Bab 1 – Operasi Ghaib
“Kami tidak tercatat. Kami tidak dikenang. Tapi kami ada.”
— Moto Unit 09
Perbatasan Sektor Alfa-9 – 03.14 WIB
Suara helikopter pengintai bergema pelan di kejauhan, tapi hanya terdengar samar di antara deru angin malam. Lima sosok berpakaian kamuflase hitam berjongkok di belakang gundukan batu besar. Mereka mengenakan topeng berlapis kevlar dan lensa digital di mata—tanpa nama, tanpa tanda pangkat. Hanya satu lambang kecil di lengan kanan: UNIT 09.
Kapten Nara Seta, pemimpin unit, memandang ke layar kecil di tangannya. Titik merah berkedip di tengah peta digital — lokasi target mereka: Kompleks Riset Rahasia Delta-4, fasilitas yang tidak pernah diakui keberadaannya oleh pemerintah.
“Zona netral, tapi dijaga seperti markas nuklir,” gumam Nara.
Di sebelahnya, Sersan Dimas—ahli taktik dan demolisi—merakit granat EMP kecil. “Kita hanya punya 6 menit sebelum sistem anti-infiltrasi menyala penuh.”
“Kalau gagal, sinyal kita bakal ditangkap dan… ya, kita semua akan resmi ‘tidak pernah ada’,” tambah Vira, operator pengintaian.
“Seperti biasanya,” Nara menjawab dingin. Matanya tajam, tapi dingin seperti baja. Ini bukan misi pertamanya, tapi sesuatu dari briefing tadi terasa… janggal. Terlalu mudah. Terlalu cepat disetujui.
Infiltrasi Tanpa Bayangan
Unit 09 bergerak seperti bayangan. Menyelinap melalui kanal air, memotong kabel kamera, dan menjinakkan laser sensor tanpa satu pun suara peluru dilepaskan. Mereka mencapai ruang inti dalam waktu 5 menit.
Di dalam, sebuah ruang server raksasa berdiri. Data dari tempat ini diyakini menjadi kunci bagi proyek senjata biologis tak resmi. Tugas mereka sederhana: ambil data, hancurkan server, keluar.
Nara menghubungkan perangkat pengunduh. Angka persentase muncul di layar.
5%… 17%… 43%…
Tiba-tiba…
“Ada sinyal masuk!” seru Vira, matanya melebar.
Sebuah suara muncul di telinga mereka, melalui saluran radio yang seharusnya terenkripsi:
“Unit 09, misi dibatalkan. Hentikan semua operasi. Kalian telah dikompromi.”
“Apa?” gumam Dimas.
“Itu bukan suara komando pusat. Itu suara… Jenderal Harta.” ujar Nara pelan.
Pengkhianatan
Sebelum mereka sempat bereaksi, dinding utara meledak. Peluru menyambar dari arah luar. Pasukan bersenjata lengkap — tapi bukan dari musuh. Mereka memakai seragam dalam negeri.
“Itu… militer kita sendiri!” teriak Vira.
“Ini jebakan!” Nara menggeram. Ia segera menarik senjatanya dan membalas tembakan. Tapi ruang terlalu sempit. Dua anggota tim terkena peluru di bagian dada dan pundak. Dimas terkena serpihan ledakan.
“Dimas!”
“Lanjutkan misinya!” Dimas masih sadar, tapi darah mengucur deras. Ia melemparkan granat asap ke arah lorong, menciptakan kesempatan kabur.
Nara dan Vira membawa hard drive, melompat keluar dari jendela ke sistem drainase di bawah tanah.
Pengejaran di Kegelapan
Terowongan sempit berubah menjadi labirin maut. Drone-drones kecil dikirim memburu mereka. Vira menggunakan jammer darurat, tapi hanya bertahan 45 detik.
Satu drone menyelinap dan meledak di belakang mereka — Vira tertangkap ledakan.
“K-kapten… ambil data itu… jangan biarkan mereka padamkan kita semua…”
Nara menggenggam erat hard drive yang sekarang seperti nyawa dari seluruh unit.
Dia sendiri. Satu-satunya yang tersisa.
Menghilang
Dengan tubuh berdarah dan napas tersengal, Nara keluar dari saluran bawah tanah, masuk ke hutan perbatasan. Tak ada sinyal. Tak ada suara. Hanya bayangan dirinya sendiri yang mengiringi langkah gontainya.
Di belakangnya, fasilitas Delta-4 hancur — dan dalam hitungan jam, media nasional menyatakan:
“Ledakan di situs penelitian rahasia. Tidak ada korban militer. Unit 09 tidak terlibat karena tidak pernah ada.”
Satu Bayangan Tersisa
Malam itu, di kamar kecil sebuah penginapan tua di perbatasan negara, seorang wanita dengan luka di bahu dan tatapan kosong duduk sambil menatap layar ponsel tua.
Di dalamnya: rekaman sistem dari Delta-4, dan file bertuliskan “PROYEK SIFAR – Kode Akses Tertinggi.”
Nara menatapnya, menggenggam liontin perak pemberian sang ayah.
“Jika kalian menghapus kami dari sejarah, maka aku akan menulisnya kembali — dengan darah kalian sendiri.”
Bab 2 – Tertinggal Dalam Bayangan
“Ketika kamu tidak lagi tercatat, kamu tak perlu patuh pada siapa pun — kecuali dirimu sendiri.”
Perbatasan Negara – 4 Hari Setelah Operasi Ghaib
Kabut pagi masih tebal saat Nara Seta menyusuri jalur setapak tersembunyi di antara hutan pegunungan. Pakaian tempurnya compang-camping, penuh bekas darah dan lumpur. Perbekalan tinggal sedikit. Tapi dia masih membawa satu hal paling berharga: hard drive berisi rekaman dan data Proyek SIFAR, bukti pengkhianatan terhadap Unit 09.
Langkahnya terhenti di depan sebuah pondok tua yang tersembunyi di balik tebing. Ini adalah “rumah hantu”, tempat aman yang hanya diketahui oleh segelintir mantan agen. Ia membuka pintu dengan kode ketukan khusus: tiga pendek, satu panjang, dua pendek.
