Bab 1: Tamu Terakhir
Hujan turun deras ketika Revan memarkir mobil sewaannya di depan bangunan tua yang menjulang muram di tengah kabut pegunungan. Hotel Arkena berdiri di sana seperti sosok bisu yang menatap dunia dari masa lalu—bangunannya tinggi, berarsitektur kolonial, dan nyaris tertelan oleh pepohonan besar yang mengitari sisi-sisinya.
Ia turun dari mobil sambil mengangkat ranselnya, melangkah cepat ke teras hotel. Hawa dingin menggigit kulit. Petir menyambar jauh di kejauhan, menerangi papan nama hotel yang sebagian hurufnya telah copot. Hanya tersisa tulisan: “H_TEL ARK_N_.”
Begitu memasuki lobi, aroma kayu tua dan lembab menyambutnya. Interiornya gelap, hanya diterangi cahaya kuning pucat dari lampu gantung kuno. Lantai parket berderit saat diinjak, dan jam tua di atas meja resepsionis berdetak dengan nyaring, seolah waktu berjalan lambat di tempat ini.
Seorang pria tua dengan rambut perak menyambut Revan dari balik meja resepsionis.
“Selamat datang di Hotel Arkena,” suaranya parau namun sopan. “Malam yang buruk untuk bepergian.”
“Ya,” jawab Revan, melepaskan tudung jaket. “Saya sudah pesan kamar secara online. Nama saya Revan Aldiano.”
Pria tua itu membuka buku tamu besar dan mencocokkan nama. Ia mengangguk pelan, lalu mengambil kunci dari gantungan tembaga di belakangnya.
“Kamar nomor… 13,” ucapnya, ragu sejenak.
Revan mengerutkan dahi. “Tiga belas?”
Pria tua itu menatapnya sejenak, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya hanya menyerahkan kunci logam dengan gantungan kayu oval.
“Kamar di lantai tiga, lorong paling ujung kiri. Gunakan lift tua di sebelah tangga, tapi saya sarankan naik tangga saja. Lift kadang suka… mogok.”
Revan mengangguk, walau agak tergelitik oleh keraguan di nada suara si resepsionis. Ia mengambil kunci dan berjalan menuju tangga spiral tua yang melingkar naik, meninggalkan suara detak jam yang terasa semakin lambat.
Lorong lantai tiga terasa lebih dingin daripada lantai lainnya. Karpet merahnya lusuh, dan lampu-lampu gantung di langit-langit berkedip pelan, seperti tak stabil. Revan melewati pintu demi pintu, hingga sampai di ujung lorong. Di sanalah ia menemukan pintu kayu tua bertuliskan angka 13 yang agak luntur.
Ia memasukkan kunci dan memutar. Pintu berderit berat saat terbuka.
Ruangan itu ternyata cukup luas, tapi sangat klasik. Tempat tidur besar berkanopi, meja kayu dengan cermin oval, dan jendela tinggi yang ditutup tirai beludru hijau tua. Tidak ada televisi, tidak ada minibar. Hanya keheningan dan aroma lilin tua.
Revan meletakkan ranselnya dan membuka jendela sedikit. Hujan masih turun. Kabut merayap dari luar, seperti ingin masuk.
Saat ia hendak duduk di ranjang, ia melihat sesuatu aneh di bawah cermin: sebuah kursi kayu kecil yang diletakkan menghadap langsung ke cermin, seolah seseorang biasa duduk di sana dan menatap dirinya sendiri dalam diam.
Revan mendekatinya. Cermin itu tampak tua, dengan ukiran motif bunga yang hampir pudar. Tapi saat ia melihat pantulannya, matanya menatap sesuatu yang tidak masuk akal.
Di pantulan cermin, kursi itu kosong.
Revan menoleh ke belakang. Kursinya ada. Tapi di cermin, hanya lantai kosong.
Ia membalik lagi, menatap cermin dengan napas sedikit tertahan. Ia mengedip, mencoba menenangkan pikirannya.
“Lelah,” gumamnya. “Cuma lelah.”
Ia meninggalkan cermin dan memilih untuk segera mandi. Kamar mandi hotel itu sangat kuno—keran tua, cermin kecil di atas wastafel, dan ubin putih yang menguning. Ia mandi cepat, lalu mengenakan kaus tidur dan merebahkan diri di tempat tidur.
Namun malam itu tak memberinya ketenangan.
Tepat pukul 01.13, Revan terbangun oleh suara ketukan tiga kali dari arah lemari.
Ia duduk, menajamkan telinga.
“Tok… tok… tok…”
Kali ini jelas. Dari dalam lemari.
Ia menatapnya lama, jantung berdetak cepat. Tapi tak ada yang muncul. Ia mendekat perlahan, tangan gemetar saat memegang gagang lemari. Dibukanya dengan perlahan…
Kosong.
Hanya baju-baju hangat dan gantungan logam. Tapi ketika hendak menutup kembali, ia melihat sesuatu di dinding belakang lemari:
Coretan tangan… angka “13” ditulis dengan tinta merah… atau darah.
Revan mundur, terdiam. Saat itulah ia sadar satu hal: kamar ini… tidak pernah benar-benar kosong.
Dan mungkin, ia bukan tamu biasa.
Bab 2: Pelayan Tua dan Larangan
Pagi datang lambat di Hotel Arkena, seolah matahari pun enggan menyentuh bangunan tua itu. Kabut masih menyelimuti luar jendela, membuat dunia di luar kamar terlihat seperti lukisan yang ditelan kelabu.
Revan bangun dengan kepala berat. Tidurnya semalam penuh kegelisahan, mimpi-mimpi aneh yang kabur di ingatannya. Tapi satu hal tetap jelas: suara ketukan dari dalam lemari dan angka “13” yang tertulis di dinding belakangnya.
Ia berjalan pelan menuju lemari. Membukanya kembali. Tapi kini, dindingnya bersih. Tidak ada angka. Tidak ada coretan. Bahkan aroma besi tua yang semalam menusuk, kini lenyap. Seolah malam sebelumnya hanya mimpi yang terlalu nyata.
Ia memutuskan turun untuk sarapan. Di ruang makan, suasananya sunyi. Hanya satu tamu lain yang tampak duduk di pojok ruangan, menyantap roti bakar sambil menatap kosong ke luar jendela.
Revan duduk dan tak lama kemudian, seorang pelayan tua menghampirinya. Wajahnya keriput dalam-dalam, matanya redup namun tajam seperti menyimpan terlalu banyak cerita. Ia mengenakan seragam pelayan klasik: rompi coklat tua, celana hitam, dan dasi kecil berwarna kusam.
“Sarapan, Tuan?” tanyanya dengan suara lirih.
Revan mengangguk. “Apa saja yang hangat.”
Pelayan itu menyajikan teh panas dan bubur jagung. Tapi sebelum pergi, ia menunduk sedikit dan berkata pelan:
“Kamar nomor 13… seharusnya tidak dibuka.”
Revan sontak menoleh. “Apa maksud Anda?”
Pelayan itu menggeleng cepat. “Tidak seharusnya ada tamu di sana. Sudah bertahun-tahun ditutup. Tapi… kadang manajer membukanya kembali. Terutama jika… tamu itu tidak percaya pada larangan.”
Revan mengerutkan dahi. “Saya tidak tahu. Saya hanya dikasih kunci oleh resepsionis. Tidak ada yang bilang kamar itu dilarang.”
Pelayan itu menarik napas dalam. “Anak muda, dengarkan saya baik-baik. Kamar itu… bukan sekadar tempat menginap. Ia menyimpan sesuatu. Dulu, itu kamar pelayan juga. Seorang gadis muda, Larisa, ditemukan gantung diri di sana. Tapi cerita itu… hanya permukaan.”
Revan meletakkan sendok. “Apa yang sebenarnya terjadi?”
Sang pelayan menatap lurus ke matanya. “Ia tidak bunuh diri. Ia dikorbankan.”
Suasana mendadak berubah dingin. Bahkan suara dari luar pun terasa hilang. Hanya detak jarum jam tua di dinding yang terdengar.
“Siapa yang mengorbankan?” tanya Revan.
Pelayan itu mendekat sedikit, suara nyaris berbisik. “Hotel ini dulu tempat peristirahatan pejabat tinggi kolonial. Mereka melakukan semacam praktik pemanggilan… untuk kekuasaan, keberuntungan, panjang umur. Larisa, salah satu pelayan, dipilih sebagai ‘jembatan’. Ia… tidak pernah benar-benar mati.”
Revan tertawa pendek, tidak yakin apakah ia sedang dihadapkan pada kisah horor atau sekadar dongeng lama.
“Kalau begitu kenapa masih ada tamu di hotel ini?” tanyanya.
Pelayan itu berdiri pelan. “Karena banyak yang tidak percaya. Sampai akhirnya terlambat.”
Ia hendak pergi, namun berhenti sejenak dan menyelipkan sesuatu di bawah piring Revan. Sebuah kertas kecil, usang dan berbau apek.
“Kalau kau mendengar ketukan lagi… jangan jawab. Dan jangan lihat ke cermin… terutama pukul satu lewat tiga belas.”
Revan memandangi kertas itu. Hanya tertulis dua kalimat:
“Yang kau lihat di cermin, bukan dirimu. Ia menunggu.”
Siang itu, Revan berkeliling hotel. Ia mencoba mencari “kamar pelayan” yang disebutkan pelayan tadi. Tapi tak ada petunjuk. Ia naik ke loteng namun pintunya dikunci. Lorong-lorong hotel terasa aneh, seperti bisa berubah panjang dan bentuk tergantung siapa yang melintasinya.
Saat kembali ke kamarnya, ia iseng bertanya pada resepsionis tentang pelayan tua tadi. Tapi pria muda di balik meja terlihat bingung.
“Maaf, Pak. Kami tidak punya pelayan seperti yang Anda maksud.”
“Pria tua. Kurus. Mata tajam. Dia yang sajikan bubur tadi pagi.”
Pria itu menggeleng. “Sarapan hanya disiapkan oleh dapur otomatis. Semua staf hotel memakai seragam hitam polos, bukan cokelat seperti di film-film lama.”
Revan terdiam. Ia mulai merasakan tekanan aneh di dadanya. Bukan sekadar rasa takut—tapi seperti ditarik oleh sesuatu yang lebih dalam.
