• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
BAYANGAN DI BALIK PELURU

BAYANGAN DI BALIK PELURU

April 25, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
BAYANGAN DI BALIK PELURU

BAYANGAN DI BALIK PELURU

by SAME KADE
April 25, 2025
in Action
Reading Time: 41 mins read

Bab 1: Tembakan di Fajar Buta

Kabut masih menggantung rendah di atas dataran tandus perbatasan Lintasan Timur. Jam digital di pergelangan tangan Letnan Rama menunjukkan pukul 04.13. Senyap menyelimuti kawasan, hanya suara dengusan napas para prajurit yang sesekali terdengar di antara barisan semak berduri dan bebatuan.

Rama mengangkat tangannya, memberi isyarat berhenti. Lima pasukan elit di belakangnya langsung menunduk, menyatu dengan bayang-bayang dini hari. Di depan mereka, sekitar 200 meter, berdiri bangunan tua bekas gudang logistik yang diyakini kini menjadi pusat operasi kelompok pemberontak bersenjata.

“Target dalam jangkauan. Formasi menyerbu dalam tiga,” bisik Rama melalui alat komunikasi di helmnya.

Suaranya tenang, tapi matanya tajam. Seperti harimau yang mengintai mangsa.

Tiga… dua… satu…

Dentuman pertama meletus dari senapan jarak jauh milik Letnan Dua Iman. Satu musuh jatuh di menara pengawas. Dalam hitungan detik, pasukan Rama menyerbu dari dua arah. Tembakan senyap dan kilatan moncong senjata membelah fajar yang belum sempat menyingsing.

Rama meluncur masuk lewat sisi timur gudang, menendang pintu logam berkarat. Di dalam, suasana kacau. Beberapa pria bersenjata yang sedang tertidur bangkit panik. Tapi Rama tak beri waktu berpikir. Tembakannya akurat—satu ke dada, satu ke kepala. Bersih.

“Clear kanan!” teriak Kopral Yuda di belakangnya.

“Clear kiri!” sahut yang lain.

Tapi sebelum mereka sempat masuk ke ruangan utama, suara ledakan mengguncang lantai gudang. Gelombang kejut melempar Rama ke belakang. Pendengarannya berdengung, pandangannya buram.

“…Rama! Letnan! Bangun!”

Samar-samar, ia melihat wajah Yuda penuh debu dan darah, mencoba menariknya ke balik penutup beton.

“Ada jebakan. Mereka tahu kita datang!”

Tiba-tiba, dari sisi kiri, peluru bersiul dan menghantam helm salah satu pasukan. Kepalanya terpelanting, darah menyembur. Rama mengumpat dan meraih senapan serbu yang terjatuh, menembak ke arah kilatan api dari sudut gelap ruangan.

“Tahan posisi! Jangan mundur!” teriaknya.

Namun situasi semakin memburuk. Musuh jauh lebih banyak dari perkiraan. Dan mereka terorganisir. Bukan sekadar pemberontak biasa.

Rama menyadari ada yang tak beres. Informasi intelijen mengatakan hanya ada sepuluh orang di gudang ini. Kenyataannya, ada puluhan. Mereka bahkan siap dengan ranjau dan sniper.

Rama berusaha meraih alat komunikasi di jaket taktisnya, mencoba terhubung dengan markas. “Ini Alfa-9, kita disergap. Ulangi, disergap. Permintaan evakuasi darurat.”

Tak ada jawaban. Hanya dengungan statik.

Lima menit kemudian, situasi berubah menjadi neraka. Tiga orang pasukannya sudah tumbang. Sisanya terluka. Peluru menghujani ruangan seperti hujan badai. Dan kemudian… terdengar suara familiar—suara yang tak mungkin ia dengar di pihak musuh.

“Letnan Rama… kamu selalu terlalu percaya pada sistem,” terdengar dari pengeras suara kecil yang diletakkan di pojok ruangan.

Rama menegang. Ia mengenal suara itu. Mayor Ardi. Mantan atasannya. Orang yang ia kira tewas dua tahun lalu dalam operasi hitam yang dikubur rapat-rapat.

“Aku tahu kau datang. Karena sistem menyuruhmu. Tapi sistem itu busuk, Nak.”

“Ardi?! Apa maksudmu ini?!”

“Selamat datang di permainan yang lebih besar dari yang kau pahami.”

Lalu… terdengar letusan besar. Gudang itu meledak dari dalam, menghancurkan hampir seluruh struktur. Rambut Rama terbakar sebagian, pelipisnya berdarah. Ia terbaring di tanah, tak sadarkan diri.

Saat fajar akhirnya muncul, hanya asap dan puing-puing yang tersisa. Beberapa helikopter bantuan baru tiba, tapi sudah terlambat. Operasi “Pagi Senyap” berakhir dalam bencana.

Dua orang selamat: Letnan Rama, dan Yuda yang nyaris kehilangan satu kaki.

Dalam perjalanan pulang dengan helikopter, tubuh Rama terikat perban, pikirannya campur aduk. Ia memejamkan mata—bukan karena ingin istirahat, tapi karena satu pertanyaan menggema di kepalanya:

Siapa yang mengatur semua ini dari dalam?

Dan di sanalah semuanya dimulai.

Bab 2: Bayangan Lama

Suara detak jam di ruang karantina militer terdengar lebih keras dari biasanya. Letnan Rama duduk diam di tepi ranjang baja, tubuhnya penuh perban. Matanya menatap kosong ke dinding putih yang dingin. Di tangannya, selembar foto usang bergetar pelan—foto timnya saat latihan tempur dua tahun lalu. Wajah-wajah yang kini tinggal kenangan.

“Kau seharusnya mati di gudang itu,” suara berat dan familiar terdengar dari arah pintu.

Rama mendongak. Kolonel Baskara, komandan intelijen sektor timur, berdiri dengan raut wajah kaku. Matanya penuh kecurigaan.

“Kau mau bilang, aku gagal mati?” Rama tersenyum miris.

“Empat orang dari timmu tewas. Gudang meledak. Informasi yang kita miliki salah total. Dan suara Mayor Ardi muncul di rekaman. Kau tahu apa artinya?”

“Ya,” sahut Rama pelan. “Artinya kita dibocorkan dari dalam.”

Kolonel Baskara meletakkan sebuah amplop cokelat di meja kecil di samping tempat tidur. “Ini laporan operasimu. Resmi dinyatakan gagal. Tapi aku tahu kau tak akan berhenti sampai dapat jawabannya.”

Rama membuka amplop itu begitu Baskara pergi. Isinya hanya satu hal yang menarik perhatiannya—transkrip rekaman suara Ardi, dan satu catatan kecil bertuliskan tangan:
“Cari dia.”

Tiga hari kemudian, Rama meninggalkan markas dengan identitas samaran. Ia menyamar sebagai mantan tentara lepas, menyusuri lorong-lorong bawah tanah dunia intelijen. Jakarta malam hari tak pernah tidur. Apalagi bagian kotornya.

Ia tiba di sebuah bar gelap di kawasan Pelabuhan Lama. Tempat itu bukan sekadar tempat minum—di sinilah informasi dijual dengan harga darah.

Bartender memandangnya curiga saat Rama duduk di kursi paling pojok.

“Aku cari ‘Hantu Sungai’,” bisik Rama sambil meletakkan sebuah lencana kecil yang dicoret silang—simbol tak resmi bagi para eks-agen bayangan.

Bartender itu tidak menjawab. Tapi lima menit kemudian, seorang wanita bertudung duduk di sebelah Rama. Wajahnya setengah tertutup masker. Tapi mata tajamnya langsung membuat Rama tegang.

“Nadia?” bisik Rama, setengah tak percaya.

Wanita itu menatapnya dingin. “Sudah lama. Kupikir kau sudah mati.”

“Banyak yang mengira begitu,” sahut Rama. “Tapi sepertinya kita berdua punya kebiasaan buruk—selalu kembali saat dunia mengira kita sudah tamat.”

Nadia adalah mantan agen lapangan yang dulu bekerja bersamanya di misi luar negeri. Setelah operasi di perbatasan Rusia, ia menghilang, diduga tewas atau membelot. Kini ia hidup di antara celah dunia, tanpa nama, tanpa negara.

“Aku butuh informasi,” kata Rama, mencondongkan tubuh. “Mayor Ardi masih hidup. Dan dia bicara tentang ‘permainan lebih besar’. Kau tahu apa maksudnya?”

Nadia menatap ke arah bartender, lalu menarik lengan Rama. “Ikut aku. Kita tak bisa bicara di sini.”

Mereka menyusuri lorong sempit di belakang bar, masuk ke ruangan rahasia di balik rak minuman tua. Dari sana, Nadia menyalakan satu layar besar. Tampak peta digital dan jaringan nama-nama yang terpampang di depannya. Di tengahnya, nama: Operasi Hades.

“Ini misi rahasia yang dihentikan dua tahun lalu,” kata Nadia. “Misi itu melibatkan Ardi dan sejumlah petinggi militer. Mereka menciptakan pasukan bayangan untuk misi eliminasi luar hukum. Tapi misi itu berantakan. Beberapa agen dihilangkan. Yang tersisa… memilih bersembunyi.”

Rama mengangguk perlahan. “Jadi gudang itu… jebakan?”

“Bukan hanya jebakan. Itu pesan. Ardi ingin kau tahu dia masih hidup. Dan dia ingin kau datang mencarinya.”

“Tapi kenapa? Apa yang dia inginkan?”

Nadia menunjuk ke satu simpul di layar: Jenderal Samudra – Kepala Operasi Strategis.

“Karena Ardi dulu dikorbankan. Dan sekarang dia membalas dendam. Dia tak hanya ingin melawan sistem… dia ingin menghancurkannya.”

Rama terdiam. Dendam, pengkhianatan, dan operasi hitam. Semua kembali menghantui.

“Aku akan bantu kau,” kata Nadia akhirnya. “Tapi setelah ini, tak ada jalan kembali. Kau akan jadi target. Bukan cuma oleh musuh, tapi juga bangsamu sendiri.”

Rama memandangnya, tegas.

“Kalau kita tak bersihkan kotoran dari dalam… maka negara ini akan dibunuh oleh pelurunya sendiri.”

Bab 3: Jejak Dingin

Hujan turun sejak tengah malam, mengubah kota menjadi kubangan kelam dan licin. Di atap gedung 14 lantai milik Kementerian Pertahanan, dua bayangan bergerak cepat di antara antena dan pendingin udara. Rambut Rama basah kuyup, dan jemarinya membeku saat ia membidik lensa night vision ke arah jendela lantai 10.

“Jendela ketiga dari kiri. Ada dua penjaga dalam radius sepuluh meter,” bisik Nadia di sampingnya, suara tenang melalui mikrofon kecil di helm.

Mereka sedang menyusup ke dalam Gedung Arsip Strategis—tempat paling rahasia di Jakarta untuk penyimpanan data hitam negara. Tak ada jaringan internet. Semua disimpan dalam format fisik dan offline, dikawal oleh tim elit yang tak segan menembak tanpa peringatan.

Rama menarik napas panjang. “Kita hanya punya enam menit sebelum sistem keamanan reset. Kita masuk, ambil data Operasi Hades, dan keluar. Tidak ada pertempuran.”

Nadia tersenyum miring. “Kau tahu, kalimat terakhir itu selalu jadi awal dari kekacauan.”

Tanpa suara, Rama menuruni tali ke lantai 10. Nadia mengikutinya. Kaca jendela yang sudah mereka lemahkan semalam kini mudah dibuka. Begitu masuk, mereka disambut kegelapan dan suara dentingan kipas komputer tua.

Langkah mereka pelan, seperti bayangan yang tak diundang.

Rama membuka alat kecil di pergelangan tangan—peta digital interior bangunan. “Ruang arsip utama—lantai 6, koridor timur. Tapi di sana pasti ada sistem sensor gerak.”

“Kita turun pakai lift darurat. Tapi jangan lewat tangga—sensor getarnya terlalu sensitif,” kata Nadia sambil menarik kabel dari panel dinding dan memutus arus ke kamera terdekat.

Mereka meluncur turun dengan cepat. Lantai 9. Lantai 8. Lantai 7. Sampai akhirnya tiba di 6.

Pintu lift terbuka perlahan. Ruangan remang-remang menyambut mereka, sunyi, tapi menegangkan. Aroma kertas tua dan oli mesin menyatu dalam udara.

Rama berjalan mendekati rak arsip, membaca label satu per satu. Operasi Zeus, Operasi Matahari, Operasi Titan…

“Di sini,” gumamnya sambil menarik satu berkas besar dengan label kabur: Operasi HADES – Klasifikasi Hitam.

