Bab 1: Sang Pemburu Kembali
Matahari terbenam dengan keindahan yang tak bisa dinikmati oleh seorang pria yang terus melangkah dalam bayang-bayang. Kaki-kaki kasar yang terbungkus sepatu bot menapaki jalan berbatu, menyusuri hutan lebat di kaki gunung. Di atas bahu kanannya, sebuah tas besar berisi perlengkapan bertahan hidup, sementara tangan kirinya memegang erat senapan sniper yang telah menemaninya lebih dari dua puluh tahun. Namanya Dewa, namun tak ada yang menyebutnya begitu. Semua orang mengenalnya sebagai “Sang Pemburu.”
Dewa, seorang mantan prajurit yang pernah dikenal sebagai mesin pembunuh terlatih, kini telah lama mengasingkan diri dari dunia yang pernah ia tinggalkan. Di sebuah desa terpencil di pinggiran kota, jauh dari hiruk-pikuk pertempuran yang selalu mengancam, ia hidup dengan tenang. Itu adalah kehidupan yang ia pilih setelah puluhan tahun bertugas di medan perang, menyaksikan kawan-kawannya jatuh satu per satu dan merasakan betapa banyak nyawa yang harus ia ambil. Dia pensiun, atau lebih tepatnya, ia menghindar dari dunia yang penuh kebohongan dan pembunuhan.
Namun, malam itu, ketenangan yang telah lama ia nikmati berakhir.
Sebuah pesan singkat di ponselnya, yang sudah usang dan tidak pernah ia gunakan untuk berkomunikasi, mengusik kedamaiannya. Tanpa nama pengirim, hanya ada koordinat dan sebuah kalimat yang cukup untuk membangkitkan naluri tempurnya: “Kamu dibutuhkan, Dewa. Misi ini tidak bisa ditunda lagi.” Pesan itu datang dari seorang pria yang sangat ia kenal—Rendra, mantan rekannya di unit khusus. Seseorang yang tahu betul cara untuk menggerakkan hati Dewa, dengan cara yang tidak pernah ia duga.
Dewa berhenti sejenak di tengah hutan, menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. Hatinya bergejolak, namun ia tidak tahu apa yang membuatnya merasa berat. Ia sudah lama menghindari semua itu. Misi, perang, darah. Semua itu sudah menjadi bagian dari masa lalu yang tak ingin ia kenang. Namun sesuatu tentang pesan itu membuatnya berpikir ulang. Ada yang tidak beres. Rendra tidak pernah meminta pertolongan tanpa alasan yang jelas. Tidak ada waktu untuk keraguan.
Ia menoleh ke belakang, menatap rumah kayu kecil yang telah ia bangun dengan tangannya sendiri. Rumah yang menjadi tempat ia melupakan masa lalu, tempat yang memberi ketenangan. Namun, malam itu, rumah itu seperti menjadi penjara yang menahan langkahnya. Misi ini bukan sekadar permintaan biasa. Sesuatu yang lebih besar sedang mengintai, dan Dewa bisa merasakannya.
Tanpa berkata apa-apa, Dewa membalikkan tubuh dan melangkah keluar dari hutan, menuju kendaraan yang tersembunyi di balik pepohonan. Suara mesin motor yang bertenaga mengalahkan keheningan malam. Angin malam menggigit kulitnya, namun Dewa tetap teguh. Jalan menuju tujuan Rendra sudah terpampang jelas di pikirannya. Ia sudah pernah ke tempat itu sebelumnya. Markas yang tersembunyi di pegunungan, tempat organisasi rahasia yang dikenal dengan nama “Feniks” beroperasi. Mereka adalah kelompok yang mengendalikan banyak hal, dari senjata hingga intelijen, dengan jaringan yang sangat luas.
Dewa tak tahu kenapa, tetapi ia tahu bahwa kali ini, misi ini akan berbeda. Feniks telah kembali, dan kali ini, mereka mungkin lebih berbahaya dari sebelumnya. Ia sudah cukup lama meninggalkan dunia ini untuk tahu bahwa ketenangan semu adalah perangkap yang menunggu untuk menghancurkan siapa pun yang lalai.
Saat Dewa tiba di sebuah rumah yang sudah dikenal, ia menemukan Rendra sedang menunggunya. Rendra masih sama seperti dulu—memakai jaket kulit hitam, celana cargo, dan sepatu bot yang bisa menghancurkan batu. Wajahnya yang kasar kini tampak lebih serius, dan matanya menunjukkan kegelisahan yang dalam.
“Ini lebih besar dari yang kita kira, Dewa,” kata Rendra tanpa basa-basi. “Feniks sedang berencana melakukan sesuatu yang sangat besar. Mereka punya senjata, pasukan, dan lebih banyak hal yang bisa menghancurkan segalanya.”
Dewa mengangguk, tangannya sudah terarah pada tas besar yang berisi senapan dan peralatan perang lainnya. Ia mengerti, kali ini bukan hanya tentang bertahan hidup. Feniks bukanlah kelompok yang bisa ditangani dengan cara biasa. Mereka memiliki banyak tentakel di seluruh dunia, mengendalikan segalanya dari bayang-bayang. Tapi Dewa tidak takut. Ia tahu betul cara mereka bekerja.
“Siapa yang jadi target?” tanya Dewa dengan suara datar. Hanya suara mesin rokok yang menambah ketegangan malam itu.
Rendra menarik napas dalam-dalam. “Mereka ingin menguasai seluruh pasar senjata dunia, dan kita ada di daftar mereka. Kami membutuhkanmu untuk menghentikan mereka sebelum semuanya terlambat.”
Dewa mendengus. “Kenapa aku? Kenapa bukan orang lain?”
“Karena kamu adalah satu-satunya yang bisa menyelesaikan ini,” jawab Rendra tegas. “Kamu tahu cara mereka berpikir. Kamu tahu bagaimana melacak jejak mereka dan menghabisi mereka tanpa ada jejak. Kami sudah mencoba, tapi mereka selalu selangkah lebih maju. Dan sekarang… mereka punya informasi tentang kita. Tentang kamu.”
Dewa merasakan perasaan aneh di dadanya. Ada yang tidak beres, ada sesuatu yang lebih besar sedang mengintainya. Tapi ia tahu, sekali ia melangkah, tidak ada jalan kembali.
Dengan satu langkah mantap, Dewa berbalik, menatap Rendra, dan berkata, “Mari kita mulai.”
Langkah pertama Sang Pemburu telah dimulai kembali. Dunia yang sudah lama ia tinggalkan kini kembali memanggilnya. Dan kali ini, ia tidak akan mundur.
Bab 2: Jejak yang Terlupakan
Langit pagi memerah, menandakan hari baru yang penuh ancaman. Dewa duduk di bangku belakang sebuah mobil gelap yang melaju cepat di jalan berliku menuju pegunungan. Kecepatan kendaraan itu tidak sebanding dengan ketenangan di dalamnya. Di dalam hatinya, Dewa merasa sebuah kekosongan yang sulit dijelaskan. Ia sudah kembali ke medan perang, ke dunia yang pernah ia tinggalkan bertahun-tahun lalu. Namun, kali ini, musuhnya bukan hanya kelompok teroris biasa. Ini adalah Feniks, organisasi yang lebih kuat, lebih licik, dan lebih berbahaya dari yang pernah ia hadapi sebelumnya.
Rendra duduk di sampingnya, tampak lebih gelisah dari biasanya. Di tangan Rendra tergenggam sebuah peta tua yang telah terlipat dan tampak usang, sebuah simbol dari masa lalu yang tidak pernah benar-benar hilang. Peta itu menunjukkan lokasi-lokasi yang sangat familiar bagi Dewa—tempat-tempat yang pernah menjadi medan pertempuran mereka. Markas Feniks pertama kali ditemukan di tempat yang sama, dan Dewa tahu betul bahwa untuk menghancurkan mereka, ia harus kembali ke sana. Ke tempat yang paling membekas di hatinya.
“Tempat ini… kamu masih ingat?” tanya Rendra, membuka peta dengan hati-hati, memiringkan sedikit kepala untuk memastikan Dewa melihat dengan jelas.
Dewa memandang gambar markas Feniks yang ada di peta itu. Sebuah kompleks yang tersembunyi di balik hutan belantara, dilindungi oleh pegunungan terjal dan medan yang tak terjamah. Mereka pertama kali menghancurkan markas itu sepuluh tahun lalu, namun saat itu mereka hanya mengusir beberapa orang. Feniks tidak pernah benar-benar hilang. Mereka selalu bersembunyi, merencanakan langkah selanjutnya.
“Aku ingat,” jawab Dewa singkat, suaranya datar. “Tapi itu bukan tempat yang akan memberimu kesempatan kedua.”
Rendra menghela napas. “Aku tahu, Dewa. Tapi ini berbeda. Kami mendapat informasi bahwa Feniks sekarang punya lebih banyak kekuatan. Lebih banyak sumber daya. Ini bukan sekadar misi pembunuhan biasa. Kami tahu mereka menyembunyikan sesuatu di sana.”
Dewa menatap jauh ke depan, melirik ke hutan yang tampak semakin lebat dan menakutkan. Keputusan ini bukanlah langkah mudah. Ia tahu betul bahwa Feniks tidak akan membiarkan mereka pergi begitu saja. Dan sekali mereka sampai di sana, tidak ada jaminan mereka akan keluar hidup-hidup. Namun, ini adalah pilihan yang tidak bisa dihindari. Mereka harus mengungkap apa yang disembunyikan Feniks, atau mereka akan menjadi bagian dari takdir yang lebih gelap lagi.
Ketika kendaraan mereka melaju lebih jauh ke dalam hutan, Dewa merasakan perubahan suasana. Udara semakin tebal, dan jarak pandang semakin pendek. Mereka sudah berada di luar jangkauan dunia modern. Telepon dan sinyal komunikasi tidak akan berfungsi lagi di sini. Hanya suara angin dan langkah kaki yang menghantui hutan yang sunyi. Dewa menarik napas dalam-dalam, merasa seolah-olah masa lalu kembali menghantuinya.
“Sudah hampir sampai,” kata Rendra, membuka jendela sedikit untuk membiarkan udara segar masuk. “Tapi aku harus beri tahu kamu sesuatu. Ini lebih besar dari yang kita kira.”
Dewa menoleh tajam. “Apa maksudmu?”
Rendra menatapnya, ragu-ragu sejenak. “Kami mendapat informasi bahwa Feniks mungkin terlibat dalam perdagangan senjata biologis. Senjata yang bisa mengubah jalannya perang, yang bisa menghancurkan dunia. Mereka tidak hanya berfokus pada senjata api lagi. Ini lebih berbahaya, Dewa. Dan kita tahu… kita sudah terlambat.”
Kata-kata itu seperti cambuk yang membangunkan Dewa dari lamunannya. Senjata biologis? Itu bukan sesuatu yang bisa dianggap enteng. Feniks sudah berkembang jauh lebih jauh daripada yang ia perkirakan. Mereka bukan lagi hanya kelompok pemberontak biasa; mereka telah menjadi kekuatan yang mampu mengguncang dunia.
“Jadi, kita hanya akan menghabisi mereka semua?” tanya Dewa, suaranya lebih tajam dari sebelumnya.
“Jika perlu,” jawab Rendra, matanya penuh tekad. “Jika itu yang harus kita lakukan.”
Dewa menatap ke depan. Mereka sudah sampai di lereng gunung yang terjal. Di kejauhan, sebuah bangunan besar yang tampaknya tersembunyi di balik pepohonan dan kabut tipis mulai terlihat. Tempat yang dulu pernah ia anggap sebagai kuburan untuk banyak orang kini kembali menyambutnya. Markas Feniks. Tempat ini bukan sekadar lokasi fisik—ini adalah jejak yang menghubungkan masa lalu Dewa dengan semua pertempuran yang telah ia jalani.
Mereka melangkah keluar dari mobil, setiap langkah terasa berat, namun penuh dengan tujuan. Senapan sniper Dewa tergantung di bahunya, dan ia sudah merasakan ketegangan yang mulai mengalir dalam darahnya. Mereka akan memasuki wilayah yang penuh dengan jebakan, penuh dengan musuh, dan penuh dengan kenangan buruk. Namun, Dewa tidak takut. Ia sudah biasa dengan medan seperti ini.
Rendra membuka peta dan menunjukkan jalur yang harus mereka ambil. “Kita harus menunggu hingga malam. Terlalu berbahaya untuk bergerak di siang hari.”
Dewa mengangguk. Waktu itu bukan sekadar masalah jam atau menit—ini tentang persiapan mental dan fisik. Mereka harus siap menghadapi segala sesuatu yang bisa terjadi. Begitu malam tiba, mereka mulai bergerak perlahan, menyelinap di balik bayang-bayang pohon besar yang mengelilingi markas Feniks. Keheningan malam menjadi sahabat terbaik mereka saat itu. Tiap langkah mereka terasa seperti detakan jam yang terus menghitung waktu yang tersisa.
Tapi, begitu mereka mendekati kompleks markas, sesuatu yang aneh terjadi. Di antara pepohonan, Dewa menangkap sebuah cahaya redup yang menyelinap keluar dari jendela yang pecah. Ada kehidupan di dalam sana. Mereka tidak sendirian. Feniks tidak menunggu mereka datang—mereka sudah tahu mereka akan datang.
Dewa memberikan isyarat pada Rendra, yang segera mengangguk. Mereka berdua menundukkan tubuh, bersembunyi di balik semak-semak tebal. Dengan satu gerakan cepat, Dewa meraih senapan sniper dari punggungnya. Matanya mulai memfokuskan pandangan melalui teleskop, mencari jejak musuh yang mungkin tersembunyi di dalam markas itu.
Ini baru permulaan. Jejak yang terlupakan kini harus ditemukan kembali.
Bab 3: Memburu Bayangan
Malam semakin pekat, dan udara di sekitar markas Feniks terasa dingin dan berat. Dewa dan Rendra bersembunyi di balik semak-semak lebat, mengamati kompleks yang kini berada dalam pandangan mereka. Cahaya redup dari jendela yang pecah masih memancarkan sinyal kehidupan, namun suasana sekelilingnya tampak sunyi—terlalu sunyi. Ini adalah perangkap, Dewa tahu betul. Feniks sudah menunggu mereka datang.
