Bab 1 Rumah Itu
Langit abu-abu menggantung rendah di atas kota kecil Grastown, seperti tirai kusam yang enggan terbuka. Hujan rintik-rintik menyapu kaca mobil ketika Alena memarkir kendaraannya di depan rumah tua di ujung jalan buntu. Rumah itu berdiri di tengah halaman penuh ilalang, bangunannya tinggi, tua, dan seakan menunduk di bawah beban waktu. Cat dindingnya mengelupas, jendela-jendelanya buram tertutup debu dan lumut. Pintu kayunya tampak kokoh, tapi engselnya berkarat seperti tak pernah dibuka selama bertahun-tahun.
“Rumah ini milikmu sekarang,” ujar Pak Gerdi, petugas real estat tua yang mengantar Alena dari pusat kota, sambil menyerahkan seikat kunci dengan gantungan besi usang. “Tapi… banyak warga bilang rumah ini agak… tidak biasa. Dulu, nenekmu tinggal di sini sendirian sampai… ya, kau pasti sudah tahu.”
Alena hanya mengangguk. Ia tidak terlalu mengenal neneknya, Ny. Kirana, yang kabarnya meninggal mendadak di rumah ini, ditemukan oleh tetangga setelah berhari-hari tak terlihat. Hubungan keluarga mereka memang dingin sejak dulu. Ayahnya meninggalkan rumah itu sejak usia muda dan tidak pernah mengajak Alena kembali, bahkan setelah ibunya meninggal.
Dan sekarang, rumah ini jatuh ke tangannya.
Setelah Pak Gerdi pergi, meninggalkannya sendirian di bawah hujan yang mulai deras, Alena menatap pintu tua itu. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu memasukkan kunci ke lubang dan memutar. Suara “klik” yang lambat terdengar lebih berat daripada seharusnya.
Rumah itu berbau debu, kayu lapuk, dan sesuatu yang samar—seperti kapur barus yang sudah terlalu lama ditinggal. Alena melangkah masuk, disambut lantai kayu yang berderit di bawah sepatunya. Semua jendela ditutup tirai tebal, membuat ruangan hanya diterangi cahaya keabu-abuan dari lampu gantung kecil yang nyaris padam.
Lorong depan mengarah ke ruang tamu yang dipenuhi perabotan lama. Sebuah sofa cokelat usang, rak buku penuh novel tua berbahasa Belanda, dan di sudut ruangan, sebuah kursi goyang berhenti setengah bergoyang, seolah seseorang baru saja berdiri darinya.
Alena merasakan desakan dingin merambat di tengkuknya.
Dia mengabaikannya. Rasa dingin ini mungkin hanya efek dari ruangan yang sudah terlalu lama kosong.
Ia menghabiskan beberapa jam menata barang-barangnya, membersihkan debu, dan mengecek kamar satu per satu. Di lantai atas, ada tiga kamar: satu kamar utama, satu kamar kosong, dan satu kamar terkunci.
Alena berhenti di depan kamar yang terkunci. Tidak ada label, tidak ada nama, dan tidak satu pun dari kunci yang ia miliki bisa membukanya. Ia mencoba memutar gagangnya pelan, tapi hanya terdengar bunyi “klek” yang hampa. Di bawah pintunya, terlihat seberkas bayangan—gelap, seperti sesuatu atau seseorang sedang berdiri diam di baliknya.
Tapi saat ia menunduk, bayangan itu menghilang.
Hari mulai malam. Hujan belum juga reda. Angin meniup tirai di lantai bawah, meskipun semua jendela tertutup rapat. Alena duduk di meja makan, mencoba menulis—itulah alasannya datang ke tempat ini, untuk menyelesaikan novel yang tertunda. Tapi pikirannya tidak bisa fokus. Setiap kali menatap layar laptopnya, ia merasa seperti diawasi.
Pukul 11 malam, Alena memutuskan tidur.
Di tengah malam, ia terbangun oleh suara ketukan. Tiga kali. Pelan, tapi sangat jelas.
Tok. Tok. Tok.
Ia menajamkan pendengaran. Tidak ada suara hujan, tidak ada suara angin. Hanya ketukan itu—berasal dari lantai atas.
Dengan jantung berdegup cepat, Alena bangkit dari ranjang dan melangkah pelan menuju tangga. Setiap anak tangga mengeluh di bawah bobot tubuhnya. Sampai akhirnya ia tiba di koridor gelap lantai atas. Lampu di ujung lorong berkedip.
Ketukan itu datang lagi.
Tok. Tok. Tok.
Ia mengikuti suara itu—dan berhenti di depan jendela besar di ujung lorong. Kabut tipis mengembun di kaca, memburamkan pandangan ke luar. Tapi di sana… di balik embun itu… ada bekas tangan.
Bukan telapak tangan biasa. Ukurannya lebih kecil dari tangan manusia dewasa, dan bentuk jari-jarinya agak bengkok, seolah menekan kaca dari sisi luar dengan marah. Alena melangkah mundur, napasnya tercekat.
Dengan tangan gemetar, ia menyeka kaca. Tidak ada siapa-siapa di luar. Hanya halaman belakang yang gelap, dan pohon tua yang melambai pelan ditiup angin. Tapi saat ia hendak berbalik, matanya tertumbuk pada sesuatu di ambang jendela.
Sebuah foto tua. Lusuh, sudah menguning, terselip di antara bingkai jendela dan kaca. Ia mengambilnya, menatapnya dalam cahaya remang-remang.
Itu adalah foto seorang wanita muda. Rambut panjang, mata tajam, mengenakan gaun putih. Wajahnya tampak familiar, tapi Alena tidak bisa langsung mengingat dari mana. Ia membalik foto itu.
Ada tulisan tangan di baliknya, dengan tinta yang sudah luntur sebagian:
“Aku masih di sini.”
Tiba-tiba, lampu di lorong padam. Gelap.
Alena berdiri terpaku, foto itu masih di tangannya. Jantungnya berdentum seperti genderang perang. Di kejauhan, dari dalam kamar terkunci, terdengar suara kursi bergeser pelan—dan kemudian, tawa lirih. Suara perempuan. Tapi bukan suaranya.
Dalam gelap, Alena tahu satu hal: rumah ini tidak kosong.