Saat Nadia membuka file itu, wajahnya menegang. “Ada nama Ardi. Tapi… juga nama lain. Jenderal Samudra. Jenderal Tanuwijaya. Dan…” ia berhenti, matanya menyipit. “Letnan Kolonel Baskara.”

Rama tercekat. Baskara—orang yang memberinya berkas dan mengizinkan operasi ini.

“Dia tahu,” gumam Rama. “Dia sengaja membiarkanku mendekat… untuk melihat siapa yang masih bertahan.”

Tiba-tiba, lampu darurat menyala. Sirene kecil berbunyi dari plafon.

“Kita ketahuan,” kata Nadia dingin.

Dari ujung lorong, suara langkah berat mendekat. Pasukan taktis internal. Penjaga setempat. Lima orang, bersenjata lengkap.

Rama tak berpikir panjang. Ia mendorong rak arsip ke arah lorong, menciptakan penghalang sementara. “Kanan! Ke pintu teknis!”

Mereka berlari menyusuri lorong sempit, melompati kabel dan meja baja. Tembakan meletus di belakang mereka, menghantam dinding. Pecahan logam beterbangan. Salah satu peluru menyayat bahu Rama, tapi ia terus berlari.

“Keluar lewat tangga darurat barat! Aku akan alihkan mereka!” teriak Nadia, menarik flashbang dari rompinya dan melempar ke lorong utama.

“Jangan pisah! Itu terlalu—”

BOOM!

Ledakan memekakkan telinga, disusul cahaya putih menyilaukan. Dalam kekacauan itu, Nadia menghilang.

Rama melompat ke tangga darurat. Alarm masih meraung. Ia berlari menuruni dua lantai sebelum meluncur keluar ke lorong servis, lalu merayap keluar dari saluran ventilasi. Nafasnya berat, bajunya sobek, dan peluru masih bersarang di lengan kiri.

Begitu tiba di mobil penyamaran yang diparkir di luar kompleks, ia segera memacu kendaraan menjauh, tak melihat ke belakang.

Beberapa jam kemudian, Rama bersembunyi di sebuah kamar sewa kecil di atas toko onderdil. Di tangannya, data mentah dari Operasi Hades—cukup untuk mengguncang fondasi militer jika bocor ke publik.

Tapi pikirannya bukan soal data. Ia hanya memikirkan satu hal:

Nadia.

Ia tidak tahu apakah wanita itu selamat. Atau tertangkap. Atau—lebih buruk—ternyata bermain di dua sisi.

Sambil menjahit lukanya sendiri di depan cermin buram, Rama menatap wajahnya yang letih dan marah. Jejak peluru di bahunya seperti pengingat: tidak ada tempat aman. Tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya.

Jejak dingin ini membawanya ke jurang yang makin dalam.

Dan di jurang itulah, musuh sebenarnya sedang menunggu.

Bab 4: Jaringan Dalam Kegelapan

Langit Jakarta malam itu seperti kuali hitam yang mendidih, penuh dengan awan tebal dan petir yang menyambar diam-diam. Di balik lorong sempit daerah Manggarai Lama, Letnan Rama melangkah masuk ke sebuah tempat yang tak tercatat dalam peta kota—Pasar Hantu.

Pasar itu bukan untuk manusia biasa. Ini tempat jual beli informasi, senjata ilegal, dan jasa bayangan. Siapa pun yang masuk ke sini bukan lagi bagian dari dunia nyata. Dan Rama tahu, hanya di sini ia bisa melacak keberadaan Nadia—atau mencari tahu siapa yang telah mengkhianatinya.

Tubuhnya masih dibalut perban. Luka tembak di bahunya belum pulih, tapi tak ada waktu untuk pemulihan. Setiap detik berarti semakin dekat pada jebakan berikutnya.

Ia mendekati seorang pria tua berwajah keriput yang duduk di balik meja kayu penuh komponen elektronik. Pria itu menatapnya dengan mata katarak, tapi instingnya tajam.

“Kau datang dengan bau darah dan kematian,” gumamnya. “Apa yang kau cari, Bayangan?”

“Nama,” jawab Rama. “Dan jalur ke jaringan bawah.”

Pria itu tertawa pelan. “Nama adalah harga paling mahal di sini. Apalagi kalau itu nama pengkhianat.”

Rama melemparkan sebuah flash drive ke meja. “Data mentah. Arsip Hades. Setidaknya sebagian.”

Mata pria itu menyipit. Ia memeriksa cepat isi data tersebut. Lalu tanpa berkata-kata, ia menekan tombol di bawah meja.

Dinding besi di belakangnya terbuka perlahan, memperlihatkan lift rahasia yang turun ke kedalaman gelap tanah. Rama naik tanpa ragu.

Lift itu berderit seperti peti mati logam yang turun ke neraka. Saat pintu terbuka, ia disambut oleh ruangan besar bawah tanah. Dinding beton dipenuhi layar, peta digital, dan wajah-wajah buronan internasional.

Di tengah ruangan itu, seorang pria berjas kulit berdiri. Posturnya tinggi, rambut perak, dan mata dingin seperti mesin. Mereka menyebutnya “Doktor”, dalang jaringan informan rahasia Asia Tenggara.

“Letnan Rama…” katanya pelan, seolah menyebut nama sahabat lama. “Kau membawa badai ke sarang lebah.”

“Aku butuh jejak Nadia. Dan aku yakin kau tahu di mana dia.”

Doktor tersenyum dingin. “Wanita itu ibarat peluru berpemandu. Cepat, mematikan, dan tak bisa dikendalikan. Tapi dia datang padaku dua hari lalu. Minta perlindungan. Lalu menghilang tanpa jejak.”

Rama melangkah maju, menatap tajam. “Apa dia mengkhianati kita?”

“Tidak,” jawab Doktor. “Tapi dia menyimpan sesuatu. Sebuah chip data yang tidak kau bawa dari arsip. Dia mengambilnya diam-diam sebelum kalian kabur. Dan sekarang… banyak yang menginginkannya.”

Rama mengepal tangan. “Siapa saja?”

Doktor menatap salah satu layar. Tampil wajah seorang pria berkepala botak, berjenggot lebat, mengenakan seragam milisi.

“Kolonel Yashir. Mantan tentara bayaran dari Timur Tengah. Sekarang bekerja sebagai eksekutor untuk jaringan elit bayangan. Dia pemburu—dan dia sekarang sedang mencari Nadia.”

Rama mengangguk. “Kalau begitu aku akan menemukannya duluan.”

Tiga jam kemudian, Rama berdiri di atas atap hotel terbengkalai di daerah Tanjung Priok. Hujan mengguyur deras, dan di bawah sana, satu konvoi SUV hitam berhenti di depan gudang kosong. Dari lensa sniper, Rama melihat sosok Kolonel Yashir turun dengan enam orang bersenjata lengkap.

“Dia datang sendiri. Itu artinya dia punya umpan,” gumam Rama.

Ia memindai area sekitar, dan di balkon gedung tua seberang jalan, sosok berkerudung tampak berjongkok—menyaksikan pertemuan dari kejauhan. Nadia.

Sebelum Rama sempat memberi isyarat, Yashir mengangkat tangannya. “Keluarkan dia!”

Dua anak buahnya menyeret seorang wanita—wajahnya babak belur, tangan terikat. Bukan Nadia.

“Umpan,” bisik Rama, lalu seketika segalanya berubah cepat.

Yashir mengangkat senapan otomatis dan menembak ke arah balkon tempat Nadia bersembunyi.

“Tertangkap basah,” desis Rama sambil menarik pelatuk.

BRATATAT!

Peluru dari sniper Rama menghantam dua pengawal. Kekacauan pecah. Nadia melompat dari balkon ke tenda di bawah, lalu menggelinding ke belakang mobil, menembakkan pistol ke arah Yashir.

Rama meluncur turun dengan kabel dari atap. Ia mendarat di belakang gudang dan menerobos masuk, langsung melempar granat flash ke tengah konvoi.

BOOM!

Asap putih menyebar. Teriakan dan tembakan saling bersahut.

Di tengah kekacauan, Rama dan Nadia berpapasan. Tatapan mereka hanya sebentar, tapi cukup untuk memberi isyarat: “Sekarang bukan waktunya menjelaskan.”

Mereka berlari ke arah mobil tua yang diparkir jauh di gang kecil. Mesin mobil meraung saat Rama menginjak gas. Yashir dan anak buahnya tertinggal dalam asap dan kobaran api.

Di dalam mobil, sunyi menyelimuti.

“Kenapa kau ambil chip itu?” tanya Rama dingin.

Nadia menatapnya, lalu mengulurkan benda kecil seukuran kuku jari.

“Karena isinya… bukan cuma tentang Hades. Tapi semua jaringan operasi bayangan di Asia. Termasuk siapa yang menciptakan mereka. Dan kenapa… kita berdua sebenarnya tidak pernah benar-benar bebas.”

Rama menatap chip itu.

Satu data kecil… yang bisa menggulingkan tatanan kekuasaan.

Dan semua orang akan memburunya sampai mati.

Bab 5: Peluru Tanpa Nama

Pagi di kota itu tak pernah benar-benar membawa cahaya. Kabut tipis dan suara klakson menjadi salam rutin dari beton yang sudah kehilangan jiwanya. Di sebuah apartemen tua di daerah Kemayoran, Rama menatap cermin retak di kamar mandi. Wajahnya penuh luka dan bekas tempur, namun matanya tetap tajam—lebih tajam dari peluru yang hampir membunuhnya semalam.

Di atas meja, chip data dari Nadia tergeletak dalam casing baja kecil. Isinya masih belum sepenuhnya terbuka. Formatnya terenkripsi dua lapis dengan sistem militer lama, yang hanya bisa dibuka dengan akses biometrik dari satu orang: Mayor Ardi.

Rama tahu satu hal: jika mereka tak bisa membuka chip itu, mereka hanya pembawa kematian tanpa makna.

Nadia berdiri di dekat jendela, menatap ke luar dengan tubuh kaku. “Kau yakin dia akan datang?”

Rama mengangguk. “Dia sudah mulai bermain terang-terangan. Mengirim Yashir, menebar sinyal di jaringan bawah tanah. Dia ingin aku mencari dia. Dan sekarang aku akan balas.”

Nadia berjalan mendekat, meletakkan foto usang di atas meja. Dalam foto itu, ada Rama, Nadia, dan Ardi—di masa lalu, sebelum semua menjadi abu.

“Dia dulu mentor kita,” gumamnya. “Sekarang dia… raksasa di tengah reruntuhan sistem. Kau benar-benar siap menembak dia kalau saatnya tiba?”

“Kalau dia yang menarik pelatuk pertama, aku pastikan aku yang terakhir menembak,” sahut Rama dingin.

Mereka bergerak menuju tempat yang disebut “Kandang Besi”—sebuah bunker tersembunyi di bawah kawasan pabrik logam tua di Bekasi. Dari jaringan yang dikorek oleh Nadia, Ardi dijadwalkan mengadakan pertemuan rahasia dengan seorang anggota parlemen bayangan yang dikenal sebagai “Hantu Gedung”—tokoh kunci dalam pemutihan misi-misi ilegal negara.

Mereka menyusup ke dalam area industri yang sudah ditinggalkan, menyamar sebagai tukang angkut barang. Dari balik tumpukan kontainer tua, Rama mengamati target melalui monokular.

“Dua penjaga di pintu timur. Tiga sniper di atap barat. Ardi ada di ruang tengah. Kita hanya punya waktu sepuluh menit sebelum sinyal pengacau aktif,” bisik Nadia melalui interkom.

Rama mengatur napas, mengingat kembali pelatihan infiltrasi tingkat tinggi yang dulu ia kuasai. Mereka menyelinap masuk melalui saluran udara yang mengarah langsung ke ruang observasi atas. Begitu sampai, Rama mengeluarkan kabel pengait dan menurunkannya ke ruang tengah.

Ardi duduk di depan layar holografik, sedang berbicara dengan seorang pria tua bermasker.

“Negara ini tidak butuh pahlawan,” suara Ardi terdengar jelas. “Yang dibutuhkan hanyalah orang yang cukup gila untuk menciptakan ulang tatanan baru, dari darah dan abu.”

Pria bertopeng menjawab, “Dan kau akan pastikan tak ada saksi. Termasuk mantan muridmu.”

Ardi tersenyum kecil. “Rama akan datang. Dan ketika dia datang… dia akan tahu bahwa selama ini, dia hanya peluru tanpa nama. Ditembakkan oleh siapa saja, untuk tujuan siapa saja.”

KLIK!