Dewa menundukkan tubuhnya lebih dalam ke dalam semak, mencoba menyembunyikan dirinya sebaik mungkin dari pandangan orang-orang yang mungkin berada di dalam markas. Dalam keheningan malam, hanya suara angin yang terdengar. Rendra di sampingnya menahan napas, tidak berani membuat gerakan yang bisa membongkar posisi mereka.
“Ada yang aneh,” bisik Rendra dengan suara rendah, mata terus memeriksa tiap gerakan di sekitar markas. “Keamanan di sini terlalu rapat. Mereka tahu kita datang.”
Dewa menatap ke dalam kompleks dengan tatapan tajam. Ia bisa merasakan ketegangan yang membumbung tinggi di udara. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, tetapi jelas mengancam. Ia menyadari bahwa Feniks lebih pintar dari yang mereka kira. Mereka telah mempersiapkan segalanya dengan sangat teliti—mereka tahu bagaimana cara menangani setiap musuh yang datang menghampiri.
“Jangan khawatir,” jawab Dewa singkat, suaranya tetap tenang. “Mereka mungkin menunggu kita, tapi kita juga menunggu mereka. Ini hanya masalah waktu.”
Dengan gerakan yang cepat dan hati-hati, Dewa mengeluarkan senapan sniper dari punggungnya dan memasang teleskop. Matanya mulai memindai kompleks itu, bergerak dari satu jendela ke jendela lainnya, dari satu pintu ke pintu lain. Ia tahu, di balik bangunan besar ini, ada musuh yang bersembunyi—musuh yang sudah lama menunggunya. Mereka bukan hanya menghadapi kelompok teroris biasa, tetapi sebuah organisasi dengan sumber daya yang sangat besar.
Rendra menggenggam peta dengan erat, matanya menyusuri setiap detail yang ada. “Jalur masuk ke ruang utama berada di sisi barat. Ada kemungkinan mereka menyembunyikan sesuatu di sana. Sesuatu yang penting.”
Dewa mengangguk pelan, tanpa berpaling dari teleskop. “Kita ambil jalur itu. Tapi jangan terburu-buru. Kita harus hati-hati.”
Mereka mulai bergerak perlahan, seiring dengan pergerakan malam yang semakin dalam. Setiap langkah mereka dihitung. Angin yang berhembus membawa bau tanah basah dan dedaunan, namun Dewa tidak bisa menutup indera tajamnya yang terus memindai sekitar. Ia merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar jebakan biasa. Feniks bukan hanya sekadar kelompok yang menunggu, mereka tengah mengatur sesuatu yang lebih besar—sebuah permainan besar yang mungkin sudah berjalan jauh lebih lama dari yang mereka duga.
Ketika mereka mendekati sisi barat kompleks, Dewa tiba-tiba berhenti. Ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Sebuah bayangan bergerak cepat di jendela lantai dua sebuah bangunan besar. Dewa menatapnya sejenak, lalu memberi isyarat pada Rendra untuk berhenti.
“Di sana,” Dewa berbisik, menunjuk ke arah bangunan yang sama. “Mereka sedang mengawasi kita.”
Rendra menatap ke arah yang sama, namun tidak melihat apapun. “Apa itu?”
“Tunggu sebentar,” jawab Dewa, sambil terus mengamati gerakan di dalam markas. “Mereka sedang bergerak. Kalau kita tidak hati-hati, kita akan langsung terjebak.”
Dengan gerakan hati-hati, Dewa mengarahkan senapannya ke arah bangunan tersebut. Matanya terus bergerak, mencari setiap gerakan yang bisa jadi petunjuk. Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, ia melihatnya lagi—bayangan bergerak cepat di balik jendela. Itu bukan sekadar pengintai biasa. Itu adalah jebakan yang sengaja diciptakan untuk membingungkan mereka.
“Tunggu di sini,” bisik Dewa pada Rendra, suaranya sangat rendah. “Aku akan mencari tahu.”
Dengan gerakan serasi, Dewa bergerak menuju sisi kiri bangunan, menempelkan tubuhnya di sepanjang dinding untuk menghindari garis pandang. Jantungnya berdegup kencang, namun ia tetap tenang. Ia sudah lama berlatih untuk menghadapi situasi seperti ini. Seiring dengan gerakannya, ia mulai merasakan getaran dari dalam markas—sesuatu yang mengindikasikan bahwa musuh sudah mulai bergerak. Mereka tahu mereka sedang diburu.
Dewa mencapai sudut bangunan dengan hati-hati. Ia menyelinap ke dalam bayangan yang lebih gelap, memastikan setiap langkahnya tidak terdeteksi. Ketika ia mencapai jendela lantai dua, ia melihat ke dalam—sebuah ruangan besar yang dipenuhi komputer dan perangkat elektronik canggih. Di dalamnya, tampak dua orang yang sedang sibuk dengan layar-layar besar. Namun, bukan itu yang menarik perhatian Dewa.
Di tengah ruangan, ada sebuah benda besar yang tampaknya dilindungi dengan ketat. Benda itu terbungkus rapat dengan penutup logam, dan hanya ada satu orang yang tampaknya menjaga benda tersebut—seorang pria berpakaian hitam, dengan senjata di tangan.
“Senjata biologis,” bisik Dewa, matanya tajam mengamati benda itu. “Itu yang mereka sembunyikan.”
Dewa merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Ini bukan lagi sekadar pertempuran. Ini adalah ancaman nyata, dan mereka berada di tengah pusat kekuatan Feniks. Benda yang sedang dijaga itu bukan barang biasa—itu adalah sesuatu yang bisa mengubah jalannya perang, sesuatu yang sangat berbahaya.
Dengan cepat, Dewa berbalik dan memberi isyarat pada Rendra untuk mendekat. “Kita harus bergerak cepat,” katanya. “Mereka menyembunyikan senjata biologis di sana. Jika kita tidak menghentikan mereka, dunia akan berubah.”
Rendra mengangguk, wajahnya dipenuhi tekad. “Kita ambil jalur belakang. Tidak ada waktu lagi.”
Dewa menghela napas dalam-dalam dan menyiapkan senapannya sekali lagi. Bayangan musuh sudah mulai semakin jelas, dan waktu mereka untuk menghindar semakin sedikit. Dengan satu gerakan tegas, Dewa dan Rendra bergerak menuju titik berikutnya. Perburuan baru saja dimulai, dan mereka harus melangkah lebih cepat, lebih cerdas, dan lebih berbahaya dari yang mereka kira. Feniks tidak akan membiarkan mereka pergi begitu saja—ini adalah permainan yang sangat berbahaya, dan mereka harus memenangkan pertarungan ini, apa pun harganya.
Bab 4: Lingkaran Kegelapan
Gerbang markas Feniks tertutup rapat, menyisakan hanya kegelapan yang menyelimuti setiap sudutnya. Dewa dan Rendra berada di luar, bersembunyi di balik bayang-bayang pepohonan yang rimbun, menunggu waktu yang tepat untuk memasuki kompleks yang kini terasa seperti sarang musuh. Sesuatu di dalam sana membuat Dewa merasa bahwa mereka tidak hanya sedang berburu senjata atau informasi—ini jauh lebih besar. Feniks sedang memainkan permainan yang jauh lebih berbahaya, dan mereka sudah terjebak dalam lingkaran itu.
“Jadi, apa langkah selanjutnya?” tanya Rendra, suaranya rendah namun penuh ketegangan. Mereka sudah berada di luar, terlalu dekat untuk mundur, namun juga terlalu jauh untuk benar-benar tahu apa yang menanti di dalam.
Dewa menatap kompleks yang berada di hadapan mereka. Cahaya lampu-lampu jalan yang redup hanya memberi gambaran samar tentang besarnya bangunan yang mereka hadapi. Ini bukan markas biasa. Ada sesuatu yang terasa tidak beres di dalamnya. Feniks telah mengatur pertahanan yang sempurna, dan Dewa tahu mereka akan menemukan lebih banyak rahasia tersembunyi jika mereka terus maju.
“Masuk melalui sistem ventilasi. Itu satu-satunya jalan yang belum mereka amankan,” jawab Dewa, matanya terus mengamati kompleks tersebut dengan cermat. “Kita tidak bisa masuk lewat pintu utama. Mereka pasti sudah menyiapkan penjagaan yang ketat di sana.”
Rendra mengangguk, setuju dengan rencana itu. Mereka sudah berada cukup dekat untuk mengetahui bahwa tiap detik yang berlalu menambah risiko. Namun, untuk Dewa, ini adalah rutinitas—sebuah perburuan yang harus dilaksanakan dengan ketelitian dan kewaspadaan. Tidak ada ruang untuk kesalahan. Setiap langkah yang mereka ambil harus dihitung.
Mereka bergerak cepat menuju sisi belakang markas, menyelinap di antara pohon-pohon besar yang menghalangi pandangan. Tangan Dewa menggenggam erat senapan, matanya memindai sekitar dengan ketajaman yang hanya dimiliki oleh seorang pemburu berpengalaman. Mereka sudah berada di jalur yang cukup aman, namun ketegangan semakin meningkat saat mereka mencapai bagian bawah bangunan besar itu.
Rendra menyentuh bahu Dewa dengan lembut, memberinya isyarat untuk berhenti. Dewa menoleh dengan cepat, menunggu instruksi lebih lanjut. Rendra menunjukkan ke arah sebuah ventilasi yang tampak samar tersembunyi di dekat sudut bangunan. Itu adalah pintu masuk yang mereka cari.
“Ini dia,” kata Dewa dengan suara pelan. “Bersiaplah. Begitu kita masuk, kita akan langsung menuju ke ruang utama. Mereka pasti sedang menunggu.”
Tanpa banyak bicara, keduanya bergerak menuju ventilasi yang rendah itu. Dewa membuka penutupnya dengan hati-hati, lalu memasukkan tubuhnya ke dalam. Rendra mengikuti dengan cepat, memastikan agar suara mereka tidak terdengar oleh musuh yang mungkin sedang berpatroli di luar.
Ketika mereka berhasil memasuki ventilasi yang sempit dan gelap itu, perasaan Dewa semakin tajam. Semuanya terasa lebih dekat, lebih berbahaya. Feniks tidak akan membiarkan mereka begitu saja, dan mereka tahu bahwa markas ini penuh dengan jebakan yang siap melibas siapa pun yang lengah.
Setelah merangkak beberapa puluh meter di dalam ventilasi yang berbau pengap itu, mereka akhirnya mencapai sebuah ruang besar yang dipenuhi dengan peralatan dan panel kontrol. Di dalamnya, beberapa orang berpakaian hitam sedang bekerja dengan serius. Mereka tampaknya tidak menyadari kedatangan Dewa dan Rendra yang tersembunyi di balik bayangan. Namun, Dewa tahu bahwa mereka tidak akan aman begitu saja.
“Jaga jarak,” bisik Dewa, matanya tetap mengawasi setiap gerakan di ruang tersebut. “Kita harus mengumpulkan informasi tentang senjata biologis itu. Jika mereka tahu kita datang, kita akan terjebak.”
Dengan langkah hati-hati, mereka mulai bergerak menyusuri ruang itu, menghindari pencahayaan yang bisa membongkar posisi mereka. Dewa membuka tasnya dan mengeluarkan perangkat kecil yang digunakan untuk mendekripsi data. Ini adalah bagian dari misi yang paling rumit: mendapatkan informasi sebanyak mungkin tanpa meninggalkan jejak.
Beberapa menit berlalu, namun Dewa merasakan sesuatu yang aneh. Getaran di udara semakin kuat, dan ada perasaan yang tak dapat dijelaskan—seperti sesuatu yang sedang mengintai mereka. Suara langkah kaki terdengar dari kejauhan, semakin mendekat. Dewa memberi isyarat pada Rendra untuk bergerak cepat, namun sebelum mereka bisa mencapai pintu keluar, sebuah suara keras menginterupsi keheningan.
“Siapa di sana?!”
Seketika, lampu-lampu di ruangan itu menyala terang, dan segerombolan pria berpakaian hitam muncul dari berbagai sudut. Dewa dan Rendra langsung terperangkap. Tidak ada jalan untuk mundur, dan mereka tahu bahwa sekarang atau tidak sama sekali. Perangkap Feniks sudah terpasang.
Tanpa ragu, Dewa melompat ke samping, menembakkan tembakan pertama yang memecahkan ketegangan di udara. Sebuah ledakan kecil mengguncang dinding dekat pintu. Rendra bergerak cepat, menembak seorang penjaga yang mencoba mendekat. Suasana berubah menjadi medan pertempuran dalam sekejap—peluru berseliweran, menghancurkan kaca dan memecah keheningan malam.
Dewa bergerak cepat, mencari perlindungan di balik meja besar. Tembakan-tembakan tak henti-hentinya menghujani posisi mereka, namun Dewa tetap tenang. Setiap tembakan yang dilepaskannya adalah tembakan yang tepat. Ia tahu betul bagaimana bertindak dalam situasi seperti ini. Tidak ada ruang untuk kesalahan. Satu langkah yang salah, dan mereka akan terjebak dalam lingkaran kegelapan Feniks.
“Jangan biarkan mereka menguasai ruang ini!” teriak Dewa, suaranya memerintahkan Rendra untuk tetap bergerak. “Kita butuh informasi tentang senjata itu! Fokus!”
Rendra menyergap seorang penjaga yang mencoba mengepung mereka dari sisi lain, sementara Dewa memfokuskan perhatian pada komputer yang berada di tengah ruangan. Dengan gerakan cepat, ia berhasil mengakses sistem dan mulai mengunduh data. Namun, waktu mereka tidak banyak. Feniks pasti sudah mengetahui kehadiran mereka, dan mereka tidak akan membiarkan musuh masuk begitu saja.
“Data sudah terambil!” seru Dewa, sambil berlari menuju pintu keluar. “Kita harus pergi sekarang!”
Tanpa menunggu lama, mereka berdua berlari keluar dari ruangan, menyusuri koridor yang lebih gelap. Langkah kaki mereka semakin cepat, darah memompa kencang. Namun, mereka tahu—ini baru permulaan. Feniks tidak akan membiarkan mereka lolos begitu saja. Mereka sudah berada dalam lingkaran kegelapan yang tak dapat mereka hindari.
Bab 5: Persiapan untuk Serangan
Angin malam yang dingin menyapu wajah Dewa dan Rendra saat mereka bersembunyi di balik pepohonan lebat, jauh dari markas Feniks yang kini telah jauh tertinggal di belakang mereka. Dengan napas yang masih terengah-engah, keduanya berbaring di tanah, berlindung di bawah gelapnya langit. Misi mereka belum selesai, dan bahaya masih mengintai. Namun, dalam diam mereka, Dewa tahu bahwa ini adalah awal dari sebuah serangan besar yang akan menentukan nasib mereka.
