah kota, suasana yang tenang membuatnya merasa sedikit lebih lega. Namun, perasaan lega itu segera menguap begitu ia memasuki ruang penyidik. Di dalam ruangan itu, hanya ada satu penyidik yang tampak sibuk dengan berkas-berkasnya—seorang pria paruh baya yang mengenakan jaket kulit lusuh. Namanya, menurut informasi yang didapatkan Rian, adalah Inspektur Herman.
“Selamat pagi, Inspektur,” sapa Rian, mencoba menjaga sikap profesional.
Herman mengangkat wajahnya, memandang Rian dengan mata yang tampak lelah. “Ada yang bisa saya bantu, Detektif Rian?” jawabnya dengan nada datar, seolah tidak terlalu tertarik dengan kedatangan Rian.
“Ya, saya sedang mencari informasi tentang rumah tua di ujung gang yang ditinggalkan itu,” jawab Rian sambil mendekati meja Inspektur Herman. “Saya rasa ada sesuatu yang tidak biasa dengan tempat itu.”
Herman terdiam sejenak, matanya menatap kosong ke luar jendela. Rian bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. “Kamu baru datang ke kota ini, kan? Tidak banyak yang tahu cerita tentang rumah itu, dan bahkan lebih sedikit yang berani membicarakannya.”
Rian memperhatikan ekspresi Herman yang tiba-tiba serius. “Kenapa? Apa yang terjadi di sana?”
Herman menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Rian dengan pandangan yang lebih serius. “Itu bukan sekadar rumah tua yang ditinggalkan. Itu tempat yang menyimpan banyak rahasia gelap. Orang-orang yang tinggal di sana hilang tanpa jejak lebih dari dua puluh lima tahun lalu, dan sejak saat itu, tak ada yang berani mendekati rumah itu lagi.”
“Apakah ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Rian, penasaran. Ia tak bisa menahan rasa ingin tahu yang semakin mendalam.
“Orang-orang di sini berbicara tentang sebuah tragedi,” jawab Herman dengan suara yang lebih pelan, seakan berbicara kepada dirinya sendiri. “Keluarga yang tinggal di rumah itu adalah keluarga kaya yang terkenal. Namun, suatu malam, semuanya menghilang begitu saja. Tidak ada jejak, tidak ada petunjuk, hanya rumah kosong yang meninggalkan pertanyaan.”
Rian merasa ada sesuatu yang janggal dalam penuturan Herman. “Tapi, jika tidak ada yang tahu, bagaimana Anda bisa yakin ada yang terjadi di sana?”
Herman terdiam sejenak, lalu berdiri dan membuka salah satu laci meja kerjanya. Ia mengeluarkan sebuah berkas yang tampak sudah usang dan menyerahkannya pada Rian. “Ini adalah laporan penyelidikan yang dilakukan beberapa tahun setelah kejadian itu. Tidak ada yang pernah menyelesaikan kasus ini dengan benar, tetapi ada sesuatu yang menarik di dalamnya. Sesuatu yang mungkin bisa membantu kamu.”
Rian membuka berkas itu dengan hati-hati. Di dalamnya terdapat foto-foto lama yang memperlihatkan rumah yang sama, namun dalam kondisi yang lebih baik. Ada juga salinan surat-surat yang mencatat kepemilikan rumah, serta laporan autopsi yang mencurigakan. Namun, yang paling menarik adalah sebuah nama—nama yang sama yang terus muncul di seluruh dokumen: “Anggoro.”
“Siapa Anggoro?” tanya Rian, menunjuk nama yang berulang kali muncul di dalam berkas.
Herman menatapnya dengan tatapan tajam. “Anggoro adalah nama orang yang dipercaya oleh keluarga itu. Tapi dia juga yang terakhir kali melihat mereka sebelum semuanya menghilang. Ada rumor bahwa Anggoro tahu lebih banyak tentang kejadian itu, namun sejak itu dia menghilang tanpa jejak. Tidak ada yang tahu di mana dia sekarang.”
Rian menatap berkas itu lama, merasakan gelombang ketegangan yang semakin mendalam. Ada lebih banyak yang tersembunyi di balik rumah itu, dan setiap jawaban yang ia temukan justru semakin membuka jalan menuju lebih banyak pertanyaan.
“Terima kasih, Inspektur,” kata Rian, sambil menutup berkas itu dan menyiapkannya untuk dibawa. “Saya akan mencari tahu lebih banyak.”
Ketika Rian berbalik untuk meninggalkan kantor polisi, ia merasa ada sesuatu yang mulai mengikat dirinya pada misteri ini. Setiap langkah yang diambilnya hanya membawa satu pertanyaan besar: Apa yang sebenarnya terjadi di rumah itu? Dan siapa yang berusaha menutupi kebenaran?
Bab 3: Pencarian Dimulai
Matahari mulai tenggelam, dan suasana kota kecil itu berubah menjadi lebih gelap dan sunyi. Rian duduk di meja kerjanya di apartemen kecil yang baru ia sewa, mengelus berkas yang tadi diberikan oleh Inspektur Herman. Di atas meja, selembar foto keluarga yang ditemukan dalam berkas itu tergeletak. Foto itu menunjukkan keluarga yang tinggal di rumah tua yang kini menjadi objek penyelidikan Rian. Mereka tersenyum lebar di hadapan kamera, tampak bahagia. Namun, ada satu hal yang membuat Rian merasa aneh—ada sesuatu yang tidak pas di mata mereka. Sesuatu yang samar, yang tampaknya terselip di balik senyum mereka. Seolah-olah mereka menyembunyikan rahasia besar.
Rian menatap foto itu lebih lama, mencoba mencari petunjuk yang bisa membawa jalan ke depan. Nama keluarga itu—Keluarga Rachmawati—muncul lagi di dalam benaknya. Ayah, ibu, dan dua anak mereka yang masih kecil. Keempatnya hilang secara misterius. Di dalam berkas itu, disebutkan bahwa setelah kejadian hilangnya keluarga tersebut, tidak ada satupun saksi yang muncul, hanya jejak yang tak jelas.
Setelah beberapa lama merenung, Rian memutuskan untuk melakukan langkah pertama dalam penyelidikannya. Ia harus mencari tahu siapa sebenarnya yang terhubung dengan keluarga itu, siapa yang memiliki hubungan dengan mereka, dan siapa yang mungkin bisa memberi keterangan lebih banyak tentang malam terakhir keluarga itu menghilang.
Pagi berikutnya, Rian memulai pencariannya. Ia menyusuri jalan-jalan kota kecil yang tampak tidak berubah sejak puluhan tahun lalu. Beberapa toko masih terlihat tutup, dan suasana sepi semakin menambah kesan terasing dari tempat ini. Rumah-rumah penduduk yang tersusun rapat di sepanjang jalan tampak seperti menyembunyikan rahasia mereka sendiri. Mungkin, kata Rian dalam hati, penduduk kota ini tahu lebih banyak daripada yang mereka katakan.
Langkah pertama Rian adalah mengunjungi rumah lama yang berada tepat di samping rumah Rachmawati. Rumah itu sudah lama tak berpenghuni, tapi ada satu orang yang pernah tinggal di sana—seorang wanita bernama Lestari, yang dahulu bekerja sebagai pembantu rumah tangga di keluarga Rachmawati.
Lestari adalah satu-satunya saksi hidup yang masih ada. Rian mendatangi rumahnya yang terletak agak jauh dari pusat kota, tepat di ujung jalan berdebu yang jarang dilalui orang. Begitu sampai di depan rumahnya, Rian mengetuk pintu dengan hati-hati. Tak lama kemudian, pintu terbuka perlahan, dan seorang wanita tua dengan rambut ubanan dan mata yang tajam menatapnya.
“Ya, ada apa?” suara Lestari terdengar datar, namun ada kegelisahan yang tergurat di wajahnya.
“Selamat pagi, Bu Lestari. Nama saya Rian, saya seorang detektif. Saya sedang menyelidiki kejadian hilangnya keluarga Rachmawati beberapa tahun yang lalu. Mungkin Anda bisa membantu saya dengan beberapa informasi,” ujar Rian dengan suara lembut, berusaha tidak menakut-nakuti wanita tua itu.
Lestari tampak ragu sejenak, matanya bergerak menilai Rian dari ujung kepala hingga kaki. Setelah beberapa detik, ia membuka pintu sedikit lebih lebar. “Masuk,” katanya, dan Rian pun melangkah masuk ke dalam rumah yang tampak usang itu.
Di dalam, suasana sunyi dan tak terawat. Lestari mempersilakan Rian duduk di kursi tua yang terletak di sudut ruangan. “Apa yang ingin kamu ketahui?” tanya Lestari, sambil duduk di kursi seberang Rian.
Rian mengeluarkan foto keluarga Rachmawati dari dalam tasnya dan meletakkannya di meja di depan Lestari. “Apakah Anda ingat mereka? Keluarga ini hilang secara misterius, dan saya sedang mencoba menemukan petunjuk yang bisa mengarah ke kejadian malam itu.”
Lestari menatap foto itu dalam-dalam. Rian bisa melihat ekspresi wajahnya yang berubah, seakan sebuah kenangan pahit kembali datang ke permukaan. “Ya, saya ingat mereka. Mereka baik hati, keluarga yang sangat baik. Tapi ada… ada sesuatu yang aneh dengan mereka,” suara Lestari bergetar, membuat Rian semakin tertarik untuk mendengar cerita lebih lanjut.
“Apa yang aneh?” tanya Rian, mencondongkan tubuhnya sedikit, memberi perhatian penuh pada cerita Lestari.
Lestari menarik napas panjang dan memejamkan mata, seolah mengumpulkan keberanian. “Malam terakhir saya bekerja di sana, saya merasa ada sesuatu yang salah. Ada ketegangan di udara, sesuatu yang tak terucapkan. Keluarga itu tampaknya takut akan sesuatu. Saya pernah mendengar percakapan mereka di malam hari, namun saya tidak tahu pasti apa yang mereka bicarakan. Saya hanya tahu satu hal: mereka takut,” ujar Lestari, suaranya semakin pelan.
Rian mendekat, menatap Lestari dengan penuh perhatian. “Apa yang mereka takutkan, Bu Lestari? Apa yang mereka sembunyikan?”
Lestari menggigit bibir bawahnya, tampaknya ragu untuk melanjutkan. Akhirnya, setelah beberapa saat, ia menghela napas. “Ada satu orang yang selalu datang ke rumah itu. Seorang pria bernama Anggoro. Saya tak pernah tahu siapa dia sebenarnya, tapi saya merasa dia membawa malapetaka bagi keluarga itu. Setelah kedatangannya, semuanya berubah.”
