• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
BAYANG-BAYANG KERATON

BAYANG-BAYANG KERATON

April 17, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
BAYANG-BAYANG KERATON

BAYANG-BAYANG KERATON

Jejak Rahasia, Darah yang Tak Pernah Mengering

by FASA KEDJA
April 17, 2025
in Sejarah
Reading Time: 17 mins read

Prolog: Cermin Waktu

Hujan turun deras malam itu. Petir sesekali membelah langit, menyinari pepohonan tua yang menggigil di lereng pegunungan. Jalanan kecil yang berliku dan berlumpur menuju Desa Wening nyaris tak terlihat, tertutup kabut dan daun-daun gugur yang membusuk. Di tengah gelap dan basah itu, sebuah mobil tua melaju perlahan, berderit setiap kali roda melewati lubang.

Di dalam mobil, duduk seorang perempuan muda, dengan mata yang tajam dan wajah tegas. Namanya Ratri. Seorang sejarawan, penulis lepas, dan pencari kisah-kisah yang tak tercatat di buku pelajaran. Tangannya menggenggam buku catatan kulit lusuh, berisi hasil wawancara dan petunjuk yang ia kumpulkan selama tiga bulan terakhir. Ia mengikuti jejak legenda yang tak pernah ditulis secara resmi—tentang sebuah kerajaan yang hilang, dan desas-desus tentang keraton tersembunyi di balik gunung.

“Desa Wening… tempat segala suara menghilang,” ia berbisik.

Mobil berhenti di depan gerbang desa. Tak ada papan nama. Hanya gapura kayu tua dengan ukiran yang nyaris pudar. Di baliknya, rumah-rumah berdiri berjajar rapi, namun sunyi. Tak ada suara ayam, tak ada anjing menggonggong. Bahkan gemericik hujan terasa terlalu halus di telinga.

Ratri turun dari mobil, menggenggam tasnya erat. Sesuatu tentang desa ini membuat udara terasa lebih dingin dari seharusnya. Ia disambut seorang lelaki tua bernama Pak Wiro, kepala dusun yang sudah ia hubungi sebelumnya.

“Selamat datang, Nona Ratri,” ucap Pak Wiro, suaranya rendah tapi jelas. “Kami sudah menyiapkan tempat untuk menginap. Tapi satu hal harus saya ingatkan: jangan keluar rumah setelah Magrib. Dan… jangan pernah menyusuri jalan yang mengarah ke barat desa.”

Ratri hanya mengangguk, mencatat ucapan itu dalam pikirannya.

Malam pertamanya di Desa Wening terasa lebih panjang dari biasa. Lampu minyak satu-satunya di kamar penginapannya memancarkan cahaya kuning lemah. Ia mencoba membaca kembali catatannya, tapi pikirannya tak bisa lepas dari ucapan Pak Wiro. Jalan ke barat desa… kenapa?

Dari jendela kamarnya, ia melihat siluet sebuah jalan setapak di kejauhan, mengarah ke balik hutan lebat. Jalan itu tampak seperti memanggilnya. Tapi ia menahan diri. Besok, katanya dalam hati. Besok aku akan mencari tahu.

**

Pagi berikutnya, langit Desa Wening cerah tanpa awan. Penduduk desa ramah, tapi tidak banyak bicara. Saat Ratri menyebut soal kerajaan lama atau legenda keraton tersembunyi, mereka hanya menunduk dan pura-pura tak mengerti. Namun anak-anak—mereka lebih jujur. Seorang anak perempuan kecil, Dini, berbisik padanya saat mereka duduk di tepi sungai:

“Dulu di balik hutan ada keraton. Tapi malam-malam suka terdengar suara orang nangis dari sana. Ibu bilang itu tempat orang jahat dikutuk.”

“Kutukan?” tanya Ratri.

“Orang-orang bilang, dulu ada pangeran yang pengin jadi raja, tapi dia bunuh keluarganya sendiri. Terus keratonnya kebakar. Tapi keratonnya… nggak pernah kelihatan dari luar. Cuma orang-orang tertentu yang bisa lihat.”

“Kenapa cuma orang tertentu?”

Dini menatapnya lama, lalu menjawab pelan, “Karena cuma orang yang punya darah sama.”

**

Ratri kembali ke kamar dengan pikiran yang kacau. Anak itu tidak mungkin tahu banyak, tapi perkataannya sesuai dengan cerita-cerita rakyat yang ia kumpulkan dari berbagai desa di sekitar pegunungan. Nama Gembyung—kerajaan kecil yang pernah hilang dari catatan sejarah setelah abad ke-16—sering muncul bersama kisah pengkhianatan dan pembantaian misterius.

Malam itu, ia membuka buku catatan tuanya. Di sana, tertera silsilah kerajaan Gembyung yang berhasil ia susun. Namanya memang tidak tercantum, tapi ia tahu garis keturunan ibunya berasal dari salah satu desa bangsawan di lereng yang sama. Kemungkinan ada darah kerajaan mengalir dalam tubuhnya… bukan mustahil.

Dan entah bagaimana, gagasan itu justru membakar tekadnya.

Ia keluar rumah diam-diam, membawa senter dan catatan. Langkahnya pelan namun mantap, menapaki jalan ke arah barat yang dilarang. Pepohonan di sepanjang jalan seperti menyaksikannya tanpa suara, angin berdesir dingin, membawa aroma tanah basah dan… bunga melati layu?

