• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
JEJAK SUNYI DI UJUNG LORONG

JEJAK SUNYI DI UJUNG LORONG

April 23, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
JEJAK SUNYI DI UJUNG LORONG

JEJAK SUNYI DI UJUNG LORONG

by SAME KADE
April 23, 2025
in Misteri & Thriller
Reading Time: 24 mins read

Bab 1 – Suara dari Lorong

Hujan rintik-rintik turun pelan sore itu, membasahi jalanan sempit di antara deretan bangunan tua yang tampak seolah berdiri dari masa lalu. Aroma tanah basah bercampur dengan bau cat tembok yang mengelupas dan kayu lapuk menyambut setiap langkah Raka saat ia menyusuri lorong menuju kompleks Apartemen Griya Laras.

Kompleks itu sudah setengah ditinggalkan. Dari luar, bangunannya masih berdiri kokoh, tapi cat dinding yang kusam dan jendela-jendela yang tertutup rapat menyiratkan satu hal: tempat ini menyimpan lebih dari sekadar cerita lama.

Raka, seorang jurnalis investigasi berusia akhir dua puluhan, datang bukan tanpa alasan. Ia menerima sebuah email anonim berisi satu kalimat:

“Jika kau ingin tahu kebenaran tentang Nadia, datanglah ke ujung lorong Apartemen Griya Laras. Dengarkan baik-baik.”

Nadia. Nama yang sudah lama terkubur di arsip kasus orang hilang sejak 2003. Tak ada pelaku, tak ada saksi yang bersuara, hanya sebuah laporan yang terlupakan oleh waktu.

Ketika ia melangkah melewati unit-unit kosong yang berjajar bisu, udara terasa makin dingin. Lorong di lantai tiga itu panjang, sempit, dan pencahayaannya remang. Lampu neon yang menggantung di atas kepala berkedip-kedip, seolah memberi isyarat agar ia tidak melangkah lebih jauh.

Namun justru di sanalah Raka mendengar sesuatu.

Ketukan.
Pelan, berirama. Tiga kali.

Ia menghentikan langkahnya. Tidak ada angin. Tidak ada penghuni yang tampak. Tapi ketukan itu terdengar lagi, kali ini diiringi suara lirih—nyaris seperti bisikan seseorang yang sedang membaca doa atau merintih pelan.

“…jangan… biarkan aku di sini…”

Raka menahan napas. Suara itu berasal dari ujung lorong—dari sebuah pintu tua berlabel “Unit 13”, catnya mengelupas dan terlihat seperti tak pernah dibuka selama bertahun-tahun. Tidak ada cahaya dari balik celah pintu, tapi suara itu… suara itu terasa begitu nyata.

Ia merogoh saku jaketnya dan mengaktifkan perekam suara di ponsel.

“Siapa di sana?” tanyanya lantang.

Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang tiba-tiba terasa menekan.

Tiba-tiba, lampu di atasnya mati. Gelap. Hanya suara hujan dari luar yang mengisi keheningan.

Raka menyentuh gagang pintu Unit 13—dingin, seperti logam yang telah lama bersentuhan dengan malam. Ia mendorong perlahan, tapi pintu itu tak bergerak. Terkunci.

Namun sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih jelas. Lebih dekat.

“Raka… kamu datang… akhirnya…”

Ia mundur satu langkah, jantungnya berdegup keras. Suara itu memanggil namanya. Tapi siapa? Siapa yang tahu ia akan datang? Dan mengapa suara itu seperti berasal dari balik dinding?

Seketika rasa penasaran berubah menjadi kegelisahan.

Ada sesuatu yang tersembunyi di balik lorong ini. Sesuatu yang telah menunggu terlalu lama untuk ditemukan. Dan malam ini, Raka baru saja membuka pintu menuju teka-teki yang tak akan mudah ditutup kembali.

Bab 2 – Apartemen No. 11

Pagi berikutnya, sinar matahari yang temaram menyusup malu-malu melalui celah tirai kamar kos Raka. Tidurnya tidak nyenyak. Mimpi-mimpi aneh menyergapnya semalaman—dinding yang berdarah, lorong tak berujung, dan bisikan-bisikan yang terdengar seperti berasal dari bawah tanah. Semua gambaran itu masih menempel kuat dalam benaknya.

Raka menyalakan laptopnya. Di layar terbuka dokumen berjudul “Kasus Orang Hilang: Nadia Fadillah (2003)”. Ia menatap foto buram seorang gadis remaja berambut panjang, tersenyum tipis dengan mata yang seolah menyimpan cerita tak terungkap. Berdasarkan laporan terakhir, Nadia tinggal di Apartemen No. 11, salah satu unit di lorong yang sama dengan Unit 13. Tapi catatan tentang apartemen itu seolah menghilang dari registrasi resmi pemilik properti. Tak ada nama penyewa, tak ada aktivitas listrik selama dua dekade terakhir.

Semakin dicari, semakin dalam misteri itu menggali dirinya.

Siang itu, Raka kembali ke Griya Laras. Ia menyamar sebagai mahasiswa arsitektur yang sedang mengerjakan proyek tugas akhir—alasan yang cukup umum untuk bisa menyusuri area apartemen tanpa terlalu mencurigakan.

Di lantai tiga, udara terasa lebih pengap dari sebelumnya. Karpet lorong mulai tampak lembap, dan aroma jamur menyengat menyeruak dari sela-sela dinding. Raka berhenti di depan Apartemen No. 11. Tidak seperti pintu-pintu lain, pintu ini tidak memiliki lubang intip atau nomor ruangan yang jelas. Hanya bekas noda persegi kecil—mungkin bekas pelat nomor yang telah dicabut lama.

Raka mengetuk pelan. Tidak ada respons.

Ia mencoba memutar gagang pintu. Terkunci. Namun saat ia mencondongkan tubuh, jendela samping yang menghadap balkon tampak tidak tertutup rapat. Dengan sedikit usaha dan rasa waswas, Raka menyelinap melalui celah itu dan masuk ke dalam.

Udara di dalam apartemen langsung menyerang dengan aroma debu dan udara pengap yang sudah lama terperangkap. Tirai-tirai tipis yang menutupi jendela berkibar pelan ditiup angin. Dinding-dinding dipenuhi coretan samar, sebagian seperti bekas kuku.

“Tolong… jangan biarkan aku di sini…”
Kalimat itu tertulis samar di dekat lemari tua.

Raka menyalakan senter kecil dari ponselnya dan mengarahkan cahaya ke seluruh ruangan. Apartemen itu kosong, namun terasa… tidak benar. Seolah ada sesuatu yang masih tinggal di dalam, sesuatu yang tak bisa dilihat mata biasa.

Ia berjalan ke sudut ruangan. Di sana, di atas lantai kayu yang retak, terdapat jejak kaki kecil yang berdebu, mengarah ke… tembok.

Raka menelusurinya, dan saat ia mengetuk tembok tempat jejak kaki berhenti, bunyinya berbeda—kosong. Ada ruang di baliknya.

Dengan tangan bergetar, ia menggeser rak buku usang di sisi tembok. Debu beterbangan. Di balik rak itu, ada garis samar menandakan keberadaan pintu tersembunyi, seperti panel rahasia yang pernah ia lihat di film-film kriminal.