Anggoro. Nama itu kembali muncul, semakin sering, semakin menakutkan. Rian mencatat semuanya dalam ingatannya. Jika Anggoro memang terkait dengan hilangnya keluarga Rachmawati, maka dia adalah kunci utama yang harus ditemukan.
“Terima kasih atas informasi ini, Bu Lestari,” kata Rian sambil berdiri, bersiap untuk pergi. “Ini sangat membantu penyelidikan saya.”
Lestari hanya mengangguk pelan, matanya penuh dengan ketakutan yang tak bisa ia sembunyikan. “Hati-hati, Nak. Ada sesuatu yang gelap di balik rumah itu. Jangan sampai kamu terjerat seperti yang lain.”
Rian berjalan keluar dari rumah Lestari dengan langkah lebih cepat, membawa petunjuk baru yang semakin memperdalam misteri ini. Anggoro—orang yang selalu ada di balik bayang-bayang—sekarang menjadi satu-satunya petunjuk yang harus ia kejar.
Bab 4: Jejak yang Terlupakan
Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Langit masih kelabu, tanda hujan yang sepertinya sudah lama menunggu untuk jatuh. Rian duduk di ruang kerjanya yang sempit, menatap kembali berkas-berkas yang ia kumpulkan. Foto keluarga Rachmawati, catatan tentang Anggoro, dan laporan-laporan lama yang tampak semakin membingungkan. Semua petunjuk itu membawanya pada satu kesimpulan—ada lebih banyak yang disembunyikan di balik kejadian ini daripada yang ia kira.
Rian memutuskan untuk melanjutkan pencariannya ke tempat yang lebih jauh. Ia harus mencari tahu lebih banyak tentang Anggoro—pria yang disebut-sebut selalu ada di sekitar keluarga Rachmawati sebelum mereka menghilang. Namun, mencari informasi tentang seseorang yang sudah lama menghilang bukanlah perkara mudah. Terlebih lagi, keberadaan Anggoro seakan lenyap tanpa jejak, seolah tak pernah ada.
Rian memutuskan untuk mengunjungi salah satu tempat yang bisa memberinya informasi lebih lanjut: kantor arsip kota. Di sana, segala catatan lama dan dokumen yang berkaitan dengan sejarah kota ini disimpan. Mungkin, di antara tumpukan kertas usang, ia bisa menemukan sesuatu yang bisa mengarahkannya pada jejak Anggoro.
Kantor arsip itu terletak di ujung jalan, tidak jauh dari kantor polisi. Begitu ia masuk ke dalam, aroma buku dan kertas usang langsung menyambutnya. Ruangan itu tampak sepi, hanya ada satu petugas yang sedang duduk di meja depan, menatap layar komputer dengan lesu. Rian mendekat, memperkenalkan diri, dan meminta bantuan untuk mencari dokumen yang berhubungan dengan Anggoro.
Petugas itu menatap Rian dengan ragu, sepertinya tidak terlalu tertarik dengan permintaannya. “Anggoro, ya? Nama itu sudah lama tak terdengar di sini. Tapi, baiklah, saya akan coba mencari di arsip lama,” jawab petugas itu, setengah hati.
Setelah beberapa menit, petugas itu kembali dengan selembar dokumen tebal. “Ini dia, detektif. Ini adalah salinan dokumen yang kami miliki tentang Anggoro. Sepertinya, dia memang pernah terlibat dalam beberapa hal yang tak biasa.”
Rian mengambil dokumen itu dengan hati-hati dan duduk di meja yang terletak di dekat jendela. Ia mulai membuka lembar demi lembar, membaca setiap detail dengan cermat. Di dalamnya, ia menemukan sesuatu yang menarik. Ternyata, Anggoro pernah bekerja sebagai konsultan untuk keluarga Rachmawati selama beberapa tahun. Namun, lebih mengejutkan lagi, ada catatan yang menyebutkan bahwa Anggoro juga pernah terlibat dalam beberapa transaksi yang mencurigakan—transaksi yang melibatkan uang dalam jumlah besar dan beberapa orang yang tak dikenal.
“Ini tidak masuk akal,” gumam Rian, matanya menyipit saat membaca salah satu catatan. Anggoro ternyata memiliki hubungan dengan beberapa organisasi yang beroperasi di bawah radar—organisasi yang diduga terkait dengan kegiatan ilegal. Semua itu mengarah pada satu kesimpulan yang sulit diterima: keluarga Rachmawati mungkin bukan hanya sekadar korban dalam hal ini.
Rian menggigit bibir, merenungkan semua informasi yang baru ia dapatkan. Jika Anggoro terlibat dalam dunia gelap ini, apakah keluarga Rachmawati menjadi korban ataukah mereka terjerat dalam permainan yang lebih besar? Apakah mereka benar-benar hanya menjadi target, atau mereka sengaja terlibat dalam sesuatu yang lebih berbahaya dari yang pernah diperkirakan?
Rian segera memutuskan untuk menemui Inspektur Herman lagi. Ini adalah petunjuk yang tak bisa ia biarkan begitu saja. Semua tanda-tanda semakin mengarah pada satu hal—bahwa di balik hilangnya keluarga Rachmawati, ada sesuatu yang jauh lebih rumit dan berbahaya.
Setibanya di kantor polisi, Rian langsung mencari Herman. Pria itu sedang duduk di ruangannya, menghadap tumpukan berkas yang terlihat semakin menumpuk. “Ada apa, Detektif?” tanya Herman, memandang Rian dengan tatapan curiga.
“Ada yang ingin saya bicarakan, Inspektur,” jawab Rian, sambil meletakkan dokumen yang ia bawa di meja Herman. “Anggoro. Nama ini selalu muncul dalam penyelidikan saya. Ternyata, dia terlibat dalam beberapa transaksi ilegal yang mungkin berhubungan dengan hilangnya keluarga Rachmawati.”
Herman terdiam sejenak, lalu menatap dokumen yang dibuka oleh Rian. “Anggoro… Itu nama yang sangat berbahaya,” gumam Herman pelan. “Saya pernah mendengar tentang dia beberapa tahun lalu, tapi dia menghilang begitu saja. Tidak ada yang tahu di mana dia sekarang.”
Rian menatap Herman dengan serius. “Anggoro terlibat dalam bisnis yang sangat kotor. Saya rasa keluarga Rachmawati tahu lebih banyak dari yang mereka ungkapkan. Mereka mungkin terjebak dalam sesuatu yang lebih besar—dan saya ingin tahu apa itu.”
Herman tampak gelisah. “Hati-hati, Detektif. Anggoro bukan orang sembarangan. Jika dia terlibat, ini bukan hanya soal keluarga Rachmawati. Ini bisa melibatkan banyak orang.”
Rian menatap Herman dengan tekad yang semakin bulat. “Saya harus menemukannya, Inspektur. Apa pun yang terjadi, saya akan menggali lebih dalam. Saya tidak akan berhenti sampai saya menemukan kebenarannya.”
Sebelum pergi, Rian melihat sekilas ekspresi wajah Herman yang penuh keraguan. Namun, Rian sudah memutuskan. Ia tak bisa mundur lagi. Setiap petunjuk yang ia temukan, setiap jejak yang muncul, semakin meyakinkannya bahwa di balik hilangnya keluarga Rachmawati, ada rahasia besar yang tidak boleh dibiarkan terkubur selamanya.
Bab 5: Bayang-Bayang yang Menghantui
Langit malam menurunkan hujan rintik yang menambah kesan suram di kota ini. Deru angin dingin menyusup melalui celah-celah jendela apartemen Rian, yang kini tampak lebih sunyi dari biasanya. Lampu meja yang redup memberikan cahaya temaram di sekitar tumpukan dokumen dan foto-foto yang tersebar di meja kerjanya. Meskipun kelelahan menyeruak, Rian tetap terjaga. Tidur terasa seperti sesuatu yang mustahil saat ini, dengan misteri keluarga Rachmawati yang semakin mengikatnya dalam teka-teki yang lebih dalam.
Pikiran Rian kembali tertuju pada Anggoro. Nama itu kembali menggema dalam benaknya. Pria yang tampaknya memiliki hubungan gelap dengan keluarga Rachmawati dan sejumlah transaksi ilegal yang mencurigakan. Selama berhari-hari, Rian menggali informasi lebih dalam tentang pria ini, namun jejaknya selalu menghilang begitu saja. Tidak ada yang tahu ke mana ia pergi setelah menghilang beberapa tahun lalu. Semua petunjuk mengarah pada satu tempat—sebuah lokasi yang tidak tercatat dalam arsip dan sangat jarang disebutkan oleh siapa pun.
Rian memutuskan untuk melakukan langkah berisiko. Ia harus menemui seseorang yang mungkin tahu lebih banyak tentang Anggoro—seorang informan yang pernah bekerja dengan Anggoro di masa lalu. Seseorang yang tak pernah ia kira akan bertemu, seorang mantan anggota organisasi yang terlibat dalam dunia gelap yang berbahaya. Nama orang itu adalah Bimo, seorang pria muda dengan masa lalu yang suram, yang kini hidup dalam pelarian.
Rian tahu bahwa Bimo tinggal di sebuah rumah kecil di pinggiran kota, sebuah tempat yang jarang terjamah. Begitu tiba di depan rumah itu, Rian merasakan atmosfer yang berbeda. Rumah itu tampak sepi, namun ada sesuatu yang mencurigakan, seolah mata-mata tersembunyi di balik bayang-bayang. Ia mengetuk pintu dengan hati-hati, dan setelah beberapa detik, pintu terbuka dengan suara berderit. Di baliknya berdiri seorang pria dengan mata tajam dan wajah yang penuh bekas luka.
“Siapa kamu?” suara Bimo terdengar kasar, penuh kewaspadaan.
“Saya Rian, seorang detektif. Saya sedang mencari informasi tentang Anggoro,” jawab Rian, mencoba menunjukkan bahwa ia bukan ancaman. “Saya tahu Anda tahu banyak tentang dia.”
Bimo menatapnya dengan tatapan tajam. Sesaat ia ragu, lalu membuka pintu lebih lebar. “Masuk,” katanya, suaranya sedikit lebih lembut. Rian melangkah masuk ke dalam rumah yang tampak gelap dan suram. Tidak banyak yang bisa dilihat selain beberapa furnitur usang dan dinding yang dipenuhi dengan gambar-gambar yang tampaknya menyimpan banyak kenangan kelam.