Tiba-tiba, sebuah laser pointer merah menyala di dada Rama. Ia hanya sempat berbalik setengah detik sebelum kaca di belakangnya pecah oleh tembakan.

BRANG!

Sniper musuh!

Nadia menarik Rama ke lantai, lalu melempar granat asap ke lorong. Tembakan demi tembakan menghantam baja dan dinding. Ruang observasi menjadi neraka kecil.

“Dia tahu kita datang!” teriak Nadia.

“Kalau begitu, kita buat kejutannya jadi lebih besar!” Rama menarik dua peluru khusus dari rompinya—berisi EMP mini. Ia menembakkannya ke arah panel listrik utama. Ledakan kecil memadamkan sistem bunker.

GELAP.

Dalam kekacauan itu, mereka melompat ke lantai bawah, menyerbu ruangan Ardi. Tapi ruangan itu kosong—tinggal layar yang kini menampilkan wajah Ardi secara langsung.

“Kalian terlambat, seperti biasa,” katanya.

“Permainan ini sudah usai, Ardi!” geram Rama.

“Belum. Karena satu kebenaran belum kau tahu… Kau bukan hanya dikhianati. Kau… diciptakan.”

Layar mati. Lalu ledakan mengguncang sisi bunker. Runtuhan baja jatuh ke mana-mana. Nadia menarik Rama keluar melalui lorong darurat di belakang.

Mereka berhasil lolos tepat saat bangunan runtuh. Nafas keduanya berat. Luka kembali membuka. Tapi yang paling menyakitkan adalah apa yang tertinggal di kepala Rama:

“Kau diciptakan.”

Apa maksudnya?

Mereka bukan hanya korban sistem. Mungkin mereka bagian dari sesuatu yang jauh lebih gelap—eksperimen militer, pembentukan agen melalui manipulasi, atau… penciptaan peluru hidup.

Dan peluru itu kini berbalik arah.

Bab 6: Operasi “Silencer”

Tiga hari setelah ledakan di “Kandang Besi,” Jakarta diam-diam berubah. Kamera pengawas militer berputar lebih cepat, patroli intelijen meningkat, dan nama Rama mulai muncul di daftar pencarian militer sebagai pengkhianat berbahaya. Tapi Letnan Rama tak gentar. Ia kini lebih dari sekadar tentara. Ia adalah peluru hidup yang tahu siapa yang menembakkan dirinya—dan ia akan kembali, menembak balik.

Di gudang rahasia dekat bandara Halim, Rama dan Nadia duduk menghadap meja proyektor. Di tengah ruangan, hologram berbentuk bangunan bawah tanah berputar perlahan. Gedung itu adalah fasilitas paling dirahasiakan yang hanya dikenal dengan satu nama: “Operasi Silencer”.

“Ini bukan sekadar operasi tempur. Ini laboratorium rekayasa kepribadian,” kata Nadia, menunjukkan skema struktur saraf manusia yang dipadukan dengan algoritma militer.

Rama memicingkan mata. “Kau maksud… tempat mereka menciptakan agen-agen seperti aku?”

Nadia mengangguk. “Dan bukan hanya kamu. Operasi Silencer adalah proyek mencetak manusia sebagai senjata hidup. Mereka mencuci ingatan, menanamkan misi ke dalam bawah sadar, dan melepaskannya ke dunia nyata. Kau… adalah salah satunya.”

Rama menatap tangannya sendiri, seolah baru menyadari ia bukan hanya terlatih—tapi diprogram.

“Aku tahu tempatnya,” kata Nadia lirih. “Tapi masuk ke sana seperti melangkah ke perut naga.”

Rama berdiri. “Kalau begitu, kita buat sang naga tersedak.”

Malam itu, pukul 02.12.

Di tengah hutan perbukitan di daerah Bogor, dua sosok berpakaian hitam menyelinap ke sebuah kompleks beton tersembunyi yang tak terdaftar di peta satelit. Di atasnya, tampak seperti gudang tua. Tapi di bawahnya, terkubur ruang eksperimen, server memori buatan, dan—mungkin—kebenaran tentang siapa Rama sebenarnya.

Dengan senapan berperedam, Rama menembak dua penjaga di menara pemantau. Nadia meretas sistem gerbang elektronik menggunakan modul yang dicurinya dari markas tentara bayaran Eropa Timur. Saat pintu terbuka, mereka meluncur masuk.

Alarm belum berbunyi. Tapi waktu mereka terbatas.

Di dalam, lorong baja memanjang seperti usus monster. Mereka menyusuri koridor, melewati pintu-pintu dengan label: “Rekonstruksi Memori”, “Pemrograman Taktis”, “Stabilisasi Emosi Fase II”.

“Aku merasa seperti kembali ke rahim,” gumam Rama. “Hanya saja… ini versi nerakanya.”

Nadia membuka tablet digital, melacak lokasi ruang arsip pusat. “Lantai -4. Tapi kita harus hati-hati. Mereka punya protokol keamanan ‘Sigma’. Begitu aktif, semua pintu terkunci dan gas saraf dilepaskan.”

“Terlalu halus,” cibir Rama. “Kalau aku jadi mereka, aku pakai peluru. Dan drone.”

Begitu kata “drone” keluar dari mulutnya, suara dzzzz terdengar dari ujung lorong. Dua unit drone taktis melayang cepat, lampu merahnya menyala.

“Menunduk!” teriak Rama, menembakkan dua peluru berpedar. Satu drone meledak, tapi yang lain sempat menembakkan peluru kecil berisi pelacak ke bahu Nadia.

“Kita kena sensor!” desis Nadia.

“Cepat! Lorong kanan!”

Mereka berlari, menembus dua pintu akses sebelum akhirnya tiba di ruang arsip.

Di dalam, dindingnya penuh dengan tabung berisi cairan. Di setiap tabung, sosok manusia setengah sadar terbaring—matanya kosong, tubuhnya penuh bekas luka eksperimen. Di salah satu layar monitor, wajah Rama muncul—versi lebih muda, dengan catatan:

“Unit 17 — Status: Aktif. Program Kepribadian: Taktis Pemusnah. Latar Memori: Disisipkan (Palsu).”

Darah Rama mendidih.

Seluruh hidupnya… bukan miliknya.

“Aku bukan anak tentara yang mati di Papua. Aku bukan yatim piatu yang diangkat sistem. Mereka menanam cerita itu padaku…”

Nadia menghela napas. “Dan mungkin mereka masih bisa mengontrolmu.”

Tiba-tiba, pintu belakang terbuka. Dua regu pasukan tempur masuk, bersenjata lengkap.

“Turunkan senjata! Kalian dikepung!” teriak pemimpinnya.

Tapi Rama hanya menatap mereka, dingin. Lalu tersenyum.

“Aku baru saja menemukan siapa aku sebenarnya. Dan kalian… adalah target pertamaku.”

Dengan gerakan kilat, ia melempar granat asap ke lantai dan menembak lampu ruangan. Gelap. Huru-hara. Suara tembakan bersahutan.

Rama melompat ke dinding, menendang rak tabung eksperimen hingga pecah. Cairan menyebar, percikan listrik mengenai cairan kimia, memicu ledakan kecil. Suasana semakin kacau.

Nadia menjerat salah satu tentara, merampas kunci akses dari rompinya, dan membuka jalan keluar darurat.

Mereka lari menyusuri lorong yang sempit dan gelap, suara langkah pasukan mengejar dari belakang.

Saat akhirnya mencapai lift servis tua, Rama menarik napas panjang.

“Mereka menciptakanku sebagai senjata. Sekarang aku akan tunjukkan… bahwa senjata ini sudah memilih tujuannya sendiri.”

Saat lift membawa mereka naik ke permukaan, kompleks itu bergetar. Ledakan dari ruang eksperimen menyebar. Operasi Silencer mungkin belum hancur sepenuhnya, tapi… satu peluru sudah keluar dari larasnya. Dan peluru itu punya nama.

Letnan Rama.

Bab 7: Dosa di Balik Lencana

Markas besar militer di kawasan Cilangkap berdiri angkuh, tembok-temboknya menjulang seperti perisai raksasa. Di baliknya, rahasia negara tersimpan rapi. Tapi Letnan Rama tahu, bukan rahasia yang dilindungi tempat ini—melainkan dosa. Dan malam ini, dia akan membongkarnya.

Angin malam berhembus pelan. Dedaunan tak banyak bergerak, seolah alam pun menahan napas. Di atas bukit kecil seberang kompleks, Rama berjongkok dengan teleskop malam di tangan. Di sebelahnya, Nadia memantau sinyal radio dari headsetnya.

“Ruang komunikasi di sektor barat. Hanya dua penjaga. Tapi server utama di bawah tanah. Kau harus lewat dari lorong penghubung yang dijaga sistem iris dan kode,” katanya pelan.

Rama mengangguk. “Dan di balik itu semua… ada Jenderal Baskara.”

Nadia menatapnya serius. “Kau yakin dia biangnya?”

“Selama ini aku pikir Ardi dalangnya. Tapi Ardi cuma perantara. Baskara yang mengesahkan Operasi Silencer, dan dia yang bersihkan semua jejak. Termasuk menjadikan aku kambing hitam.”

Rama menarik napas, lalu mengenakan helm taktisnya. “Sudah cukup aku menjadi alat. Sekarang giliran aku yang bertanya.”

Pukul 01.47 dini hari.

Dengan keahlian infiltrasi yang dibentuk oleh operasi gelap bertahun-tahun, Rama menyelinap ke dalam markas melalui terowongan layanan air yang jarang digunakan. Begitu mencapai zona perbatasan dalam, ia menjatuhkan dua penjaga dengan pisau senyap. Suara tubuh yang jatuh nyaris tenggelam oleh suara kipas angin industri di atas kepala.

Setiap langkah membawanya lebih dekat pada kebenaran… dan lebih jauh dari titik aman.

Saat ia berhasil meretas pintu akses ke lantai bawah tanah, ia melihat dinding penuh lambang kesatuan. Di sana tergantung foto-foto besar jenderal dengan wajah garang dan dada penuh bintang.

Rama menatap salah satunya—wajah Jenderal Baskara, tersenyum palsu di balik kemuliaan seragam. Tulisan di bawahnya: “Pelindung Tanah Air”.

“Pelindung, ya…” gumam Rama. “Kau lindungi sistem dari kebenaran.”

Ia bergerak cepat menyusuri lorong ke pusat komando. Tiba-tiba—sirene berbunyi. Lampu merah menyala. Dia ketahuan.

“Pelanggaran keamanan di sektor D-4! Semua unit siaga penuh!” suara terdengar dari speaker internal.

“Waktunya habis,” bisik Rama. Ia menarik senapan otomatis dan mulai bergerak cepat. Di tikungan pertama, ia menghadapi dua tentara dengan perisai anti peluru. Tanpa ragu, Rama melempar flashbang dan menerjang mereka saat penglihatan mereka terganggu.

TEMBAK! TUSUK! HANTAM!

Darah membasahi lantai. Alarm masih meraung.

Di ruang server pusat, Nadia—yang sudah lebih dulu menyusup dari jalur teknisi—berhasil membuka pintu utama. “Ayo cepat! Aku bisa salin arsip Baskara, tapi butuh lima menit!”

“Lima menit terlalu lama!” teriak Rama sambil menahan pintu dari gelombang tentara yang mulai mendekat.

Nadia mulai menyalin file digital. Di layar muncul folder dengan nama-nama yang mencurigakan: “Operasi Silencer,” “Unit Bayangan,” “Protokol Naga,” dan satu folder: “Penebusan Rama.”

“Apa ini?” tanya Nadia.

Rama menoleh cepat. “Buka!”

Begitu file terbuka, tampil video rekaman lama: Rama sedang duduk di kursi logam, mata kosong, kepala dipasangi alat neural.

Suara dalam video terdengar: “Unit 17 siap menerima narasi baru. Hapus semua data asli. Tanamkan memori: keluarga terbunuh di Papua, panggilan patriotik, loyalitas tanpa batas.”

Nadia menatapnya ngeri. “Mereka bukan hanya latih kamu. Mereka bentuk kamu. Dari nol.”

Rama menggertakkan gigi. “Dan mereka pakai lencana untuk menyamarkannya.”

Pintu meledak terbuka. Empat tentara elit masuk. Tapi Rama sudah siap. Ia memutar meja server dan menembaki mereka dari sisi kiri. Nadia mengambil pistol dan menembak dari sisi lain.

Tembakan bersilang. Satu demi satu musuh tumbang. Tapi di luar, suara langkah berat mendekat. Jenderal Baskara sendiri masuk, mengenakan rompi taktis dan pistol emas di tangan.

