Bab 1: Titik Awal
Hujan mengguyur deras kota Berlin malam itu. Di balik derasnya air yang menetes dari atap-atap gedung tua, seorang pria berdiri tanpa payung, wajahnya tersembunyi di balik tudung jaket hitam yang lusuh. Matanya tajam mengamati setiap sudut jalan, namun tetap tenang. Ia adalah Arka, mantan agen khusus yang menghilang dari radar setelah operasi terakhirnya berakhir dengan pengkhianatan dari dalam.
Lima tahun telah berlalu sejak ia menanggalkan identitasnya. Kini, ia hanyalah bayangan dari masa lalu yang berusaha dilupakan. Tapi dunia yang ia tinggalkan ternyata belum selesai dengannya.
Dari kejauhan, sebuah mobil hitam berhenti perlahan di depan kafe tua yang sudah tutup. Lampunya mati. Seorang pria keluar dari dalam, mengenakan mantel panjang dan sarung tangan kulit. Langkahnya mantap, tapi penuh kehati-hatian. Ia masuk ke lorong sempit yang sudah ditentukan.
Arka mengikuti, diam-diam. Tidak butuh lebih dari dua menit sebelum mereka berhadapan.
“Lama tidak bertemu, Arka,” kata pria itu. Suaranya berat, namun ada nada respek yang tak bisa disembunyikan.
“Morris,” jawab Arka datar. “Kau yang menarikku keluar dari lubang ini?”
“Ada misi. Level merah. Tidak ada tim, tidak ada dukungan. Hanya kau,” jelas Morris, melemparkan amplop hitam yang basah karena hujan. Arka menangkapnya.
“Dan kenapa harus aku?” Arka menyipitkan mata.
“Karena ini bukan operasi biasa. Target kita bukan satu negara, bukan satu geng. Ini jaringan kriminal global yang menyusup ke lembaga-lembaga tinggi. Dan mereka mengenal semua agen kami… kecuali kau. Karena kau sudah mati—setidaknya di atas kertas.”
Arka menatap amplop itu. Jantungnya berdegup perlahan, bukan karena takut, tapi karena ia tahu—saat ia membuka amplop itu, tidak ada jalan kembali.
Ia membukanya.
Satu foto jatuh ke tangannya. Seorang pria berjanggut, dengan latar gedung tua di Rumania. Di belakangnya, emblem merah dengan huruf V.
“Valenko,” bisik Arka. “Aku pernah dengar nama ini.”
Morris mengangguk. “Dia bukan sekadar pemimpin kelompok. Dia monster. Dia dalang perdagangan manusia, senjata, bahkan bio-senjata di bawah tanah. Dan dia punya koneksi langsung ke pejabat-pejabat tinggi. Kami tak bisa sentuh dia dengan prosedur biasa.”
Arka memandangi foto itu lebih lama. Wajah pria dalam gambar seperti menatap balik, menantang.
“Apa misi ini punya nama?” tanya Arka.
Morris mendekat, berbisik. “Misi Tanpa Ampun. Masuk, hancurkan, lenyapkan. Tidak ada tawanan. Tidak ada diplomasi.”
Diam sesaat menguasai lorong itu. Hanya suara hujan yang menjadi saksi.
“Kalau aku gagal?” tanya Arka.
“Kau tidak akan gagal. Tapi kalau kau mati, kami akan menyangkal keberadaanmu. Seperti biasa.”
Arka mendesah pelan. Lima tahun ia berusaha hidup sebagai manusia biasa. Tapi nyatanya, ia bukan orang biasa. Ia dibentuk untuk menjadi mesin pertempuran, seorang pemburu bayangan yang tak terdeteksi.
“Berikan aku waktu tiga hari,” katanya akhirnya. “Setelah itu, aku akan bergerak.”
Morris menyelipkan flash drive ke saku jaket Arka. “Data awal ada di dalam ini. Target pertama: gudang senjata mereka di Lviv. Setelah itu, semua akan berkembang cepat. Mereka akan tahu kau datang… dan mereka tidak akan berdiam diri.”
Tanpa kata lain, Morris kembali ke mobil dan menghilang dalam gelap.
Arka berdiri di sana, menatap langit yang masih menyiramkan airnya. Tubuhnya diam, tapi pikirannya sudah berlari ke berbagai kemungkinan. Ia tahu: misi ini bukan hanya tentang membunuh target. Ini tentang menyingkap akar kebusukan yang telah lama dibiarkan tumbuh.
Ia berjalan perlahan menuju apartemen kumuh yang selama ini menjadi tempat persembunyiannya. Di dalam, ia membuka lemari besi tersembunyi di bawah lantai kayu. Di dalamnya: sepucuk pistol berlapis baja, sebuah jam tangan militer, dan sarung tangan hitam yang dulu menjadi bagian dari seragamnya.
Arka menatap cermin. Wajahnya keras, penuh luka masa lalu, tapi ada kilatan tekad yang menyala kembali di mata itu.
“Aku kembali,” gumamnya.
Dan dunia tidak akan pernah sama lagi.
Bab 2: Musuh Tanpa Wajah
Malam masih menyelimuti kota Lviv saat Arka tiba. Angin musim gugur berhembus tajam, menusuk hingga ke tulang. Stasiun kereta tua tempat ia turun terlihat sepi, hanya beberapa penjaga yang berkeliaran tanpa semangat. Dengan ransel kecil di punggung dan hoodie gelap menutupi wajah, Arka melebur dalam gelapnya malam. Tak ada sambutan, tak ada pengawalan. Ini bukan misi resmi—ini perburuan diam-diam.
Gudang senjata yang disebut dalam briefing berada di pinggiran kota, di sebuah kawasan industri yang sudah lama ditinggalkan. Tapi informasi dari flash drive menunjukkan tempat itu aktif kembali sejak dua bulan lalu, dijadikan titik distribusi senjata ke berbagai konflik bawah tanah di Eropa Timur dan Afrika.
Dalam lorong sempit di belakang bangunan tua yang retak, Arka menyusup dengan tenang. Ia memeriksa setiap sudut, mengandalkan naluri dan pelatihan bertahun-tahun yang membuatnya bisa membunuh dalam gelap tanpa suara. Beberapa kamera terpasang di sudut bangunan, tapi dengan alat jammer portabel kecil, sistem mereka lumpuh tanpa menyadarinya.
Saat ia mendekat ke gedung utama, suara mesin terdengar samar. Ada aktivitas di dalam. Arka menyelinap naik ke atap, mencari sudut pandang yang memungkinkan. Dari ventilasi yang terbuka, ia melihatnya—dua truk besar tengah dimuat dengan peti logam besar. Setidaknya lima pria bersenjata tampak berjaga, dan di tengah mereka, seorang pria tinggi berjubah panjang memberikan instruksi dalam bahasa Rusia yang cepat dan tajam.
Arka memotret wajah pria itu diam-diam. Ia mengakses database mini dalam smartwatch-nya—tak ada data. Wajah yang tak dikenal. Satu lagi “musuh tanpa wajah.” Ini ciri khas organisasi Valenko—pemimpin lapangan mereka tidak pernah memiliki identitas resmi. Semua bersih. Semua tidak terdata.
Tiba-tiba, suara alarm kecil berbunyi dari earpiece-nya. Detektor sinyal menangkap gelombang baru. Ada jaringan komunikasi aktif di bawah tanah—frekuensi rahasia militer. Arka mengernyit. Ini bukan sekadar tempat penyimpanan. Ini markas koordinasi.
Ia turun diam-diam dan mulai menyusup ke lantai bawah. Lewat celah-celah tua, ia masuk ke lorong yang gelap dan lembap. Dindingnya berlumut, namun ada jejak sepatu bot berat—baru. Di ujung lorong, cahaya redup menyala. Arka mengendap, pistol berperedam di tangan.
Ia melihat ruang kendali kecil. Di dalam, tiga operator duduk mengawasi peta digital interaktif. Mereka sedang menyampaikan koordinat serangan ke tempat lain—kemungkinan markas pemberontak atau gudang musuh mereka. Satu operator sedang membuka data tentang konvoi militer PBB yang akan lewat di Ukraina Selatan. Mereka merencanakan penyergapan.
Tanpa suara, Arka masuk. Tiga peluru keluar cepat—tiga tubuh tumbang tanpa sempat berteriak. Ia langsung mengunduh semua data dari server lokal ke drive khusus. Hanya butuh dua menit sebelum sistem auto-wipe terpicu, tetapi Arka lebih cepat.
Ledakan kecil terdengar dari atas—truk berangkat. Mereka tak tahu bahwa data telah dicuri.
Arka keluar dari lorong bawah tanah saat hujan mulai turun lagi. Ia bergerak ke gedung di seberang, naik ke lantai dua untuk mengambil posisi observasi dan menunggu. Dalam waktu satu jam, truk mulai meninggalkan area.
Saat itulah ia melihatnya.
Seseorang turun dari truk terakhir—tingginya hampir dua meter, bertubuh besar dan mengenakan jas hujan hitam. Wajahnya ditutupi topeng metalik separuh, dan tangannya membawa koper besar.
Arka membidik dengan teropong—dan mengenali lambang di koper itu. Simbol X merah dengan tiga garis menyilang. Senjata biologis.
Napas Arka menahan.
“Ini lebih besar dari yang kita duga,” gumamnya sendiri.
Truk itu pergi ke arah barat. Arka langsung mengirim pesan terenkripsi ke Morris:
“Target: Gudang aktif, markas komunikasi juga. Data transfer dimulai. Visual kontak dengan simbol X. Indikasi senjata biologis. Perlu penyelidikan lebih lanjut. Aku ikuti konvoi.”
Pesan terkirim, dan Arka bergerak turun. Misi kini berubah. Bukan hanya soal menghancurkan tempat ini. Tapi soal menghentikan sesuatu yang bisa membunuh ribuan orang… bahkan sebelum peluru pertama ditembakkan.
Ia melompat ke sepeda motor tua yang ia sembunyikan di gang, menyalakannya dengan cepat, dan mulai membuntuti konvoi dalam kegelapan.
Malam itu, perburuan dimulai. Musuh yang ia hadapi tidak punya wajah. Tapi mereka punya kekuatan, sumber daya, dan kehendak untuk menghancurkan dunia dalam senyap.
Dan Arka? Ia takkan memberi mereka kesempatan.
Bab 3: Jejak Berdarah
Arka membuntuti konvoi itu hingga fajar menyingsing. Jalanan berliku di wilayah perbatasan Polandia-Ukraina tampak sepi, dikelilingi hutan pinus yang rapat dan dingin. Truk-truk itu tidak menggunakan jalur utama. Mereka bergerak melewati jalan kecil yang tidak terdaftar di peta publik—sebuah indikasi kuat bahwa mereka membawa sesuatu yang sangat sensitif.