Bimo mengajak Rian duduk di kursi yang terletak di pojok ruangan. “Apa yang ingin kamu tahu tentang Anggoro?” tanya Bimo, suaranya terkesan sinis.
Rian mengeluarkan foto-foto keluarga Rachmawati dan menyusunnya di meja di depan Bimo. “Saya mencari tahu tentang kejadian hilangnya keluarga Rachmawati. Saya menduga Anggoro terlibat dalam hal ini. Apa kamu tahu apa yang terjadi?”
Bimo mendengus, tampak seperti sedang mempertimbangkan kata-katanya. “Keluarga itu… mereka lebih dari sekadar korban. Mereka tahu lebih banyak dari yang kamu kira.” Ia berhenti sejenak, seakan mengingat kembali kejadian-kejadian yang terjadi di masa lalu.
Rian menatap Bimo, berharap mendapatkan informasi lebih. “Apa maksudmu? Apa yang mereka tahu?”
Bimo menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke luar jendela. “Anggoro bukan orang biasa. Dia bukan hanya seorang konsultan. Dia terlibat dalam bisnis yang jauh lebih besar dari yang kamu bayangkan. Keluarga Rachmawati tahu banyak hal tentangnya, termasuk apa yang dia lakukan di balik layar. Tapi mereka tak bisa keluar dari permainan itu.”
Rian terdiam, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Bimo. “Maksudmu, mereka sengaja terlibat?”
Bimo mengangguk pelan. “Mereka terjebak dalam permainan yang lebih besar. Anggoro berhubungan dengan orang-orang yang memiliki kekuatan di luar jangkauan hukum. Mereka bermain dengan api, dan api itu akhirnya membakar mereka. Keluarga Rachmawati berusaha keluar, tetapi mereka tak bisa melarikan diri.”
Rian merasa semakin bingung. Apa yang sebenarnya terjadi di balik hilangnya keluarga itu? Jika mereka terlibat dalam permainan yang lebih besar, siapa yang sebenarnya menarik tali di balik layar? Dan mengapa Anggoro begitu penting dalam semua ini?
“Satu hal lagi,” Bimo melanjutkan, suaranya lebih pelan. “Ada sesuatu yang disembunyikan oleh Anggoro, sesuatu yang jauh lebih gelap dari apa yang kamu bayangkan. Jika kamu benar-benar ingin tahu, kamu harus mencari tahu tentang ‘Pintu Terkunci’. Itu adalah kunci dari semua ini.”
“Pintu Terkunci?” Rian mengulangi, merasa kata-kata itu membawa makna yang lebih dalam. “Apa itu?”
Bimo hanya menggelengkan kepala, seakan tak bisa memberi penjelasan lebih lanjut. “Aku sudah cukup lama terlibat dengan mereka, dan aku sudah terlalu banyak mengetahui. Pintu itu… ada di rumah keluarga Rachmawati. Temukan itu, dan kamu akan tahu kebenarannya.”
Rian merasa jantungnya berdegup lebih kencang. Pintu Terkunci. Itulah yang menjadi kunci dari semua misteri ini. Rumah Rachmawati bukan hanya tempat hilangnya keluarga itu, melainkan juga tempat di mana rahasia terbesar disembunyikan.
“Aku akan mencari tahu lebih lanjut,” kata Rian, suara penuh tekad. “Terima kasih atas informasi ini.”
Bimo hanya mengangguk. “Hati-hati, Detektif. Apa pun yang kamu temukan, itu bukan sekadar permainan. Ini bisa merubah segalanya.”
Setelah mengucapkan terima kasih, Rian keluar dari rumah Bimo dengan kepala yang penuh pertanyaan. Pintu Terkunci—sebuah simbol dari rahasia yang tersembunyi. Apa yang ada di balik pintu itu? Apakah kebenaran yang tersembunyi akan menghancurkan segalanya?
Bab 6: Pintu Terkunci
Hujan yang turun sejak malam belum juga reda. Rian duduk termenung di kursi apartemennya, menatap foto keluarga Rachmawati yang tergeletak di atas meja. Kata-kata Bimo masih bergaung di telinganya. “Pintu Terkunci.” Kata-kata itu seperti petunjuk yang menggantung di udara, menuntut untuk segera dipecahkan. Rian tahu, itulah petunjuk yang selama ini ia cari. Pintu itu mungkin kunci untuk mengungkap segala rahasia yang tersembunyi di balik hilangnya keluarga Rachmawati.
Keputusan sudah bulat. Ia harus kembali ke rumah Rachmawati. Rumah yang tak hanya menyimpan kenangan akan kebahagiaan, tetapi juga sebuah misteri kelam yang belum terungkap. Namun, Rian tahu, mengungkap misteri ini berarti ia harus siap menghadapi lebih dari sekadar rahasia. Ada sesuatu yang lebih gelap di balik semua ini, sesuatu yang bahkan Bimo pun tak mau mengungkapkan lebih jauh.
Dengan tekad yang semakin kuat, Rian mempersiapkan diri untuk menyusuri kembali jejak yang mungkin akan mengarahkannya pada kebenaran. Pagi itu, ia bergegas keluar dari apartemennya, membawa tas kecil berisi peralatan penyelidikan yang selalu ia bawa kemana pun ia pergi. Langit masih mendung, tetapi Rian tidak peduli. Langkahnya mantap, seolah dunia di sekitarnya tak mampu menghalangi tujuannya.
Setibanya di rumah Rachmawati, Rian merasakan suasana yang sangat berbeda. Rumah itu tampak lebih suram dari sebelumnya. Dulu, rumah ini terlihat seperti rumah keluarga yang hangat, kini terasa seperti tempat yang dipenuhi dengan bayang-bayang masa lalu yang gelap. Pagar besi yang tinggi dan kokoh tampak berkarat, seolah menandakan bahwa waktu telah meninggalkan rumah ini begitu lama.
Rian memeriksa sekitar dengan seksama. Pintu depan tertutup rapat, tetapi ada kesan bahwa rumah ini pernah menjadi tempat yang hidup. Bekas jejak kaki masih terlihat di halaman depan. Ia mengeluarkan kunci cadangan yang ia dapatkan dari seorang sumber yang tak ingin disebutkan namanya. Kunci itu, yang seharusnya hanya digunakan oleh keluarga, kini berada di tangannya, memberikan kesempatan untuk menjelajahi apa yang tersembunyi.
Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam rumah. Suasana di dalam tak jauh berbeda dari luar. Rumah itu tampak sepi, dingin, dan penuh dengan keheningan yang memaksa Rian untuk menahan napas. Setiap langkahnya menimbulkan suara lantai kayu yang berderit, seolah rumah ini mengingatkan dirinya bahwa ia bukan orang yang seharusnya berada di sini.
Rian bergerak lebih dalam, menuju ruang utama rumah yang dulu menjadi tempat berkumpul keluarga. Di sini, ia merasa ada sesuatu yang ganjil. Sebuah lukisan besar tergantung di dinding, menggambarkan pemandangan yang indah, namun ada sesuatu yang aneh tentang cara warna-warna itu disusun. Seolah lukisan itu menyembunyikan sebuah rahasia.
Penasaran, Rian mendekat dan memeriksa lebih teliti. Ia menatap lukisan itu, merasakan sebuah dorongan kuat untuk menyentuhnya. Ketika tangannya menyentuh bingkai lukisan, sesuatu yang tak terduga terjadi. Dinding di belakang lukisan itu sedikit bergerak, mengeluarkan suara berderak pelan. Rian terkejut. Ia menarik lukisan itu dengan hati-hati, dan di baliknya terdapat sebuah lubang kecil di dinding.
Lubang itu sangat kecil, hampir tak terlihat. Namun, ada sesuatu yang mencurigakan di dalamnya—sebuah pintu kecil yang terbuat dari kayu dengan engsel yang usang. Pintu itu tampak tak terurus, seolah telah lama tidak dibuka. Pintu Terkunci. Rian merasa jantungnya berdebar lebih cepat saat menyadari bahwa inilah yang dimaksud Bimo.
Tanpa ragu, ia menarik pintu itu. Dengan sedikit usaha, pintu itu pun terbuka, memperlihatkan sebuah lorong sempit yang gelap. Suasana di lorong itu membuat perasaan Rian semakin tidak nyaman. Ia menarik napas dalam-dalam dan menyalakan senter yang ada di sakunya. Cahaya kecil dari senter itu menyorot ke dinding yang tertutup debu dan sarang laba-laba. Lorong itu tampaknya telah lama terbengkalai, tetapi ada sesuatu yang mengundang rasa penasaran yang tak bisa ditolak.
Rian melangkah masuk ke dalam lorong itu dengan hati-hati. Di sepanjang dinding lorong, terdapat beberapa jejak kaki yang masih tampak jelas, meski sedikit kabur. Rian mendekat, mencoba menelusuri jejak-jejak itu. Setiap langkahnya menggema di lorong sempit itu, menciptakan rasa terisolasi yang kian mendalam.
Akhirnya, setelah beberapa meter berjalan, Rian tiba di ujung lorong yang berakhir pada sebuah pintu kayu yang sangat kokoh. Pintu itu berbeda dari pintu lainnya di rumah ini—terlihat lebih baru dan lebih terawat. Pintu ini seperti sebuah pintu yang sengaja dibuat untuk menyembunyikan sesuatu yang sangat penting.
Rian merasakan ketegangan yang meningkat. Ia menyentuh gagang pintu dengan perlahan, mengayunkan pintu itu dengan hati-hati. Pintu itu terbuka perlahan, mengeluarkan suara berderak yang mengganggu kesunyian yang mencekam. Begitu pintu itu terbuka sepenuhnya, Rian terkejut. Di dalam ruangan itu, ia melihat sesuatu yang tak pernah ia bayangkan.
Di atas meja besar yang terletak di tengah ruangan, terdapat tumpukan dokumen-dokumen lama yang terlihat sangat terorganisir. Namun, di samping tumpukan dokumen itu, ada sesuatu yang jauh lebih menarik perhatian Rian. Sebuah kotak kayu kecil, yang terbuat dengan sangat hati-hati, seolah dipersiapkan untuk menyimpan sesuatu yang sangat berharga. Kotak itu terkunci rapat.
Rian menatap kotak itu dengan rasa ingin tahu yang semakin membesar. Apa yang ada di dalam kotak ini? Apakah ini jawaban dari semua pertanyaannya tentang keluarga Rachmawati, ataukah ini hanya bagian dari permainan yang lebih besar?
