Bab 1: Cermin yang Tidak Pernah Mati
Rania berdiri di depan pintu apartemen barunya. Dingin yang menyusup melalui jaket tipisnya semakin menambah kesan suram pada hari itu. Hari pertama di tempat baru, di kota baru, dengan hidup baru yang tampaknya akan membawa lebih banyak kebingungan daripada ketenangan. Dia menghela napas panjang sebelum memutar kunci yang ada di tangannya dan membuka pintu.
Apartemen ini terletak di sebuah gedung tua yang tak terawat di tengah kota, yang memiliki sejarah panjang sebagai tempat tinggal orang-orang yang tak diketahui. Rania tidak peduli dengan sejarah itu. Bagi dia, ini adalah kesempatan untuk memulai lagi setelah berbulan-bulan mencoba melupakan kejadian-kejadian mengerikan yang menimpanya di tempat tinggal sebelumnya. Tapi, begitu dia memasuki ruang apartemen itu, perasaan tidak nyaman langsung menyelimutinya. Ada sesuatu yang ganjil.
Ruangan itu sempit, dengan dinding yang sudah mulai mengelupas dan lantai kayu yang berderit saat dia melangkah. Meskipun matahari terbenam di luar, apartemen itu tetap terasa suram. Lampu yang menyala hanya menambah kesan angker di ruangan tersebut. Ketika matanya berkeliling, ia melihat berbagai perabotan lama yang dibiarkan oleh penyewa sebelumnya—sebuah sofa lusuh, meja kayu usang, dan sebuah lemari yang penuh debu. Tetapi, ada satu benda yang menarik perhatian Rania lebih dari yang lain: sebuah cermin besar di dinding utama ruangan, dekat dengan jendela. Cermin itu tampak tua dan sedikit tergores di bagian tepinya. Meskipun begitu, permukaannya masih sangat jernih, seolah-olah menantang waktu.
Tanpa berpikir panjang, Rania mendekat dan menatap cermin itu. Wajahnya tercermin di sana, tetapi ada yang aneh. Pencahayaan dari lampu temaram menciptakan bayangannya yang panjang di lantai, namun ada semacam keanehan pada pantulan dirinya. Untuk sesaat, dia merasa seperti ada sesuatu yang mengamati dirinya dari balik cermin. Seakan-akan ada sosok yang menatapnya dengan intens, meskipun dia tahu tak ada siapapun di belakangnya. Rania menatap lebih dekat, mencoba mencari tahu apakah hanya perasaan paranoid yang menguasainya. Tidak ada yang aneh. Hanya dirinya, sendirian, di depan cermin yang besar itu.
Namun, rasa tidak nyaman itu terus bertahan. Dia merasa ada sesuatu yang tak beres, sesuatu yang menghubungkan dirinya dengan cermin itu. Perasaan ini semakin kuat saat dia bergerak mundur, hendak menjauh. Bayangannya di cermin tetap diam, sementara Rania mulai melangkah pergi, seolah-olah bayangannya masih terjebak di tempat yang sama.
Ketika dia kembali untuk menaruh barang-barang di sekitar ruang tamu, perasaan itu semakin mengganggu. Meskipun cermin itu seharusnya hanya benda mati, ia merasa seolah-olah cermin itu memiliki kehidupan sendiri. Tidak ada yang aneh di luar itu, tetapi entah mengapa Rania merasa cermin itu lebih dari sekadar benda. Ada sesuatu yang tersembunyi di dalamnya, menunggu untuk muncul.
Malam pun tiba, dan Rania memutuskan untuk tidur lebih awal. Kelelahan setelah perjalanan panjang menuju kota itu membuatnya hampir tak sadar saat dia menguncupkan tubuhnya di tempat tidur. Namun, saat matanya mulai terpejam, suara berderit pelan di luar kamar membuatnya terbangun. Dia memicingkan mata, berusaha mendengar lebih jelas.
Tidak ada suara lain yang datang, hanya kesunyian yang menambah kegelisahannya. Namun, ketika pandangannya secara tidak sengaja jatuh pada cermin di ruang tamu, sesuatu terasa berbeda. Cermin itu kini tampak lebih besar, lebih gelap, dan bahkan tampak seolah menelan bayangannya sendiri. Rania terpejam sebentar, berharap bahwa yang dia lihat hanya permainan cahaya atau bayangan dari sudut mata. Tetapi ketika dia membuka matanya lagi, cermin itu tetap terlihat sama.
Lama kelamaan, rasa tidak nyaman yang dirasakannya semakin menjadi-jadi. Seperti ada sesuatu yang menjalar melalui udara, mengalir ke dalam dirinya, menarik perhatian dari dalam dirinya, dari bayangannya di cermin. Semakin lama, semakin jelas bahwa ada sesuatu yang ingin ia ketahui tentang benda itu. Sesuatu yang berbahaya, yang telah lama terkubur dan menunggu untuk dibangkitkan.
Rania berusaha tidur, tetapi mimpi-mimpi aneh mulai mengganggunya. Dalam tidurnya, dia menemukan dirinya berdiri di depan cermin itu lagi. Namun kali ini, bayangannya tidak sama. Wajahnya yang reflektif tampak lebih tua, lebih rusak, dengan mata yang kosong dan bibir yang melengkung dalam senyum yang menakutkan. Cermin itu memantulkan gambaran yang tak pernah dilihatnya sebelumnya. Wajahnya yang tampak mengerikan, tak hidup, seolah-olah cermin itu telah menghisap seluruh jiwanya.
Rania terbangun dengan terengah-engah. Hatinya berdetak kencang. Keringat dingin membasahi pelipisnya, dan dia menatap ruangan gelap yang sepi. Cermin itu masih ada di sana, seperti tak pernah berubah. Tetapi kini, ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang menghubungkan dirinya dengan cermin itu, seolah-olah bayangannya menginginkannya kembali.
Dia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apakah cermin itu benar-benar memiliki kekuatan jahat? Ataukah hanya perasaannya yang dipengaruhi oleh ketegangan setelah hari yang panjang? Tetapi satu hal yang pasti—Rania merasa terperangkap, terikat pada benda itu dengan cara yang tak bisa dia jelaskan.
Malam itu, dia memutuskan untuk tidur dengan lampu menyala, tetapi rasa takut itu terus mengganggunya. Begitu matanya terpejam, dia mendengar suara halus, seakan-akan cermin itu berbicara kepadanya, berbisik di telinganya, menantang untuk lebih dekat.
Bab 2: Keanehan di Malam Hari
Rania tidak bisa memejamkan mata malam itu. Suara gemerisik yang datang dari luar jendela mengganggu ketenangannya. Tidak ada angin yang berhembus, tidak ada hujan yang turun, namun suara itu tetap terdengar, pelan tapi terus-menerus. Ia berbaring di ranjangnya, tubuhnya tertutup selimut, namun perasaan dingin yang menyelusup ke dalam dirinya tidak kunjung hilang. Cermin itu. Cermin besar di ruang tamu, yang begitu mengusik pikirannya sejak pertama kali dilihat, seolah-olah hidup, menantang untuk dilihat lebih dekat.
Setiap kali ia berusaha mengalihkan perhatiannya, bayangannya di cermin terus menghantuinya. Rania tahu itu hanya refleksinya, namun ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Bayangannya seakan-akan bergerak dengan sendirinya. Semakin dia mencoba untuk menjauh, semakin terasa ada yang menariknya kembali, seolah-olah ia tidak bisa lepas dari pengaruh benda itu.
Pukul dua dini hari, Rania bangkit dari tempat tidurnya dengan perasaan gelisah. Ia memutuskan untuk mengambil segelas air di dapur untuk menenangkan diri. Ketika melewati ruang tamu, ia tanpa sengaja menatap cermin besar itu. Untuk beberapa detik, matanya terfokus pada permukaan cermin yang mengkilap. Kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Cermin itu tampak lebih gelap daripada sebelumnya, dan bayangannya, meskipun masih ada, terlihat lebih kabur, seakan ingin mencapainya.
Tiba-tiba, tanpa diduga, bayangannya bergerak lebih cepat daripada tubuhnya. Kejadian itu hanya berlangsung sekejap, tetapi cukup untuk membuat Rania terkejut. Di dalam cermin, dia melihat dirinya tersenyum, meskipun dia sendiri tidak merasa tersenyum. Senyuman itu menyeramkan, seperti ada sesuatu yang salah, yang tidak seharusnya ada di sana.