Ia menjaga jarak, memastikan lampu motornya tak terlihat. Dari alat pelacak yang ditempelkan di truk belakang tadi malam, ia memantau posisi mereka dengan presisi. Truk itu berhenti di sebuah gudang tua yang tertutup kabut pagi, di tengah daerah tanpa sinyal, tanpa pemukiman.
Arka menyembunyikan motornya di semak dan mendekat dari sisi barat, tempat reruntuhan bangunan lama bisa digunakan sebagai titik intai. Ia merayap melalui tanah basah, tangan terbenam dalam lumpur, aroma darah besi dari luka kecil di lengan kirinya masih segar setelah kontak semalam.
Saat ia mengintip melalui celah tembok, pandangannya membeku sejenak.
Di halaman gudang, para pria bersenjata bergerak seperti semut. Beberapa memuat peti ke dalam helikopter hitam tanpa tanda, sementara lainnya mengikat seseorang—seorang pria tua, dengan pakaian laboratorium. Ia terlihat babak belur. Wajahnya penuh memar, dan tangan kanannya dibalut kain darah.
Arka mengaktifkan lensa pengintai dan memperbesar wajah pria itu.
Dr. Adrian Solokov. Mantan peneliti senjata biologis Rusia yang hilang tiga tahun lalu. Kini ia ditemukan, diikat, dan kemungkinan dipaksa bekerja untuk organisasi ini.
Sebelum Arka sempat berpikir lebih jauh, suara tembakan terdengar dari dalam gudang.
Tiga mayat dilempar keluar. Dua pria, satu wanita. Wajah mereka ditutupi kain. Darah membentuk jejak dari pintu hingga ke tanah yang becek.
Arka menggertakkan gigi. Itu bukan eksekusi biasa. Itu pesan. Pesan untuk siapa pun yang melawan. Ia tahu, semakin dalam ia menyelam, semakin hitam air yang harus ia hadapi. Tapi jejak darah ini—mereka menuntunnya ke pusat neraka, dan ia tidak akan berhenti di pinggiran.
Ketika helikopter mulai menyala, Arka tahu waktunya terbatas. Ia memutar ke sisi timur, mendekati salah satu kontainer yang belum dikunci. Ia membius penjaga terdekat dengan jarum mikro-dart ke leher—sekejap dan sunyi. Lalu menyelinap masuk ke dalam kontainer.
Di dalam, ia menemukan tumpukan peralatan medis, tabung-tabung reagen, dan satu koper logam dengan sistem pengaman biometrik. Ia memindai cepat—senjata biologis. Labelnya tertulis dalam kode: VX-SYNTH-BL29. Arka merekam semuanya dengan kamera mikro di kancing bajunya.
Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat.
Tanpa suara, Arka meraih pisau kecil di boot dan bersiap.
Pintu kontainer terbuka. Seorang penjaga masuk—dan langsung ditarik ke dalam. Satu tebasan cepat. Tubuhnya jatuh tanpa suara. Arka menyamar dengan jaket penjaga itu, mengenakan helm, dan keluar dengan percaya diri, menyatu dengan lalu lintas musuh yang sibuk.
Namun tak lama setelah itu—seseorang berteriak. Mayat yang ia tinggalkan ditemukan. Suara alarm melolong. Sirene memecah kesunyian pagi.
Arka berlari ke arah hutan. Peluru menghujani udara di belakangnya. Ia melompat ke jurang kecil, mengguling, lalu meluncur ke semak dan menyelinap seperti bayangan.
Suara helikopter meningkat. Mereka mencari dari udara. Anjing-anjing dilepaskan. Tapi Arka sudah mengaktifkan rute pelarian yang ia siapkan sejak tadi malam: sungai kecil di balik bukit, dengan speedboat tersembunyi di balik pohon tumbang.
Ia menghidupkan mesin dan meluncur menyusuri sungai, sementara suara-suara pengejar tertinggal di belakang, samar dan frustasi.
Setelah dua kilometer, ia menepi di dermaga kayu tua, lalu menghilang ke desa kecil. Di sana, ia menggunakan pemancar rahasia yang ia tanam untuk mengirim laporan:
“Jejak berdarah ditemukan. Target membawa Dr. Solokov dan senjata biologis aktif. Rencana besar sedang berlangsung. Permintaan ekstraksi ditolak. Aku lanjut sendiri. Jejak ini harus dihabisi sampai ke akar.”
Arka menatap langit kelabu. Hujan mulai turun lagi. Dunia seperti ikut menangis… tapi dia tidak.
Karena dalam misi ini, belas kasihan adalah kelemahan. Dan ia sudah tak punya sisa kelemahan.
Bab 4: Kota Tanpa Hukum
Langit senja di atas Chișinău, ibu kota Moldova, berwarna merah darah. Asap tipis mengepul dari sudut-sudut gang sempit, dan suara mesin tua dari kendaraan lapuk bercampur dengan derap langkah kaki gelandangan, pengedar, dan tentara bayaran yang berkeliaran di jalanan gelap. Kota ini telah lama menjadi zona abu-abu—tempat keadilan dikubur dalam-dalam, dan kekuatan berbicara lewat senjata.
Bagi Arka, kota ini bukan tempat asing. Dulu, ia pernah mengejar buronan di sini, sebelum semua berubah. Sekarang, ia kembali, membawa informasi berbahaya tentang jaringan Valenko dan senjata biologis yang sedang dalam perjalanan. Dan menurut data yang ia ambil dari gudang di Lviv, pusat komunikasi bawah tanah organisasi itu beroperasi dari dalam kota ini—dari sebuah klub malam bernama “Vortex.”
Arka menjejakkan kaki di gang belakang tempat klub itu berada. Dari luar, Vortex tampak seperti klub biasa—lampu neon, antrean orang berdandan norak, dan musik menghentak. Tapi di balik lantai dansa dan botol vodka mahal, tersembunyi lorong rahasia yang hanya bisa diakses oleh orang-orang dalam.
Dengan menyamar sebagai tentara bayaran asal Serbia, Arka menyuap penjaga pintu dengan bundel dolar palsu yang cukup meyakinkan. Begitu masuk, dia langsung mencium aroma mesiu, keringat, dan parfum mahal yang menusuk.
Lantai dansa bergetar. Lampu strobo berkedip-kedip menyilaukan. Tapi Arka fokus. Matanya bergerak cepat, mencari wajah, gerak tubuh, kode.
Di sudut ruangan, ia melihat seorang pria berbadan besar, kulit penuh tato naga hitam, dan mata tajam seperti serigala. Ion Vladek. Nama itu muncul di data: distributor senjata, bos kecil yang mengatur arus informasi di Moldova untuk jaringan Valenko.
Arka mendekat perlahan, duduk di bar hanya beberapa meter darinya. Ia menyisip vodka murah, pura-pura tak peduli. Saat Vladek berdiri hendak ke belakang, Arka mengikutinya—melewati lorong sempit yang mengarah ke ruangan khusus dengan dua penjaga.
Satu penjaga berbalik. Sebelum ia sempat berkata, Arka sudah bergerak. Satu pukulan telak ke leher, satu tendangan ke lutut penjaga kedua. Mereka tumbang nyaris tanpa suara. Arka masuk ke dalam ruangan.
Di dalam, Vladek tengah membuka koper berisi dokumen. Ia mendongak, terkejut.
Satu detik. Dua detik.
Lalu pistol berperedam Arka sudah menempel di kepalanya.
“Jangan teriak,” bisik Arka.
“Tunggu—aku bisa jelaskan—” Vladek mencoba bersilat lidah.
“Di mana pengiriman senjata biologis itu?” Arka memotong cepat. “Ke mana mereka membawa Solokov?”
Vladek berkeringat. “Aku hanya operator. Aku tak tahu lokasi akhir. Tapi… mereka punya Black Room di bawah kota. Tempat penyimpanan, eksperimen, transaksi besar. Hanya orang tertentu yang bisa masuk…”
“Bawa aku ke sana.”
“Aku tak bisa. Kau tak tahu siapa yang—”
DOR! Arka menembak bahu Vladek.
Jeritan tertahan. Darah membasahi sofa kulit.
“Coba lagi,” desis Arka.
“Baik! Baik! Ada pintu masuk di bekas stasiun metro yang sudah ditutup. Di bawah klub lama, ‘Domina.’ Tapi tempat itu dikendalikan oleh satu orang…”
“Siapa?”
Vladek menatap Arka penuh ketakutan. “Mereka menyebutnya… Bayangan. Kau tak akan bisa mengalahkannya.”
Arka menarik napas dalam. “Kita lihat nanti.”
Ia menyambar flashdisk dari meja Vladek, lalu menonaktifkan kamera di ruangan itu. Sebelum pergi, ia menyuntikkan zat penenang ke leher Vladek—tidak membunuh, hanya membuatnya lumpuh sementara. Informasinya mungkin berguna nanti.
Malam semakin dalam saat Arka tiba di reruntuhan klub ‘Domina.’ Bangunannya tua, penuh grafiti dan sampah. Tak ada tanda kehidupan… di permukaan. Tapi Arka tahu: di bawah tanah, jantung jaringan ini berdetak.
Ia turun ke stasiun metro yang terkubur. Suara-suara gema langkah kaki terdengar dari kegelapan. Arka bergerak pelan, menyusup ke lorong bawah tanah seperti hantu. Setiap langkah dihitung. Ia tahu, satu suara bisa memanggil maut.
Di balik dinding tua, terdengar suara pria dan perempuan berbicara dalam bahasa Rusia kasar. Ia mengintip—dua penjaga, bersenjata lengkap. Dengan dua tembakan cepat, Arka menjatuhkan mereka.
Ia melangkah masuk ke dalam Black Room—ruang rahasia tempat organisasi itu menyimpan senjata, dokumen, dan mungkin… Solokov.
Tapi ruang itu kosong.
Hanya ada koper terbuka… dan tubuh tergantung dengan dada penuh luka bakar. Di dinding, tertulis dengan darah:
“Terlambat.”
Arka mengepal. Dadanya panas. Mereka tahu dia datang.
Dan sekarang… mereka menantangnya.
Bab 5: Bayangan yang Menyerang
Kabut di lorong bawah tanah semakin pekat. Lampu-lampu neon tua berkedip lemah, seperti berjuang melawan kegelapan yang menggigit. Arka berdiri di depan tulisan darah yang menempel di dinding: “Terlambat.”
Tubuh yang tergantung di langit-langit sudah tak bisa dikenali. Namun dari potongan identitas yang tertempel di rompinya, korban adalah Aleksey Morozov, informan dalam organisasi yang diduga berusaha membocorkan lokasi Solokov ke intel Eropa Timur. Mereka mengeksekusinya dengan brutal, dan Arka tahu siapa pelakunya.