Setelah menembus hutan selama hampir satu jam, Ratri tiba di sebuah tanah lapang yang aneh. Tidak tampak di peta desa. Tanahnya datar, namun tidak ada rumput. Di tengahnya berdiri sebuah gapura batu setinggi tiga meter, penuh ukiran kuno dan simbol kerajaan. Dan di baliknya—keraton itu berdiri.

Bangunan besar, megah, namun hancur sebagian. Atapnya roboh, dindingnya dipenuhi sulur akar dan lumut. Tapi entah kenapa, meskipun bangunan itu tampak terbengkalai, suasananya tidak mati. Seperti… ada sesuatu yang masih hidup di dalamnya.

Ratri melangkah masuk ke dalam halaman keraton, dan saat itulah… dunia di sekelilingnya berubah.

Kabut tebal turun dari langit. Suara burung-burung menghilang. Udara menjadi sangat dingin, napasnya menggumpal. Ia mencoba mundur—tapi jalan setapak yang ia lalui tadi… sudah tak ada. Hutan itu tertutup rapat, seolah menelannya.

Dan di depan pintu utama keraton, sebuah cermin besar berdiri. Cermin tua, tinggi, bingkainya dari kayu jati berukir naga dan bunga kamboja. Permukaannya buram. Tapi perlahan-lahan, bayangan mulai muncul.

Bukan wajah Ratri.

Tapi wajah seorang lelaki muda berpakaian bangsawan, dengan mata merah dan senyum mengerikan.

Ia berbicara tanpa membuka mulut.

“Selamat datang… darahku yang kembali.”

**

Ratri tersentak. Dunia bergoyang. Cermin itu memancar cahaya gelap. Ia berusaha lari, tapi tubuhnya seperti terpaku. Dalam benaknya, suara-suara bergema: jeritan, tangisan, dan suara gamelan yang sumbang.

Lalu semuanya menghilang.

Ia terbangun kembali di kamarnya, dengan tanah dan daun di bajunya. Tak ada luka, tapi ada bekas lumpur di sepatunya. Di tangannya—benda yang tidak ia bawa sebelumnya: sebuah manik batu giok, retak di sisinya.

Dan sejak saat itu, Ratri tahu: kisah ini bukan sekadar legenda.

Ia telah melangkah ke wilayah yang tak semua manusia bisa jamah. Ia telah membuka gerbang lama yang seharusnya tetap terkunci.

Tapi ia juga tahu, kebenaran tidak akan tinggal diam.

Dan ia—adalah satu-satunya yang bisa mengungkapkan semuanya.*

 

Bab 1: Warisan dari Masa Lalu

Ratri, seorang arkeolog muda yang ambisius, selalu merasa bahwa sejarah memiliki cara tersendiri untuk mengungkapkan dirinya—bukan hanya melalui buku atau artefak, tetapi juga melalui bisikan lembut yang datang dari tanah yang telah lama terlupakan. Pekerjaannya membawa dia ke tempat-tempat yang jauh dari peradaban, menggali masa lalu yang terkubur dalam debu waktu. Namun, pencariannya kali ini berbeda. Sebuah temuan yang tidak terduga akan mengguncang hidupnya dan membawa dia ke dalam misteri yang jauh lebih gelap daripada yang ia bayangkan.

 

Saat itu, di dalam ruang arsip sebuah universitas, Ratri duduk di meja kayu tua, dikelilingi oleh tumpukan dokumen kuno dan peta-peta yang sudah pudar. Matanya menyapu halaman demi halaman dengan penuh perhatian. Di tengah pencariannya untuk menyusun jurnal penelitian tentang kerajaan Jawa yang hilang, ia menemukan sebuah manuskrip yang berbeda dari yang lain. Halaman-halaman manuskrip itu terbuat dari daun lontar, bertuliskan aksara kuno yang hampir tak bisa dibaca. Dengan hati-hati, ia membuka lembaran pertama.

 

Tertulis di sana sebuah nama—”Keraton Gembyung”—dan kisah tentang sebuah kerajaan yang menghilang tanpa jejak pada abad ke-16. Nama itu tidak pernah tercatat dalam buku sejarah yang ia pelajari selama bertahun-tahun. Tak ada catatan yang menyebutkan kehancurannya, tidak ada tanda-tanda bahwa kerajaan ini pernah ada. Namun, manuskrip itu menulis tentang kejatuhan kerajaan tersebut yang sangat misterius, dengan kata-kata yang penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab.

 

Ratri merasa ada sesuatu yang janggal. Tulisannya menyebutkan bahwa “Keraton Gembyung” runtuh setelah sebuah pengkhianatan besar di dalam istana, di mana raja dan seluruh keluarganya dibantai oleh tangan-tangan yang tidak terlihat. Namun, ada bagian yang lebih aneh—penyebutan tentang sebuah kutukan yang akan menghantui siapa saja yang mencoba mengungkap sejarah kelam kerajaan tersebut. Ratri tidak bisa mengabaikan rasa penasaran yang tumbuh dalam dirinya.

 

Pagi itu, di ruang kerjanya yang sempit dan dipenuhi buku-buku sejarah, Ratri memutuskan untuk menelusuri lebih dalam tentang kerajaan yang tak tercatat dalam sejarah ini. Ia merasa manuskrip tersebut menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar sebuah cerita—ada sesuatu yang nyata, sesuatu yang mungkin bisa menjelaskan mengapa Keraton Gembyung hilang begitu saja, meninggalkan jejak yang hanya bisa ditemukan oleh mereka yang berani menggali lebih dalam.