“Rama,” katanya. “Kau membawa kekacauan ke rumah sendiri.”

“Kau jadikan rumah ini pabrik monster,” sahut Rama. “Aku cuma membawa cermin.”

Mereka saling menodong. Udara di antara mereka tegang.

“Kau tak akan menembakku. Aku yang membuatmu jadi siapa kamu sekarang.”

Rama menatap tajam. “Kau tak buat aku jadi siapa-siapa. Kau cuma ciptakan boneka. Sekarang bonekamu menuntut.”

DOR!

Peluru menyalak. Tapi bukan dari Baskara. Nadia menarik pelatuk lebih dulu, mengenai kaki sang jenderal. Rama langsung menyusul dengan tembakan ke bahu dan menjatuhkan pistol emas itu.

Baskara tersungkur.

“Kau tak layak mati sebagai prajurit,” gumam Rama. “Tapi kau akan bicara. Di depan dunia.”

Saat fajar menyingsing, data Operasi Silencer tersebar ke jaringan aktivis internasional. Nama-nama petinggi terungkap. Rekaman Rama sebagai korban eksperimen jadi bukti publik.

Dan untuk pertama kalinya, Rama tak lagi buronan tanpa nama. Ia adalah saksi utama.

Tapi dia tahu… ini baru awal.

Masih ada yang memburu. Masih ada darah yang belum jatuh.

Karena di balik peluru terakhir, masih ada bayangan yang belum muncul.

Bab 8: Langkah di Tanah Musuh

Letnan Rama menatap jendela oval pesawat kargo militer yang bergetar pelan menembus awan malam. Di bawah sana, tanah asing menanti—bernama Ravena, negara kecil di Eropa Timur yang dikenal sebagai surganya tentara bayaran, laboratorium senjata gelap, dan surga bagi pelarian perang.

“Ravena bukan hanya sarang penjahat,” kata Nadia, membuka peta digital di tabletnya. “Ini markas jaringan ‘Helix’, organisasi bayangan yang membiayai Operasi Silencer. Dan… rumah dari dia yang disebut ‘Operator’.”

Rama diam. Nama itu baru muncul di data yang mereka curi dari server markas. Operator—pengendali semua eksperimen kepribadian, yang memegang kendali atas seluruh unit seperti dirinya. Satu-satunya orang yang bisa menjawab pertanyaan terakhir: Siapa aku sebenarnya, dan siapa yang masih bisa aku percaya?

Pesawat mendarat di lapangan udara bekas militer di luar kota Gelstadt, ibu kota Ravena. Langit mendung, angin dingin menusuk tulang. Begitu pintu pesawat terbuka, aroma logam dan bahan bakar tua menyambut mereka.

Di luar, dua orang menunggu. Seorang pria berjenggot kasar dan perempuan dengan wajah penuh bekas luka. Mereka anggota jaringan bawah tanah yang dipanggil Nadia lewat jalur lama: Elian dan Mira.

“Kami dengar kalian cari Operator,” kata Elian. “Banyak yang cari dia. Sedikit yang kembali.”

“Kami bukan datang untuk kembali,” jawab Rama. “Kami datang untuk menuntaskan.”

Mereka bergerak menyusuri kota tua Gelstadt, yang kini menjadi labirin bisnis gelap. Di salah satu bar bawah tanah, Mira menunjukkan tempat transaksi terakhir antara Helix dan militer Indonesia—sebuah penjualan “protokol pengendalian baru.”

“Operator ada di kawasan Zona Hitam. Dulu markas biologis Perang Dingin. Sekarang jadi lab pribadi.”

“Bagaimana pertahanannya?” tanya Rama.

Mira tersenyum pahit. “Drone, mercenary, dan AI. Kalau kau mati, tubuhmu bisa langsung jadi eksperimen baru.”

Malam itu juga, operasi dimulai.

Rama dan Nadia mengenakan setelan tempur stealth, dilengkapi alat pelacak panas, jammer elektronik, dan pistol berperedam. Mereka menyusup dari selokan tua yang mengarah ke terowongan servis bawah tanah. Bau asam dan darah lama menyengat.

“Kita masuk dari bawah. Sementara Elian bikin kekacauan di atas.”

Begitu mereka berhasil menembus pagar dalam, alarm tak langsung berbunyi. Operator percaya dirinya terlalu tak tersentuh untuk diserang langsung.

Rama menyelinap melalui ruang eksperimen gelap, melihat deretan tubuh yang dibekukan dalam tabung. Di layar-monitor, wajah-wajah tanpa nama terdaftar dengan status:

“Unit 32 – Tidak Stabil”
“Unit 47 – Pembunuh Sempurna”
“Unit 17 – DISAKTIFKAN”

Unit 17. Dirinya. Tapi nyatanya, dia masih hidup. Lebih dari itu—bebas.

“Dia tahu kita datang,” gumam Nadia. “Lihat.”

Monitor di tengah ruangan menyalakan wajah seorang pria tua berjas hitam dengan rambut putih rapi dan suara datar.

“Selamat datang kembali, Rama.”

Rama menegang.

“Kau unit terbaik kami. Tapi kau juga… paling tidak terkendali.”

Rama menggertakkan gigi. “Aku bukan milik siapa pun.”

“Oh, kau salah. Kau milik ide. Dan aku adalah ide itu.”

Tiba-tiba, pintu baja meledak. Enam tentara cybernetic—manusia yang ditingkatkan secara artifisial—masuk dengan gerakan kaku tapi cepat. Mata mereka merah menyala, tangan mereka dipasang senjata otomatis mini.

“Mundur!” teriak Nadia, melempar EMP kecil. Ledakan sunyi meletus, menyebabkan dua tentara roboh karena sirkuit terbakar.

Rama meluncur ke depan, menggulingkan tubuhnya dan menembakkan peluru ke titik lemah di leher sisa tentara cyber. Gerakan presisi. Lethal.

Darah dan minyak bercampur di lantai.

“Operator di lantai atas,” kata Nadia. “Tapi kau harus lewati koridor ‘Test Zone’. Itu tempat uji coba real-time.”

“Kita kejar dia sebelum dia matikan semua jejak.”

Koridor Test Zone seperti neraka buatan. Dinding berubah bentuk, disiram gas halusinogen. Mereka menghadapi simulasi virtual—bayangan masa lalu, wajah kawan yang telah mati, suara Ardi, bahkan… wajah Rama sendiri.

“Ini bukan nyata!” teriak Rama, meski detak jantungnya menggila.

“Aku tahu,” kata Nadia, menggenggam tangannya. “Tapi rasa sakitnya nyata. Fokus!”

Mereka berhasil tembus, meski nyaris roboh. Di ujung tangga spiral baja, ruang kendali utama terbuka.

Di sana… Operator menunggu. Duduk di kursi tinggi seperti raja di tengah lab penuh layar.

“Kenapa aku?” tanya Rama, menodongkan pistol.

Operator hanya tersenyum. “Karena kau sempurna. Kau gagal mengikuti perintah… dan justru itu yang membuatmu berhasil. Kami menciptakan kemerdekaanmu. Dan sekarang, kau datang… sebagai penutup eksperimen.”

DOR!

Satu peluru menembus bahu Operator. Tapi ia tertawa meski darah mengalir.

“Mataku mungkin mati… tapi sistem masih hidup.”

Saat tubuhnya roboh, layar menyala satu per satu. Sebuah protokol menyala:

“ACTIVE: Unit 17 Reboot”

Nadia menatap Rama. “Dia program ulangmu… jarak jauh.”

Tubuh Rama goyah. Nafasnya memburu. Matanya… bergetar.

“Kita harus matikan sistem. Sekarang!”

Bab 9: Pengkhianat di Meja Komando

Rama berdiri di tengah ruangan gelap yang dipenuhi dengan layar-layar digital. Ruangan ini, yang seharusnya menjadi pusat kendali dan strategi, kini terasa seperti ruang penyiksaan. Dalam pencariannya untuk menghancurkan jaringan Helix, ia baru saja melawan Operator, namun ternyata musuh yang sebenarnya lebih dekat dari yang ia kira.

Pistol yang ia genggam terasa berat. Darah dari luka di bahunya mengalir pelan, namun pikirannya tetap tajam, fokus. Nadia berdiri di sampingnya, wajahnya pucat meskipun ia berusaha tetap tegar. Mereka baru saja keluar dari perangkap yang lebih berbahaya dari yang mereka bayangkan.

“Mereka—mereka memprogramku lagi,” kata Rama pelan, matanya menatap layar yang masih menyala dengan kode-kode yang membuatnya merinding. “Aku bukan hanya korban. Aku—aku bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar.”

Nadia menatapnya, matanya menyelidik. “Maksudmu, semua yang terjadi selama ini… mereka sudah mengatur jalannya?”

Rama mengangguk pelan. “Aku adalah alat. Sejak awal. Tapi ada satu hal yang mereka tidak hitung. Aku punya kebebasan… dan aku tahu siapa yang harus kutemui sekarang.”

Nadia tampak ragu. “Kau akan ke sana?”

Rama menatapnya tajam. “Aku harus. Ada yang lebih besar lagi dari Helix. Dan mereka ada di meja komando.”

Rama dan Nadia bergerak cepat menyusuri terowongan bawah tanah yang mengarah ke kompleks militer utama. Lokasi yang mereka tuju adalah tempat yang sudah lama terisolasi, sebuah markas yang disamarkan sebagai fasilitas penelitian sains. Di dalamnya, para pemimpin tertinggi negara-negara besar melakukan transaksi rahasia, termasuk yang menyangkut Operasi Silencer.

Tapi Rama tahu, lebih dari itu, mereka adalah bagian dari jaringan yang lebih dalam. Jenderal Baskara bukanlah satu-satunya pengkhianat.

“Jika kamu benar-benar ingin menemukan siapa yang mengendalikan semua ini, kita harus sampai ke meja komando,” kata Nadia, sambil memeriksa senjata di tangan. “Itu tempat mereka mengatur semuanya.”

“Aku sudah di sana,” jawab Rama, suara penuh keteguhan. “Tapi hanya satu orang yang bisa menjelaskan semuanya.”

“Siapa?” tanya Nadia.

“Aku akan temui orang yang ada di balik semua keputusan, orang yang memulai semuanya. Aku tahu siapa dia. General Eryx.”

Kompleks itu sangat luas, seperti kota dalam kota. Setiap sudutnya dipenuhi dengan patung-patung dan simbol-simbol militer yang membingungkan. Tapi Rama dan Nadia tidak peduli dengan simbol, mereka hanya fokus pada satu tujuan: Meja Komando, tempat keputusan hidup dan mati diputuskan.

Begitu mereka memasuki ruang utama, mereka disambut oleh suara berat yang menembus keheningan.

“Rama… kamu benar-benar masih hidup?” Suara itu terdengar familiar, keras dan penuh rasa percaya diri.

Di atas podium besar di depan mereka, berdiri seorang pria dengan seragam militer lengkap. General Eryx. Pria yang telah lama mengendalikan banyak peristiwa besar dalam sejarah militer dan politik dunia. Rama tahu, inilah sumber dari semua yang telah terjadi. Semua pengkhianatan, semua permainan.

“Eryx,” kata Rama, suaranya serak. “Aku datang untuk meminta penjelasan. Dan kali ini, tidak ada lagi kebohongan.”

Eryx tertawa kecil, sebuah senyum yang dingin dan penuh kekuasaan. “Penjelasan? Kamu tahu, Rama, selama ini aku yang menggerakkan setiap langkahmu. Aku yang memberi hidupmu tujuan. Tanpa aku, kamu hanya seorang tentara tanpa arah.”

“Aku bukan milikmu!” seru Rama, wajahnya penuh kemarahan. “Kau membuatku menjadi mesin, alat yang tak punya jiwa!”

Eryx melangkah maju, berjalan perlahan seperti macan yang tengah mengejar mangsanya. “Dan kau tahu apa yang akan terjadi jika aku memerintahkan semuanya untuk menghapusmu sekarang juga? Dunia akan memutar roda, dan tak ada yang tahu siapa yang sebenarnya berkuasa di sini.”

Rama menahan napas, senjata di tangannya terasa lebih berat. “Aku tidak takut lagi.”

Namun sebelum ia bisa bergerak, dua pasukan elit yang mengenakan perisai elektronik dan senjata api canggih mengepung mereka. Nadia dan Rama dikelilingi.

“Tidak ada yang bisa menyelamatkanmu kali ini,” kata Eryx dengan nada mengancam.