Bayangan. Nama yang menghantui dunia bawah tanah. Seorang pembunuh bayaran yang tidak terikat negara, kelompok, atau moral. Dia hanya setia pada kontrak… dan kematian.
Arka memeriksa ruangan. Tak banyak yang bisa diambil. Komputer telah dibakar, dokumen hancur, dan satu-satunya jejak yang tersisa adalah pelat logam kecil di bawah meja, berukir: “Transit – Zona 5.”
Ia mengenal kode itu. Zona 5 adalah terminal pengangkutan senjata gelap di pinggiran pelabuhan Varna, Bulgaria. Jika Bayangan akan memindahkan Solokov, maka di sanalah semuanya akan terjadi.
Namun sebelum Arka bisa keluar dari lorong bawah tanah, suara desingan peluru membelah udara.
BRAT-BRAT-BRAT!
Dinding batu di sebelahnya hancur dihantam peluru otomatis. Arka menjatuhkan diri ke tanah, berguling ke balik pilar, dan membalas tembakan dengan pistol Glock-nya. Dari ujung lorong, muncul tiga siluet bergerak cepat, mengenakan pelindung tubuh gelap dan helm full-face.
Pasukan elit. Bukan preman biasa.
Arka melempar granat asap ke arah mereka, menciptakan tabir. Saat suara ledakan memekakkan telinga, ia berlari ke kanan, melompat ke saluran pembuangan. Kakinya menghantam air kotor yang dingin, tapi ia tetap berlari dalam lorong sempit itu, suara langkah musuh membuntuti dari belakang.
Dua tikungan kemudian, ia memutar dan bersandar di tembok. Napasnya cepat. Ia tahu mereka terlalu terlatih untuk dibiarkan hidup.
Ketika salah satu pengejar melewati sudut, Arka menariknya ke bawah dan menusuk pangkal helmnya dengan pisau pendek. Tubuh itu terhuyung dan jatuh. Dua lainnya langsung membalas dengan tembakan membabi buta.
Arka menjatuhkan granat kilat ke arah mereka—cahaya terang meledak, membuat musuh terguncang sesaat. Dalam momen itulah Arka menembak dengan presisi mematikan. Dua tubuh jatuh nyaris bersamaan.
Hening. Hanya suara gemericik air limbah dan napas Arka yang tersisa.
Tapi kemudian, seperti keluar dari bayangan lorong itu sendiri, seorang pria muncul. Tubuh tinggi, postur tegap, mengenakan jas taktis hitam tanpa emblem. Wajahnya tertutup topeng setengah, hanya mata kelamnya yang terlihat. Ia membawa pedang pendek di tangan kanan dan pistol di tangan kiri.
Bayangan.
“Aku harap kau tidak mati terlalu cepat, Arka,” katanya, dengan aksen yang sulit ditebak. “Kau membuat pengejaran ini jauh lebih menarik.”
Arka menyipitkan mata. “Kau sudah tahu aku ada di sini.”
“Kau membuat kebisingan seperti petir. Tentu saja.”
Bayangan bergerak lebih dulu—tembakan cepat ke arah kepala Arka. Ia berguling ke belakang tiang, membalas, tapi Bayangan terlalu cepat. Ia mendekat, mengayunkan pedangnya, hampir memenggal leher Arka.
Pertarungan berubah menjadi duel jarak dekat. Arka menangkis pedang dengan belatinya, suara logam beradu memekakkan telinga. Mereka saling tebas, pukul, lempar. Gerakan Bayangan bagaikan tarian kematian, presisi dan mematikan.
Arka sempat terkena goresan di dada, darah mulai mengalir. Tapi ia memanfaatkan kesempatan saat Bayangan menyerang terlalu lebar. Ia menangkap tangan musuh itu, memutar, dan menghantamkan kepala ke tembok. Bayangan terpental, tapi hanya sebentar.
Dengan kecepatan luar biasa, Bayangan menghilang ke lorong lain. Seperti hantu. Meninggalkan suara tawa rendahnya bergema di lorong-lorong bawah tanah.
“Tak akan ada yang selamat, Arka. Bahkan kau.”
Arka menatap kegelapan tempat Bayangan menghilang. Luka di dadanya terasa berdenyut, tapi pikirannya tetap tajam.
Ia mengaktifkan radio terenkripsi dan mengirim satu kalimat:
“Kontak pertama dengan Bayangan. Dia hidup. Bergerak ke Zona 5. Aku kejar.”
Lalu ia berdiri, membersihkan darah di pisau, dan melangkah kembali ke permukaan kota yang sudah mulai hening.
Langit mulai cerah… tapi bagi Arka, hari baru tak membawa terang.
Hanya semakin banyak bayangan yang harus dibunuh.
Bab 6: Pelabuhan Neraka
Langit pagi di pelabuhan Varna tampak suram. Kabut laut tebal menyelimuti dermaga, menelan deretan kontainer karat dan kapal-kapal kargo tua yang berlabuh dalam diam. Tak ada suara burung, hanya dentingan rantai, gemuruh mesin, dan bisikan angin asin yang membawa bau oli dan kematian.
Arka berdiri di atas atap gudang, mengamati pergerakan di bawah melalui teropong sniper. Matanya menyapu setiap sudut: truk lapis baja masuk melalui gerbang timur, penjaga bersenjata patroli bergiliran, dan di tengah-tengah kompleks pelabuhan itu—sebuah kapal kargo besar bertuliskan “STELLA NORD”, bendera Liberia, dengan lambung penuh bekas tembakan.
Menurut informasi Vladek dan petunjuk dari Black Room, Stella Nord adalah kapal pengangkut rahasia jaringan Valenko. Di sanalah Solokov kemungkinan besar dikurung. Tapi yang lebih penting: kapal itu membawa kontainer biologis—senjata kimia yang cukup kuat untuk melenyapkan satu kota.
Arka tahu dia harus bertindak sebelum kapal itu berlayar malam ini.
Dengan mengenakan jaket buruh pelabuhan dan wajah tertutup debu oli, Arka menyusup masuk dari sisi barat. Ia bergerak cepat tapi tenang, menyatu dengan hiruk pikuk aktivitas para pekerja dan tentara bayaran bayaran yang terlalu sibuk memindahkan kargo untuk mencurigai siapa pun.
Begitu sampai di belakang truk pengangkut, ia menyelinap masuk ke jalur belakang gudang penyimpanan. Di sana, ia memasang tiga buah C4 kecil yang sudah diprogram. Ledakan akan jadi pengalih perhatian saat ia menerobos ke kapal.
Jam menunjukkan pukul 13:00.
Arka bergerak ke dermaga utama. Dua penjaga berjaga di pintu masuk kapal Stella Nord. Ia tak membuang waktu. Sebuah pisau dilempar, menusuk leher yang satu, dan dalam waktu kurang dari dua detik, penjaga kedua dijatuhkan dengan teknik kuncian sunyi. Ia menarik tubuh-tubuh itu ke balik kontainer dan masuk ke kapal.
Di dalam, atmosfernya lebih mengerikan. Lampu remang-remang berkelip, dan suara derap sepatu bot terdengar dari dek bawah. Ia mengikuti arah suara, menuruni tangga sempit, dan akhirnya tiba di sebuah ruangan pendingin logam besar—bagian dari kontainer khusus yang dimodifikasi.
Di sana, melalui celah jendela kaca kecil, Arka melihat seseorang yang terikat di kursi besi, kepala tertunduk.
Solokov.
Masih hidup.
Namun sebelum Arka bisa bergerak lebih jauh, suara langkah berat mendekat. Ia mundur ke balik pilar besi, menunggu… lalu menyerang.
Tiga musuh bersenjata masuk. Arka melempar granat kejut—KRAK!—dan dalam sekejap, menembak dua musuh tepat di kepala. Yang ketiga sempat membalas, peluru menghantam bahu Arka, tapi ia tetap bergerak, melompat, dan menikam dada lawannya.
Napasnya terengah. Bahunya panas. Tapi Solokov harus diselamatkan.
Ia meretas panel pintu logam menggunakan alat kecil hasil curian dari Black Room. Dalam dua menit, kunci terbuka dan Arka masuk ke ruangan itu.
“Solokov!” bisiknya.
Pria itu mendongak—mukanya bengkak, darah kering di bibirnya. Tapi matanya menyala ketika melihat Arka.
“Sudah… terlambat…” gumamnya. “Bayangan… ada di kapal ini…”
Arka menyadari itu juga. Ia bisa merasakannya. Seperti hawa dingin yang menempel di kulit. Seperti predator yang sedang menanti dari balik bayangan.
Ia memotong tali di tangan Solokov. “Kita keluar dari sini. Sekarang.”
Namun sebelum mereka sempat keluar dari ruangan, semua lampu padam.
Lalu suara khas terdengar—tendangan kaki berlapis besi menghantam lantai, perlahan, mendekat.
Bayangan.
Dari ujung lorong gelap, siluet tinggi muncul. Kali ini, tanpa helm. Wajahnya terlihat: bekas luka panjang di pipi, dan mata setajam mata pisau.
“Arka. Kita berakhir di sini, seperti seharusnya,” katanya datar.
Arka mengarahkan pistol. Bayangan pun begitu.
Tembakan pertama—BRAT!
Keduanya saling menghindar, berlari di antara dinding sempit kapal. Arka menarik Solokov ke tempat perlindungan sementara.
“Ambil ini,” kata Arka, menyerahkan pistol cadangan ke Solokov. “Kalau aku jatuh, ledakkan kapal ini.”
Solokov menatapnya—ada rasa hormat dalam tatapannya. “Akan kulakukan.”
Arka keluar dari perlindungan. Tembakan saling bersahutan. Percikan peluru menghantam dinding. Bayangan menyerbu, menebas dengan pisau ganda. Arka nyaris tak bisa menghindar. Darah mengalir dari pelipisnya, tapi ia bertahan.
Akhirnya, saat Bayangan menyerang dari sisi kanan, Arka menarik pelatuk granat flash dan melemparkannya tepat ke wajah Bayangan.
BUUM! Ledakan cahaya membutakan seketika. Arka menebas dengan pisaunya—mengenai perut Bayangan.
Bayangan terjatuh. Berdarah. Tapi tertawa.
“Ini belum selesai…”
Arka menarik Solokov. Mereka berlari keluar kapal—dan dari jauh, dengan satu klik di alat pemicu, C4 meledak.
DUARRRR!!!
Kapal Stella Nord terbakar, langit Varna diselimuti ledakan oranye menyala. Tapi Arka tahu…
Bayangan belum mati.