Rania mundur beberapa langkah, terengah-engah. Pikirannya menjadi kacau. Apa yang sedang terjadi? Tangan yang memegang gelas air terasa gemetar. Hati Rania berdetak kencang, seolah-olah ada sesuatu yang mencoba untuk menghubungkannya dengan dunia lain, dunia yang tak terlihat oleh mata manusia.
Dengan napas yang masih tersengal, Rania berbalik dan kembali menuju kamar tidur, berusaha untuk mengabaikan perasaan aneh itu. Tapi, saat dia berbalik dan melangkah pergi, dia mendengar suara yang samar-samar, seperti bisikan yang datang dari dalam cermin.
“Rania…”
Suara itu begitu pelan, namun jelas. Suara itu memanggil namanya, dan seketika itu juga, Rania merasa tubuhnya kaku, seolah-olah ada tangan yang tidak tampak menariknya kembali ke arah cermin. Namun, dia menahan diri dan tidak menoleh. Dengan langkah yang berat, ia menutup pintu kamar tidurnya, merasakan ketegangan yang melingkupi seluruh tubuhnya. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa itu hanyalah khayalan, bahwa rasa takutnya hanya akibat dari rasa lelah yang mendera.
Namun, malam itu, tiduran Rania benar-benar tidak tenang. Setiap kali matanya terpejam, gambar cermin itu muncul dalam mimpi-mimpinya. Dia berdiri di hadapan cermin, kali ini dengan bayangan yang tampak lebih hidup, bahkan lebih nyata. Wajah di cermin itu terlihat terdistorsi, tidak seperti dirinya. Matanya besar dan kosong, mulutnya menyeringai lebar, seakan menunggu untuk menyapa. Rania mencoba untuk berbalik, mencoba untuk lari, namun langkahnya terasa terhenti. Cermin itu menahan kakinya, membuatnya terjebak dalam bayangannya sendiri. Dalam mimpi itu, dia merasakan tangan dingin yang merayap di punggungnya, mencengkram dengan kuat, menariknya lebih dekat ke dalam dunia yang tidak dikenalnya.
Ketika akhirnya Rania terbangun, keringat dingin membasahi tubuhnya. Jam menunjukkan pukul lima pagi. Ia mengusap wajahnya, mencoba mengusir bayangan-bayangan yang masih menempel di pikirannya. Namun, saat dia memandang ke jendela, dia menyadari sesuatu yang mengerikan. Dari jendela kamar tidur yang terbuka sedikit, ia melihat bayangan gelap melintas di luar, tepat di samping gedung. Bayangan itu cepat dan samar, seperti sosok yang bergerak dengan cepat. Rania merasa nadi di lehernya berdegup kencang, dan dia langsung berdiri, ingin melihat lebih jelas.
Namun, ketika dia membuka tirai jendela dan menatap keluar, tak ada apa-apa. Gelap dan sepi. Hanya ada jalanan kosong dan gedung-gedung tinggi yang terhampar di sekitarnya. Tidak ada bayangan, tidak ada sosok yang bergerak. Itu hanya ilusi, pikirnya.
Tapi, saat menutup kembali tirai, Rania merasakan sesuatu yang tak biasa. Cermin itu. Sekali lagi, bayangannya terasa lebih nyata. Kali ini, bayangannya di cermin tidak bergerak bersamanya. Bayangan itu berdiri tegak, hanya menatapnya, tanpa bergerak sedikitpun. Itu seperti… seperti cermin itu tidak hanya memantulkan bayangan, tapi juga mengendalikan dirinya.
Dengan tubuh yang masih gemetar, Rania memutuskan untuk menyelidiki lebih lanjut. Pagi itu, dia keluar untuk membeli beberapa kebutuhan, berusaha menenangkan pikiran yang terus dilanda kecemasan. Namun saat kembali ke apartemen, ada sesuatu yang aneh. Dia merasa bahwa sesuatu di dalam apartemen telah berubah. Udara terasa lebih berat, lebih menekan. Semua benda tampak seperti tak sengaja diposisikan ulang, seperti ada tangan yang tak tampak yang bergerak di dalam ruangannya.
Dan yang paling mencurigakan adalah cermin itu. Ketika Rania melihat bayangannya, dia menyadari bahwa tidak ada perbedaan. Cermin itu tidak memantulkan dia seperti biasa. Bayangannya kini tampak lebih gelap, dan senyuman itu kembali muncul di wajahnya—bukan senyum yang dia buat, melainkan senyum yang dibuat oleh cermin itu, seolah-olah ada yang sedang menertawakan ketakutannya.
Rania merasa tubuhnya menggigil. Cermin itu seakan-akan tahu segalanya, tahu setiap ketakutan yang ada dalam dirinya. Dan ia merasa bahwa, untuk pertama kalinya, cermin itu bukan sekadar benda mati. Ada sesuatu di baliknya, sesuatu yang menunggu untuk keluar, menanti untuk mengambil alih.
Bab 3: Jejak Masa Lalu
Rania duduk di meja makan dengan secangkir kopi yang sudah dingin. Sudah tiga hari sejak perasaan aneh di apartemen itu dimulai, dan meskipun dia berusaha untuk tetap rasional, ada sesuatu yang terus mengganggunya. Cermin besar yang ada di ruang tamu semakin terasa seperti benda hidup yang terus mengamatinya, seperti ada entitas yang terperangkap di dalamnya, menunggu untuk keluar. Mimpi buruk yang ia alami semakin nyata, dan meskipun ia mencoba mengalihkan perhatian, perasaan cemas itu semakin mendalam.
Di tengah kebingungannya, Rania memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang apartemen ini. Ia mulai mencari informasi di internet, berharap menemukan penjelasan yang masuk akal tentang fenomena yang sedang dialaminya. Setelah beberapa jam menyusuri situs web dan forum-forum lokal, Rania menemukan artikel yang cukup menarik perhatian.
Artikel itu menceritakan tentang sejarah gedung tempat tinggalnya. Gedung itu, yang terletak di kawasan tua kota, dibangun pada tahun 1920-an dan pernah menjadi rumah bagi banyak penghuni yang, sayangnya, tidak memiliki banyak catatan sejarah yang jelas. Beberapa penghuni terdahulu diketahui menghilang dalam waktu yang singkat, tanpa jejak. Namun, ada satu nama yang menonjol dalam catatan tersebut: Clara Novia. Clara adalah salah satu penghuni lama yang sempat tinggal di apartemen yang sekarang dihuni oleh Rania. Artikel itu menyebutkan bahwa Clara adalah seorang wanita muda yang tinggal di lantai yang sama dengan apartemen Rania sekitar sepuluh tahun yang lalu.
Penasaran, Rania memutuskan untuk mencari informasi lebih lanjut tentang Clara. Ia pergi ke perpustakaan kota, berharap menemukan arsip atau surat kabar lama yang mungkin bisa memberikan penjelasan lebih banyak tentang kehidupan Clara dan apa yang terjadi padanya. Setelah mencari beberapa lama, Rania akhirnya menemukan artikel surat kabar lama yang mengisahkan kisah Clara.
Artikel itu memuat cerita tentang kematian Clara yang misterius. Clara ditemukan tewas di apartemen tempat tinggalnya, dan penyelidikan awal menyatakan bahwa ia meninggal karena alasan yang tidak wajar—sebuah kecelakaan, mungkin. Namun, yang paling mengejutkan adalah bahwa tubuh Clara ditemukan dalam keadaan yang sangat aneh. Wajahnya tampak sangat terdistorsi, seolah-olah ia sedang terperangkap dalam ketakutan yang luar biasa. Dan lebih mengejutkan lagi, di dekat jasadnya terdapat sebuah cermin besar, yang diduga menjadi alasan kematiannya. Tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang apa yang sebenarnya terjadi, tetapi banyak orang yang percaya bahwa Clara mungkin telah menjadi korban kekuatan jahat yang bersembunyi di dalam cermin tersebut.
Rania menelan ludahnya dengan susah payah. Sebuah perasaan takut mulai merayap ke dalam dirinya. Apakah ini ada kaitannya dengan cermin yang ada di apartemennya? Mungkinkah ada hubungan antara kematian Clara dan apa yang ia alami sekarang?
Pada hari berikutnya, Rania memutuskan untuk menyelidiki apartemen lebih jauh. Ia kembali ke ruang tamu dan berdiri di depan cermin yang telah mengusik pikirannya. Cermin itu masih sama, tampak utuh dan tak berubah. Tapi, kali ini Rania merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengintip di balik permukaan kaca yang jernih itu. Ia menatap lebih lama, mencari petunjuk yang mungkin tersembunyi.