Tiba-tiba, Nadia bergerak cepat. Dengan gerakan terlatih, ia meluncurkan granat EMP yang meledak di tengah pasukan elit tersebut, mematikan sistem elektronik mereka sementara. Dalam sekejap, Rama bergerak, menghindar dari serangan pertama, dan menghujamkan tombak tangan ke salah satu prajurit.

“Lari!” teriak Nadia, memecah keheningan yang penuh dengan tembakan.

Rama tidak menunggu lagi. Ia menyerang balik, menembak dengan akurat. Dengan satu tembakan, ia melumpuhkan dua tentara yang menghalangi jalannya. Mereka berlari bersama, meninggalkan jejak pertarungan di belakang.

“Rama, kita harus segera keluar!” teriak Nadia, mengawasi gerak-gerik pasukan yang mulai mengejar.

“Tidak! Aku belum selesai!” jawab Rama, dengan napas yang semakin cepat. Ia melangkah ke podium, ke arah General Eryx, yang berdiri dengan tatapan tajam.

“Berhenti, Rama. Ini bukan saatnya untuk mencari kebenaran!” seru Eryx, matanya penuh kebencian.

Namun, Rama hanya tersenyum dingin. “Aku sudah tahu cukup banyak. Sekarang aku akan pastikan semua orang tahu siapa yang sebenarnya bertanggung jawab.”

Tiba-tiba, Rama menarik pelatuk pistolnya, menembak ke layar utama di ruang komando, menghancurkan data yang ada di dalamnya. Dalam sekejap, informasi yang sangat bernilai—yang bisa menghancurkan jaringan Helix dan mengungkap pengkhianatan besar—tersebar.

Sebuah ledakan kecil terjadi di belakang mereka. Meja Komando hancur, dan sistem yang mengontrol operasi rahasia itu runtuh.

Rama dan Nadia berlari menuju pintu darurat yang terbuka, meninggalkan markas yang kini hancur, menandakan runtuhnya jaringan yang telah mengendalikan banyak nyawa.

“Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Nadia, nafasnya terengah-engah.

Rama menatap ke luar jendela, ke arah langit malam yang gelap, penuh dengan bintang. “Sekarang, kita lanjutkan apa yang sudah kita mulai. Kita buka mata dunia. Dan aku… akan menemukan jalan untuk menebus semua dosa ini.”

Bab 10: Ledakan di Tengah Konferensi

Langit Berlin mendung, mencerminkan ketegangan yang menggantung di atas konferensi internasional yang sedang berlangsung di gedung konferensi Berlin International Center. Lebih dari 50 delegasi dari negara-negara besar, termasuk perwakilan dari NATO, Uni Eropa, dan Rusia, hadir untuk membahas keamanan global dan penanggulangan terorisme. Semua mata terfokus pada panggung tempat para diplomat berbicara, sementara kamera-kamera dunia merekam setiap gerakan, mencatat setiap kata.

Namun, di balik layar, beberapa orang sudah tahu—konferensi ini bukan hanya tentang perdamaian. Di balik kesepakatan-kesepakatan muluk yang akan diungkapkan, ada agenda yang lebih gelap yang dipertaruhkan.

Rama dan Nadia berada di tengah kerumunan, mengenakan pakaian formal yang menyamarkan keberadaan mereka di antara delegasi negara. Mereka bukan lagi buronan biasa. Mereka adalah orang yang tahu terlalu banyak—dan itu membuat mereka menjadi target utama. Mereka harus bergerak cepat.

“Menurut intel, Eryx dan sisa jaringan Helix akan berada di sini,” kata Nadia pelan, mengamati sekeliling. “Mereka akan memanfaatkan konferensi ini untuk mengesahkan protokol baru, yang bisa memperkuat cengkeraman mereka di sistem global.”

Rama mengangguk. “Aku tahu. Dan aku sudah menyiapkan sesuatu. Kali ini, kita tak bisa hanya mengandalkan informasi. Kita butuh aksi.”

Mereka bergerak hati-hati menuju ruang konferensi utama, di mana para pemimpin dunia sedang mempersiapkan pidato mereka. Tak jauh dari pintu masuk utama, Rama melihat sosok yang dikenalnya—General Eryx. Sosoknya kini tampak lebih tenang, lebih percaya diri. Di sebelahnya, beberapa pria berjas yang tampaknya adalah agen-agen militer dari berbagai negara. Eryx masih memegang kendali, tapi kali ini dia tak lagi berada di balik layar—dia berada di tengah pusat perhatian.

“Kita harus membuatnya mengaku di sini,” bisik Rama, matanya menyapu setiap gerakan Eryx dan timnya.

“Tapi hati-hati, Rama,” Nadia memperingatkan, “Mereka pasti sudah tahu kita ada di sini. Keamanan di dalam konferensi ini terlalu ketat.”

Rama menghela napas. “Keamanan ini akan berubah dalam waktu singkat.”

Mereka berhenti di sudut ruang, di balik tirai yang memisahkan zona pertemuan dari area luar. Tanpa ada yang menyadari, Rama mengeluarkan sebuah perangkat kecil dari saku jasnya. Itu adalah perangkat EMP canggih, yang ia pasang di salah satu panel pengaturan keamanan di ruang konferensi. Hanya satu tombol, dan dalam sekejap, sistem elektronik yang mengawasi ruangan akan lumpuh total.

“Kau yakin ini akan berhasil?” Nadia bertanya, sambil mengawasi gerakan para penjaga.

“Satu-satunya cara untuk memastikan mereka tidak dapat melarikan diri atau mengatur pertahanan adalah dengan membuat mereka terjebak di sini bersama kita,” jawab Rama.

Ketika tombol ditekan, sebuah ledakan listrik kecil terdengar, namun hampir tidak terdengar oleh para delegasi yang sibuk berbicara. Dalam hitungan detik, layar-layar digital yang menampilkan data pertemuan mati, sistem keamanan yang mengawasi ruangan terhenti, dan lampu di seluruh gedung berkedip beberapa kali sebelum akhirnya padam.

Kerusuhan langsung terjadi.

Suara panik mulai terdengar dari dalam ruang konferensi, sementara beberapa penjaga berlari menuju pintu darurat. Para delegasi berlarian, kebingungan, dan terkejut. Rama dan Nadia tahu ini adalah saatnya. Mereka harus bertindak cepat sebelum semuanya menjadi terlalu kacau.

“Mereka pasti akan berusaha melarikan diri ke ruang bawah tanah,” kata Nadia, matanya tajam menatap gerakan para pria berpakaian gelap yang mulai memisahkan diri dari kerumunan. “Eryx pasti punya jalur evakuasi.”

Rama mengangguk. “Kita ke sana dulu.”

Tanpa ragu, mereka meluncur melalui kerumunan, menembus kepanikan yang melanda ruangan. Beberapa penjaga mulai berusaha mengendalikan situasi, namun mereka jelas terhambat oleh kerusuhan yang ditimbulkan. Dalam kekacauan itu, Rama dan Nadia berhasil menyelinap ke lorong bawah tanah yang menuju ruang server dan ruang pengendalian. Di sana, mereka bisa menghentikan semua yang sedang dipersiapkan Eryx.

Namun, tiba-tiba, sebuah suara keras terdengar dari belakang. Dua pria berpakaian seragam militer yang familiar, agen dari pasukan khusus internasional, muncul di hadapan mereka, senjata di tangan. Wajah mereka dingin, penuh perhitungan.

“Pergi dari sini,” kata salah satu dari mereka. “Ini bukan urusan kalian.”

Rama langsung melompat ke depan, menendang senjata yang diarahkan ke arahnya, sebelum meninju wajah pria itu dengan cepat. Di saat yang sama, Nadia menarik pistolnya dan menembakkan satu tembakan tepat ke kaki pria yang lain, melumpuhkan gerakannya.

Mereka berlari ke arah ruang bawah tanah, menembus beberapa penjaga yang berusaha menghadang. Namun, saat mereka mencapai ruang utama, mereka terhenti. Sebuah bom waktu terpasang di pintu masuk utama. Waktu yang tersisa hanya lima menit.

“Bom!” teriak Nadia, matanya lebar penuh ketakutan.

“Tidak ada waktu untuk mundur,” kata Rama, matanya tetap fokus. Ia memutar tombol pengaturan pada bom, mencoba meretas sistem timer dengan tangan yang terburu-buru. “Aku bisa menonaktifkannya… jika aku punya waktu lebih.”

Waktu terus berdetak, detik demi detik semakin mendekat ke detonan yang bisa merusak seluruh tempat ini. Eryx, yang kini berada di ruang komando utama, tampak tahu bahwa Rama dan Nadia sudah berada di sini. Ia berbalik, menyeringai penuh keyakinan. “Kalian pikir kalian bisa menghentikan saya? Tidak ada yang bisa.”

“Kepercayaan diri yang tinggi untuk seseorang yang sudah kalah,” jawab Rama dengan tegas.

Dengan satu dorongan terakhir, Rama mematikan bom tepat sebelum detonan terakhir. Semua kembali diam. Tapi hanya untuk sementara.

Ledakan kecil terdengar dari luar. Konferensi telah berubah menjadi medan pertempuran yang lebih besar.

Eryx, melihat Rama yang telah menghalangi jalannya, memberikan isyarat kepada pasukan elitnya untuk maju. “Kalian memang pintar, tapi ini permainan yang lebih besar dari yang kalian bayangkan!”

Sebuah pertempuran baru, yang lebih sengit, baru saja dimulai.

Bab 11: Darah dan Keheningan

Malam itu, suasana di markas bawah tanah yang terisolasi di pinggiran Berlin terasa menyesakkan. Di luar, hujan deras mengguyur jalanan kota, tapi di dalam ruang kendali, hanya ada suara langkah kaki yang bergema, saling bersahutan dalam keheningan yang mencekam. Suara detakan jam digital di sudut ruangan semakin terdengar keras, menambah ketegangan yang sudah menguasai seluruh tubuh Rama.

Dia berdiri di depan layar komputer besar yang menunjukkan peta kota Berlin, di mana data terus mengalir dengan cepat. Waktu yang tersisa hanya tinggal beberapa jam. Misinya belum selesai, dan ancaman yang mengancam dunia semakin nyata. Setelah ledakan besar yang mengguncang konferensi internasional, Rama dan Nadia berhasil keluar hidup-hidup dari pengepungan. Namun, mereka tahu itu baru permulaan. General Eryx masih hidup, dan dia tidak akan berhenti sampai menghapuskan mereka.

Rama menatap layar dengan pandangan kosong. Ada terlalu banyak informasi yang harus diproses, terlalu banyak keputusan yang harus diambil. Apa yang sebenarnya diinginkan Eryx? Apa yang benar-benar dia sembunyikan di balik jaringan Helix yang telah mengontrol dunia selama ini? Rama merasa terperangkap di dalam teka-teki besar yang semakin rumit, dan waktu semakin habis.

“Aku rasa kita sudah cukup lama bertahan, Rama,” kata Nadia, suaranya terdengar letih tapi penuh tekad. “Eryx akan terus mengejar kita. Kita harus menyerang balik.”

Rama menoleh, menyadari bahwa Nadia sudah bersiap. Senjata di tangan, tubuhnya siap bergerak. Hanya ada satu tujuan di benaknya: membasmi Eryx dan mengakhiri perang ini.

“Tapi kita tahu, Nadia,” jawab Rama dengan suara rendah, “Eryx adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. Menghancurkan dia hanya akan membuka celah bagi yang lebih buruk. Kita harus lebih pintar dari itu.”

“Lalu apa yang kita lakukan?” Nadia bertanya, menatap Rama dengan penuh harapan. “Kau tahu bahwa kita tidak bisa terus bersembunyi seperti ini.”

Rama menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. “Kita harus menghentikan sistem itu. Menyusup ke markas Helix yang sebenarnya—di pusat kekuatan mereka.”

“Maksudmu, markas yang tersembunyi di bawah tanah?” Nadia bertanya, mengerutkan kening. “Itu mustahil. Itu tempat yang dijaga ketat, penuh dengan pasukan militer dan teknologi canggih. Bahkan untuk kita, itu terlalu berbahaya.”

Rama memandangnya serius. “Kita tidak punya pilihan. Jika kita membiarkan mereka melanjutkan eksperimen mereka, maka dunia ini akan hancur lebih cepat dari yang kita bayangkan.”

Di luar ruangan, udara terasa dingin dan suram. Mereka bergerak cepat menuju tempat persembunyian sementara mereka, sebuah gedung terbengkalai yang terletak di pinggiran kota. Hujan deras terus mengguyur, membuat perjalanan mereka semakin sulit. Namun, rasa putus asa tidak pernah hadir dalam diri mereka. Hanya ada satu pemikiran yang terus menghantui mereka—Eryx harus dihentikan.