Tak ada jawaban. Aman.
Nara masuk, memeriksa ruangan. Di dinding tergantung beberapa senjata lama, radio analog, dan peta dunia penuh catatan tangan. Tempat itu sudah ditinggalkan bertahun-tahun, tapi kini menjadi satu-satunya tempat persembunyiannya.
Membuka Kenangan Terhapus
Di balik tumpukan arsip, Nara menemukan perangkat pemindai lama, cukup untuk membaca sebagian isi hard drive. Dengan baterai yang nyaris habis, ia mengakses satu folder: SIFAR/OPS_DELTA4/09
.
[VIDEO FILE]
Rekaman drone dalam kompleks riset. Tampak sekelompok prajurit menyerbu dari sisi yang seharusnya aman. Identitas mereka tersembunyi. Tapi satu wajah tertangkap…
“…Komandan pelatihan kita sendiri… Mayor Surya.”
Nara menatap layar tak berkedip. Mayor Surya adalah figur ayah dalam pelatihannya. Orang yang membentuk Unit 09. Orang yang menyebutnya “anak bayangan.”
Kenapa dia ada di sana? Kenapa ikut menyerang? Apa motifnya?
Nara tahu satu hal pasti: dia tidak bisa mempercayai siapa pun dari militer. Bahkan nama “negara” pun kini terasa asing.
Di Mata Dunia: Buronan
Sementara itu, di luar pondok, dunia mulai bergerak. Media telah menerima informasi versi pemerintah:
“Kompleks riset diserang oleh teroris profesional. Tidak ada keterlibatan Unit 09 karena unit tersebut dibubarkan dua tahun lalu.”
Nama Nara tidak disebutkan — karena ia memang tidak ada di sistem.
Namun, melalui kanal bawah tanah, muncul pemberitahuan baru di jaringan intelijen internasional:
TARGET PRIORITAS HITAM – ‘N.S.’
Subjek: Pembocor Proyek SIFAR – Eksekusi di tempat. Tidak ditahan hidup-hidup.
Mencari Bantuan Lama
Nara sadar dia tak bisa bertahan sendirian terlalu lama. Dia mengingat satu nama: Raka Divandra — mantan teknisi lapangan dan teman lama dari masa pelatihan di akademi. Kini tinggal di distrik selatan, bekerja sebagai teknisi sipil dan pembuat perangkat open-source.
Malam itu juga, Nara meninggalkan pondok. Perjalanan ke selatan akan memakan waktu dua hari dengan jalur hutan dan terowongan tak resmi.
Titik Pengejaran Dimulai
Namun, satu jam setelah kepergiannya, dua kendaraan hitam berhenti di depan pondok tua.
“Dia baru saja pergi,” kata salah satu dari mereka, mengenakan jaket hitam dan earphone.
Orang itu menunduk, mengambil serpihan darah di lantai.
“Nara Seta. Masih hidup. Dan masih membawa data itu. Kita kirim ‘Ordo Bayangan’ untuk memburunya.”
Di tangannya tergenggam simbol misterius: segitiga dengan garis terbalik di tengah — lambang organisasi gelap yang selama ini beroperasi di balik militer: Black Meridian.
Kota Tanpa Nama
Dua hari kemudian, Nara tiba di sebuah distrik gelap — penuh orang-orang yang ingin menghilang dari sistem. Ia menyamar dengan hoodie dan masker debu, berjalan di antara pasar gelap dan lorong penuh sinyal pemutus.
Akhirnya, ia mengetuk pintu besi dengan simbol grafiti aneh.
Pintu terbuka sedikit.
“Siapa kamu?”
“Seseorang dari masa lalu. Dan masa depan yang akan meledak, kalau kamu tidak membantuku.”
Dari balik bayangan, Raka muncul. Matanya melebar saat mengenali Nara.
“Kamu… seharusnya sudah mati.”
Nara tersenyum pahit.
“Semua yang dari Unit 09 memang seharusnya sudah mati. Tapi aku belum selesai.”
Bab 3 – Rekam Jejak yang Dihapus
“Bila sejarah ditulis oleh pemenang, maka kebenaran ditulis oleh yang tersisa.”
Kota Bawah, Zona C – Markas Sementara Raka
Di balik lorong sempit dan lift tua yang turun hampir 50 meter di bawah tanah, Raka Divandra menyalakan generator kecil yang menghidupkan markas lamanya — sebuah bunker teknologi bekas milik organisasi data netral, kini jadi tempat berlindung terakhir orang-orang seperti mereka: tidak diinginkan, tidak tercatat.
Nara berdiri di tengah ruangan yang penuh monitor, kabel, dan terminal komputer dari berbagai era.
“Jadi kau masih menyimpan semua ini,” gumam Nara.
Raka mengangguk sambil menyalakan tiga layar utama. “Kau pikir aku jadi teknisi sipil karena mau? Aku pensiun karena tahu sistem mulai busuk. Tapi aku tidak pernah benar-benar berhenti.”
Nara menyerahkan hard drive Proyek SIFAR ke Raka. “Aku butuh kamu bantu mengakses isi penuh dari ini. Semua data, semua nama. Aku harus tahu siapa yang menandatangani kematian Unit 09.”
Raka memeriksa drive. “Ini bukan sekadar data biasa, Nar. Ini dilapisi tiga lapis enkripsi pemerintah — ditambah lapisan ketiga buatan entitas privat. Bukan sembarang proyek.”
Nara menarik napas dalam-dalam. “Bisa dibuka?”
Raka menyeringai tipis. “Bisa. Tapi akan memanggil perhatian.”
Menembus Sistem Mati
Raka mulai bekerja. Ia menghubungkan drive ke terminal yang terisolasi dari jaringan luar. Layar menampilkan garis-garis kode yang terus bergerak, memecah enkripsi satu demi satu.
Setelah dua jam yang tegang, layar berhenti dan membentuk satu direktori utama:
/SIFAR/UNCLASSIFIED-CORE
Di dalamnya, puluhan file: dokumen, video rekaman, laporan operasi, dan… nama-nama. Banyak di antaranya dicoret atau dihapus. Tapi beberapa masih terbaca.