Bab 2: Suara dari Lemari Tua
Hujan belum reda ketika pagi menyapa rumah tua itu. Kabut masih menggantung rendah, seolah enggan melepaskan cengkeramannya dari tanah yang lembap. Alena duduk di kursi makan dengan mata lelah, cangkir kopi dingin di tangannya. Ia tak tidur semalaman.
Kejadian semalam—ketukan di jendela, bayangan, foto tua dengan pesan menyeramkan—semuanya terasa seperti mimpi buruk yang terus menghantui pikiran sadar dan bawah sadarnya. Ia sudah mencoba berpikir rasional: mungkin hanya kelelahan, mungkin bayangan itu hanya refleksi, mungkin foto itu memang tertinggal di sana oleh neneknya. Tapi suara tawa lirih dari balik pintu kamar yang terkunci… itu tidak bisa dijelaskan dengan logika.
Setelah mengumpulkan keberanian, Alena naik ke atas untuk mengecek kamar-kamar. Udara di lantai dua terasa lebih dingin dari biasanya, bahkan meski semua jendela tertutup rapat. Ia menyentuh kaca jendela tempat bayangan itu muncul semalam. Bekas tangan yang ia lihat tadi malam sudah hilang. Tapi rasa dingin masih tertinggal, menempel di jari-jarinya seperti salju.
Ia memeriksa kembali kamar utama yang kini jadi tempat tidurnya. Lalu masuk ke kamar kosong di sebelahnya.
Kamar itu tak banyak berubah sejak semalam. Kosong, kecuali sebuah lemari kayu besar di sudut ruangan. Alena tak memperhatikannya saat pindahan karena pintu kamarnya sendiri sudah cukup menyita pikirannya. Tapi sekarang, berdiri di depan lemari itu, ada sesuatu yang ganjil.
Lemari itu tampak terlalu besar untuk kamar sekecil ini. Catnya mengelupas, dan ukiran kayunya menggambarkan pola-pola aneh yang sulit dikenali. Seolah-olah bukan dibuat oleh pengrajin biasa, tapi seseorang yang… sedang dalam tekanan.
Alena menarik gagang lemari perlahan. Bunyi “kriiiieeekk…” panjang mengisi ruangan yang hening.
Kosong.
Hanya tumpukan kain tua di dalam, beberapa pakaian neneknya yang ditinggalkan, dan buku lusuh yang terselip di bagian belakang rak. Tapi saat Alena hendak menutup kembali pintu, telinganya menangkap sesuatu.
Ketukan.
Pelan.
Dari dalam lemari.
Jantungnya berhenti sejenak. Ia mematung, memandang ke dalam lemari yang masih terbuka. Tidak ada apa-apa, tak ada gerakan, tak ada suara lagi. Tapi ia tahu ia mendengarnya. Tiga ketukan, sama seperti semalam.
Dengan tangan gemetar, Alena meraih buku tua di rak belakang. Sampulnya cokelat, kulitnya retak-retak. Tanpa judul. Ia membukanya dengan hati-hati. Halaman pertama bertuliskan nama:
Kirana S. Widjanarko
Catatan Harian, 1973
Jantung Alena berdetak lebih cepat. Ini buku harian neneknya.
Ia duduk di lantai, membuka halaman pertama yang bisa terbaca. Banyak tulisan yang sudah pudar, tapi beberapa masih jelas:
“Hari ke-4. Bayangan itu muncul lagi. Berdiri di jendela kamar tamu. Dia menatapku—aku yakin dia bisa melihat ke dalam diriku. Aku mencoba mengabaikannya, tapi malam ini, suara itu datang dari dalam lemari. Aku menguncinya, tapi entah kenapa, lemari itu seperti bernafas.”
Alena memeluk dirinya sendiri. Kata-kata itu terlalu mirip dengan apa yang ia alami sekarang.
Ia membuka halaman lain. Ada sketsa kasar dari jendela di lorong atas, dan di bawahnya, tulisan terburu-buru:
“Aku menutup semua kaca, tapi bayangan itu tetap ada. Ia tidak mencerminkan gerakanku. Kadang aku melihatnya tersenyum ketika aku menangis.”
Ia menutup buku itu dengan cepat. Matanya memindai kamar. Semua terasa terlalu sunyi. Tak ada suara dari luar, seolah dunia membeku.
Lalu, tanpa peringatan, pintu lemari menutup sendiri dengan keras.
BANG!
Alena terlonjak, berdiri terburu-buru dan mundur. Dadanya sesak. Tak ada angin. Tak ada gempa. Lemari itu menutup sendiri.
Dan di tengah pintunya, perlahan-lahan, muncul bekas tangan. Lima jari kecil, seolah menekan dari dalam. Seperti seseorang mencoba keluar. Tapi saat ia berkedip, bekas itu sudah hilang.
Alena melangkah mundur, meninggalkan kamar itu dan menutup pintunya rapat. Ia kembali ke lantai bawah, duduk di sofa, menggenggam buku harian neneknya seperti benda suci. Ia merasa terhubung pada sosok wanita itu, yang kini lebih dari sekadar nenek—ia seperti peringatan hidup.
Siang itu, Alena memutuskan untuk pergi ke perpustakaan kota, berharap bisa menemukan arsip lama, atau catatan apa pun tentang rumah ini. Tapi sebelum pergi, ia memeriksa foto tua yang semalam ia simpan di laci meja.
Dan ada yang aneh.
Wajah wanita di foto itu berubah. Mata yang semula lurus menatap kamera, kini sedikit menoleh ke kiri. Senyumnya lebih lebar. Lebih tajam. Seolah ia tahu Alena melihatnya.
Dengan napas memburu, Alena membalik foto itu.
Tulisan di baliknya bertambah satu kalimat.
Bab 3: Tetangga yang Tak Menjawab
Alena berdiri di depan rumah, mengenakan jaket panjang dan membawa buku harian neneknya yang kini terasa lebih seperti peta ketakutan daripada sekadar catatan masa lalu. Hujan telah reda, tapi kabut belum mengangkat dari jalanan kecil Grastown. Setiap langkahnya di trotoar batu mengeluarkan suara pelan, namun cukup untuk membuatnya merasa seolah ada yang mengawasi dari balik tirai-tirai jendela rumah tetangga.
Tujuan pertamanya adalah rumah nomor dua: bangunan kecil dengan pagar putih yang dicat ulang setengah hati. Di pekarangan, terdapat pot bunga yang dibiarkan kering, dan seekor kucing tua mengawasinya dari atas pagar.
Ia mengetuk pintu perlahan. Sekali. Dua kali. Tak ada jawaban.