Tiba-tiba, Rania merasa seperti ada sesuatu yang bergerak di belakangnya. Ia menoleh cepat, namun tidak ada apa-apa. Hanya ruang tamu yang gelap, dengan lampu temaram yang nyaris padam. Tapi ketika dia kembali menatap cermin, sesuatu yang mengejutkan terjadi.
Di dalam cermin, bayangannya tidak bergerak. Wajahnya tetap ada, tetapi ada sosok lain yang muncul di belakangnya. Rania terkejut. Sosok itu tampak samar, seperti seorang wanita dengan rambut panjang yang tergerai, wajah yang pucat, dan mata yang kosong. Sosok itu tampak begitu nyata, namun juga tak terlihat sepenuhnya, seperti sesuatu yang belum sepenuhnya muncul ke permukaan. Wajahnya, meskipun kabur, tampak seperti Clara.
Jantung Rania berdebar kencang. Clara. Nama itu berulang-ulang terngiang di benaknya. Apa yang terjadi padanya? Apakah dia masih terjebak di dalam cermin?
Perasaan takut itu semakin menguasai dirinya. Rania merasa seperti ada sebuah kekuatan yang menariknya untuk lebih dekat dengan cermin, seolah-olah sosok Clara itu memanggilnya. Dengan gemetar, Rania melangkah mundur, menjauh dari cermin, namun bayangan Clara tetap ada, menatapnya dengan mata yang kosong dan penuh rasa sakit.
Malamnya, Rania kembali diteror oleh mimpi buruk yang semakin sering datang. Dalam mimpinya, dia menemukan dirinya berada di sebuah ruangan gelap, dengan dinding yang dipenuhi dengan cermin-cermin besar. Setiap cermin memantulkan bayangannya, tetapi bayangannya berbeda, terdistorsi, seperti ada yang salah. Di setiap cermin, sosok Clara muncul, semakin mendekat, semakin nyata. Dan setiap kali Rania mencoba untuk melarikan diri, dia selalu terhenti di depan sebuah cermin besar, yang memantulkan bayangannya yang terperangkap, terjerat dalam sebuah dunia yang tidak bisa dia pahami.
Rania terbangun dengan tubuh yang berkeringat dan napas yang terengah-engah. Ia duduk di ranjang, berusaha menenangkan dirinya. Apa yang sebenarnya terjadi? pikirnya. Mungkinkah Clara masih ada di dalam cermin itu, terjebak, menunggu seseorang untuk membebaskannya, atau justru untuk menjeratnya? Mungkinkah cermin itu bukan sekadar benda mati, tetapi gerbang ke suatu dunia lain, tempat dimana sesuatu yang gelap dan jahat mengintai?
Rania tahu satu hal—dia tidak bisa lagi mengabaikan perasaan ini. Cermin itu, dan Clara, telah mengubah segalanya. Kini, ia harus mencari jawaban tentang masa lalu apartemen ini dan tentang apa yang sebenarnya ada di balik cermin itu sebelum semuanya terlambat.
Bab 4: Cermin yang Hidup
Rania tidak bisa lagi mengabaikan perasaan yang menggelayuti dirinya. Setiap malam, cermin itu semakin menguasai pikirannya. Di siang hari, meskipun ia mencoba untuk sibuk dengan pekerjaan atau aktivitas biasa, bayangan sosok Clara selalu ada, mengintip di balik pikiran-pikirannya. Setiap kali ia melangkah melewati ruang tamu, matanya secara otomatis akan tertuju pada cermin besar yang menggantung di dinding. Dan setiap kali itu terjadi, rasa takut yang begitu dalam kembali menyelimutinya.
Malam itu, rasa penasaran yang semakin mendera akhirnya mendorong Rania untuk melakukan sesuatu yang berani, atau mungkin lebih tepatnya, sesuatu yang nekat. Ia tahu bahwa selama ini ia hanya berusaha menghindari kenyataan, tapi sekarang ia merasa seperti terjebak dalam lingkaran yang tak bisa diputuskan. Ia harus mencari tahu lebih banyak, harus mengungkap kebenaran tentang cermin itu, tentang Clara, dan tentang apa yang benar-benar terjadi di apartemen ini.
Setelah makan malam yang cepat, Rania memutuskan untuk kembali ke ruang tamu. Cermin itu masih berada di sana, seperti biasa, merenung dalam diam. Kali ini, ia tidak hanya berdiri di hadapannya. Dengan perasaan yang campur aduk antara ketakutan dan keberanian, Rania mendekat lebih dekat, berusaha untuk memeriksa cermin itu dengan lebih seksama.
Pada awalnya, hanya ada bayangan dirinya yang tercermin dengan sempurna. Wajahnya yang terpantul di kaca terlihat letih, dengan lingkaran hitam di bawah mata. Namun, setelah beberapa detik, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Bayangannya mulai bergerak sedikit lebih lambat dari gerakannya yang sesungguhnya. Rania menahan napas, merasa tubuhnya kaku, tetapi ia tidak bisa mengalihkan pandangan.
Lalu, seakan cermin itu merespons kehadirannya, bayangannya berubah. Wajahnya dalam cermin tampak mengerut, tersenyum dengan cara yang tidak wajar, senyuman yang terlalu lebar, seolah-olah ada sesuatu yang memaksa wajahnya untuk tersenyum. Matanya—tidak, mata di dalam cermin itu—berkilat tajam, berwarna hitam pekat, kosong seperti lubang yang menelan semuanya. Bayangannya tampak bergerak lebih cepat, bergerak lebih bebas, seolah berusaha keluar dari cermin.
Rania mundur beberapa langkah, jantungnya berdegup kencang. Apa yang sedang terjadi? pikirnya. Ia berusaha mengalihkan pandangannya, tetapi tak ada yang bisa mengalihkan perhatiannya dari cermin yang sekarang tampak seperti hidup. Setiap detik, semakin jelas bahwa bayangannya di dalam cermin bukan hanya refleksi. Sesuatu yang lebih dalam, yang lebih jahat, mulai terungkap.
Tiba-tiba, di dalam cermin, Rania melihat sesuatu yang lebih mengejutkan lagi. Ada tangan yang muncul dari dalam kaca, perlahan-lahan meraih sisi cermin. Rania terbelalak, tidak bisa percaya dengan apa yang ia lihat. Tangan itu terlihat begitu nyata, dengan jari-jari yang terulur keluar dari permukaan cermin, seolah mencoba untuk meraih dunia luar. Semakin lama, tangan itu semakin jelas—dan ia bisa melihat wajah sosok yang mengerikan, dengan kulit yang memutih, matanya kosong, dan mulutnya yang menganga, tertawa dengan cara yang mengerikan.
Panik melanda tubuh Rania. Ia berbalik dan berlari ke pintu, mencoba membuka pintu kamar tidurnya, tetapi seolah ada sesuatu yang menghalangi jalannya. Ketika ia berbalik lagi untuk melihat cermin, sosok itu sudah hampir keluar sepenuhnya. Rania menjerit, berusaha melangkah mundur, tetapi matanya tidak bisa lepas dari bayangan yang terus bergerak.
Suara tawa yang pelan dan menyeramkan terdengar dari dalam cermin, seperti sesuatu yang menunggu, siap untuk menelan dirinya. Cermin itu tidak hanya sekadar benda mati—ia adalah sesuatu yang lebih jahat, lebih hidup, lebih berbahaya dari yang ia bayangkan. Sesuatu yang terperangkap di dalamnya, menunggu untuk dibebaskan.
Tiba-tiba, bayangan itu berbicara, suaranya datang dari dalam cermin dengan nada rendah dan menggema.
“Rania… kamu tidak bisa melarikan diri dariku.”
Suara itu begitu dekat, seolah-olah berasal dari belakangnya. Rania menoleh, tetapi tidak ada siapa pun. Cermin itu, bagaimanapun, berbicara kepadanya, mengancam dengan kata-kata yang penuh kebencian. Rania merasa seolah-olah cermin itu menyadari ketakutannya, dan kini, itu semakin menggerakkan dirinya untuk menguasai pikirannya.
“Kamu tidak akan pernah bebas, Rania. Aku akan selalu ada di sini.”