 

Beberapa hari kemudian, Ratri melakukan perjalanan ke sebuah desa kecil di Jawa Tengah, tempat yang disebutkan dalam manuskrip sebagai lokasi terakhir dari kerajaan tersebut. Desanya terletak jauh di pedalaman, tersembunyi di antara pepohonan hutan yang lebat. Hanya sedikit orang yang tahu tentang keberadaan desa ini, dan bahkan lebih sedikit yang pernah mendengar tentang “Keraton Gembyung.”

 

Setibanya di desa, suasana langsung terasa berbeda. Ada semacam keheningan yang aneh di udara, seperti sesuatu yang tak beres. Penduduk desa, yang tampak biasa pada pandangan pertama, memperhatikan Ratri dengan tatapan penuh curiga. Ia merasa bahwa ada yang disembunyikan dari dirinya—sesuatu yang lebih besar daripada sekadar sebuah desa terpencil.

 

Di sebuah warung kecil yang terletak di tengah desa, Ratri berbincang dengan seorang lelaki tua bernama Pak Wiro, yang tampaknya tahu lebih banyak tentang tempat ini daripada orang lain. Ia duduk di meja kayu yang sudah usang, matanya yang keriput menatap Ratri dengan serius.

 

“Keraton Gembyung…” kata Pak Wiro pelan, seolah-olah menimbang kata-kata itu dengan hati-hati. “Itu adalah tempat yang tak seharusnya dicari. Banyak orang yang mencoba menggali sejarahnya, tapi tak ada yang berhasil keluar utuh. Ada yang bilang, kerajaan itu dihancurkan karena pengkhianatan, ada juga yang bilang… ada sesuatu yang jauh lebih gelap yang terjadi di sana.”

 

Ratri menatapnya, tertarik, namun juga merasa ada ketegangan di udara. “Apa yang sebenarnya terjadi di sana, Pak?”

 

Pak Wiro terdiam beberapa saat, seolah-olah mengenang sesuatu yang sangat berat. “Mereka yang tinggal di sana dulunya adalah keluarga kerajaan. Namun, ada kekuatan gelap yang melibatkan darah biru… Pembunuhan massal terjadi, dan sejak saat itu, tak ada yang berani menyebut nama Keraton Gembyung lagi. Orang-orang yang mencoba untuk mengungkapnya… mereka hilang, atau lebih buruk lagi.”

 

Ratri menggigit bibir, rasa penasaran semakin menguasai dirinya. “Kekuatan gelap? Apakah ada bukti tentang itu?”

 

Pak Wiro menggelengkan kepala. “Bukti-bukti itu sudah lama hilang. Apa yang tersisa hanyalah legenda dan cerita yang beredar dari mulut ke mulut. Namun, satu hal yang pasti—keraton itu… bukan hanya tempat yang telah ditinggalkan. Itu adalah tempat yang terkutuk.”

 

Dengan kata-kata terakhir Pak Wiro, Ratri merasa seolah-olah ada sesuatu yang berat menekan dadanya. Meski rasa takut mulai menyusup, ia tahu bahwa inilah kesempatan untuk mengungkap misteri yang telah lama terlupakan. Ia harus terus mencari jawaban.

 

Pada malam hari, setelah berbicara dengan Pak Wiro, Ratri berjalan menyusuri jalanan desa yang sunyi. Suasana semakin aneh—suara gamelan yang jauh terdengar, namun tak ada satu pun orang yang memainkan alat musik itu. Hatinya berdebar kencang. Apa yang terjadi di desa ini? Apakah kutukan yang disebutkan dalam manuskrip itu benar-benar ada? Dan mengapa perasaan aneh ini terus mengikutinya?

 

Ketika Ratri kembali ke penginapan, ia merasa tak bisa tidur. Pikiran tentang Keraton Gembyung dan kutukan yang menantinya terus menghantuinya. Ia tahu bahwa pencarian ini akan membawa dia lebih dekat pada sebuah kebenaran yang tidak ingin diketahui oleh banyak orang. Namun, rasa penasaran mengalahkan rasa takut. Ratri memutuskan untuk melanjutkan pencariannya—tak peduli seberapa gelap dan berbahayanya jalan yang harus ditempuh.

 

Pada saat itu, di luar jendela penginapan, terdengar suara gamelan lagi. Namun kali ini, suara itu terdengar lebih jelas—seperti datang dari jauh, dari dalam hutan.*

 

Bab 2: Keraton yang Terkubur

Pagi menyapa Desa Wening dengan kabut tipis yang menggantung rendah di atas tanah, membuat pemandangan sekitar tampak seperti mimpi samar yang belum sepenuhnya terbangun. Suara ayam berkokok samar-samar terdengar dari kejauhan, namun suasana desa tetap terasa sepi, seolah menahan napas dalam kesunyian yang menakutkan.

Ratri bangun lebih awal dari biasanya. Suara gamelan semalam masih membekas di telinganya. Bukan hanya karena keanehan suara itu—tapi karena bagaimana suara itu muncul dari arah hutan yang disebut oleh Pak Wiro sebagai kawasan terlarang. Sebuah tempat yang bahkan penduduk desa pun jarang datangi.

Dengan ransel kecil berisi buku catatan, kamera, senter, dan manuskrip yang menjadi titik awal semuanya, Ratri melangkah keluar penginapan. Ia memutuskan untuk kembali menemui Pak Wiro, satu-satunya orang yang tampak tahu lebih banyak dari yang ia ucapkan.

Pak Wiro menyambutnya dengan tatapan lelah. Lelaki tua itu tengah duduk di beranda rumahnya, mengunyah sirih sambil memandangi embun pagi.