Raka membuka satu file berjudul SIGMA09_INTERNAL.txt
.
Nama Proyek: SIGMA-09
Tujuan: Pembentukan unit tak-tercatat untuk misi luar batas hukum internasional.
Status: AKTIF hingga 3 bulan lalu.
Perintah Pembubaran: Ditandatangani oleh Komando Tertinggi Operasi Dalam Negeri (KTODN).Otorisasi Final:
- Jenderal Harta Wiranegara
- Mayor Surya Dharmawan
- [REDACTED]
- “Konsultan Strategis Eksternal: BLACK MERIDIAN”
Mata Nara menyipit. “Jadi Surya benar-benar bagian dari penghancuran Unit 09…”
Raka menambahkan, “Dan Black Meridian bukan sekadar rumor. Mereka ada, dan punya kursi di dalam militer.”
Kunci Data dan Protokol SIFAR
Namun, satu file masih terenkripsi berat: SIFAR_FINAL_SIGMA_ACCESS.7z
Tanpa akses biometrik dari “anggota asli”, file ini tidak bisa dibuka.
Nara menarik napas. “Kalau begitu, kita harus cari seseorang dari dalam. Seseorang yang masih hidup.”
Raka menatap Nara dengan ragu. “Kau yakin ada?”
Nara mengangguk pelan. “Satu orang. Dulu menghilang saat misi pertama kami. Semua mengira dia tewas… tapi aku tidak pernah percaya itu.”
Raka menggeser layar ke terminal pencarian bawah tanah dan mulai mencari berdasarkan DNA biometrik lama yang masih tersimpan di server-nya.
Tak lama kemudian, muncul hasil:
Nama: ARJUNA – Kode: 09-Beta
Status: Dinyatakan hilang 2 tahun lalu
Lokasi terakhir terdeteksi: Neo-Jakarta, Zona Merah, 7 hari lalu.
Ancaman yang Mendekat
Sementara itu, di lokasi lain…
Seorang pria berkacamata gelap berdiri di ruangan gelap, menatap layar dengan wajah tanpa emosi. Di belakangnya berdiri lima sosok berpakaian hitam, masing-masing tanpa lambang atau identitas — anggota elit Ordo Bayangan, pasukan rahasia milik Black Meridian.
“Subjek Nara Seta telah berinteraksi dengan individu bernama Raka. Data menunjukkan kemungkinan mereka berhasil membuka sebagian isi drive,” ujar suara dari sistem.
Pria itu, yang dikenal dengan sebutan “Pengawas Sigma”, hanya berkata satu kalimat:
“Aktifkan Protokol Penutupan. Bakar mereka. Sekarang.”
Pilihan Untuk Terus Melawan
Kembali ke markas Raka, Nara menatap layar yang menampilkan lokasi Arjuna.
“Kalau dia benar masih hidup… dia adalah satu-satunya yang bisa membuka sisa data ini.”
Raka menyeringai. “Dan kau yakin dia masih berada di pihak kita?”
Nara mengangkat senjatanya, menyarungkan pisau ke punggung, dan berkata:
“Aku akan pastikan. Atau mati dalam usahanya.”
Bab 4 – Jejak di Balik Musuh
“Kadang, untuk menghancurkan monster, kau harus menyusup ke sarangnya. Kadang… kau harus menjadi lebih gelap dari bayangan itu sendiri.”
Neo-Jakarta, Zona Merah – Tiga Hari Kemudian
Angin panas dan bau sampah elektronik menyambut langkah Nara Seta saat ia memasuki Zona Merah, wilayah terlarang yang tak lagi dikendalikan pemerintah resmi. Di sinilah hukum tak berlaku, dan kekuatan ditentukan oleh geng, kartel, dan organisasi bayangan.
Gedung-gedung roboh berdiri seperti tulang belulang kota yang sudah mati. Dinding penuh grafiti anarkis dan lambang kelompok lokal. Salah satunya menarik perhatian Nara — sebuah simbol ular memakan ekornya sendiri, membentuk angka 9 terbalik.
“Uroboros 9.”
Sebuah jaringan rahasia yang konon berisi para eks-militer, eks-agen, dan mantan bayangan negara. Mereka tak loyal kepada siapa pun, hanya kepada kebenaran yang mereka pilih sendiri.
Jika Arjuna masih hidup dan bersembunyi, kemungkinan besar dia bersama mereka.
Melacak Jejak Lama
Bermodal data lokasi terakhir dari sistem Raka, Nara menyusuri pasar gelap yang berada di bawah tanah, tempat transaksi identitas palsu dan senjata dilakukan tanpa sensor satelit.
Di sebuah kios tua, ia bertemu dengan Mak Jahra, informan netral yang dikenal menyimpan rahasia banyak pihak. Perempuan tua itu menatap Nara dengan mata buta, tapi penuh ketajaman.
“Kau bawa jejak kematian, anak bayangan. Kudengar desas-desus… kau nyaris membakar Delta-4.”
Nara menaruh satu chip data di atas meja.
“Aku cari seseorang. Kode-nya: 09-Beta. Nama lapangan: Arjuna.”
Mak Jahra tersenyum miring. “Kau terlambat. Tapi tak sepenuhnya. Dia pernah datang padaku tiga minggu lalu… dalam keadaan luka berat. Satu matanya hilang. Tapi jiwanya masih hidup.”
Nara membeku. Arjuna benar-benar masih hidup.
“Kau bisa membawaku padanya?”
“Tentu. Tapi dia bukan lagi orang yang kau kenal. Banyak hal berubah di tempat ini… termasuk loyalitas.”
Pertemuan di Lorong Mati
Di malam hari, Nara mengikuti Mak Jahra ke sebuah bangunan bekas bank yang kini dijadikan markas bawah tanah. Ada penjaga bersenjata berat, tapi mereka mengizinkan Nara masuk setelah melihat chip pengenal khusus: potongan kecil dari dogtag Unit 09 yang ia berikan ke Mak Jahra.
Di dalam ruang bawah tanah, cahaya remang menyinari sosok tinggi dengan jubah gelap. Rambutnya gondrong, wajahnya dipenuhi bekas luka, dan satu mata diganti dengan lensa optik usang.