Rania gemetar, keringat dingin mengalir di dahinya. Clara, pikirnya. Mungkin Clara pernah merasakan hal yang sama. Mungkin Clara, dalam keputusasaannya, mencoba mencari cara untuk melepaskan diri dari cermin itu, tetapi malah terperangkap lebih dalam. Mungkin, Clara sekarang hanya tinggal sebagai bayangan yang hilang dalam dunia cermin yang kelam.
Dengan napas yang terengah-engah, Rania mundur ke belakang, mencoba melarikan diri dari ruangan itu. Namun, sebelum ia bisa mencapai pintu, sebuah suara aneh terdengar, seperti derit logam. Pintu kamar tidur yang tadinya terkunci, kini terbuka dengan sendirinya, seolah dipaksa oleh kekuatan tak tampak.
“Tolong…!” teriak Rania, tetapi suaranya teredam oleh suara-suara aneh yang datang dari dalam cermin. Tangannya gemetar saat ia mencoba menutup pintu kembali, tetapi tiba-tiba, cermin itu memantulkan bayangan yang lebih besar, lebih menakutkan, seakan-akan cermin itu bukan hanya sebuah refleksi, melainkan gerbang menuju dunia yang jauh lebih kelam dan penuh kebohongan.
Sekuat tenaga, Rania menarik pintu dan berlari keluar dari ruang tamu. Tanpa sadar, ia berlari menuruni tangga gedung yang sepi. Sesampainya di bawah, napasnya masih terengah-engah, dan tubuhnya gemetar. Tidak peduli ke mana ia harus pergi, Rania merasa hanya ada satu tempat yang bisa menyelamatkannya—menjauh dari cermin itu, dari apartemen ini, dan dari masa lalu yang kelam.
Tetapi saat Rania menoleh ke belakang, dari kejauhan, ia melihat bayangan di jendela ruang tamu—sebuah bayangan yang mengenalinya. Senyuman di wajah bayangannya tampak lebih nyata dari sebelumnya. Rania tahu bahwa kali ini, ia tidak akan bisa lari lagi.
Cermin itu akan mengejarnya ke mana pun ia pergi.
Bab 5: Keterikatan
Rania merasa seolah-olah dirinya terjebak dalam sebuah mimpi buruk yang tak pernah berakhir. Sudah beberapa malam sejak peristiwa mengerikan di ruang tamu, namun rasa takut dan cemas itu tak juga hilang. Bahkan setelah berusaha meninggalkan apartemen itu, tubuh dan pikirannya seolah dipaksa untuk kembali ke sana, kembali ke cermin yang tampaknya memiliki kekuatan yang jauh lebih besar daripada yang bisa ia pahami.
Hari itu, Rania duduk di sebuah kafe kecil, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, ketenangannya terusik oleh perasaan gelisah yang tak bisa ia jernihkan. Pikirannya melayang, kembali ke cermin itu, kembali ke bayangan yang semakin mengerikan. Sosok yang tampaknya semakin nyata, semakin hidup. Bayangannya, wajahnya, dan senyuman yang selalu muncul setiap kali ia mencoba menghindarinya.
“Rania?” suara itu menyentaknya kembali ke dunia nyata. Ia menoleh dan melihat Fira, teman lamanya, yang kini duduk di hadapannya dengan senyuman hangat. Fira adalah satu-satunya teman yang masih ia miliki, yang tidak terlalu terpengaruh oleh keanehan yang terjadi di apartemen Rania. Mereka berdua saling tersenyum, meskipun Rania bisa merasakan perbedaan dalam dirinya—sebuah perasaan terasingkan, seperti ada sesuatu yang menghalangi dirinya untuk terhubung dengan dunia luar.
“Kenapa wajahmu begitu pucat? Apa kamu kurang tidur?” tanya Fira cemas.
Rania menghela napas, berusaha menyembunyikan kecemasannya. “Aku baik-baik saja, Fir. Hanya sedikit banyak yang harus dipikirkan.”
Namun, Fira menatapnya dengan tatapan penuh perhatian, seolah bisa melihat sesuatu yang tersembunyi. “Kamu terlihat tertekan, Rania. Sesuatu yang mengganggumu, ya? Ceritakan padaku.”
Rania ragu. Ia ingin bercerita, ingin menceritakan semuanya kepada Fira, tetapi ada bagian dari dirinya yang merasa takut. Takut jika Fira tidak akan mempercayainya, atau lebih buruk lagi, jika cerita itu akan membuat Fira terlibat dalam masalah yang jauh lebih besar. Cermin itu, atau apapun itu yang menguasai apartemen, terasa seperti sebuah beban yang harus ditanggung sendirian.
Namun, saat matanya bertemu dengan tatapan Fira yang penuh perhatian, Rania merasa bahwa ini adalah saat yang tepat. Mungkin ini satu-satunya kesempatan untuk membuka diri.
“Ada sesuatu yang terjadi di apartemenku, Fir,” akhirnya Rania berkata pelan, suaranya hampir tak terdengar.
Fira mengerutkan kening, tampaknya semakin penasaran. “Apa yang terjadi?”
Rania menarik napas dalam-dalam dan menceritakan segalanya. Ia bercerita tentang cermin besar yang ada di ruang tamunya, tentang sosok Clara yang ditemukan dalam keadaan mengerikan di apartemen yang sama bertahun-tahun lalu, tentang bayangan yang bergerak dan suara yang datang dari dalam cermin, dan tentang perasaan keterikatan yang semakin kuat, seolah cermin itu menuntutnya untuk terhubung lebih dalam.
Fira mendengarkan dengan seksama, matanya tidak lepas dari wajah Rania, meskipun ia terlihat bingung dan khawatir. Setelah Rania selesai bercerita, Fira duduk diam sejenak, seolah mencerna semua informasi itu.
“Rania, aku tahu ini terdengar gila, tapi kamu mungkin harus mencari tahu lebih banyak tentang cermin itu. Mungkin ada penjelasan yang lebih logis tentang apa yang terjadi, atau… mungkin ada sesuatu yang lebih tua yang terperangkap di dalam sana,” kata Fira akhirnya.
Rania hanya mengangguk, tetapi hatinya terasa semakin berat. Ia tahu bahwa Fira hanya ingin membantunya, tetapi semakin lama ia memikirkan masalah ini, semakin jelas bahwa cermin itu bukan hanya benda biasa. Ada kekuatan yang tidak bisa ia jelaskan, dan kekuatan itu sepertinya semakin mengikat dirinya ke dalam dunia lain.
Setelah percakapan itu, Rania kembali ke apartemen dengan perasaan kacau. Fira memberi beberapa saran, termasuk mencari buku-buku tua tentang sejarah gedung tersebut atau berbicara dengan orang-orang yang mungkin tahu lebih banyak tentang masa lalu apartemen itu. Tetapi Rania merasa semakin terasing, semakin dipisahkan dari dunia luar. Ia sudah mencoba lari, tetapi cermin itu selalu ada, menariknya kembali.
Malam itu, setelah mencoba tidur beberapa saat, Rania terbangun di tengah malam. Seperti biasa, matanya tertuju pada cermin besar di ruang tamu. Ia merasa ada sesuatu yang memanggilnya, seolah cermin itu tahu bahwa ia tidak bisa mengabaikannya. Tanpa bisa mengendalikan dirinya, ia melangkah perlahan ke arah cermin, tubuhnya terasa lelah dan kosong. Setiap langkah terasa berat, tetapi ada dorongan yang lebih kuat yang membuatnya terus maju.
Ketika ia berdiri tepat di depan cermin, ia merasa perasaan yang familiar. Seperti ada sesuatu yang menariknya, sesuatu yang sepertinya mengenalnya lebih baik dari dirinya sendiri. Bayangannya, yang selalu tampak terdistorsi, mulai bergerak dengan cara yang semakin aneh. Wajahnya dalam cermin tampak berkerut, seperti ada kekuatan yang menarik wajahnya untuk tersenyum lebar, lebih lebar dari biasanya.
Tiba-tiba, suara itu kembali—suara yang dalam dan gelap, seperti datang dari tempat yang jauh, sangat jauh. “Kamu tidak bisa lari, Rania. Kamu adalah milikku. Kamu terikat padaku.”
Suara itu menggetarkan tubuh Rania, tetapi kali ini, ia tidak mundur. Sebaliknya, ia merasakan keterikatan yang semakin kuat. Apa yang dimaksud dengan terikat? pikirnya. Apakah cermin ini benar-benar memiliki kekuatan untuk mengikatnya? Apakah ada cara untuk membebaskan dirinya dari cengkraman itu?