“Pak, saya mendengar suara gamelan lagi semalam. Dari arah hutan,” kata Ratri langsung.

Pak Wiro menghela napas. “Kau memang keras kepala. Sudah kubilang, jangan terlalu dalam mencampuri hal-hal yang lebih baik dibiarkan tertutup.”

“Tapi kalau tidak ada yang mencari kebenaran, misteri ini akan terus menjadi mitos. Saya yakin, hutan itu menyimpan sisa-sisa dari Keraton Gembyung.”

Pak Wiro terdiam lama. Akhirnya, ia berdiri perlahan dan masuk ke dalam rumahnya. Beberapa menit kemudian, ia keluar sambil membawa sebuah kunci besi tua yang penuh karat. “Kalau memang kau bersikeras, ada satu tempat yang bisa kau kunjungi. Tapi jangan bilang siapa-siapa kalau aku yang memberitahumu. Ini adalah kunci gerbang batu di ujung hutan. Tak semua orang bisa melihatnya, karena gerbang itu tertutup oleh akar-akar besar dan lumut tebal.”

“Gerbang batu?” tanya Ratri, matanya berbinar.

“Iya. Konon, itu pintu masuk menuju bagian terdalam dari keraton yang sudah lama tertimbun. Tapi setelah tragedi itu, tempat itu dikutuk. Hanya mereka yang punya darah bangsawan tertentu yang bisa membukanya… atau mereka yang cukup nekat untuk mencoba.”

Ratri menerima kunci itu dengan hati-hati. “Terima kasih, Pak. Saya akan berhati-hati.”

Perjalanan menuju hutan terasa seperti memasuki dunia lain. Tanaman merambat menutupi jalan setapak yang jarang dilewati. Udara terasa lebih lembap, dan aroma tanah basah bercampur dengan bau bunga liar yang menyengat. Beberapa kali, Ratri merasa seperti sedang diawasi. Ia menoleh ke belakang, tapi tak ada siapa-siapa.

Setelah hampir satu jam menyusuri jalan, ia akhirnya menemukan sebuah tempat yang sesuai dengan deskripsi Pak Wiro: sebuah dinding batu setinggi tiga meter, tertutup oleh akar pohon beringin yang sangat tua. Di tengahnya, samar-samar terlihat ukiran yang nyaris terhapus: dua naga berhadapan, dengan simbol matahari di tengahnya.

Dengan tangan gemetar, Ratri mengeluarkan kunci besi dan menyusupkannya ke lubang di antara ukiran. Suara gemeretak terdengar ketika kunci berputar, dan perlahan, gerbang batu itu bergetar dan terbuka ke dalam tanah, memunculkan aroma tanah kuno dan debu tua yang menyengat.

Tangga batu menurun gelap di balik pintu gerbang. Ratri menyalakan senternya dan melangkah masuk, rasa takut dan penasaran bertarung dalam dadanya.

**

Lorong di balik gerbang itu panjang dan sempit. Dinding-dindingnya terukir simbol-simbol yang tak dikenal, beberapa menyerupai aksara Jawa kuno, tetapi banyak yang tampak seperti lambang mistis. Udara di dalam sangat dingin, jauh dari suhu lembap di luar. Nafas Ratri mengepul saat ia menuruni tangga demi tangga, hingga akhirnya ia tiba di sebuah ruangan besar yang menyerupai aula istana, meski sudah rusak dan tertutup debu.

Di tengah aula, terdapat sebuah altar batu dengan kain merah tua yang hampir lapuk. Di atasnya, terdapat topeng emas dengan ukiran wajah raja yang agung namun menyeramkan. Mata topeng itu kosong, tapi terasa seperti menatap langsung ke dalam jiwanya.

Saat Ratri mendekat untuk memeriksa lebih lanjut, tiba-tiba lampu senter berkedip dan mati. Gelap gulita menelan segalanya. Detik itu juga, suara gamelan terdengar—kali ini sangat dekat. Lembut, mengalun… lalu tiba-tiba berhenti, digantikan oleh bisikan halus yang terdengar seperti nyanyian duka.

Ratri mundur satu langkah, jantungnya berdegup kencang. Dalam kegelapan, ia melihat bayangan samar bergerak cepat di ujung aula. Lalu satu lagi. Suara langkah kaki bergema, namun tak ada siapa-siapa. Ketika ia berhasil menyalakan senter kembali, aula tampak kosong seperti semula. Tapi sesuatu telah berubah.

Di dinding belakang, tertulis dengan darah kering:

“Kau telah membangunkan mereka.”

Ratri terdiam membeku. Tangannya gemetar saat menyentuh ukiran itu. Ia tidak tahu siapa “mereka” yang dimaksud, tapi nalurinya mengatakan: ini bukan hanya tentang sejarah. Ini tentang sesuatu yang jauh lebih besar—dan jauh lebih berbahaya.

Sebelum keluar, Ratri mengambil foto dan catatan sebanyak yang ia bisa. Ia tahu waktu tidak berpihak padanya di tempat itu. Dengan napas tersengal, ia berlari naik ke permukaan. Ketika akhirnya ia kembali ke luar gerbang, matahari sudah hampir tenggelam. Gerbang batu menutup sendiri di belakangnya dengan suara menggetarkan bumi.

**

Sesampainya di desa, Ratri langsung menuju penginapan. Namun sebelum ia masuk ke kamarnya, seorang anak kecil berdiri di tangga, menatapnya tanpa ekspresi.