“Data sudah kita dapatkan, tapi masih ada yang harus kita lakukan,” kata Dewa dengan suara rendah, matanya menyala penuh ketegasan. Ia menggulung peta yang mereka ambil dari markas Feniks dan menyelipkannya ke dalam tasnya. “Kita tahu sekarang apa yang mereka sembunyikan. Senjata biologis itu… kita harus menghancurkannya.”
Rendra mengangguk, meskipun wajahnya terlihat lebih lelah dari biasanya. “Tapi untuk bisa melakukannya, kita butuh lebih banyak bantuan. Markas Feniks itu dilindungi ketat—bukan hanya oleh pasukan terlatih, tapi juga teknologi yang jauh lebih maju dari yang kita kira.”
Dewa tahu benar bahwa untuk melawan Feniks, mereka tidak bisa melakukannya sendirian. Mereka perlu membentuk aliansi, menggali lebih dalam dan mencari kekuatan yang dapat mereka andalkan. Tapi aliansi itu bukanlah sesuatu yang mudah didapatkan. Musuh mereka tidak hanya bersembunyi di dalam markas besar di pegunungan—Feniks sudah merajalela, mengendalikan jaringan global yang sulit dibendung.
“Aku tahu,” jawab Dewa, matanya terfokus pada perencanaan yang sedang berjalan di benaknya. “Kita harus menghancurkan mereka dari dalam. Aku sudah mendengar kabar tentang seorang informan yang bisa membantu kita—seseorang yang tahu lebih banyak tentang struktur internal Feniks.”
Rendra mengangkat alis. “Siapa dia?”
“Dia seorang mantan anggota Feniks. Dulunya dia adalah seorang ahli strategi mereka,” jawab Dewa dengan tenang, matanya masih menatap lurus ke depan. “Dia dikenal dengan nama ‘Ares.’ Dia sudah lama melarikan diri dari organisasi itu. Aku rasa dia bisa memberi kita informasi yang kita butuhkan—lokasi senjata biologis itu, serta titik lemah markas mereka.”
“Ares…” Rendra mengulangi nama itu dengan ragu, lalu menyisir rambutnya dengan tangan. “Kau yakin dia bisa dipercaya? Atau dia hanya ingin membalas dendam?”
“Dia tidak punya pilihan lain,” kata Dewa dengan tegas. “Feniks tidak akan membiarkannya hidup lama. Jika kita tidak membantunya, dia akan diburu hingga mati. Kita juga butuh strategi untuk menghancurkan markas mereka, dan Ares adalah satu-satunya yang bisa memberi kita itu.”
Rendra menghela napas. “Kau benar. Tapi kita harus bergerak cepat. Feniks pasti sudah menyadari bahwa kita berada di luar sana. Waktu kita semakin sedikit.”
Dewa mengangguk. “Aku akan menghubunginya. Kita harus menemui Ares, dan kita harus melakukannya sebelum Feniks menemukan jejak kita.”
Dengan cepat, mereka kembali merencanakan langkah selanjutnya. Dewa mengeluarkan perangkat komunikasi yang telah lama disiapkan, memprogramkan koordinat untuk menemui Ares. Kontak itu tidak akan mudah; Ares berada di luar jangkauan, di sebuah tempat yang sangat terpencil—tempat yang hanya bisa diakses oleh orang-orang dengan latar belakang seperti mereka. Dewa tahu bahwa perjalanan ke sana akan berbahaya, penuh dengan jebakan yang siap menunggu mereka.
Sementara Dewa sibuk mengatur rencana komunikasi, Rendra memperhatikan sekeliling. Keheningan malam yang pekat menambah ketegangan di udara. Mereka sudah begitu dekat dengan tujuan mereka, namun langkah selanjutnya bisa menjadi akhir dari misi ini. Feniks adalah musuh yang licik dan tak kenal ampun. Mereka tidak akan membiarkan Dewa dan Rendra pergi begitu saja.
“Dewa…” Rendra memecah keheningan. “Kau yakin kita bisa menang? Mereka jauh lebih kuat daripada yang kita kira.”
Dewa menatap temannya dengan tatapan tajam, namun ada secercah keyakinan yang terpancar dari matanya. “Kita tidak punya pilihan, Rendra. Jika kita tidak bertindak, dunia ini akan hancur. Ini bukan hanya tentang kita—ini tentang masa depan seluruh umat manusia. Feniks tidak akan berhenti sebelum mereka menguasai segalanya.”
Rendra terdiam, memikirkan kata-kata Dewa. Tak lama kemudian, Dewa berhasil menghubungi Ares. Suara orang yang menjawab di ujung sana terdengar tenang, namun penuh kewaspadaan.
“Aku tahu siapa kau, Dewa,” suara Ares terdengar datar, tanpa emosi. “Apa yang kau inginkan?”
“Ares, kita butuh bantuanmu,” kata Dewa langsung ke intinya. “Kami tahu tentang senjata biologis yang kau bantu kembangkan. Feniks tidak akan membiarkannya hidup lebih lama. Mereka sedang berencana untuk menggunakannya.”
“Aku tahu,” jawab Ares pelan. “Dan aku juga tahu apa yang akan terjadi jika senjata itu jatuh ke tangan mereka. Aku sudah tidak punya pilihan lain. Aku akan membantu kalian, tapi tidak di sini. Aku punya tempat aman yang bisa kita temui. Ayo, ikuti koordinat yang akan aku kirimkan.”
Setelah beberapa saat, Dewa dan Rendra menerima lokasi yang dikirim oleh Ares. Tempat itu terletak di pinggiran kota yang terkepung, jauh dari jangkauan pasukan Feniks. Mereka tahu perjalanan ke sana akan penuh dengan risiko—selain harus menghindari pasukan Feniks, mereka juga harus melewati medan berbahaya dan daerah yang rawan serangan. Namun, Dewa tidak punya pilihan lain. Ares adalah satu-satunya harapan mereka untuk bisa melawan Feniks dengan cara yang lebih strategis.
Setelah mempersiapkan perlengkapan dan memastikan senjata mereka dalam kondisi prima, Dewa dan Rendra melanjutkan perjalanan mereka menuju titik pertemuan. Jalanan gelap dan sunyi, hanya ada suara langkah kaki mereka yang memecah kesunyian malam. Kecepatan mereka semakin meningkat, karena Dewa tahu betul bahwa waktu tidak berpihak pada mereka.
Dalam perjalanan menuju tempat Ares, Dewa kembali memikirkan apa yang ada di depan mereka. Feniks bukan sekadar organisasi teroris biasa. Mereka memiliki jaringan global, sumber daya yang melimpah, dan strategi yang sangat rapi. Jika mereka tidak segera menghentikan pergerakan Feniks, dunia yang mereka kenal akan hancur dalam sekejap.
Namun, saat itu, Dewa merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang menunggu. Sesuatu yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya. Ares, Feniks, dan senjata biologis itu—semuanya terhubung dalam sebuah lingkaran yang semakin sulit dipahami. Dan satu-satunya cara untuk memecahkan lingkaran itu adalah dengan bergerak cepat, berani mengambil risiko, dan bertarung untuk keselamatan dunia.
Dengan tekad yang semakin bulat, Dewa menatap jalanan yang terhampar di depannya. Mereka hanya memiliki satu tujuan: menghancurkan Feniks dan menghentikan bencana yang mereka bawa. Sebuah serangan besar akan dimulai, dan ini adalah persiapan terakhir mereka sebelum semua itu terjadi.
Bab 6: Serangan Pertama
Dewa dan Rendra tiba di pinggiran kota yang gelap, tempat yang telah ditentukan oleh Ares. Suasana malam semakin mencekam, dan udara yang berat menambah ketegangan di dalam dada mereka. Keheningan menyelimuti jalanan yang kosong, hanya diterangi oleh lampu jalan yang redup, dan suara langkah kaki mereka yang teredam oleh tanah basah. Setelah perjalanan panjang yang penuh waspada, mereka akhirnya berada di titik yang mereka tuju.
“Ada sesuatu yang aneh di sini,” bisik Rendra, matanya bergerak cepat meneliti sekitar. “Ini terlalu sunyi. Seharusnya ada aktivitas di sini.”
Dewa berhenti sejenak dan menatap sekitar dengan penuh perhatian. Ia merasakan getaran yang sama—sesuatu yang tidak beres. “Jangan lengah, Rendra. Feniks tidak akan tinggal diam begitu saja. Kita mungkin sedang dimonitor.”
Tanpa berkata lebih banyak, mereka melanjutkan perjalanan menuju titik pertemuan yang telah diberikan Ares. Dewa tahu bahwa Ares adalah seseorang yang memiliki informasi vital—tentang senjata biologis yang disembunyikan Feniks dan strategi yang bisa menggulingkan organisasi itu. Namun, Dewa juga sadar bahwa pertemuan dengan Ares bukanlah tanpa risiko. Feniks pasti sudah mengetahui bahwa ada sesuatu yang sedang berlangsung, dan mereka pasti akan mengirimkan pasukan untuk menghentikan mereka.
Mereka tiba di lokasi yang tampaknya adalah sebuah gudang tua yang terlupakan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, namun Dewa tahu, ini adalah tempat yang tepat. Begitu mereka mendekat, sebuah bayangan muncul dari kegelapan. Seorang pria berpakaian hitam, mengenakan pelindung tubuh dengan wajah tertutup, melangkah keluar dari bayangan, menatap mereka dengan tatapan tajam.
“Ares?” tanya Dewa, memastikan.
“Ya,” jawab Ares dengan suara datar, matanya masih waspada. “Kau datang tepat waktu. Feniks sudah mendekat. Mereka tahu kita ada di sini.”
Rendra mengalihkan pandangan ke sekeliling, merasa ada yang tidak beres. “Kita tidak punya waktu banyak. Mereka pasti sedang mengatur serangan. Apa rencanamu?”
Ares mengangguk. “Mereka akan menyerang dalam waktu dekat. Tapi ada satu hal yang perlu kalian tahu. Senjata biologis yang mereka simpan di markas itu jauh lebih berbahaya daripada yang kalian kira. Itu bukan hanya alat pemusnah—itu bisa mengubah seluruh ekosistem. Jika sampai dilepaskan, akan ada bencana besar.”
Dewa merasakan ketegangan di tubuhnya meningkat. “Jadi, kita harus menghancurkannya sebelum mereka bisa menggunakannya.”
Ares melanjutkan dengan nada serius. “Aku sudah merancang rencana untuk masuk ke markas Feniks. Namun, kita butuh lebih banyak kekuatan. Pasukan Feniks akan siap menghadang kita di setiap langkah. Aku sudah menghubungi sekutu—kelompok yang selama ini bersembunyi dari Feniks. Mereka akan membantu kita.”
Namun, sebelum Ares selesai berbicara, suara mesin keras terdengar dari kejauhan. Dewa, Rendra, dan Ares langsung terdiam, mendengarkan suara itu yang semakin mendekat. “Mereka datang,” kata Dewa, suaranya penuh perhitungan. “Segera bersiap.”
Dalam sekejap, mereka bergerak cepat menuju posisi perlindungan. Dewa dan Rendra bersembunyi di belakang tumpukan kayu, sedangkan Ares mengatur perangkat komunikasi untuk menghubungi sekutu mereka. Sesuatu yang lebih besar sedang datang. Feniks telah menemukan lokasi mereka, dan serangan pertama akan segera dimulai.
Dari kejauhan, kendaraan-kendaraan lapis baja Feniks mulai terlihat. Pasukan yang sangat terlatih keluar dari kendaraan, bersenjata lengkap dengan peralatan canggih. Mereka bergerak dalam formasi yang rapat, seolah-olah sudah mengetahui posisi Dewa dan tim. Ini bukan hanya serangan biasa—Feniks sedang melakukan pembalasan.
“Bersiap!” perintah Dewa, matanya tajam menatap pasukan yang semakin dekat. “Rendra, kau ambil sisi kiri. Aku akan menutupi sisi kanan. Ares, pastikan sekutumu siap untuk bergerak. Kita harus menyerang lebih dulu sebelum mereka mengepung kita.”
Rendra mengangguk, mengambil posisinya di belakang dinding beton yang rusak, siap untuk memberikan tembakan balasan jika diperlukan. Dewa mengencangkan grip senjatanya, memastikan semuanya dalam kondisi siap. Mereka tidak punya banyak waktu. Pasukan Feniks sudah terlalu dekat, dan mereka harus bergerak cepat.
Seketika, tembakan pertama terdengar, menggema dalam kegelapan malam. Seorang tentara Feniks jatuh ke tanah, namun serangan balasan datang dengan cepat. Peluru menghujani posisi mereka, menghancurkan dinding dan menghentakkan tanah di sekitar mereka. Ares berlari menuju posisi yang lebih strategis, memberi isyarat kepada sekutunya untuk bergerak.
“Serang mereka dari sisi kiri!” teriak Ares melalui radio. “Jangan beri mereka waktu untuk berkumpul!”
Dewa dan Rendra meluncurkan serangan balasan dengan cepat. Rendra mengeluarkan senapan serbu dari tasnya, menembakkan peluru dengan presisi tinggi. Beberapa tentara Feniks tumbang, namun jumlah mereka sangat banyak, dan mereka terlatih untuk bertempur dalam situasi seperti ini. Dewa bergerak cepat, berlari menghindari tembakan yang datang dari berbagai arah, lalu melompat ke posisi yang lebih tinggi untuk mendapatkan sudut pandang yang lebih baik.
Dari posisi strategisnya, Dewa mengarahkan senapan sniper dan menembak salah satu pemimpin pasukan Feniks yang tampaknya mengatur strategi serangan. Peluru yang dilepaskan Dewa melesat cepat, menembus kepala pemimpin itu, dan tubuhnya jatuh ke tanah dengan keras. Namun, itu hanya memperburuk keadaan. Pasukan Feniks yang masih ada semakin agresif, menggencarkan tembakan ke arah mereka.
“Tidak cukup hanya dengan serangan ini!” teriak Dewa, menyadari bahwa mereka harus melancarkan serangan yang lebih besar untuk memecah garis pertahanan Feniks. “Ares, sudah saatnya kita beraksi!”