Dan pertarungan mereka masih jauh dari selesai.
Bab 7: Di Balik Debu dan Darah
Langit di atas Varna memerah. Asap hitam dari ledakan Stella Nord membumbung tinggi, mencemari cakrawala yang seharusnya tenang. Sirene berbunyi di kejauhan, tanda pasukan keamanan lokal mulai mengepung area pelabuhan. Tapi Arka dan Solokov sudah berada jauh dari titik api, menumpang truk tua yang mereka rampas di jalan keluar dari dermaga.
Di dalam bak truk yang terbuka, Solokov memegangi luka di dadanya. “Dia… tak mungkin mati begitu saja,” desisnya sambil menahan nyeri.
Arka mengangguk pelan. Ia sendiri masih merasakan sensasi duel mereka di kapal—kecepatan Bayangan, tekniknya, dan terutama… tatapan mata penuh keyakinan bahwa semua yang terjadi hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar.
Mereka tiba di sebuah rumah perlindungan tua di luar kota. Sebuah bar yang tampak mati dari luar, tapi sebenarnya markas kecil milik jaringan intel independen. Di sana, Arka bertemu kembali dengan Nina, mantan teknisi militer yang kini jadi operator lapangan. Ia adalah satu-satunya orang yang bisa dipercaya Arka untuk membedah semua data dari kapal yang sempat ia curi sebelum ledakan.
Nina menghubungkan hard disk itu ke sistem servernya. Matanya menyipit saat layar dipenuhi dokumen terenkripsi, grafik, dan koordinat yang tersembunyi di balik baris kode.
“Ada banyak data. Tapi ini yang paling mencolok,” katanya sambil menunjuk peta digital. “Ada lokasi pemindahan di timur—di zona militer terbengkalai, dekat perbatasan Turki.”
Arka mengenali tempat itu. Dulu basis latihan pasukan khusus Soviet, sekarang jadi area tak bertuan. Lokasi sempurna untuk menyembunyikan sesuatu… atau seseorang.
“Bayangan akan menuju ke sana,” ucap Arka mantap. “Dan dia tak akan sendirian.”
Malamnya, Arka berdiri sendirian di atap bangunan itu. Luka di tubuhnya diperban seadanya, tapi pikirannya terus terjaga. Ia tahu semua ini bukan hanya soal menyelamatkan Solokov. Ini tentang menghentikan rantai kematian yang sudah terlalu panjang. Valenko, Bayangan, dan jaringan hitam yang menyusup ke dalam sistem global—semuanya bermuara pada satu hal: kekuasaan mutlak lewat ketakutan.
Langkah kaki lembut terdengar di belakang. Nina muncul, membawa secangkir kopi dan selembar foto.
“Dari data yang sempat kau ambil,” katanya pelan. “Kami mengenali satu wajah yang selalu muncul bersama Bayangan.”
Arka menatap foto itu—seorang pria tua dengan bekas luka di pelipis kiri, duduk di ruang konferensi. Tak asing. Tapi butuh waktu untuk mengingat.
Lalu jantungnya berdebar.
Jenderal Mikhail Zorin. Mantan atasan Arka. Lelaki yang ia pikir sudah mati dalam operasi hitam di Dagestan bertahun-tahun lalu. Tapi foto ini… tanggalnya hanya dua minggu lalu.
“Dia hidup?” gumam Arka.
“Dan mungkin dialah pemilik sesungguhnya dari semua ini,” ujar Nina. “Bayangan hanyalah eksekutor. Dalangnya… mungkin lebih dekat dari yang kita kira.”
Arka menggenggam foto itu erat. Ingatannya membuncah—tentang misi yang gagal, tentang rekan-rekannya yang dihancurkan oleh pengkhianatan di dalam tubuh sendiri.
“Kalau begitu… ini lebih dari sekadar misi,” katanya lirih.
Nina menatapnya tajam. “Ini balas dendam?”
Arka menoleh. “Ini keadilan.”
Beberapa jam kemudian, Arka bersiap. Ia mengganti pakaian tempur, menyusun perlengkapan: senapan laras pendek, pisau taktis, granat asap, dan satu peluru khusus dengan ukiran di cangkangnya—peluru yang ia simpan hanya untuk satu orang.
Solokov menghampiri. Meski tubuhnya masih lemah, sorot matanya sudah kembali seperti dulu—dingin dan siap membalas.
“Kalau kau akan ke sana, kau tak akan pergi sendiri,” ucap Solokov.
Arka menatapnya. “Kau butuh istirahat.”
Solokov tersenyum kecut. “Sudah cukup aku jadi target. Sekarang aku ingin menjadi peluru.”
Keduanya saling tatap. Tak butuh banyak kata. Mereka tahu apa yang akan dihadapi.
Di luar, truk tua telah disiapkan kembali. Mesin meraung pelan saat Arka dan Solokov naik. Nina menyerahkan peta dan koordinat terakhir.
“Kalian harus sampai sebelum fajar. Kalau tidak, tempat itu akan menghilang kembali… seperti hantu.”
Arka mengangguk. “Kita akan datang seperti badai.”
Saat truk melaju menuju timur, jalanan gelap menyambut mereka.
Di balik debu dan darah, mereka menuju pertarungan terakhir.
Bab 8: Zona Perburuan
Fajar baru saja menyentuh cakrawala saat Arka dan Solokov tiba di perbatasan bekas zona militer Timur. Hamparan hutan pinus tua berdiri seperti dinding diam, menyembunyikan puing-puing bangunan beton dan bunker yang tertutup lumut. Udara di tempat itu terasa berat, bukan hanya karena kelembapan, tapi karena kenangan yang terkubur—tempat pelatihan keras, dan juga tempat kematian bagi banyak rekan mereka.
“Dulu kita dilatih untuk membunuh di sini,” gumam Solokov sambil memandangi lapangan berumput yang kini ditumbuhi ilalang liar. “Ironis… kita kembali untuk mati atau membunuh lagi.”
Arka mengangguk, tak menjawab. Fokusnya hanya satu: menemukan Bayangan dan mengakhiri semuanya sebelum rencana mereka berjalan.
Mereka bergerak cepat melintasi zona, mengenakan kamuflase ringan. Di titik koordinat yang diberikan Nina, mereka menemukan jejak—ban kendaraan berat, jejak sepatu militer, dan sisa-sisa bungkus amunisi kaliber tinggi.
“Markas mereka tidak jauh,” bisik Arka. “Mereka ada di sini.”
Di balik reruntuhan hanggar lama, mereka mengintai. Sebuah bunker bawah tanah besar dengan dua menara pengawas berdiri aktif. Enam penjaga bersenjata patroli di sekitarnya, dan dua drone terbang rendah memantau pergerakan sekitar.
Arka mempelajari pola pergerakan.
“Jika kita masuk dari belakang selokan tua, kita bisa menembus ruang bawah tanpa terdeteksi.”
Solokov mengangguk. Luka di dadanya masih membatasi geraknya, tapi tekadnya lebih kuat dari rasa sakit.
Mereka menyelinap melalui terowongan yang dulu digunakan untuk jalur evakuasi. Bau besi tua dan tanah basah menyambut mereka. Di dinding terowongan, bekas coretan pelatihan masa lalu masih terlihat samar. Nama-nama prajurit yang sudah lama mati. Sekarang mereka berjalan di atas bayang-bayang itu, menjadi pemburu dan sekaligus hantu.
Di dalam bunker, suasananya berbeda. Dinding logam, lampu redup, dan suara-suara perintah militer dalam bahasa Rusia terdengar dari radio yang terpasang di pos. Arka melumpuhkan dua penjaga diam-diam, lalu menempatkan jammer sinyal di ruang kendali komunikasi.
“Sekarang mereka buta,” katanya.
Mereka masuk lebih dalam—sampai akhirnya menemukan sebuah ruangan luas, penuh dengan layar monitor dan meja komando. Di sana, berdiri Bayangan—dan di sampingnya, Jenderal Zorin.
“Kita kedatangan tamu,” kata Zorin sambil berbalik. Matanya yang dingin menatap Arka tanpa kejutan.
“Tidak mudah mencarimu, Zorin,” ujar Arka.
“Karena aku tak ingin ditemukan. Tapi kau keras kepala, Arka. Seperti ayahmu.”
Pernyataan itu menghentikan langkah Arka sejenak.
“Ayahmu ikut dalam proyek ini jauh sebelum kau tahu apa pun tentang dunia ini. Dia juga pemburu. Tapi dia gagal.”
Arka menahan amarah. “Dia dibunuh oleh sistem yang kau bangun.”
Zorin tertawa. “Dia dihancurkan oleh ambisi. Sama seperti yang akan terjadi padamu.”
Bayangan bergerak. Pisau ganda ditarik dari sabuknya. Solokov langsung mengangkat senapan dan menembak—BRAK!—Bayangan menghindar, lalu menyerang dalam kecepatan yang sulit dipercaya.
Pertarungan meledak di ruang komando. Arka berhadapan langsung dengan Bayangan—pukulan, tendangan, dan sabetan pisau berdentang di antara logam dan suara alarm yang mulai berbunyi. Solokov menembak pasukan yang masuk dari luar ruangan, melindungi Arka sebisa mungkin.
Bayangan berhasil menyayat lengan Arka, tapi Arka menahan sakit dan membalas dengan tusukan ke bahu kiri lawannya. Keduanya terjatuh dan saling bergumul. Di saat itulah, Bayangan membuka helmnya sepenuhnya—dan wajahnya terungkap.
Dia adalah Vladislav, prajurit senior yang dulu satu tim dengan Arka di operasi terakhir sebelum semuanya hancur. Ia diyakini mati dalam penyergapan. Tapi sekarang, ia berdiri sebagai algojo musuh.
“Kenapa kau?” tanya Arka dengan suara nyaris tak terdengar.
“Mereka meninggalkanku. Aku hanya bertahan,” jawab Vladislav—datar, tapi matanya penuh kemarahan.
“Dengan membunuh semua yang dulu kau lindungi?”
“Dunia ini tak butuh pahlawan, hanya predator.”
Arka tak bisa lagi berdebat. Ia menarik pisau dan menghujam dada Vladislav. Lawannya mengerang pelan… lalu diam. Kali ini, benar-benar mati.
Zorin mencoba melarikan diri, tapi Solokov menodongkannya dari belakang. “Kau bukan predator, Jenderal. Kau cuma bangkai yang menunggu dibakar.”
Arka berdiri, darah menetes dari pipinya. “Tutup pintunya.”
Dengan suara klik dari detonator kecil, seluruh sistem bunker dikunci. Arka dan Solokov keluar dari sana… sebelum ledakan besar meruntuhkan markas itu ke dalam tanah.