Arjuna.
Dia menatap Nara lama, seperti tak percaya. Tapi bukan karena senang — lebih seperti… waspada.
“Kau seharusnya sudah mati di Delta-4,” ucap Arjuna datar.
“Begitu juga kau.”
Mereka saling tatap. Suasana tegang, sampai akhirnya Arjuna melangkah maju.
“Kenapa kau mencariku?”
“Karena kau kunci terakhir untuk membuka file SIFAR. Kau satu-satunya yang bisa bantu bongkar pengkhianatan ini. Kita dijual oleh orang-orang kita sendiri, Arj.”
Arjuna menghela napas.
“Aku tahu. Dan aku tahu lebih banyak dari yang kau pikir. Tapi membuka data itu artinya perang terbuka dengan Black Meridian. Mereka tak hanya di balik Unit 09. Mereka adalah bayangan negara ini.”
“Lalu kau akan diam saja?”
“Tidak. Tapi aku takkan ikut jika kau masih membawa emosi. Kita bukan prajurit lagi, Nara. Kita sekarang senjata lepas. Kita perlu sistem. Rencana. Sekutu.”
Nara terdiam. Ia tahu Arjuna tak akan mudah dipengaruhi.
“Lalu mulai dari mana?” tanya Nara akhirnya.
Arjuna menatap layar di dinding, menampilkan nama-nama: Surya. Harta. Dan satu nama baru…
“Sasha Virendra,” gumamnya.
“Perantara Black Meridian. Dan… Direktur Bayangan Proyek SIFAR.”
Sekutu, atau Ancaman Baru?
Arjuna mengaktifkan panel rahasia dan mengeluarkan kapsul data biometrik yang dulu dia sembunyikan. Ia menempatkan jari ke pemindai. Layar berkedip.
SIFAR_FINAL_SIGMA_ACCESS.7z: UNLOCKED.
Data mengalir keluar. Di layar: peta-peta lokasi, kontrak rahasia, dan… daftar eksekusi tersembunyi dari para agen bayangan yang dianggap ‘tidak stabil’.
Nara menatap nama-nama itu. Termasuk nama teman-temannya. Termasuk namanya sendiri.
“Mereka merencanakan ini sejak awal…” gumamnya.
Arjuna menatapnya dengan dingin.
“Sekarang kita tahu. Tapi pertanyaannya, Nar…
Kau siap membakar seluruh sistem ini — meski artinya tak bisa kembali?”
Nara menatap lurus ke depan. “Bukan hanya siap. Aku sudah mulai.”
Bab 5 – Tangan Tersembunyi
“Beberapa musuh tidak datang dengan senjata di tangan. Mereka datang dengan senyum, janji, dan kekuasaan.”
Neo-Jakarta – Pagi Hari
Nara Seta memandangi layar yang menampilkan rekaman wajah Sasha Virendra — sosok misterius yang selama ini hanya disebut dalam bisikan, kini muncul sebagai Direktur Bayangan Proyek SIFAR. Wajahnya anggun, tenang, dan berbicara dengan aksen yang membius. Tapi di balik matanya yang tenang, tersembunyi kemampuan mematikan dalam strategi dan manipulasi.
“Sasha bukan tentara,” jelas Arjuna, menggeser layar ke peta interaktif.
“Dia politikus bayangan. Masuk lewat pintu bisnis pertahanan, kemudian menguasai setengah jaringan logistik militer dari balik layar.”
Peta menunjukkan tiga fasilitas utama yang digunakan Sasha untuk mengontrol proyek:
- Novagenics, laboratorium riset senjata biologis.
- CentraX, pusat penyimpanan data arsip hitam.
- Zeta Node, server komunikasi rahasia militer tingkat 9.
“Ketiganya dijaga oleh militer resminya sendiri. Tapi di balik itu, ada satu unit yang lebih berbahaya: ECHO BLACK. Mereka bukan polisi. Mereka eksekutor,” tambah Arjuna.
Rencana yang Gila – Tapi Satu-Satunya Jalan
Raka, yang kini bergabung bersama Nara dan Arjuna, menegaskan satu hal penting:
“Untuk menghancurkan SIFAR, kita nggak bisa cuma bocorin data. Sistem udah belajar menutupi jejak. Kita harus tembus ke server pusat. Live. Dan siarkan semuanya ke jaringan global.”
Nara mengangguk. “Live-leak skala dunia.”
Raka menunjuk CentraX. “Itu titiknya. Tapi begitu kita menyusup ke situ, kita perang terbuka dengan Sasha dan Echo Black. Kita nggak akan bisa mundur.”
“Jadi kita bikin jalan keluar. Tapi bukan untuk kabur… untuk menjatuhkan mereka dari dalam,” kata Nara.
Arjuna, yang biasanya dingin, tampak merenung. “Kalau ini gagal, bukan cuma kita yang mati. Tapi semua yang pernah berkaitan dengan kita. Termasuk informan, mantan agen, bahkan keluarga.”
Nara menatapnya tajam. “Justru itu kenapa kita harus menang.”
Di Sisi Lain – Ruang Komando Black Meridian
Sasha Virendra berdiri di depan jendela besar, menatap kota dengan senyum tipis. Di belakangnya, layar memperlihatkan foto-foto Nara, Arjuna, dan Raka.
“Tiga bayangan yang masih tersisa. Lucu… bahkan setelah kita hapus nama mereka dari sejarah, mereka tetap muncul kembali seperti hantu.”
Seorang lelaki berseragam hitam, Komandan Riedan, pemimpin Echo Black, berbicara datar, “Izinkan kami bergerak.”
“Belum. Biarkan mereka melangkah lebih dalam. Aku ingin mereka merasa hampir menang… sebelum kita hancurkan semua yang mereka harap.”
Sasha menoleh. “Nara Seta berpikir ini tentang pembalasan. Tapi dia lupa satu hal penting.”“Aku tidak hanya menghapus Unit 09. Aku menciptakan sesuatu yang lebih kuat dari itu: kegelapan yang patuh.”