Ares memberi isyarat kepada sekutunya untuk maju lebih cepat, dan dalam sekejap, beberapa kendaraan yang tersembunyi mulai bergerak ke medan pertempuran. Mereka membawa senjata berat dan amunisi tambahan. “Ini baru permulaan,” kata Ares dengan ketegasan yang menakutkan. “Pasukan Feniks akan mundur jika mereka tahu kita tidak takut. Kita harus menyerang lebih keras!”
Dewa mengangguk, tak mengenal takut. Ia tahu bahwa ini adalah ujian pertama mereka. Pasukan Feniks yang datang dengan jumlah besar bukanlah sesuatu yang bisa mereka hadapi dengan mudah, namun Dewa juga tahu bahwa jika mereka gagal di sini, mereka akan kehilangan kesempatan untuk menghentikan rencana Feniks. Dunia bergantung pada kemenangan mereka.
Dengan kekuatan tambahan dari sekutu Ares, Dewa dan Rendra mulai melancarkan serangan lebih besar. Mereka bergerak cepat, mengatur strategi serangan dengan cermat, memanfaatkan setiap posisi yang tersedia untuk melumpuhkan pasukan Feniks satu per satu. Amunisi mereka terbatas, namun semangat mereka tak tergoyahkan.
Serangan pertama ini mungkin hanya pembukaan dari pertempuran yang lebih besar, namun bagi Dewa dan timnya, ini adalah langkah pertama yang tak bisa dihindari. Feniks sudah di ambang kekalahan, dan mereka akan terus maju hingga akhirnya menghancurkan ancaman terbesar yang pernah ada.
Bab 7: Pengkhianatan
Dewa merasakan adrenalin masih mengalir deras di tubuhnya. Serangan pertama yang mereka lancarkan terhadap pasukan Feniks baru saja berakhir, namun kemenangan itu terasa semu. Meskipun beberapa tentara Feniks berhasil dikalahkan dan mereka berhasil menguasai titik strategis, rasa curiga dan ketegangan yang menyelimuti Dewa tidak bisa diabaikan. Ada sesuatu yang tidak beres. Sesuatu yang ia rasa, meskipun mereka berhasil merebut kemenangan kecil ini, Feniks belum akan berhenti.
Dewa memimpin langkahnya ke dalam sebuah ruangan kecil yang terletak di bawah tanah, tempat mereka beristirahat setelah pertempuran sengit. Rendra, yang terlihat kelelahan, mengikuti di belakangnya, matanya penuh kecemasan. Di dalam ruangan itu, mereka berhadapan dengan Ares yang sedang memeriksa peta, seolah-olah tidak memperdulikan seberapa besar kerusakan yang baru saja mereka alami.
“Ares,” kata Dewa, suaranya penuh ketegasan. “Kita butuh rencana cadangan. Feniks pasti sudah memperhitungkan serangan kita. Mereka akan datang lebih kuat.”
Ares mengangkat pandangannya dari peta, matanya tetap dingin dan penuh perhitungan. “Kau benar, Dewa. Mereka tidak akan berhenti sampai mereka menghancurkan kita. Kita harus segera bergerak ke markas mereka untuk menghancurkan senjata biologis itu, atau dunia ini akan hancur.”
Namun, ada sesuatu yang lain dalam sikap Ares, sesaat sebelum ia kembali fokus pada peta. Dewa merasakannya—sebuah aura yang aneh, seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan. Ada yang salah. Dewa menyadari betul bahwa meskipun Ares tampak seperti sekutu yang dapat dipercaya, mereka belum tahu sepenuhnya siapa dia sebenarnya.
Rendra, yang merasakan hal yang sama, menatap Ares dengan kecurigaan. “Ares, kau tidak terlihat terlalu terkejut dengan serangan kita. Seolah-olah kau sudah tahu bahwa kita akan menang. Ada apa sebenarnya?”
Ares menatap Rendra dengan tajam, lalu kembali mengalihkan perhatiannya ke peta. “Kalian terlalu curiga. Aku hanya mengatur rencana dengan hati-hati. Feniks akan datang dengan lebih banyak pasukan. Itu sudah aku perhitungkan sejak awal.”
Dewa tidak puas dengan jawaban itu. Kecurigaannya semakin kuat. Di luar, suara tembakan dan ledakan masih terdengar, mengiringi malam yang semakin pekat. Namun, Dewa merasa bahwa mereka tidak hanya harus melawan Feniks—mereka juga harus menghadapi sesuatu yang lebih gelap.
“Dengar, Ares,” kata Dewa dengan serius. “Jika ada sesuatu yang kau sembunyikan, sekaranglah saatnya untuk memberitahuku. Tidak ada tempat untuk kebohongan lagi.”
Ares mengangkat kepala, seolah-olah terkejut dengan nada suara Dewa yang mengancam. Ia tampak berpikir sejenak, lalu akhirnya menghela napas panjang, seolah memberikan keputusan besar dalam hatinya.
“Kau ingin tahu? Baiklah, aku akan memberitahumu,” jawab Ares, suaranya berubah dingin dan penuh kebencian. “Aku tidak pernah berencana untuk menghentikan Feniks.”
Dewa dan Rendra terdiam. Suasana di ruangan itu berubah menjadi tegang. Apa yang baru saja Ares katakan seperti petir di siang bolong. “Apa maksudmu?” tanya Dewa dengan hati berdegup kencang, mencoba memahami apa yang baru saja didengarnya.
Ares tersenyum tipis, tetapi itu adalah senyuman yang tidak meyakinkan. “Aku adalah bagian dari Feniks, Dewa. Aku hanya berpura-pura melarikan diri. Aku adalah agen ganda yang ditugaskan untuk memanipulasi kalian.”
Rendra tersentak mundur, terkejut dan marah. “Kau… kau mengkhianati kami?!”
“Bukan hanya kalian, Rendra,” jawab Ares, matanya menatap tajam. “Aku mengkhianati semua orang. Feniks memberi aku janji kekuasaan, kekayaan, dan kesempatan untuk merubah dunia. Senjata biologis yang mereka ciptakan bukanlah senjata pemusnah biasa. Itu adalah alat untuk memulai revolusi global—sebuah cara untuk menciptakan dunia yang baru, yang lebih kuat, lebih baik. Dan aku akan memastikan itu terjadi, apapun yang terjadi.”
Dewa merasa dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Ia telah mempercayai Ares—mempercayakan hidupnya, serta masa depan seluruh dunia—kepada pria ini. Tetapi sekarang, ia baru menyadari bahwa ia telah jatuh ke dalam perangkap yang lebih besar dari yang ia kira. Ares bukan sekadar seorang sekutu. Dia adalah musuh yang tersembunyi di balik layar, menunggu saat yang tepat untuk mengkhianati mereka.
“Ares, kau akan membayar untuk ini,” kata Dewa dengan suara yang tegang, tetapi penuh tekad. “Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan dunia ini.”
Ares mengangkat tangannya, menenangkan suasana dengan senyum tipis yang semakin menyeringai. “Tidak ada yang bisa menghentikan aku sekarang, Dewa. Feniks akan segera menguasai dunia. Kalian hanya sekelompok kecil yang tersesat di dalam perang besar.”
Namun, sebelum Ares sempat melanjutkan kata-katanya, ledakan keras mengguncang ruangan itu. Dinding ruangan yang kokoh retak, dan asap serta debu memenuhi udara. Dewa dan Rendra segera melompat ke samping, bersembunyi di balik meja yang roboh, senjata mereka sudah siap di tangan.
Ares tertawa sinis, tampaknya sudah mengantisipasi kejadian itu. “Mereka datang. Feniks tidak akan membiarkan kalian hidup lebih lama. Kalian akan segera merasakan betapa mudahnya menjadi bagian dari permainan ini,” katanya dengan suara yang penuh kepuasan.
Dewa tahu bahwa saat ini, mereka tidak hanya berhadapan dengan pasukan Feniks yang datang untuk menghancurkan mereka, tetapi juga dengan kenyataan pahit bahwa Ares, yang selama ini mereka percayai, adalah bagian dari musuh yang jauh lebih besar. Serangan ini bukan hanya tentang menghentikan senjata biologis—ini adalah tentang bertahan hidup dan melawan pengkhianatan yang begitu dalam.
“Rendra, kita harus keluar dari sini!” teriak Dewa, meskipun suara ledakan terus menggema di sekitar mereka. “Kita tidak bisa melawan semua ini sendirian. Ares sudah mengkhianati kita, tapi kita masih punya kesempatan untuk menghentikan semuanya.”
Mereka berlari keluar dari ruangan yang semakin hancur, menembus asap dan debu yang memenuhi lorong. Dewa berlari dengan kecepatan tinggi, hanya memikirkan satu hal—melawan Ares dan Feniks, dan memastikan bahwa pengkhianatan ini tidak akan membawa dunia pada kehancuran yang lebih besar.
Tetapi, di dalam hati Dewa, ada satu pertanyaan yang tak bisa ia hilangkan: apakah mereka benar-benar dapat menghentikan Ares, atau apakah ini sudah terlalu jauh untuk dibalikkan?
Bab 8: Balas Dendam
Dewa dan Rendra berlari melalui lorong-lorong sempit di bawah tanah, terengah-engah, kaki mereka terhuyung-huyung akibat ledakan yang menghancurkan sebagian besar struktur bangunan di sekitar mereka. Asap masih mengepul, dan suara tembakan serta teriakan pasukan Feniks terdengar dari kejauhan. Dewa tahu, saat ini mereka tidak hanya melawan pasukan yang datang untuk menghancurkan mereka, tetapi juga melawan Ares—orang yang telah mereka percayai.
“Ares… brengsek itu,” kata Rendra dengan geram, sambil menembakkan beberapa peluru ke arah pasukan yang mengejar mereka. “Bagaimana bisa dia mengkhianati kita seperti ini? Kita harus menghentikannya.”
Dewa tidak menjawab langsung, matanya tetap fokus ke depan, menghindari puing-puing yang jatuh dari langit-langit. Pikiran Dewa dipenuhi dengan amarah dan perasaan dikhianati, namun ada satu hal yang lebih kuat dalam dirinya—keinginan untuk membalas dendam.
“Ares akan membayar untuk ini,” kata Dewa dengan suara rendah, penuh tekad. “Tapi kita harus keluar dari sini dulu.”
Mereka terus berlari, tak peduli seberapa berat langkah mereka, hingga akhirnya mereka tiba di sebuah pintu besar yang menuju ke luar ruangan bawah tanah. Dewa mendorong pintu itu dengan kekuatan penuh, dan mereka terlempar ke dalam kegelapan malam yang mencekam. Tak jauh di depan, kendaraan lapis baja pasukan Feniks masih terlihat, bergerak maju menuju posisi mereka.
“Ada beberapa kendaraan di depan,” kata Dewa, menghentikan langkahnya sejenak, menyembunyikan dirinya dan Rendra di balik tumpukan beton yang rusak. “Kita harus menghancurkan mereka agar bisa melarikan diri ke tempat yang lebih aman.”
Rendra mengangguk, menatap Dewa dengan ekspresi serius. “Kau ada rencana?”
Dewa menatap kendaraan yang semakin dekat dan melihat bahwa pasukan Feniks masih terlalu banyak. Mereka membutuhkan senjata yang lebih kuat, lebih mematikan, untuk menghancurkan formasi musuh ini. Namun, sesuatu di mata Dewa berubah—rencana balas dendam itu mulai terbentuk dalam benaknya.
“Kita akan memanfaatkan ledakan besar,” kata Dewa, matanya bersinar dengan determinasi. “Kita buat mereka berpikir kita sudah mati, dan kemudian kita serang mereka dari belakang.”
Rencana itu berbahaya, bahkan sangat berisiko, namun Dewa tahu bahwa itu adalah satu-satunya cara mereka bisa mengejutkan musuh dan menghancurkan beberapa kendaraan mereka. Mereka tidak punya pilihan lain.
Mereka bergerak dengan cepat, menyiapkan beberapa bahan peledak yang mereka bawa, dan menaruhnya di sekitar kendaraan pasukan Feniks yang berada dalam jangkauan mereka. Dewa memeriksa detonan, memastikan semuanya siap untuk meledak. Dengan setiap langkah yang mereka ambil, rasa sakit dan amarah yang terpendam semakin membara dalam dirinya. Ares telah membuat kesalahan fatal dengan mengkhianati mereka, dan Dewa berjanji akan memberikan balasan yang setimpal.
Rendra yang berdiri di samping Dewa, mengintip ke arah pasukan Feniks yang sibuk bersiap-siap, tampaknya tidak menyadari bahwa mereka akan segera terjebak dalam jebakan maut. “Kita perlu bergerak cepat. Pasukan mereka sudah hampir sampai.”
Dewa menatapnya dan mengangguk. “Kita butuh waktu lima menit. Setelah itu, kita harus mundur dan mencari tempat lebih aman.”
Semuanya sudah dipersiapkan. Dengan langkah hati-hati, Dewa dan Rendra mundur perlahan, menghindari deteksi. Mereka bersembunyi di balik bayang-bayang bangunan yang hancur, memastikan bahwa mereka tidak tertangkap oleh penjaga yang masih berpatroli di sekitar area tersebut.
Begitu waktu yang mereka tentukan hampir habis, Dewa mengangkat tangan dan memberi isyarat kepada Rendra. Detonator di tangannya siap digunakan. Ia menarik tuasnya, dan dalam sekejap, suara ledakan yang mengguncang bumi terdengar keras, diikuti dengan bola api yang besar dan suara hancurnya baja. Beberapa kendaraan Feniks meledak, terlempar oleh ledakan itu, dan pasukan yang berada di dekatnya terjatuh ke tanah. Asap hitam memenuhi udara, menyelimuti medan pertempuran.
“Sekarang!” teriak Dewa, berlari keluar dari tempat persembunyian mereka.
Mereka meluncur cepat, mengambil posisi strategis di balik reruntuhan dan menembakkan senjata mereka ke arah pasukan yang terkejut. Tembakan Dewa dan Rendra sangat mematikan—setiap peluru menghancurkan sasaran dengan presisi tinggi. Pasukan Feniks yang tersisa berusaha membalas tembakan, namun ledakan besar yang terjadi sebelumnya telah menciptakan kekacauan. Beberapa di antara mereka berlarian panik, mencoba mengatur formasi.