“Kakak sudah ke hutan, ya?” tanya si anak tiba-tiba.

Ratri kaget, lalu mengangguk perlahan. “Iya. Kenapa?”

Anak itu mendekat dan berbisik, “Kalau sudah membuka pintunya… mereka akan mengikutimu ke mana pun.”

Ratri tercekat. Sebelum sempat bertanya lebih lanjut, anak itu sudah berlari menghilang ke gang kecil di antara rumah-rumah desa. Malam pun tiba, membawa serta kegelapan dan bayangan yang tampaknya mulai mengikuti langkah Ratri, selangkah demi selangkah.

Ia menatap langit malam yang mulai tertutup awan. Entah kenapa, malam ini terasa jauh lebih sunyi… dan jauh lebih berbahaya.*

 

Bab 3: Kutukan Darah Biru

Malam menjelang dengan sunyi yang menyesakkan. Langit di atas Desa Wening tampak gelap pekat tanpa bintang, seakan langit itu sendiri tengah murka. Di kamar penginapan kayu yang hanya disinari cahaya redup lampu minyak, Ratri duduk terdiam. Di hadapannya, catatan dan foto-foto dari ruang bawah tanah keraton berserakan di lantai. Tapi matanya tak lagi fokus. Bayangan peristiwa siang tadi masih membayang, menghantui pikirannya.

Suara gamelan, tulisan darah di dinding, dan anak kecil misterius yang memperingatkannya—semuanya tidak masuk akal. Tapi Ratri tahu, ini bukan sekadar halusinasi. Sesuatu telah terbangun di dalam keraton yang terkubur itu. Dan kini, ia membawa jejaknya keluar.

Ia menatap foto topeng emas yang diambilnya. Tatapan kosong pada topeng itu terasa seperti menyimpan dendam berabad-abad. Ia memperbesar gambar ukiran di sisi altar dan mendapati simbol yang tak asing. Aksara kuno Jawa bertuliskan: “Darah kerajaan membuka jalan, darah pengkhianat menutupnya.”

“Darah kerajaan…?” Ratri membatin, alisnya berkerut. Apakah ini berarti hanya keturunan darah biru yang bisa membuka gerbang keraton? Tapi kenapa ia bisa membukanya? Ia bukan siapa-siapa. Seorang arkeolog biasa dari keluarga biasa.

Rasa penasaran memuncak menjadi kegelisahan. Ia butuh jawaban. Dan ia tahu, hanya satu orang yang bisa menjelaskannya: Pak Wiro.

**

Pagi berikutnya, Ratri tergesa-gesa menuju rumah Pak Wiro. Namun ia terkejut melihat kerumunan warga desa berkumpul di depan rumah lelaki tua itu. Suasana panik. Beberapa perempuan menangis.

“Ada apa?” tanya Ratri sambil menyibak kerumunan.

Seseorang menjawab dengan suara bergetar, “Pak Wiro… meninggal pagi tadi. Ditemukan membeku di atas ranjang. Padahal semalam baik-baik saja.”

Ratri terpaku. Keringat dingin merembes dari pelipisnya. Ia menoleh, menatap rumah Pak Wiro yang kini dipenuhi kain putih penutup jenazah. Hatinya mencelos.

Satu per satu, orang yang tahu tentang keraton itu mulai menghilang.

**

Malam hari, Ratri duduk kembali di kamar penginapan. Kini ia membuka laci kecil yang sebelumnya tidak ia sentuh sejak tiba. Di dalamnya, sebuah buku tua kulit cokelat menanti seolah sengaja disembunyikan. Ia tak tahu siapa yang meletakkannya di sana, tapi saat membukanya, halaman pertama membuat darahnya berdesir.

Itu adalah buku silsilah—dengan lambang yang sama seperti yang terukir di gerbang batu: dua naga dan matahari. Nama-nama dalam silsilah itu tertera dengan tinta hitam pekat, dan di antara mereka, satu nama menarik perhatiannya:

“Radin Ayu Retno Mandasari” – Istri dari Raja Gembyung, dan satu-satunya yang selamat dari pembantaian istana. Kabur membawa anak laki-lakinya ke arah timur, menyembunyikan keturunan kerajaan.”

Ratri menelan ludah. Nama itu—Mandasari—ia pernah mendengarnya. Itu nama buyut dari pihak ibunya, yang dulu kerap diceritakan sebagai perempuan bangsawan dari Timur. Seluruh tubuhnya bergetar.

“Jadi… aku adalah keturunan mereka?”

Ia menatap tangannya sendiri, seolah sedang melihatnya untuk pertama kali. Darah biru itu… ternyata mengalir dalam dirinya.

Tiba-tiba, jendela kamarnya terbuka dengan keras. Angin dingin masuk menyapu ruangan. Cahaya lampu minyak bergetar lalu padam seketika. Dalam kegelapan, suara-suara mulai terdengar—gamelan, bisikan lirih, dan langkah kaki mendekat dari luar pintu.

Tok… tok…

Ketukan itu pelan, tapi menghantam jantung Ratri seperti palu.

Tok… tok…

Pintu bergerak perlahan, terbuka dengan sendirinya. Di ambang pintu, seorang perempuan berdiri. Rambut panjang menjuntai, mengenakan kebaya merah pudar, dan wajah pucat seperti topeng porselen. Mata perempuan itu kosong—namun air mata darah mengalir dari kedua pelipisnya.