Kembali ke Zona Merah – Penyusupan Awal
Untuk menguji pertahanan sistem, Raka memandu Nara dan Arjuna menyusup ke salah satu node kecil CentraX di sektor luar kota. Gedung itu terlihat seperti kantor biasa, tapi sistem keamanannya setara dengan bunker militer.
Nara, menyamar sebagai kurir pengantar barang, berhasil masuk ke ruang kendali lantai dua. Ia menyisipkan virus data buatan Raka — membuka celah kecil di jaringan yang akan mereka gunakan untuk masuk nanti.
Tapi saat keluar, dia berpapasan dengan dua pria tinggi mengenakan jas hitam dan earphone — bukan petugas keamanan biasa.
“Kita ditemukan,” bisik Nara ke headset. “Kirim umpan.”
Raka segera memutus daya listrik di satu blok, memicu kepanikan kecil. Dalam kekacauan itu, Nara kabur dengan susah payah, menyelinap ke sistem drainase kota.
Misi kecil berhasil. Tapi waktunya hampir habis.
Bayangan Mulai Bergerak
Malam itu, mereka berkumpul di markas lama Arjuna. Raka membuka proyeksi holografik.
“Dalam dua hari, Sasha akan menghadiri konferensi rahasia militer di Menara Solace, di pusat kota. Dari sana, dia akan menandatangani tahap akhir proyek: penggandaan SIFAR untuk ekspor ke negara-negara konflik.”
Nara mengepalkan tangan.
“Dua hari. Kita serbu CentraX. Kita sebarkan semua. Dan kita datangi Sasha… langsung di sarangnya.”
Arjuna menatap rencana itu lama, lalu berkata:
“Kita akan mati kalau gagal. Tapi kalau berhasil… kita akan jadi sesuatu yang lebih dari bayangan. Kita akan jadi kebenaran.”
Nara menatapnya lurus.
“Maka kita pastikan… ini bukan soal hidup atau mati. Tapi tentang siapa yang menciptakan ulang dunia setelah semuanya runtuh.”
Bab 6 – Menara Solace: Operasi Kebenaran
“Ada momen di mana waktu berhenti. Bukan karena dunia ikut diam, tapi karena satu keputusan bisa mengubah segalanya.”
H-12 JAM: Persiapan Terakhir
Nara, Arjuna, dan Raka berdiri mengelilingi meja digital yang menampilkan denah lengkap Menara Solace, gedung pencakar langit 88 lantai yang menjadi pusat konferensi militer dan teknologi rahasia. Di puncaknya, Sasha Virendra akan menandatangani aktivasi global sistem SIFAR.
“Kita punya satu kesempatan,” ucap Raka.
“Saat sinyal utama dikirim dari lantai 88 ke tiga server global, kita intercept siaran itu… dan ganti dengan semua data kebenaran. Kalau telat beberapa detik, sistem terkunci permanen.”
Tugas mereka terbagi:
- Nara akan menyusup dari lantai bawah menggunakan jalur utilitas, naik secara bertahap sambil menjinakkan pengaman digital.
- Raka akan masuk ke ruang komunikasi untuk mengambil alih siaran.
- Arjuna—dengan identitas lama sebagai konsultan keamanan—akan menghadiri konferensi secara langsung, menjadi mata dan telinga di dalam.
Tiga titik. Tiga nyawa. Satu misi.
“Kita siap mati?” tanya Nara tanpa ekspresi.
Arjuna tersenyum samar. “Sudah sejak dulu.”
Raka hanya menambahkan, “Kita bukan mati. Kita reset ulang semuanya.”
H-0: Operasi Dimulai
01:03 PM. Suasana di Menara Solace tegang. Para pemimpin militer dan pebisnis bayangan dari berbagai negara duduk di ruangan utama, mendengarkan pidato Sasha yang memikat.
“Dengan sistem ini,” ucapnya, “kami jamin tidak ada lagi perang tanpa arah. Musuh akan tertangkap bahkan sebelum mereka sempat berpikir menyerang. Kita tidak menciptakan senjata… kita menciptakan kepastian.”
Arjuna berdiri di sudut ruangan. Kamera mata bioniknya merekam setiap momen.
Sementara itu, Nara menyelinap masuk lewat jalur pembuangan udara dari basement, menggunakan sistem kabel magnetik. Ia melewati lantai demi lantai, menghadapi patroli Echo Black, dan menjinakkan satu demi satu sistem laser pemindai tubuh.
Di lantai 42, ia dihentikan oleh seorang agen wanita Echo Black. Pertarungan senyap pun pecah di koridor sempit. Nara menang, tapi terluka di bahu.
“Aku tetap naik,” gumamnya, menahan sakit.
Di sisi lain gedung, Raka berhasil menyusup ke ruang server komunikasi, berpura-pura sebagai teknisi jaringan. Ia mulai mengunggah file kebenaran: rekaman eksekusi agen, kontrak hitam Black Meridian, bukti pengkhianatan terhadap Unit 09.
Waktunya singkat. Sasha akan memulai transmisi dalam waktu 5 menit.
Panggung Terakhir
Lantai 88. Ruang konferensi elit. Sasha berdiri di depan layar raksasa, jari siap menekan tombol aktivasi sistem SIFAR global. Ia tahu semua mata menatapnya. Ia tahu dunia akan berubah dalam satu sentuhan.
Tapi saat ia menekan tombol… layar berganti.
Bukan sistem SIFAR yang muncul.
Melainkan wajah-wajah yang pernah dihapus dari sejarah.
Rekaman eksekusi Arjuna. Ledakan Delta-4. Suara dari unit 09 yang disangka mati. Termasuk suara Sasha sendiri, dalam rapat rahasia bersama elit politik dan militer, memerintahkan penghapusan agen tak loyal.
Ruangan membeku.
“Apa ini?” bisik salah satu jenderal.
Sasha menatap layar, tangannya bergetar. “Tidak mungkin…”
Arjuna membuka identitasnya. Ia melangkah maju.
“Kami bukan hantu. Kami adalah bukti bahwa kalian gagal membungkam kebenaran.”
Petugas Echo Black panik. Beberapa mencoba menarik senjata, tapi sudah terlambat. Raka mengaktifkan sistem lockdown, mematikan semua persenjataan internal selama 120 detik.