Alena hampir berbalik ketika pintu sedikit terbuka. Seorang wanita paruh baya muncul dari balik celah, mengenakan daster dan syal wol yang tampaknya dipakai sejak pagi. Matanya tampak letih—atau takut.
“Maaf, Bu. Saya Alena. Saya baru pindah ke rumah… itu,” katanya sambil menunjuk rumah warisan neneknya.
Wanita itu tidak menatap ke arah rumah. Sebaliknya, dia menunduk.
“Rumah itu kosong,” katanya lirih.
“Sudah tidak lagi,” jawab Alena pelan. “Saya… cucu dari Bu Kirana. Saya tinggal di sana sekarang.”
Wanita itu mendesah, lalu dengan cepat menutup pintu tanpa berkata apa-apa lagi. Klik. Terkunci.
Alena menatap pintu yang tertutup di depannya, bingung. Ia mengetuk lagi, lebih pelan. “Maaf, saya hanya ingin bertanya—”
Tak ada balasan.
Ia melangkah ke rumah sebelahnya, mencoba lagi. Kali ini seorang pria tua membukakan pintu, mengenakan topi rajut dan menatapnya dengan tajam.
“Rumah itu tidak baik,” katanya tiba-tiba, bahkan sebelum Alena sempat memperkenalkan diri.
“Apa maksud Bapak?” tanya Alena, merasa perutnya mulai tak enak.
“Ada yang tinggal di sana bahkan sebelum nenekmu. Sesuatu yang tak pernah pergi.”
Alena menelan ludah. “Apa Bapak pernah melihat… sesuatu? Mendengar suara-suara?”
Pria tua itu menatapnya dalam diam selama beberapa detik, lalu menggeleng.
“Bukan urusanku. Sudah cukup aku kehilangan istri karena rumah itu.”
Ia menutup pintu.
Kata-katanya tertinggal di udara seperti embun beku: kehilangan istri karena rumah itu.
Alena mulai berjalan kembali ke rumah, pikirannya penuh dengan potongan-potongan yang tak tersambung. Buku harian neneknya. Bayangan. Ketukan. Lemari yang mengetuk dari dalam. Dan sekarang—tetangga-tetangga yang lebih memilih bungkam.
Namun saat ia melewati gang kecil di samping rumah, seseorang memanggilnya.
“Hai!”
Suara itu lembut, muda.
Ia menoleh dan melihat seorang anak perempuan berdiri di belakang pagar. Rambutnya dikepang dua, dan ia mengenakan gaun kuning yang tampak terlalu tipis untuk cuaca sejuk seperti ini.
“Namaku Lana,” katanya sambil tersenyum. “Kakak yang tinggal di rumah seram itu, ya?”
Alena tersenyum tipis. “Iya. Rumah warisan dari nenekku.”
Anak itu mencondongkan tubuh, suaranya berbisik. “Mereka nggak akan bilang apa-apa ke Kakak. Mereka takut.”
“Takut sama apa?”
Lana menoleh ke kanan dan kiri, lalu mendekatkan bibirnya ke celah pagar. “Takut sama dia yang tinggal di jendela.”
Jantung Alena mencelos.
“Kamu pernah lihat sesuatu juga?” tanyanya pelan.
Lana mengangguk mantap. “Dia perempuan. Tapi mukanya… kayak bukan muka manusia. Kadang dia berdiri di jendela kamar atas. Kadang di dapur. Tapi paling sering, dia berdiri di belakang orang-orang waktu mereka nggak sadar.”
Alena menelan ludah. “Kenapa kamu nggak takut?”
Lana mengangkat bahu kecilnya. “Karena aku tahu dia nggak bisa pegang aku. Tapi dia bisa pegang Kakak.”
Sebelum Alena bisa bertanya lebih jauh, suara seorang wanita memanggil Lana dari dalam rumah. “Lana! Masuk sekarang!”
“Jangan cerita ke mereka,” bisik Lana sebelum berlari masuk. “Mereka nggak suka kalau ada yang tahu.”
Alena berdiri terpaku selama beberapa saat. Lalu perlahan, ia melanjutkan langkah pulang.
Di dalam rumah, suasananya lebih sunyi dari biasanya. Sunyi yang seperti menggema. Ia duduk di ruang tamu, membuka buku harian neneknya kembali, berharap menemukan sesuatu yang menjelaskan sosok yang disebut Lana.
Di halaman yang sudah sobek sebagian, Alena menemukan tulisan yang mencurigakan:
“Anak kecil itu benar. Mereka bilang aku gila karena aku melihatnya setiap malam. Tapi aku tahu bayangan itu bukan bayanganku. Ia datang dari masa lalu. Ia haus. Ia hanya bisa menyentuh mereka yang punya darah keluarga ini.”
Tangannya bergetar. “Darah keluarga ini.” Alena.
Bersamaan dengan itu, terdengar suara dari atas. Suara lemari itu lagi. Tapi kali ini bukan ketukan. Kali ini suara tangisan. Seperti suara anak kecil.
Alena berdiri, membawa senter dan buku harian, dan menapaki tangga perlahan. Setiap anak tangga mengerang. Tangisan itu masih terdengar, pelan, menyayat.
Ia tiba di kamar kosong, ragu membuka pintunya. Tapi suara itu jelas berasal dari dalam.
Ketika ia mendorong daun pintu, kamar itu tampak lebih gelap dari biasanya. Udara di dalamnya berat. Lemari tua itu berdiri di tempatnya, pintunya tertutup rapat. Tangisan berhenti seketika.
Alena mendekat.
Senter menyorot ke arah lemari.
Ia meletakkan tangan di gagang pintunya.
Dan saat itu pula, suara bisikan terdengar dari belakangnya.
“Jangan buka.”
Ia berbalik cepat. Tak ada siapa-siapa.
Tapi di cermin kecil di meja kamar, ia melihat pantulan seorang wanita berdiri di belakangnya.
Namun saat ia menoleh lagi—kamar kosong.
Bab 4: Cermin Retak di Loteng
Malam itu, Alena tidak bisa tidur. Setiap bayangan, setiap suara samar di lorong membuat tubuhnya menegang. Tangisan dari lemari, bisikan di kamar kosong, dan pantulan sosok wanita di cermin—semuanya berputar seperti rekaman rusak di benaknya.