Ia menarik kotak itu dan mulai mencari cara untuk membuka kunci. Namun, sebelum ia sempat melanjutkan, Rian mendengar suara langkah kaki dari luar ruangan. Ia langsung menyembunyikan kotak itu di bawah meja dan bersembunyi di sudut ruangan, menahan napas.
Siapa yang datang? Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Bab 7: Bayangan yang Menunggu
Hujan di luar semakin deras, namun itu tidak mempengaruhi ketegangan yang menggelayuti ruangan tempat Rian bersembunyi. Suara langkah kaki yang semakin mendekat menambah kecemasan yang mengalir di darahnya. Rian menahan napas, mencoba mendengar dengan seksama. Setiap detik terasa seolah mengulur waktu, membiarkan ketidakpastian membungkusnya dalam kegelapan yang menakutkan.
Di balik pintu yang terkuak sedikit, Rian bisa melihat siluet seseorang bergerak perlahan, suara sepatu yang menghentak pelan di atas lantai kayu. Rian berusaha menenangkan dirinya, bersembunyi lebih dalam di balik meja besar yang menjadi tempatnya berlindung. Hatinya berdegup cepat. Siapa yang datang? Kenapa orang itu ada di sini? Dan apakah mereka tahu ada orang lain yang juga mengintip ke dalam rumah ini?
Langkah kaki itu berhenti tepat di depan pintu ruangan. Rian merasakan dirinya terhimpit dalam kecemasan yang semakin mencekam. Berbagai pertanyaan melintas di benaknya, namun yang paling menonjol adalah satu: Apakah dia harus keluar dan menghadapi siapa pun yang ada di luar sana, ataukah ia harus tetap bersembunyi dan menunggu kesempatan?
Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, langkah kaki itu akhirnya menjauh. Rian sedikit melonggarkan napasnya. Namun, ia tahu bahwa ia harus tetap waspada. Siapa pun yang berada di luar sana, mereka tidak boleh tahu tentang penemuannya. Kotak itu. Dokumen-dokumen itu. Semua petunjuk yang semakin menunjukkan jalan menuju kebenaran.
Rian perlahan-lahan keluar dari tempat persembunyiannya, dengan hati-hati melangkah menuju meja besar. Ia kembali mengintip dari celah pintu, memastikan tidak ada siapa pun yang mengawasi. Setelah merasa aman, Rian meraih kotak kayu yang tadi ia sembunyikan dan mengamati kunci yang masih terpasang di dalamnya. Kotak itu tidak hanya terkunci rapat, tetapi ada sesuatu yang sangat penting di dalamnya.
“Ini dia,” gumamnya pada dirinya sendiri, “jawaban atas semua ini.”
Dengan penuh hati-hati, ia mulai mencari alat untuk membuka kotak itu. Ia tahu, kalau sampai kotak ini terbuka, segala sesuatu yang tersembunyi akan terungkap. Namun, ia juga sadar bahwa ada bahaya yang mengintainya. Setiap detik yang ia habiskan di sini semakin berisiko. Orang-orang yang terlibat dalam permainan ini jelas tak akan membiarkan begitu saja jika rahasia mereka terbongkar.
Rian akhirnya menemukan alat kecil yang ia butuhkan untuk membuka kunci kotak. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mulai memutar kunci itu, mendengarkan suara klik yang terdengar sangat pelan, namun jelas menggema dalam kesunyian. Pintu kotak itu terbuka perlahan, memperlihatkan isi di dalamnya.
Ada beberapa lembar dokumen kuno yang terlihat sangat rapuh. Selain itu, ada juga sebuah foto yang tampaknya sudah sangat lama. Foto itu menampilkan sekelompok orang yang berdiri di depan sebuah bangunan besar yang tampak megah, namun ada sesuatu yang aneh dengan ekspresi mereka. Semua wajah mereka tampak serius, bahkan ada yang seperti menyembunyikan ketegangan.
Namun, ada satu wajah yang paling menarik perhatian Rian. Seorang pria dengan ekspresi dingin, berdiri di sisi kiri foto itu. Rian mengenali pria itu—itu adalah Anggoro, yang selama ini ia cari-cari. Wajahnya yang familiar itu kini tampak lebih misterius dari sebelumnya. Jika Anggoro terlibat dalam foto ini, berarti ini lebih dari sekadar permainan pribadi. Ada sesuatu yang lebih besar yang sedang disembunyikan oleh orang-orang di foto itu.
Di bawah foto itu, ada sebuah catatan kecil yang ditulis dengan tangan. Rian membaca dengan cermat:
“Pintu itu adalah jalan menuju yang lebih besar. Mereka akan mencarinya sampai akhir, tapi hanya sedikit yang akan bertahan hidup setelahnya.”
Pesan itu semakin mempertegas bahwa apa yang ada di balik pintu ini bukan sekadar rahasia keluarga Rachmawati. Ada sesuatu yang lebih besar, lebih berbahaya, yang tak bisa dibiarkan begitu saja. Rian merasa keringat dingin mulai mengalir di dahinya. Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Apa yang tersembunyi di balik foto ini dan catatan tersebut?
Sebelum ia bisa melanjutkan penyelidikannya, terdengar suara langkah kaki lagi—lebih banyak dari sebelumnya. Kali ini, suara itu semakin jelas. Rian menyadari bahwa ia tak punya banyak waktu. Ia harus segera pergi sebelum keberadaannya terdeteksi. Namun, ia juga tahu, satu hal yang pasti: Apa pun yang terjadi, ia sudah berada di jalur yang tak bisa diputar balik.
Rian menyimpan kembali dokumen dan foto itu dengan cepat, meletakkannya di dalam tasnya. Ia menutup kotak kayu dan meletakkannya di tempat semula, memastikan tidak ada yang berubah. Dengan langkah hati-hati, ia bergerak menuju pintu keluar. Setiap langkah terasa semakin berat, seolah dunia di sekitarnya memadat, memberi tekanan yang semakin besar.
Ketika Rian akhirnya berhasil keluar dari rumah itu tanpa tertangkap, hujan masih mengguyur kota. Langkah kakinya cepat, berpacu dengan waktu yang semakin sempit. Pintu itu, foto itu, catatan itu—semua membawa Rian semakin dekat pada kebenaran yang lebih gelap.
Setiap jawaban yang ia temukan semakin membuatnya tenggelam dalam misteri yang tak mudah untuk dipecahkan. Siapa yang akan membantunya mengungkapkan semua ini? Dan apa yang akan terjadi jika semua rahasia yang tersembunyi mulai terbongkar?
Bab 8: Jejak yang Hilang
Rian berdiri di tepi jendela apartemennya, menatap hujan yang terus mengguyur tanpa ampun. Kota yang dulu ia kenal dengan segala hiruk-pikuk kehidupan kini terasa seperti dunia yang sangat jauh, seperti tempat yang asing. Setiap petunjuk yang ia temukan semakin membawa dia lebih dekat pada kebenaran, namun juga semakin menjauhkan dirinya dari dunia yang dulu ia kenal. Dunia ini kini dipenuhi oleh bayang-bayang yang semakin tebal.
Setelah meninggalkan rumah Rachmawati, Rian merasa ada sesuatu yang belum selesai. Foto itu, catatan itu, dan kotak kayu yang ia temukan—semuanya mengarah pada satu titik yang semakin jelas, namun semakin sulit dijangkau. Ada sesuatu yang sangat besar dan sangat gelap yang terselubung dalam misteri ini, dan Rian tahu ia harus menemukannya, tidak peduli berapa banyak bahaya yang mengintai.
Pikirannya terus berputar pada satu kalimat dalam catatan yang ia temukan: “Pintu itu adalah jalan menuju yang lebih besar. Mereka akan mencarinya sampai akhir, tapi hanya sedikit yang akan bertahan hidup setelahnya.” Siapa yang dimaksud dengan “mereka”? Apa yang akan terjadi jika ia terus menggali lebih dalam?
Ketika Rian memandang kembali foto yang ia temukan, ia menyadari ada satu hal yang mencolok. Meskipun wajah Anggoro jelas terlihat di foto itu, ada dua sosok lain yang tampaknya tidak asing baginya. Salah satunya adalah seorang wanita muda dengan wajah yang sedikit kabur, namun jelas ada sesuatu yang sangat familiar tentangnya. Rian merasakan sensasi yang aneh, seolah ia pernah melihat wanita itu di tempat lain. Siapa dia?
Dia mengeluarkan foto itu dari tasnya dan mengamati lebih teliti. Wajah wanita itu kini tampak lebih jelas dalam cahaya lampu apartemennya. Tiba-tiba, sebuah ingatan muncul dalam benaknya—sebuah gambar samar dari masa lalu, seorang wanita yang pernah ia temui di sebuah pertemuan sosial beberapa tahun yang lalu. Wanita itu adalah Rachmawati, ibu dari keluarga yang hilang.
Rian segera mencari kontaknya dalam daftar telepon. Ada satu nama yang ia ingat dengan jelas: Dr. Julia, seorang psikiater yang bekerja dengan keluarga Rachmawati. Dr. Julia adalah orang yang mengenal Rachmawati dengan baik, dan mungkin, hanya mungkin, dia tahu lebih banyak tentang sosok yang ada dalam foto itu. Dengan cepat, Rian memutuskan untuk menghubunginya.
Beberapa detik kemudian, telepon berdering, dan suara lembut Dr. Julia terdengar di seberang sana. “Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?”
“Dr. Julia, ini Rian. Saya tahu ini mungkin tidak mudah, tetapi saya membutuhkan bantuan Anda. Saya menemukan sesuatu yang mencurigakan mengenai keluarga Rachmawati, dan saya merasa Anda mungkin tahu lebih banyak tentang mereka,” kata Rian dengan hati-hati.
Ada jeda panjang di sisi telepon, sebelum Dr. Julia akhirnya berbicara dengan suara yang lebih serius. “Rian, saya tidak tahu apakah saya bisa memberi Anda informasi lebih banyak. Semua ini sudah sangat lama, dan saya takut jika kita kembali membicarakannya, kita akan menggali kenangan buruk yang tidak ingin diingat.”
“Dr. Julia, saya tahu Anda tahu lebih banyak dari yang Anda katakan. Saya hanya ingin tahu siapa wanita itu yang ada di foto keluarga Rachmawati. Dia tampak sangat familiar, dan saya rasa dia mungkin terkait dengan semuanya,” jawab Rian dengan penuh harap.
Suasana di seberang sana terdiam sejenak, lalu terdengar suara Dr. Julia yang agak ragu. “Wanita itu… adalah Sarah, saudara perempuan Rachmawati. Dia… dia hilang beberapa tahun yang lalu, dan tidak ada yang pernah tahu apa yang terjadi padanya. Rachmawati selalu mencarinya, namun akhirnya menyerah. Saya rasa, apa pun yang Anda temukan, itu pasti ada kaitannya dengan Sarah.”