Langit kembali senyap. Tapi mereka tahu—masih ada satu langkah terakhir.
Bab 9: Darah dan Hantu Lama
Ledakan dari bunker menggema jauh hingga ke perbukitan. Debu masih beterbangan saat Arka dan Solokov bergegas menjauh dari lokasi. Mereka tak bicara satu kata pun—masih tenggelam dalam perasaan kosong setelah konfrontasi brutal dengan Bayangan dan pengkhianatan dari Vladislav, kawan lama yang kini telah berakhir di ujung pisau Arka.
Namun, misi mereka belum selesai.
Di tangan Arka, sebuah drive kecil—diselipkan Vladislav dalam saku dadanya sebelum mati—menyimpan informasi terakhir tentang rencana Zorin. Lokasi yang belum disentuh. Satu tempat yang bisa mengungkap segalanya.
Di sebuah rumah tua tak bernama di tepian Danau Baikal, Arka memutar isi drive tersebut. Data itu terkunci dengan sistem enkripsi biometrik, dan satu-satunya cara membukanya adalah menggunakan mata Vladislav—yang kini sudah mati.
“Aku tahu tempat yang punya teknologi untuk bypass ini,” ucap Solokov sambil memandangi layar.
“Di mana?”
“Almaty. Bekas laboratorium bawah tanah yang dulu dipakai proyek AI militer. Sekarang jadi ladang hantu, tapi teknologinya masih tersisa.”
Arka tak ragu. Mereka segera menuju perbatasan dengan menggunakan truk baja lapis ringan yang dirampas dari lokasi bunker. Di dalam perjalanan, Arka mulai mengingat semua yang telah ia lalui: wajah rekan-rekannya yang gugur, perintah yang selalu menuntut, dan bagaimana ia akhirnya menyadari bahwa misi ini bukan hanya soal balas dendam… tapi untuk menghentikan warisan kehancuran dari generasi sebelumnya.
Saat malam jatuh dan kendaraan mereka melintasi gurun es Kazakh, Arka memejamkan mata. Namun tidur tak datang. Ia kembali mendengar suara ayahnya, dalam ingatan samar ketika masih kecil.
“Jangan jadi pahlawan, Arka. Jadilah pelindung. Pahlawan mati cepat. Pelindung hidup untuk menyelesaikan cerita.”
Laboratorium di Almaty lebih menyerupai kota mati daripada pusat riset. Bangunan beton besar tertutup salju, dan hanya satu pintu bawah tanah yang masih bisa dibuka—dengan sistem tangan manual.
Mereka turun perlahan. Udara pengap dan bau logam memenuhi lorong-lorong bawah tanah. Di sana, mereka menemukan ruang komputer besar, masih dialiri tenaga dari generator otomatis yang entah kenapa tetap menyala.
Solokov menyambungkan drive. Sistem mulai membaca data… dan dalam hitungan menit, peta dunia muncul dengan beberapa titik merah menyala.
“Ini bukan cuma tentang satu lokasi,” ujar Arka perlahan. “Zorin sudah menyebarkan protokol mereka ke banyak negara—lewat intel palsu, persenjataan bayangan, dan unit sleeper.”
Salah satu titik merah berkedip intens di Eropa Timur—dekat perbatasan Serbia dan Hungaria. Arka memperbesar peta. Sebuah kompleks yang disamarkan sebagai panti rehabilitasi veteran.
“Di sanalah dia sekarang,” ucap Arka. “Pusat pengendali.”
Namun, sebelum mereka bisa menyalin data, sistem mendeteksi intrusi. Suara alarm menggema, dan layar menampilkan satu kata: ZORIN MENGETAHUI.
“Dia melacak drive ini!” seru Solokov.
Tembakan tiba-tiba menghantam dinding luar laboratorium. Satu tim bersenjata lengkap memasuki gedung, memaksa Arka dan Solokov bergerak cepat. Mereka memutuskan mundur melalui jalur evakuasi lama yang sudah runtuh sebagian.
Dalam pelarian itu, Solokov terkena peluru di pahanya. Ia jatuh, dan musuh mulai mengepung mereka.
“Aku bisa tahan di sini. Kau lanjutkan,” ucapnya, mencoba bangkit meski darah mengalir deras.
“Tidak ada yang tertinggal,” sahut Arka.
Namun, suara-suara langkah musuh makin dekat.
Solokov memandangnya. “Kalau kau mati di sini, semua yang kita lakukan sia-sia. Pergi, Arka!”
Dengan enggan, Arka menyerahkan granat asap, memberi Solokov perlindungan. Ia menyusup keluar melalui ventilasi sempit dan berhasil mencapai permukaan, membawa data yang sudah tersalin dalam chip cadangan.
Dari kejauhan, ia melihat kilatan api dan ledakan kecil—Solokov bertahan, tapi kemungkinan besar ia telah ditangkap… atau lebih buruk.
Arka naik ke kendaraan cadangan dan menghilang ke malam, menuju titik terakhir: Serbia.
Dalam kabin kecil di perbatasan, Arka duduk menatap chip data di tangannya. Hantu-hantu masa lalu terus menghantuinya—Vladislav, Zorin, bahkan Solokov.
“Darah ini… akan menuntut jawaban,” gumamnya.
Ia tahu, pertarungan terakhir sudah menunggu. Tapi untuk menang, ia harus menjadi lebih dari pemburu. Ia harus menjadi bayangan bagi mereka yang mengira bisa bersembunyi di balik kekuasaan.
Bab 10: Balas dengan Darah
Arka terbaring di tanah, tubuhnya terasa berat, darah yang mengalir dari lukanya membasahi tanah dingin di sekelilingnya. Suasana sepi, hanya suara desahan angin yang terdengar di tengah kehancuran. Baru saja, ia melarikan diri dari serangan yang nyaris menghabisinya—sebuah jebakan yang sudah dipersiapkan dengan sangat sempurna. Di titik inilah, dalam kegelapan malam, Arka menyadari bahwa pengkhianatan itu jauh lebih dekat daripada yang ia bayangkan.
Malam sebelumnya, dia telah berhasil melaksanakan misi utama: mengeliminasi seorang pemimpin kunci dalam jaringan musuh yang dikenal dengan sebutan The Serpent. Namun, setelah serangan yang mengejutkan itu, dia tahu bahwa musuhnya tidak hanya sekadar organisasi kriminal—mereka lebih dari itu. Mereka adalah kekuatan yang bisa beradaptasi, yang mengetahui setiap langkahnya bahkan sebelum ia melangkah.
Pergeseran pandangannya terganggu oleh suara langkah kaki yang mendekat. Arka menyentuh luka di perutnya dengan tangan kiri, mencoba menahan rasa sakit yang menjalar. Pencapaian yang dirasakannya kini seakan sia-sia. Kepercayaan yang ia berikan kepada seseorang dalam timnya ternyata adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya.
Itulah yang Arka rasakan—kecurigaan terhadap orang yang paling ia percayai selama ini ternyata benar. Niko. Seseorang yang ia anggap sahabat dan sekutu dalam misi ini. Seorang pengkhianat.
Langkah kaki itu semakin dekat, dan Arka berusaha mengumpulkan tenaganya. Matanya mulai terfokus pada sosok yang berjalan di hadapannya, wajahnya setengah tersembunyi oleh bayang-bayang gelap. Arka mengenali suara langkah itu—pria yang sudah lama menjadi teman sejatinya. Tapi kali ini, kehadirannya membawa ancaman, bukan perlindungan.
“Niko…” suara Arka terdengar parau, nyaris tidak terdengar, namun cukup untuk menarik perhatian pria itu.
Niko berhenti beberapa langkah di depannya, wajahnya masih tertutup bayang-bayang. Arka tahu, meskipun Niko tidak mengatakan apa-apa, ekspresi di balik wajahnya sudah cukup mengungkapkan segalanya.
“Kenapa, Niko? Kenapa kamu lakukan ini?” tanya Arka dengan suara yang tertahan.
Niko mendengus, mengangkat bahunya seolah tak ada beban. “Kamu terlalu naif, Arka. Dunia ini tidak sesederhana yang kamu bayangkan. Kita berada di ujung pisau, dan ada orang yang lebih berkuasa dari kita berdua. Mereka yang memberi kita perintah, mereka yang mengatur permainan. Kamu hanya alat, sama seperti yang lain.”
“Alat?” Arka mengulang kata itu dengan kesal, mencoba bangkit meskipun tubuhnya tak kuasa lagi. “Aku bukan alat, Niko. Aku memilih jalan ini. Jalan yang lebih… manusiawi.”
“Terserah bagaimana kamu menyebutnya,” jawab Niko dingin. “Pada akhirnya, kita semua hanya alat. Pahlawan atau penjahat, itu hanya ilusi.”
Dengan satu gerakan cepat, Niko mengarahkan senjata ke kepala Arka. Dalam dunia yang penuh pengkhianatan dan kebohongan ini, Arka tahu bahwa tidak ada yang bisa diharapkan lagi dari siapa pun. Mereka yang berpikir bahwa mereka akan keluar dari permainan ini hidup-hidup, mereka yang terlalu percaya diri, pada akhirnya akan menjadi korban.
Namun, Arka tidak gentar. Satu hal yang ia pelajari dalam bertahun-tahun menjadi agen bayangan adalah, dalam keadaan seperti ini, hanya ada dua pilihan—membunuh atau dibunuh.
“Tembak aku jika kamu mau, Niko,” kata Arka, matanya menatap tajam ke dalam mata Niko. “Tapi ingat, aku akan datang menagihnya. Balasannya akan datang. Dengan darah.”
Niko terdiam sejenak, ragu. Beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, keduanya saling memandang, seolah mencoba menemukan petunjuk di antara bayang-bayang yang mengelilingi mereka. Akhirnya, Niko menurunkan senjatanya, tetapi hanya untuk sesaat.
“Aku bukan temanmu lagi, Arka,” Niko berkata dengan suara pelan, tapi penuh kepastian. “Kamu sudah dipilih untuk tujuan yang lebih besar. Dunia ini butuh lebih dari sekedar pembalasan.”
Tanpa peringatan, Niko mundur beberapa langkah, meninggalkan Arka yang terbaring dalam luka-luka yang dalam. Arka menatap kepergian Niko dengan perasaan yang campur aduk—marah, kecewa, tapi juga sedikit lega. Satu musuh besar telah keluar dari lingkaran, meskipun harga yang harus dibayar sangat mahal.
Arka berusaha bangkit, merasakan perih di setiap gerakannya, namun ia tahu satu hal: misi ini masih jauh dari selesai. Keputusan Niko untuk meninggalkannya hanya memperjelas satu hal—saat ini, tidak ada yang bisa dipercaya. Dan sekarang, ia akan melawan sendirian.