Sekitar pukul dua pagi, ia memutuskan untuk naik ke loteng. Selama ini ia menghindarinya. Tangga kayu menuju ke atas selalu tersembunyi di balik panel kecil di langit-langit lorong atas. Ia menemukannya saat bersih-bersih beberapa hari lalu, tapi tak pernah terpikir untuk membukanya.
Namun malam ini berbeda. Ada dorongan aneh, rasa tak nyaman yang terus menuntunnya ke atas.
Dengan senter di tangan, ia menarik tangga lipat dari langit-langit. Tangga tua itu berderit keras, menembus keheningan rumah. Udara dingin menyergap begitu ia menaiki anak tangga satu per satu.
Lotengnya kecil, sempit, dan gelap. Bau kapur barus bercampur debu menyengat hidung. Di sekeliling, tampak barang-barang tua berserakan—kotak-kotak kayu, koper berjamur, dan sebuah lemari kecil yang nyaris ambruk.
Namun yang paling mencolok… adalah cermin besar di ujung ruangan.
Cermin berdiri itu tertutup kain putih yang kekuningan. Ukurannya hampir setinggi manusia dewasa, dan bingkainya diukir dengan pola-pola rumit. Alena mendekat, napasnya tertahan.
Dengan satu tarikan pelan, ia membuka kain penutupnya.
Cermin itu retak.
Retaknya bukan seperti cermin biasa pecah karena jatuh atau benturan. Retakannya membentuk pola… lingkaran, di tengahnya seperti ada titik tumpu. Dari titik itu, retakan menjalar ke seluruh permukaan, seperti jaring laba-laba yang bersinar samar di bawah sorot senter.
Tapi yang paling membuat Alena menggigil adalah pantulan cermin itu sendiri.
Ia berdiri tepat di depannya, tapi pantulannya… tidak melakukan hal yang sama. Sosok dalam cermin berdiri terlalu tegak, matanya menatap lurus ke mata Alena, seolah tak terpengaruh gerakannya.
Alena mengangkat tangan kanannya. Pantulan di cermin mengangkat tangan kirinya.
Ia menoleh ke kanan. Sosok di cermin tetap menatap lurus ke depan.
Alena mundur perlahan, senter mulai bergoyang. Dan saat itu, sosok dalam cermin tersenyum.
Senyuman yang bukan miliknya. Senyuman yang dingin, penuh kepuasan.
Dalam sekejap, lampu senternya padam. Loteng tenggelam dalam kegelapan total.
Alena menarik napas panjang, mencoba tidak panik. Tangannya meraba-raba, mencari tangga, tapi ruangan itu terasa lebih luas dari sebelumnya. Seolah-olah loteng kecil itu telah berubah menjadi lorong panjang tanpa ujung.
Lalu… suara itu datang.
“Alena…”
Suara perempuan, lembut, seperti bisikan langsung ke telinga. Ia menoleh ke segala arah, tapi tidak melihat siapa pun.
“Kamu datang juga akhirnya.”
Ia memaksa diri berjalan ke arah tangga. Tapi kakinya menendang sesuatu—kardus tua. Saat membungkuk dan menyentuh isinya, ia menemukan kumpulan foto-foto lama. Foto keluarga. Termasuk satu foto besar bergaya hitam putih yang memperlihatkan seorang wanita muda berdiri di depan rumah—wanita yang sama dalam foto jendela semalam.
Wajahnya tampak jauh lebih muda, tapi sorot matanya tetap sama: tajam, seperti mengetahui terlalu banyak rahasia.
Terdapat tulisan di belakang foto itu, goresan pena yang kasar:
“Aku menolaknya. Dia tidak suka ditolak.”
Tiba-tiba, lampu senter menyala kembali sendiri.
Dan dalam pantulan cermin—ada dua sosok.
Alena dan wanita itu. Berdiri di belakangnya.
Alena berbalik cepat. Kosong. Tapi ketika menatap cermin lagi, wanita itu masih ada. Lebih dekat. Matanya sekarang hitam sepenuhnya. Senyumnya menganga, memperlihatkan deretan gigi yang terlalu banyak untuk manusia.
Cermin bergetar.
Retakan mulai menjalar lebih cepat, seolah cermin itu bernapas.
Dengan gemetar, Alena mengambil batu kecil dari dekat kaki lemari, dan tanpa berpikir dua kali, melemparnya ke cermin.
CRAAASSHHH!
Cermin pecah berhamburan, pecahannya memantul ke segala arah.
Pantulan wanita itu menghilang. Loteng kembali gelap. Sunyi.
Alena berdiri di antara pecahan kaca, napasnya tercekat. Tapi sebelum ia sempat turun, ia melihat sesuatu yang tertinggal di balik cermin—lubang kecil di dinding. Ia mendekat dan menemukan sebuah kotak kayu mungil, terkunci dengan gembok kecil berkarat.
Ia membawanya turun.
Di kamar, setelah memastikan pintu terkunci rapat, Alena mencoba membuka kotak itu dengan obeng kecil. Dengan sedikit paksa, gembok itu lepas. Di dalamnya hanya ada beberapa benda: sebuah pita rekaman kaset, surat yang sudah menguning, dan liontin perak berbentuk bulan sabit.
Ia membuka surat itu.
Tulisan tangan neneknya.
“Jika kamu menemukan ini, berarti dia sudah bangun. Jangan percaya pantulan. Dia bukan kamu. Dan dia ingin jadi kamu.”
Alena menatap liontin itu, lalu menggenggamnya erat. Ada sesuatu yang berat di dalamnya, seperti bubuk halus.
Di sisi lain surat, ada satu kalimat terakhir, tulisannya seperti tergesa-gesa:
“Loteng adalah gerbang. Jangan kembali ke sana saat bulan mati.”
Alena merasakan gelombang dingin menyapu tengkuknya.
Di luar, kabut mulai menghilang.
Tapi malam belum selesai.
Bab 5: Hari Tanpa Bayangan
Pagi itu, Alena terbangun dengan keringat dingin membasahi leher dan punggungnya. Mimpi buruk semalam masih tertinggal jelas di kepalanya—ia melihat dirinya sendiri di balik cermin, tertawa, sementara tubuhnya yang asli membatu tak mampu bergerak. Mata itu… senyum itu… bukan miliknya, tapi mengenakan wajahnya.
Ia bangkit dengan napas memburu dan berjalan menuju jendela. Matahari bersinar terang di luar. Langit bersih, nyaris tak ada awan. Tapi saat ia menoleh ke lantai, tidak ada bayangan tubuhnya.