Malam pun datang lagi.
Kamar nomor 13 kini terasa berbeda. Lebih dingin. Cermin di atas meja seolah lebih besar dari sebelumnya. Revan menatapnya lama, hingga akhirnya menarik tirai penutupnya. Ia tidak ingin melihat pantulan apapun malam ini.
Namun tepat pukul 01.13… suara itu datang lagi.
Tok. Tok. Tok.
Dari dalam lemari.
Revan memejamkan mata, mengingat kata pelayan: jangan jawab…
Tapi kemudian terdengar suara lain. Bisikan.
“Revan… kamu sudah di sini.”
Bab 3: Ketukan di Tengah Malam
Malam itu terasa lebih sunyi dari malam sebelumnya. Bahkan detak jam tua di lorong terdengar bagai detakan palu kematian di benak Revan. Ia menatap pintu lemari di kamarnya dengan cemas, tubuhnya membeku di ranjang, hanya matanya yang bergerak. Pukul 01.12. Satu menit lagi menuju waktu yang disebut pelayan tua itu—waktu ketika “sesuatu” mulai bangun.
Revan mencoba mengalihkan perhatian. Ia menyalakan lampu meja, membuka catatan di laptop, pura-pura bekerja. Tapi pikirannya tidak bisa fokus. Kertas kecil pemberian si pelayan masih ada di saku jaketnya, kini mulai lecek karena sering diremas.
“Yang kau lihat di cermin, bukan dirimu. Ia menunggu.”
Jam berdetik… dan pukul 01.13 tiba.
Tok… Tok… Tok.
Tiga ketukan. Pelan, namun jelas. Dari dalam lemari. Sama seperti malam sebelumnya.
Revan menahan napas. Dadanya berdebar hebat. Ia mencoba mengabaikan. Tapi kali ini, suara itu berlanjut.
Tok… Tok… Tok.
Lebih keras.
“Revan… buka.”
Suaranya lirih, seperti berasal dari mulut seorang perempuan yang nyaris kehabisan napas.
Revan meloncat dari ranjang. Ia berlari ke pintu kamar, mencoba membuka, namun—terkunci. Kunci di meja sudah tak ada. Ia memeriksa sakunya, nihil. Ketakutan mulai merayap, dingin dan meremas tubuhnya dari dalam.
Tiba-tiba lampu meja berkedip.
Tok… Tok… Tok.
Revan berjalan pelan ke lemari, didorong rasa takut dan penasaran yang bersaing. Ia berhenti di depan pintu kayu tua itu. Gagangnya berembun. Dari dalam, terdengar bisikan… seperti puluhan suara berbisik bersamaan namun tidak dalam satu bahasa.
Ia memutar gagang pelan. Pintu lemari terbuka dengan sendirinya. Pelan. Mengerang.
Kosong.
Tapi kali ini, di bagian belakang lemari, ada cermin bundar kecil tergantung. Tidak ada semalam. Revan menatap cermin itu dan mendapati sesuatu yang tidak bisa dicerna akalnya:
Di pantulan cermin… ia tidak sendiri.
Seorang perempuan berdiri di belakangnya. Mengenakan gaun putih lusuh, rambut panjang menutupi wajah, dan tubuhnya melayang sedikit di atas lantai.
Refleksi Revan membeku, tapi tubuh aslinya langsung menoleh cepat—namun tidak ada siapa-siapa di belakangnya. Ia kembali menatap cermin.
Perempuan itu kini mendekat dalam pantulan. Sangat dekat. Tangan kurusnya terulur ke arah Revan di dalam bayangan.
Revan mundur tergesa, cermin di lemari bergetar hebat dan… pecah dengan suara ledakan kecil, seperti menolak untuk dilihat lebih lama.
Tiba-tiba lampu kamar padam. Semua gelap.
Revan terdiam dalam kegelapan, napasnya tersengal. Ia meraba-raba meja, mencoba mencari senter dari ponselnya—tapi baterai ponsel juga mati. Seolah semua energi di kamar ini disedot.
Lalu, suara berat muncul di telinganya. Berbisik langsung ke dalam kepalanya, seperti datang dari balik kulit.
“Kau sudah melihat… Maka kau takkan bisa pergi.”
Pagi datang dengan pelan. Revan bangun di lantai, punggungnya nyeri. Ia tak ingat kapan akhirnya pingsan. Lemari itu kini tertutup. Tidak ada cermin. Tidak ada apa-apa.
Tapi di lantai, tepat di bawah tempat tidur, ia menemukan jejak kaki kecil—seperti jejak kaki anak-anak, namun terlalu panjang… dan terbalik. Tumit di depan, jari di belakang.
Ketika ia keluar kamar, suasana hotel lebih sunyi dari sebelumnya. Tidak ada tamu lain. Tidak ada resepsionis. Lorong-lorong terasa lebih gelap, seolah lampu yang biasanya menyala mulai lelah untuk hidup.
Ia turun ke ruang makan, dan kembali duduk sendirian. Tidak ada pelayan tua kali ini. Hanya seorang perempuan muda yang berdiri kaku di belakang meja saji.
Revan mendekat. “Permisi… saya mencari resepsionis atau manajer hotel ini.”
Perempuan itu menoleh. Wajahnya pucat. Matanya merah, seperti tak tidur berhari-hari.
“Sudah lihat cermin itu?” tanyanya, tanpa basa-basi.
Revan terdiam. “Cermin di lemari?”
Gadis itu menunduk. “Itu bukan cermin biasa. Ia… adalah mata untuk ‘dia’. Kamar nomor 13 adalah tempat pertama ia muncul. Dan setiap kali seseorang melihatnya, satu bagian dari jiwanya tertinggal.”
Revan menarik napas panjang. “Siapa sebenarnya dia?”
Gadis itu menjawab tanpa menatap: “Namanya Larisa. Tapi sekarang, dia hanya disebut… Penunggu Ketiga Belas.”
Revan mundur perlahan. Suasana kembali mencekam. Gadis itu memandangnya dengan tatapan kosong, lalu berkata:
“Jika kau ingin hidup, jangan pernah tidur di kamar itu lagi. Jangan pernah… jawab ketukannya.”
Malam ketiga akan datang.
Dan Revan belum bisa keluar dari hotel yang bahkan pintunya kini tak bisa dibuka.
Karena ia sudah menjawab satu ketukan…
Dan Penunggu Ketiga Belas tidak pernah melepaskan tamunya.
Bab 4: Buku Tamu yang Hilang
Siang itu, Revan terduduk di kursi ruang tamu lantai dasar Hotel Arkena, memandangi tangga utama dengan mata kosong. Ia tak tidur sejak malam sebelumnya. Setelah kejadian dengan cermin dan suara-suara dari lemari, ia mencoba keluar dari hotel—namun semua pintu terkunci. Bahkan sinyal ponsel lenyap. Seakan-akan hotel itu benar-benar telah menelannya bulat-bulat.
Ia tak tahu siapa lagi yang bisa dipercaya. Pelayan tua itu menghilang. Gadis yang tadi pagi memberi peringatan juga tak terlihat lagi. Revan merasa seperti satu-satunya manusia hidup di tempat ini.
Namun satu hal menggantung di pikirannya: siapa saja yang pernah menginap di kamar nomor 13? Jika ia bisa mengetahui siapa saja korbannya, mungkin ia bisa memahami apa sebenarnya yang terjadi… atau bagaimana menghentikannya.
Ia melangkah menuju meja resepsionis. Meja itu kosong, seperti sejak pertama ia menginjakkan kaki di hotel ini. Di balik meja, ada sebuah laci besar dengan label: Buku Tamu. Revan menariknya.
Kosong.
Bahkan debu di dalamnya tampak belum terganggu dalam waktu yang sangat lama. Ia mencari ke laci lain—semuanya berisi berkas-berkas lama, brosur hotel dari zaman kolonial, hingga tagihan listrik yang sudah berdebu. Namun tak ada satupun catatan pengunjung.
Akhirnya, di laci paling bawah yang sulit dibuka, ia menemukan sebuah buku besar berkulit hitam. Tidak ada judul di sampulnya. Hanya sebuah simbol lingkaran dengan angka 13 di dalamnya. Simbol itu sama persis dengan angka yang dulu tertulis di dinding lemari kamarnya.
Revan membuka lembar pertama.
Kosong.
Lembar kedua.
Kosong.
Namun di lembar ketiga, tulisan mulai muncul. Bukan tinta biasa, tapi seperti bekas ukiran hangus di atas kertas. Nama-nama yang tergores dalam barisan rapih:
- Larisa H.
- Tio Prasetya
- Angga Wicaksana
- Nirmala K.
- Evelyn J.
Dan nama-nama lainnya. Masing-masing diikuti oleh tanggal… dan kemudian, di kolom terakhir: tulisan samar berwarna merah kecokelatan: Tertinggal.
Semakin ia membalik halaman, semakin banyak nama. Puluhan. Ratusan. Beberapa nama bahkan terlihat baru, dengan tinta masih basah. Ia menyusuri satu demi satu… dan akhirnya, di halaman terakhir:
Revan Aldino
Tanggal: 13 Oktober
Status: (tulisan merah) Menunggu
Tenggorokan Revan tercekat.
Ia mencoba merobek halaman itu. Tapi kertas buku terasa seperti besi. Tak bisa dilipat, tak bisa dirobek. Bahkan saat ia mencoba melemparnya ke lantai, buku itu tetap terbuka di halaman namanya, seolah menatapnya kembali.
Tiba-tiba, dari arah belakang, terdengar suara langkah kaki pelan.
Revan menoleh cepat. Gadis muda dari pagi tadi muncul dari balik lorong. Wajahnya masih pucat, rambutnya berantakan.
“Kau sudah membukanya…” gumamnya.
Revan mengangkat buku itu. “Apa ini? Kenapa ada nama saya? Kenapa buku ini menyimpan nama-nama orang yang… menghilang?”
Gadis itu mendekat, lalu duduk di kursi seberang. Ia menatap meja, tidak berani menatap Revan langsung.
“Itu bukan buku tamu biasa,” katanya. “Itu adalah daftar… mereka yang tertangkap oleh kamar 13.”
Revan membeku. “Tertangkap?”