Dengan napas yang berat, Arka menggenggam senjatanya dan berjalan ke arah yang berlawanan, siap untuk meneruskan perjalanannya—membalaskan semua pengkhianatan dengan darah. Ini bukan lagi tentang misi. Ini tentang hidup dan mati. Tentang siapa yang akan keluar hidup-hidup dari permainan ini.
Di dalam hatinya, ia tahu. Balas dengan darah—hanya itu yang bisa ia lakukan.
Bab 11: Operasi Pembalasan
Arka berdiri di depan jendela yang menghadap ke kota yang masih diselimuti kabut pagi. Hati dan pikirannya bertarung antara dua hal: amarah yang membara dan kewajiban yang harus dipenuhi. Setiap langkah yang ia ambil sejak malam itu hanya membawanya pada satu titik: Pembalasan. Tidak ada pilihan lain. Dunia yang telah ia kenal dan hidupkan selama ini tidak lagi ada, yang ada hanyalah bayangan masa lalu yang terus membayanginya.
Setelah melarikan diri dari konfrontasi dengan Niko, Arka memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya sendirian. Tidak ada tim. Tidak ada bantuan. Yang ada hanya dirinya, senjata, dan tekad yang tak terbendung. Dalam dunia ini, Arka tahu satu hal: hanya yang terkuat yang bisa bertahan. Dan sekarang, ia harus menjadi yang terkuat.
Pagi itu, ia duduk di meja, memandang peta yang terbentang di hadapannya. Peta yang menandai lokasi-lokasi kunci dari organisasi musuh—markas mereka, jalur pasokan senjata, dan pusat kendali yang sangat dijaga ketat. Seluruh informasi itu ia peroleh dari sumber yang tak lagi bisa ia percayai, tapi dia tidak punya pilihan. Setiap langkah yang ia ambil akan semakin mendekatkan pada operasi besar yang direncanakannya. Operasi pembalasan.
“Kita harus menghancurkan mereka dari dalam,” Arka bergumam pada dirinya sendiri, memeriksa kembali peralatan yang ada. Setiap gerakan di peta ini harus dihitung dengan presisi, karena sekali ia melangkah, tidak ada ruang untuk kesalahan.
Tepat di saat itulah, pintu ruangan diketuk. Arka menoleh dan melihat seorang pria mengenakan jas gelap masuk. Sosoknya tenang dan penuh perhitungan—seorang ahli strategi yang selalu tahu cara untuk keluar dari situasi yang sulit. Nama pria ini adalah Rainer. Arka mengenalnya dari masa lalu—seorang pemimpin militer yang sempat dipanggil untuk beberapa misi besar yang melibatkan infiltrasi dan pengambilalihan. Rainer adalah orang yang bisa diandalkan, meskipun sulit untuk memercayainya sepenuhnya.
“Arka,” Rainer memulai, suaranya dalam dan tegas. “Kamu sudah mempersiapkan semuanya?”
Arka mengangguk. “Tugas kita kali ini bukan sekadar operasi—ini adalah pembalasan. Saya tidak bisa memaafkan apa yang mereka lakukan. Terlalu banyak nyawa yang hilang karena pengkhianatan mereka.”
Rainer mendekat dan menatap peta yang terbentang di meja. “Kamu tahu bahwa ini akan sulit. Mereka memiliki jaringan yang sangat luas, dan tidak semua dari kita akan selamat. Tapi jika kita berhasil, kita akan menghancurkan organisasi ini hingga ke akar-akarnya.”
“Tidak ada pilihan lain,” jawab Arka, menatap mata Rainer dengan penuh keyakinan. “Mereka tidak hanya mengkhianati kita. Mereka menghancurkan segalanya. Semua yang saya perjuangkan selama ini. Ini lebih dari sekadar misi. Ini adalah penebusan.”
Rainer menundukkan kepala, seakan merenung. “Kita bisa mulai dari sini.” Ia menunjuk lokasi markas utama musuh di peta. “Ini adalah pusat komando mereka. Kita harus menghancurkannya terlebih dahulu, sebelum mereka memiliki kesempatan untuk melarikan diri atau menyembunyikan jejak mereka.”
Arka mengangguk. “Aku tahu. Tapi ini bukan hanya soal menghancurkan bangunan mereka. Kita harus menutup semua jalur pelarian mereka. Semua komunikasi mereka harus terputus. Hanya dengan begitu, mereka tidak akan bisa beroperasi lagi.”
Setelah beberapa jam berdiskusi, mereka merancang operasi besar yang melibatkan serangan simultan ke beberapa titik strategis di seluruh dunia. Arka tidak ingin ada ruang untuk kesalahan. Setiap orang yang terlibat dalam operasi ini adalah petaruhan hidup dan mati. Tim yang ia bentuk terdiri dari individu-individu yang ia percayai, dan mereka harus siap untuk menghadapi bahaya terbesar dalam hidup mereka.
Malam itu, mereka memulai perjalanan menuju lokasi pertama yang akan diserang. Arka dan timnya bergerak dengan hati-hati, menggunakan segala macam teknik penyusupan untuk memastikan bahwa musuh tidak menyadari kehadiran mereka. Mereka menyusup melalui saluran bawah tanah, menghindari radar musuh, dan bergerak dengan kecepatan yang luar biasa.
“Posisi pertama aman,” kata salah satu anggota tim setelah memverifikasi komunikasi. “Kita siap untuk serangan.”
Arka menatap layar monitor yang menunjukkan gambar dari titik yang mereka tuju. Ini adalah waktu yang telah lama ditunggu. Sebuah ledakan kecil terdengar dari jauh, diikuti oleh kedipan cahaya yang menandakan bahwa operasi pertama mereka telah dimulai. Semua tim bergerak serentak, menyergap musuh dari berbagai arah.
Namun, begitu mereka memasuki markas, mereka disambut dengan perlawanan yang jauh lebih hebat dari yang mereka bayangkan. Musuh telah mengetahui serangan itu sebelumnya, dan mereka siap melawan. Arka merasakan ketegangan yang luar biasa. Ini bukan hanya tentang menghancurkan markas mereka—ini adalah perang penuh yang dimulai dengan satu tembakan, satu keputusan yang membawa mereka ke garis depan.
“Sial!” Arka menggertakkan giginya, merunduk di balik tembok untuk menghindari peluru yang melintas. “Rainer, apa rencananya?”
Rainer menyarungkan senjatanya, melihat situasi sekelilingnya dengan cepat. “Kita butuh jalan keluar. Segera!”
Operasi pembalasan ini sudah jauh melampaui apa yang pernah Arka bayangkan. Ini bukan lagi sekadar misi—ini adalah perang. Dan kali ini, dia tidak akan berhenti sebelum semuanya selesai.
Berdetak detik waktu, Arka merasakan darahnya mendidih. Tidak ada yang bisa menghentikannya sekarang. Tidak ada yang bisa menghalanginya.
“Lanjutkan serangan!” perintahnya dengan suara yang tegas. “Kita tidak mundur.”
Dan dengan itu, mereka melanjutkan serangan, bersiap untuk menghancurkan segalanya di jalan mereka.
Bab 12: Antara Hidup dan Mati
Ledakan besar mengguncang seluruh bangunan, memekakkan telinga Arka. Debu dan serpihan beton terbang di sekelilingnya, menutupi pandangannya, namun ia tetap melangkah, bergerak dengan cepat meskipun rasa sakitnya semakin parah. Ada rasa yang familiar dalam dirinya, sebuah perasaan yang sudah lama hilang—ketakutan akan kematian yang semakin mendekat. Di sinilah ia berada: di garis depan pertempuran, di antara hidup dan mati.
Timnya, yang terdiri dari anggota terbaik, telah terpisah setelah ledakan pertama. Arka tahu mereka sedang menghadapi perlawanan sengit, lebih berat daripada yang mereka perkirakan. Musuhnya telah bersiap, mengantisipasi setiap gerakan mereka. Setiap lorong yang mereka masuki dipenuhi dengan jebakan mematikan, dan setiap langkah yang diambil harus dihitung dengan presisi.
Namun, di tengah ketegangan ini, ada satu hal yang Arka ketahui dengan pasti: ia tidak akan mundur. Tidak lagi. Misi ini telah menjadi bagian dari dirinya—dan misi ini harus selesai, tidak peduli berapa banyak nyawa yang harus dipertaruhkan.
“Arka, situasi semakin buruk! Kita butuh waktu lebih lama untuk membersihkan lantai ini!” teriak salah satu anggota tim dari komunikasi radio.
“Tidak ada waktu! Kita harus terus maju!” jawab Arka tegas. “Kita ambil alih pusat kendali mereka. Semua jalur komunikasi mereka harus terputus sekarang!”
Ia mempercepat langkahnya, berlari menyusuri lorong yang hampir gelap. Lampu-lampu di sepanjang dinding berkelap-kelip, dan Arka mendengar langkah-langkah berat yang semakin dekat. Tanpa peringatan, dua pasukan musuh muncul dari balik pintu, senjata mereka terarah tepat ke arahnya. Insting Arka bekerja cepat—ia melompat ke samping, menghindari tembakan yang datang begitu cepat, dan dengan gerakan yang terlatih, ia menembak balik, menumbangkan kedua musuh dalam hitungan detik.
Namun, gerakan itu terlalu kasat mata. Pintu di ujung lorong terbuka, dan lebih banyak pasukan musuh muncul, kali ini dengan pelindung yang lebih lengkap dan senjata yang lebih canggih. Arka tahu dia tidak punya banyak waktu. Mereka harus segera menghancurkan pusat kendali dan memutuskan jalur pelarian musuh, atau mereka semua akan terjebak di sini.
Dalam sekejap, Arka mengalihkan pandangannya ke arah salah satu anggota timnya, Maya, yang terbaring di lantai, terluka parah. “Maya!” teriak Arka, berlari menghampirinya. Darah mengalir deras dari luka tembakan di dada Maya, namun matanya masih terbuka, meskipun tampak samar.
“Maya… bertahanlah,” kata Arka, sambil mencoba menekan luka-luka itu dengan tangan yang bersimbah darah. Namun, Maya hanya tersenyum lemah.
“Tak ada… jalan keluar, Arka. Mereka… menang,” bisiknya, suara nyaris tak terdengar.
Tidak. Arka menekan bibirnya, berusaha menahan amarah yang hampir menguasainya. Tidak ada ruang untuk menyerah. Maya, seorang anggota yang telah berdarah-darah dalam misi ini, tidak boleh mati sia-sia. “Kita akan keluar dari sini bersama,” ujarnya, meskipun ia tahu itu hanya sebuah janji yang sulit untuk dipenuhi.