Rian merasa seperti ada sesuatu yang terlepas dari pikirannya. Sarah, saudara perempuan Rachmawati. Mengapa tidak ada yang memberitahunya sebelumnya? Kenapa hilangnya Sarah tidak pernah diungkapkan dengan jelas? Semua ini semakin membingungkan, dan Rian merasa semakin yakin bahwa pencarian ini bukan sekadar untuk menemukan keluarga Rachmawati, tetapi juga untuk mengungkapkan rahasia yang lebih besar yang melibatkan mereka semua.
“Dr. Julia, apakah ada tempat di mana saya bisa menemukan lebih banyak informasi tentang Sarah? Atau apakah ada seseorang yang tahu lebih banyak tentang dia?” tanya Rian, mencoba mengumpulkan petunjuk baru.
Ada keheningan sejenak sebelum Dr. Julia menjawab. “Ada satu tempat yang mungkin bisa Anda periksa. Dulu, Sarah sering mengunjungi sebuah rumah tua di pinggiran kota. Rumah itu sudah lama tidak dihuni, tetapi ada beberapa kali saya menemukannya di sana, mencari sesuatu. Saya rasa Anda harus pergi ke sana, mungkin Anda akan menemukan sesuatu yang bisa membantu.”
Setelah mengucapkan terima kasih, Rian segera memutuskan sambungan telepon. Keputusan sudah diambil. Rumah tua. Tempat yang seharusnya menjadi petunjuk terakhir untuk mengungkap rahasia yang tersembunyi. Tanpa membuang waktu, ia segera mengenakan jaketnya, mengambil mobil, dan bergegas menuju lokasi yang baru saja diketahui.
Perjalanan ke pinggiran kota terasa lebih lama dari biasanya, dengan jalanan yang semakin gelap dan sunyi. Hujan yang terus turun membuat suasana semakin suram. Saat Rian tiba di lokasi yang disebutkan oleh Dr. Julia, ia melihat sebuah rumah tua yang tampak terbengkalai. Pagar yang tinggi dan usang menyelimuti area sekitar, dan pintu depan rumah itu terlihat terkatup rapat, seolah tidak ada yang pernah menginjakkan kaki di sana selama bertahun-tahun.
Rian membuka pintu pagar dengan hati-hati, melangkah masuk dengan penuh kewaspadaan. Rumah itu sangat sunyi, seolah menyembunyikan sesuatu yang besar. Ia berjalan ke pintu depan dan mencoba memeriksa apakah ada cara untuk masuk. Pintu itu tampaknya terkunci, namun Rian tidak menyerah. Ia mengeluarkan alat untuk membuka kunci, dan setelah beberapa saat, pintu pun terbuka perlahan.
Begitu masuk, Rian langsung merasakan atmosfer yang sangat berat, seolah ruangan itu dipenuhi oleh kenangan yang sangat kelam. Dinding-dinding yang dipenuhi debu dan sarang laba-laba menambah kesan menyeramkan. Namun, di balik itu semua, Rian tahu, inilah tempat yang akan mengungkapkan rahasia yang selama ini tersembunyi.
Ia melangkah lebih jauh ke dalam rumah, merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Apa yang akan ia temukan di sini? Apa yang tersembunyi di balik pintu-pintu yang terkunci rapat ini?
Bab 9: Bayang-Bayang Masa Lalu
Rian melangkah pelan di dalam rumah tua yang tampak terbengkalai, dengan setiap detik yang berlalu semakin menambah ketegangan di dalam dadanya. Suasana yang sunyi, dengan angin yang berdesir pelan, seolah menyelimuti rumah itu dalam atmosfer yang mencekam. Dinding-dinding yang berlumut dan langit-langit yang rapuh menambah kesan seram. Di sini, di tempat yang terisolasi ini, ia merasa seperti melangkah ke dalam labirin misteri yang tak terungkapkan.
Saat membuka pintu ke ruang tamu, Rian dikejutkan oleh bau tanah yang lembab dan udara pengap yang terasa seperti menempel di kulitnya. Di sudut ruangan, ada sebuah kursi goyang yang bergerak pelan, seolah ada yang duduk di sana. Meski tak ada orang, perasaan bahwa seseorang atau sesuatu sedang mengawasinya membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Rian menepis rasa takut itu, berusaha untuk tetap tenang, meskipun bayang-bayang masa lalu mulai menggantung di atas kepalanya.
Di atas meja kayu yang sudah lapuk, terdapat beberapa tumpukan buku tua yang sudah berdebu. Rian mendekatinya dengan hati-hati, seolah takut mengganggu ketenangan yang telah lama tercipta di tempat ini. Ia membuka salah satu buku itu, menemukan beberapa catatan yang tampaknya ditulis tangan oleh seseorang. Tulisan itu tidak terlalu jelas, namun ada satu kalimat yang membuat hatinya terhenti sejenak:
“Mereka tahu. Mereka selalu tahu.”
Rian merasa sebuah sensasi aneh menjalar di sekujur tubuhnya. Kata-kata itu seperti pesan yang sengaja ditinggalkan, sebuah peringatan yang ingin memberitahunya bahwa ia sedang memasuki wilayah yang berbahaya. Siapa yang menulis ini? Dan apa yang dimaksud dengan “mereka”? Semakin banyak pertanyaan yang mengisi kepalanya, namun satu hal yang pasti—semua ini bukan kebetulan.
Rian kemudian melangkah lebih jauh, menuju lorong gelap yang terbentang di depannya. Langkah kakinya menggema di ruang kosong, menciptakan suara yang seolah mengganggu ketenangan tempat itu. Di ujung lorong, ia melihat sebuah pintu yang berbeda dari yang lain. Pintu itu tampak lebih baru, meskipun ada beberapa tanda keausan. Pintu itu seolah mengundangnya untuk membuka, seperti menyimpan sesuatu yang sangat penting di baliknya.
Tanpa ragu, Rian mendekati pintu itu. Ia merasakan jantungnya berdebar lebih cepat, seolah ada sesuatu yang besar menunggu di baliknya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia meraih gagang pintu dan memutarnya perlahan. Suara berderit keras terdengar, mengganggu keheningan malam. Ketika pintu terbuka sepenuhnya, Rian terperangah.
Di dalam ruangan itu, di atas meja besar yang penuh dengan debu, terdapat sebuah kotak kayu kecil. Kotak itu tampak sangat familiar, seperti kotak yang ia temukan di rumah Rachmawati. Kotak itu, dengan ukiran yang sangat mirip, tampak seperti petunjuk yang menunggu untuk dibuka. Rian merasa seolah waktu berhenti sejenak. Ia tahu, apa pun yang ada di dalam kotak ini, akan membawa jawabannya lebih dekat.
Namun, sebelum Rian bisa melangkah lebih jauh, sebuah suara tiba-tiba memecah keheningan. Suara itu datang dari belakangnya, membuatnya terlonjak kaget.
“Jangan buka kotak itu,” suara itu terdengar begitu dalam dan serak, seolah berasal dari seseorang yang telah lama menghilang.
Rian langsung berbalik, matanya mencari-cari sumber suara tersebut. Namun, di balik bayang-bayang gelap, tak ada siapa pun. Ruangan itu kembali hening. Hanya suara napasnya yang terdengar mengisi kesunyian.
Siapa itu? Kenapa peringatan itu diberikan? Dan mengapa kotak itu tampak begitu penting?
Rian merasa dirinya berada di persimpangan jalan yang tak dapat dihindari. Ia tahu bahwa kotak itu adalah kunci untuk mengungkap semua misteri yang telah menghantuinya selama ini. Namun, suara peringatan yang baru saja ia dengar memberi isyarat bahwa ia tidak sendiri dalam pencariannya. Ada seseorang—atau sesuatu—yang ingin menghentikannya.
Dengan tekad yang semakin kuat, Rian akhirnya memutuskan untuk membuka kotak itu. Ia tahu, tidak ada lagi jalan mundur. Setiap langkah yang ia ambil kini semakin mengarah pada kebenaran yang lebih gelap dari yang ia bayangkan.
Kotak itu terbuka dengan suara pelan, dan di dalamnya terdapat sebuah amplop kuno yang tampaknya sudah lama terpendam. Rian menarik amplop itu keluar dengan hati-hati, membuka isi di dalamnya. Di dalam amplop, terdapat beberapa foto lama yang tampak sangat kabur, serta selembar catatan yang tampaknya sudah pudar.
Foto-foto itu memperlihatkan sekelompok orang yang tampaknya sedang berkumpul di sebuah lokasi yang sangat familiar. Itu adalah rumah keluarga Rachmawati. Namun, ada sesuatu yang aneh. Wajah-wajah di foto itu tampak penuh dengan ketegangan. Beberapa dari mereka tampaknya tidak nyaman, bahkan ada yang terlihat ketakutan.
Di belakang salah satu foto, terdapat tulisan tangan yang hampir tidak terbaca: “Mereka datang untuk menghancurkan segalanya.”
Peringatan itu jelas. Semua ini lebih besar dari yang Rian bayangkan. Ini bukan hanya tentang keluarga Rachmawati atau kehilangan Sarah. Ini tentang sesuatu yang jauh lebih besar, sesuatu yang tersembunyi di balik bayang-bayang masa lalu.
Rian menggenggam foto dan catatan itu erat-erat, perasaan cemas semakin meliputi dirinya. Siapa yang “mereka” itu? Dan apa yang akan terjadi jika ia terus menggali lebih dalam? Satu hal yang pasti—pencarian ini akan mengubah segalanya.
Bab 10: Jejak yang Tersembunyi
Langit malam semakin gelap, dibalut oleh gumpalan awan yang bergerak perlahan, seolah menyembunyikan sinar bulan. Suasana di luar semakin sunyi, hanya terdengar suara desiran angin yang berhembus dari balik jendela. Rian berdiri di depan meja kayu yang sudah lama terbengkalai, matanya terpaku pada foto-foto lama yang baru saja ia temukan. Setiap gambar membawa kenangan yang mengaburkan garis antara kenyataan dan ketakutan. Foto-foto itu tidak hanya menggambarkan keluarga Rachmawati, tetapi juga potongan-potongan puzzle yang semakin mengarah pada kebenaran yang lebih gelap dan lebih mengerikan.