Nara akhirnya tiba di lantai 88, berdiri berdarah-darah di belakang ruangan. Arjuna menatapnya, lalu mengangguk.
“Kita selesai di sini.”
Dunia yang Terbuka
Keesokan harinya, seluruh dunia menyaksikan skandal terbesar dalam sejarah keamanan global.
Jaringan berita menampilkan wajah-wajah mereka. Mantan agen Unit 09.
Sasha Virendra menghilang setelah kejadian, diduga melarikan diri dengan sistem identitas palsu.
Nara, Arjuna, dan Raka kembali ke bayangan. Tapi kali ini bukan untuk bersembunyi. Mereka menjadi simbol dari sistem lama yang tidak bisa membungkam kebenaran.
Bab 7 – Retakan Baru
“Saat kebenaran dibuka lebar-lebar, bukan ketenangan yang datang… tapi kekacauan.”
72 Jam Setelah Siaran Global
Dunia terkejut.
Dalam tiga hari, seluruh media internasional dipenuhi dengan berita pembongkaran Proyek SIFAR, keterlibatan militer bayangan, eksekusi ilegal agen-agen Unit 09, dan kejatuhan figur berpengaruh seperti Sasha Virendra.
Negara-negara yang dulu mendanai SIFAR kini saling tuding. Kontrak-kontrak dibatalkan. Pasar keamanan digital runtuh. Protes meledak di berbagai ibu kota. Bahkan di dalam negeri, kepercayaan terhadap lembaga intelijen dan militer resmi anjlok drastis.
Namun di balik semua itu, satu pertanyaan menggema:
“Jika Unit 09 masih hidup… apakah mereka sekarang musuh negara?”
Markas Sementara – Area Terlantar, Pulau Samora
Nara, Arjuna, dan Raka bersembunyi di sebuah kompleks tua milik militer yang tak lagi aktif. Mereka telah menjadi buronan internasional, bukan karena kejahatan… tapi karena mereka tahu terlalu banyak.
“Kita nggak bisa tinggal di sini lama,” kata Raka. “Mereka sudah melacak frekuensi aku dua kali.”
Arjuna menatap layar hologram: wajah Sasha masih ada di daftar hilang. Tak ada sinyal. Tak ada pergerakan. Tapi ia yakin—Sasha masih hidup. Dan tak akan diam.
Nara memandangi berita. Salah satu headline berbunyi:
“Ketua Keamanan Negara Dinyatakan Terlibat, Mengundurkan Diri”
Ia menutup layar dan berkata pelan, “Kita buka pintu kebenaran. Tapi siapa yang akan mengendalikan apa yang keluar?”
Musuh Lama, Bayangan Baru
Di kota bawah tanah Subter IX, tempat yang hanya diketahui oleh jaringan hitam global, Sasha Virendra berbicara dengan seseorang melalui layar tanpa nama.
“Mereka pikir aku lari. Padahal aku hanya mundur untuk membentuk ulang permainan.”
Sasha kini tak hanya mengandalkan kekuatan sistem militer. Ia bergerak melalui struktur ekonomi dan algoritma informasi, merekrut kembali para ahli dan pemimpin bayangan yang dulunya bekerja untuk SIFAR.
“Unit 09 menciptakan kekacauan,” katanya. “Tapi dari reruntuhan, aku bisa bangun sistem baru. Lebih kuat. Lebih tersembunyi.”
Di layar muncul label proyek baru:
“EIDOLON – Ghost Network Initiative”
Tagline-nya: “Bukan sistem. Tapi dunia bayangan itu sendiri.”
Pertikaian Internal
Malam itu, Arjuna dan Raka berdebat sengit.
“Kita udah berhasil hancurkan pusat sistem! Kenapa masih harus cari Sasha?” bentak Raka.
Arjuna menjawab dingin, “Karena selagi dia hidup, dia bisa mulai dari nol. Dia bukan sistem, Ra. Dia virus.”
Nara memotong mereka. “Kita butuh satu hal: bukti hidup bahwa Sasha memulai fase baru. Tanpa itu, kita cuma jadi buronan idealis.”
Informasi yang Tak Diduga
Keesokan harinya, Nara menerima panggilan suara dari frekuensi yang tak pernah terdengar sejak Unit 09 dibubarkan.
“Nara… ini Riko. Aku hidup. Dan aku punya data baru. Tapi aku terjebak di Stasiun Atlas, bawah tanah Zona 5.”
Riko — agen teknis Unit 09 yang diduga mati dalam Operasi Pembersihan. Kalau dia selamat… dan punya data soal proyek EIDOLON, maka mereka punya jalan untuk menghentikan kebangkitan Sasha.
Nara menatap Arjuna dan Raka.
“Kita mulai lagi. Kali ini, bukan untuk membongkar sistem… tapi untuk membunuh hantu yang membangunnya.”
Berikut kelanjutan dari novel Unit 09: Tak Terlihat, Tak Tertangkap:
Bab 8 – Stasiun Atlas: Suara dari Bawah Tanah
“Kadang, untuk menemukan jawaban, kau harus menyelam ke tempat yang paling ingin dilupakan dunia.”
Zona 5 – Jalur Rel Bawah Tanah Terkunci
Stasiun Atlas bukan hanya tua — ia terkubur. Dinyatakan tak aktif sejak sepuluh tahun lalu karena “struktur bawah tanah yang tidak stabil,” padahal aslinya… itu adalah jalur distribusi rahasia bagi operasi militer rahasia selama era kejayaan SIFAR.
Kini, dalam kegelapan lembap dan korosi yang menyelimuti dindingnya, Nara, Arjuna, dan Raka melangkah pelan menyusuri rel tua menuju ruang pusat komunikasi bawah tanah.
Tujuan mereka satu: menemukan Riko, agen teknis Unit 09 yang diduga mati dalam Operasi Pembersihan.
“Kau yakin ini sinyal asli?” tanya Arjuna, menyalakan night vision.
“Kita tak punya pilihan,” jawab Nara. “Kalau ini jebakan… kita akan tahu dalam lima menit.”