“Ia tidak sekadar menyimpan tubuh,” lanjutnya. “Ia menyimpan nama, jiwa, dan waktu. Kalau nama seseorang tertulis di buku itu, maka lambat laun… ia akan terhisap ke dalamnya. Selamanya.”
Revan menggenggam rambutnya frustasi. “Lalu kenapa aku masih di sini? Kenapa aku belum ditelan seperti yang lain?”
Gadis itu mengangkat pandangannya, akhirnya menatap Revan. “Karena kamu… masih menunggu.”
“Tunggu apa?”
Ia diam sesaat, lalu menjawab dengan suara hampir tak terdengar:
“Menunggu kamu percaya.”
Hari mulai gelap. Revan membawa buku tamu itu kembali ke kamar, meskipun ia sendiri tak yakin mengapa. Di dalam kamar, ia mencoba mempelajari simbol di sampulnya. Ia menelusuri setiap lingkaran dan coretan, hingga tiba-tiba, saat ia menyentuh angka 13, halaman-halaman buku mulai bergerak sendiri. Seolah hidup. Buku itu berhenti pada sebuah halaman kosong… dan mulai menulis sendiri.
“Satu lagi harus masuk, agar yang lain bisa keluar.”
Revan membaca kalimat itu dengan gemetar. Apa maksudnya? Apakah ia harus menukar tempat dengan seseorang? Atau… mengorbankan satu jiwa agar bisa keluar?
Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, ketukan itu kembali.
Tok… Tok… Tok.
Dari dalam lemari.
Namun kali ini, Revan mendengar suara napas. Berat. Panjang. Tepat di balik pintu kayu.
Dan sebuah suara perempuan terdengar jelas:
“Buka… atau aku akan keluar sendiri.”
Bab 5: Gadis Bergaun Hitam
Malam itu, setelah insiden dengan buku tamu dan suara dari lemari, Revan memutuskan untuk tidak tidur. Ia menyalakan semua lampu yang bisa dinyalakan di kamar, menutup semua cermin dengan kain hotel yang ia temukan di lemari kecil, dan duduk sambil menggenggam buku tamu tua itu di tangannya. Setiap detik terasa panjang, dan setiap suara samar membuat dadanya mencelos.
Sekitar pukul 02.02, suara langkah kaki terdengar dari lorong. Bukan satu pasang kaki. Tapi seperti satu kaki, diseret perlahan. Krek… krek… krek…
Revan mematikan lampu kamarnya, hanya membiarkan sedikit cahaya dari celah jendela yang tertutup tirai tipis. Ia menempelkan telinganya ke pintu. Langkah itu berhenti—tepat di depan kamarnya.
Tok… Tok… Tok.
Tiga ketukan. Tapi tidak dari dalam lemari. Dari luar pintu kamar.
Tubuh Revan kaku. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Ia meraih gagang pintu perlahan… dan tanpa sadar, memutarnya.
Pintu terbuka.
Lorong itu kosong. Sepi. Tapi saat Revan menoleh ke sisi kiri, ia melihatnya.
Seorang gadis.
Berdiri tegak di ujung lorong, sekitar sepuluh meter dari tempatnya berdiri. Gaun hitam panjang menutupi tubuhnya hingga ke lantai. Rambutnya hitam pekat, panjang hingga menyentuh lantai, menutupi wajahnya. Di kedua tangannya, tergantung sesuatu yang aneh—seperti pita merah tua, basah, dan menetes.
Gadis itu tidak bergerak.
Namun Revan merasakan tekanan aneh di dadanya. Seolah-olah jantungnya dipegang oleh tangan yang tak terlihat.
“Siapa kamu?” serunya lirih.
Gadis itu sedikit menunduk, lalu melangkah maju. Suaranya nyaris tak terdengar, tapi langkahnya menciptakan gema yang menusuk.
Krek… krek… krek…
Revan panik, menutup pintu dengan cepat dan mengunci dua kali. Ia mundur perlahan, tapi tahu: makhluk itu bukan manusia biasa. Ia telah membuka pintu, dan itu berarti satu undangan masuk telah diberikan.
Ia kembali ke buku tamu, membalik ke halaman kosong yang sebelumnya menulis sendiri.
Kini ada satu nama baru tertulis:
Nadira Larentia
Tanggal: 2 Februari
Status: Mencari pengganti
Revan menelan ludah. Nadira… nama itu terdengar asing. Tapi ada sesuatu dalam benaknya yang berkedut. Ia pernah mendengar nama itu—dalam bisikan, atau mungkin… di koran?
Ia mengambil ponselnya dan mencoba mencari nama itu—meskipun sinyal masih lemah, satu bar sesekali muncul. Ia mengetik cepat: “Nadira Larentia Hotel Arkena.”
Hasil pencarian muncul, satu halaman terbuka:
Gadis Hilang di Hotel Tua, Nadira Larentia, Mahasiswi Psikologi – Tidak Pernah Ditemukan.
Terakhir terlihat menginap di Hotel Arkena pada malam Jumat Kliwon, dua tahun lalu. Kamar 13.
Revan merasa tubuhnya menggigil. Gadis itu… yang berdiri di lorong tadi… bukan sekadar entitas tanpa nama. Ia adalah salah satu korban. Dan tampaknya, ia belum selesai.
Pagi datang dengan lambat, dan matahari hanya menyorot pucat lewat jendela berkabut. Revan turun ke lobi, berharap bisa berbicara dengan pelayan muda yang kemarin memberinya peringatan. Namun hotel tampak kosong kembali. Tak ada suara. Tak ada orang.
Ia berjalan menyusuri lorong belakang, tempat pelayan biasanya lewat. Di ujung lorong, ada sebuah pintu kecil setengah terbuka bertuliskan “STAFF ONLY.”
Revan masuk.
Ruangan itu ternyata adalah arsip tua. Di sana, ia menemukan puluhan dokumen hotel dari zaman dahulu—surat pemesanan kamar, laporan kehilangan tamu, dan… catatan yang tak pernah dikirim ke kepolisian.
Ia menarik satu map bertuliskan: Kamar 13 – 1989–2021.
Di dalamnya, foto-foto hitam putih. Semuanya memperlihatkan satu sosok yang sama: seorang gadis muda dengan gaun hitam panjang. Dalam tiap foto, gadis itu berdiri di latar belakang—selalu buram, selalu tak jelas. Tapi ekspresinya sama: wajah tanpa mata, hanya rongga gelap, dengan senyum yang melebar hingga ke pipi.
Catatan di bawah salah satu foto:
“Nadira… belum pergi. Ia ingin keluar. Tapi butuh seseorang menggantikannya.”
Revan menggenggam map itu kuat-kuat. Ia sadar sekarang—ini bukan hanya tentang hantu. Ini tentang perjanjian tua, sesuatu yang mengikat jiwa dan nama ke dalam dinding-dinding kamar itu.
Dan jika Nadira mencarinya malam tadi… maka ia takkan berhenti.
Sampai Revan memilih: menyerahkan nama lain, atau… menjadi bagian dari daftar itu selamanya.
Bab 6: Rekaman CCTV
Pagi itu, langit di luar Hotel Arkena tertutup mendung pekat, seolah matahari enggan menatap bangunan tua yang menelan siapa pun yang terlalu penasaran. Revan berdiri di depan meja resepsionis dengan mata sayu. Ia tak tidur semalaman, hanya termenung sambil menatap buku tamu yang menolak dibakar, disobek, atau bahkan ditinggalkan. Buku itu selalu kembali ke tempatnya.
Ketika ia membuka kembali map berisi dokumen tua dari arsip kemarin, ia menemukan satu hal yang membuatnya membeku: peta hotel lama. Di sudut bawah, tertulis catatan tangan seseorang: “Ruang Kontrol, lantai 1 belakang dapur. Jangan dibuka kecuali dalam keadaan darurat.”
Naluri Revan mengatakan: ini salah satu dari sedikit jalan menuju kebenaran.
Setelah menyusuri lorong-lorong sempit di belakang dapur yang bau apek, Revan menemukan pintu logam kecil tersembunyi di balik lemari piring pecah. Kunci pintu itu sudah berkarat, tapi pintunya tidak terkunci. Saat dibuka, udara dingin menyambutnya. Tangga beton tua mengarah ke bawah, remang-remang, dengan bau debu dan kelembapan tua yang melekat.
Di ujung tangga, ada ruangan sempit yang dipenuhi monitor tua berdebu. Sebuah kursi besi berdiri di tengah, menghadap panel kontrol yang tampak mati. Namun saat Revan menyentuh salah satu sakelar daya… monitor menyala perlahan, satu demi satu.
Semua kamera menampilkan lorong-lorong hotel. Beberapa gambar hitam putih berkedip pelan. Namun satu layar—kamera nomor 13—menampilkan gambar kamar Revan. Kosong. Tapi dalam resolusi yang buruk itu, ia bisa melihat lemari kamar terbuka sedikit, dan tirai jendela bergoyang meski jendela tertutup.
Lalu, dari pojok ruangan, bayangan muncul.
Seseorang, atau sesuatu, berjalan pelan dari sudut tak terlihat… mendekati tempat tidur Revan, dan berdiri diam di sisi ranjang. Lama. Lalu… membungkuk, seolah mencium bantal bekas tidurnya.
Revan menahan napas.
Wajah makhluk itu tertutup rambut panjang. Tapi bagian tangan… seperti tangan anak kecil, keriput, dan berdarah. Ia merasa perutnya mual, namun tak bisa berhenti menatap.
Dengan jari gemetar, Revan mengganti rekaman ke tanggal sebelumnya, mencoba mencari titik awal semua ini.
Tanggal 2 Februari, sekitar pukul 02.00 dini hari—kamera memperlihatkan Nadira berjalan di lorong, gaun hitam menjuntai, wajah tak terlihat. Ia mengetuk kamar Revan, lalu… menghilang seolah tembus ke dinding.
Lalu, yang membuat Revan benar-benar membeku, adalah rekaman dari seminggu sebelumnya, tanggal 26 Januari. Terlihat seorang pria berjaket abu-abu memasuki kamar nomor 13.
Wajah pria itu adalah… dirinya sendiri.
Revan ternganga. Ia tidak pernah datang ke hotel ini sebelum tanggal 1 Februari. Ia yakin. Namun di layar itu, dirinya terlihat jelas: memasuki kamar nomor 13… dan tidak pernah keluar.