Dengan satu gerakan cepat, Arka mengambil kompas dan peta dari saku Maya, lalu menggenggamnya erat. Ini bukan hanya untuk mereka berdua—ini adalah untuk semua orang yang telah jatuh. Mereka akan mendapatkan balasan.
Meninggalkan Maya yang masih terbaring lemah, Arka berlari menuju pusat kendali, berharap bisa menyelesaikan misinya tepat waktu. Suara tembakan semakin dekat, dan debu tebal di sekelilingnya hampir membuatnya tidak bisa bernapas. Namun, ia memaksa dirinya untuk terus maju. Di hadapannya, pintu besar yang mengarah ke ruang kontrol sudah tampak. Ini adalah momen yang telah ia tunggu-tunggu.
Dengan cepat, ia melemparkan granat ke dalam ruangan, lalu memecahkan pintu dengan tendangan kuat. Begitu masuk, ia menembakkan senjata dengan presisi tinggi, membunuh dua penjaga yang berusaha melawan. Ketegangan itu meluap ketika ia melihat layar monitor yang menampilkan rencana cadangan musuh—sebuah jalur pelarian menuju daerah yang lebih aman. Musuh sudah siap untuk mundur jika keadaan semakin buruk.
“Tidak akan ada pelarian,” bisik Arka dengan suara dingin, menggenggam kontrol sistem.
Dia menekan tombol dengan cepat, memutus semua jaringan komunikasi yang menghubungkan markas musuh dengan dunia luar. Ledakan-ledakan terdengar dari berbagai titik di sekitar kompleks, tanda bahwa tim Arka yang lain telah berhasil menghancurkan target-target mereka. Semua jalur pelarian musuh telah terputus, dan tidak ada yang bisa pergi.
Namun, tepat ketika ia mulai merasakan sedikit kemenangan, suara berat dan penuh kebencian terdengar di belakangnya. Arka menoleh, dan di hadapannya berdiri sosok yang selama ini ia cari-cari: The Serpent—pemimpin utama dari organisasi yang telah menghancurkan banyak nyawa, termasuk orang-orang yang ia cintai.
Serpent, mengenakan pelindung hitam dan masker yang menutupi wajahnya, tersenyum tipis. “Akhirnya kita bertemu, Arka,” katanya dengan suara yang menakutkan. “Saya tahu, kamu pasti akan sampai ke sini. Tapi, itu tidak akan cukup untuk menghentikan kami.”
Arka menatapnya tajam, matanya berkilat penuh amarah. “Kali ini, kamu akan kalah. Tidak ada pelarian lagi.”
Pertempuran yang lebih besar, lebih brutal, kini dimulai. Arka tahu bahwa ini akan menjadi pertempuran hidup dan mati—hanya satu yang akan keluar hidup-hidup.
Bab 13: Wajah di Balik Tirai
Pertempuran di ruang kontrol berlangsung begitu cepat, darah tumpah di lantai, suara tembakan yang saling bersahutan menggema di seantero markas. Arka berdiri tegak di tengah ruangan, senjatanya terarah ke sosok yang berdiri di depannya. Di hadapannya kini, The Serpent—pemimpin dari organisasi yang telah menghancurkan segalanya dalam hidupnya—berdiri dengan tenang, maskernya menutupi wajah, hanya menyisakan mata yang tajam dan penuh perhitungan.
Arka merasakan amarah yang membara dalam dirinya. Dia telah mengikuti jejak darah ini, melalui setiap pengkhianatan, setiap pertempuran, untuk sampai pada titik ini. Tidak ada yang akan menghentikannya sekarang.
“Jadi kamu yang mengendalikan semuanya,” kata Arka dengan suara yang serak, memandang ke arah The Serpent. “Semua kebohongan, semua pembunuhan, semuanya berasal dari dirimu.”
The Serpent hanya tersenyum tipis. “Kamu terlambat, Arka. Segalanya sudah diatur jauh sebelum kamu tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Kamu hanyalah pion dalam permainan yang jauh lebih besar.”
Arka menggertakkan giginya, tak peduli dengan kata-kata The Serpent. Dia tahu apa yang harus dilakukan. “Jangan kira aku akan membiarkanmu lolos begitu saja. Semua ini berakhir hari ini.”
Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi. The Serpent tidak bergerak. Ia malah melepaskan pelindungnya dan menanggalkan masker yang selama ini menutupi wajahnya. Arka terkejut. Di balik tirai kegelapan dan misteri, ternyata… dia mengenal wajah itu.
Wajah yang telah lama hilang dari hidupnya.
Sosok di depannya bukanlah orang asing. Wajah itu—selalu berada di dalam bayangan masa lalu Arka. Wajah yang dulu pernah ia percayai, yang dulu pernah ia anggap sebagai teman, bahkan saudara. Wajah yang pernah mengikatnya pada janji setia, sebelum dunia mereka terbalik.
“Tidak… ini tidak mungkin…” Arka bergumam, langkahnya terhenti. “Kau… kau adalah…”
Senyuman sinis muncul di wajah The Serpent. “Kau akhirnya tahu, Arka. Lama sekali. Aku tidak pernah menginginkan ini untukmu, tapi ini adalah jalan yang harus aku ambil. Kita semua punya peran dalam dunia yang lebih besar ini.”
“Dewa…” Arka tersentak, mulutnya terasa kering. “Aku… aku tidak percaya ini. Dewa, kenapa? Apa yang terjadi padamu? Kami… kami bertarung bersama di medan perang. Kami pernah bersama. Kamu adalah bagian dari timku!”
Dewa, yang dulu adalah seorang sahabat sekaligus mentor Arka, kini berdiri sebagai musuh terbesarnya. Pria itu bukan hanya bertanggung jawab atas kekacauan yang menghancurkan hidup Arka, tetapi juga menjadi simbol dari segalanya yang salah dalam dunia ini. Dia adalah bayangan masa lalu yang tak pernah bisa Arka lepaskan.
Dewa menatapnya dengan mata yang dingin, tanpa ada sedikit pun penyesalan. “Kita berjuang bersama, memang. Tapi apa yang kau dan timmu lakukan tidak lebih dari mengikuti perintah orang lain, menjadi alat bagi orang-orang yang tidak bisa kau pahami. Aku memilih untuk melihat dunia ini dari sudut pandang yang lebih besar. Dan itu berarti membuat pilihan yang sulit. Menjauh dari yang disebut ‘kebenaran’ yang selama ini kau perjuangkan.”
Arka terdiam. Kata-kata Dewa menghantamnya seperti petir yang menyambar. Ia tidak bisa memahami bagaimana seseorang yang begitu dekat dengannya, seseorang yang ia anggap teman dan bahkan saudara, bisa berbalik begitu rupa. Semua yang diajarkan oleh Dewa, semua prinsip dan nilai yang mereka pegang bersama—semuanya kini terhancurkan dalam sekejap.
“Apa yang terjadi padamu, Dewa?” tanya Arka, nadanya penuh kebingungan dan amarah. “Kamu dulu mengajarkanku tentang keadilan, tentang melawan ketidakadilan. Apa yang kita lakukan sekarang? Apakah ini yang kamu sebut keadilan?”
Dewa menggelengkan kepala pelan, seolah kasihan melihat Arka yang masih terjebak dalam ilusi lama. “Keputusan-keputusan yang kita ambil selama ini tidak lebih dari tindakan kecil yang terperangkap dalam sistem yang lebih besar. Kamu tak akan pernah bisa mengerti sampai kamu keluar dari sistem itu, Arka. Kita semua berperan dalam roda yang terus berputar. Dan aku memilih untuk menjadi yang mengendalikan roda itu, daripada terjebak di bawahnya.”
Arka merasakan kepalanya berdenyut, tubuhnya gemetar. Dewa bukan hanya pemimpin The Serpent—Dewa adalah kekuatan di balik semua ini. Dia adalah orang yang telah merencanakan segalanya, yang telah mengatur seluruh dunia kriminal ini dari balik bayang-bayang.
“Tidak! Aku tidak akan membiarkanmu menang!” seru Arka, memegang senjatanya dengan erat. “Aku akan menghentikanmu, Dewa. Semua ini akan berakhir hari ini!”
Dewa hanya tersenyum lebih lebar. “Kalau begitu, Arka. Mari kita lihat siapa yang lebih kuat. Kamu yang terlalu naif atau aku yang melihat dunia ini dengan mata yang lebih terbuka.”
Dengan satu gerakan cepat, Dewa mengeluarkan senjatanya, dan dalam sekejap, ruangan itu dipenuhi dengan pertarungan yang penuh dengan tembakan dan ledakan. Arka bergerak cepat, menghindari peluru yang datang, namun ia tahu bahwa pertarungan ini bukan hanya tentang fisik—ini adalah pertarungan antara dua dunia yang sangat berbeda. Dunia yang Arka yakini selama ini, dan dunia yang kini dianut oleh Dewa.
Dua sosok ini—dulunya teman, kini musuh—berjuang dalam pertempuran yang penuh dengan pengkhianatan dan keinginan untuk mengubah dunia. Arka tahu satu hal pasti: pertarungan ini adalah titik akhir. Tidak ada lagi ruang untuk penyesalan.
Dan ketika peluru semakin mendekat, dan darah mulai mengalir lagi, Arka sadar bahwa hanya satu yang akan bertahan hidup. Hanya satu yang akan keluar sebagai pemenang.
Bab 14: Misi Terakhir
Bulu kuduk Arka berdiri saat peluru terakhir The Serpent melesat di atas kepalanya, hampir mengenai tengkuknya. Dalam keadaan terdesak seperti ini, hanya satu hal yang bisa dia lakukan: bertahan hidup. Wajah Dewa, teman lamanya yang kini menjadi musuh terbesar, terus menghantui pikirannya. Kepercayaan yang dulu diberikan, kini berubah menjadi racun yang sulit dilupakan. Namun, meskipun rasa sakit itu menggerogoti hatinya, Arka tahu bahwa tidak ada waktu untuk ragu.
Setiap detik yang berlalu menjadi semakin berat, tubuhnya penuh dengan luka dan kelelahan. Tapi misi ini harus diselesaikan. Dewa telah mengungkapkan segala rencana gelapnya—ini bukan lagi tentang persahabatan atau masa lalu. Ini tentang kebenaran yang harus ditegakkan, tentang dunia yang harus diselamatkan dari tangan-tangan kejam yang kini memegang kendali.
Arka menatap Dewa dengan mata yang penuh tekad. Tidak ada lagi rasa kasihan. Tidak ada lagi ruang untuk keraguan. Arka telah mengambil keputusan.