Langkah mereka terpantul di lorong-lorong kosong, ditemani suara tetesan air dari pipa bocor. Namun, semakin dalam mereka masuk, semakin aneh suasananya.
Tak ada hewan. Tak ada suara. Hanya… senyap yang terlalu sempurna.
Pertemuan yang Tak Diharapkan
Di stasiun yang hampir roboh, mereka tiba di sebuah ruang kontrol mini. Di sana — tersembunyi di balik barikade dan kabel putus — seseorang berdiri.
Riko.
Tubuhnya lebih kurus, rambut acak-acakan, namun matanya masih menyala dengan kecerdasan khasnya.
“Kupikir kalian nggak bakal datang…” gumamnya.
Nara mendekat, menatapnya tak percaya. “Kau… masih hidup.”
Riko tersenyum miris. “Hidup. Tapi bukan benar-benar hidup.”
Dia menunjukkan chip data kecil, dilapisi pelindung baja hitam.
“Ini. Isi awal dari EIDOLON. Sebuah sistem baru. Tapi bukan sekadar jaringan. Ini lebih dari SIFAR. Ia pakai jaringan sosial, AI, bahkan augmented cognition untuk membentuk perilaku masyarakat.”
“Sasha tak hanya ingin kendalikan informasi… dia ingin kendalikan cara manusia berpikir.”
Serangan Tak Terduga: Sisa Echo Black
Sebelum mereka sempat keluar, sensor Raka mendeteksi pergerakan.
6 sinyal biometrik.
Formasi menyerang.
Senjata senyap.
“Echo Black,” gumam Arjuna. “Sisa unit lama… atau Sasha yang hidupkan mereka kembali.”
Baku tembak pecah. Di lorong-lorong sempit dan gelap, peluru pantul membentuk simfoni kematian. Raka bertahan di belakang sambil menjaga Riko. Nara dan Arjuna bertarung di depan, menggunakan refleks militer lama yang masih tajam.
Namun… satu peluru menembus armor dada Riko.
“Tinggalkan aku!” teriaknya saat darah membasahi lantai.
“Tidak!” balas Raka, berusaha menyelamatkan nyawa temannya.
Riko menyerahkan chip ke Nara dengan tangan gemetar.
“Jangan sia-siakan ini… Aku sembunyikan blueprint lengkapnya di dalam… file ‘SHELTER-01’. Jangan biarkan dunia jatuh ke tangan mereka lagi…”
Dengan satu napas terakhir, Riko tersenyum—dan dunia padam di matanya.
Melarikan Diri
Dengan pasukan Echo Black yang mulai runtuh, mereka kabur melalui jalur ventilasi darurat. Raka hampir tertinggal karena harus menanam ledakan pengalihan, sementara Arjuna menahan salah satu sisa Echo hingga tangannya tertembak.
Tapi mereka berhasil keluar.
Stasiun Atlas meledak di belakang mereka. Bersama dengan tubuh Riko yang kini tertelan reruntuhan.
Nara menggenggam chip data dengan tangan gemetar.
“Dia mati… agar kita bisa hidup. Agar dunia bisa memilih pikirannya sendiri.”
Penutup Bab – Dunia yang Terancam Dibentuk Ulang
Di markas sementara, mereka membuka chip itu.
SHELTER-01 ternyata bukan sekadar data—tapi simulasi AI yang mampu menanamkan pola berpikir ke dalam sistem edukasi, media sosial, bahkan kontrol konsumerisme.
EIDOLON bukan cuma alat. Ia virus budaya.
Dan Sasha… baru saja memulainya di tiga kota utama: Berlin, Kinshasa, dan Jakarta.
Bab 9 – Kota Hantu
“Kau tahu sesuatu salah… saat seluruh kota tersenyum dengan wajah yang sama.”
Jakarta – Zona Ekonomi Terisolasi (JET)
Tiga hari setelah Operasi Atlas
Jakarta telah berubah.
Unit 09 menyusup melalui jalur pelabuhan logistik bawah tanah menuju Zona Ekonomi Terisolasi (JET)—area elit yang dikelola secara digital penuh. Pemerintah menyebutnya “kota masa depan.” Tapi di balik sistem otomatis dan gedung berlapis kaca, EIDOLON telah berjalan.
“Ini bukan Jakarta yang kukenal,” gumam Raka, melihat layar biometrik di pinggir jalan.
“Bukan kota. Ini panggung,” sahut Arjuna pelan.
Nara menatap ke arah menara tinggi bertuliskan LUMINA HQ, pusat kendali sistem EIDOLON versi beta. “Dan kita masuk ke tengah pertunjukan.”
Anomali Sosial
Mereka menyamar sebagai tim audit keamanan dari luar negeri. Tapi meskipun identitas digital mereka solid, ada sesuatu yang terasa… terlalu sempurna.
- Orang-orang terlalu ramah.
- Tidak ada kebisingan jalanan.
- Tidak ada pengemis, tidak ada demonstrasi, bahkan tidak ada iklan yang berubah.
Arjuna memeriksa sinyal dari chip yang diberikan Riko. Data mentah menunjukkan bahwa perangkat AR dan chip konsumsi yang ditanam di warganya telah mengondisikan pilihan hidup mereka:
Apa yang mereka makan.
Apa yang mereka baca.
Bahkan siapa yang boleh mereka cintai.
“Sasha tak butuh militer,” kata Nara pelan. “Dia mengubah kota jadi mesin pikir.”
Reuni di Balik Cermin
Malam itu, mereka bertemu dengan Yuni, mantan informan Unit 09 yang kini bekerja sebagai analis sistem di dalam LUMINA. Ia menjadi whistleblower diam-diam yang memberi lokasi server real-time behaviour. Tapi ia juga menyimpan rahasia lain:
“Kalian pikir Sasha bersembunyi? Dia di sini. Di Jakarta. Dan dia ingin kalian menemukannya.”
Apa?
Yuni menjelaskan bahwa EIDOLON adalah jebakan.
Versi beta ini memang sengaja dibiarkan bocor — untuk menarik Unit 09 ke pusat sistem. Dan saat mereka masuk ke jantung kota… Sasha akan mengaktifkan mode final:
REWRITE: fase di mana sistem akan menandai semua elemen “pengganggu”—termasuk mantan agen.