Dewa, yang terbakar oleh keinginan untuk membalas dendam, terus bergerak maju. Ia menembakkan peluru dengan gerakan yang terlatih, satu demi satu musuh jatuh ke tanah. Tapi, ia tidak hanya bertarung untuk melawan mereka—ia bertarung untuk menghancurkan setiap lapisan yang telah dibangun oleh Ares dan Feniks. Setiap tembakan, setiap ledakan adalah balas dendam yang ditunggu-tunggu.
Tiba-tiba, Dewa merasakan gerakan di belakangnya. Ia berbalik dan melihat seorang tentara Feniks muncul dari balik bangunan, senjata di tangan. Tanpa berpikir panjang, Dewa melepaskan tembakan, mengenai sasaran tepat di dada. Tentara itu jatuh dengan suara berat ke tanah, tak bernyawa lagi.
Namun, saat Dewa mengalihkan pandangannya ke medan pertempuran, ia melihat sesuatu yang tak terduga. Pasukan Feniks yang tersisa mulai mundur, dan dari kejauhan, sebuah helikopter besar muncul, terbang rendah dan menembakkan peluru-peluru tajam ke arah mereka. Dewa merasakan ketegangan semakin memuncak. Mereka harus segera pergi, atau mereka akan terperangkap dalam pengepungan yang lebih besar.
“Rendra, kita harus keluar dari sini sekarang juga!” teriak Dewa, memimpin langkah mereka menuju arah yang lebih aman.
Namun, sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, sebuah suara dari pengeras suara helikopter terdengar, mengejutkan mereka. “Dewa! Kalian tidak akan bisa lari dari sini! Kami tahu siapa kalian!”
Dewa berhenti sejenak, mengenali suara itu. Itu adalah suara Ares.
“Ares…” bisik Dewa, amarahnya semakin membakar. “Dia ada di sana.”
“Dewa, kita tidak bisa bertahan lama di sini,” kata Rendra, menyadari situasi yang semakin kritis. “Kita harus bergerak lebih cepat!”
Dewa mengangguk, menyadari bahwa ini adalah kesempatan terakhir mereka untuk melawan. Dengan keberanian yang tak terbendung, ia memimpin Rendra menuju pertempuran yang lebih besar. Balas dendam ini bukan hanya untuk menghancurkan Feniks, tetapi untuk menghentikan Ares—pria yang telah mengkhianati mereka dengan cara yang tak termaafkan.
Dengan langkah yang mantap, mereka melangkah menuju takdir mereka—menantang setiap bahaya yang ada di depan mereka, siap untuk menghadapi Ares dan pasukan Feniks dalam pertempuran terakhir yang menentukan.
Bab 9: Markas Musuh
Dewa dan Rendra berdiri di atas bukit, mata mereka terfokus pada sebuah kompleks besar yang terletak jauh di bawah sana. Markas Feniks—tempat di mana Ares dan pasukan terlatih mereka bersembunyi, tempat yang penuh dengan rahasia gelap dan senjata biologis yang dapat menghancurkan dunia. Mereka telah melintasi hutan lebat dan medan berbahaya, menghindari serangan pasukan Feniks yang terus mengejar, hingga akhirnya sampai di sini—di depan pintu gerbang kematian.
“Ini dia, markas mereka,” kata Dewa, suara penuh tekad. “Tempat kita mengakhiri semuanya.”
Rendra menatap Dewa, lalu kembali memandang markas itu. “Kau yakin kita bisa menghancurkan markas ini? Ini bukan sekadar benteng biasa. Dengan segala persenjataan dan pertahanan mereka, kita akan butuh lebih dari sekadar keberanian.”
Dewa mengangguk, matanya tajam, penuh perhitungan. “Kita tidak punya pilihan, Rendra. Ini adalah momen terakhir. Jika kita gagal, dunia ini akan hancur di tangan Ares dan Feniks. Kita harus masuk, menghancurkan senjata biologis mereka, dan menangkap Ares.”
Rendra menghela napas, memeriksa senjatanya sekali lagi. “Kalau begitu, kita lakukan ini dengan sempurna.”
Dewa menatapnya, senyum samar muncul di wajahnya. “Kita tidak punya waktu untuk ragu.”
Dengan langkah pasti, mereka turun dari bukit dan bergerak ke arah markas yang kokoh itu. Markas Feniks dilindungi oleh tembok baja yang tinggi, dengan gerbang besar yang dijaga ketat oleh pasukan elit. Sementara itu, helikopter-helikopter patroli terbang rendah di atas mereka, memastikan tidak ada yang lolos dari pengawasan.
“Jangan panik,” kata Dewa, memimpin langkah mereka dengan hati-hati. “Kita tahu jalan masuk. Aku sudah memetakan titik lemah di sekitar markas ini.”
Mereka bergerak melewati hutan gelap, menyelinap ke sisi barat markas. Dewa tahu bahwa satu-satunya cara untuk masuk tanpa terdeteksi adalah melalui sebuah terowongan lama yang digunakan selama masa perang dulu. Sebuah terowongan yang tidak diketahui oleh pasukan Feniks—terowongan yang ia temukan beberapa minggu lalu.
Setelah beberapa jam menelusuri medan yang sulit, mereka akhirnya tiba di mulut terowongan. Di sana, mereka berhenti sejenak untuk mempersiapkan diri, memeriksa peralatan mereka dan memastikan semua senjata siap untuk digunakan. Dewa melirik Rendra, yang tampak lebih serius dari biasanya.
“Ini dia,” kata Dewa, suaranya berat. “Kita masuk sekarang, dan kita keluar sebagai pemenang.”
Dengan senjata terhunus, mereka memasuki terowongan yang gelap dan sempit. Dinding terowongan terasa lembap, dan udara di dalamnya berat dengan bau tanah. Setiap langkah mereka bergema di dinding yang berongga, namun mereka tidak bisa mundur. Mereka tahu waktu mereka terbatas.
Mereka terus bergerak dengan hati-hati, hingga akhirnya mereka sampai di ujung terowongan yang membuka ke dalam area markas. Mereka bisa melihat dengan jelas bahwa tempat itu adalah pusat komando Feniks—ruang kontrol yang penuh dengan layar monitor dan perangkat canggih. Dewa dan Rendra bertukar pandang, menyadari bahwa ini adalah saat yang paling berbahaya dalam misi mereka.
“Rencana kita masih sama,” kata Dewa, merendahkan suara. “Kita hancurkan pusat kendali, dan kemudian ke ruang utama untuk menghancurkan senjata biologis. Setelah itu, kita cari Ares.”
Rendra mengangguk, matanya berbinar dengan semangat tempur. “Kita hancurkan semuanya.”
Dengan gerakan cepat dan terkoordinasi, mereka mulai melumpuhkan pasukan penjaga yang tersebar di sekitar pusat komando. Setiap langkah penuh dengan ketegangan—setiap detik berharga. Dewa dan Rendra bergerak seperti bayangan, menggunakan keahlian mereka dalam bertempur untuk mengalahkan musuh dengan senyap dan efektif.
Namun, saat mereka hampir sampai di pusat kendali, mereka dikejutkan oleh sekelompok pasukan elit Feniks yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka. Tanpa ragu, Dewa melepaskan tembakan dengan presisi tinggi, menewaskan dua orang pertama. Rendra menyusul dengan tembakan dari senapannya, menghancurkan pelindung yang dipakai musuh.
Pasukan Feniks balas menembak, memaksa Dewa dan Rendra untuk berlindung di balik dinding. Ledakan peluru menghantam dinding beton, dan asap memenuhi udara, menyelimuti medan tempur. Mereka tidak punya banyak waktu.
“Rendra, kita harus bergerak sekarang!” teriak Dewa, mengangkat granat tangan dan melemparkannya ke arah musuh. Ledakan besar terdengar, diikuti dengan jeritan pasukan Feniks yang terjatuh.
Rendra berlari ke depan, menembakkan senjata otomatis dengan cepat dan akurat, menumbangkan satu demi satu pasukan musuh. Dewa mengikuti, bergerak cepat ke pusat kendali, membunuh siapa pun yang mencoba menghalangi mereka.
Begitu mereka sampai di pintu pusat kendali, Dewa mengarahkan senjata ke penjaga terakhir yang berdiri di depan pintu. Tanpa kata, tembakan Dewa menghancurkan kepala musuh, dan pintu terbuka lebar. Mereka masuk, dan di dalam sana, layar-layar monitor menunjukkan berbagai kegiatan yang sedang berlangsung. Di tengah ruangan, sebuah perangkat besar berdiri—senjata biologis yang telah lama mereka cari.
Dewa tidak membuang waktu. “Kita harus menghancurkannya sekarang!”
Rendra segera mengeluarkan bahan peledak dari tasnya dan menempelkan beberapa di sekitar perangkat senjata. Waktu mereka semakin singkat, dan mereka tidak bisa membiarkan senjata itu aktif lebih lama lagi.
“Dewa, kita perlu segera keluar dari sini!” teriak Rendra, matanya melirik ke arah pintu yang terbuka. “Pasukan Feniks pasti sudah datang.”
Dewa mengangguk, tetapi sebelum mereka bisa melarikan diri, sebuah suara keras terdengar dari pengeras suara markas.
“Dewa… Kau pikir kalian bisa melarikan diri?” suara Ares terdengar di seluruh markas, dingin dan mengancam. “Kalian sudah terlambat. Markas ini adalah tempat kematian kalian.”
Dewa menatap Rendra, matanya penuh kemarahan. “Ares ada di sini. Kita harus menemukannya sebelum semuanya berakhir.”
Namun, tiba-tiba, alarm markas berbunyi, dan pasukan Feniks mulai menyerbu dari berbagai arah. Dewa dan Rendra hanya memiliki sedikit waktu untuk melarikan diri.
“Rencana kita harus berubah,” kata Dewa, suara keras dan penuh tekad. “Kita hancurkan markas ini dan menghancurkan Ares.”
Dengan ledakan yang mengguncang tanah, Dewa dan Rendra berlari menuju pintu darurat, sementara markas Feniks mulai runtuh di belakang mereka. Mereka telah memasuki sarang musuh—dan sekarang, mereka hanya memiliki satu tujuan: balas dendam dan menghentikan Ares, apapun yang terjadi.
Bab 10: Duel di Tengah Api
Kepulan asap tebal dan suara ledakan mengguncang markas Feniks. Dewa dan Rendra berlari melalui lorong-lorong yang dipenuhi reruntuhan, berusaha menghindari jebakan dan pasukan yang terus mengejar mereka. Markas Feniks mulai runtuh, bagian-bagian bangunan hancur akibat ledakan yang mereka pasang pada senjata biologis. Namun, itu belum cukup. Ares masih hidup, dan mereka harus menuntaskan balas dendam ini.
Dewa memimpin dengan langkah cepat, matanya terpaku pada pintu besar yang berada di ujung koridor. Mereka telah sampai di pusat markas—tempat Ares, pemimpin Feniks, bersembunyi. Hatinya dipenuhi amarah, namun juga ketenangan. Ini adalah momen terakhir. Mereka tidak bisa gagal.
“Kita hampir sampai,” kata Dewa, matanya menyapu sekeliling, memastikan tidak ada pasukan yang menghalangi jalan mereka.
Rendra menatap ke depan, senjata siap di tangan. “Ares tidak akan mudah menyerah begitu saja. Kita harus hati-hati.”
Dewa mengangguk tanpa menjawab, fokus sepenuhnya pada misi ini. Markas Feniks semakin hancur, namun suara langkah kaki mereka yang tergesa-gesa membuat suasana semakin tegang. Dalam setiap langkah yang mereka ambil, mereka tahu bahwa setiap detik yang berlalu semakin mendekatkan mereka pada duel terakhir.
Begitu mereka sampai di depan pintu utama ruang komando, Dewa berhenti dan menoleh ke Rendra. “Kau siap?”
Rendra mengangguk, wajahnya serius. “Untuk apa pun yang terjadi, kita harus menyelesaikan ini.”
Dewa mengangkat senjata dan menendang pintu itu dengan keras. Pintu terbelah, menampilkan ruang komando yang luas dan terbengkalai. Namun, di tengah-tengah ruangan, di balik meja besar yang terbuat dari baja, Ares berdiri, matanya tajam, penuh kebencian.
“Kau datang juga, Dewa,” kata Ares, suaranya penuh ejekan. “Aku tahu akhirnya kalian akan datang. Tapi kau sudah terlambat. Semua sudah berakhir. Feniks akan tetap berdiri, dan kau… kau hanya akan menjadi bagian dari sejarah yang terlupakan.”
Dewa melangkah maju, tubuhnya bergetar dengan amarah yang tak terbendung. “Ares, kau bukan hanya mengkhianatiku, tapi juga menghancurkan hidup banyak orang. Kau akan membayar untuk semua ini.”
Rendra berdiri di sisi Dewa, siap. “Tidak ada yang akan selamat dari perbuatanmu, Ares. Kami akan mengakhiri kekuasaanmu di sini dan sekarang.”
Ares tertawa dingin, lalu mengambil senjata yang tergantung di pinggangnya—sebuah pedang panjang yang berkilau. “Kalian benar-benar yakin bisa mengalahkanku? Ini bukan hanya tentang persenjataan, Dewa. Ini tentang kekuatan sejati. Kalian takkan pernah bisa mengalahkan Feniks. Tidak ada yang lebih kuat dariku.”
Tanpa peringatan, Ares melompat ke depan, pedang di tangan bersinar dalam cahaya yang memudar. Dengan gerakan cepat dan mematikan, dia menyerang Dewa. Dewa dengan sigap menghindar, memutar tubuhnya dan menggenggam senjatanya erat-erat. “Aku sudah cukup lama menjadi bayanganmu, Ares. Saat ini, aku akan menjadi pengakhiranmu.”
Ares menyerang lagi, kali ini lebih cepat, lebih tajam. Dewa hanya bisa menangkis serangan itu dengan pelipatan senjatanya, memanfaatkan setiap gerakan untuk mempertahankan dirinya. Tiap kali pedang Ares menyentuh senjata Dewa, suara metal yang keras menggema di seluruh ruangan. Setiap gerakan Ares penuh dengan kecepatan dan kekuatan, seolah-olah dia telah menempuh jalur pertempuran yang tak terhitung jumlahnya. Namun, Dewa tidak gentar. Ketika Ares melayangkan pedangnya sekali lagi, Dewa melompat ke samping, menghindar dengan sempurna, lalu mengarahkan tembakan ke Ares.
Ares mengangkat pedangnya dengan gesit, menangkis peluru yang datang ke arahnya. “Kau masih mengandalkan senjata biasa? Itu tidak akan cukup,” katanya, menggeram marah.