Begitu mereka tiba di gedung yang sudah dipilih sebagai titik penyusupan, Rama memeriksa ulang peralatannya. Semua yang mereka butuhkan ada di sana: perangkat pemutus sinyal, alat peretas, dan senjata api berperedam. Semua sudah siap.

Namun, saat mereka bersiap untuk memasuki gedung, tiba-tiba, dari balik bayang-bayang, terdengar suara langkah kaki yang makin dekat. Mereka terkejut, tetapi Rama segera mengangkat tangan, memberi isyarat kepada Nadia untuk diam.

“Tunggu,” bisiknya.

Keduanya menyembunyikan diri di balik tembok gedung yang hancur, menunggu dengan cermat. Di depan mereka, dua sosok berpakaian hitam muncul dari dalam hujan. Mereka mengenakan masker gas dan membawa senjata otomatis. Pasukan Helix.

Rama menatap Nadia, mengangguk pelan. “Kita harus cepat.”

Dalam sekejap, mereka beraksi. Rama menyelinap ke samping, melumpuhkan satu prajurit dengan serangan cepat ke tengkuknya. Tanpa suara, ia menarik tubuh itu ke belakang dan menyembunyikannya dalam bayang-bayang. Nadia, dengan keahlian bertarungnya, melumpuhkan prajurit kedua dengan teknik tangan kosong, membantingnya ke tanah dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Mereka melanjutkan perjalanan, semakin mendekati pintu masuk markas Helix. Namun, saat mereka menuruni tangga ke ruang bawah tanah, tiba-tiba, sebuah suara menembus keheningan.

“Selamat datang, Rama,” suara itu bergema di ruang sempit, mengisi udara dengan ketegangan. “Aku tahu kalian akan datang.”

Rama menoleh, dan di ujung lorong, berdiri General Eryx, dengan senyum dingin di wajahnya.

“Apa yang kau inginkan, Eryx?” tanya Rama, tak mencoba menyembunyikan kebenciannya.

Eryx tertawa pelan. “Aku ingin melihat bagaimana kalian bertarung. Sejak awal, kalian hanya bagian dari permainan ini. Aku tak ingin menghancurkan kalian, Rama. Aku ingin kalian menjadi bagian dari solusi.”

“Apa yang kau maksud dengan solusi?” tanya Nadia, suaranya penuh kebingungan.

Eryx melangkah maju, menatap mereka dengan mata penuh kebencian dan penghinaan. “Kalian ingin mengakhiri kekuasaan kami, tapi kalian tidak tahu apa yang akan terjadi setelah itu. Tanpa jaringan ini, tanpa sistem kami, dunia akan terperosok ke dalam kehancuran yang lebih dalam. Kami adalah kekuatan yang menjaga keseimbangan.”

“Keseimbangan?!” Rama hampir berteriak. “Keseimbanganmu hanya menciptakan kehancuran! Semua yang kau buat hanya berakhir dengan darah!”

Eryx mengangguk perlahan, seolah memahami. “Darah memang harus tertumpah. Tapi itu harga yang harus dibayar untuk menciptakan dunia baru. Dunia yang kau sebut utopia hanya ilusi. Kami memberi kalian kekuatan untuk bertahan hidup di dunia yang keras ini.”

Tiba-tiba, suara tembakan terdengar keras. Sebuah peluru menghantam dinding dekat mereka, membuat keduanya terpelanting ke samping. Pasukan Helix mulai bergerak, dan tembakan mulai mengalir deras. Rama dan Nadia segera membalas, berlari ke belakang untuk berlindung. Suasana berubah menjadi pertempuran sengit, peluru berseliweran di sekitar mereka.

Namun, dalam kekacauan itu, Rama bisa merasakan sesuatu yang aneh. Keheningan—sesuatu yang berbeda. Di tengah pertarungan ini, dia merasa bahwa dirinya bukan hanya sedang bertarung melawan musuh. Tapi juga melawan dirinya sendiri. Melawan apa yang telah dilakukan oleh Helix pada dirinya. Melawan kebohongan yang telah ditanamkan pada dirinya sejak awal.

“Rama! Jangan ragu!” teriak Nadia, menyadarkannya dari lamunannya. “Kita harus terus maju!”

Rama mengangguk, kembali fokus. Dengan satu dorongan terakhir, dia menerobos barisan pasukan Helix, menuju ke jantung markas. Ke tempat di mana rahasia terbesar mereka disembunyikan.

Namun, dalam keheningan yang menakutkan itu, Rama tahu satu hal—apapun yang terjadi, darah ini akan terus mengalir, dan perang ini akan berakhir hanya dengan satu cara.

Bab 12: Perang Tanpa Nama

Pagi di Berlin yang gelap terasa semakin mencekam. Di langit yang mendung, suara sirene menggema, menandakan keadaan darurat di seluruh kota. Pasukan Helix yang dipimpin oleh General Eryx telah menggulingkan kekuatan militer lokal, menggiring dunia ke ambang perang terbuka. Di dalam markas bawah tanah Helix, yang kini menjadi pusat kendali segala operasi, situasi semakin kacau. Konflik ini bukan lagi sekedar permainan kekuasaan—ini adalah perang yang telah dimulai di balik layar.

Rama dan Nadia tidak memiliki banyak waktu. Mereka baru saja melewati pertempuran sengit melawan pasukan Helix yang mencoba menghalangi jalan mereka menuju ruang inti markas. Mereka tahu, hanya ada satu cara untuk menghentikan ini—menghancurkan sistem kontrol Helix dan mengungkap rahasia besar yang mereka sembunyikan.

Namun, semakin mendalam mereka menyelidiki, semakin jelas bahwa ini lebih dari sekadar jaringan teroris global. Helix adalah mesin perang yang sudah merasuk ke dalam setiap aspek pemerintahan dunia, mengendalikan ekonomi, politik, bahkan militer. Mereka bukan sekadar musuh—mereka adalah bayangan yang telah mengendalikan pergerakan dunia tanpa pernah terdeteksi.

Rama berdiri di depan layar besar yang menampilkan peta global dengan titik-titik merah menyala—lokasi-lokasi di mana pasukan Helix bergerak. Tak satu pun dari mereka yang tahu bahwa pertempuran ini lebih besar dari yang mereka bayangkan. Hanya ada satu hal yang pasti—mereka adalah target utama.

“Nadia, kita harus keluar dari sini. Waktu kita tidak banyak,” ujar Rama, suaranya tegang. “Eryx sudah memindahkan operasi utama mereka ke jaringan satelit yang lebih kuat. Jika kita tidak memutus akses ini sekarang, dunia akan berada di bawah kendali mereka selamanya.”

Nadia mengangguk. Matanya yang tajam menatap layar, membaca peta dengan cepat. “Tapi kita tidak bisa melakukannya sendirian, Rama. Kita butuh lebih banyak bantuan.”

Rama mengerutkan kening. Ia tahu bahwa meminta bantuan berarti menempatkan lebih banyak nyawa dalam bahaya. Namun, di saat dunia berada dalam cengkeraman Helix, tidak ada pilihan lain.

“Aku tahu. Aku akan menghubungi orang-orangku,” jawab Rama.

Namun, saat ia berbalik untuk mempersiapkan komunikasi, suara ledakan keras mengguncang ruangan. Lantai gedung bergetar hebat, dan lampu-lampu kedap-kedip sebelum akhirnya padam sepenuhnya. Keheningan menyelimuti mereka sejenak, dan kemudian terdengar suara langkah kaki yang berat, semakin mendekat. Pasukan Helix—mereka telah menemukan mereka.

“Waktu kita habis,” bisik Nadia dengan tegas. “Kita harus bertindak sekarang.”

Rama hanya mengangguk, tanpa membuang waktu. Dalam sekejap, ia meraih senjatanya, memeriksa peralatan komunikasi yang ada, dan memberi instruksi pada Nadia.

“Ini dia,” kata Rama, menunjuk ke layar peta yang kini menunjukkan lokasi satelit yang mengendalikan seluruh operasi Helix. “Jika kita bisa menghancurkan stasiun satelit ini, kita akan memutuskan hubungan mereka dari seluruh dunia.”

Mereka melesat keluar dari ruang kendali, bergerak cepat melalui lorong-lorong yang sempit, mendengar suara tembakan dari pasukan Helix yang mengejar mereka. Setiap detik semakin berharga. Setiap langkah mereka bisa menjadi langkah terakhir.

Di sepanjang jalan, Rama dan Nadia terpaksa menghadapi pasukan elit Helix yang terlatih dengan baik. Seorang tentara dengan pelindung tubuh dan senjata berat muncul di hadapan mereka. Rama, dengan cepat, menarik Nadia ke balik dinding dan melemparkan granat stun ke arah tentara itu. Ledakan kecil terdengar, mengganggu keseimbangan musuh dan memberi mereka kesempatan untuk bergerak maju.

Namun, semakin dalam mereka memasuki markas, semakin intens perlawanan dari pasukan Helix. Mereka melawan dengan taktik yang terorganisir dengan sangat baik, membuat Rama dan Nadia terdesak. Mereka tahu mereka sedang terjebak dalam perang yang sangat tidak seimbang—sebuah perang tanpa nama, yang tidak pernah diakui, tetapi dampaknya akan mengubah sejarah.

Mereka tiba di ruang kontrol satelit yang dipenuhi oleh perangkat teknologi canggih. Di belakang meja utama, seorang teknisi Helix terlihat terkejut melihat kedatangan mereka. Sebelum dia bisa berteriak, Rama sudah menyergapnya, menyumbat mulutnya dengan tangan dan menariknya ke samping.

“Kau akan mematikan semuanya,” perintah Rama dengan dingin. “Atau aku yang melakukannya.”

Teknisi itu terlihat ketakutan, matanya terbuka lebar. “T-tunggu. Ini bukan keputusan saya. Saya hanya bagian dari sistem. Sistem yang jauh lebih besar…”

“Tidak ada sistem yang lebih besar dari apa yang bisa dihentikan,” jawab Nadia, dengan mata yang penuh determinasi.

Dengan cepat, mereka memaksa teknisi untuk bekerja. Namun, saat Rama mencoba mengakses panel kontrol untuk memutuskan hubungan satelit, layar komputer menunjukkan peringatan merah. Sistem pertahanan otomatis telah diaktifkan, dan sebuah bom waktu kini terpasang untuk menghancurkan seluruh kompleks.

“Eryx… dia tahu kita akan datang,” ujar Rama dengan putus asa. “Kita hanya punya beberapa menit.”

“Tidak ada pilihan lain,” jawab Nadia. “Kita harus memotong akses ini—sekarang!”

Dengan tangan yang terampil, Rama mulai meretas kode yang ada di layar, sementara Nadia berdiri di depan, siap menghadapi pasukan yang datang. Suara langkah kaki semakin dekat, dan tembakan mulai terdengar dari lorong. Mereka berada di waktu yang paling kritis dalam hidup mereka.

“Tinggal satu menit,” kata Rama, terengah-engah. “Aku bisa memutuskan semuanya dalam satu detik, tapi kita harus pergi.”

Nadia mengangguk, membuka pintu ke ruang pengaman, dan mulai menembak para tentara yang maju menuju mereka. Perlawanan semakin sengit. Ketegangan semakin memuncak, dan ledakan besar menggetarkan seluruh ruangan. Saat bom meledak, seluruh gedung bergetar hebat.

Namun, mereka tidak punya waktu untuk berpikir panjang. Rama dan Nadia melesat keluar dari gedung, melalui lorong bawah tanah yang mengarah ke permukaan. Hujan deras masih mengguyur, namun tidak ada yang lebih menegangkan dari detik-detik yang baru saja mereka lalui.

Setelah keluar dari gedung, mereka berhenti sejenak, napas mereka terengah-engah. Pengejaran dari pasukan Helix belum selesai, tetapi mereka tahu mereka baru saja mengakhiri sebagian besar kekuatan mereka.

Namun, Rama tahu satu hal—perang ini belum selesai.

Di balik layar, Helix akan selalu ada, lebih kuat, dan lebih cerdik. Mereka akan terus bersembunyi dalam bayang-bayang, menunggu saat yang tepat untuk bangkit kembali.

“Perang ini bukan untuk kita menangi dengan mudah,” kata Rama, menatap ke depan dengan tatapan kosong. “Kita baru saja mengubah arah permainan.”

Nadia mengangguk. “Dan perang ini akan berlanjut… tanpa nama.”