“Ratri…” bisiknya. “Waktumu telah tiba…”

Ratri mundur, nyaris tersandung. Tapi sosok perempuan itu tak bergerak mendekat, hanya menatapnya pilu.

“Kami semua menunggu keturunan yang kembali… yang akan membuka jalan bagi keadilan. Tapi kau harus tahu… tak semua yang dibangkitkan ingin kebenaran…”

Dalam sekejap, perempuan itu menghilang, meninggalkan hawa dingin dan aroma melati yang menyesakkan. Lampu menyala kembali dengan sendirinya.

Ratri terduduk lemas di lantai. Ia tahu ini bukan hanya tentang sejarah atau penelitian. Ini adalah bagian dari dirinya—darah, warisan, dan dosa masa lalu yang kini bangkit menuntut.

Keesokan harinya, Ratri kembali ke hutan. Kali ini, ia membawa buku silsilah dan seutas benang merah yang ia ikat di pergelangan tangan—ritual pelindung yang disarankan seorang dukun desa setelah mendengar kabar kematian Pak Wiro.

Ketika tiba di depan gerbang batu, ia tidak butuh kunci. Gerbang itu terbuka dengan sendirinya, seperti menyambut sang pewaris sah.

Di dalam lorong keraton, suasana semakin berubah. Dinding-dinding kini menampilkan bayangan samar: pasukan berkuda, suara teriakan perang, darah menetes di lantai batu. Di altar utama, topeng emas kini telah berpindah posisi, dan di bawahnya ada prasasti baru bertuliskan:

“Pengkhianat masih hidup. Mereka menyamar dalam garis darah yang suci. Akhiri lingkaran dosa.”

Ratri perlahan menyadari, kutukan yang membunuh kerajaan Gembyung tidak berakhir dengan pembantaian. Keturunan pengkhianat masih hidup di zaman modern, mungkin berada dalam posisi kekuasaan, menyembunyikan dosa nenek moyangnya.

Dan para arwah belum bisa tenang… sebelum keadilan ditegakkan.

Ketika Ratri keluar dari keraton, langit telah berubah warna. Awan hitam menggantung, dan angin berhembus kencang, membawa bau darah dan dupa. Ia tahu ini bukan sekadar penelitian lagi.

Ia adalah bagian dari kutukan. Dan ia adalah kunci untuk memecahkannya.

Namun, dalam langkahnya kembali ke desa, Ratri tidak menyadari satu hal:

Seseorang telah mengikutinya dari dalam keraton.*

 

Bab 4: Cermin Arwah

Langkah Ratri cepat dan gelisah saat ia meninggalkan hutan. Cahaya senja menembus celah-celah pepohonan, menyinari tanah lembap yang dipenuhi daun gugur. Tapi kali ini, sinar matahari tak membawa kehangatan. Ada hawa aneh yang membebani udara—seolah alam pun tahu bahwa sesuatu telah keluar dari batasnya.

 

Sejak meninggalkan lorong keraton, Ratri merasa ada yang mengikuti. Suara langkah kecil terdengar saat ia berjalan, namun saat ia berhenti, suara itu pun ikut diam. Beberapa kali ia menoleh, tapi hanya menemukan kabut tipis dan hening yang menyambut.

 

Setibanya di penginapan, ia langsung mengunci pintu kamar dan memeriksa ulang catatan, foto, dan buku silsilah. Ia tak bisa menenangkan pikirannya. Pesan di prasasti bawah tanah terus bergema di benaknya:

 

“Pengkhianat masih hidup. Mereka menyamar dalam garis darah yang suci.”

 

Ratri menatap silsilah keluarga yang kini dibentangkannya di lantai. Ia melacak garis keturunannya sendiri—berharap menemukan sesuatu yang bisa menjelaskan siapa “pengkhianat” itu. Tapi tak ada nama mencurigakan. Hanya silsilah yang perlahan terputus setelah generasi keempat, seolah sejarah keluarganya memang sengaja dihapuskan.

 

Lalu matanya menangkap satu catatan kecil di pojok halaman terakhir buku itu. Tinta yang memudar membentuk kalimat:

“Cermin adalah kunci. Arwah hanya bisa berkata jujur di hadapan bayangannya sendiri.”

 

Ratri menggigit bibirnya. “Cermin?” gumamnya. Ia lalu mengingat sesuatu—di bagian belakang rumah tua Pak Wiro, ada gudang kecil dengan kaca besar bertatahkan ukiran kuno. Ia sempat melihatnya sekilas dua hari lalu. Mungkinkah itu cermin yang dimaksud?

 

 

Saat malam jatuh, Ratri diam-diam pergi ke rumah Pak Wiro. Desa Wening sunyi senyap. Tidak ada suara jangkrik. Tidak ada angin. Hanya bulan yang pucat dan bayangan panjang pepohonan yang menyertai perjalanannya.

 

Gerbang rumah Pak Wiro tidak terkunci. Ratri masuk perlahan, melewati ruang tamu yang gelap dan berdebu. Aroma kayu tua dan dupa yang terbakar menyengat hidungnya. Ia menuju bagian belakang rumah, membuka pintu kecil menuju gudang.

 

Dan di sana—di bawah selimut debu dan sarang laba-laba—berdiri sebuah cermin besar. Bingkainya dihiasi simbol naga dan matahari yang sama dengan gerbang batu dan altar. Cermin itu kusam, namun tidak retak. Di permukaannya, Ratri bisa melihat bayangannya sendiri, tetapi… ada yang aneh.

 

Bayangannya tersenyum.

 

Padahal ia tidak.