Ketika ia menatap lebih dalam ke dalam cermin, ia melihat sosok yang tidak lagi asing—Clara. Wajah Clara muncul dengan jelas di dalam kaca, matanya kosong, tetapi ada sesuatu yang membuat Rania merasa bahwa Clara sedang berbicara kepadanya, meminta sesuatu yang lebih besar daripada sekadar kebebasan. Clara bukan hanya sekadar sosok yang terjebak. Clara mungkin adalah bagian dari cermin itu, bagian dari dunia lain yang sepertinya saling terkait dengan dirinya.
Rania ingin melarikan diri, tetapi kakinya terasa berat. Cermin itu, atau apapun itu yang ada di dalamnya, menguasainya. Ia merasa semakin dekat dengan apa yang tidak bisa dijelaskan, semakin dekat dengan sesuatu yang lebih besar daripada dirinya.
Perasaan keterikatan itu semakin kuat, semakin dalam, seperti akar yang tumbuh menembus ke dalam jiwanya. Ada bagian dari dirinya yang merasa bahwa ia tidak bisa lagi keluar. Bahwa cermin itu adalah tempatnya yang sebenarnya, dan dunia luar hanyalah ilusi yang tak bisa ia raih.
“Aku sudah menjadi bagian darimu, Rania,” suara itu bergema lagi, kali ini lebih jelas, lebih mendalam.
Rania merasa terperangkap, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan bahwa mungkin, hanya mungkin, ia telah menjadi bagian dari cermin itu selamanya.
Bab 6: Clara Kembali
Rania terbangun dengan dada yang sesak, seolah ada beban berat yang menindih dirinya. Matanya terbuka, tetapi tubuhnya terasa seperti tidak bisa bergerak. Dalam kebingungannya, ia mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam, dan segala yang telah mengganggunya beberapa minggu terakhir. Namun, pikirannya terhenti pada satu hal: Clara. Sosok yang muncul dalam cermin itu, sosok yang kini semakin mengikat dirinya ke dalam dunia yang tak bisa ia jelaskan.
Ketika matahari mulai terbit, sinar lembutnya menyelinap melalui jendela apartemen, tetapi Rania merasa tak ada yang benar-benar menyinari hatinya. Meski ia telah memutuskan untuk mencoba mengabaikan kecemasan itu, rasa takutnya semakin menguasai dirinya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Clara? Apa yang diinginkan sosok itu darinya? Pikiran-pikiran itu terus berputar, semakin membuatnya terperangkap dalam ketakutan yang mendalam.
Pada pagi itu, setelah berjam-jam merenung, Rania akhirnya memutuskan untuk kembali mencari tahu lebih banyak tentang Clara. Ia tahu bahwa hanya dengan menggali masa lalu, ia bisa menemukan cara untuk mengakhiri semua ini—atau setidaknya, memahami apa yang sedang terjadi padanya. Mungkin ada kunci untuk melepaskan diri dari cermin itu.
Setelah mencari melalui arsip-arsip lama di internet, Rania menemukan sesuatu yang lebih gelap tentang Clara Novia. Clara, ternyata, bukan hanya seorang wanita muda yang hidup di apartemen itu sepuluh tahun yang lalu. Di balik kecantikannya, Clara memiliki sebuah kisah yang kelam—sebuah hubungan yang penuh dengan kekerasan, sebuah kematian yang tidak pernah sepenuhnya terungkap, dan sebuah rahasia yang tersembunyi dalam kegelapan cermin.
Artikel-artikel lama mengungkapkan bahwa Clara pernah terlibat dalam sebuah hubungan yang sangat tidak sehat dengan seorang pria bernama Vincent. Mereka tinggal bersama di apartemen yang sekarang dihuni oleh Rania, dan meskipun awalnya hubungan mereka tampak sempurna, seiring berjalannya waktu, kekerasan mulai menguasai hubungan itu. Vincent, pria itu, diketahui sering mengancam Clara, dan mereka berdua sering terlibat dalam pertengkaran yang sangat keras. Namun, setelah kepergian Vincent yang misterius, Clara tetap tinggal di apartemen itu, meskipun banyak orang mempercayai bahwa ia sudah kehilangan sebagian dirinya.
Rania membaca lebih lanjut, semakin terkejut oleh penemuan demi penemuan. Ternyata, setelah kematian Clara, apartemen itu terabaikan, dan tidak ada yang tinggal lama di sana. Namun, setiap kali seseorang mencoba untuk pindah ke tempat itu, mereka akan merasakan hal-hal aneh, dan mereka akan segera pergi tanpa pernah kembali. Ada desas-desus bahwa Clara masih terperangkap di dalam apartemen itu, atau bahkan dalam cermin yang ada di ruang tamu. Tapi, siapa yang bisa mempercayainya?
Rania merasa matanya mulai berputar. Apakah ini semua benar? Apakah Clara benar-benar terperangkap di dalam cermin? Mungkinkah sosok yang ia lihat di dalam cermin selama ini adalah Clara, terjebak dalam bentuk yang tidak bisa ia jelaskan?
Dengan tekad yang semakin bulat, Rania memutuskan untuk kembali ke apartemen dan mencari tahu lebih dalam. Ia tidak bisa terus hidup dalam ketakutan, dan satu-satunya cara untuk membebaskan dirinya adalah dengan memahami apa yang sebenarnya terjadi di apartemen itu.
Sesampainya di rumah, suasana sepi dan sunyi menyelimuti. Cermin besar itu kembali menarik perhatian Rania. Ia merasa, jika ada satu tempat yang bisa menjawab semua pertanyaan ini, maka tempat itu adalah cermin. Perlahan-lahan, ia mendekat, merasakan sensasi yang semakin tidak nyaman di sekitarnya. Wajahnya dalam cermin tampak memantulkan ekspresi yang berbeda dari biasanya, seolah-olah ada yang tidak beres dengan dirinya.
Tetapi kali ini, Rania tidak mundur. Ia menghadap cermin dengan lebih berani, mencoba untuk mencari tahu lebih dalam, lebih jauh. Tiba-tiba, bayangan Clara muncul lagi. Kali ini, tidak ada tawa atau senyuman yang menyeramkan. Yang ada hanyalah mata Clara yang kosong, penuh dengan penderitaan. Tidak ada kata-kata, hanya tatapan yang penuh dengan kesedihan yang mendalam.
Rania merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Sosok Clara tampak lebih dekat, lebih nyata, dan lebih hidup dari sebelumnya. Apa yang ingin kamu katakan, Clara? pikir Rania, meskipun ia tahu tidak akan ada jawaban yang mudah.
Tiba-tiba, suara itu kembali. Suara yang datang dari dalam cermin, lebih dalam dan lebih kuat, seolah-olah meresap ke dalam jiwanya.
“Kamu tidak bisa melarikan diri, Rania. Kamu sudah menjadi bagian dari dunia ini. Aku kembali untuk membebaskanmu, tetapi kamu harus ikut denganku.”
Kata-kata itu menggema di kepala Rania. Bebaskan aku? Ia hampir tidak bisa mencerna kata-kata itu. Apa maksudnya? Apakah Clara berbicara tentang kebebasan yang sebenarnya, atau justru mengikatnya lebih dalam?
Sekarang, Rania bisa merasakan sesuatu yang lebih nyata, sesuatu yang lebih menakutkan. Cermin itu bukan hanya benda mati. Itu adalah sebuah portal, sebuah gerbang yang menghubungkan dunia mereka berdua—dunia yang penuh dengan penderitaan dan keterikatan yang tidak bisa dilepaskan.
Dalam cermin itu, Rania melihat Clara bergerak, sosoknya semakin mendekat, seperti ingin keluar dari dalam cermin. Rania merasa bahwa cermin itu menginginkan sesuatu darinya—sesuatu yang lebih dari sekadar perhatian atau rasa ingin tahu. Cermin itu ingin menghisapnya ke dalam dunia yang lebih gelap, lebih mengerikan. Ia merasa keterikatan itu semakin kuat, semakin tak terhindarkan.
Tiba-tiba, Clara berbicara lagi, kali ini suaranya sangat lemah, tetapi penuh dengan rasa sakit. “Aku tidak bisa keluar, Rania. Aku terjebak di sini, dan aku membutuhkan bantuanmu. Kamu harus membantu aku keluar, atau kita akan tetap terperangkap di sini selamanya.”