Ia melangkah ke tengah ruangan, mendekati dinding, memastikan. Tetap tak ada bayangan. Padahal cahaya pagi menyorot langsung dari jendela besar.
Ia buru-buru turun ke lantai bawah, berdiri di depan cermin ruang tamu.
Refleksinya masih ada—tapi terlambat. Gerakannya tidak seiring. Saat ia mengangkat tangan kanan, bayangan dalam cermin baru menyusul satu detik kemudian. Ketika ia berbicara, mulut pantulannya bergerak setelahnya.
Alena mundur ketakutan.
“Apa yang sedang terjadi…?”
Ia menyentuh wajahnya. Dingin.
Bayangannya menyentuh wajah juga, tapi dengan tangan kiri. Seolah yang di dalam cermin bukan dirinya, melainkan seseorang yang hanya meniru gerakannya, dan kini sedang kehilangan sinkronisasi.
Hari itu berlalu dengan kegelisahan. Setiap benda yang memantulkan citra—kaca jendela, sendok, bahkan air dalam gelas—semuanya menunjukkan sesuatu yang sedikit… melenceng. Kadang ekspresi yang berbeda. Kadang pandangan mata dari pantulan itu menatap lurus pada Alena, seakan tahu lebih banyak dari yang seharusnya.
Dan tetap saja, tak ada bayangan. Di bawah sinar matahari siang sekalipun.
Sambil duduk di ruang kerja, ia membuka buku harian neneknya lagi. Di antara halaman yang sudah sobek dan menguning, ia menemukan satu entri yang baru ia baca sekarang:
“Tanggal 14. Hari ini aku tak melihat bayanganku. Mereka bilang itu pertanda. Dia akan keluar dari cermin. Bila itu terjadi, aku harus memilih: menjadi dia, atau dikurung selamanya.”
Alena membaca kalimat itu berulang-ulang. Lalu menatap ke arah liontin perak yang semalam ia temukan. Ia belum membuka liontin itu. Bentuknya seperti bulan sabit, dan terasa berat seolah menyimpan sesuatu.
Dengan hati-hati, ia membuka engsel kecil di sisi liontin.
Serbuk hitam pekat tumpah ke telapak tangannya. Aromanya tajam dan asing. Di balik serbuk itu, ada secarik kertas kecil tergulung.
Ia buka.
Tulisan tangan yang sama:
“Taburkan di depan cermin saat malam tiba. Dia akan menunjukkan wajah aslinya.”
Alena tak tahu harus mempercayai siapa. Tapi satu hal yang pasti—apa pun yang menghantui rumah ini, ia kini tidak hanya menyusup dari luar, tapi mulai tumbuh dari dalam dirinya sendiri.
Menjelang malam, Alena menutup semua tirai. Ia menghindari cermin, kaca, bahkan bayangan dirinya sendiri yang sekarang telah benar-benar lenyap. Ia merasa seperti bukan manusia. Bayangan adalah bukti keberadaan—dan ia kehilangannya.
Pukul sembilan malam, rumah menjadi sunyi seperti kuburan.
Dengan tangan gemetar, Alena membawa serbuk hitam dan berdiri di depan cermin besar di ruang tamu. Ia membuka botol kecil berisi serbuk dan perlahan menaburkannya di bawah cermin.
Awalnya, tak terjadi apa-apa.
Namun setelah beberapa detik, kaca cermin berembun dari dalam. Seolah ada sesuatu yang bernafas dari baliknya.
Dan dari dalam embun itu, muncul wajah yang bukan milik Alena.
Sama… tapi berbeda. Kulitnya lebih pucat. Mata lebih besar, seluruhnya hitam. Bibirnya tersenyum tanpa empati, memperlihatkan gigi putih yang terlalu banyak dan terlalu rapi. Ia mengenakan pakaian yang sama seperti Alena, tapi tidak berkeringat. Tidak tampak lelah. Seolah baru saja bangkit dari tidur panjang.
Sosok itu mengangkat tangan, dan menempelkan telapaknya ke permukaan kaca.
Alena terpaku.
Lalu, kata-kata muncul di cermin, seperti digores dari dalam:
“Kau kosong sekarang.”
Tiba-tiba, suara teriakan terdengar dari luar rumah.
Alena melompat. Ia membuka tirai—dan melihat Lana, gadis kecil tetangga, berdiri di tengah jalan. Ia berteriak sambil menunjuk ke arah jendela atas rumah Alena.
“Ada dia! Di belakangmu!”
Alena menoleh.
Dan dalam pantulan kaca jendela, sosok “dirinya” yang lain sedang berdiri tepat di belakangnya.
Alena berbalik cepat—tak ada siapa-siapa.
Tapi saat ia menatap ke arah cermin lagi, sosok itu tidak ada.
Dia telah keluar dari cermin.
Napas Alena memburu. Tangannya mencari-cari liontin itu, tapi ia terjatuh dan serbuk hitam berhamburan ke lantai.
Dari atas rumah, terdengar langkah kaki… pelan… satu per satu. Menuruni tangga.
Bukan langkah Alena.
Ia tahu itu.
Ia tahu sesuatu yang lain kini berjalan di dalam rumahnya.
Dan ia mulai menyadari… bukan rumah ini yang berhantu.
Dirinya sendiri kini menjadi hantu yang perlahan-lahan tergeser. diwariskan padanya.
Bab 6: Rahasia Ayah
Pagi itu, rumah terasa lebih kosong dari sebelumnya. Meski cahaya matahari mulai masuk lewat jendela, Alena tak merasakan hangat sedikit pun. Hawa dingin menempel di dinding, di lantai, dan yang paling menakutkan—di pikirannya sendiri.
Sosok dari cermin telah keluar. Ia tahu itu. Ia mendengar langkah-langkahnya semalam, merasakannya berdiri di dekat tempat tidur, dan melihat bayangannya… mulai kembali. Tapi bukan bayangannya yang dulu.
Bayangan itu kini bergerak sendiri.
Saat Alena berdiri di dapur, bayangannya di lantai tampak bergeser sedikit lebih cepat dari tubuhnya. Kadang bergerak meski ia diam. Kadang berhenti, meski ia melangkah.
Ia menyadari satu hal: yang dalam bahaya bukan hanya tubuhnya. Tapi kesadarannya. Jiwanya perlahan digeser keluar.