Ia mempercepat rekaman. Hari berganti. Pria itu—Revan yang lain—tidak pernah muncul lagi. Tak pernah meninggalkan kamar. Namun kamar tetap tampak “berpenghuni”: pintu terbuka sendiri, tirai bergerak, dan sekali waktu, sesosok bayangan putih muncul di layar, berdiri di belakang “Revan” sambil menyentuh lehernya.
Revan mundur dari layar. Tubuhnya dingin.
“Aku… sudah pernah ke sini?” bisiknya. “Atau aku… tidak pernah keluar?”
Tiba-tiba, monitor di sebelahnya menyala sendiri. Gambar hitam putih. Terlihat tangga bawah tanah tempat ia berdiri. Tapi ada satu hal yang membuat jantung Revan serasa berhenti:
Dirinya sendiri, sedang berdiri menatap ke arah kamera. Sekarang.
Namun ia tak sedang menatap ke kamera manapun. Ia sedang berdiri membelakangi kamera.
Lalu, di layar… sesuatu muncul di belakang Revan. Perlahan. Wajahnya seperti tembikar retak, matanya bolong, mulutnya robek lebar… dan gaun hitamnya menjuntai menutupi lantai. Nadira.
Revan menoleh refleks ke belakang.
Kosong.
Namun monitor terus menampilkan gambar mengerikan itu, di mana makhluk itu menyentuh pundaknya dengan tangan berdarah… dan layar mendadak mati.
Revan melarikan diri dari ruang kontrol, napasnya tercekat. Ia kembali ke kamarnya, mengunci diri, dan mengutuk semua yang membawanya ke hotel ini. Tapi saat ia membuka buku tamu, sebuah tulisan baru muncul di bawah namanya.
“Sudah pernah datang.
Sudah pernah pergi.
Kini waktunya… tinggal.”
Dengan tangan gemetar, Revan menuliskan sesuatu di halaman kosong di bawah tulisan itu:
“Bagaimana caranya keluar?”
Beberapa detik tak terjadi apa-apa… lalu, huruf demi huruf terbentuk:
“Kau harus menjadi pelayan.
Atau korban berikutnya.”
Bab 7: Rahasia di Bawah Lantai
Revan tidak tidur lagi malam itu. Setelah kejadian di ruang kontrol dan tulisan di buku tamu, pikirannya terus-menerus dihantui pertanyaan: “Pelayan atau korban?”
Ia duduk di tepi ranjang, memandangi lantai kamar nomor 13. Ada sesuatu yang selama ini ia abaikan—ubin di bagian tengah kamar yang sedikit berbeda warna, lebih tua, lebih kusam, dan tampak lebih longgar daripada yang lain.
Revan mengambil kunci lipat kecil dari tasnya dan mulai mencungkil salah satu ubin. Butuh beberapa menit, namun ubin itu akhirnya terlepas… dan bau lembap yang sangat kuat menyembur keluar.
Di baliknya, bukan hanya tanah. Tapi semacam tutup kayu, seperti penutup sumur atau pintu rahasia. Dengan napas tertahan, ia membuka kayu itu. Suara engsel berkarat mencicit menyeramkan, dan di bawahnya terlihat anak tangga batu, melingkar turun dalam kegelapan yang nyaris total.
Tanpa pikir panjang, Revan mengambil senter dari laci dan mulai menuruni tangga.
Langkah demi langkah, dinding mulai berubah dari beton menjadi batu kasar. Suhu makin dingin, dan suara-suara samar mulai terdengar—seperti bisikan… atau napas panjang yang terperangkap dalam waktu.
Tangga itu berakhir di ruangan sempit dengan dinding batu tua dan lentera minyak yang menggantung di dinding. Anehnya, satu lentera menyala. Sendiri. Seolah menyambutnya.
Ruangan itu penuh rak kayu berdebu yang dipenuhi buku-buku catatan tangan. Revan membuka salah satunya. Tulisannya hampir sama dengan di buku tamu: miring, kuno, dan terasa seperti ditulis oleh tangan yang sudah lama mati.
“Tahun 1913. Pemilik pertama Hotel Arkena, Tuan Harsono, memulai ritual pengikatan. Setiap 13 tahun, satu nama harus diberikan. Jiwa dipertukarkan untuk keberlangsungan hotel. Tanpa itu, semua akan runtuh. Termasuk dimensi ini.”
Revan menggigil.
Ia membaca lebih jauh. Setiap nama yang hilang di hotel dicatat di bawah: Nadira, Wisnu, Clara, Julian, termasuk… dirinya. Tapi nama Revan tidak muncul di catatan lama. Namun ada satu hal yang membuatnya terpaku:
“Korban bisa diselamatkan jika ‘Penjaga’ menyerahkan posisinya. Penjaga adalah pelayan. Yang tetap hidup namun terperangkap.”
Revan tiba-tiba ingat… pelayan tua yang ditemuinya di hari pertama.
Apakah dia… Penjaga sekarang?
Langkah kecil terdengar dari lorong di sebelah ruangan itu. Revan mengambil lentera, berjalan mengikuti suara itu, melewati koridor gelap berliku, hingga menemukan sebuah ruang batu besar dengan kursi tua di tengahnya. Di sana duduk seorang pria tua—yang sama seperti pelayan pertama yang ia temui. Ia tidak terkejut melihat Revan.
“Kau menemukannya akhirnya,” ucap si pelayan lirih.
Revan mendekat. “Kau tahu semuanya. Kau… Penjaga itu?”
Pria itu mengangguk pelan. “Aku ditunjuk sejak tahun 1987. Aku pelayan di sini. Tapi aku menolak memberikan nama. Maka aku diikat. Tidak bisa keluar. Tidak bisa mati. Tapi tetap sadar. Setiap 13 tahun, hotel menagih. Jika tak ada nama, akan diambil secara acak.”
Revan duduk di lantai, lemas. “Lalu… bagaimana cara keluar?”
Si pelayan menatapnya dalam. “Hanya satu cara. Kau harus menggantikanku. Menjadi Penjaga. Atau… menyerahkan nama seseorang. Tapi begitu kau menyerahkan satu nama… kau kehilangan semua yang membuatmu manusia.”
Revan terdiam. Bayangan wajah Nadira muncul dalam pikirannya, juga wajahnya sendiri yang muncul di rekaman CCTV… seperti ada dua dirinya.
“Aku sudah menyerahkan nama itu, ya?” bisiknya.
Pelayan itu menjawab pelan, “Mungkin… atau mungkin kau adalah versi yang dikorbankan. Maka kau bisa melihat dan membaca semua ini. Mungkin kau tak akan kembali.”
Mereka diam sejenak. Lalu si pelayan berdiri.
“Masih ada satu ruang terakhir. Di balik tembok itu,” katanya sambil menunjuk dinding besar di sisi kanan.
Dengan dorongan keras, batu besar itu bergeser, membuka pintu rahasia yang mengarah ke ruang lain.
Di dalamnya, Revan menemukan kamar nomor 13 versi lama, seperti museum kematian: tempat tidur dengan sprei berlumur darah tua, lemari pecah, dan di tengah ruangan… cermin besar retak, yang memantulkan dirinya berwajah kosong.
Dari balik cermin, terdengar suara:
“Satu harus pergi. Satu harus tinggal.”
Lalu, bayangannya bergerak sendiri. Bukan mengikuti gerakannya. Tapi… melambaikan tangan selamat tinggal.
Revan mundur ketakutan. Ia tahu, keputusan akan segera datang.
Keluar dan menyerahkan nama?
Atau tinggal selamanya… dan menjaga kutukan ini agar tak menyebar?
Bab 8: Pengakuan Pemilik Hotel
Langkah kaki bergema di lorong-lorong Hotel Arkena yang kini sunyi. Revan berdiri di balik meja resepsionis, mengenakan seragam pelayan yang kini terasa seperti kulit kedua. Di hadapannya, bayangan cermin yang hancur di bawah tanah masih menari dalam pikirannya.
Namun hari ini berbeda.
Seorang pria tua berjas gelap, dengan tongkat kayu di tangan, melangkah masuk dari pintu utama. Wajahnya tirus, matanya tajam meski tertutup keriput, dan senyumnya… senyuman orang yang tahu terlalu banyak.
Ia berjalan tenang ke arah Revan dan berhenti tepat di depannya.
“Jadi kau yang menggantikannya,” ucap pria itu, suaranya berat dan bergema pelan.
Revan tidak menjawab. Namun ia tahu siapa pria itu. Foto lamanya tergantung di lorong—Tuan Bima Harsono, pemilik dan pendiri Hotel Arkena.
“Selamat datang kembali,” kata Revan datar.
Bima tersenyum tipis. “Ah, jadi kau sudah belajar etiket pelayan. Bagus.” Ia menatap sekeliling lobi. “Tempat ini selalu indah… jika kau bisa mengabaikan jeritan di malam hari.”
Revan memutar bola mata. “Kau datang untuk melihat apa? Hasil kerjamu?”
Bima berjalan pelan ke sofa tamu, duduk, dan bersandar. “Aku datang karena waktuku hampir habis. Setelah tiga belas siklus, tubuhku mulai lelah. Tapi jiwa… jiwa selalu kembali ke tempat ini.”
“Hotel ini… ini ciptaanmu?” tanya Revan, mendekat.
Bima tertawa pelan. “Hotel ini adalah pintu. Aku hanya orang pertama yang menyadarinya. Tahun 1913, aku membeli tanah ini, membangun tempat peristirahatan bagi orang-orang yang ingin melupakan dunia. Tapi malam pertama aku tinggal, aku mendengar suara dari sumur tua di belakang hotel.”
Matanya menatap kosong ke depan. “Suara itu menawarkan sesuatu: umur panjang, kekayaan, ketenaran. Syaratnya? Setiap tiga belas tahun, satu nama. Satu jiwa.”
Revan menahan napas. “Dan kau… setuju?”
Bima mengangguk. “Awalnya, aku pilih orang-orang jahat. Perampok, pencuri. Tapi hotel tak peduli moral. Ia hanya butuh takdir yang terputus. Setelah tiga siklus, aku sadar… aku tak mengendalikan hotel. Aku hanya penjaga pertama.”