Sebelum sempat menyentuhnya, terdengar suara langkah dari lorong di luar. Berat, pelan, dan mendekat. Raka mematikan ponsel dan menahan napas.

Langkah itu berhenti tepat di depan pintu Apartemen No. 11. Sunyi. Hening yang mencekam.

Tok. Tok. Tok.

Tiga ketukan. Sama seperti malam sebelumnya. Tapi kali ini… pintu apartemen yang terkunci dari luar itu perlahan bergetar, seolah seseorang di luar sedang mencoba membukanya dari dalam.

Raka mundur. Jantungnya berpacu cepat. Ia tidak tahu siapa—atau apa—yang ada di luar sana, tapi ia yakin satu hal: Apartemen No. 11 menyimpan rahasia besar, dan dia baru saja menyingkap lapisan pertama dari kengerian yang lebih dalam.

Bab 3 – Warga yang Tak Mau Bicara

Hari mulai gelap ketika Raka kembali turun ke lantai dasar Apartemen Griya Laras. Pikirannya masih dipenuhi tanda tanya. Siapa yang mengetuk pintu itu? Mengapa jejak kaki kecil bisa mengarah ke tembok? Dan siapa yang menulis pesan aneh di dinding?

Ia tahu satu hal: ia tidak akan menemukan jawabannya sendirian. Raka butuh informasi dari orang-orang yang tinggal di sana, para penghuni tetap yang telah hidup bertahun-tahun di dalam bangunan tua itu.

Ia memulai dari unit paling dekat dengan tangga. Seorang ibu paruh baya berkacamata, mengenakan daster lusuh, membuka pintu hanya sedikit saat Raka mengetuk.

“Permisi, Bu. Saya sedang meneliti sejarah gedung ini untuk keperluan tugas,” ujar Raka sambil tersenyum sopan.

Namun begitu ia menyebut “lorong lantai tiga”, ekspresi sang ibu langsung berubah. Matanya menyipit, tangannya menggenggam gagang pintu lebih erat.

“Lorong itu tidak ada apa-apa. Jangan urus yang tidak penting, Nak.”
Pintu langsung ditutup. Tak ada salam, tak ada jawaban.

Raka menghela napas dan mencoba unit lain. Kali ini seorang pria tua dengan suara serak membukakan pintu. Saat Raka menyebut Apartemen No. 11, lelaki itu hanya tersenyum kecil.

“Kadang, makin banyak kau tahu… makin cepat kau menyesal.”

Raka hendak bertanya lebih lanjut, tetapi pria itu menutup pintu pelan, meninggalkan Raka berdiri sendiri di lorong yang sunyi.

Ia terus berpindah-pindah unit. Beberapa pintu tak dibuka sama sekali. Beberapa penghuni hanya mengintip dari balik tirai. Bahkan ada seorang anak kecil yang begitu melihat Raka dari jendela langsung berlari memanggil ibunya—dan si ibu menarik tirai dengan wajah panik.

Ada satu pola yang jelas: semua orang menghindari pembicaraan tentang lantai tiga. Terutama tentang Unit 11 dan 13.

Saat matahari hampir tenggelam, Raka mendekati ruang keamanan di lantai dasar. Ia berharap bisa bicara dengan penjaga malam yang berjaga saat kejadian-kejadian aneh itu terjadi. Di balik meja kecil yang penuh dengan peralatan tua dan monitor CCTV berdebu, duduk seorang lelaki kurus dengan wajah cekung dan mata tajam.

Namanya Pak Darto.

“Apa kamu sering mendengar suara aneh dari lorong atas, Pak?” tanya Raka dengan nada hati-hati.

Pak Darto menatapnya lama. Terlalu lama. Seolah sedang menimbang sesuatu di dalam pikirannya.

Akhirnya, ia bersuara pelan, nyaris seperti bisikan.

“Kau tahu kenapa unit 11 dan 13 tidak pernah disewakan lagi? Karena tempat itu bukan buat orang hidup.”

Raka menelan ludah. “Maksud Bapak?”

Pak Darto berdiri, lalu menarik sebuah map lusuh dari laci. Ia menyodorkannya ke Raka tanpa berkata apa-apa. Isinya adalah catatan kejadian tak wajar: laporan gangguan listrik yang hanya terjadi di lantai tiga, laporan suara-suara yang tak bisa dijelaskan, hingga surat pindah mendadak dari penyewa beberapa tahun lalu.

Salah satu surat bahkan berbunyi:

“Saya mohon, jangan pernah sewa unit itu ke siapa pun lagi. Bukan karena takut… tapi karena saya sudah melihat apa yang tinggal di sana.”

Sebelum Raka bisa bertanya lebih lanjut, Pak Darto menoleh ke arah lorong panjang di belakangnya. Suaranya semakin pelan, nyaris tak terdengar.

“Kalau kau memang mau tahu… tunggulah sampai tengah malam. Tapi ingat, jangan berdiri di depan pintu Unit 13. Jangan lihat ke dalam, meskipun pintunya terbuka.”

Raka terdiam. Malam itu akan jadi awal dari kebenaran yang perlahan mulai menunjukkan wajahnya—dan mungkin, sekali saja ia melihat terlalu dalam, ia tak akan pernah bisa berpaling lagi.

Bab 4 – File yang Terhapus

Malam menjelang. Awan hitam menggantung rendah, dan udara terasa lebih dingin dari biasanya. Raka duduk di kamar kosnya dengan mata terpaku ke layar laptop. Map lusuh yang diberikan Pak Darto tadi siang kini tergeletak di sampingnya, seolah menantang untuk dibuka kembali.

Di dalam map itu, ia menemukan satu petunjuk mencolok: Nama lengkap penghuni terakhir Apartemen No. 11 — Nadia Fadillah. Namun yang lebih mengejutkan, tercatat bahwa Nadia pernah menjadi subjek dalam penelitian psikologis dari sebuah klinik bernama Rekarsa Mandiri, yang berlokasi tidak jauh dari Griya Laras.

Raka menyalakan internet dan mulai menelusuri jejak digitalnya. Anehnya, setiap kali ia mencoba mengakses artikel, berita, atau dokumen terkait Nadia maupun klinik tersebut, halaman yang dimuat selalu kosong atau berujung pada error. Beberapa file PDF yang ia unduh otomatis menjadi “file rusak” saat dibuka.

Namun satu file berhasil ia buka—dokumen lama dengan cap rumah sakit dan label: “RAHASIA – KLINIS”.

“Subjek menunjukkan gejala skizofrenia berat disertai halusinasi suara. Mengaku mendengar bisikan dari balik dinding kamarnya setiap malam, menyebut ada sosok yang ‘menunggu di lorong’. Terjadi perilaku mengurung diri selama berminggu-minggu, disertai tindakan menyayat tangan secara berulang. Saran: segera dipindahkan dari tempat tinggal saat ini.”

Raka menggulir ke bawah, tetapi setengah isi file menghilang. Tiba-tiba, layar laptopnya berkedip.

File terhapus.

Raka membeku. Ia tidak menekan tombol apa pun. Ia bahkan belum menyimpan file itu. Tapi pesan sistem sudah jelas: “File tidak ditemukan.”

Rasa penasaran berubah menjadi kegelisahan. Ia memutuskan untuk kembali ke Apartemen Griya Laras malam itu juga—melanggar nasihat Pak Darto. Tapi kali ini, ia membawa lebih dari sekadar senter dan perekam suara. Ia membawa satu tujuan: menguak kebenaran yang selama ini coba dikubur.