 

Ratri melangkah mundur, jantungnya berdebar hebat. Bayangan di dalam cermin tetap menatapnya, lalu membuka mulut.

 

“Sudah waktunya kau tahu kebenaran, pewaris darah retak.”

 

Mulut Ratri terbuka, tapi ia tak bisa bicara. Tubuhnya membeku.

 

“Keturunan pengkhianat itu… bukan musuhmu. Tapi… bagian darimu.”

 

Cermin memancarkan cahaya samar. Perlahan, permukaannya berubah, menampilkan bayangan masa lalu: Seorang pria muda berpakaian kerajaan—pangeran dari Gembyung—berlutut di hadapan sekelompok prajurit asing. Ia menyerahkan peta benteng dan tanda kerajaan. Tak lama kemudian, keraton diserbu. Api melahap bangunan. Rakyat dibantai. Raja Gembyung jatuh di altar.

 

Dan pangeran pengkhianat itu…

 

Memiliki wajah yang sama dengan Ratri.

 

“Apa… itu aku?” bisik Ratri ketakutan.

 

Suara dari dalam cermin menjawab, “Kau adalah reinkarnasi dari pengkhianat dan pewaris yang sah. Dua sisi dari darah yang sama. Itulah sebabnya kau bisa membuka gerbang, dan itulah sebabnya arwah tidak bisa menyentuhmu.”

 

Ratri gemetar. “Jadi… kutukan itu ada padaku…?”

 

Cermin bersinar lebih terang. “Dan hanya kau yang bisa mengakhirinya… atau mengulang tragedi yang sama.”

 

Tiba-tiba, cermin bergetar hebat. Kilatan cahaya menyilaukan muncul, dan bayangan arwah muncul—sosok-sosok berjubah, wajah mereka kosong, tangan mereka terentang ke arahnya. Mereka mengelilingi Ratri, tidak menyentuh, hanya menatapnya dengan tatapan dingin dan penuh harap.

 

“Tunjukkan siapa yang mengkhianatimu. Maka kami akan pergi. Tapi jika kau ragu… kami akan menetap.”

 

Ratri terbangun keesokan harinya di lantai gudang. Cermin itu kembali menjadi cermin biasa. Tapi pesan mereka masih tertanam jelas di pikirannya.

 

Ia tahu apa yang harus dilakukan. Ia harus mencari bukti pengkhianatan. Ia harus kembali ke keraton. Tapi kali ini, bukan untuk mencatat sejarah.

 

Melainkan untuk menghadapinya.

 

Tapi sebelum berangkat, Ratri menyempatkan diri menemui dukun tua desa yang dikenal dengan nama Mbok Lastri. Perempuan tua itu sudah lama tak keluar rumah, namun saat Ratri menyebut soal arwah keraton, Mbok Lastri langsung memandangnya dalam-dalam.

 

“Sudah waktunya kebenaran muncul,” kata Mbok Lastri. “Kau adalah pemilik takdir yang terbelah. Darahmu membawa dua jalur—yang menghancurkan dan yang akan menyelamatkan. Tapi ingat satu hal, Nak…”

 

“Apa itu?” tanya Ratri.

 

Mbok Lastri mendekat, berbisik lirih, “Kau tidak sendirian membawa kutukan itu. Ada orang lain… satu keturunan pengkhianat sejati, yang juga telah terbangun. Dan dia sedang mencarimu.”

 

Langit kembali mendung saat Ratri melangkah ke hutan. Angin berdesir membawa suara lirih dari masa lalu. Dengan cermin kecil di tangannya dan silsilah yang kini menjadi senjatanya, Ratri tahu:

Pertarungan ini bukan lagi antara sejarah dan

masa kini.

Tapi antara dirinya…

Dan bayangan kelam yang telah lama ia warisi.*

 

Bab 5: Bayangan yang Bangkit

Langkah Ratri semakin berat saat memasuki lorong keraton untuk kelima kalinya. Tak ada lagi rasa penasaran yang menggelora seperti dulu. Yang ada kini hanyalah campuran rasa takut, tekad, dan kesadaran akan beban darah yang ia bawa.

 

Lorong itu tampak berubah. Dinding-dindingnya tak hanya berlumut dan dipenuhi ukiran kuno, tetapi kini dihiasi bercak-bercak merah gelap. Suara gamelan terdengar samar dari kejauhan—pelan, menghipnotis, seperti jantung yang berdetak pelan sebelum berhenti.

 

Ketika Ratri mencapai altar utama, ia terdiam. Di sana, di tengah ruangan, berdiri sosok lelaki berpakaian bangsawan kuno. Punggungnya menghadap Ratri, rambutnya panjang, jubahnya berwarna kelam. Ia tak bergerak.

 

“Siapa kau?” tanya Ratri dengan suara menegang.

 

Sosok itu perlahan menoleh. Wajahnya tampan, tapi pucat, matanya kosong, dan bibirnya menyeringai.

 

“Aku adalah kau… tapi juga bukan kau,” ujarnya dengan suara yang dalam dan bergema.

 

Ratri menelan ludah. Ia tahu siapa lelaki itu. Ia adalah pangeran pengkhianat yang muncul dalam cermin. Sosok dari masa lalu. Bagian dari dirinya yang seharusnya telah lenyap, namun kini justru berdiri hidup di hadapannya.

 

“Aku Radin Mahesa, pewaris Gembyung. Kau mewarisi tubuh, tapi aku mewarisi tujuan. Sudah saatnya takhta kembali… dan darah dibersihkan.”

 

“Darah siapa?” tanya Ratri perlahan.