Rian meraih catatan yang menyertai foto-foto itu. Tulisan yang hampir pudar itu memuat kalimat yang semakin membuatnya bingung, namun juga semakin membakar rasa penasaran dalam dirinya. “Mereka datang untuk menghancurkan segalanya.” Kalimat itu menggema di kepalanya. Siapa “mereka”? Apa yang mereka rencanakan? Dan siapa yang benar-benar harus dihancurkan?
Tangan Rian sedikit gemetar saat ia menatap foto-foto itu lebih dekat. Wajah-wajah yang ada dalam gambar terlihat sangat familiar—mereka adalah orang-orang yang selama ini berperan dalam hidupnya. Bahkan, wajah Rachmawati sendiri tampak berbeda dalam foto itu—lebih muda, lebih hidup, namun juga lebih tegang, seolah ada rahasia yang tak bisa diceritakan. Satu sosok yang paling mencuri perhatian adalah pria di sisi kiri foto, yang kini wajahnya semakin jelas—itu adalah Anggoro, orang yang selama ini ia cari.
Namun, di balik semua gambar itu, satu foto mencuri perhatian Rian. Foto yang terjatuh dari amplop itu menunjukkan sebuah gedung besar yang tampaknya tak dikenal Rian. Gedung itu berdiri kokoh di tengah hutan, jauh dari keramaian kota. Di bawahnya, tertulis dengan tangan: “Di sinilah segalanya dimulai.”
Rian tidak pernah mendengar tentang gedung ini. Apa yang ada di sana? Kenapa tempat ini tampaknya sangat penting? Hatinya mulai berdetak lebih cepat. Ia tahu, ia harus pergi ke sana.
Dengan tekad yang semakin menguat, Rian memutuskan untuk mencari tahu lebih jauh tentang gedung tersebut. Ia segera membuka laptopnya, mengakses berbagai sumber yang bisa membantunya menemukan informasi tentang gedung itu. Setiap ketikan di keyboard semakin mendekatkan dirinya pada jawaban, namun juga semakin membuatnya terperangkap dalam pusaran yang tak bisa ia hindari. Waktu terus berjalan, dan dengan setiap detik yang berlalu, Rian semakin merasakan bahwa ia sedang dikejar oleh sesuatu yang lebih besar dari dirinya.
Setelah beberapa saat mencari, akhirnya ia menemukan sebuah petunjuk yang mengejutkan. Gedung itu adalah “Kediaman Ilmiah Persaudaraan,” sebuah lembaga yang terletak di daerah terpencil, jauh dari perhatian publik. Namun, tidak ada yang tahu banyak tentang lembaga ini—informasi yang ada di internet sangat terbatas, bahkan terkesan sengaja disembunyikan. Meskipun demikian, ada satu fakta yang mencuri perhatian Rian: lembaga ini didirikan oleh orang-orang yang sangat berpengaruh di balik layar pemerintahan dan dunia bisnis.
Rian merasa tenggelam dalam lautan teka-teki. Persaudaraan? Apa hubungannya lembaga ini dengan keluarga Rachmawati dan hilangnya Sarah? Mengapa gedung itu muncul dalam foto yang ditemukan? Ada apa di balik semuanya?
Tanpa membuang waktu, Rian memutuskan untuk pergi ke sana. Ia tahu, perjalanan ini bukan hanya tentang menemukan Sarah atau keluarga Rachmawati—ini lebih besar dari itu. Ini adalah tentang menemukan kebenaran yang telah tersembunyi begitu lama, dan kemungkinan besar, itu akan mengubah hidupnya selamanya.
Rian mempersiapkan segala sesuatunya—mobil, peralatan, dan peta yang menunjukkan rute menuju gedung tersebut. Dalam pikirannya, ia sudah membayangkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Ketakutan dan kecemasan mulai merayap, namun ia tak bisa mundur sekarang. Setiap langkah yang ia ambil semakin mendekatkan dirinya pada jawaban yang sangat ia butuhkan, dan meskipun ia tidak tahu apa yang menantinya di depan, satu hal yang pasti—tidak ada jalan mundur.
Perjalanan menuju gedung itu terasa lebih lama dari yang ia bayangkan. Jalanan berliku, semakin gelap, dan semakin sepi. Hanya suara mesin mobilnya yang terdengar, seolah mengisi kekosongan yang ada. Tiba-tiba, Rian merasa seperti ada yang mengawasinya, ada mata yang memperhatikannya dari kejauhan. Ia mempercepat laju mobilnya, berusaha untuk tidak terpengaruh oleh perasaan aneh yang tiba-tiba menguasai dirinya.
Akhirnya, setelah beberapa jam, Rian sampai di depan gerbang besar yang mengarah ke gedung yang ia cari. Gerbang itu tampak seperti milik sebuah tempat yang sangat terisolasi. Di sana, di antara pepohonan yang rapat, gedung besar itu berdiri dengan megah, namun juga angker. Bangunan itu memiliki arsitektur yang unik—sebuah karya kuno yang seolah menyimpan cerita yang tidak ingin diketahui oleh siapa pun.
Rian menatap gedung itu, napasnya terhenti sejenak. Inilah tempat yang akan mengungkap semuanya. Ia menginjakkan kaki di tanah yang dingin, merasakan udara yang semakin berat. Tanpa banyak berpikir, ia melangkah menuju pintu utama gedung tersebut.
Namun, begitu ia mendekat, suara langkah kaki yang datang dari belakang membuatnya terlonjak. Rian menoleh, hanya untuk melihat bayangan seseorang yang bergerak cepat menjauh. Rian tidak tahu apakah itu benar-benar seseorang atau hanya perasaan takut yang semakin membesar. Namun, ia tahu satu hal—perjalanan ini telah memasuki babak baru, dan apa pun yang ia temui di sini, itu akan mengubah segalanya.
Dengan hati yang berdebar kencang, Rian melangkah maju, memasuki kedalaman misteri yang sudah lama tersembunyi, dan mengetahui bahwa ia tidak akan pernah bisa kembali lagi.
Bab 11: Pintu yang Tak Pernah Dibuka
Angin malam menghempas dedaunan kering yang berserakan di depan gedung tua itu. Bangunan besar dengan arsitektur bergaya kolonial itu tampak tak tersentuh waktu. Meskipun catnya mulai mengelupas dan jendela-jendela tinggi itu berdebu, aura kemewahan yang dulu pernah menghiasi tempat ini masih dapat dirasakan. Tapi bukan itu yang menarik perhatian Rian—melainkan atmosfer pekat yang seakan mengisyaratkan bahwa tempat ini menyimpan lebih dari sekadar sejarah.
Langkah Rian bergema saat ia mendekati pintu utama yang besar dan berat, dihiasi ukiran kuno yang rumit. Ia menarik napas panjang, lalu menekan gagang pintu yang terasa dingin seperti logam beku. Pintu itu mengeluarkan derit berat saat terbuka perlahan, memperlihatkan ruangan gelap dengan langit-langit tinggi dan chandelier yang tergantung diam tak bernyawa.
Di dalam, debu menyelimuti perabotan antik yang ditinggalkan begitu saja. Lantai kayu berderit setiap kali Rian melangkah, seolah mengeluh karena terusik setelah sekian lama. Tak ada suara selain langkah kakinya dan desah angin yang sesekali menyusup melalui celah-celah jendela.
Rian menyalakan senter kecil dari ponselnya dan menyusuri koridor panjang yang mengarah ke bagian dalam gedung. Di dinding, tergantung potret-potret tua orang-orang berseragam, entah siapa mereka, namun raut wajah mereka menunjukkan sesuatu yang ganjil—seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
Matanya tertumbuk pada satu lukisan yang lebih besar dari yang lain. Seorang pria paruh baya mengenakan jas formal, berdiri tegak di tengah ruangan dengan latar belakang perpustakaan. Tapi yang membuat Rian terdiam bukan pria itu—melainkan simbol kecil di pojok bawah lukisan. Itu adalah simbol yang sama yang ia temukan di dalam kotak kayu sebelumnya. Simbol misterius itu kini jelas bukan kebetulan. Tempat ini, orang-orang ini, semuanya saling terhubung.
Ketika ia melangkah lebih jauh, sebuah suara samar terdengar dari balik dinding—seperti langkah kaki, pelan dan berhati-hati. Rian langsung mematikan senter dan menahan napas. Ia menempelkan tubuh ke dinding, mendengarkan dengan saksama. Suara itu hilang. Apakah itu hanya gema dari langkahnya sendiri? Atau ada orang lain di sini?
Ia kembali menyalakan senter dan menemukan sebuah pintu kecil di ujung lorong. Tidak seperti pintu lain, pintu ini terlihat lebih baru, lebih kokoh, dan—yang paling mencolok—dijaga oleh sistem penguncian elektronik. Di atas pintu itu, tertulis dengan huruf besi: “LABORATORIUM PENELITIAN.”
“Laboratorium?” gumam Rian pelan. Mengapa ada laboratorium di tempat seperti ini? Apa yang mereka teliti?
Ia mencoba menekan beberapa tombol pada panel digital, tapi layar hanya menampilkan pesan:
“Akses Ditolak – Autentikasi Diperlukan.”
Rian mundur selangkah. Ia harus menemukan cara untuk masuk. Tempat ini jelas menyimpan sesuatu yang penting—dan mungkin menjadi kunci dari misteri yang membelit kematian keluarga Rachmawati dan hilangnya Sarah.
Saat mencari di sekitar ruangan, ia menemukan sebuah rak buku tua yang tampaknya bisa digeser. Rian mendorong sisi rak itu, dan benar saja—rak itu berputar perlahan, membuka jalan rahasia menuju ruangan kecil gelap dengan tangga menurun.
Tanpa ragu, ia menuruni tangga itu. Udara di bawah tanah terasa lebih dingin dan lembap. Di bawah sana, ia menemukan ruang arsip—dipenuhi oleh dokumen, kaset, dan foto-foto lama yang berdebu. Ia membuka beberapa map yang berlabel “Subjek EKS-04” dan “Eksperimen Neuro-Kognitif.”
Salah satu berkas membuat darah Rian berdesir. Di dalamnya terdapat catatan eksperimen terhadap seseorang bernama Sarah Wibisana.
Jantung Rian berdegup lebih kencang. Sarah? Nama itu tidak mungkin salah. Ia membaca lebih lanjut—eksperimen tentang pengaruh manipulasi memori dan kontrol kesadaran. Sarah tampaknya dijadikan objek penelitian dalam proyek rahasia ini. Foto terakhir dalam berkas menunjukkan Sarah sedang duduk di kursi logam dengan kabel-kabel menempel di kepalanya, matanya kosong, seakan kehilangan jiwanya.