Dalam keputusasaan, ia mengambil buku harian neneknya lagi, membuka halaman yang belum ia perhatikan sebelumnya. Dan di sana, tertulis dengan tinta merah samar:
“Dia datang pertama kali pada suamiku. Tapi dia terlalu kuat. Terlalu keras kepala untuk menyerah. Jadi dia memilih pergi, meninggalkan kami, tanpa pernah kembali. Tapi aku tahu, dia masih mengawasi. Mencari cara membunuh bayangan itu sebelum waktunya habis. Sebelum dia mengambil anakku.”
Alena menutup buku itu perlahan. Ayahnya…
Ayahnya yang menghilang saat ia masih berumur empat tahun. Ibunya hanya bilang, “Dia pergi dan tidak kembali.” Tidak ada surat. Tidak ada petunjuk. Tidak pernah ada makam. Alena bahkan pernah mengira ia dibohongi—bahwa ayahnya meninggal tapi disembunyikan.
Tapi ini…
Ayahnya tahu tentang “dia”. Tentang makhluk dalam cermin. Tentang warisan kegelapan keluarga ini.
Dengan napas tertahan, Alena membuka kotak kayu tempat ia menyimpan barang-barang dari loteng semalam. Ia mengambil pita kaset lama yang ia temukan dan memasukkannya ke tape recorder tua yang masih bisa menyala di ruang kerja.
Klik.
Suara kasar dan noise memenuhi ruangan.
Lalu—suara pria. Berat. Tegas. Suara ayahnya.
“Jika kamu menemukan ini, berarti aku gagal.”
Alena membeku. Air matanya langsung jatuh.
“Rumah itu… bukan hanya rumah. Ia adalah pintu. Dan keluarga kita—keluarga Widjanarko—adalah kuncinya. Setiap generasi dipilih satu, untuk membuka… atau menutupnya. Aku mencoba menutupnya. Tapi dia tidak mengizinkan. Aku harus memilih antara menjaga diriku atau melindungi kalian. Jadi aku pergi. Tapi sekarang, kurasa waktunya sudah habis. Dia akan datang lagi—bukan untukku. Tapi untukmu, Alena.”
Suara itu berhenti sejenak. Alena bisa mendengar ayahnya menarik napas berat.
“Kamu akan mulai kehilangan bayangan. Kau akan merasa asing dalam tubuh sendiri. Tapi selama cerminnya belum utuh, dia belum bisa sepenuhnya menjadi kamu. Hancurkan cermin. Bakar rumah kalau perlu. Tapi jangan biarkan dia memakai wajahmu. Karena setelah itu… kamu hanya akan jadi pantulan. Bukan nyata lagi.”
Klik.
Kaset berhenti.
Alena tak bisa bergerak. Dadanya sesak. Ayahnya tahu semua ini—dan ia memilih pergi, bukan karena takut, tapi karena berkorban. Meninggalkan ibu dan dirinya, untuk mencegah sesuatu yang lebih buruk.
Tapi kini, semua kembali pada Alena. Dialah “yang dipilih” berikutnya.
Ia melihat ke arah cermin ruang tamu. Retakan yang semalam ia buat sudah… pulih. Permukaannya kembali utuh, meski samar terlihat goresan seperti saraf yang merambat dari dalam.
Malam ini, ia tahu, akan jadi penentuan. Ia harus menghancurkan cermin itu. Tapi bagaimana caranya?
Saat ia membuka lemari tua di kamar kerja, ia menemukan petunjuk lain—sebuah botol kaca berisi minyak hitam pekat dan kertas kecil yang menempel:
“Minyak pemisah. Gunakan saat bayangan dan tubuh mulai menyatu. Tiga tetes di cermin. Tiga di tubuhmu.”
Alena menggenggam botol itu erat. Ia tak tahu dari mana ayahnya mendapatkannya, tapi ia percaya ini cara terakhir.
Menjelang malam, Alena menyiapkan semuanya: minyak, buku harian, liontin, korek api, dan lingkaran garam di sekitar cermin. Ia berdiri di luar lingkaran itu, menunggu hingga jarum jam melewati tengah malam.
Dan tepat saat bulan mati menggantung di langit—bayangannya menghilang lagi.
Dari cermin, sosok itu muncul perlahan. Kini lebih jelas. Lebih padat. Hampir seperti… kembaran.
“Namaku Serana,” ucapnya. Suaranya mirip, tapi lebih dingin.
Alena menggenggam botol itu.
“Aku bukan kamu. Dan kamu bukan aku,” katanya tegas.
Sosok itu tersenyum. “Tapi sebentar lagi, kau akan jadi aku. Dan aku akan bebas.”
Alena meneteskan tiga tetes minyak ke cermin. Cairan hitam itu mendesis, meninggalkan bekas seperti luka bakar.
Sosok Serana menjerit.
Alena meneteskan tiga tetes ke tangannya sendiri, lalu ke dahinya.
Tubuhnya panas. Dunia seperti berguncang. Cermin mulai bergetar keras. Sosok dalamnya menjerit, retak-retak, lalu—
BRAAAKKK!!
Cermin pecah meledak. Kilatan cahaya hitam keluar seketika, menembus seluruh ruangan.
Alena terdorong ke belakang. Tubuhnya panas luar biasa. Lalu gelap.
Ia terbangun keesokan paginya di ruang tamu. Cermin sudah hancur total. Bayangannya—kembali.
Dan di mejanya, tergeletak selembar kertas.
Tulisan ayahnya.
“Kamu menang kali ini. Tapi dia tak pernah benar-benar mati. Dia hanya kembali ke bayangan. Jangan biarkan dia tumbuh lagi dalam dirimu. Aku bangga padamu, Le.”
Air mata Alena jatuh.
Ia menatap bayangannya yang kini bergerak serempak lagi dengannya.
Ia tersenyum.
Bab 7 laki laki di loteng
Sudah tiga hari sejak Alena menghancurkan cermin. Tiga hari sejak bayangannya kembali dan suara-suara menghilang. Rumah itu kini terasa lebih tenang—tapi bukan berarti nyaman. Ia sadar, apa pun yang ia lawan selama ini… masih ada. Hanya saja, sedang diam. Menunggu.
Alena menghabiskan waktu membersihkan loteng. Debu tebal masih menutupi setiap sudut, dan potongan kaca dari cermin lama berserakan di mana-mana. Tapi ada sesuatu yang membuatnya kembali ke sana hari itu—perasaan… tidak sendiri.