Bab 13: Bayangan di Balik Peluru

Langit malam yang gelap menyelimuti Berlin dengan keheningan yang menegangkan. Di jalan-jalan kota yang kosong, hanya ada suara deru kendaraan militer yang mengitari area yang sudah dipenuhi dengan pasukan bersenjata. Setiap sudut tampak terawasi, setiap langkah mereka terasa seperti langkah terakhir. Seperti biasa, Helix berada di balik bayang-bayang, menggerakkan setiap langkah dalam permainan yang jauh lebih besar dari apa yang Rama dan Nadia pernah bayangkan.

Setelah menghancurkan pusat kendali satelit mereka, Rama dan Nadia tahu bahwa pertempuran yang mereka hadapi belum berakhir. Ini bukanlah kemenangan biasa—ini adalah langkah pertama dalam perjalanan panjang yang penuh pengorbanan. Namun, seiring dengan semakin dekatnya pertempuran terakhir, ada satu hal yang mereka tahu pasti—di balik setiap peluru yang terlepas, ada bayangan yang mengendap, menunggu saat yang tepat untuk menyerang.

Rama duduk di dalam mobil hitam yang melaju cepat melalui jalanan yang sepi. Matanya tajam, menatap ke depan, namun pikirannya jauh melayang, memikirkan taktik yang baru saja mereka lakukan. Nadia duduk di sampingnya, mata penuh pertanyaan, tak mampu menutupi rasa cemas yang terus menggerogoti hatinya.

“Kita tidak bisa terus bersembunyi, Rama,” kata Nadia, suara yang penuh keraguan. “Mereka sudah mulai mengejar kita dengan lebih intens. Helix… mereka pasti tahu kita yang menghancurkan satelit mereka.”

Rama menoleh sejenak, memberi Nadia tatapan penuh penekanan. “Aku tahu. Tapi kita tidak punya banyak waktu. Kita harus menemukan sumber daya yang bisa melawan mereka. Kita tidak bisa terus lari dari kebenaran.”

Nadia menghela napas, menatap layar kecil yang terpasang di dashboard mobil. Peta digital menunjukkan lokasi-lokasi penting di seluruh dunia—mungkin informasi yang bisa mereka manfaatkan untuk mencari titik lemah Helix. Namun, di balik peta itu, ada sesuatu yang lebih mengganggu pikiran mereka—kehadiran bayangan yang tidak terdeteksi, seseorang yang telah lama bersembunyi di balik organisasi mereka.

“Rama,” kata Nadia, matanya terfokus pada peta. “Ada satu tempat yang belum kita kunjungi. Di daerah Timur Tengah, tepatnya di Al-Daris. Itu pusat data besar yang pernah digunakan untuk eksperimen Helix—tempat yang disembunyikan rapat-rapat.”

Rama terdiam sejenak. Tempat itu, Al-Daris, bukan hanya sekadar lokasi strategis—itu adalah tempat yang penuh dengan rahasia. Rahasia yang bisa mengungkapkan siapa sebenarnya yang mengendalikan Helix. Siapa yang sebenarnya berada di balik setiap gerakan Helix. Dan yang lebih penting, mengapa mereka memanfaatkan perang untuk kepentingan pribadi.

“Kita pergi ke sana,” ujar Rama, suara tegas penuh keputusan. “Tapi ini tidak akan mudah. Pasukan yang ada di sana jauh lebih terlatih, dan kemungkinan besar mereka telah dipersiapkan untuk menghadapi kita.”

Sesaat kemudian, mereka tiba di lokasi yang dijaga ketat. Al-Daris, sebuah markas besar yang tersembunyi di tengah gurun, dikelilingi oleh benteng pertahanan yang hampir mustahil ditembus. Mereka melacaknya dengan hati-hati, menghindari deteksi dan bergerak dengan cepat melalui perbatasan yang tidak terdeteksi. Mereka tahu bahwa pertempuran di tempat ini akan sangat berbeda.

“Ini akan menjadi pertempuran terberat,” kata Rama sambil mempersiapkan peralatan tempur. “Kita tidak hanya melawan tentara biasa. Mereka sudah dilatih untuk menghadapi kita. Kita harus bergerak cepat dan cerdik.”

Namun, saat mereka mendekati dinding markas Al-Daris, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Sesuatu yang bahkan Rama dan Nadia tidak siap hadapi.

Di depan mereka, muncul sosok yang tak asing—General Eryx. Dengan senyum dingin yang penuh kemenangan, Eryx berdiri tegak, menatap mereka dengan tatapan penuh ketidakpedulian. Di belakangnya, pasukan elite Helix sudah siap sedia, senjata terarah ke tubuh mereka.

“Rama… Nadia,” kata Eryx dengan suara dingin yang penuh ejekan. “Aku tahu kalian akan datang. Kalian selalu datang, tepat saat aku siap menyambut kalian.”

Rama dan Nadia bergerak mundur sedikit, menyadari bahwa mereka tidak bisa lagi mundur. Mereka telah terjebak dalam perang yang jauh lebih besar dari yang mereka kira.

“Kau pikir ini berakhir, Eryx?” tanya Rama, suaranya penuh dengan kebencian. “Kami menghancurkan satelitmu, dan kami akan menghancurkanmu juga.”

Eryx tertawa, suara tawanya bergema di udara malam yang sunyi. “Kalian tidak tahu apa yang kalian hadapi. Satelit itu hanyalah bagian kecil dari mesin besar yang aku kendalikan. Kalian berdua hanya pion dalam permainan ini, dan tidak ada yang bisa menghentikan kami.”

Tiba-tiba, Eryx melangkah maju, dan dengan gerakan cepat, ia melepaskan peluru dari senjatanya, menembus udara dengan kecepatan yang mengerikan. Namun, Rama dan Nadia sudah siap. Dalam sekejap, mereka berdua melompat ke samping, bersembunyi di balik batu besar yang terletak di sekitar area markas.

Peluru yang dilepaskan Eryx mengenai dinding, menciptakan suara dentuman keras. Ketegangan semakin meningkat, dan Rama serta Nadia tahu bahwa tidak ada lagi tempat untuk lari.

“Lawan mereka!” perintah Eryx, dan pasukan elit Helix bergerak maju, menyerbu ke arah mereka. Pertempuran tak terelakkan. Ledakan mulai terdengar di sekitar mereka, dan peluru-peluru berseliweran, menghancurkan segala sesuatu yang ada di sekeliling.

Rama berlari ke arah salah satu prajurit, dengan cepat menghindari tembakan yang datang. Dengan gerakan yang presisi, ia menghantam prajurit itu di dada, membuatnya terjatuh ke tanah. Namun, ini hanya awal—Eryx dan pasukannya sudah mempersiapkan serangan balasan yang lebih besar.

Nadia berlari ke samping, melemparkan granat stun ke arah kelompok prajurit yang mendekat. Ledakan tersebut menghentikan langkah mereka sejenak, memberi Nadia kesempatan untuk menghancurkan salah satu perangkat komunikasi milik pasukan, memutuskan koordinasi mereka.

Namun, Eryx tahu persis apa yang harus dilakukan. Ia tersenyum, seolah mengetahui setiap langkah mereka. “Kalian bisa bertarung, tapi kalian tidak bisa menang. Kami adalah bayangan yang mengendap di setiap sudut dunia ini. Kalian hanya memperlambat kejatuhan dunia yang sudah kami rencanakan.”

Dengan satu perintah, Eryx mengaktifkan sistem pengendalian dalam markas, yang membuat seluruh area menjadi lebih tertutup dan terkunci. Pintu-pintu baja mulai menutup, dan pasukan Helix semakin banyak yang datang.

Rama dan Nadia menyadari satu hal penting: mereka tidak hanya berperang melawan pasukan biasa. Mereka berperang melawan bayangan, kekuatan yang tidak bisa dihancurkan hanya dengan tembakan. Setiap peluru yang mereka lepas, setiap langkah yang mereka ambil, adalah bagian dari perang yang tak terlihat, yang harus mereka menangkan jika ingin mengungkap kebenaran di balik segala kebohongan yang selama ini mereka hadapi.

Namun, perang ini baru saja dimulai. Apa yang mereka hadapi bukan hanya musuh di depan mata, tetapi juga kebenaran yang tersembunyi dalam setiap langkah mereka.

Bab 14: Diam yang Menggema

Kegelapan menyelimuti markas Helix yang kini dijaga dengan ketat. Para pasukan elite Helix mengelilingi tempat itu, menjaga setiap sudut dengan kewaspadaan tinggi. Di dalam, situasi semakin menegangkan, seiring dengan tekanan yang datang dari segala arah. Rama dan Nadia telah berada di dalam penjara bawah tanah markas Helix selama lebih dari dua belas jam, dikelilingi oleh bayangan dan keganasan yang terus menghantui langkah mereka. Namun, diam yang menekan semakin menyakitkan—lebih mematikan dari apapun yang mereka alami sebelumnya.

Rama meraba dinding dingin ruang bawah tanah, mencoba menemukan cara untuk keluar, tapi usaha mereka sia-sia. Pasukan Helix terlalu banyak, dan mereka semakin terdesak. Nadia duduk di sudut ruangan, matanya terpejam, berusaha menenangkan diri, tapi ketegangan di wajahnya tidak bisa disembunyikan.

“Apa yang kita lakukan, Rama?” Nadia bertanya dengan suara pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Kita sudah kehabisan waktu. Mereka pasti tahu kita masih hidup.”

Rama menghela napas, matanya terfokus pada pintu besi yang terkunci rapat di hadapannya. “Kita harus bertahan. Tidak ada pilihan lain. Aku yakin ada jalan keluar—kita cuma butuh waktu.”

Namun, semakin lama mereka terjebak di dalam ruang gelap ini, semakin jelas bahwa mereka berada di ujung jurang. Helix telah mengunci mereka, dan waktu mereka semakin menipis. Mereka tidak hanya berhadapan dengan pasukan yang terlatih, tetapi juga dengan sebuah sistem yang begitu besar dan rumit, yang mengatur setiap langkah mereka, setiap keputusan yang mereka ambil. Bahkan dalam diam yang mencekam ini, Helix terus mengawasi setiap pergerakan mereka.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di lorong. Tak seperti sebelumnya, kali ini langkah tersebut terasa berbeda—lebih teratur, lebih pasti. Sebuah suara menggema di lorong, seolah datang dari dalam kegelapan itu sendiri.

“Kalian pikir kalian bisa melarikan diri?” Suara itu datang dari ujung lorong, penuh dengan ejekan dan kebencian. “Kalian tidak tahu apa yang kalian hadapi, Rama… Nadia.”

Rama dan Nadia saling berpandangan, hati mereka berdegup kencang. Itu adalah suara General Eryx, musuh utama mereka yang sudah lama mengintai dan mengendalikan permainan ini dari balik layar. Ia datang untuk mengakhiri apa yang mereka mulai.

Dengan tangan terkepal, Rama berdiri, matanya terbakar dengan tekad. “Eryx! Kau tidak akan menang. Kami sudah cukup tahu tentang Helix untuk menghentikanmu.”

Tertawa dingin, Eryx muncul dari kegelapan, mengenakan pelindung tubuh berteknologi tinggi dan wajah yang sulit dibaca. Ia berjalan perlahan ke arah mereka, seolah menikmati setiap langkahnya, setiap detik yang berlalu.

“Kalian tidak mengerti,” kata Eryx dengan suara tenang, tetapi penuh ancaman. “Helix bukan hanya sekedar organisasi. Kami adalah sistem. Kami adalah keabadian. Dan kalian, Rama, Nadia, hanyalah sebuah gangguan kecil yang akan segera terhapus.”

Rama menggertakkan gigi. Ia tahu ini adalah saat yang menentukan. Eryx adalah bagian dari mesin yang sangat besar, dan meskipun mereka telah menghancurkan beberapa bagian dari organisasi ini, mereka belum melihat inti dari kekuatan Helix yang sebenarnya.

“Jangan berpikir kami akan menyerah,” kata Nadia, suara tegas meskipun tampak lelah. “Kami sudah siap untuk menghadapi apapun yang kau siapkan.”

Tapi Eryx hanya tersenyum, lalu menepuk-nepuk pelindung tubuhnya. “Kalian tidak siap untuk apa yang akan datang. Aku sudah menunggu terlalu lama. Sekarang… saatnya kalian membayar.”

Dia memberi isyarat, dan tiba-tiba dua pasukan elit Helix muncul di belakangnya, masing-masing dengan senjata otomatis yang terarah ke tubuh Rama dan Nadia. Semua pintu dan jendela ruangan tertutup rapat, dan mereka terperangkap dalam ruang sempit, dikelilingi oleh lawan yang tak bisa dihindari.