Setibanya di sana, Griya Laras tampak lebih gelap dari biasanya. Lampu taman padam, suara jangkrik tak terdengar. Saat ia melewati ruang satpam, meja Pak Darto kosong. Hanya secangkir kopi yang masih mengepulkan asap. Seolah-olah lelaki itu baru saja berdiri—atau menghilang.

Di lantai tiga, lorong itu terasa lebih sempit. Pintu-pintu tertutup rapat. Raka berjalan menuju Unit 11, tapi pandangannya terpaku pada pintu Unit 13 yang kali ini… sedikit terbuka.

Celah kecil itu memperlihatkan kegelapan mutlak di dalam. Tidak ada cahaya, tidak ada suara. Tapi seperti malam-malam sebelumnya, udara terasa lebih berat, seperti disesaki sesuatu yang tak terlihat.

Tangan Raka gemetar saat meraih ponsel. Ia mengaktifkan kamera dan mengarahkannya ke celah pintu. Dalam layar, hanya tampak gelap. Tapi saat ia memperbesar gambarnya, sebuah wajah samar muncul di sisi bingkai.

Bukan wajah manusia biasa. Wajah itu kurus, matanya kosong, kulitnya pucat seperti tulang. Bibirnya bergerak… membentuk satu kata:

“Hentikan.”

Raka terjatuh ke belakang. Nafasnya memburu, tubuhnya gemetar. Tapi sebelum ia bisa berlari, layar ponselnya mendadak mati. Baterainya masih penuh, tapi perangkatnya tak merespons.

Dan dari dalam Unit 13, ketukan itu terdengar lagi.

Tok. Tok. Tok.

Namun kali ini bukan di pintu.
Tapi dari balik tembok. Dari dalam Unit 11.

Bab 5 – Rekaman yang Tidak Pernah Direkam

Raka menghabiskan malam itu tanpa tidur. Tubuhnya kembali ke kamar kos, tetapi pikirannya masih tertinggal di lorong lantai tiga. Setiap bayangan wajah pucat yang muncul di celah pintu terus mengendap dalam benaknya, menghantui di balik kelopak mata yang terpejam.

Pagi harinya, ia duduk di depan laptop, mencoba menghidupkan kembali ponsel yang semalam mati secara tiba-tiba. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya ponsel menyala. Anehnya, begitu layar menyala, notifikasi suara muncul dari folder rekaman yang tidak pernah ia sentuh.

“File baru ditambahkan – 00.13.mp3”

Raka membeku.

Ia tidak pernah merekam apa pun malam itu. Bahkan kameranya mati sebelum ia sempat mengaktifkan mode audio. Tapi file itu ada, dan waktu perekamannya sesuai dengan momen ketika ia berdiri di depan Unit 13.

Dengan jemari gemetar, ia menekan tombol putar.

Suara pertama yang terdengar adalah… napasnya sendiri. Berat. Tertahan. Lalu disusul dengan suara detak langkah yang menggema perlahan di lantai lorong. Tapi suara itu tidak datang dari Raka. Langkah itu datang dari… dalam rekaman.

Kemudian muncul suara bisikan, pelan, seperti seseorang yang berdiri sangat dekat dengan mikrofon.

“Dia belum tahu… tapi dia akan membuka semuanya.”

Lalu disusul dengan derit pelan—suara engsel pintu yang berkarat—dan hentakan tiga ketukan keras.

Tok. Tok. Tok.

Rekaman berhenti.

Raka mengulanginya beberapa kali, mencoba memastikan bahwa itu bukan suara editan atau jebakan suara dari aplikasi tertentu. Namun setiap kali ia memutarnya, bagian bisikan itu tetap sama—datar, dingin, dan tak dikenal.

Pikiran Raka berkelana. Bagaimana bisa rekaman itu ada di ponselnya? Dan siapa yang mengucapkan kalimat itu? Ia menelusuri metadata file, tetapi semua informasi hilang. Tidak ada waktu perekaman, tidak ada nama file asli. Hanya label “00.13”—sebuah angka yang semakin sering muncul dalam penelusurannya. Unit 13. Waktu 00.13. Tiga ketukan.

Raka tahu ini bukan kebetulan. Semuanya saling berkaitan.

Ia memutuskan menemui satu-satunya orang yang mungkin tahu lebih banyak—Pak Darto. Tapi saat ia kembali ke Griya Laras, ruang satpam itu kosong. Cangkir kopi yang kemarin terlihat masih ada, tetapi kini dingin dan berdebu.

Seorang wanita tua penjaga kebersihan yang lewat hanya berkata lirih, “Pak Darto sudah seminggu tidak terlihat. Tapi… saya dengar langkahnya di malam hari.”

Raka terpaku. Langkahnya?

Wanita itu melanjutkan tanpa menatapnya, “Dulu juga begitu… waktu penghuni lama mulai menghilang. Satu per satu. Tapi suara mereka tetap tinggal.”

Seketika Raka menyadari sesuatu. Mungkin bukan hanya Nadia yang pernah menghuni unit itu. Mungkin… tempat itu menyimpan lebih dari satu cerita tragis. Dan semua suara, semua bisikan, semuanya tidak pernah benar-benar pergi. Mereka hanya menunggu seseorang cukup nekat untuk mendengarkan.

Dan kini, suara-suara itu telah memilih Raka.

Bab 6 – Surat yang Tidak Pernah Sampai

Langit sore menggantung kelabu saat Raka kembali berdiri di depan Apartemen Griya Laras. Kali ini, langkahnya terasa lebih berat. Sejak ia mendengar rekaman misterius itu, tidur tak lagi menjadi pelarian. Ia tahu—entah bagaimana—tempat ini telah menahannya, menariknya masuk perlahan-lahan, seperti tangan tak terlihat yang mencengkeram dari balik lorong.

Ia memasuki lobi, lalu berjalan ke kotak surat yang sudah berkarat di sisi dinding. Sebagian besar kotak sudah rusak, tak lagi memiliki penutup, hanya menyisakan lubang dan debu. Namun ada satu kotak yang menarik perhatiannya: kotak nomor 11.

Berbeda dari yang lain, kotak ini masih terkunci dan bersih. Seolah tak tersentuh waktu. Raka menunduk, melihat ke celah kecil di bawahnya. Matanya menangkap sesuatu yang terselip: secarik kertas usang yang menguning.

Dengan sedikit usaha, ia berhasil menariknya keluar. Kertas itu ternyata sebuah surat, masih terlipat rapi dan dimasukkan ke dalam amplop berwarna biru muda yang sudah mulai pudar. Di bagian depan, tertulis dengan tulisan tangan yang gemetar:

Untuk: Ibu, di Rumah.
Tolong baca ini jika saya tak pernah pulang.

Raka membuka surat itu perlahan. Tulisan di dalamnya menggambarkan suara hati seseorang yang sedang berjuang melawan sesuatu yang tidak terlihat. Tulisannya retak, tidak rapi, seperti ditulis dengan tergesa-gesa.