Revan duduk di kursi seberang. “Kenapa tidak dihancurkan saja hotel ini?”
Bima tersenyum getir. “Sudah dicoba. Tahun 1946, bangunan ini dibakar. Tapi hanya permukaan yang terbakar. Fondasinya tetap dingin. Tangga menuju bawah tetap ada. Jiwa-jiwa yang telah dikorbankan tetap berbisik. Dan malam-malam setelahnya menjadi lebih buruk.”
Ia menunjuk dada Revan. “Kau merasakan sekarang, kan? Setiap malam semakin berat. Suara-suara tak pernah benar-benar diam. Kamar nomor 13 bukan hanya ruangan. Ia adalah pintu, dan kau adalah gemboknya.”
Revan terdiam. “Jadi ini semua… tidak bisa dihentikan?”
Bima berdiri perlahan. “Bisa. Tapi tidak dengan pengorbanan. Dan tidak dari dalam.”
Ia berjalan menuju meja, menarik laci rahasia, dan mengambil sebuah buku tua. Sampulnya hitam, lusuh, dengan cap berbentuk mata di tengahnya.
“Inilah Grimoire Arkena—catatan lengkap kontrak dengan hotel. Ada cara membatalkannya. Tapi butuh satu syarat terakhir: Penjaga harus membawa pengganti yang datang dengan keinginan sendiri, dan membuka kembali pintu sumur.”
Revan menatap buku itu, jantungnya berdegup keras. “Pengganti?”
“Ya,” jawab Bima. “Bukan korban. Tapi penerus. Seseorang yang masuk dengan kehendaknya. Yang rela. Bukan karena ketakutan.”
“Siapa yang mau…?” bisik Revan.
Bima memandangnya dengan tatapan menembus waktu. “Kau akan tahu. Saat waktunya tiba.”
Ia menyerahkan buku itu kepada Revan. Lalu dengan langkah berat, ia pergi—melewati lorong yang perlahan kembali tertelan kabut.
Revan berdiri lama dengan buku di tangannya. Di halaman pertama tertulis:
“Jika jiwa dibebaskan bukan karena darah, maka hotel akan runtuh. Tapi siapa yang sanggup membayar harga cahaya?”
Malam kembali jatuh. Dan lorong kamar nomor 13 terasa lebih dingin dari sebelumnya.
Bab 9: Terjebak dalam Cermin
Malam itu, Revan tak bisa tidur. Buku Grimoire Arkena yang baru ia terima dari Bima Harsono tergeletak di meja kayu tua kamar nomor 13. Setiap kali matanya tertutup, suara-suara samar seakan membisikkan kalimat-kalimat aneh dari halaman-halaman yang belum sempat ia baca.
Tapi satu halaman yang terus menari di pikirannya berbunyi:
“Cermin adalah jendela dan penjara. Ia memantulkan kenyataan, tapi menyembunyikan kebenaran. Hati-hati menatapnya terlalu lama—karena kau bisa menjadi bayanganmu sendiri.”
Pagi belum datang ketika Revan bangkit dari tempat tidur dan berdiri di depan cermin besar di kamar. Cermin itu tidak lagi retak seperti saat ia melihat versi tuanya di ruang rahasia. Namun cahayanya tetap redup, permukaannya berembun seperti bernapas sendiri.
Ia menatap pantulan dirinya. Wajahnya tampak lebih pucat, matanya sayu. Tapi ada sesuatu yang tidak sesuai.
Revan mengangkat tangan kanannya.
Bayangannya mengangkat tangan kiri.
Degup jantungnya melonjak. Ia mengangkat kedua tangan sekaligus—pantulan mengikuti, tapi seperti satu detik terlambat. Revan mundur satu langkah. Bayangannya tetap berdiri.
Kemudian… bayangan itu tersenyum.
Bukan senyum Revan.
Senyum itu bengkok, menegangkan kulit pipi, memperlihatkan deretan gigi yang terlalu banyak, terlalu tajam. Revan ingin lari, tapi kakinya seolah tertancap.
Lalu tangan dari dalam cermin—tangannya sendiri—mencapai permukaan kaca dari sisi lain. Permukaan itu melengkung, seperti air. Dan dalam sekejap…
Revan ditarik masuk.
Ia terjatuh di lantai yang dingin dan lembap. Ruangan di sekelilingnya tampak sama—kamar nomor 13—tapi… tidak sepenuhnya. Lampunya berkedip, dindingnya ditutupi bayangan seperti jamur. Cermin di belakangnya sudah menghilang, berganti tembok gelap.
Ia menoleh ke kanan—tempat tempat tidurnya seharusnya berada—namun hanya ada kerangka besi kosong, berkarat. Bau busuk menyengat, seperti daging membusuk yang tersembunyi di balik dinding.
Suara langkah kaki terdengar.
Revan membalik tubuhnya. Dari lorong kamar, bayangannya sendiri muncul. Tapi bukan dirinya.
Bayangan itu mengenakan pakaian sama, tapi wajahnya kosong. Kulitnya abu-abu, matanya berlubang, dan di dadanya ada bekas ukiran menyerupai simbol mata yang juga tertera di Grimoire Arkena.
Revan mundur perlahan, napas terengah. “Siapa… kau?”
Bayangan itu tak menjawab. Ia hanya menunjuk dada Revan.
“Kau adalah aku yang menolak menjadi Penjaga. Aku dikorbankan. Tapi tidak musnah. Aku… menunggu saatnya keluar.”
Tiba-tiba, semua cermin di dalam kamar muncul—di langit-langit, di dinding, di lantai. Masing-masing menampilkan versi Revan yang berbeda-beda: Revan yang menangis, Revan yang berdarah, Revan yang tertawa seperti orang gila, Revan yang menggantung dirinya sendiri.
Cermin-cermin itu berputar seperti labirin, membentuk jalan berliku.
Revan berlari, mencoba menghindar. Tapi setiap kali ia lewat, bayangan dirinya muncul dan mencoba mencengkeramnya. Ruang itu semakin sempit, udara makin berat. Suara-suara mulai menyatu menjadi satu kalimat, diulang tanpa henti:
“Satu harus tinggal. Satu harus keluar. Pilih. Pilih. Pilih.”
Revan jatuh berlutut. Ia menutup telinga, menunduk.
“AKU TIDAK MAU MENJADI SIAPA-SIAPA!” teriaknya.
Tiba-tiba, semuanya hening.
Ia membuka mata. Hanya ada satu cermin tersisa. Dan dari sisi lain, ia melihat versi dirinya yang asli—yang masih berada di kamar nyata.
Tapi sesuatu berbeda: Revan di sisi luar memegang buku Grimoire dan terlihat sedang membaca mantra. Terdengar gumaman yang pelan, dan cahaya dari cermin mulai berkedip.
Ia sedang mencoba mengeluarkan dirinya dari dalam cermin.
Revan bangkit, berlari ke arah cermin. Tapi dari belakang, bayangan Revan—yang menolak mati—menyergapnya, berusaha menyeretnya kembali.
Keduanya bertarung, saling menjatuhkan, saling mencengkeram. Tapi Revan tahu: hanya satu yang bisa keluar. Dan hanya satu yang bisa dipercaya oleh cermin.
Dengan segenap tenaga, Revan mendorong bayangannya ke belakang—hingga ke kaca.
“AKU YANG SEHARUSNYA KEMBALI!” teriaknya, menghantam dada bayangannya dengan simbol mata.
Bayangan itu memekik, tubuhnya menyerap ke permukaan cermin, dan dengan cahaya terakhir dari mantra yang dibacakan versi dirinya di luar…
Revan kembali.
Ia terbangun di lantai kamar nomor 13, napas memburu, tubuh basah oleh keringat dingin. Cermin kini retak. Tapi ia bisa melihat pantulan dirinya kembali normal.
Namun… ada satu perbedaan.
Di pantulan itu, bayangan Revan tidak mengikuti geraknya secara sempurna.
Seolah masih… menunggu.
Bab 10: Upacara Pengusiran
Pagi itu langit tampak seperti abu—tak ada sinar matahari menembus jendela hotel. Kabut turun lebih tebal dari biasanya, menyelimuti Hotel Arkena dengan aura yang tak wajar. Suara burung tak terdengar, dan hawa dingin menusuk hingga ke tulang.
Revan berdiri di lobi hotel, membawa Grimoire Arkena yang kini terbuka di halaman terakhir. Di sana tertulis:
“Untuk memutus siklus kutukan, Upacara Pengusiran harus dilakukan saat kabut turun sepenuhnya. Namun, hanya jiwa yang telah melihat wajahnya di antara dua dunia yang mampu memulai.”
Ia telah melihat bayangannya yang tak lagi sinkron. Ia tahu—dirinya telah berubah.
Bima Harsono, pemilik hotel, berdiri di samping Revan dengan wajah suram. Di tangan kirinya, ia membawa benda kecil berbentuk silinder—lilin hitam yang konon dibuat dari lilin lebah yang meleleh saat ritual pertama dilakukan di tahun 1913.
“Kau yakin ingin melakukannya?” tanya Bima.
Revan menatapnya. “Kalau tidak sekarang, hotel ini akan terus menelan jiwa—dan suatu hari, tak akan ada dunia di luar cermin.”
Bima mengangguk pelan. “Ikuti aku.”
Mereka berdua berjalan menyusuri lorong belakang hotel, menuju ruang bawah tanah. Kali ini, bukan tangga rahasia dari kamar 13, melainkan lorong tertutup di balik dapur tua. Lorong itu dipenuhi simbol-simbol kuno, dicat ulang dengan darah kering.
Di ujungnya, sebuah ruangan bundar terbuka. Dindingnya penuh ukiran mata, dan di tengahnya terdapat lingkaran ritual yang dilapisi garam, abu, dan tulang binatang kecil. Di dalam lingkaran itu berdiri kursi kayu tua.
“Duduklah di sana. Bacakan mantra ini. Dan… bersiaplah melihat siapa yang menolak pergi,” kata Bima sambil menyerahkan selembar kulit binatang yang penuh dengan aksara tua.
Revan masuk ke lingkaran dan duduk. Bima menyalakan empat lilin hitam di tiap penjuru ruangan. Suara api dari sumbu lilin terdengar seperti bisikan napas.