“Sekarang,” kata Eryx sambil melangkah lebih dekat. “Ceritakan pada saya, bagaimana kalian bisa tahu begitu banyak tentang Helix. Siapa yang memberi kalian informasi ini? Siapa yang ada di balik semua ini?”

Rama dan Nadia saling memandang. Mereka tahu jawaban yang akan mereka berikan tidak akan menyelamatkan mereka, tapi mereka tetap harus berbicara. Dalam perang yang begitu besar ini, kebenaran tidak akan datang tanpa ada harga yang harus dibayar.

“Ada orang di dalam Helix yang tidak setuju dengan cara kalian,” kata Rama, matanya menatap Eryx dengan tajam. “Kami tidak sendirian dalam ini.”

Eryx mengangkat alis, tampaknya tertarik. “Oh? Sepertinya kalian menemukan seseorang yang bersedia mengkhianati kami. Tapi… siapa pun dia, dia tidak akan bisa menghentikan kami. Kami sudah terlalu kuat.”

Saat Eryx berbicara, tiba-tiba suara ledakan keras mengguncang seluruh markas. Beberapa pasukan yang menjaga mereka terjatuh, dan seluruh gedung bergetar hebat. Dalam kekacauan itu, Rama dan Nadia tidak membuang waktu. Mereka bergerak cepat, menyelinap di balik perlindungan sementara pasukan Helix sibuk berusaha mengatur kembali pertahanan.

Dengan gerakan sigap, Rama meraih pistolnya dan menembak ke arah salah satu pasukan yang terjatuh. Nadia bergerak ke arah sisi kiri ruangan, mencari peluang untuk membuka pintu yang terkunci. Suara tembakan saling bersahutan, dan meskipun jumlah mereka lebih sedikit, Rama dan Nadia mampu menciptakan ruang untuk melarikan diri.

“Cepat!” teriak Nadia, saat ia berhasil membuka kunci pintu yang menghalangi jalan mereka. Mereka berlari keluar, menyusuri lorong yang gelap. Eryx dan pasukannya tidak menyerah begitu saja. Mereka akan mengejar mereka tanpa ampun.

“Ini belum berakhir, Rama,” teriak Eryx dari kejauhan. “Kalian hanya memperlambat yang tak terhindarkan. Helix akan selalu ada—kami adalah bayangan yang mengendap di setiap sudut dunia. Kalian tidak bisa mengalahkan sesuatu yang sudah menjadi bagian dari sistem global.”

Rama menoleh sejenak, memberi Eryx tatapan penuh kebencian. “Kalian tidak tahu apa yang kalian hadapi,” jawabnya. “Di balik bayangan yang kalian sembunyikan, ada satu hal yang kalian lupakan—kami. Kami adalah bagian dari dunia yang tidak akan kalian kuasai.”

Namun, saat mereka berlari melewati koridor yang gelap, satu hal menjadi sangat jelas bagi Rama dan Nadia. Mereka sudah terjebak dalam sebuah permainan yang lebih besar, lebih gelap dari yang bisa mereka bayangkan. Helix bukan hanya sebuah organisasi—mereka adalah sistem yang tak terhentikan, dan bahkan dalam diam yang menggemakan ketakutan, dunia ini masih berada dalam cengkeraman mereka.

Namun, Rama dan Nadia tahu satu hal pasti—perang ini belum selesai. Meskipun dunia berada dalam bayangan, mereka akan terus berjuang, terus bergerak, karena diam yang menggema hanya menunggu saatnya untuk terpecah. Dalam perang ini, tidak ada yang tak terhentikan.

Bab 15: Langkah Terakhir Sang Bayangan

Pagi itu, langit berlinang dengan cahaya kemerahan, seperti darah yang membeku di bawah senja yang tak pernah datang. Dunia yang pernah mereka kenal kini berubah menjadi medan pertempuran yang penuh dengan pengkhianatan dan kebohongan. Rama dan Nadia berdiri di atas reruntuhan markas Helix yang baru saja dihancurkan. Keduanya tak lagi hanya berhadapan dengan pasukan yang tak terhitung jumlahnya—mereka berhadapan dengan sistem yang telah menguasai dunia dari bayang-bayang.

Namun, meskipun dunia di sekeliling mereka hancur, mereka tahu bahwa hanya satu langkah lagi yang harus mereka ambil untuk menghentikan segala kekuatan yang telah mengendalikan takdir mereka.

Rama menyeka peluh di dahinya, matanya menatap ke arah gedung utama markas yang terbakar. Meskipun mereka telah menghancurkan sebagian besar infrastruktur Helix, pertempuran ini belum selesai. Sisa-sisa pasukan Helix masih tersebar di sekitar area, berusaha untuk mengatur ulang kekuatan mereka.

“Rama, kita harus cepat,” kata Nadia, suara penuh kecemasan. “Helix masih memiliki cadangan kekuatan yang lebih besar di bawah tanah. Mereka sudah tahu kita akan datang.”

Rama mengangguk, wajahnya dipenuhi dengan tekad. “Kita tidak punya waktu. Jika kita tidak menghentikan mereka sekarang, dunia ini akan jatuh ke dalam kegelapan yang tak akan pernah bisa kita perbaiki.”

Namun, saat mereka berlari ke dalam markas yang hancur, sebuah suara datang dari belakang mereka, menahan langkah mereka.

“Jangan terburu-buru, Rama, Nadia.” Suara itu datang dengan dingin, bergetar di udara, penuh dengan ancaman. “Kalian pikir kalian bisa menghentikan semuanya dengan cara seperti ini? Bahwa kalian bisa mengakhiri apa yang sudah lama dimulai?”

Rama dan Nadia berhenti sejenak, dan perlahan mereka berbalik. Di tengah reruntuhan, berdiri sosok yang paling mereka takuti—General Eryx. Ia masih mengenakan pelindung tubuhnya yang mengkilap, matanya penuh dengan kebencian yang mendalam.

“Kau… masih hidup?” tanya Nadia dengan suara tercekat, terkejut meskipun perasaan marah lebih mendominasi. “Kami sudah menghancurkan markas kalian. Apa lagi yang kalian inginkan?”

Eryx tersenyum sinis. “Kalian belum menghancurkan semuanya, Nadia. Tidak ada yang bisa menghentikan Helix, karena kami bukan hanya organisasi. Kami adalah struktur yang dibangun di atas dasar yang lebih dalam. Kalian hanya menghancurkan bagian permukaan dari es yang sangat besar.”

Rama menatap Eryx dengan tatapan penuh kebencian. “Jadi ini semua tentang kekuasaan. Helix ingin mengendalikan dunia, memanipulasi setiap negara, setiap orang. Kau tidak peduli dengan kehidupan manusia sama sekali.”

Eryx tertawa pelan, mengangkat bahunya. “Manusia selalu menginginkan kekuasaan. Kami hanya menunjukkan cara yang lebih efisien. Kami memberikan dunia kesempatan untuk berkembang, meskipun harus melalui pengorbanan besar. Aku sudah melihat apa yang terjadi ketika kekuasaan ini dibiarkan bebas tanpa pengawasan. Kalian berdua tidak memahami gambaran besarnya.”

Rama mengangkat senjata, dan Nadia dengan sigap melangkah maju, siap untuk menyerang. “Kami tidak peduli dengan gambaran besarmu, Eryx. Kami hanya ingin menghentikanmu sekarang. Ini adalah langkah terakhirmu.”

Namun, Eryx tak merasa gentar. Dengan gerakan cepat, ia mengaktifkan pelindung tubuhnya, dan pasukan elite yang tersembunyi di balik bayangan mulai keluar dari tempat persembunyian mereka. Sebuah pertempuran besar sedang menanti.

“Ayo,” ujar Eryx dengan senyum mengerikan. “Buktikan bahwa kalian lebih kuat daripada kami.”

Perang sengit kembali pecah. Rama dan Nadia bergerak cepat, masing-masing dengan keahlian bertempur yang telah mereka asah selama bertahun-tahun. Peluru berseliweran di udara, ledakan granat menghancurkan dinding di sekitar mereka, dan bayangan pasukan Helix terus mengejar mereka dengan kekuatan penuh. Mereka tahu, ini adalah pertempuran yang akan menentukan nasib dunia—apakah dunia akan terus hidup di bawah bayang-bayang Helix, atau akan bebas dari cengkeraman mereka.

Rama bertempur dengan penuh kemarahan, menghancurkan setiap musuh yang menghalangi jalannya. Tangan kanannya menembakkan peluru dengan presisi tinggi, sementara tangan kirinya melayangkan tinju yang menghancurkan wajah musuh. Setiap gerakan dihitung dengan sempurna, setiap langkah adalah keputusan hidup dan mati.

Di sisi lain, Nadia bergerak seperti bayangan. Ia memanfaatkan setiap celah di medan perang, menghindari tembakan dengan kecepatan luar biasa. Ia melemparkan granat untuk menciptakan ledakan, sementara ia dengan cekatan menyelinap di antara pasukan Helix yang bingung dan tidak siap untuk menghadapi kecepatannya.

Namun, meskipun mereka bertempur dengan segala kemampuan yang mereka miliki, pasukan Helix tak kunjung habis. Eryx tampaknya telah mempersiapkan segalanya dengan sempurna. Pasukan elite Helix terus menyerbu, dan kekuatan mereka semakin besar.

“Ini tidak akan bertahan lama, Rama!” teriak Nadia, saat ia melemparkan granat lain ke arah kelompok musuh. “Mereka terlalu banyak!”

Rama menyeringai, matanya menyala dengan kebencian. “Kita tidak perlu melawan mereka semua, Nadia. Kita hanya perlu menghentikan Eryx.”

Dengan tekad yang semakin kuat, Rama melangkah maju, menembus garis pertahanan Helix. Nadia mengikuti dengan cepat, bergerak seperti bayangan di belakangnya. Mereka harus menghentikan Eryx—hanya dengan cara itu mereka bisa menghentikan Helix sekali dan untuk selamanya.

Akhirnya, mereka sampai di hadapan Eryx. General Helix itu berdiri di atas balkon markas yang hancur, mengamati pertempuran di bawahnya. Di tangannya, sebuah senjata yang mematikan terarah ke Rama dan Nadia.

“Ini sudah selesai, Rama,” ujar Eryx dengan suara yang penuh kepastian. “Kalian tidak akan bisa mengalahkan kami. Kami sudah terlalu kuat.”

Namun, Rama tidak gentar. Ia berlari ke arah Eryx dengan kecepatan yang tak terduga, memanfaatkan setiap detik yang ada. Dengan gerakan yang cepat dan terkoordinasi, ia melompat, menghantam Eryx dengan keras hingga senjatanya terjatuh. Mereka bergulat di atas tanah yang hancur, saling berusaha untuk mengalahkan satu sama lain.

Nadia segera maju, menembak Eryx dengan presisi yang sempurna. Peluru mengenai dada Eryx, dan untuk pertama kalinya, sosok bayangan yang selalu mengendalikan dunia itu terjatuh.

Namun, meskipun Eryx terjatuh, ia masih tersenyum. “Helix… tidak akan pernah mati,” bisiknya, sebelum napasnya terhenti.

Dengan jatuhnya Eryx, markas Helix akhirnya hancur. Namun, Rama dan Nadia tahu bahwa meskipun mereka telah menghentikan pemimpin mereka, perang ini belum selesai. Helix mungkin telah jatuh, tetapi sistem yang mereka bangun tetap ada di dunia ini.

“Kita tidak menang sepenuhnya,” kata Rama, menatap reruntuhan markas Helix yang terbakar. “Tapi kita telah memberi dunia kesempatan untuk memilih.”

Nadia mengangguk, senyum tipis muncul di wajahnya. “Langkah terakhir kita baru saja dimulai.”

Dengan langkah mantap, mereka berjalan ke luar, menuju dunia yang masih penuh dengan bayangan, namun kini, langkah terakhir sang bayangan telah terhapus.***

———————-THE END———————

Source: Shifa Yuhananda
Tags: AksiBertahanHidupBayanganKegelapanHelixKonspirasiGlobalPerangTanpaAkhirPertempuranPuncakRevolusiPerlawananTaktikMiliter
Previous Post

LANGIT TAK SELALU BIRU

Next Post

RAHASIA DI BALIK PINTU YANG TERKUNCI

Next Post
RAHASIA DI BALIK PINTU YANG TERKUNCI

RAHASIA DI BALIK PINTU YANG TERKUNCI

TERIAKAN DARI KEGELAPAN

TERIAKAN DARI KEGELAPAN

PETUALANGAN DI KERAJAAN AWAN

PETUALANGAN DI KERAJAAN AWAN

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In