Dengan kecepatan luar biasa, Ares menyerang lagi, kali ini lebih ganas. Dewa terpaksa mundur, menyusuri ruang komando yang semakin hancur. Di belakang mereka, ledakan kecil mulai terdengar, tanda bahwa markas Feniks benar-benar runtuh. Semuanya akan berakhir di sini, di tengah api dan kehancuran.
Rendra, yang masih berada di sisi Dewa, bergerak dengan cermat. Ia memanfaatkan kekacauan yang terjadi untuk mengalihkan perhatian Ares. Dengan gerakan cepat, Rendra melemparkan granat ke arah Ares, menciptakan ledakan yang menghalangi pandangan musuh. Namun, Ares hanya tersenyum jahat dan melompat ke samping, menghindari ledakan dengan sempurna.
“Coba lagi, temanmu,” kata Ares dengan sinis, memandang Rendra.
Dewa mengambil kesempatan itu. Dengan cepat, dia melesat ke depan, melepaskan serangan bertubi-tubi ke Ares, menekan musuh yang mulai sedikit terganggu oleh ledakan granat. Setiap serangan yang dilancarkan Dewa dipenuhi dengan tekad untuk membalas semua penderitaan yang telah dia alami.
Namun, Ares bukanlah lawan yang mudah dikalahkan. Dalam sekejap, dia menggunakan kelincahan luar biasa untuk membalas serangan Dewa, pedangnya bergerak dengan presisi, menusuk ke arah dada Dewa. Dewa hanya berhasil menghindar dalam hitungan detik, tubuhnya terhuyung mundur karena dampak dari serangan yang begitu kuat.
“Ini tidak akan berakhir seperti yang kau pikirkan, Dewa!” teriak Ares, pedangnya kini bergerak lebih cepat dan lebih mematikan.
Dengan napas terengah-engah, Dewa menatap Ares dengan marah. “Aku akan mengakhirinya sekarang!”
Dewa menyadari bahwa mereka membutuhkan lebih dari sekadar tembakan untuk mengalahkan Ares. Dengan hati-hati, ia memanfaatkan serangan Ares untuk mengalihkan perhatiannya. Ketika Ares meluncurkan serangan terakhirnya yang sangat kuat, Dewa melompat ke samping dan memanfaatkan momentum musuh. Dengan satu gerakan yang cepat, Dewa menendang Ares ke dinding baja yang runtuh, membuat musuhnya terhuyung-huyung ke belakang.
Saat Ares mencoba bangkit, Dewa tidak memberi kesempatan. Dengan secepat kilat, ia melompat ke atas, dan dengan satu serangan penuh tenaga, menghujamkan pedang ke arah Ares. Pedang itu menembus tubuh Ares dengan keras, darah menyembur keluar, dan Ares jatuh ke tanah, tak bergerak lagi.
Rendra berdiri di samping Dewa, terengah-engah. “Kita berhasil… Ares sudah jatuh.”
Dewa menatap tubuh Ares yang tergeletak di tanah, rasa lega bercampur dengan perasaan tak terucapkan. “Akhirnya… semuanya berakhir.”
Namun, markas Feniks masih akan segera hancur. Waktu mereka sudah habis. Mereka berlari keluar dari ruang komando, mencari jalan keluar sebelum seluruh bangunan itu runtuh sepenuhnya.
Dengan langkah penuh semangat, mereka melaju menuju pintu keluar markas yang kini terbuka lebar, sementara di belakang mereka, ledakan-ledakan besar semakin mendekat. Mereka telah menang, tetapi dunia mereka masih terbakar dalam api yang tak akan pernah padam.
Itu adalah akhir dari satu babak, dan awal dari sesuatu yang baru—sebuah dunia yang akan dibangun dari abu.
Bab 11: Kehilangan
Ledakan besar mengguncang tanah di bawah kaki mereka, menggulirkan debu dan serpihan dari reruntuhan markas Feniks. Dewa dan Rendra berlari, menyusuri lorong-lorong yang kini dipenuhi dengan asap tebal dan cahaya api yang menari di antara puing-puing. Waktu yang mereka miliki semakin sedikit, dan mereka tahu bahwa markas ini, yang sebelumnya kokoh dan megah, akan segera hancur sepenuhnya.
“Ke pintu darurat, cepat!” teriak Dewa, suaranya penuh urgensi, meski tubuhnya terasa lelah dan terluka. Setelah mengalahkan Ares, kemenangan mereka seharusnya membawa kedamaian. Namun, kenyataannya adalah sebaliknya. Markas Feniks telah dipenuhi dengan bahan peledak yang diletakkan oleh pasukan mereka sendiri, dan ledakan-ledakan itu akan terus mengguncang tempat itu hingga menjadi puing-puing.
Rendra, yang berlari di samping Dewa, terlihat cemas. “Dewa, kita hampir sampai, tapi… ada sesuatu yang tidak beres. Aku merasa ada yang hilang.”
Dewa menatap Rendra dengan tatapan yang kosong. “Kehilangan apa, Rendra? Kita harus keluar dari sini, kita sudah menang.”
Namun Rendra tampak gelisah, matanya mencari-cari sesuatu. “Aku tidak tahu. Ada sesuatu yang menggangguku. Sesuatu yang lebih besar dari apa yang kita hadapi sekarang.”
Dewa terdiam sejenak, merasa ada yang tidak beres, tetapi ia tahu mereka tidak bisa berhenti. Ledakan demi ledakan mengguncang lorong yang mereka lewati, merobek dinding dan menggelincirkan mereka hampir ke tanah. Mereka harus segera keluar, atau semuanya akan sia-sia.
“Jangan pikirkan itu sekarang,” Dewa berkata, memaksakan diri untuk mengesampingkan keraguan. “Kita keluar dulu. Setelah itu, kita akan tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Namun, langkah mereka terhenti ketika sebuah ledakan besar mengguncang markas, menyebabkan lantai di bawah mereka runtuh dan mengeluarkan suara gemuruh yang menakutkan. Debu tebal memenuhi udara, dan mereka terpaksa melompat mundur, menyelamatkan diri dari serpihan yang berjatuhan.
“Kita harus mencari jalan lain,” kata Dewa, napasnya terengah-engah, tubuhnya terasa semakin berat. “Ayo!”
Saat mereka berbelok menuju lorong lain, mereka tiba-tiba mendengar suara gemuruh yang berasal dari arah belakang. Ada sesuatu yang datang dengan kecepatan luar biasa, menggetarkan tanah di bawah mereka. Dewa dan Rendra saling pandang, merasakan ancaman yang semakin mendekat. Sebuah helikopter besar muncul di atas mereka, terbang rendah dengan suara mesin yang mengerikan.
“Musuh!” teriak Rendra, cepat mengarahkan senjatanya ke atas. “Ada helikopter! Kita harus bergerak cepat!”
Dewa tahu itu berarti pasukan Feniks yang tersisa masih ada, mereka tidak menyerah begitu saja. “Ke sana!” katanya, menunjuk ke pintu darurat di ujung lorong yang terhalang oleh api dan reruntuhan. “Itu satu-satunya jalan keluar.”
Dengan segera, mereka berlari menuju pintu darurat, sementara helikopter pasukan Feniks semakin mendekat. Suara tembakan senapan mesin terdengar di udara, menghantam dinding di sekitar mereka dan memaksa mereka untuk mencari perlindungan di balik puing-puing. Debu dan serpihan beterbangan, membuat segala sesuatunya semakin sulit untuk dilihat.
Dewa menarik Rendra ke samping, berlindung di balik sebuah dinding yang runtuh. “Jika kita tidak keluar dari sini dalam waktu dekat, kita akan terperangkap.”
Rendra menggigit bibirnya, tidak bisa menahan kekhawatirannya. “Aku tidak tahu berapa lama kita bisa bertahan dengan tembakan itu. Kita butuh strategi.”
Dewa mengamati sekelilingnya, menilai situasi dengan cepat. Di sebelah kanan mereka, ada sebuah tangga yang mengarah ke atas—sebuah jalan alternatif untuk keluar dari markas. “Kita harus naik ke atas. Arahkan tembakan ke helikopter itu. Aku akan memimpin kita ke sana.”
“Dewa, hati-hati…” Rendra memperingatkan, meskipun ia tahu mereka tidak punya banyak pilihan.
Dengan keberanian yang terpaksa ditarik dari dalam diri mereka, Dewa dan Rendra segera melompat ke atas tangga yang rapuh, naik ke level yang lebih tinggi di dalam bangunan yang hampir runtuh itu. Setiap langkah mereka terasa berat, setiap detik seperti berharga. Suara helikopter di atas mereka semakin mendekat, semakin menegangkan.
Tiba-tiba, suara ledakan besar terdengar, dan sebuah pecahan besar dari dinding jatuh tepat di depan mereka. Mereka hampir terjatuh, namun Dewa dengan sigap menarik Rendra ke samping, menyelamatkan mereka dari bahaya. Namun, saat mereka berdua mencoba melanjutkan, mereka merasakan sebuah pukulan hebat di bagian belakang mereka—terkena tembakan dari helikopter yang terus mengejar.
“Rendra!” teriak Dewa, melihat temannya terhuyung ke belakang, darah mengalir dari luka di tubuhnya.
Rendra jatuh ke tanah dengan wajah penuh rasa sakit, mencoba untuk bangkit, namun tubuhnya tampak lemas. “Aku… aku tidak bisa… bergerak, Dewa…”
Dewa merasa seolah-olah dunia berhenti sejenak. Rasa cemas yang mendalam mengguncang jantungnya. “Jangan… Rendra, bertahanlah. Kita masih bisa keluar dari sini!”
Namun, Rendra hanya menggelengkan kepalanya, mulutnya mengeluarkan darah. “Aku tidak bisa, Dewa… Kau harus pergi tanpa aku.”
Dewa merasakan darahnya mendidih karena amarah dan kesedihan. “Tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu di sini!”
Namun Rendra memegang tangan Dewa dengan lemah. “Kau sudah melakukan yang terbaik… selamatkan dirimu, Dewa. Hentikan semuanya.”
Dewa menatap mata sahabatnya dengan penuh kesedihan. Rasa kehilangan itu begitu kuat, seperti ada bagian dari dirinya yang telah terambil. Dia tahu tidak ada waktu lagi. Tanpa berkata apa-apa, ia memeluk Rendra sekali lagi, sebelum berdiri dan berlari menuju pintu keluar, meninggalkan sahabatnya di tengah kehancuran.
Airmata menetes dari mata Dewa, tetapi ia tidak berhenti. Dunia terasa seperti runtuh seiring langkahnya, namun satu hal yang ia yakini: Misi ini harus selesai. Feniks harus dihancurkan sepenuhnya.
Namun, kehilangan yang dialaminya itu tidak akan mudah untuk disembuhkan. Di dalam dirinya, ada lubang besar yang tak bisa diisi oleh apapun, sebuah rasa kehilangan yang mendalam, yang akan mengikutinya ke manapun ia pergi. Tapi, ia tahu bahwa dalam perang seperti ini, kehilangan adalah bagian dari harga yang harus dibayar.
Dan Dewa… akan membalas dendam atas sahabatnya yang telah jatuh.
Bab 12: Kemenangan yang Pahit
Dewa berdiri di atas reruntuhan markas Feniks yang kini menjadi abu. Di sekelilingnya, angin berhembus membawa sisa-sisa debu dari bangunan yang hancur. Ledakan-ledakan besar telah merobek seluruh kompleks, mengubur kenangan yang sebelumnya berdiri kokoh. Namun, di balik semua itu, ada perasaan kosong yang menggerogoti hatinya. Kemenangan itu terasa seperti kemenangan yang hilang, penuh dengan kerugian yang tak terukur.
Dewa memandangi tubuh sahabatnya yang kini terbaring kaku, darah yang membekas di tanah yang keras. Rendra telah pergi. Kepergiannya meninggalkan luka yang lebih dalam daripada yang bisa diungkapkan dengan kata-kata. Dunia telah berubah, dan Dewa tahu bahwa apapun yang terjadi berikutnya, dia tidak akan pernah bisa kembali seperti dulu.
Meskipun Feniks telah hancur, misi mereka selesai, dan para pengikut Ares yang tersisa kini terburai, rasa kehilangan itu lebih berat daripada apa pun yang dia bayangkan. Kemenangan itu terasa hampa. Semuanya berakhir, tetapi harga yang dibayar begitu mahal.
Dewa berjalan pelan menuju tempat yang dulunya adalah ruang kendali utama. Sekarang hanya tersisa puing-puing dan reruntuhan. Pintu besar yang pernah kokoh kini telah rusak, memancarkan aroma kebakaran yang tak bisa disembunyikan. Di depan matanya, layar-layar komputer yang dulu penuh dengan data penting kini mati, hanya menyisakan sinar merah yang berkilau lemah.
Lalu, dari kejauhan, sebuah suara mengejutkan Dewa, membuat tubuhnya refleks berbalik.
“Apakah ini yang kau sebut kemenangan, Dewa?”
Suara itu datang dari seorang perempuan yang berdiri di tengah asap. Wajahnya terlindung oleh masker gas, namun Dewa mengenalinya. Dia adalah Karina, mantan anggota Feniks yang dulu pernah menjadi sekutu mereka, sebelum akhirnya berbalik arah. Dia adalah orang yang menyelamatkan Dewa di saat-saat terakhir ketika Ares hampir menangkapnya. Namun sekarang, dalam pertemuan ini, dia berdiri sebagai musuh.
Dewa menatap Karina dengan tajam. “Kau masih hidup,” katanya datar, meski di dalam hatinya ada perasaan tak menentu. Apa yang ia harapkan dari pertemuan ini? Karina adalah bagian dari masa lalu yang buruk, dan sekarang dia berdiri di hadapannya, seolah menantang untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi.
“Jangan berpura-pura tidak tahu, Dewa,” Karina berkata dengan nada penuh kecaman. “Kau sudah menghancurkan segala yang kami bangun. Feniks, Ares, semuanya. Tapi pada akhirnya, siapa yang menang? Kau merasa puas setelah melihat banyak orang mati? Apa itu yang disebut kemenangan?”
Dewa merasa amarahnya mulai membara. “Kami melawan tirani! Ares adalah ancaman bagi banyak orang, dan kami menghancurkan kekuasaannya. Apa yang lebih penting selain itu?”