Revan membaca mantra perlahan. Kata-katanya terasa berat, seolah-olah setiap suku kata menarik energi dari tubuhnya. Begitu kalimat terakhir terucap, udara di ruangan menegang.
Dinding mulai bergetar.
Bayangan-bayangan muncul di sekelilingnya, berputar di luar lingkaran garam. Mereka adalah jiwa-jiwa yang hilang: Nadira, Wisnu, Clara, Julian. Wajah mereka tidak marah, tapi… kosong. Seperti memohon.
Lalu dari kegelapan, satu bayangan lebih besar muncul. Ia menyerupai Revan—tapi matanya merah, dan di tubuhnya tumbuh cabang akar hitam yang merambat liar.
“Jangan lanjutkan,” desis bayangan itu. Suaranya berat, seperti datang dari dasar bumi. “Tanpa aku, kau tidak akan pernah keluar dari cermin. Aku adalah bagianmu sekarang.”
Revan menggertakkan gigi. “Kau bukan aku. Kau adalah sisa kutukan.”
Bayangan itu menyeringai. “Tapi aku punya kenanganmu. Aku punya rasa takutmu. Dan kalau kau lenyapkan aku… mungkin yang tinggal hanyalah kekosongan.”
Dinding ruangan mulai pecah, darah merembes dari celah-celah batu. Garam di lingkaran mulai meleleh seperti lilin.
Bima meneriakkan sesuatu dalam bahasa kuno, dan salah satu lilin padam.
Revan memejamkan mata, lalu membuka kembali Grimoire Arkena, membaca bagian terakhir dari halaman tersembunyi yang hanya bisa muncul saat pengusiran berlangsung:
“Untuk mengusir, kau harus memberikan satu kebenaran yang paling kau sembunyikan. Jiwa tidak bisa dibersihkan jika masih memegang rahasia.”
Revan gemetar. Ia tahu apa yang harus diucapkan.
“Aku…” suaranya tercekat. “Aku pernah ingin Nadira menghilang.”
Suara berhenti. Bahkan gemuruh tanah pun terdiam.
Revan melanjutkan. “Aku cemburu. Karena ia dicintai semua orang. Dan aku merasa tak ada yang melihatku. Aku tak mengatakannya. Tapi aku menginginkannya. Dan sekarang… aku membayarnya.”
Satu demi satu, bayangan mulai menghilang. Jiwa-jiwa terangkat ke atas ruangan, melewati dinding yang kini terbuka pada cahaya yang tak biasa—putih, bersih, hangat.
Bayangan hitam menyerupai Revan mulai berteriak. “KAU TIDAK AKAN BISA BEBAS TANPAKU! AKU ADALAH KEPINGAN TERAKHIRMU!”
Revan berdiri di kursi, menatapnya lurus.
“Mungkin benar. Tapi aku lebih dari rasa takutku.”
Dan dengan kata terakhir dari mantra, Revan meniup api lilin terakhir.
Ledakan cahaya menyelimuti ruangan.
Saat semuanya mereda, Revan mendapati dirinya sendirian. Kursi sudah tak ada. Dinding bersih. Dan… tak ada cermin di mana pun.
Ia keluar dari ruang bawah tanah. Kabut telah terangkat. Matahari menyinari Hotel Arkena—untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
Tapi saat ia melewati cermin di lorong utama hotel, Revan tak melihat bayangannya sendiri.
Hanya… pantulan ruangan kosong.
Bab 11: Dunia di Balik Pintu
Langkah Revan terasa ringan saat ia melangkah keluar dari ruang bawah tanah. Cahaya pagi menyambutnya dengan kehangatan yang terasa asing setelah berhari-hari berada dalam suasana mencekam Hotel Arkena. Kabut sudah menghilang. Udara terasa bersih. Namun, sesuatu masih terasa tidak pada tempatnya.
Lorong hotel tampak sepi—terlalu sepi.
Tidak ada suara detik jam dinding, tidak ada derit lantai, tidak ada napas. Revan berjalan perlahan, menyusuri koridor, dan mendapati bahwa semua kamar hotel… terbuka.
Setiap pintu terayun perlahan, menampakkan ruangan kosong. Tidak ada tamu. Tidak ada pelayan. Bahkan tidak ada debu. Hotel itu tampak seperti replika yang baru saja dibangun ulang, terlalu bersih dan terlalu sunyi.
Revan mendekati lobi. Di meja resepsionis, buku tamu masih terbuka—namanya masih ada di sana. Tapi kini, halaman berikutnya kosong. Tidak ada nama baru, tidak ada catatan pelayan. Ia menyentuh kertas itu, dan kulit tangannya terasa sedikit kesemutan.
Kemudian, ia melihatnya: sebuah pintu di belakang meja resepsionis, pintu kayu gelap dengan ukiran angka “13” kecil di sudutnya. Ia tidak pernah menyadari pintu itu sebelumnya, seolah pintu itu baru muncul hari ini.
Revan merasa dorongan kuat untuk membukanya.
Gagang pintu terasa dingin. Saat ia memutarnya dan membuka pintu, bukan ruangan kecil yang menyambutnya… tapi sebuah lorong panjang tanpa ujung, diterangi oleh lampu gantung tua yang berayun pelan meski tidak ada angin.
Lorong itu tampak tak berujung. Dindingnya dipenuhi lukisan-lukisan tua bergaya gotik: wajah-wajah tanpa mata, keluarga tanpa kepala, dan hotel yang sama—Hotel Arkena—dalam berbagai bentuk, seakan menampilkan bangunan itu dari berbagai dimensi.
Revan melangkah masuk.
Setiap langkah membuat udara di sekitarnya berubah. Suhu menjadi lebih hangat, lalu lebih dingin. Cahaya kuning berubah menjadi kebiruan, lalu merah darah. Ia menyadari bahwa lorong itu bukan hanya ruang fisik, tapi semacam transisi antar-ruang, mungkin antar-waktu.
Tiba-tiba, di ujung lorong muncul bayangan sosok wanita muda—bergaun putih, rambut panjang, dan mata kosong yang sangat ia kenal.
“Nadira…” bisik Revan.
Sosok itu menatapnya, tidak bergerak. “Kau telah menyeberang,” katanya pelan. “Ini bukan hotel lagi. Ini… adalah tempat para Penjaga menunggu giliran.”
Revan mendekat. “Apa maksudmu? Aku sudah memutus kutukan. Aku sudah mengusir semua—”
Nadira menggeleng. “Kau menghentikan satu siklus. Tapi kau membuka pintu ke ruang tempat semua penjaga lama… dan korban… tinggal.”
Di belakang Nadira, muncul bayangan-bayangan lain—mereka yang namanya pernah ditulis di buku tamu. Semuanya memandang Revan.
“Kau sekarang di antara dunia,” lanjut Nadira. “Tubuhmu mungkin masih di luar. Tapi jiwamu sudah menyeberang ke dunia yang ada di balik pintu.”
Revan terdiam. Ia teringat cermin yang tidak lagi memantulkan dirinya. Ia sadar… mungkin dirinya yang di dunia nyata hanyalah cangkang kosong sekarang.
“Lalu… apakah aku harus tinggal di sini selamanya?”
Nadira mendekat. “Tidak. Masih ada satu pintu lagi. Pintu menuju pusat dimensi ini. Jika kau bisa menutupnya… dunia luar akan aman. Tapi jika tidak… dunia akan mulai meniru tempat ini.”
Mereka berjalan bersama, melewati bayangan-bayangan jiwa, menyusuri lorong yang kini berubah menjadi lingkaran melingkar dengan pintu-pintu kecil di setiap sisi—dengan angka-angka yang tampaknya acak. Sampai akhirnya mereka tiba di satu pintu terakhir. Di atasnya tertulis:
“Pintu Asal.”
Revan ragu. “Apa yang ada di dalamnya?”
Nadira menatapnya dalam-dalam. “Semua awal. Semua akhir. Dan wajahmu yang sebenarnya.”
Revan menghela napas panjang dan membuka pintu itu.
Di baliknya—dunia tanpa warna. Seolah realitas menguap. Hanya ruangan putih tanpa batas, dan di tengahnya berdiri Revan lain—dengan wajah tenang, matanya seperti cermin, memantulkan rasa sakit dan rahasia yang ia pendam seumur hidup.
“Siapakah aku sebenarnya?” tanya Revan.
Revan di tengah ruangan menjawab, “Kau adalah penjaga rahasia. Penutup luka. Penyangkal kebenaran. Dan kini… penentu akhir.”
Revan mengerti. Untuk keluar dari dunia ini, ia harus menerima semua sisi dirinya—ketakutan, amarah, kecemburuan, dan juga pengampunan.
Ia mendekat, menyentuh dahi versi dirinya yang lain, dan dalam sekejap… semua suara berhenti.
Revan terbangun.
Ia berada di ranjang kamar nomor 13. Pagi baru menyinari jendela. Hotel Arkena hidup kembali—tapi kali ini, tidak ada kabut. Tidak ada kamar terkunci. Tidak ada cermin rusak. Buku tamu kosong, dan semua pelayan tersenyum.
Namun di dalam hatinya, Revan tahu…
Satu pintu tetap ada. Dan hanya dia yang tahu di mana.
Bab 12: Tawaran dari Arwah
Lorong hotel kini tidak lagi sama. Dindingnya gelap seperti jelaga, dengan lukisan-lukisan tua yang menangis darah, dan langit-langit yang menjuntai rendah seolah ingin menelan siapa pun yang melintas. Revan berjalan perlahan, napasnya menggigil, langkahnya bergema di lorong sepi. Tak ada suara kecuali detak jantungnya yang menggema lebih keras daripada biasanya.
Ia tahu ia sudah melewati batas dunia nyata.
Suara langkah lain terdengar—terlalu ringan untuk manusia biasa. Saat ia berbalik, sosok gadis bergaun hitam itu berdiri di ujung lorong, rambut panjangnya menutupi sebagian wajah pucatnya. Ia tidak berjalan, hanya melayang, matanya menatap lurus pada Revan.
“Kenapa kamu tidak pergi saja?” tanya Revan, suaranya serak, gemetar antara amarah dan ketakutan.
“Aku tidak bisa pergi… Tapi kamu bisa,” jawab sang gadis dengan suara yang seperti bisikan dari dalam sumur dalam. “Kalau kamu mau… bertukar tempat.”