Ia menyadari, di balik semua teror, semua pesan dan simbol, masih ada satu rahasia yang belum terbongkar.
Ayahnya.
Meski kaset dan surat-surat memberi petunjuk tentang pengorbanan sang ayah, masih belum jelas ke mana dia pergi. Apakah benar ia menghilang? Atau… masih ada di sini?
Saat membersihkan bagian belakang loteng, Alena menemukan sesuatu: papan lantai yang sedikit terangkat. Ia congkel perlahan dengan linggis kecil. Di bawahnya, ada lubang kecil seperti lorong rahasia. Bau lembap menyambutnya.
Ia menyorot ke dalam dengan senter. Ruang sempit itu tidak lebih tinggi dari satu meter, tapi cukup panjang untuk merangkak masuk. Dan yang paling mengejutkan—ada cahaya redup dari dalam.
Alena mengambil napas dalam, lalu merangkak masuk.
Lorong itu membawanya ke ruangan kecil tersembunyi di antara atap dan dinding belakang rumah. Di sana, ia melihat sebuah tempat tidur usang, tumpukan buku catatan, dan… lukisan dirinya. Lebih tepatnya, potret wajahnya, digambar dengan arang. Di dinding ada puluhan, semuanya dengan ekspresi yang berbeda—sedih, takut, tertawa… marah.
Dan di pojok ruangan—seorang lelaki tua duduk membelakangi.
Rambutnya panjang, tubuhnya kurus, jaket wol yang dikenakannya tampak sangat dikenali…
Jaket milik ayahnya.
“Pak…” suara Alena tercekat, “Pak… Ayah?”
Lelaki itu perlahan menoleh.
Wajahnya dipenuhi kerutan, matanya merah karena lelah bertahun-tahun tanpa tidur. Tapi saat ia menatap Alena, seulas senyum tipis muncul. Bukan senyum menyeramkan seperti Serana. Tapi senyum manusia—lemah, tapi tulus.
“Alena…” bisiknya. “Kamu berhasil.”
Alena bergetar. Ia melangkah pelan, lalu berlutut di depannya. “Ayah… selama ini… Ayah di sini?”
Lelaki itu mengangguk lemah. “Aku tak pernah benar-benar pergi. Rumah ini… mengurungku. Waktu itu, saat aku mencoba mengurung Serana, aku berhasil—tapi dengan harga mahal. Jiwaku… terikat di rumah ini. Tak bisa keluar. Tubuhku masih hidup, tapi aku bukan sepenuhnya manusia lagi. Itulah kenapa aku sembunyi di sini.”
“Kenapa tidak keluar?” Alena bertanya pelan.
“Aku tidak bisa. Kalau aku keluar, dia akan ikut. Serana akan menemukan jalan. Tapi kamu, Le… kamu lebih kuat dari yang kupikir. Kamu mengalahkannya… setidaknya untuk sementara. Sekarang, pintu itu tertutup lagi. Tapi tidak untuk selamanya.”
Alena menatap ayahnya, air mata tak tertahan lagi.
“Aku butuh kamu, Ayah. Aku sendirian.”
Lelaki itu meraih tangannya. Hangat.
“Tidak, kamu tidak sendirian. Aku masih di sini. Tapi waktuku sudah tidak lama. Tanpa Serana, tubuh ini mulai melemah. Aku harus pergi. Tapi sebelum itu, aku ingin kau tahu…”
Ia membuka sebuah buku lusuh di samping tempat tidur. Isinya adalah catatan silsilah keluarga. Garis keturunan dari generasi ke generasi. Dan di sana, Alena menemukan sesuatu yang mengejutkan.
Neneknya, Kirana, bukan anak pertama.
Ada satu nama yang dicoret: Saraswati. Dan di sampingnya—tertulis “hilang”.
“Dia… adik Kirana,” jelas ayahnya. “Tapi dia menghilang di usia 16 tahun, setelah mencoba membuka cermin. Konon katanya, dia yang pertama kali membuat perjanjian dengan Serana. Jadi kutukan ini… dimulai dari dia.”
Alena menelan ludah. “Jadi… Serana adalah—?”
Ayahnya mengangguk pelan. “Bayangan dari Saraswati yang tak pernah mati. Ia tumbuh dari kegelapan, mengambil bentuk siapapun yang lemah jiwanya.”
Alena menatap dinding penuh gambar.
“Ayah menggambar aku?”
“Sebenarnya… aku menggambar dia. Saat dia menyamar jadi kamu. Aku harus tahu kapan yang kulihat adalah kamu… atau dia.”
Tangisan pecah dalam dada Alena. Perlahan ia memeluk ayahnya, meski tubuh itu lemah, dingin seperti akan menghilang kapan saja.
“Aku ingin ayah pulang bersamaku…”
“Aku sudah pulang sejak lama, Le. Tapi tubuh ini hanya cangkang. Hatiku… ada di sini, menjagamu.”
Tiba-tiba, suara retakan kecil terdengar dari belakang.
Ayahnya menatap tajam.
“Itu dia… dia belum selesai.”
Alena berdiri, menggenggam buku harian dan botol minyak hitam yang masih tersisa. Tapi saat ia menoleh ke ayahnya, lelaki itu sudah berdiri… dan tersenyum.
“Tugasmu belum selesai, Le. Masih ada satu pintu terakhir. Di bawah rumah. Di ruang bawah tanah.”
“Lalu Ayah?”
“Ayah akan menunggu… di sisi lain. Jika kamu berhasil menutup semuanya… kita akan bertemu lagi. Sebagai ayah dan anak. Bukan bayangan dan cermin.”
Dan perlahan… ayahnya menghilang. Tubuhnya larut dalam cahaya samar yang menyerupai abu beterbangan.
Hening.
Hanya suara napas Alena dan bisikan rumah yang tetap hidup.
Ia berdiri.
Menggenggam buku itu erat.
Dan menatap ke bawah.
Ruang bawah tanah.
PBersambung ke Bab 8: Pintu di Bawah Tanah]
Gimana? Emosinya mulai dapet banget ya di bab ini—hubungan ayah-anak, tapi tetap dibalut atmosfer mistis dan menegangkan. Kalau kamu siap, aku bisa langsung terusin ke Bab 8. Mau lanjut sekarang?