Rania terguncang. Clara tidak hanya terperangkap di dalam cermin, tetapi juga terperangkap dalam penderitaan yang tak terbayangkan. Ia merasakan kedalaman rasa sakit itu, dan seolah ada ikatan yang lebih kuat dari sekadar ketakutan. Mungkin, hanya dengan melepaskan Clara, mereka berdua bisa bebas.
Namun, Rania tahu bahwa untuk melakukannya, ia harus menghadapi kenyataan yang lebih gelap—cermin itu bukan hanya sekadar benda yang bisa diabaikan. Cermin itu adalah penjara, dan Clara bukan hanya terperangkap di dalamnya. Clara adalah bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar, sesuatu yang ingin ia tarik kembali ke dunia nyata.
Dengan perasaan yang semakin terperangkap, Rania mengangkat tangan, mencoba menyentuh cermin itu, berharap bahwa sentuhannya bisa membuka jalan untuk membebaskan Clara. Tetapi saat jarinya hampir menyentuh permukaan kaca, cermin itu mulai bergetar, dan suara Clara yang terperangkap di dalamnya semakin terdengar, semakin keras.
“Rania… Jangan ragu… kamu sudah menjadi bagian dari dunia ini…”
Rania tahu, saat itu, bahwa tidak ada jalan kembali. Ia dan Clara terikat dalam dunia yang sama—dan hanya satu yang bisa bertahan.
Bab 7: Perang Dalam Cermin
Rania merasa jantungnya berdegup keras. Setiap detik berlalu, semakin berat beban yang ia rasakan. Ia berdiri di depan cermin besar itu, tangannya terulur sedikit, seolah-olah siap menyentuh permukaan kaca yang dingin. Namun, saat jarinya hampir menyentuh kaca, cermin itu bergetar hebat, dan suara Clara yang terperangkap semakin keras, seperti menggema dari dalamnya.
“Rania… Jangan sentuh aku!” suara Clara berteriak dengan panik, dan rona kecemasan bisa terdengar jelas dalam setiap kata.
Rania menarik tangannya cepat-cepat, terkejut dengan intensitas suara itu. Dalam sekejap, cermin itu mulai bergetar lebih hebat, seolah ada kekuatan yang lebih besar yang berusaha keluar dari dalam. Bayangan di dalam cermin bergerak dengan cepat, seolah berusaha untuk merobek batas kaca, ingin melarikan diri ke dunia nyata.
Dalam kebingungannya, Rania mundur beberapa langkah, tetapi tak lama kemudian, suara itu datang lagi—kali ini lebih rendah, lebih dalam, penuh dengan kekuatan yang menyeramkan.
“Kamu tidak bisa melarikan diri, Rania. Kamu adalah bagian dariku, bagian dari dunia ini… dan aku akan menarikmu masuk.”
Rania merasa tubuhnya kaku. Ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya, sesuatu yang mengubah setiap sel dalam tubuhnya, membuatnya merasa seolah-olah ia sudah terikat pada dunia yang tak kasat mata itu. Clara bukan lagi sekadar sosok yang terperangkap dalam cermin. Ia adalah bagian dari dunia yang lebih gelap, dunia yang tak terjangkau oleh hukum fisika atau logika manusia. Dunia yang ingin menarik Rania ke dalamnya.
Namun, Rania tahu ia harus bertahan. Ada sesuatu yang harus dilawan. Clara, atau apapun itu yang ada di dalam cermin, tidak bisa dibiarkan menang. Rania mengalihkan pandangannya ke cermin, melihat sosok Clara yang semakin mendekat dengan mata yang penuh dengan penderitaan dan kebencian. Di dalam cermin, Clara tampak lebih mengerikan daripada sebelumnya. Matanya yang kosong kini dipenuhi dengan kilatan hitam yang menakutkan, dan mulutnya yang menganga membentuk senyuman yang penuh dengan amarah.
Rania merasa ketakutan itu mulai berubah menjadi kemarahan. “Apa yang sebenarnya kamu inginkan dariku, Clara?” teriaknya, suara yang hampir serupa dengan teriakan marah yang keluar dari dadanya. “Aku tidak akan membiarkanmu menarikku ke dalam dunia ini!”
Namun, Clara dalam cermin hanya tertawa. Tertawanya terdengar menggema, menembus seluruh tubuh Rania, merasuki pikirannya dengan rasa takut yang semakin dalam. “Kamu sudah terikat padaku sejak lama, Rania. Kamu tidak bisa melawan takdir ini. Semua ini dimulai denganmu. Aku hanya ingin membebaskanmu.”
Tiba-tiba, sebuah suara lain terdengar, suara yang lebih dalam dan lebih gelap, seolah datang dari kedalaman cermin itu sendiri. Rania merasakan keberadaan yang lebih besar, lebih jahat, yang bersembunyi di dalam kaca itu.
“Jangan dengarkan dia, Rania,” suara itu bergema, lebih keras dari sebelumnya. “Clara hanyalah ilusi. Aku yang sebenarnya menguasai dunia ini. Dunia yang ada di balik cermin ini adalah tempatku. Dan aku ingin kamu bergabung denganku.”
Rania terguncang. “Siapa kamu?” tanyanya, bibirnya bergetar.
“Aku adalah apa yang ada di balik dunia ini. Aku adalah bayangan yang melampaui segalanya, kekuatan yang tak terbayangkan. Dan kamu, Rania, adalah bagian dariku.”
Mata Rania membelalak. Apa yang ia dengar, apa yang ia rasakan, mulai merubah segalanya. Clara, sosok yang selama ini ia kenal sebagai sosok yang terperangkap dan menderita, kini tampak seperti bagian dari suatu permainan yang lebih besar. Sesuatu yang lebih jahat, lebih kuat, berusaha menariknya ke dalam dunia yang penuh dengan kegelapan dan penderitaan.
Rania merasa semakin terjebak, semakin tak bisa melawan. Cermin itu bergetar semakin hebat, dan kekuatan itu semakin terasa di sekelilingnya. Tubuhnya terasa semakin lemah, terikat oleh kekuatan yang tidak bisa ia tangkis. Ia merasa cermin itu menariknya, menariknya semakin dalam ke dalam dunia yang asing dan menakutkan.
Namun, dalam ketakutannya, Rania tiba-tiba teringat sesuatu—sesuatu yang telah lama ia lupakan. Kekuatan yang ada di dalam dirinya. Selama ini, ia merasa terperangkap, tetapi dalam dirinya ada kekuatan untuk melawan. Ia harus melawan.
Dengan tekad yang baru, Rania menarik napas dalam-dalam dan mulai berbicara dengan tegas. “Aku tidak akan menjadi bagian dari dunia ini. Aku milik dunia nyata, dan aku akan keluar dari sini!”
Keheningan yang mencekam mengisi ruangan itu sejenak. Semua yang ada di dalam cermin tampak terhenti, seolah dunia di balik kaca itu terhenti untuk mendengarkan kata-kata Rania. Namun, tak lama kemudian, suara yang lebih gelap dan lebih dalam kembali terdengar.
“Kamu tidak bisa melarikan diri, Rania. Kamu sudah terlalu jauh. Cermin ini adalah takdirmu.”
Tetapi Rania tidak menyerah. Ia memejamkan matanya sejenak, merasakan kekuatan yang ada di dalam dirinya. Dalam dirinya, ada kekuatan untuk memilih—untuk tidak terikat pada takdir yang mengerikan ini. “Aku tidak akan terjebak. Aku memilih untuk bebas!” teriaknya.
Saat itu, cermin itu seakan bereaksi. Suara itu menjadi semakin keras, seolah berteriak dalam ketidakberdayaan. “Kamu akan menyesal, Rania! Dunia ini adalah bagian darimu! Kamu tidak bisa kabur!”
Dengan dorongan terakhir dari tekadnya, Rania melangkah maju dan menatap cermin itu dengan penuh keyakinan. “Aku menolak takdir itu!” serunya.
Tiba-tiba, cermin itu meledak dengan suara gemuruh yang keras, dan bayangan dalam cermin seolah terpecah menjadi serpihan-serpihan kaca yang berterbangan ke udara. Rania terjatuh ke belakang, terlindungi oleh sebuah dinding energi yang tiba-tiba muncul. Kekuatan yang mengikat dirinya, yang membuatnya terperangkap, kini seolah runtuh, hancur berkeping-keping.