“Bu, aku dengar mereka lagi. Malam ini lebih keras dari biasanya. Mereka tidak suka aku membuka jendela. Mereka benci cahaya. Aku tidak tahu harus percaya siapa, Bu. Semua orang di sini diam. Bahkan petugas pun pura-pura tidak melihat bayangan itu melintas.”

“Aku merasa… seseorang sedang mengintipku setiap malam dari balik tembok. Bukan tetangga. Bukan orang. Kadang, aku dengar namaku dipanggil. Tapi saat aku keluar, lorong itu kosong.”

“Kalau surat ini sampai padamu, mungkin aku sudah tidak bisa pulang. Jangan cari aku di sini. Jangan pernah datang ke lantai tiga.”

Surat itu ditandatangani oleh nama yang membuat Raka membeku.

Nadia Fadillah.

Raka mengangkat kepalanya, memandang ke arah lift tua yang diam membisu di ujung lorong. Ia sadar satu hal: surat ini seharusnya tidak pernah ditemukan. Surat ini ditulis oleh seseorang yang sudah menghilang, ditujukan kepada seseorang yang tak pernah datang mencarinya.

Dan yang lebih aneh, tanggal pada surat itu menunjukkan sesuatu yang tak masuk akal—tanggal pengiriman: 2 Juli 2013.

Persis 12 tahun yang lalu, tepat di hari yang sama Raka menemukan surat itu.

Seketika itu juga, suara lift tua berderit, lalu terbuka sendiri… meskipun tidak ada siapa pun yang menekan tombol. Angin dingin mengalir pelan dari dalam lift. Dan dari pantulan kaca di dalamnya, Raka melihat sesuatu berdiri di belakangnya—tapi saat ia menoleh, lorong itu kosong.

Surat itu, entah bagaimana, telah mengaktifkan sesuatu. Bukan hanya kenangan, tapi sebuah janji yang belum selesai ditepati.

Raka menggenggam surat itu erat, menatap lantai tiga yang menganga menantinya.

“Jika Nadia ingin ditemukan, maka aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi di lorong itu…”

Bab 7 – Lorong yang Tidak Berujung

Lorong di lantai tiga Griya Laras selalu tampak sunyi dan gelap, tapi malam itu ada sesuatu yang berbeda. Raka berdiri di ujung koridor, memandangi deretan pintu yang berdiri rapat, seperti sosok-sosok tak bernyawa yang berjajar mengawasinya.

Tangannya menggenggam surat Nadia yang masih lembap karena keringat. Surat itu terasa berat—bukan karena kertasnya, tapi karena pesan di dalamnya. Kalimat-kalimat putus asa yang seolah masih bergaung dalam kepalanya.

Ia melangkah pelan, menyalakan senter dari ponselnya. Cahaya redup itu hanya mampu menerangi beberapa meter ke depan, sementara bayangan di belakangnya terasa makin pekat.

Langkahnya bergema, dan gema itu terdengar… ganjil.

Seharusnya suara langkah hanya bergema sebentar. Tapi kali ini, gema itu terdengar lebih lama—bahkan lebih banyak dari jumlah langkahnya.

Seperti ada seseorang lain yang berjalan bersamanya.

Raka menoleh cepat. Tidak ada siapa-siapa. Tapi saat ia memalingkan wajah ke depan, lorong yang tadinya hanya sepanjang belasan meter, kini terasa memanjang jauh tanpa ujung.

Pintu-pintu yang semula bisa dihitung dengan jari kini berlipat ganda. Semua bernomor ganjil: 1, 3, 5, 7, 9, dan seterusnya. Tidak ada nomor genap. Tidak ada Unit 11, apalagi 13.

Raka mulai berjalan lebih cepat. Namun setiap kali ia menoleh, posisi awal tempatnya berdiri… tetap jauh di belakang. Seolah langkahnya tidak pernah membuat kemajuan. Seolah lorong itu terus memanjangkan dirinya—menelannya perlahan.

Ponselnya tiba-tiba berkedip.

Layar berubah gelap.

Cahaya mati.

Raka berhenti. Dalam kegelapan mutlak, ia hanya bisa mendengar napasnya sendiri. Tapi kemudian terdengar suara lain—napas kedua, lebih berat, lebih dalam, dan berasal dari belakang punggungnya.

Lalu, suara bisikan.

“Sudah kubilang… jangan datang ke lantai tiga.”

Raka berbalik dengan panik, tapi yang dilihatnya hanya tembok.

Namun sekarang lorong itu berubah. Tidak ada lagi deretan pintu. Tidak ada lagi lampu mati. Hanya tembok gelap yang menyempit—dan di ujung lorong yang gelap itu, ada satu pintu kayu yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Pintu itu… tidak memiliki gagang.

Hanya terdapat celah sempit di bagian bawah, dan dari celah itu merembes air hitam pekat, menetes perlahan ke lantai. Aroma besi tua dan amis memenuhi udara, membuat perut Raka mual.

Ia hendak mundur, tapi tiba-tiba dinding di belakangnya bergerak, mendorongnya maju perlahan. Seperti ruang itu menolak kehadirannya, namun juga menolak kepergiannya. Seolah tempat ini hidup.

Terdengar ketukan—bukan satu, bukan dua—tetapi terus-menerus, tak beraturan.

Tok tok tok tok tok!

Dari dalam tembok, dari bawah lantai, dari balik pintu. Ketukan itu membanjiri seluruh lorong. Semakin keras. Semakin cepat. Hingga semuanya hening.

Kemudian, suara anak kecil terdengar. Lirih, nyaris tak terdengar.

“Aku belum bisa keluar… Tolong… temukan aku…”

Raka menjerit, tapi suaranya tercekik. Ia mencoba memundurkan diri, menekan dinding yang kini terasa hangat seperti kulit manusia.

Dan dalam keheningan itu, samar-samar terdengar tangisan—panjang, tertahan, menggema dari balik lorong yang kini tak memiliki ujung atau arah.

Lorong itu telah berubah.

Dan Raka… terjebak di dalamnya.

Bab 8 – Mata yang Tak Pernah Terpejam

Raka terjaga di dalam kamarnya dengan napas memburu. Keringat dingin membasahi pelipisnya, meski angin malam meniup lembut dari jendela yang terbuka separuh. Ia menatap langit-langit, mencoba meyakinkan diri bahwa semua yang dialaminya tadi hanyalah mimpi buruk. Tapi ada satu hal yang tidak bisa ia abaikan—luka memanjang di lengan kirinya. Seperti bekas gesekan kasar… atau cakar.

Ia menghela napas berat, lalu berdiri. Cermin besar di sudut kamar memantulkan sosoknya yang terlihat lebih pucat dari biasanya. Ia berjalan mendekat. Tapi saat hanya berjarak satu langkah dari cermin, refleksinya tidak bergerak bersamaan dengannya.

Raka terdiam.

Refleksinya menatap balik… lalu tersenyum.

Ia mundur tergesa-gesa, menjatuhkan vas bunga kecil di dekat kaki tempat tidur. Kaca pecah berhamburan, membangunkannya dari ketakutan sesaat. Namun saat ia kembali menoleh, cermin itu hanya menampilkan dirinya sendiri. Normal. Biasa.

Atau pura-pura biasa.

Selama beberapa hari setelahnya, Raka mulai menyadari satu hal ganjil—selalu ada sepasang mata yang memperhatikannya. Di mana pun ia berada.