Sudah tiga hari sejak Alena menghancurkan cermin. Tiga hari sejak bayangannya kembali dan suara-suara menghilang. Rumah itu kini terasa lebih tenang—tapi bukan berarti nyaman. Ia sadar, apa pun yang ia lawan selama ini… masih ada. Hanya saja, sedang diam. Menunggu.
Alena menghabiskan waktu membersihkan loteng. Debu tebal masih menutupi setiap sudut, dan potongan kaca dari cermin lama berserakan di mana-mana. Tapi ada sesuatu yang membuatnya kembali ke sana hari itu—perasaan… tidak sendiri.
Ia menyadari, di balik semua teror, semua pesan dan simbol, masih ada satu rahasia yang belum terbongkar.
Ayahnya.
Meski kaset dan surat-surat memberi petunjuk tentang pengorbanan sang ayah, masih belum jelas ke mana dia pergi. Apakah benar ia menghilang? Atau… masih ada di sini?
Saat membersihkan bagian belakang loteng, Alena menemukan sesuatu: papan lantai yang sedikit terangkat. Ia congkel perlahan dengan linggis kecil. Di bawahnya, ada lubang kecil seperti lorong rahasia. Bau lembap menyambutnya.
Ia menyorot ke dalam dengan senter. Ruang sempit itu tidak lebih tinggi dari satu meter, tapi cukup panjang untuk merangkak masuk. Dan yang paling mengejutkan—ada cahaya redup dari dalam.
Alena mengambil napas dalam, lalu merangkak masuk.
Lorong itu membawanya ke ruangan kecil tersembunyi di antara atap dan dinding belakang rumah. Di sana, ia melihat sebuah tempat tidur usang, tumpukan buku catatan, dan… lukisan dirinya. Lebih tepatnya, potret wajahnya, digambar dengan arang. Di dinding ada puluhan, semuanya dengan ekspresi yang berbeda—sedih, takut, tertawa… marah.
Dan di pojok ruangan—seorang lelaki tua duduk membelakangi.
Rambutnya panjang, tubuhnya kurus, jaket wol yang dikenakannya tampak sangat dikenali…
Jaket milik ayahnya.
“Pak…” suara Alena tercekat, “Pak… Ayah?”
Lelaki itu perlahan menoleh.
Wajahnya dipenuhi kerutan, matanya merah karena lelah bertahun-tahun tanpa tidur. Tapi saat ia menatap Alena, seulas senyum tipis muncul. Bukan senyum menyeramkan seperti Serana. Tapi senyum manusia—lemah, tapi tulus.
“Alena…” bisiknya. “Kamu berhasil.”
Alena bergetar. Ia melangkah pelan, lalu berlutut di depannya. “Ayah… selama ini… Ayah di sini?”
Lelaki itu mengangguk lemah. “Aku tak pernah benar-benar pergi. Rumah ini… mengurungku. Waktu itu, saat aku mencoba mengurung Serana, aku berhasil—tapi dengan harga mahal. Jiwaku… terikat di rumah ini. Tak bisa keluar. Tubuhku masih hidup, tapi aku bukan sepenuhnya manusia lagi. Itulah kenapa aku sembunyi di sini.”
“Kenapa tidak keluar?” Alena bertanya pelan.
“Aku tidak bisa. Kalau aku keluar, dia akan ikut. Serana akan menemukan jalan. Tapi kamu, Le… kamu lebih kuat dari yang kupikir. Kamu mengalahkannya… setidaknya untuk sementara. Sekarang, pintu itu tertutup lagi. Tapi tidak untuk selamanya.”
Alena menatap ayahnya, air mata tak tertahan lagi.
“Aku butuh kamu, Ayah. Aku sendirian.”
Lelaki itu meraih tangannya. Hangat.
“Tidak, kamu tidak sendirian. Aku masih di sini. Tapi waktuku sudah tidak lama. Tanpa Serana, tubuh ini mulai melemah. Aku harus pergi. Tapi sebelum itu, aku ingin kau tahu…”
Ia membuka sebuah buku lusuh di samping tempat tidur. Isinya adalah catatan silsilah keluarga. Garis keturunan dari generasi ke generasi. Dan di sana, Alena menemukan sesuatu yang mengejutkan.
Neneknya, Kirana, bukan anak pertama.
Ada satu nama yang dicoret: Saraswati. Dan di sampingnya—tertulis “hilang”.
“Dia… adik Kirana,” jelas ayahnya. “Tapi dia menghilang di usia 16 tahun, setelah mencoba membuka cermin. Konon katanya, dia yang pertama kali membuat perjanjian dengan Serana. Jadi kutukan ini… dimulai dari dia.”
Alena menelan ludah. “Jadi… Serana adalah—?”
Ayahnya mengangguk pelan. “Bayangan dari Saraswati yang tak pernah mati. Ia tumbuh dari kegelapan, mengambil bentuk siapapun yang lemah jiwanya.”
Alena menatap dinding penuh gambar.
“Ayah menggambar aku?”
“Sebenarnya… aku menggambar dia. Saat dia menyamar jadi kamu. Aku harus tahu kapan yang kulihat adalah kamu… atau dia.”
Tangisan pecah dalam dada Alena. Perlahan ia memeluk ayahnya, meski tubuh itu lemah, dingin seperti akan menghilang kapan saja.
“Aku ingin ayah pulang bersamaku…”
“Aku sudah pulang sejak lama, Le. Tapi tubuh ini hanya cangkang. Hatiku… ada di sini, menjagamu.”
Tiba-tiba, suara retakan kecil terdengar dari belakang.
Ayahnya menatap tajam.
“Itu dia… dia belum selesai.”
Alena berdiri, menggenggam buku harian dan botol minyak hitam yang masih tersisa. Tapi saat ia menoleh ke ayahnya, lelaki itu sudah berdiri… dan tersenyum.
“Tugasmu belum selesai, Le. Masih ada satu pintu terakhir. Di bawah rumah. Di ruang bawah tanah.”
“Lalu Ayah?”
“Ayah akan menunggu… di sisi lain. Jika kamu berhasil menutup semuanya… kita akan bertemu lagi. Sebagai ayah dan anak. Bukan bayangan dan cermin.”
Dan perlahan… ayahnya menghilang. Tubuhnya larut dalam cahaya samar yang menyerupai abu beterbangan.
Hening.
Hanya suara napas Alena dan bisikan rumah yang tetap hidup.
Ia berdiri.
Menggenggam buku itu erat.
Dan menatap ke bawah.
Ruang bawah tanah
Tamat.. . . . . . .