Cermin itu hancur berkeping-keping, dan sosok Clara, yang sebelumnya tampak terperangkap di dalamnya, kini tampak lebih jelas. Namun, kali ini, tidak ada senyuman penuh kebencian. Wajah Clara tampak penuh dengan ekspresi yang lebih damai—seperti seseorang yang akhirnya bebas dari penderitaan yang lama.
“Terima kasih, Rania,” bisik Clara, suaranya terdengar lebih ringan, seperti sebuah beban yang akhirnya terangkat. “Kamu telah membebaskan kami berdua.”
Rania terdiam, masih terengah-engah, merasa bahwa meskipun cermin itu telah hancur, ada lebih banyak pertarungan yang akan datang. Namun, untuk pertama kalinya, ia merasa ada harapan. Ia merasa bebas—dan untuk pertama kalinya, ia tahu bahwa dunia yang ada di dalam cermin itu tidak bisa menguasainya lagi.
Bab 8: Cermin yang Hancur
Kehancuran cermin itu tidak hanya menandakan akhir dari satu babak dalam hidup Rania, tetapi juga permulaan dari ketidakpastian yang lebih besar. Suara gemuruh yang mengguncang apartemen mereda perlahan, dan serpihan-serpihan kaca yang berserakan di lantai berkilau seperti bintang yang jatuh. Rania duduk di lantai, tubuhnya lemah dan terengah-engah. Ia mencoba menenangkan napasnya yang terputus-putus, namun jantungnya masih berdegup kencang, berdetak seirama dengan ketakutan yang belum sepenuhnya hilang.
Dalam kebingungannya, ia melirik sisa-sisa cermin yang hancur. Serpihan-serpihan kaca itu tergeletak di sekelilingnya, memantulkan cahaya lampu yang redup dengan cara yang aneh, seperti menciptakan bayangan-bayangan yang bergerak tanpa bentuk. Tetapi yang paling mencolok adalah sebuah kekosongan yang sekarang mengisi ruang itu. Tempat yang dulu dihuni oleh sosok Clara, oleh kekuatan gelap yang mengikat mereka, kini kosong. Tidak ada lagi suara cermin yang bergetar, tidak ada lagi bisikan halus dari dunia yang mengerikan itu. Seolah-olah cermin itu, yang telah menjadi pusat segalanya, akhirnya telah benar-benar hancur.
Namun, meski cermin itu hancur, perasaan aneh yang mengikatnya tetap ada. Ada sesuatu yang belum selesai, sesuatu yang belum dapat ia pahami sepenuhnya. Rania merasa dirinya masih terikat pada dunia itu—meskipun ia telah meruntuhkan penghalang yang menghubungkan mereka. Kegelapan itu seolah-olah meresap ke dalam dirinya, dan ia tahu bahwa meskipun cermin itu telah hancur, kehadiran yang lebih besar, lebih gelap, masih menunggunya di luar sana.
Tiba-tiba, sebuah suara terdengar, bukan dari dalam dirinya, tetapi dari luar—dari seberang ruangan. Suara langkah kaki yang perlahan mendekat. Rania menoleh dengan cepat, dan matanya terfokus pada sosok yang muncul dari bayang-bayang. Itu adalah Clara.
Namun, kali ini, Clara tampak berbeda. Wajahnya yang sebelumnya dipenuhi dengan amarah dan penderitaan kini tampak lebih tenang, lebih damai. Wajahnya yang pucat kini terlihat lebih manusiawi, dengan mata yang tampak lelah namun penuh dengan rasa terima kasih. Clara berjalan mendekat dengan langkah yang ringan, tanpa ada rasa terburu-buru, seolah ia tidak lagi terperangkap dalam cermin atau dalam dunia yang gelap itu.
“Clara?” Rania akhirnya bisa mengucapkan nama itu, meskipun suaranya terdengar ragu. “Apa yang terjadi padamu? Apa yang terjadi dengan semuanya?”
Clara tersenyum lembut. “Kamu telah membebaskan kami, Rania. Kamu telah mengakhiri penderitaan ini—bukan hanya untukku, tapi untuk semua yang terperangkap dalam dunia itu.”
Namun, meskipun senyumnya tampak tulus, ada sesuatu yang aneh di mata Clara—sesuatu yang membuat Rania merasa ada yang tak beres. Rania berdiri dengan hati-hati, menatap Clara dengan penuh kewaspadaan. Apa yang sebenarnya terjadi pada Clara? Apakah ia benar-benar bebas?
“Aku masih merasakan sesuatu,” ujar Rania, sedikit cemas. “Aku merasa… ada yang tidak beres. Seperti ada yang tertinggal.”
Clara mengangguk, dan ekspresinya berubah menjadi lebih serius. “Kamu benar. Ada sesuatu yang lebih besar yang masih mengikat kita. Kekuatan yang lebih gelap, lebih kuat. Cermin itu tidak hanya sekadar benda—ia adalah sebuah portal. Dan meskipun kita telah menghancurkannya, itu bukan berarti segalanya selesai. Kita masih belum bebas sepenuhnya.”
Rania terdiam, merasakan ketegangan yang tiba-tiba muncul di udara. Jadi, dunia itu belum benar-benar hilang? Pertanyaan itu berputar di benaknya, dan dia merasa ketakutan kembali merayapi dirinya.
“Clara,” kata Rania dengan suara gemetar. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
Clara melangkah lebih dekat, wajahnya menjadi serius. “Ada sesuatu yang perlu kamu ketahui, Rania. Sesuatu yang jauh lebih gelap dari yang kamu bayangkan. Cermin itu bukan hanya milikku. Itu adalah milik kekuatan yang lebih besar, yang jauh lebih tua. Kekuatan yang terperangkap di dalamnya, yang selama ini mencoba menguasai dunia kita. Dan meskipun cermin itu telah hancur, kekuatan itu belum hilang. Ia mungkin telah terbebas, bahkan lebih berbahaya sekarang.”
Rania terperangah. Kekuatan yang lebih besar? Ia merasa dunia di sekelilingnya tiba-tiba terasa lebih rapuh, lebih rentan terhadap ancaman yang tak terlihat. Cermin yang hancur seharusnya membawa kebebasan, tetapi malah membawa perasaan terperangkap yang lebih dalam.
“Jadi, apa yang harus kita lakukan?” tanya Rania dengan suara yang lebih tegas, berusaha untuk mengatasi rasa takut yang mulai menyelimutinya.
Clara menarik napas panjang. “Kita harus menghentikan hal ini sebelum semuanya terlambat. Kekuatan itu masih mencari cara untuk kembali. Jika kita tidak segera menghancurkannya sepenuhnya, dunia kita akan terperangkap dalam kegelapan abadi.”
Rania menatap Clara dengan kebingungan. “Tapi… bagaimana caranya? Jika cermin itu sudah hancur, apakah kita masih bisa menghentikan kekuatan itu?”
Clara tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke jendela, menatap langit yang mulai gelap, lalu kembali menghadap Rania. “Cermin itu bukan hanya benda fisik. Ia adalah simbol—simbol dari batas antara dunia kita dan dunia yang lain. Meski cermin itu telah hancur, kekuatan itu tidak akan berhenti. Ia akan mencari jalan lain. Ada sesuatu yang lebih dalam yang perlu kita selidiki.”
Rania merasa hatinya semakin berat. Semua yang ia ketahui kini terasa berantakan. Dunia yang ia anggap nyata ternyata jauh lebih rumit dan berbahaya dari yang ia bayangkan. Cermin yang hancur bukanlah akhir, melainkan awal dari pertarungan yang jauh lebih besar.
“Tapi kita tidak bisa membiarkan itu terjadi, Clara,” kata Rania, suaranya penuh dengan tekad. “Kita harus mencari cara untuk menghentikan kekuatan itu, apa pun caranya.”
Clara tersenyum lemah. “Kita akan menemukannya, Rania. Kita akan melakukannya bersama. Hanya dengan cara itu kita bisa benar-benar bebas.”
Malam itu, meskipun cermin telah hancur, ketakutan dan kegelapan masih mengintai. Rania tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai. Mereka harus melawan sesuatu yang lebih besar dari sekadar cermin yang pecah—sesuatu yang telah lama tersembunyi dalam bayang-bayang dunia itu. Dan untuk itu, mereka harus lebih dari sekadar melawan bayangan. Mereka harus siap menghadapi dunia yang hancur dan bangkit lagi.