Revan memejamkan mata sejenak. Ia sudah terlalu lama di tempat ini—terjebak antara kenyataan dan mimpi buruk. Ia tahu, dari semua hal yang ia temukan—rekaman CCTV, lorong di bawah lantai, buku tamu yang hilang—bahwa kamar 13 tidak mengizinkan siapa pun pergi tanpa menagih harga.
“Siapa kamu sebenarnya?” desaknya.
“Aku adalah yang pertama,” jawab gadis itu. “Namaku Larisa. Aku datang ke hotel ini bersama ayahku, seorang serdadu Belanda. Ia… menyiksaku. Karena aku menolak ikut ke kota. Ia mengurungku di kamar ini. Dan ketika aku mati… aku tidak sendiri. Kutukan dimulai.”
Revan perlahan mundur. “Kenapa aku? Kenapa sekarang?”
“Kamu mendengar kami,” jawabnya. “Kamu memperhatikan. Kami sudah lama menunggu seseorang yang cukup kuat untuk memilih. Setiap yang datang ke sini, takut. Tapi kamu—kamu bertanya. Kamu menggali.”
Gadis itu mendekat, dan kini Revan bisa melihat matanya—kosong, seperti dua lubang gelap tak berdasar. Suasana sekitar makin dingin. Kabut mulai merayap di lantai, merangkak seperti tangan-tangan arwah yang tak sabar.
“Aku bisa memberimu jalan keluar, Revan,” bisiknya. “Tapi kamu harus membawa seseorang untuk menggantikanmu. Satu nyawa untuk satu kebebasan.”
Revan menahan napas. “Apa maksudmu?”
“Seseorang yang kau kenal. Seseorang yang mempercayaimu. Bawalah dia ke kamar ini. Biarkan pintu tertutup, dan kamu akan bebas. Ia akan menggantikan posisimu. Tidak akan sadar… sampai semuanya terlambat.”
Wajah Revan menegang. Ia membayangkan ayahnya di rumah sakit, temannya Andra yang pernah mengajaknya berlibur, atau bahkan pelayan tua hotel yang sudah membantunya sejauh ini. Semuanya muncul di benaknya satu per satu.
“Tidak,” bisiknya. “Aku tidak akan mengorbankan orang lain demi diriku sendiri.”
Larisa tidak marah. Ia hanya memiringkan kepala, sedikit tersenyum. “Kamu bukan yang pertama berkata begitu. Tapi waktu tidak ada di pihakmu. Kamar ini akan menelannya, seperti yang lain. Jika tidak memilih, kamu akan menjadi bagian dari kami. Terjebak. Selamanya.”
Revan jatuh berlutut. Dinding kamar mulai bergerak, seolah hidup. Cermin bergetar, dan sosoknya di balik kaca mulai tertawa—versi lain dari dirinya, berantakan, menggila, dengan mata merah dan tawa nyaring.
“Tidak ada jalan keluar dari kamar 13,” suara itu mengejek dari dalam cermin.
Revan bangkit, tubuhnya gemetar tapi matanya menyalakan tekad. “Kalau tidak ada jalan keluar… maka aku akan buat sendiri.”
Ia ingat buku tamu. Ia ingat nama-nama yang tertulis di dalamnya. Ia ingat bahwa nama sejati Larisa—dan semua korban—adalah bagian dari kutukan ini. Ia tahu, jika ia bisa menyebutkan semua nama, ia bisa memutus rantai yang mengikat mereka di sini.
“Kamu salah satu dari mereka, Larisa,” katanya pelan. “Tapi kamu bukan musuhku. Kamu korban, seperti aku.”
Wajah Larisa menegang.
“Aku akan bebaskan kalian semua,” bisik Revan.
Dan dengan tekad itu, Revan berlari kembali ke kamar 13. Gadis itu tidak mengejarnya. Tapi suara-suara kini mengikuti di belakangnya—tangisan, tawa, jeritan dari masa lalu. Ia tahu waktu tidak banyak. Tapi ia tahu satu hal:
Ia tidak akan keluar dari kamar 13… tanpa memutus kutukannya lebih dulu.
Bab 13: Pemutus Kutukan
Cermin kamar 13 bergetar hebat. Retakan kecil mulai menjalar dari sudutnya seperti akar hitam yang tumbuh cepat. Revan berdiri di tengah ruangan, napasnya berat, peluh menetes di kening meski suhu udara dingin menggigit kulit.
Di tangannya, ia menggenggam erat buku tamu tua yang ia selamatkan dari lorong rahasia di bawah lantai. Halaman-halaman usang itu mencatat nama-nama yang tak pernah keluar dari kamar ini. Nama-nama yang kini, mungkin, adalah roh-roh yang berbisik di balik dinding, atau menangis dalam cermin.
Ia membuka halaman pertama.
“Larisa van Eijk – Kamar 13 – Belum Check-out.”
Suaranya bergetar saat menyebut nama itu, namun seketika udara di sekitarnya berubah. Lampu di langit-langit berkedip, dan bayangan Larisa muncul di sudut ruangan, tubuhnya melayang tanpa suara.
Revan melanjutkan, menyebut satu per satu nama yang tertera di dalam buku. Setiap nama disebut, satu suara akan terdengar dari dinding, jeritan atau isak tangis… kemudian hening. Seolah arwah mereka perlahan ditenangkan, seperti beban yang mulai terangkat dari dunia ini.
“Ferdinand Surya…”
“Elisa Natanael…”
“Dimas Arwana…”
Saat ia menyebut nama ketujuh, api dari lilin yang ia ambil dari altar kecil di lorong bawah tanah tiba-tiba membesar. Suara tawa mengerikan menggema dari cermin, dan versi gelap dirinya muncul kembali, kini berdiri di balik permukaan kaca—menirukan semua gerakannya dengan senyuman menyeringai.
“Lucu sekali,” kata bayangan itu. “Kau pikir dengan menyebut nama, semua akan selesai?”
Revan menggertakkan giginya. “Aku tidak takut padamu.”
Bayangan itu tertawa. “Tapi aku adalah kamu.”
Tiba-tiba, dari sisi kanan ruangan, dinding terbuka seperti rahang raksasa—memunculkan ruang tersembunyi yang berisi tumpukan barang-barang milik para korban: koper, boneka anak kecil, pakaian yang sudah membusuk. Aroma kematian menyergap.
Di tengah ruangan itu, berdiri patung kayu berlumur darah kering, sosok wanita dengan mata tertutup dan tangan menggapai ke atas—larisa.
“Ini pusatnya…” gumam Revan. “Ini jantung dari kutukan ini.”
Ia membuka halaman terakhir buku tamu. Hanya ada satu nama di sana.
“Revan Aldiano – Kamar 13 – Belum Check-out.”
Tangannya gemetar.
Di belakangnya, suara Larisa terdengar, lembut dan getir. “Satu-satunya yang bisa mengakhiri ini… adalah yang bersedia tinggal. Menyelesaikan semuanya dari dalam.”
“Kalau begitu… biar aku yang menanggungnya,” ucap Revan pelan. “Tapi aku akan pastikan tak ada yang lain terjebak lagi.”
Ia mencoret namanya dari buku tamu dengan darah dari telapak tangannya sendiri. Lilin menyala makin terang, cermin mulai berderak dan retakannya makin besar.
Kemudian, ia merobek halaman-halaman buku satu per satu, dan melemparkannya ke dalam api lilin. Asapnya tidak biasa—berwarna biru dan berputar seperti kabut. Satu per satu, suara dari dinding berhenti. Isak tangis Larisa berubah menjadi senyuman.
“Terima kasih,” katanya dengan nada yang lebih manusiawi.
“Bebaskan mereka semua…” ucap Revan lemah.
Namun sebelum api memakan seluruh buku, bayangan Revan dari dalam cermin berteriak marah dan menghantam permukaan kaca dari dalam. Kaca pecah berkeping-keping, dan semacam gaya hisap muncul dari balik cermin—menarik semua yang ada di ruangan itu, termasuk potongan halaman yang belum sempat terbakar.
Revan berlari dan melompat ke arah buku—menangkapnya di udara dan melempar potongan terakhir ke dalam api.
Ledakan cahaya terjadi. Dinding-dinding kamar 13 bergetar hebat dan runtuh satu per satu. Ruangan mulai berputar, seperti pusaran dimensi yang runtuh. Revan merasa tubuhnya ditarik, dihimpit, dan akhirnya…
Gelap.
Revan membuka matanya. Ia terbaring di luar hotel, di rerumputan, pagi telah datang. Udara pegunungan kembali terasa segar. Di sekelilingnya, hanya sunyi dan kabut tipis yang memeluk tanah.
Hotel tua itu masih berdiri, tapi… kamar 13 tak lagi ada.
Ia berlari kembali bersama polisi dan beberapa warga desa yang ikut mencarinya. Namun setelah menelusuri seluruh lantai, mereka hanya menemukan 12 kamar. Tak ada pintu di antara kamar 12 dan 14. Dinding itu kini utuh, seolah tak pernah ada yang diubah.
Revan berdiri di hadapan dinding kosong itu, memandangi cat kusam dan sehelai sarang laba-laba di sudut langit-langit.
“Sudah selesai…” gumamnya.
Atau… begitulah yang ia pikirkan.
Bab 14: Kamar yang Menghilang
Revan duduk di tangga depan hotel, menatap langit yang perlahan cerah. Kabut pagi mengambang tipis di antara pepohonan pinus. Bau tanah lembap dan suara burung kembali terasa nyata. Tapi hatinya masih terasa hampa, seperti tubuhnya kembali, namun jiwanya belum sepenuhnya pulih.
Beberapa menit lalu, ia pikir semuanya telah berakhir.
Namun rasa itu tak pernah benar-benar hilang.
Tak lama kemudian, suara deru mobil polisi terdengar. Dua kendaraan berhenti di pelataran hotel. Seorang polisi paruh baya dan dua warga lokal yang mengenal pemilik hotel turun dengan tergesa.
“Revan!” seru seorang petugas, menatapnya penuh syok. “Kamu—kami mencarimu dua hari!”
Revan berdiri perlahan. “Dua hari?”