Di pantulan layar laptop, di permukaan air minum, bahkan di jendela bus kota yang ia tumpangi—selalu ada bayangan samar, mata kosong, memandangnya dengan lekat dari sisi lain.

Ia mencatat waktu kemunculannya. Anehnya, semua peristiwa itu terjadi setiap pukul 01.13 dini hari. Selalu angka itu lagi. 13.

Suatu malam, ia memasang kamera di kamar. Ia memutuskan untuk merekam dirinya tidur. Tapi saat memutar hasil rekaman keesokan harinya, ada bagian yang membuat darahnya berdesir dingin:

Pada menit ke-73, tubuh Raka terlihat bergerak sendiri. Duduk tegak dengan mata tertutup. Lalu dari sisi kiri layar, bayangan gelap muncul perlahan, merayap mendekati cermin… dan menatap langsung ke arah kamera. Bayangan itu tidak memiliki wajah—hanya dua bola mata merah menyala di tengah gelap.

Dan yang lebih menyeramkan, kamera merekam suara lirih:

“Cermin adalah gerbang… dan dia sudah melihatmu.”

Tak bisa menahan rasa takut yang kian menumpuk, Raka kembali mencari informasi tentang penghuni lama Unit 13. Ia menemukan artikel usang di forum daring yang sudah tidak aktif: seseorang bernama Nadia Fadillah, mahasiswa seni rupa yang gemar melukis figur-figur berwajah kabur.

Salah satu komentarnya berbunyi:

“Aku merasa seseorang memperhatikanku setiap kali aku melihat pantulan diriku sendiri. Bahkan saat aku memejamkan mata… aku tahu dia tidak pernah tidur.”

Raka mendekap tubuhnya sendiri. Ia mulai mengerti.

Bukan Nadia yang belum bisa pergi… tapi sesuatu yang pernah bersamanya, kini mengikuti Raka.

Mata itu. Pengawas itu. Ia tidak hanya menyaksikan—ia menunggu.

Dan kini, setiap malam, cermin di kamar Raka tampak lebih terang dari biasanya. Seolah ada cahaya dari sisi lain yang menyorot balik.

Dan di balik bayangannya, mata itu tetap terbuka.

Selalu.

Bab 9 – Tanda Merah

Lorong itu tak pernah benar-benar gelap, tetapi cahaya lampu neon yang berkedip di langit-langit menciptakan bayangan yang seolah hidup. Raka menelusuri langkahnya pelan-pelan, matanya mengamati setiap pintu apartemen di sepanjang lorong yang sempit dan lembap itu.

Di depan pintu nomor 3A, ia berhenti.

Ada sesuatu yang tidak biasa.

Sebuah tanda merah, seperti coretan cat, tergores di atas angka pintu. Garisnya tidak rapi, seolah digoreskan dengan tergesa-gesa atau dalam ketakutan. Raka mengerutkan kening dan mengeluarkan kamera ponselnya. Ia memotret tanda itu, lalu beralih ke pintu berikutnya—3B.

Lagi-lagi, tanda merah. Kali ini lebih pudar, seperti telah coba dibersihkan, namun masih tampak jelas jika diperhatikan dari dekat.

“Ini bukan grafiti biasa,” gumamnya.

Sepulang dari penyelidikannya, Raka mengunjungi Pak Sarman, sang penjaga apartemen yang dulu pernah memperingatkannya untuk tidak menggali terlalu dalam. Pria tua itu duduk termenung di pos jaga, menatap kosong ke arah jalan masuk.

“Ada berapa banyak pintu yang punya tanda merah, Pak?” tanya Raka tanpa basa-basi.

Pak Sarman diam. Namun gerakan tangannya yang mengepal, serta tatapan matanya yang tiba-tiba menajam, cukup menjawab rasa ingin tahu Raka.

“Apa maksudnya?” desak Raka.

Akhirnya, sang penjaga bergumam, “Mereka yang pernah… mengalami sesuatu.”

“Sesuatu seperti apa?”

Pak Sarman menoleh perlahan. “Gangguan. Hal-hal yang tak bisa dijelaskan. Mereka semua… menghilang, Nak. Satu per satu. Dan setiap kali, sebelum itu terjadi, pintu mereka ditandai.”

Keesokan malamnya, Raka kembali ke lorong. Ia mencocokkan data penghuni dengan pintu-pintu bertanda merah—dan menemukan pola mencengangkan. Lima dari tujuh orang yang pernah menghuni apartemen dengan tanda merah dinyatakan hilang secara misterius. Dua lainnya… meninggal dengan cara tak wajar.

Tiba-tiba, suara gemeretak terdengar di belakangnya. Raka menoleh cepat.

Lorong kosong. Namun hawa dingin merayap perlahan, seperti kabut yang tak terlihat. Ia menelan ludah dan menatap tanda merah di pintu 3A. Matanya menangkap sesuatu yang membuat napasnya tercekat:

Tanda itu masih basah.

Raka mundur perlahan, tapi langkahnya tertahan oleh suara pintu yang berderit terbuka. Tanpa ada yang menyentuhnya, pintu 3A bergeser perlahan, menganga seperti mulut yang siap menelan.

Dari dalam kegelapan ruangan itu, sebuah bisikan lirih terdengar—bukan kata-kata yang jelas, melainkan desahan… seperti seseorang yang mencoba berbicara dari balik dinding yang tebal.

Raka melangkah maju. Napasnya tertahan. Ia tahu, jawaban ada di balik pintu itu.

Namun ia juga tahu… setiap orang yang melewati ambang itu, tak pernah kembali sama.

Bab 10 – Kebenaran Nadia

Pagi itu, hujan turun tanpa suara, membasahi kaca jendela kamar Raka yang berkabut. Aroma tanah basah bercampur udara dingin mengendap di udara, menciptakan suasana yang sunyi—terlalu sunyi.

Di atas meja kayu lapuk yang ada di ruangan apartemen tua itu, tergeletak sebuah buku lusuh bersampul cokelat tua. Buku harian Nadia.

Raka menatap halaman pertama yang sedikit robek. Tulisannya miring, kecil, dan terlihat tergesa-gesa, seolah ditulis di bawah tekanan atau ketakutan.

“Tanggal 3 Mei 2003. Aku tahu mereka memerhatikanku. Aku tahu suara-suara itu bukan halusinasiku. Aku ingin keluar dari sini, tapi seseorang dari lantai atas bilang aku sedang ‘dalam pengawasan’…”

Raka menarik napas dalam. Ia menyelusuri tiap halaman, menyatukan potongan-potongan kisah tragis seorang gadis muda yang terjebak dalam sebuah eksperimen yang tak manusiawi. Nama-nama disamarkan dengan inisial. Ada sebutan “Proyek Lorong” dan istilah medis yang tak sepenuhnya ia pahami. Namun satu hal jelas—eksperimen psikologis dilakukan di tempat ini, menyamar sebagai terapi kesehatan mental.

“Mereka bilang ini untuk membantu kami yang trauma. Tapi kami hanya dijadikan objek. Aku… sudah mulai melihat hal-hal yang tak bisa dijelaskan. Lorong itu… berubah tiap malam.”
“Aku mendengar tangisan dari balik dinding, tapi tidak ada siapa-siapa di sana.”
“Dan sekarang, aku tidak yakin apakah aku masih waras.”