Emosi berkecamuk dalam dada Rian—marah, sedih, dan ngeri bercampur menjadi satu. Ia kini mengerti bahwa penculik Sarah bukan hanya kriminal biasa—tapi bagian dari eksperimen gila yang tersembunyi di balik institusi ilmiah palsu.
Langkah kaki kembali terdengar dari arah tangga.
Seseorang turun.
Rian buru-buru mematikan lampu senter dan bersembunyi di balik rak arsip. Napasnya ditahan, jantungnya berdegup keras. Suara langkah itu mendekat… lalu berhenti.
Kemudian terdengar suara rendah, penuh ancaman:
“Kita tidak bisa membiarkannya keluar hidup-hidup.”
Bab ini berakhir dengan ketegangan tinggi, menggambarkan bahwa Rian kini benar-benar berada dalam bahaya. Ia telah membuka pintu yang tak pernah dibuka sebelumnya—dan menemukan kenyataan yang jauh lebih gelap dari yang pernah ia bayangkan.
Bab 12: Kebenaran yang Menyakitkan
Suasana di ruang arsip begitu sunyi hingga detak jantung Rian terdengar nyaring di telinganya sendiri. Ia tak bergerak sedikit pun, menyatu dalam kegelapan dan bayangan di balik rak tua. Langkah kaki yang tadi terdengar kini terhenti. Napas seseorang terdengar pelan namun berat, seperti menahan amarah atau menyembunyikan niat buruk.
Beberapa detik terasa seperti menit yang panjang.
Tiba-tiba, lampu di ruangan menyala. Sinar putih menyilaukan memenuhi ruang bawah tanah itu, membuat Rian harus memejamkan mata sejenak. Dari sela-sela rak, ia melihat siluet seorang pria berdiri di tengah ruangan. Pria itu tinggi, berjas gelap, dan membawa tablet elektronik di tangan. Wajahnya terlihat dingin, hampir tanpa ekspresi—seperti sosok yang terbiasa memberi perintah tanpa pertanyaan.
“Dia ada di sini,” gumam pria itu ke arah alat komunikasi kecil di telinganya. “Lock semua akses. Jangan biarkan dia keluar.”
Keringat dingin membasahi pelipis Rian. Ia tahu, jika ia tertangkap sekarang, segalanya akan berakhir. Bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi Sarah—dan siapa pun yang terlibat dalam misteri besar ini. Dengan sangat hati-hati, ia melangkah mundur, menyusuri celah sempit di antara rak, mencari jalan keluar yang tak terlihat.
Namun, langkahnya justru membuat sebuah map jatuh ke lantai. Suara kertas yang berserakan memecah keheningan.
Pria itu langsung menoleh. “Siapa di sana?”
Tak ada waktu untuk berpikir. Rian berlari.
Pria itu berseru, dan beberapa detik kemudian, suara langkah kaki dari berbagai arah memenuhi lorong-lorong. Rian mendobrak pintu kecil di ujung ruang bawah tanah yang terhubung ke terowongan sempit dan gelap. Ia menyalakan senter dan berlari, menyusuri lorong lembap yang penuh jaring laba-laba, tak mempedulikan rasa takut atau kelelahan.
Terowongan itu akhirnya membawanya ke sebuah ruang tersembunyi—lebih kecil, tetapi tak kalah misterius. Di sana, ia menemukan lemari besi tua yang sedikit terbuka. Di dalamnya, tersimpan dokumen-dokumen tua, kaset video, dan sebuah rekaman suara bertanggal lebih dari satu dekade lalu. Dengan tangan gemetar, Rian mengambil salah satu kaset dan memutarnya di pemutar tua yang tergeletak di pojok ruangan.
Suara serak seorang wanita terdengar, menggema di ruangan kecil itu.
“Mereka mengira aku tidak tahu… Tapi aku tahu. Mereka menggunakan kami—anak-anak kami—untuk sesuatu yang tak manusiawi. Kami bukan keluarga bagi mereka. Kami eksperimen.”
Suara itu… suara itu adalah milik Rachmawati.
Rian nyaris tak percaya. Ia mendengarkan dengan lebih saksama.
“Jika kau menemukan rekaman ini… berarti aku gagal. Tapi tolong, lindungi Sarah. Dia kunci dari semuanya. Dan… dia anakku.”
Rian terdiam. Dunia seakan berhenti berputar.
Sarah adalah anak Rachmawati?
Bukan keponakan? Bukan murid? Tapi anak kandung?
Segala sesuatu yang selama ini ia ketahui, yang selama ini ia percaya, seketika runtuh. Kebenaran yang selama ini tersembunyi rapat di balik kebohongan, akhirnya menampakkan wajahnya—dan wajah itu sangat menyakitkan.
Di luar ruang kecil itu, suara langkah kaki mulai mendekat. Mereka masih mencarinya. Tapi kini, Rian tidak bisa lagi lari tanpa membawa semua bukti ini. Ia mengemas dokumen dan kaset ke dalam tasnya, lalu mencari jalan keluar lain. Dalam perjalanan, ia terus memikirkan kata-kata terakhir Rachmawati: “Sarah adalah kunci.”
Namun, kunci untuk apa?
Apakah eksperimen yang dilakukan di tempat ini belum berakhir? Ataukah justru baru dimulai kembali?
Rian tahu, ia harus menyelamatkan Sarah—bukan hanya karena ia peduli, tetapi karena nyawa gadis itu kini menyimpan rahasia yang bisa menghancurkan orang-orang di balik institusi ini.
Di ujung lorong, Rian menemukan pintu besi tua yang menuju ke bagian belakang gedung. Ia mendorongnya dengan tenaga terakhir, keluar ke malam yang dingin dan gelap. Tapi saat ia menatap ke sekeliling untuk mencari jalan kembali ke mobil, suara pelan terdengar di telinganya dari balik pepohonan.
“Rian…”
Ia menoleh. Sosok seorang gadis berdiri di kegelapan.
Itu adalah Sarah.
Matanya kosong. Kulitnya pucat. Dan ketika ia melangkah lebih dekat, Rian sadar—Sarah tidak lagi sama.
Bab 13: Bayangan dalam Ingatan
Hening malam terasa menyesakkan ketika mata Rian bertemu dengan tatapan kosong Sarah. Gadis itu berdiri diam, mengenakan gaun putih lusuh, rambutnya tergerai acak, dan kulitnya terlihat pucat nyaris transparan di bawah sinar rembulan.
“Sarah…” Rian memanggil pelan, setengah tidak percaya bahwa gadis itu kini berdiri di hadapannya setelah pencarian panjang dan penuh bahaya.
Namun, Sarah tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus, matanya seolah menembus Rian, kosong dan tanpa ekspresi. Seakan-akan, sebagian dari dirinya telah hilang—terkunci di balik pintu yang tak bisa dilihat, apalagi dibuka.
Rian perlahan melangkah mendekat, menjaga suara dan gerakannya tetap tenang. “Ini aku… Rian. Kamu ingat aku, kan?”
Sarah memiringkan kepala, masih diam.
Lalu tiba-tiba, ia berbisik lirih, nyaris tak terdengar.
“Aku… melihat mereka di dalam… Mereka tidak pernah berhenti…”
Suara itu membuat bulu kuduk Rian berdiri. Ada luka yang dalam di balik nada lirih itu, luka yang tak kasat mata, tapi terasa nyata. Rian sadar bahwa Sarah telah mengalami sesuatu yang jauh lebih mengerikan dari yang ia bayangkan.
Ketika ia mencoba menyentuh bahu Sarah, gadis itu tiba-tiba menepisnya dan mundur. Matanya melebar, ketakutan. “Jangan sentuh aku! Mereka akan tahu! Mereka akan datang lagi!”
Rian membeku. “Siapa yang akan datang, Sarah?”
Sarah menatap langit. Suaranya berubah, kini datar dan mekanis. “Mereka yang tinggal di balik suara. Mereka menanamkan kenangan, mengambil mimpi… dan mematahkan jiwa.”
Rian terdiam. Ia menyadari bahwa bukan hanya tubuh Sarah yang disekap, tetapi juga pikirannya. Gadis itu telah menjadi objek manipulasi mental—eksperimen yang tak hanya mengubah perilaku, tapi juga memanipulasi identitas.
Di kejauhan, terdengar suara kendaraan mendekat. Lampu sorot menyapu rerumputan, mengarah ke tempat mereka berdiri. Rian memegang lengan Sarah. “Kita harus pergi. Sekarang!”
Sarah tampak ragu, tetapi akhirnya mengangguk pelan.
Mereka berlari menembus hutan kecil di belakang bangunan itu. Nafas mereka berat, langkah mereka diterangi hanya oleh cahaya bulan dan bintang yang bersinar muram di langit kelam. Di balik pepohonan, suara pria-pria bersenjata terdengar menggema.
“Temukan mereka! Sarah tidak boleh keluar dari perbatasan!”
Kata-kata itu menegaskan satu hal—Sarah bukan hanya korban. Ia adalah kunci yang ingin dimiliki atau dimusnahkan.
Beberapa jam kemudian, mereka bersembunyi di sebuah rumah kosong milik keluarga tua yang telah lama pergi dari desa itu. Dindingnya lembab, tapi cukup aman untuk beristirahat sejenak. Rian membalut luka di kaki Sarah yang terkena ranting tajam saat pelarian.
“Sarah… Aku tahu kamu mengalami hal yang sulit. Tapi aku butuh kamu kembali. Aku butuh kamu untuk lawan ini. Untuk kebenaran.”
Sarah memejamkan mata. Butiran air mata mengalir perlahan di pipinya. Untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu kembali, Sarah tampak seperti dirinya yang dulu—lemah, tapi manusiawi.
Ia meraih tangan Rian dan berbisik, “Ada sesuatu di dalam kepalaku… Mereka menanamkan semacam kode… sesuatu yang bisa membongkar sistem mereka. Tapi aku tak tahu bagaimana cara mengaksesnya…”
Rian menatap Sarah dengan ngeri dan harapan yang saling berbenturan. Ternyata semua ini jauh lebih besar dari penculikan, lebih dalam dari sekadar eksperimen. Sarah membawa semacam kunci digital biologis, hasil dari eksperimen yang menggabungkan teknologi dan otak manusia.
Dan karena itulah, mereka diburu.
Rian sadar, jalan pulang telah berubah menjadi medan perang. Tidak ada lagi tempat aman. Tidak ada lagi orang yang bisa dipercaya. Hanya ada satu tujuan tersisa:
Membongkar rahasia di balik pintu terkunci—sampai ke akar yang paling gelap.