Karina tertawa dengan nada yang dingin. “Kemenanganmu hanya berdiri di atas tumpukan mayat, Dewa. Apa yang kau dapatkan dengan menghancurkan Feniks? Bukankah kalian berdua sebenarnya sama? Saling menghancurkan tanpa memikirkan akibatnya?”
Dewa terdiam. Kata-kata Karina seperti tusukan pedang yang merobek hatinya. Benarkah mereka begitu? Sejak awal, tujuan mereka adalah keadilan, namun pada akhirnya mereka justru ikut terperangkap dalam lingkaran kekerasan yang tak berujung. Dia memejamkan mata, merasakan beban yang semakin berat.
Karina melangkah mendekat, memperhatikan Dewa dengan sorot mata yang penuh kebencian dan kesedihan. “Kau tahu, Dewa, aku hampir menganggapmu teman. Tapi setelah melihat semua ini, aku menyadari satu hal—kehidupan kita ini sudah terkutuk sejak awal. Kita telah memilih jalan yang salah.”
Dewa berusaha mengendalikan emosinya. “Aku tidak akan mendengarkan kata-kata ini, Karina. Semua yang kami lakukan adalah demi kebaikan. Kami harus menghentikan Ares, dan kami berhasil.”
“Tapi apa yang kau tinggalkan?” Karina berkata, suara mulai pecah. “Rendra mati, Dewa. Dan kau tahu, aku melihatnya. Kau terpaksa melepaskan sahabatmu demi kemenangan ini. Ini bukanlah kemenangan. Ini hanyalah pengorbanan yang sia-sia.”
Dewa menatap ke tanah, pikirannya berputar. Kenangan tentang Rendra, tentang semua pertempuran yang mereka jalani bersama, menghantui setiap langkahnya. Ia tidak bisa menyangkal kata-kata Karina. Setiap kali ia berhasil menghancurkan satu musuh, satu pengkhianat, harga yang harus dibayar semakin mahal. Rendra adalah bukti konkret dari semua itu.
Karina terus berbicara, suaranya semakin penuh dengan ketegangan. “Kau pikir kau bisa melupakan apa yang telah terjadi? Kau pikir ini akan berakhir begitu saja? Bahkan setelah Feniks hancur, perang ini belum selesai, Dewa. Kau sudah membuat banyak musuh. Kau telah memilih jalan yang penuh dengan darah, dan sekarang mereka akan datang untuk membalas.”
Dewa menatap Karina dengan mata yang tajam, mencoba menahan semua perasaan yang begitu membebaninya. “Jadi, apa yang kau inginkan dariku, Karina? Kau ingin aku menyerah? Berhenti melawan?”
Karina menunduk, sejenak diam, sebelum akhirnya mengangkat kepala dan menatap Dewa dengan tatapan yang lebih lembut. “Aku tidak tahu lagi, Dewa. Aku hanya ingin kau tahu satu hal. Kemenangan ini… tidak akan pernah terasa benar. Itu akan selalu menghantui kalian, menghantui dirimu. Karena pada akhirnya, kalian hanya mengubah satu tirani dengan tirani lainnya.”
Dewa diam sejenak, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Karina. Lalu, dengan suara yang berat, ia berkata, “Aku tidak tahu apakah kita bisa mengubah dunia ini, Karina. Tetapi satu hal yang pasti: aku akan terus bertarung. Walaupun harus kehilangan lebih banyak lagi.”
Karina menatap Dewa dengan rasa iba, sebelum akhirnya berbalik dan berjalan menjauh, melangkah ke dalam kegelapan yang semakin dalam. Dewa hanya berdiri di sana, merasakan kesendirian yang mendalam. Kemenangan mereka tidak dirayakan. Tidak ada perayaan, tidak ada kebahagiaan. Yang ada hanya kehancuran dan kehilangan.
Dewa mengangkat wajahnya ke langit yang mulai gelap. Angin malam bertiup keras, membawa sisa-sisa debu dari medan pertempuran. Ia tahu jalan di depannya tidak akan mudah. Ada lebih banyak musuh yang harus dihadapi, lebih banyak luka yang harus disembuhkan. Namun, satu hal yang ia pastikan—keputusan yang telah diambil, meskipun sulit, tetap harus dijalani.
Ini bukanlah kemenangan yang bisa dirayakan. Ini adalah kemenangan yang pahit, sebuah pengingat bahwa dalam setiap perjuangan, ada harga yang harus dibayar. Dan Dewa, seperti yang lainnya, harus terus melangkah, menanggung beban yang ditinggalkan oleh mereka yang telah pergi.
Dalam kesendirian itu, Dewa mengingat kata-kata terakhir Rendra: “Hentikan semuanya.” Meskipun kini ia sendirian, Dewa tahu satu hal: meskipun dunia telah berubah, perang belum berakhir. Dan dia akan terus berjuang, karena ini adalah jalan yang telah dipilihnya, meski jalan itu penuh dengan darah dan air mata.
Bab 13: Menutup Pintu
Dewa berdiri di depan pintu besar yang hampir hancur. Reruntuhan markas Feniks telah mengubah segala sesuatu di sekitarnya menjadi abu dan debu, namun satu tempat masih bertahan, meski dalam kondisi yang sangat rapuh. Pintu ini adalah simbol dari perjalanan panjangnya—perjalanan yang penuh dengan pengorbanan, kehilangan, dan juga kebanggaan yang telah tercapai. Namun, hari ini, pintu ini harus ditutup, dan segala sesuatu yang ada di baliknya harus dikubur bersama masa lalu.
Ia merasakan bebannya semakin berat setiap kali ia memandang pintu ini. Ini adalah pintu yang membawa mereka menuju petualangan yang tak terduga, tempat di mana sahabatnya, Rendra, terjatuh. Dewa tahu bahwa di balik pintu ini, banyak kenangan pahit dan hal-hal yang harus diselesaikan. Tetapi yang paling penting, ada masa depan yang harus dibangun. Ini adalah langkah terakhir.
Dewa menghela napas dalam-dalam dan mendekati pintu itu. Tangan kirinya terulur, menggenggam pegangan pintu yang terbuat dari baja yang sudah berkarat. Begitu ia memutar tuasnya, suara berderak terdengar keras, mengingatkannya bahwa mereka bukan hanya menutup pintu fisik, tetapi juga menutup babak lama dalam hidup mereka.
Ketika pintu terbuka perlahan, Dewa melihat ruang yang gelap, penuh dengan bayangan yang menghantui setiap sudutnya. Tempat ini dulu penuh dengan kebisingan, dengan orang-orang yang bergerak cepat untuk mencapai tujuan mereka. Namun kini, hanya ada keheningan yang menyesakkan. Tidak ada lagi perintah, tidak ada lagi suara-suara yang bergema, hanya ada rasa kehilangan yang mengisi setiap ruang.
Dewa melangkah masuk, matanya memindai setiap detail ruangan yang telah mengubah banyak hal dalam hidupnya. Ruang ini adalah markas besar Feniks, tempat perencanaan terjadi, tempat mereka menggulirkan semua taktik dan strategi untuk melawan dunia. Semua ini kini tinggal kenangan. Ia tahu bahwa menghancurkan Feniks adalah keputusan yang benar, tapi perasaan bahwa ia telah menghabisi begitu banyak nyawa tetap mengusik.
Langkah demi langkah, Dewa berjalan menuju meja besar yang dulu menjadi pusat kendali operasi mereka. Di sana, ada tumpukan dokumen yang tergeletak berserakan. Tidak ada lagi komputer yang menghubungkan mereka dengan dunia luar, hanya ada kertas-kertas yang terbakar sebagian, tertutup debu yang telah lama mengendap.
Dengan hati yang penuh kekosongan, Dewa duduk di kursi yang ada di depan meja itu. Ia merasakan seakan semua beban masa lalu bergelayut di pundaknya. Rendra, sahabat terbaiknya, mati dalam pertempuran ini, dan Dewa tidak bisa menghindari rasa bersalah yang terus menggerogoti jiwanya. Semua yang mereka perjuangkan—semua nyawa yang hilang—rasanya tak berarti lagi. Feniks telah jatuh, tetapi apa yang telah mereka tinggalkan? Apa yang telah mereka korbankan?
Dewa meraih salah satu tumpukan kertas yang tergeletak di meja, membuka lembaran demi lembaran. Di antara tumpukan itu, ia menemukan sebuah dokumen yang sudah hampir hancur. Itu adalah rencana terakhir Feniks untuk melawan dunia. Di atas kertas itu tertera rencana besar untuk membangun kembali kekuatan mereka. Rencana yang jika diteruskan, bisa menyebabkan lebih banyak kehancuran.
Namun, dalam ketenangan yang menyeruak di ruang itu, Dewa merasa satu hal yang paling penting—tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan untuk dunia ini. Feniks telah gagal, dan tak ada alasan lagi untuk melanjutkan apa yang telah dimulai. Semua itu harus berakhir sekarang.
Ia menatap dokumen itu, lalu dengan tegas, ia merobeknya menjadi beberapa bagian, mengumpulkannya menjadi tumpukan yang terbakar. Api kecil yang muncul dari kertas yang terbakar memberi sedikit cahaya di dalam ruangan yang gelap. Dalam sekejap, tumpukan dokumen itu habis dimakan api. Dewa mengamati dengan hening. Ini adalah simbol dari masa lalu yang harus dia tinggalkan.
“Rendra, ini untukmu,” bisiknya pelan, menyadari bahwa meskipun dunia ini penuh dengan kehancuran, dia harus melanjutkan hidup. Kemenangan yang pahit ini tak boleh dibiarkan menghalangi masa depan yang harus dibangun.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu. Dewa berbalik dan mendapati Karina yang kini berdiri di ambang pintu, matanya penuh dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ia mengenakan pakaian hitam, wajahnya tertutup masker gas, tetapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Ada ketegasan dalam caranya berdiri, seperti seseorang yang telah mengambil keputusan besar.
“Kau sudah selesai?” tanya Karina, suaranya datar.
Dewa mengangguk perlahan, tidak mengalihkan pandangannya dari api yang terus membakar dokumen-dokumen tersebut. “Aku sudah menutup pintu ini, Karina. Feniks sudah hancur. Tidak ada yang tersisa di sini. Semua yang harus aku selesaikan sudah selesai.”
Karina berjalan mendekat, matanya menatap ke arah tumpukan abu yang masih mengeluarkan asap. “Kau yakin ini yang kau inginkan? Apakah menutup pintu ini akan menghapus semuanya? Apa yang terjadi pada kita? Apa yang terjadi pada semua yang telah kita perjuangkan?”
Dewa menoleh ke arah Karina, wajahnya terlihat lelah. “Aku tidak tahu, Karina. Aku hanya tahu satu hal: Feniks telah jatuh, dan dunia ini akan berubah. Aku tidak bisa terus menyesali keputusan yang sudah diambil. Aku harus terus maju.”
Karina menatapnya lama, seolah merenung, kemudian mengangguk pelan. “Mungkin kau benar. Feniks sudah berakhir. Tapi ingat, Dewa, ada banyak pintu lain yang menunggu untuk dibuka. Tidak semuanya akan berjalan seperti yang kita harapkan. Jalan ini, perjuangan ini, mungkin baru dimulai.”
Dewa merasakan sebuah beban besar yang masih ada, namun kata-kata Karina membawanya kembali ke kenyataan. Ia harus terus berjalan. Meskipun pintu ini telah ditutup, pintu lain akan selalu ada. Dan ia harus siap untuk menghadapinya.
“Jalan yang kita pilih mungkin penuh dengan darah dan air mata, Karina,” kata Dewa dengan suara berat, “tapi aku tak akan mundur. Tidak sekarang, tidak pernah.”
Karina mengangguk sekali lagi, menyadari bahwa Dewa telah memilih jalan yang tidak akan mudah. “Aku akan mendukungmu, Dewa. Aku selalu ada di sini, jika kau membutuhkan bantuan.”
Dengan kata-kata itu, Karina berbalik dan meninggalkan Dewa sendirian di dalam ruangan yang gelap. Dewa berdiri, menatap pintu yang kini tertutup rapat. Namun, dalam dirinya, ia tahu satu hal—ini bukan akhir dari perjalanan mereka. Ini adalah awal dari sebuah babak baru yang lebih berat. Dunia yang penuh ancaman masih menanti, dan ia harus siap menghadapi segala kemungkinan yang akan datang.
Dengan tekad yang semakin kuat, Dewa menatap ke luar jendela markas yang hancur. Langit di luar mulai gelap, dan bintang-bintang bersinar redup. Ini adalah malam yang penuh dengan tanda tanya, namun Dewa tahu bahwa meskipun dunia ini telah berubah, ia akan terus melangkah. Karena hanya ada satu jalan yang harus diambil—menutup pintu masa lalu dan membuka pintu untuk masa depan yang baru.
Bab 14: Langkah Terakhir
Langit malam yang kelam menyelimuti dunia. Hujan deras mulai mengguyur tanah yang telah lama tercemar oleh darah dan api. Dewa berdiri di atas atap bangunan tinggi, memandang ke arah horizon yang kabur oleh angin kencang dan kilat yang sesekali menyambar. Hatinya terasa semakin berat, namun langkahnya tetap mantap. Ia tahu, ini adalah langkah terakhir yang harus ia ambil—langkah yang akan menutup babak penuh peperangan dan membawa akhir dari sebuah perjalanan yang panjang dan penuh pengorbanan.
Selama berhari-hari, ia menyusun rencana terakhirnya. Semua yang terjadi sejak ia pertama kali terjun ke medan perang ini—semua pengorbanan yang telah dibuat, semua nyawa yang hilang—membawanya pada titik ini. Feniks telah jatuh, tetapi musuh yang lebih besar, yang lebih berbahaya, kini muncul dari bayang-bayang. Dunia ini tidak pernah berhenti menguji batas kekuatan manusia, dan Dewa tahu, jika dia tidak mengakhiri semuanya sekarang, dunia ini akan jatuh kembali ke dalam kekacauan.
Suara langkah kaki yang berat terdengar di belakangnya. Karina, yang sudah menemani Dewa sejak awal, mendekat dengan wajah yang penuh ketegasan. Walau badai melanda, dia tetap berdiri tegak, dengan tatapan yang tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun.
“Kau siap?” tanya Karina, suara angin menambah ketegangan dalam kata-katanya. “Langkah terakhir ini akan membawa kita pada akhir yang tak terduga.”