Raka menggigit bibir bawahnya. Dalam halaman-halaman terakhir, tulisan Nadia semakin kacau, seperti digoreskan dengan tangan gemetar. Hingga akhirnya…

“Mereka akan datang malam ini. Aku tahu. Kalau aku tidak bisa keluar… semoga seseorang menemukan ini.”

Setelah membaca kalimat terakhir itu, Raka menutup buku dengan hati yang berat. Tangannya menggenggam kuat sampulnya, seolah mencoba menyerap keberanian dari kata-kata Nadia. Ia sadar, buku harian ini adalah bukti penting—tetapi juga sebuah pesan minta tolong dari masa lalu.

Tak ingin kehilangan jejak, Raka menyelidiki siapa yang tinggal di lantai atas pada tahun 2003. Ia menemukan nama seorang pria: Dr. Gunawan Prasetyo, yang mengaku sebagai konsultan psikologi saat itu. Namun riwayatnya lenyap dari semua data resmi sejak tahun 2004. Tidak ada foto, tidak ada catatan praktik, tidak ada alamat yang bisa dihubungi.

Semakin jauh Raka menggali, semakin gelap labirin yang ia masuki. Semua terasa seperti dikendalikan oleh tangan tak kasatmata yang menolak masa lalu diungkap.

Namun ia sudah terlalu dalam.

Malam itu, saat ia kembali menyusuri lorong untuk mencari ruangan yang pernah dijadikan tempat eksperimen, ia melihat sesuatu yang membuat jantungnya berhenti berdetak sejenak.

Di ujung lorong, seorang gadis berdiri.

Bajunya putih lusuh. Rambutnya panjang menutupi sebagian wajah. Dan meskipun pencahayaan redup, Raka bisa melihat jelas: matanya memandang langsung ke arahnya.

Buku harian Nadia jatuh dari genggamannya. Hatinya ingin berlari.

Namun kakinya tertahan oleh suara lembut dari ujung lorong.

“Kau membacanya… Sekarang kau harus melihat kebenarannya.”

Bab 11 – Jejak Darah

Lorong itu kini bukan hanya sekadar lorong. Ia telah berubah menjadi semacam lorong waktu yang menyimpan potongan-potongan kejadian yang seharusnya sudah terkubur dalam sejarah kelam kompleks ini. Raka menatap jam tangannya—2:09 dini hari. Empat menit lagi.

Ia berdiri di tengah lorong yang sunyi, menahan dingin yang merayap naik melalui ubin lembap. Kamera pengintai yang ia pasang tersembunyi di beberapa sudut lorong telah siap merekam. Malam-malam sebelumnya, ia mendapati bahwa setiap pukul 2:13 dini hari, lorong ini memperlihatkan sesuatu yang tak dapat dijelaskan secara logika.

Dan tepat pada pukul 2:13, suhu udara tiba-tiba turun drastis.

Lampu lorong mulai berkedip. Raka menahan napas.

Dari ujung lorong, samar-samar terdengar suara langkah kaki. Perlahan. Teratur. Berat. Ia menoleh ke arah sumber suara, namun lorong itu tampak kosong seperti biasa.

Lalu, darah muncul—mengalir tipis dari bawah pintu apartemen 2C.

Raka mendekat dengan langkah tertahan, jantungnya berdegup tak karuan. Ia menyentuh darah itu, merasakan kehangatannya. Segar. Baru. Namun saat ia menengok ke kamera ponsel yang merekam, darah itu tidak terlihat dalam rekaman.

“Ini… bukan darah biasa,” bisiknya.

Tiba-tiba, ia mendengar jeritan. Bukan dari dalam apartemen, tapi… dari rekaman CCTV yang baru saja dikirimkan otomatis ke laptopnya. Dengan tangan gemetar, ia membuka file tersebut. Tampak bayangan seorang perempuan diseret oleh dua pria ke arah lorong, tubuhnya meronta, mulutnya terbuka lebar dalam jeritan bisu.

Waktu pada rekaman: 2:13 AM, 7 Mei 2003.

Raka mempercepat video. Di ujung lorong, para pria itu menghilang—seolah menembus dinding. Dan sosok perempuan itu pun lenyap, meninggalkan jejak darah samar yang memudar perlahan.

Besok paginya, Raka mendatangi Pak Sarman dengan wajah pucat. “Saya tahu ini gila, Pak. Tapi saya lihat rekaman itu. Ada seseorang diseret di lorong itu, dua puluh tahun lalu. Dan sekarang… saya bisa merasakannya terjadi lagi.”

Pak Sarman tidak menjawab. Ia hanya menyodorkan sebuah kunci tua dan peta kasar kompleks apartemen. Di bagian bawah peta, ada sebuah ruangan kecil yang tidak tercantum dalam denah resmi. Hanya sebuah lingkaran dengan tulisan tangan: “Kamar Operasi 02:13”.

“Ke sanalah mereka membawanya,” kata Pak Sarman pelan. “Dan semua yang melihat lorong itu saat ‘jam berdarah’, tak pernah lagi bisa tidur nyenyak.”

Raka memandangi kunci itu. Tangannya bergetar, namun ia tahu—apa pun yang tersembunyi di ruangan itu, adalah bagian dari kebenaran yang selama ini dikubur.

Dan kini… ia tak bisa lagi mundur.

Bab 12 – Siapa di Balik Cermin

Raka tak pernah menyukai cermin, terlebih sejak kejadian di lorong beberapa malam lalu. Ada sesuatu pada pantulan yang terasa tidak sejalan dengan kenyataan—seolah bayangan di dalamnya menyimpan kehendak sendiri.

Pagi itu, Raka menelusuri jalur peta buatan tangan yang diberikan oleh Pak Sarman. Ia menyusuri tangga darurat menuju lantai atas yang telah lama tidak digunakan. Debu tebal menutupi pegangan tangga, dan bau apek menyengat dari balik dinding yang berlumut.

Ia sampai di depan ruangan kecil bertanda samar: Ruang Inventaris Lama. Kunci tua itu pas. Pintu berderit saat dibuka, memperlihatkan sebuah ruangan gelap berisi lemari arsip, peralatan tua… dan sebuah cermin besar berdiri di tengah ruangan.

Cermin itu bukan cermin biasa.

Bingkainya berwarna perak kusam, dan permukaannya tidak memantulkan cahaya dengan benar. Raka melangkah mendekat. Saat ia menatap bayangannya, ada sesuatu yang aneh—bayangan dirinya tersenyum, padahal ia tidak.

Jantungnya mencelos.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari belakang. Raka berbalik dengan cepat—kosong.

Namun saat ia kembali menatap cermin, bayangan dirinya… tidak lagi sendiri. Ada sosok lain berdiri di belakangnya dalam pantulan, mengenakan seragam petugas apartemen, wajahnya tertutup sebagian oleh topi.

Raka menoleh cepat ke belakang. Tidak ada siapa pun.

Ia meraih lampu senter dan menyinari sudut-sudut ruangan. Dalam tumpukan berkas, ia menemukan sebuah identitas lama—wartawan. Namanya: Reyhan Sembada. Ia menghilang setahun yang lalu saat menyelidiki kompleks ini.

“Dia menyamar jadi petugas?” gumam Raka.

Terdengar suara lirih dari arah cermin. Raka mendekat, dan untuk sesaat, ia melihat sosok Reyhan di dalam cermin, menatapnya dengan tatapan kosong.