Bab 9: Refleksi yang Menatap Balik
Rania berdiri di tengah ruangan yang kini terasa semakin sempit, meskipun apartemen itu luas. Di hadapannya, tempat yang dulu dihuni oleh cermin, kini kosong—sebuah kekosongan yang menekan dada. Clara berdiri di sampingnya, dengan wajah yang tetap tenang meski jelas terlihat ada kekhawatiran di matanya. Mereka telah menghadapi banyak hal, tetapi yang mereka hadapi sekarang lebih berbahaya dari yang mereka bayangkan.
“Ini tidak akan mudah,” kata Clara dengan suara pelan. “Kekuatan itu ada di mana-mana, lebih dekat dari yang kita kira.”
Rania memandang ke arah tempat cermin itu dulu berdiri. Di sana hanya ada dinding kosong, tetapi bayangan gelap yang datang dari kedalaman cermin seolah masih menghantui ruangan itu, menempel di udara seperti kabut yang tak bisa dilihat tetapi terasa ada. Dalam keheningan yang menekan itu, Rania tahu bahwa mereka berada di titik yang sangat berbahaya. Mereka harus segera bertindak sebelum kegelapan yang terlepas dari cermin itu menemukan jalan kembali ke dunia nyata.
“Clara,” Rania berkata dengan tegas, “apa yang sebenarnya kita hadapi sekarang? Apa yang akan terjadi jika kita tidak berhasil menghentikannya?”
Clara menundukkan kepalanya, menatap lantai seolah mencari kata-kata yang tepat. “Kekuatan itu lebih dari sekadar entitas jahat. Itu adalah manifestasi dari ketakutan, kesedihan, dan kegelapan manusia yang terpendam selama berabad-abad. Cermin itu hanya menjadi alat, pintu menuju dunia yang penuh dengan bayangan gelap—dunia yang kita ciptakan sendiri. Itu adalah refleksi dari ketakutan kolektif yang ada dalam diri kita semua.”
Rania merasa seolah dunia berputar di sekelilingnya. Semua yang ia pikirkan tentang cermin, tentang Clara, tentang kekuatan yang terperangkap, kini tampak seperti sebuah permainan yang jauh lebih rumit. Ia teringat kembali pada saat pertama kali melihat Clara terperangkap di dalam cermin—seorang gadis yang hanya ingin bebas. Tetapi sekarang, dengan pemahaman yang lebih dalam, Rania tahu bahwa mereka berdua tidak hanya berhadapan dengan sebuah benda fisik, tetapi dengan kegelapan yang jauh lebih besar.
“Jadi, jika itu adalah refleksi dari ketakutan kita, bagaimana kita bisa mengalahkannya?” tanya Rania, suaranya bergetar, tetapi ada tekad yang jelas di dalamnya.
Clara mengangkat kepala, menatap Rania dengan tatapan yang penuh makna. “Kita harus menghadapi bayangan itu—kita harus menghadapinya dalam diri kita sendiri. Itu adalah satu-satunya cara untuk menghentikan kekuatan itu.”
“Bagaimana caranya?” tanya Rania dengan suara yang hampir tidak terdengar.
Clara tersenyum tipis, meski senyuman itu terasa lebih seperti sebuah pelukan bagi hati Rania. “Kita akan kembali ke tempat pertama kali semuanya dimulai. Cermin itu adalah pintu, Rania. Pintu yang menghubungkan dunia ini dengan dunia kegelapan. Dan pintu itu hanya bisa dihancurkan jika kita menghancurkan segala sesuatu yang ada di dalam diri kita yang menyuburkan kegelapan itu.”
Rania merasa dadanya sesak, perasaan yang sulit diungkapkan dalam kata-kata. Apa yang sebenarnya Clara maksud? Apakah dia harus benar-benar menghadapi ketakutannya sendiri? Selama ini, ia merasa cermin itu adalah sumber dari segala ketakutannya—tetapi sekarang ia menyadari bahwa ketakutannya berasal dari dalam dirinya sendiri, dari bayangan yang tersembunyi dalam hati dan pikirannya.
“Rania, kita tidak bisa menghindarinya lagi,” lanjut Clara. “Setiap orang memiliki kegelapan di dalam dirinya. Cermin itu hanya mencerminkan bagian-bagian kita yang kita takutkan, yang kita coba sembunyikan. Kita harus melawan ketakutan itu jika kita ingin benar-benar bebas.”
Rania menggigit bibirnya. Melawan ketakutan? Itu bukan hal yang mudah dilakukan. Tetapi ia tahu bahwa untuk menghentikan kekuatan itu, ia harus melakukan sesuatu yang lebih besar dari sekadar berlari atau menghindar. Ia harus berhadapan langsung dengan bayangannya, dengan ketakutan terbesar dalam hidupnya.
Tanpa berkata apa-apa, Rania melangkah ke arah tempat cermin itu dulu berada. Clara mengikuti di belakangnya. Mereka berdua berdiri di tengah ruang kosong itu, seolah menantang kegelapan yang berusaha muncul dari setiap sudut. Ketegangan memenuhi ruangan, dan udara terasa tebal. Semua suara di sekitarnya mulai menghilang, meninggalkan hanya detak jantung mereka yang terdengar keras, seolah waktu itu sendiri ikut menahan napas.
Rania menutup mata sejenak, mencoba meresapi kata-kata Clara. Apa yang menjadi ketakutannya? Ia ingat kembali masa kecilnya, rasa takut yang menghantui dirinya saat menghadapi cermin di rumah neneknya. Ia selalu merasa ada yang mengawasi dari balik kaca itu, seolah cermin itu sendiri memiliki hidupnya. Namun, ketakutan itu lebih dari sekadar bayangan. Itu adalah rasa takut akan kegagalan, ketakutan akan kehilangan, ketakutan akan kegelapan yang ada dalam dirinya sendiri. Semua rasa takut itu kini berkumpul di depan matanya, seolah siap untuk menelan dirinya.
Rania menarik napas dalam-dalam, menatap ruang kosong di depan dirinya. “Aku siap,” katanya dengan suara tegas, meskipun hati kecilnya bergetar.
Clara berdiri di sampingnya, matanya penuh dengan harapan. “Ingat, Rania. Cermin itu hanya cerminan. Hanya dengan menghadapi bayangan kita, kita bisa menghapusnya.”
Saat itulah, bayangan gelap mulai muncul. Perlahan-lahan, bentuk-bentuk kabur itu mulai menari di sekitar mereka, seolah ingin menyelimuti seluruh dunia dalam kegelapan. Cermin yang hancur tidak lagi ada, tetapi kegelapan itu masih hidup, menciptakan bayangan dari setiap ketakutan yang terpendam.
Rania merasa sesuatu bergerak dalam dirinya, seolah ada yang menggerakkan setiap serat tubuhnya, menuntunnya untuk menghadapi bayangannya sendiri. Ia melihat dirinya dalam bayangan itu—bukan hanya wajahnya, tetapi juga ketakutan dan keraguannya. Dalam bayangannya, ia melihat dirinya yang merasa kecil, merasa tidak cukup, merasa tidak layak.
“Tidak!” serunya dengan lantang. “Aku tidak akan lari lagi. Aku bukan bayangan ini!”
Dengan keberanian yang muncul dari dalam, Rania meraih bayangan itu dan menghancurkannya dengan kekuatan dari hatinya sendiri. Bayangan itu terpecah, menghilang begitu saja, seiring dengan perasaan ringan yang menggantikan ketakutannya. Saat bayangan pertama hancur, yang lainnya juga mulai runtuh—ketakutan demi ketakutan, semuanya lenyap.
Akhirnya, kegelapan itu menghilang, dan ruang itu kembali terang. Cermin yang hancur benar-benar hancur, dan dengan itu, kekuatan gelap yang selama ini mengikat mereka pun lenyap. Rania merasakan kebebasan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Clara tersenyum dengan penuh kelegaan, dan Rania merasakan berat yang selama ini mengikatnya terangkat begitu saja. Mereka berhasil.
“Apa yang sekarang?” tanya Rania, suaranya lembut, tetapi penuh keyakinan.
“Sekarang, kita bisa mulai hidup lagi,” jawab Clara. “Kita telah menghadapinya, Rania. Dan kita akan terus hidup, bebas dari bayangan yang menahan kita.”
Rania tersenyum, merasa segalanya akhirnya menjadi jelas. Mereka telah mengalahkan kegelapan, dan yang lebih penting—mereka telah menemukan cahaya dalam diri mereka sendiri.***
—————THE END—————–