Bab 14: Kode yang Terpendam
Subuh merayap perlahan di balik kabut tebal yang menyelimuti desa kecil itu. Udara dingin menyesap hingga ke tulang, namun Rian tak memedulikannya. Ia duduk bersila di lantai ruang tamu rumah tua yang mereka tumpangi, menatap layar laptop dengan mata yang nyaris tak berkedip. Di hadapannya, puluhan file terenkripsi yang mereka bawa dari ruang arsip kini terbuka sebagian. Tapi satu file, yang diberi label “Memori EKS-S4H”, tetap terkunci rapat dengan sistem keamanan berlapis.
Di sudut ruangan, Sarah duduk membungkuk di bawah cahaya redup lampu minyak. Sejak kejadian semalam, ia lebih banyak diam. Tapi sesekali, ia tampak berbisik pada dirinya sendiri, seolah tengah mendengar suara dari dalam pikirannya.
“Ada yang terus berbicara dalam kepalaku,” katanya lirih.
Rian menoleh. “Kamu bisa mendeskripsikan suaranya?”
Sarah memejamkan mata. “Kadang seperti ibu. Kadang… seperti diriku sendiri, tapi bukan aku. Seperti bayangan yang mencoba mengendalikan apa yang harus aku ingat.”
Rian menatapnya serius. “Itu bukan hanya efek trauma. Mereka benar-benar menanamkan sesuatu ke dalam otakmu—semacam algoritma kognitif. Dan… file ini hanya bisa dibuka jika kode otentikasinya cocok dengan gelombang memorimu.”
Ia menunjuk layar. “Lihat ini. File itu dilindungi oleh sistem biometrik. Tapi bukan retina, bukan sidik jari. Ini… sesuatu yang baru. Aku belum pernah melihat enkripsi seperti ini.”
Sarah menarik napas dalam-dalam. “Lalu, apa yang harus kita lakukan?”
Rian berdiri dan berjalan ke arah meja kecil yang penuh kabel dan perangkat rakitan. “Kita harus ‘membuka’ ingatanmu. Tapi bukan dengan hipnosis biasa. Kita butuh cara untuk memicu ulang respons otakmu agar mengakses memori tersembunyi itu secara tidak langsung.”
Ia mengeluarkan sebuah headset logam dari tasnya—perangkat neuro-scanner portabel yang biasa digunakan untuk penelitian neurologi tingkat lanjut. “Ini mungkin satu-satunya cara.”
Sarah tampak ragu, tetapi akhirnya mengangguk. “Lakukan.”
Dengan hati-hati, Rian memasangkan perangkat itu di kepala Sarah. Layar laptop menampilkan gelombang otak secara real-time, naik turun seperti gelombang laut di tengah badai. Rian mengetik cepat, membuka program pemetaan memori, lalu mengaktifkan modul pemicu bawah sadar.
“Siap?” tanyanya.
Sarah hanya memejamkan mata sebagai jawaban.
Seketika, layar mulai menampilkan gambar-gambar kabur—potongan ingatan Sarah yang selama ini tersembunyi: lorong gelap, suara orang menangis, dan sesosok pria berseragam laboratorium yang berbicara dengan nada dingin.
“Subjek S4H menunjukkan peningkatan stabilitas. Penanaman kode selesai. Lanjutkan ke tahap isolasi.”
Kemudian, gambar berikutnya muncul. Rian menahan napas.
Sebuah ruang kontrol besar. Di tengahnya, sebuah server raksasa dengan logo yang sudah ia kenali—ARSYA BIOTECH—perusahaan riset biomedis yang dulu dianggap bangkrut setelah kasus eksperimen ilegal.
Namun ada satu detail penting. Di atas layar besar dalam ruangan itu, tertulis:
“NEXUS PROTOCOL – FINAL PHASE.”
Sarah tiba-tiba menjerit. Tubuhnya gemetar hebat. “Itu dia! Itu pusatnya! Mereka akan mulai ulang! Mereka… akan memusnahkan semua ingatan!”
Rian segera menghentikan proses pemetaan dan memeluk Sarah, menenangkannya. “Kamu sudah cukup kuat, Sarah. Kamu telah membuka pintunya.”
Setelah Sarah tenang, Rian membuka file yang tadi terkunci. Kali ini, sistem mengenali gelombang kognitif Sarah—dan file pun terbuka.
Isinya membuat Rian tak bisa berkata apa-apa.
Daftar nama. Foto. Catatan eksperimen. Termasuk satu nama yang membuat darahnya membeku: namanya sendiri.
Ternyata, Rian juga bagian dari proyek ini. Ia bukan hanya penyelidik, tetapi juga target. Selama ini ia telah diawasi. Dibiarkan hidup dengan ingatan yang telah dimanipulasi. Semua yang ia tahu tentang masa lalunya… bisa saja palsu.
Di akhir file, ada sebuah koordinat:
07°12’40.8”S 110°24’43.2”E – Lokasi: Fasilitas Bawah Tanah, Gunung Lawu.
Rian menutup laptop perlahan. Ia menatap Sarah yang kini tertidur kelelahan.
Pertanyaan dalam benaknya tak terbendung lagi:
Siapa sebenarnya dirinya? Dan mengapa ia dimasukkan ke dalam daftar?
Mereka harus ke Gunung Lawu. Bukan hanya untuk menghentikan proyek ini, tapi untuk mengetahui satu hal yang paling penting:
Kebenaran siapa mereka sebenarnya.
Bab 15: Di Balik Pintu Terakhir
Kabut tipis menggantung di kaki Gunung Lawu saat Rian dan Sarah tiba di depan sebuah gerbang besi tua yang tersembunyi di balik rerimbunan pohon pinus. Gerbang itu terlihat seperti pintu menuju gudang tua, namun koordinat dalam file yang mereka temukan jelas menunjuk ke tempat ini.
Rian menatap papan nama berkarat di atas pintu: “Pusat Penelitian Arsyana – Divisi Khusus”. Tidak ada jejak manusia, namun udara di sekitar terasa berat, seolah menyimpan ribuan suara yang pernah berbisik di tempat ini.
Dengan hati-hati, Rian menempelkan alat pemindai yang ia rakit dari laptop dan perangkat neuro-scanner. Gerbang mengeluarkan suara mendengung, lalu terbuka perlahan. Aroma lembap dan logam memenuhi udara saat mereka melangkah masuk ke lorong gelap yang turun jauh ke bawah tanah.
Tangga spiral membawa mereka ke ruang utama yang diterangi lampu redup. Dindingnya dipenuhi panel kontrol, layar rusak, dan foto-foto subjek eksperimen. Di tengah ruangan, berdiri sebuah kapsul kaca besar yang masih menyala. Di dalamnya—terbaring seorang pria dengan wajah yang sangat Rian kenal.
Dirinya sendiri.
Sarah menahan napas. “Itu… kamu?”
Rian terpaku. “Tidak. Itu… klonku.”
Seketika suara langkah kaki bergema dari ujung lorong. Seorang pria tua muncul, mengenakan jas putih penuh noda tinta dan logo Arsyana di dadanya. Wajahnya tirus, matanya dalam dan tajam—penuh kenangan pahit.
“Selamat datang, Rian. Sudah lama kami menunggumu.”
Rian menggenggam tangan Sarah erat. “Siapa kamu?”
“Namaku Dokter Bramanto. Pendiri proyek Nexus Protocol. Dan kamu… adalah subjek terakhir yang bertahan setelah semua kegagalan.”
Rian menggeleng. “Aku bukan bagian dari eksperimen kalian. Aku bukan boneka.”
Dokter Bramanto tertawa ringan, pahit. “Bukan boneka, tapi hasil. Kau pernah menjadi bagian dari kami. Ingatanmu dimodifikasi, ditanam ulang agar kau bisa hidup bebas… sambil membawa kunci terakhir dalam sistem kami—Sarah.”
Sarah melangkah maju. “Apa maksudmu?”
“Kau bukan hanya ‘kunci biologis’, Sarah. Kau adalah pemicu. Semua data eksperimen, seluruh sistem memori, dan protokol kehancuran… tersimpan di dalam otakmu. Jika kau mati, semua data akan hilang. Tapi jika seseorang memaksamu mengakses sistem, proyek bisa diaktifkan kembali. Kau… adalah senjata dan pelindung dalam satu tubuh.”
Rian maju, amarahnya mendidih. “Dan kau pikir aku akan membiarkan itu terjadi?”
Bramanto menatap mereka dengan lelah. “Aku juga lelah, Rian. Aku ingin mengakhiri semua ini. Tapi satu-satunya cara untuk mematikan sistem… adalah dengan mengorbankan kunci utama. Sarah harus… dihapus dari sistem.”
Sarah mundur, ketakutan. “Kau ingin membunuhku?”
“Bukan membunuh. Menghapus kodenya. Tapi itu akan menghilangkan semua ingatanmu.”
Rian terdiam. Dalam benaknya, dua jalan terbentang: membiarkan Sarah tetap hidup dengan ingatan yang terus menghantuinya, atau menghapus masa lalu kelamnya untuk menghentikan proyek jahat ini selamanya.
Sarah menatap Rian dengan mata berkaca-kaca. “Lakukan, Rian. Aku lebih memilih hidup sebagai manusia biasa… daripada jadi alat milik mereka.”
Dengan air mata, Rian memeluknya. “Aku janji… ini akan jadi awal yang baru.”
Ia menekan tombol penghapusan sistem di konsol utama. Suara alarm menggema, dan kapsul di tengah ruangan mulai runtuh perlahan. Data di semua layar menghilang satu per satu.
Sarah jatuh pingsan dalam pelukan Rian.
Beberapa bulan kemudian.
Rian dan Sarah duduk di sebuah taman kota kecil. Matahari bersinar hangat, dan anak-anak bermain riang di kejauhan. Sarah kini bekerja sebagai guru TK. Senyumnya hangat, matanya jernih—tanpa ingatan akan masa lalu yang menyakitkan.
Ia menoleh pada Rian. “Terima kasih… karena selalu bersamaku.”
Rian tersenyum, menyembunyikan air mata yang mengendap di matanya. “Selalu.”
Di balik ketenangan itu, Rian menyimpan semua file, semua kenangan, dan semua kebenaran. Ia memilih untuk menanggungnya sendiri—demi Sarah, dan demi dunia yang tak pernah tahu bahwa di balik sebuah pintu terkunci, pernah ada mimpi yang berubah menjadi mimpi buruk.
Dan kini, pintu itu telah tertutup… untuk selamanya.***
————————-THE END———————–