“Mereka tidak membiarkan aku keluar. Jangan percaya apa pun yang terlihat di sini…”

Cermin itu bergetar. Permukaannya seperti air yang bergelombang. Dan dalam satu kilatan cahaya, Raka melihat fragmen-fragmen kejadian masa lalu—eksperimen, jeritan, seseorang dibaringkan di meja operasi… dan wajah Reyhan, terkunci dalam ketakutan.

Raka mundur dengan napas tersengal. Ia memeriksa sekeliling cermin dan menemukan sebuah panel kecil tersembunyi di belakangnya. Di dalamnya, terpasang kamera rahasia dan mikrofon tua, semua tersambung ke sistem pengawasan lama.

Reyhan tak hilang begitu saja—dia diawasi, direkam, lalu ditarik ke dalam konspirasi yang sama seperti Nadia.

Malam itu, Raka kembali ke apartemennya dengan kepala penuh tanda tanya. Ia membuka kembali rekaman yang tersimpan dalam flashdisk pemberian Pak Sarman. Di antara potongan video rusak itu, ia menemukan satu adegan yang tak pernah ia lihat sebelumnya.

Seseorang—berpakaian seperti petugas—berjalan ke arah kamera dan menatap langsung ke dalam lensa. Senyum miring di wajahnya.

Itu Reyhan.

Namun di baliknya, dalam pantulan kaca jendela, terlihat sosok lain… dirinya sendiri.

Dan Reyhan berbisik, “Kau berikutnya.”

Bab 13 – Kematian yang Diatur

Senja menggantung kelabu di atas langit kompleks tua. Angin membawa aroma logam samar, seperti darah yang pernah tumpah namun belum benar-benar kering. Raka berdiri di balkon apartemennya, menatap langit yang tak lagi memberinya kedamaian. Di tangannya, laporan investigasi Reyhan—jurnalis yang menyamar sebagai petugas apartemen—telah membongkar lebih dari yang pernah ia bayangkan.

Tidak semua kematian di kompleks ini alami. Beberapa dirancang. Disusun. Dihilangkan.

Siang sebelumnya, Raka menyelinap ke kantor pengelola gedung yang hampir tak pernah dijamah. Di sana, ia menemukan berkas tua dalam map lusuh bertanda: “Catatan Insiden Warga”. Ia membacanya satu per satu.

  • 2004: Seorang pria paruh baya ditemukan tewas di tangga darurat. Disebutkan terpeleset. Namun ada luka di tengkuknya, mirip bekas suntikan.
  • 2008: Seorang ibu muda lompat dari lantai empat. Namun dalam rekaman Reyhan, ia terlihat dikejar oleh sosok berpakaian medis.
  • 2016: Seorang remaja hilang setelah mengeluh mendengar suara-suara dari lorong. Surat pernyataan orang tua menyebut “gangguan psikologis”, tetapi tidak ada riwayat medis sebelumnya.

Raka menggigit bibirnya, lalu menelusuri daftar penghuni yang pernah tinggal di unit-unit bertanda simbol merah—tanda yang selama ini ia lihat di pintu-pintu tertentu. Semuanya memiliki pola yang sama: mengalami “gangguan”, lalu menghilang… atau meninggal mendadak.

Ia mulai menyusun nama-nama itu, membuat peta korelasi.

Dan di tengah-tengah semuanya, muncul satu nama yang terus berulang dalam catatan staf pengelola dan laporan insiden:

Dr. Gunawan Prasetyo.

Sosok ini, yang sebelumnya hanya muncul dalam buku harian Nadia, ternyata memiliki peran yang lebih luas. Ia bukan hanya peneliti dalam proyek eksperimen psikologis. Ia adalah pengatur. Dalang.

Malam itu, Raka memutuskan untuk kembali ke ruang rahasia di balik cermin. Ia membawa kamera tersembunyi dan lampu UV untuk membaca tulisan tersembunyi. Di dinding, cahaya biru menampakkan tulisan samar:

“Yang melihat kebenaran harus bersiap menjadi bagian darinya.”

Ia melangkah lebih dalam ke ruangan yang sebelumnya tertutup rak tua. Di balik rak itu—sebuah pintu besi kecil tersembunyi. Berkarat, terkunci. Namun Raka berhasil membukanya dengan kunci cadangan dari Pak Sarman.

Ruang di balik pintu membuat darahnya membeku.

Sebuah ruang observasi.

Ada jendela satu arah. Di baliknya, meja besi dengan tali pengikat. Kamera pengintai. Mikrofon. Dan… tumpukan video tape dengan label tahun-tahun berbeda.

Ia memutar salah satu tape—dan melihat rekaman Nadia diikat di kursi itu, dipaksa menjawab serangkaian pertanyaan dengan nada tinggi. Suara seseorang—mungkin Dr. Gunawan—mengajukan pertanyaan seperti, “Apakah kamu masih bisa membedakan kenyataan dan bayangan?”

Raka ingin berhenti menonton. Tapi ia tahu—kebenaran tak bisa setengah jalan.

Tape berikutnya menunjukkan seseorang yang wajahnya tak asing—salah satu penghuni yang dinyatakan bunuh diri tahun 2011. Namun di sini, ia tampak sadar, panik, dan memohon-mohon… sebelum layar menjadi hitam.

Kematian mereka bukanlah takdir. Mereka dijadikan subjek. Dicoba. Diakhiri.

Raka sadar, dirinya kini masuk ke dalam daftar. Dan suara-suara di lorong, bisikan di malam hari, serta bayangan di balik cermin… semuanya hanyalah gejala awal dari sesuatu yang lebih besar yang akan menelannya juga.

Namun berbeda dengan korban sebelumnya, Raka takkan diam.

Ia akan mengungkap segalanya. Meski nyawanya taruhannya.

Bab 14 – Ujung Lorong

Lorong itu kini tak lagi sekadar lorong. Ia menjadi saksi bisu dari berbagai luka, bisikan, dan kematian yang tertutup debu waktu. Dan malam ini, Raka memutuskan untuk menapaki lorong itu sampai ke ujungnya—ke tempat di mana semuanya bermula, dan mungkin… akan berakhir.

Pukul 2:00 dini hari.
Langkah Raka bergema di lorong sempit yang remang. Lampu-lampu tua berkedip lemah, seolah ragu untuk menerangi jalan yang telah lama dilupakan.

Tangannya menggenggam senter dan rekaman video terakhir—yang menunjukkan sosok Nadia diseret menuju dinding belakang lorong. Namun Raka tahu, di balik dinding itulah rahasia sesungguhnya tersembunyi. Pintu rahasia itu tidak terlihat, tetapi Reyhan pernah menulis dalam laporannya: “Cari pola retakan pada bata keempat dari kanan, sepuluh langkah dari tikungan. Gunakan cahaya UV.”

Ia menyalakan lampu UV. Dan di sana, seperti ditulis dalam laporan, sebuah simbol samar muncul: lingkaran dengan garis vertikal menusuk ke bawah—simbol operasi rahasia.

Dengan hati-hati, ia menekan bagian retakan itu. Bunyi klik terdengar pelan, dan tembok di depannya perlahan bergeser ke samping, memperlihatkan lorong lain yang lebih sempit, lebih gelap… dan lebih sunyi.