“Ini akan berakhir, Dewa,” kata Arka, suara seraknya menggema di ruang itu. “Apapun yang kamu rencanakan, aku akan hancurkan semuanya. Ini misi terakhir, dan aku akan menyelesaikannya.”
Dewa tidak menjawab. Wajahnya tetap dingin, tetapi ada kilatan kebencian yang tak bisa disembunyikan di matanya. “Jika itu yang kau inginkan, Arka, aku akan memberimu akhir yang pantas.”
Mereka bertarung lagi, kali ini lebih brutal, lebih sengit dari sebelumnya. Arka bergerak cepat, menggunakan setiap kekuatan yang masih tersisa untuk menghindari serangan Dewa. Mereka berkelahi di antara puing-puing bangunan yang hancur, menyusuri lorong-lorong gelap dengan tubuh yang terasa semakin berat. Di setiap sudut, Arka merasakan dorongan untuk menyerah, tetapi tekadnya menguatkan setiap langkahnya.
Dewa bergerak dengan lihai, hampir seperti bayangan, setiap gerakannya terkoordinasi sempurna, menunjukkan betapa dalamnya dia terlatih. Namun, Arka tahu bahwa meskipun tubuhnya lelah, semangatnya tidak akan padam. Setiap pukulan yang diberikan Dewa membawa perasaan pengkhianatan yang lebih dalam. Dewa bukan lagi teman yang pernah ia percayai. Dewa adalah musuh yang harus dihentikan.
Setelah beberapa menit bertarung, Arka berhasil mendorong Dewa ke sudut, memegang senjatanya di tangan yang terangkat tinggi. Dewa terdesak, wajahnya penuh keringat dan darah, namun senyumnya tidak pudar.
“Ini adalah akhir bagi kita berdua, Arka,” kata Dewa dengan nada yang lebih rendah, tetapi penuh kepastian. “Kamu akan menyesal telah memilih jalan ini. Kamu tidak akan pernah bisa benar-benar menghentikan apa yang sudah terlanjur terjadi.”
Arka menatap Dewa, dan untuk sejenak, ia melihat kembali wajah yang dulu ia kenal—wajah yang telah menjadi bagian dari hidupnya selama bertahun-tahun. Namun, di balik wajah itu kini hanya ada satu hal yang jelas: musuh yang harus dihentikan, tanpa peduli apa pun.
Dengan satu gerakan cepat, Arka menembak senjata ke arah Dewa. Namun, Dewa bergerak dengan kecepatan yang tak terduga, menghindari peluru yang datang dengan gerakan gesit. “Kamu masih terlalu lambat,” kata Dewa, suara penuh olokan. “Kamu tidak akan pernah menang.”
Tetapi, kali ini Arka sudah siap. Dengan cepat, ia melemparkan granat ke arah Dewa, membuat ledakan hebat yang memecah keheningan. Dewa terlempar mundur, tubuhnya tersungkur ke lantai. Namun, meskipun tubuhnya terluka parah, Dewa masih berusaha bangkit.
“Ini belum selesai, Arka,” suara Dewa terdengar lemah namun penuh amarah. “Aku akan terus berjuang… sampai dunia ini menjadi milikku.”
Arka mendekat, senjata terarah langsung ke dada Dewa. Setiap detik terasa semakin berat, keputusan besar harus diambil. Arka tahu bahwa ini adalah titik akhir dari semuanya—misi terakhir yang harus diselesaikan, tanpa kompromi.
“Ini berakhir di sini, Dewa,” kata Arka, nadanya datar namun penuh tekad. “Untuk semua yang telah kamu hancurkan, untuk semua yang telah kamu ambil dariku, aku akan menyelesaikan ini.”
Dengan satu tembakan terakhir, Dewa terjatuh. Nafasnya terhenti, dan keheningan menyelimuti seluruh ruangan. Misi yang dimulai dengan pengkhianatan dan pertempuran kini berakhir dengan kejatuhan seorang pemimpin yang telah merusak begitu banyak kehidupan. Arka berdiri di sana, terengah-engah, merasakan beratnya kemenangan yang tidak pernah ia inginkan.
Namun, meskipun Dewa telah jatuh, ada sesuatu yang masih menggantung di udara—sesuatu yang lebih besar dari apa yang baru saja terjadi. Arka tahu bahwa meskipun ia telah mengakhiri salah satu bagian dari misi ini, dunia yang penuh kekacauan ini tidak akan berhenti begitu saja. Ia telah menghentikan satu ancaman, tetapi masih banyak yang lain yang akan muncul.
Dan dengan pikiran itu, Arka mematikan senjatanya, menghela nafas panjang. Misinya belum selesai, dunia ini belum siap untuk damai. Tetapi setidaknya, untuk hari ini, keadilan telah ditegakkan.
Bab 15: Tanpa Ampun
Keheningan itu memekakkan telinga. Setelah ledakan terakhir yang mengguncang markas The Serpent, Arka berdiri di tengah reruntuhan, dikelilingi oleh sisa-sisa perjuangan yang telah mengubah hidupnya. Wajah Dewa, yang kini terjatuh tak bernyawa di lantai, menyisakan rasa sepi yang dalam di hati Arka. Misi ini—misi yang telah mengharuskannya melewati banyak pengkhianatan, kehilangan, dan penderitaan—akhirnya mencapai puncaknya. Namun, kemenangan ini tidak memberi rasa lega. Tidak ada perasaan kemenangan yang bisa benar-benar menghapus apa yang telah terjadi.
Arka melangkah maju, menatap tubuh Dewa yang terbujur kaku di lantai. Semua yang dia lakukan—semua pertempuran, semua darah yang tumpah—hanyalah bagian dari takdir yang tak bisa ia hindari. Mungkin dunia ini membutuhkan perubahan, mungkin dunia ini membutuhkan orang seperti Dewa untuk merusak semuanya agar bisa dibangun kembali, tapi apa yang telah dihancurkan—semua yang telah diambil—takkan bisa diganti.
Berdiri di tengah kehancuran, Arka menarik napas dalam-dalam. Tanpa ampun. Itulah yang harus dia lakukan. Menghentikan Dewa, menghentikan semua kekacauan ini—itu adalah bagian dari takdirnya. Namun, saat ia berdiri di sana, ia tahu bahwa kebenaran yang tersembunyi jauh lebih kompleks daripada yang ia bayangkan. Apa yang disebut keadilan, apa yang disebut kebenaran, kadang-kadang harus dibayar dengan harga yang tak ternilai.
Arka melihat ke luar jendela, menatap langit yang suram. Dunia ini, yang kini berada di ambang kehancuran, akan terus berputar, meskipun tak ada yang benar-benar tahu bagaimana cara menghadapinya. Terlepas dari kemenangan ini, Arka merasa dunia masih penuh dengan bayangan, kekuasaan, dan rahasia yang belum terungkap. Dewa hanyalah satu bagian dari puzzle besar, dan meskipun ia telah dijatuhkan, ancaman yang lebih besar mungkin masih menunggu di luar sana.
Tiba-tiba, suara langkah terdengar dari belakangnya. Arka segera berbalik, mengangkat senjata secara refleks, hanya untuk melihat seorang wanita berdiri di pintu. Wajahnya dikenal. Dia adalah Maya, mantan rekan tim yang telah lama hilang, seorang agen yang juga terlibat dalam pertempuran ini di masa lalu. Namun, wajah Maya kali ini berbeda. Ada ketegasan dalam tatapannya yang tidak pernah ada sebelumnya.
“Maya?” Arka bertanya, masih memegangi senjatanya.
“Arka,” jawab Maya dengan suara rendah, penuh penyesalan. “Aku… aku tahu apa yang baru saja terjadi. Aku tahu kamu sudah menyelesaikan semuanya. Tapi ini belum berakhir. Apa yang kamu lakukan tidak akan menghentikan semua itu. Dewa hanyalah bagian dari yang lebih besar.”
Arka menatapnya bingung. “Apa maksudmu? Semua ini sudah berakhir. Dewa sudah mati. The Serpent sudah jatuh. Apa lagi yang bisa terjadi?”
Maya mendekat, wajahnya penuh dengan kecemasan. “Kau benar, Dewa sudah mati. Tapi ada lebih banyak lagi yang terlibat dalam permainan ini. Organisasi yang lebih besar, lebih gelap, lebih berbahaya dari apa yang bisa kamu bayangkan. The Serpent hanyalah bagian dari kepingan puzzle yang lebih besar. Dan orang-orang yang berada di balik semuanya… mereka tidak akan tinggal diam.”
Arka merasa darahnya mendidih. Ini tidak mungkin. Apa yang baru saja ia lakukan? Apa artinya semua pengorbanan ini jika kebenaran yang lebih besar masih tersembunyi? Dia sudah mengorbankan begitu banyak, kehilangan begitu banyak teman. Namun, Maya berbicara dengan keyakinan yang membuat Arka tahu bahwa ini bukanlah ancaman kosong.
“Jadi ini belum berakhir?” kata Arka dengan suara penuh ketegasan.
“Belum,” jawab Maya, mengangguk pelan. “Tapi, kita punya pilihan, Arka. Kita bisa melawan, kita bisa menghentikan mereka sebelum mereka benar-benar mengambil kendali.”
Arka menatap Maya, hati yang semula hampa mulai dipenuhi dengan perasaan yang lebih dalam. Misinya belum selesai. Dewa mungkin telah jatuh, tetapi dunia ini—dengan segala intrik dan kekuasaan yang bersembunyi di baliknya—masih membutuhkan orang-orang seperti dia untuk bertarung. Orang-orang yang tahu apa artinya berjuang tanpa ampun, tanpa belas kasihan.
Arka menurunkan senjatanya, merenung sejenak, dan lalu berkata, “Jika ini belum berakhir, maka kita harus melanjutkan perjuangan kita. Tapi kali ini, tidak ada ampun. Tidak ada ruang untuk pengkhianatan lagi.”
Maya mengangguk setuju, dan bersama-sama mereka melangkah keluar dari ruangan yang telah penuh dengan kehancuran, menuju dunia yang lebih besar dan lebih gelap dari yang mereka bayangkan.
Dan sementara dunia terus berputar dengan segala kerusakan yang diciptakan oleh The Serpent dan para pemimpinnya, Arka tahu bahwa dia tidak bisa berhenti. Misi tanpa ampun ini akan terus berlanjut, tanpa akhir. Tidak ada kedamaian yang akan datang dalam dunia yang penuh dengan darah dan kebohongan.
Namun, setidaknya dia tahu satu hal: dia tidak akan berhenti berjuang, tidak akan mundur. Dia akan terus bertarung sampai akhir, sampai dunia ini mendapat keadilan yang selama ini hilang.
Tanpa ampun.***
——————-THE END—————–