“Kamu hilang sejak Jumat malam. Kami menyisir hutan, mencari ke desa-desa sekitar. Tapi kamu… kamu muncul begitu saja di halaman depan hotel ini, pagi-pagi buta.”
Revan terdiam. Dalam pikirannya, semuanya masih terasa segar: cermin yang pecah, teriakan Larisa, retakan dinding, dan api biru yang memakan buku tamu.
“Hotel ini… ada sesuatu yang salah,” gumamnya.
Petugas itu menatapnya ragu. “Apa maksudmu?”
Revan menunjuk ke arah tangga menuju lantai atas. “Kamar nomor 13. Kita harus periksa.”
Mereka berempat naik ke lantai tiga. Revan memimpin langkah dengan langkah mantap, walau jantungnya berdegup kencang. Ia hafal betul lorong panjang itu, setiap sudutnya, setiap papan lantai yang berdecit.
Ia berhenti di tempat seharusnya kamar itu berada—di antara kamar 12 dan 14.
Tapi yang ada hanya dinding kosong. Rata, kusam, tak ada bekas pintu. Tak ada tanda bahwa pernah ada sesuatu di sana. Bahkan angka “13” pun tak tampak di sekitar dinding.
Polisi mengamati dengan alis terangkat. “Kamu yakin?”
Revan menatap lekat dinding itu, menyentuhnya. Tembok itu dingin, padat, seolah sudah lama tidak disentuh siapa pun.
“Tapi… semalam aku ada di sini. Ada pintu. Ada cermin. Ada kamar.” Suaranya pelan, hampir tak terdengar.
Petugas lainnya memeriksa sisi kiri dan kanan lorong. “Tidak ada jejak renovasi. Tidak ada ruang tersembunyi. Semua sesuai denah.”
Warga lokal yang ikut, seorang pria tua penjaga toko di bawah lereng bukit, mengangguk pelan. “Memang dari dulu cuma ada dua belas kamar di sini. Kami tahu, karena hotel ini sudah ada sejak jaman Belanda.”
Revan mundur selangkah. Kepalanya terasa berat. Ia memejamkan mata, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia tidak gila. Bahwa yang ia alami bukan halusinasi… Tapi semuanya terlalu nyata untuk sekadar mimpi.
Mereka kembali ke lobi. Pemilik hotel—wanita paruh baya yang sebelumnya Revan lihat hanya sekilas—datang tergesa dengan wajah pucat. Ia menggenggam tas tangannya erat.
“Apa yang terjadi? Polisi datang dan bilang Revan ditemukan?” tanyanya panik.
Revan menatap wanita itu tajam. “Kamu tahu soal kamar 13, bukan?”
Wanita itu memucat. Tangannya bergetar.
“Saya… saya tidak tahu maksudmu.”
“Jangan bohong. Kamar itu pernah ada. Saya menginap di sana. Saya melihat semuanya. Arwah mereka. Larisa.”
Wajah wanita itu berubah, dari ketakutan menjadi sedih. Ia menunduk. “Kamar itu… tidak pernah ada. Setidaknya, tidak sejak… sejak ayah saya menutupnya. Dulu ada ruangan kecil di balik lorong. Tapi tidak pernah dicatat secara resmi. Setelah—peristiwa itu, semua dihapus. Kami pikir… jika tidak disebut, maka tidak akan bangkit lagi.”
Revan menarik napas dalam. “Tapi kutukannya masih ada. Sampai aku masuk.”
Wanita itu tidak membantah. “Kami tak pernah tahu siapa yang akan ditarik masuk. Tapi setiap beberapa tahun… satu orang menghilang.”
Polisi bertukar pandang, bingung dan curiga. Namun Revan tak menjelaskan lebih lanjut. Ia tahu, sebagian kebenaran terlalu gelap untuk bisa dimengerti semua orang.
Beberapa hari kemudian, Revan meninggalkan hotel. Ia pulang ke kota, mencoba melanjutkan hidup, tapi malam-malamnya tidak lagi sama. Kadang ia terbangun mendengar ketukan lembut di balik lemari. Kadang cermin di kamarnya memantulkan bayangan lain.
Namun ia bertahan. Ia yakin, meski samar, bahwa ia telah memutus rantai yang menjerat jiwa-jiwa itu. Ia menyelamatkan mereka.
Satu pagi, sepekan setelah kepulangannya, Revan menerima sebuah paket kecil tanpa alamat pengirim. Di dalamnya, hanya sebuah buku tua dengan sampul kulit yang lusuh. Buku tamu.
Ia membukanya perlahan.
Halaman-halamannya kosong.
Kecuali yang terakhir.
Di sana tertulis:
Revan Aldiano – Kamar 13 – Belum Check-out.
Tangannya gemetar saat membaca itu.
Dan saat ia mengangkat kepala, cermin di ruang tamunya—bergetar.
Bab 15 (Epilog): Nama Terakhir di Buku Tamu
Hujan turun tipis di luar jendela apartemen Revan. Suara rinainya mengetuk kaca seperti bisikan halus yang tak ingin diabaikan. Di meja kayu kecil, sebuah paket tua tergeletak diam. Kertas pembungkusnya lusuh, alamat pengirimnya tidak terbaca. Hanya namanya tertulis dengan tinta hitam—Revan Aldiano.
Dengan perasaan tak menentu, Revan membuka paket itu. Di dalamnya, ia menemukan benda yang membuat darahnya mengalir lebih cepat:
Buku tamu tua itu.
Yang dulu ia bakar. Yang seharusnya telah musnah bersama kutukan kamar 13.
Tangannya gemetar saat menyentuh kulit sampulnya. Masih terasa lembap, seperti baru dikeluarkan dari lorong di bawah tanah hotel. Ia membuka halaman demi halaman.
Kosong.
Hanya debu dan bau kertas tua. Tidak ada nama, tidak ada catatan—seolah semua yang pernah menginap di kamar terkutuk itu telah dilenyapkan.
Kecuali satu halaman terakhir.
Revan menahan napas.
Revan Aldiano – Kamar 13 – Belum Check-out.
Huruf-huruf itu seperti tergores sendiri, bukan ditulis tangan, tapi tercetak langsung di atas kertas dengan tinta hitam yang belum kering.
“Aku sudah keluar…” bisiknya lirih, tapi tidak ada yang menjawab. Hanya gema suaranya sendiri.
Ia memandangi tulisan itu lama. Kemudian ia mengambil pulpen dan dengan tangan gemetar mencoba mencoret kata “Belum”.
Namun setiap kali tinta menyentuh kertas, kata itu menghilang, dan kembali muncul… utuh.
“Belum Check-out.”
Cermin di sisi ruang tamu memantulkan bayangan dirinya. Tapi saat ia memandang lebih lama, ia melihat sesuatu yang membuat jantungnya membeku.
Bayangannya di dalam cermin tidak mengikuti gerakannya.
Revan bangkit dari kursi. Di dunia nyata, ia berdiri. Tapi di dalam cermin, sosok Revan tetap duduk—tersenyum.
Senyuman itu… bukan miliknya.
“Bukan kamu…” gumam Revan, mundur perlahan.
Bayangan dalam cermin berdiri. Tapi tidak seperti dirinya. Sosok itu lebih kurus, matanya cekung, kulitnya pucat. Seperti versi dirinya yang telah lama terperangkap dan membusuk dalam dimensi lain.
Sosok itu mengangkat tangan, dan menunjuk ke arah buku tamu.
Revan memejamkan mata, mencoba menenangkan diri.
“Aku sudah menyelesaikan ini. Aku menyebut semua nama. Aku membakar buku itu. Aku—”
Ketukan terdengar dari arah kamar mandi. Tiga kali. Pelan, tapi dalam ritme yang dikenalnya. Ritme yang sama saat malam pertama di kamar 13, dari dalam lemari.
Revan menoleh perlahan ke arah pintu kamar mandi.
“Tidak mungkin…” bisiknya.
Ketukan itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras.
Ia meraih buku tamu dan membantingnya ke lantai. Tapi buku itu tidak rusak. Halaman terakhir terbuka dengan sendirinya. Namanya tetap ada. Tulisan “Belum Check-out” kini bersinar samar, seolah diukir oleh cahaya dari dunia lain.
Pintu kamar mandi terbuka perlahan… sendiri.
Di baliknya, hanya kegelapan.
Dari dalam bayangan itu, suara berbisik muncul. Suara lembut… milik Larisa.
“Masih ada yang tertinggal… Revan. Kau masih di sini…”
Revan mundur, tapi tiba-tiba ruangan berubah. Warna-warna di sekelilingnya memudar. Suara hujan lenyap. Udara menjadi beku.
Dan tiba-tiba, ia tidak lagi berada di apartemennya.
Ia berdiri di lorong yang dikenalnya dengan sangat baik.
Lorong lantai tiga. Hotel tua di pegunungan.
Di sebelah kanannya… pintu dengan angka 13.
Revan berteriak, mencoba melarikan diri. Tapi lorong itu tak berujung. Setiap langkahnya membawa dia kembali ke titik yang sama—di depan pintu itu.
Dari bawah pintu, asap biru mulai merembes.
Pegangan pintu bergetar.
Suara ratusan bisikan kembali menghantam telinganya. Nama-nama yang ia sebutkan. Tamu-tamu yang tak pernah keluar.
Dan satu suara di antaranya terdengar paling jelas.
“Revan Aldiano… waktumu belum selesai.”
Cermin yang muncul entah dari mana menampilkan sosok dirinya yang masih duduk di apartemen—tersenyum ke arah kamera CCTV. Sosok itu kini tinggal di dunia nyata.
Revan yang asli… masih terjebak.
Ia menjerit, menghantam cermin, berteriak menyebut namanya berulang-ulang, berharap seseorang mendengar.
Tapi suara itu tidak pernah sampai keluar dari lorong.
Dan kamar 13… perlahan membuka.
Beberapa minggu kemudian, apartemen Revan ditemukan kosong. Semua barangnya tertata rapi, tidak ada tanda perusakan atau penghilangan paksa.
Satu-satunya hal yang ganjil hanyalah sebuah buku tua di atas meja.
Halaman terakhirnya terbuka.
Dan kini, tepat di bawah nama Revan Aldiano… sebuah tulisan tambahan muncul.
“Check-out ditunda.”***
————–THE END—————