Raka melangkah masuk.

Ruangan di ujung lorong tak lebih besar dari sebuah kamar tidur. Tapi isi di dalamnya membuat Raka nyaris kehilangan keseimbangan.

Di tengah ruangan, terdapat meja operasi tua berkarat. Tali pengikat masih tergantung di sisi-sisinya. Dinding-dinding dipenuhi coretan simbol dan catatan, beberapa dalam bahasa medis, sisanya seperti rangkaian kode yang tak ia pahami.

Di sudut ruangan, terdapat monitor lawas yang masih menyala. Layarnya berkedip, menampilkan fragmen-fragmen rekaman lama:
Sosok-sosok diikat. Wajah-wajah ketakutan.
Nadia.
Reyhan.
Dan… seseorang yang wajahnya sangat familiar. Dirinya sendiri.

Raka terpaku.

Di bawah layar monitor, sebuah folder lusuh berisi dokumen rahasia: hasil eksperimen yang dilakukan terhadap penghuni dengan trauma psikologis. Proyek ini disebut “Protokol Pantulan”—serangkaian tes psikologis ekstrem untuk menguji batas kesadaran dan realitas.

“Pasien yang paling responsif terhadap simulasi ruang sempit dan suara residual menunjukkan kemampuan ‘menarik pantulan masa lalu’. Lorong digunakan sebagai pemicu utama.”

Raka menelusuri dokumen dengan napas tercekat. Semuanya adalah bagian dari proyek ilegal yang telah dihentikan secara administratif, tetapi masih dilanjutkan diam-diam oleh individu tertentu.

Dan mereka semua, para korban—adalah kelinci percobaan yang dipilih secara sengaja.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari lorong belakang.

Raka mematikan senter. Ia menahan napas, menempel di dinding.

Seseorang masuk ke ruangan. Sosok tinggi dengan jas panjang dan topi gelap. Di tangannya, lampu kecil berwarna biru menyapu ruangan. Raka menyadari—dialah orang yang selama ini menghapus jejak.

Namun pria itu tak menyadari kehadiran Raka. Ia hanya berbicara pada dirinya sendiri.

“Yang terlalu dalam melihat, biasanya tak kembali.”

Ia menyalakan satu saklar. Dinding ruangan bergerak, memperlihatkan arsip ratusan rekaman operasi, lengkap dengan laporan kondisi psikologis para korban.

Dan di pojok ruangan, tersembunyi di balik tirai plastik… tubuh Reyhan, membeku dalam kapsul kaca. Masih utuh. Masih mengenakan seragam petugas apartemen.

Raka menggigit bibir. Ia menyalakan kameranya dan mulai merekam. Setiap sudut. Setiap dokumen. Wajah pria itu. Lalu ia mundur perlahan keluar dari ruangan, menutup kembali pintu rahasia.

Malam itu, ia tahu satu hal:

Kebenaran sudah di tangan. Tapi kini, nyawanya menjadi taruhannya.

Bab 15 – Sunyi yang Terungkap

Matahari baru saja terbit ketika Raka meninggalkan kompleks tua itu—bukan dengan rasa lega, melainkan dengan beban yang lebih berat dari sebelumnya. Di tangannya, sebuah flashdisk berisi rekaman terakhir dari ruang rahasia. Di punggungnya, luka gores yang ia dapatkan saat berusaha kabur dari pria berjubah hitam malam tadi.

Ia selamat. Tapi tidak utuh.

Hari itu, berita tentang eksperimen ilegal di kompleks apartemen Merpati meledak di media nasional. Rekaman yang dibawa Raka menjadi bahan utama investigasi. Wajah Dr. Gunawan tersebar luas, dan para penghuni yang dulu bungkam kini mulai bersuara. Beberapa mengaku pernah melihat “pasien” keluar tengah malam dari lorong belakang, dengan mata kosong dan langkah gemetar.

Raka menjadi narasumber utama dalam talk show investigatif. Ia bercerita dengan tenang, tetapi setiap kata yang keluar seolah mengguncang dirinya dari dalam. Ada luka yang tak terlihat, dan itu tertanam dalam… seperti jejak sunyi yang tak bisa dihapus.

Namun saat semuanya tampak mulai tenang—sunyi kembali datang.

Malam hari, di apartemen kecil yang ia sewa sementara, Raka duduk termenung. Ia menatap layar laptop yang kini memutar ulang rekaman dari kamera tersembunyinya. Tapi ada sesuatu yang berbeda.

Di ujung rekaman, saat ia merekam ruangan operasi, terdapat bayangan lain di balik kaca. Sosok itu tidak ada di sana saat ia merekamnya. Sosok itu… Nadia.

Ia berdiri di balik kapsul Reyhan, menatap ke arah kamera. Wajahnya tak lagi ketakutan, tetapi kosong. Matanya hitam pekat, dan bibirnya terbuka seolah hendak berbisik.

Raka menghentikan video. Dadanya sesak. Ia menoleh ke jendela, lalu ke cermin di kamar.

Dan di cermin itu—ia melihat sosok yang sama berdiri di belakangnya.

“Yang mengungkap sunyi… akan dibawanya masuk ke dalam.”

Suara itu tidak datang dari luar. Tapi dari dalam dirinya sendiri.

Raka mulai sering kehilangan waktu. Ia mendengar suara langkah di lorong padahal tinggal di lantai dua gedung baru. Ia mencium bau karbol, seperti di ruang operasi, setiap pukul 2:13 dini hari. Rekaman baru terus muncul di laptopnya—padahal ia tidak pernah menaruh kamera di tempat itu.

Ia mencoba berkonsultasi pada psikolog, tapi setiap kali hendak menjelaskan apa yang ia alami, kata-katanya seolah tercekik di tenggorokan. Seolah ada sesuatu yang tak ingin kebenaran itu keluar sepenuhnya.

Suatu malam, ia menerima pesan suara di ponselnya. Suara perempuan. Pelan. Serak.

“Terima kasih sudah membuka kebenaran… Tapi sekarang, kamu bagian darinya.”

Raka terdiam.

Ia menatap lorong kecil di luar apartemennya—lorong biasa yang tidak menakutkan. Tapi kali ini, di ujungnya, ia melihat pintu besi dengan simbol merah samar. Sama seperti yang pernah ia lihat dulu.

Dan saat ia mencoba memalingkan pandangan… pintu itu makin mendekat. Tanpa suara. Tanpa gerakan.

Hanya satu hal yang pasti:

Sunyi itu belum selesai. Ia hanya menunggu giliran untuk bicara.***

————————THE END———————-

Source: Shifa Yuhananda
Tags: EksperimenIlegalInvestigasiJurnalisJejakSunyiKebenaranYangMenakutkanMisteriLorongGelapRahasiaKompleksTuaSuaraDariLorongThrillerPsikologis
Previous Post

BAYANGAN TERAKHIR DI KOTA MATI

Next Post

BAYANGAN DI TENGAH KABUT

Next Post
BAYANGAN DI TENGAH KABUT

BAYANGAN DI TENGAH KABUT

JEJAK DARAH DI PADANG NERAKA

JEJAK DARAH DI PADANG NERAKA

BAYANGAN TERKAHIR DI CERMIN RETAK

BAYANGAN TERKAHIR DI CERMIN RETAK

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In