 

“Semua yang mengkhianati,” jawab Mahesa tajam. “Termasuk kau… jika memilih menghapus sejarah.”

 

Ratri melangkah maju. “Aku tidak akan menjadi alat dendam masa lalu. Kerajaanmu sudah hancur karena pengkhianatan. Kau mengorbankan rakyatmu demi kekuasaan.”

 

Sosok Mahesa tertawa pelan, “Kau bicara seolah sejarah itu milikmu. Padahal aku-lah yang menjalani siksaan, melihat keluargaku dibantai, dan dikhianati oleh saudara sendiri.”

 

Tiba-tiba, altar bergetar. Dinding-dinding mengelupas, menampakkan lapisan merah seperti darah. Dari celah-celah lantai, kabut hitam menjalar keluar, membentuk bayangan-bayangan berwujud manusia—arwah para korban, rakyat, prajurit, bahkan anak-anak.

 

Mereka mengelilingi Ratri dan Mahesa. Wajah-wajah mereka bukan penuh dendam, melainkan kesedihan. Mereka tidak menuntut pembalasan, tapi… keadilan.

 

Salah satu arwah, seorang perempuan tua mengenakan kebaya, berbisik lirih, “Kau adalah satu-satunya harapan kami, Nimas Ratri. Jangan biarkan dendam menggantikan keadilan.”

 

Ratri menatap Mahesa. “Mereka tidak butuh darah. Mereka butuh damai.”

 

“TIDAK!” teriak Mahesa. Suaranya menggelegar hingga langit-langit batu bergemuruh. “Kebenaran hanya muncul dari ketakutan! Dunia harus tahu bahwa keturunan kerajaan belum mati!”

 

Ia mengangkat tangannya, dan kabut di sekeliling mulai membentuk wujud manusia dengan mata merah menyala. Sosok-sosok yang tidak seperti arwah. Mereka seperti… makhluk yang dikutuk. Tubuh rusak, mulut sobek, dan suara gemeretak seperti tulang retak mengiringi gerakannya.

 

Ratri mundur. Ia sadar, Mahesa telah memanggil bukan sekadar arwah, tapi roh-roh marah—makhluk yang lahir dari pengkhianatan dan keputusasaan. Kutukan yang sebenarnya.

 

Namun ia tak sendirian. Di tangannya, cermin kecil dari rumah Pak Wiro mulai berpendar. Ia mengangkatnya tinggi-tinggi, dan sinar putih menyilaukan keluar dari dalamnya. Sosok-sosok mengerikan itu meraung, tertahan cahaya.

 

“Cermin ini menunjukkan kebenaran,” gumam Ratri. “Dan kebenaran… tak bisa dimusnahkan oleh dendam.”

 

Mahesa menjerit, matanya terbakar oleh cahaya. Tubuhnya terbelah dua: satu sisi tetap manusia, sisi lain membentuk wajah arwah yang menghitam. Ia meronta, tapi cahaya dari cermin memaksanya untuk menatap pantulan dirinya sendiri.

 

Dalam cermin, Mahesa melihat siapa dirinya sebenarnya. Bukan pangeran terhormat, bukan korban. Tapi penyebab kehancuran.

 

Ia berteriak, “Hentikan! Aku hanya ingin menghidupkan kembali kejayaan!”

 

Tapi arwah-arwah lain mulai muncul dan memeluknya dari segala arah. Mereka bukan menyerangnya—mereka menuntunnya. Mengembalikannya ke dunia arwah, agar bisa diadili oleh waktu.

 

Mahesa berusaha menolak, tapi kekuatannya melemah. Perlahan, tubuhnya larut dalam kabut putih, bersama suara yang terakhir kali menggema:

 

“Ratri… jangan ulangi kesalahanku…”

 

Semua kembali hening. Kabut menghilang. Arwah telah pergi. Dan keraton bawah tanah itu mulai runtuh perlahan, seperti telah selesai menjalankan tujuannya.

 

Ratri melangkah keluar dengan tubuh lemah, tapi langkah mantap. Ia telah membuat pilihan. Ia memilih menghentikan lingkaran dendam, bukan melanjutkannya. Ia memilih menyembuhkan sejarah, bukan membiarkannya jadi luka purba.

 

Di luar, langit mulai cerah. Burung-burung terdengar kembali, dan udara segar menggantikan bau darah yang selama ini melingkupi Desa Wening.

 

Tapi sebelum meninggalkan hutan, Ratri menoleh sekali lagi ke balik pepohonan yang menyembunyikan reruntuhan keraton. Ia tahu, meskipun kutukan telah diangkat, sejarah tak akan pernah benar-benar hilang.

 

Ia berjanji, akan menulis kisah ini, bukan sebagai dongeng seram atau legenda gelap, tetapi sebagai peringatan:

Bahwa pengkhianatan mungkin terkubur oleh waktu,

Namun kebenaran…

selalu mencari cahaya untuk kembali.

Dan kini, dialah lentera itu.***

 

_______________THE END_______________

Source: Jasmine Malika
Tags: #Sejarah #Misteri #Horor #TekaTeki #KerajaanJawa #Kutukan #IntrikIstana
Previous Post

JEJAK MERAH DI BUMI ANDALAS

Next Post

HILANG DI TENGAH HUJAN

Next Post

HILANG DI TENGAH HUJAN

RAHASIA RUMAH DI UJUNG KOTA

RAHASIA RUMAH DI UJUNG KOTA

REFLEKSI YANG MENATAP BALIK

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In