Dewa menatapnya dengan mata yang tajam, seolah mengukur setiap kata yang keluar dari mulut Karina. “Aku tidak tahu apakah aku siap, tapi aku tahu bahwa ini adalah satu-satunya jalan yang tersisa. Jika kita tidak menghentikan mereka sekarang, tidak ada yang akan bisa mengontrol apa yang akan terjadi setelah ini.”
Karina menundukkan kepala sejenak, mengingat segala sesuatu yang telah terjadi. “Aku mengerti,” jawabnya, “tapi kau harus ingat—ini adalah langkah yang sangat besar. Kita akan memulai sesuatu yang tak bisa dibatalkan.”
Dewa memutar badannya, menatap ke depan dengan mata yang penuh tekad. “Aku tidak peduli. Jika itu harga yang harus dibayar untuk memastikan dunia ini tidak jatuh ke dalam tangan yang salah, aku siap. Aku tidak bisa mundur.”
Karina menatapnya dengan tatapan yang penuh penghormatan, namun ada keraguan di matanya. “Baiklah. Kita lakukan ini bersama.”
Dewa menoleh ke arah pusat kota yang tampak di kejauhan, tempat di mana musuh yang lebih kuat dan lebih berbahaya itu berada. Mereka adalah kelompok bayangan yang sudah lama bersembunyi di balik kekacauan yang diciptakan Feniks dan kelompok-kelompok lainnya. Setelah menghabisi Feniks, Dewa dan Karina mendapatkan informasi tentang kelompok ini—kelompok yang jauh lebih tersembunyi dan lebih kuat. Mereka memiliki rencana besar untuk menguasai dunia, dan hanya satu hal yang bisa menghentikan mereka: menghancurkan markas mereka sebelum mereka melaksanakan rencana tersebut.
Tanpa kata-kata lebih lanjut, Dewa melompat dari atap, memanfaatkan kegelapan malam dan hujan untuk menutupi gerakannya. Karina mengikuti di belakangnya, kedua tangan mereka sudah siap dengan senjata masing-masing. Mereka bergerak cepat, melintasi jalanan kota yang hampir kosong, hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar. Meskipun hujan deras, mereka tahu bahwa musuh mereka tidak akan memberikan kesempatan untuk mundur.
Mereka tiba di gedung utama yang menjadi markas musuh. Gedung itu menjulang tinggi, dilapisi dengan kaca yang mengkilap, namun ada kesan dingin dan tak bersahabat yang menyelimuti bangunan itu. Mereka tahu, di dalam sana, musuh mereka sedang mempersiapkan rencana besar untuk mengguncang dunia.
Dewa memberi isyarat pada Karina, yang langsung bergerak ke sisi kiri gedung untuk mengalihkan perhatian, sementara Dewa melanjutkan ke pintu utama. Setiap langkah terasa berat, setiap detik terasa semakin lama, namun tekad Dewa semakin menguat. Ini adalah misi terakhirnya. Dia tidak akan memberi kesempatan kepada siapa pun untuk merusak dunia ini lebih jauh lagi.
Begitu tiba di pintu utama, Dewa menggunakan alat pemutus listrik yang telah disiapkan. Sebentar saja, pintu utama terbuka tanpa suara. Ia memasuki gedung dengan hati-hati, matanya tajam mengamati setiap sudut, menunggu serangan yang mungkin datang kapan saja. Karina segera muncul di sampingnya, menyusul tanpa mengeluarkan suara. Mereka melanjutkan perjalanan menuju ruang kendali.
Di ruang kendali, layar-layar besar menampilkan peta dunia dan berbagai data yang tak dikenali. Dewa tahu ini adalah pusat dari rencana mereka. Dengan cepat, ia menghancurkan beberapa perangkat penting yang menghubungkan markas ini dengan jaringan mereka, membuat mereka kehilangan kontrol sejenak. Namun, ini belum cukup. Musuh mereka masih memiliki banyak aset yang bisa digunakan untuk melarikan diri atau melanjutkan rencana mereka.
Dewa dan Karina berlari menuju pusat komando, di mana mereka akhirnya bertemu dengan pemimpin kelompok bayangan yang selama ini bersembunyi. Pemimpin itu berdiri tegak, dengan ekspresi yang penuh kebencian dan kesombongan. Dia mengenakan pelindung tubuh hitam yang canggih, siap untuk bertarung.
“Apa yang kalian harapkan bisa dicapai dengan menghentikan kami?” tanya pemimpin itu, suaranya penuh dengan ejekan. “Kami bukan Feniks yang mudah dihancurkan.”
Dewa tidak menghiraukan kata-katanya. Ia sudah terlalu lama berada dalam bayang-bayang konflik ini, dan kali ini, ia tidak akan memberi ampun. Dengan cepat, ia melemparkan granat ke arah pemimpin itu. Ledakan besar mengguncang ruangan, menciptakan kekacauan dan membuat debu serta asap memenuhi udara. Karina bergerak cepat, menembak dengan tepat sasaran pada beberapa anggota yang mencoba melarikan diri.
Dalam kebingungannya, Dewa dan Karina berlari menuju pusat kontrol, mematikan sistem utama yang dapat mengaktifkan serangan nuklir mereka. Ketika tombol itu dipencet, sebuah alarm keras berbunyi, menandakan bahwa mereka telah berhasil menghentikan rencana tersebut.
Namun, musuh mereka belum menyerah. Dari kegelapan, para pengawal elit muncul, bersenjata lengkap dan siap bertarung. Dewa tahu, ini adalah saat yang menentukan. Tanpa kata-kata lebih lanjut, ia dan Karina bertarung habis-habisan, menggunakan segala keterampilan mereka untuk mengalahkan para pengawal yang berusaha menghalangi mereka.
Dengan gerakan cepat dan presisi, Dewa menebas salah satu pengawal dengan pisau tajam, sementara Karina menggunakan senjata api untuk menumbangkan yang lainnya. Perlawanan semakin sengit, namun mereka tahu bahwa ini adalah perjuangan terakhir.
Akhirnya, setelah pertarungan yang sengit, hanya ada satu pengawal yang tersisa, terbaring tak berdaya di lantai. Dewa berdiri di tengah-tengah kekacauan itu, nafasnya terengah-engah, matanya penuh dengan darah yang menetes dari luka-luka kecil di tubuhnya.
“Langkah terakhir kita sudah selesai,” kata Karina, suaranya pelan namun penuh keyakinan. “Kita telah menghentikan mereka.”
Dewa menatapnya, merasakan kelegaan yang datang perlahan. Tetapi, meskipun mereka telah berhasil, ia tahu satu hal: perjalanan ini belum berakhir. Ada banyak lagi yang harus dilakukan, banyak lagi yang harus dihadapi.
Namun, untuk malam ini, langkah terakhir ini adalah kemenangan yang tak ternilai.
Bab 15: Warisan Sang Pemburu
Langit yang gelap perlahan mulai mereda, memberi ruang bagi cahaya pagi yang baru menyinari kota yang hancur. Suara angin yang berhembus kencang membawa bau tanah basah dan sisa-sisa perang yang belum lama berlalu. Di tengah reruntuhan gedung yang terbakar dan jalan-jalan yang dipenuhi serpihan besi dan kaca, Dewa berdiri di atas tumpukan puing, memandang ke arah horizon yang mulai terang. Langkah terakhir yang ia ambil semalam bukanlah akhir dari perang, tetapi awal dari sebuah perjalanan baru—perjalanan yang menuntut tanggung jawab jauh lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan.
Musuh yang telah mereka hancurkan hanyalah ujung dari gunung es. Di balik segala kekacauan yang telah mereka lewati, Dewa tahu bahwa dunia ini akan selalu penuh dengan ancaman baru. Feniks sudah runtuh, kelompok bayangan yang lebih berbahaya sudah mereka lenyapkan, tetapi kekuatan gelap lainnya akan terus muncul, mencoba untuk menguasai dunia ini. Dan Dewa, pemburu yang pernah dilupakan, harus siap menghadapi segala sesuatu yang datang.
“Dewa,” suara Karina terdengar dari belakangnya. Dewa menoleh, melihat sosok sahabatnya yang kini tampak lebih tenang, meskipun mata mereka masih menyimpan rasa lelah yang mendalam. Karina mendekat, tangan kirinya terjulur memegang senjata yang kini sudah terpasang di pinggangnya. Di wajahnya, ada ekspresi yang lebih serius dari biasanya. “Apa yang akan kita lakukan sekarang?”
Dewa menatap langit, seolah mencari jawaban di sana. “Aku tidak tahu, Karina. Tapi satu hal yang aku tahu pasti—kehidupan ini tidak akan pernah kembali seperti semula.”
Karina mengangguk pelan, menyadari beratnya beban yang kini dipikul oleh Dewa. “Mungkin tidak. Tapi kita masih punya kesempatan untuk membangun sesuatu yang baru. Kita bisa menggunakan apa yang telah kita pelajari dari semua ini. Mengajarkan orang lain untuk bertahan.”
Dewa melangkah perlahan, menuruni tumpukan puing. “Aku tak ingin orang lain terjebak dalam perang ini lagi. Aku tak ingin mereka mengulangi kesalahan yang sama.”
“Jadi apa yang akan kita lakukan?” tanya Karina, matanya menatap Dewa dengan penuh harap.
“Menjadi pemburu sekali lagi. Tapi kali ini, bukan untuk memburu musuh. Kita akan memburu mereka yang mencoba merusak kedamaian yang telah kita capai. Kita akan memastikan dunia ini tidak kembali ke dalam kekacauan,” jawab Dewa, suara tegas penuh keyakinan. “Namun kali ini, kita akan melakukannya dengan cara yang berbeda.”
Karina mengangguk, menyadari bahwa ini adalah keputusan yang tidak mudah. Namun, mereka tidak punya pilihan lain. Dunia ini telah mereka hancurkan dan mereka harus membangunnya kembali. Perang yang telah dimulai bertahun-tahun lalu ini, kini mencapai titik akhir, tetapi banyak pekerjaan yang tersisa. Kemenangan mereka bukanlah akhir dari perjalanan, tetapi babak baru yang penuh tantangan.
Mereka berjalan menyusuri jalan yang hancur, melewati kota yang telah tercabik-cabik oleh pertempuran. Jalanan yang dulu ramai kini kosong, hanya tinggal sisa-sisa mereka yang bertahan. Dewa dan Karina melangkah dengan langkah pasti, tahu bahwa misi mereka belum selesai. Perang besar telah usai, tetapi dunia ini masih penuh dengan ancaman yang harus dihancurkan.
Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan beberapa orang yang selamat—kelompok kecil yang bersembunyi di balik reruntuhan. Mereka memandang Dewa dan Karina dengan mata yang penuh ketakutan, namun di balik tatapan itu ada harapan. Harapan akan masa depan yang lebih baik, harapan bahwa meskipun dunia mereka hancur, masih ada kesempatan untuk memperbaikinya.
Salah satu pria tua yang terlihat lelah, namun penuh dengan semangat, mendekati Dewa. “Kalian—kalian yang telah mengakhiri perang ini… Apa yang akan terjadi pada kami? Apakah kita akan hidup dalam ketakutan selamanya?”
Dewa memandang pria itu dalam diam, sejenak membiarkan angin berbisik di sekitar mereka. “Tidak, kita akan memastikan kalian tidak hidup dalam ketakutan lagi. Kita akan melawan mereka yang ingin menghancurkan kedamaian ini. Kalian tidak sendirian. Kalian memiliki kesempatan untuk membangun masa depan.”
Karina menambahkan, “Tetapi kita harus bergerak bersama. Tidak ada yang bisa berjuang sendirian. Dunia ini membutuhkan kerjasama, bukan perpecahan.”
Pria tua itu menatap Dewa dan Karina, lalu mengangguk dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih… Kami tidak tahu bagaimana membalas budi kalian.”
Dewa hanya mengangguk. “Jangan berterima kasih sekarang. Waktu akan menunjukkan apakah kita berhasil atau tidak. Tapi kita harus terus berjalan. Setiap langkah kita adalah bagian dari warisan yang kita tinggalkan.”
Mereka melanjutkan perjalanan mereka, meninggalkan kota yang porak-poranda itu di belakang. Setiap langkah Dewa terasa berat, namun juga penuh makna. Di dalam dirinya, ia tahu bahwa perang ini belum selesai. Musuh mereka mungkin telah runtuh, tetapi dunia ini penuh dengan kekuatan-kekuatan gelap yang selalu mencari kesempatan untuk bangkit kembali. Dan kali ini, Dewa akan menjadi penjaga yang memastikan sejarah tidak terulang.
Malam tiba, dan Dewa serta Karina akhirnya tiba di sebuah tempat yang terpencil, jauh dari kota yang hancur. Mereka mendirikan kemah, api unggun menyala di depan mereka, memecah kesunyian malam. Dewa duduk, menatap api yang berkobar, membiarkan pikirannya melayang. Ia memikirkan masa lalu—tentang Feniks, tentang Rendra, tentang perjuangan yang telah membawa mereka ke sini. Semua itu kini hanya kenangan. Dan di depan mereka, dunia yang baru terbentang.
“Kau tahu, Dewa,” kata Karina, meng打enggap api unggun dengan kayu, “aku tidak pernah membayangkan kita akan sampai sejauh ini. Dulu, kita hanya dua orang yang mencoba bertahan hidup, sekarang kita harus menjaga harapan orang-orang.”
“Ya,” jawab Dewa dengan suara serak. “Kita tidak hanya menjaga diri kita sendiri lagi. Kita membawa warisan untuk masa depan yang lebih baik. Kita adalah pemburu, tapi kita juga harus menjadi pelindung.”
Karina terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Mungkin inilah tugas kita yang sebenarnya—menjadi pelindung dari dunia yang telah kita bantu hancurkan. Kita akan membangun lagi, sedikit demi sedikit.”
Dewa menatap langit yang kini dihiasi oleh bintang-bintang yang mulai muncul, seolah memberikan petunjuk bahwa dunia ini masih penuh dengan kemungkinan. “Ini langkah pertama kita, Karina. Kita mungkin tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi kita akan melangkah bersama. Langkah terakhir bukanlah akhir, tetapi permulaan dari sesuatu yang lebih besar.”
Dengan tekad yang kuat, mereka berdua memandang masa depan. Warisan sang pemburu bukanlah sekadar kemenangan dalam perang, tetapi harapan yang mereka tinggalkan untuk dunia yang baru—dunia yang, meskipun penuh dengan ancaman, masih memiliki kesempatan untuk bangkit kembali.***
———————–THE END——————-