Jatuhnya Topeng
Saat mereka menyusup ke pusat kendali Lumina di Menara 51, semua sistem tampak terbuka. Tak ada penjagaan berat. Tapi saat Raka mengakses mainframe…
“Gila… ini bukan server,” katanya. “Ini… panggung digital.”
Layar hologram menyala.
Sasha muncul. Duduk santai, seperti tuan rumah yang ramah.
“Selamat datang, Unit 09. Kalian datang tepat waktu. Pertunjukan utama baru akan dimulai.”
Nara menatap tajam. “Kau bunuh Riko. Kau kendalikan kota ini.”
“Aku? Tidak,” jawab Sasha. “Mereka yang memilih dikendalikan. Aku hanya memberi struktur. Dan kalian… kalian tetap memilih kekacauan.”
REWRITE aktif.
Seluruh kota berubah dalam sekejap.
Sistem mulai menandai mereka sebagai anomali prioritas 1. Drone keamanan turun. Warga yang sebelumnya tersenyum kini bergerak seperti aktor dalam skrip, mengarahkan wajah kosong ke kamera terdekat.
“Selamat datang di Kota Hantu. Kota di mana kebebasan hanyalah bug dalam sistem,” kata Sasha sebelum hologramnya padam.
Perang Dimulai
Alarm berbunyi. Lumina terkunci.
Unit 09 tak punya banyak waktu. Raka menanam bom sinyal pengacau agar sistem REWRITE kacau. Arjuna menembus jalur bypass untuk mencari modul AI utama. Nara… harus menghadapi Sasha secara langsung—karena dia tahu, Sasha pasti ada di menara ini.
Bab 10 – Nadi Mesin
“Saat manusia menyerahkan pikirannya pada mesin, siapa yang masih bisa bilang ia hidup?”
Menara 51 – Pusat Operasi LUMINA HQ
22:14 WIB – Kota dalam mode REWRITE
Seluruh Jakarta kini berubah menjadi satu algoritma hidup. Drone bersenjata berpatroli, billboard menyala dengan pesan:
“Jaga Stabilitas. Waspadai Anomali.”
“Kebebasan adalah Disonansi.”
Unit 09 terjebak dalam sarang musuh. Tapi mereka tidak datang untuk bersembunyi.
Mereka datang untuk menghancurkan otaknya.
Misi Terbagi
Arjuna turun ke lantai bawah untuk menemukan Core Neural Nexus—otak EIDOLON.
Raka menuju stasiun relay pusat untuk menanam virus penghancur dari data chip Riko.
Nara menuju lantai 100: ruang komando tempat Sasha bersembunyi.
Mereka berkomunikasi lewat saluran terenkripsi, tahu bahwa perpisahan ini mungkin terakhir.
Raka (via radio): “Kau yakin kita bisa nonaktifin sistem ini?”
Nara: “Bukan soal yakin. Ini soal kita harus.”
Arjuna: “Kalau gagal, jangan kembali. Buat kematian kita berarti.”
Jantung Digital
Arjuna memasuki ruang server—penuh dengan kabel berdenyut seperti urat hidup. Di tengahnya, Core Neural Nexus berputar, dikelilingi oleh sistem pendingin dan laser pertahanan otomatis.
Ia menancapkan alat patch virus, lalu menyalakan akses manual.
“Riko, semoga datamu benar…”
Tiba-tiba, drone pertahanan internal aktif.
Satu tembakan hampir menembus perutnya.
Arjuna harus bergerak cepat—memprogram virus sambil menghindari tembakan panas dari atas.
Nara vs Sasha
Sementara itu, di lantai 100, Nara memasuki ruang komando. Pintu terbuka sendiri. Di dalamnya… Sasha menunggu.
Tak ada penjaga. Hanya cahaya lembut dari layar holografik dan suara lembut Sasha.
“Kau datang sendiri. Seperti yang kuduga.”
“Karena ini antara kita,” balas Nara, menodongkan pistol.
Sasha tersenyum. “Lucu. Dulu aku ingin menyelamatkan dunia. Tapi dunia terlalu kacau. Jadi kupikir… biarkan mesin melakukannya.”
Nara menembak. Sasha menghindar dan menekan tombol di tangannya.
RUANGAN TERKUNCI.
Gas pengurang oksigen mulai menyebar.
Waktu bertahan hidup: 3 menit.
Perang Digital Raka
Di ruang relay, Raka menghadapi AI pertahanan. Sistem mengenalinya sebagai anomali. Tapi ia punya chip Riko. Saat ia memasangnya ke port utama, layar menyala:
SHELTER-01 ACTIVE
Override behavior pattern? [YES]
Raka tersenyum tipis.
“Terima kasih, bro.”
Lalu ia menekan YES.
Virus menyebar. Data EIDOLON terdistorsi. Pola kendali massal mulai guncang. Warga mulai “bangun” dari rutinitas palsu. Billboard menampilkan error. Drone mulai berhenti di udara.
Kematian yang Membebaskan
Di lantai atas, gas semakin pekat. Nara setengah pingsan, tetapi berhasil mendekat dan menusukkan shockblade ke Sasha.
Sasha terjatuh, darah mengalir dari perutnya.
“Kau pikir… ini akhirku?” katanya dengan senyum.
“Bukan akhir. Tapi ini waktunya manusia kembali berpikir,” jawab Nara lemah.
Sasha tewas. Sistem utama mendeteksi kejatuhan komando. Arjuna menyelesaikan eksekusi virus dan meledakkan Core Nexus.
Cahaya padam.
Koneksi terputus.
EIDOLON OFFLINE.
Kota Kembali Bangun
Drone jatuh. Warga terdiam, seolah baru bangun dari mimpi panjang.
Layar di seluruh kota menampilkan satu pesan terakhir dari virus:
“Kau bebas sekarang. Jangan biarkan siapapun mengambilnya lagi.”
Penutup Bab
Unit 09 berhasil. Tapi tidak tanpa harga.
Arjuna terluka parah.
Nara hampir tak sadarkan diri.
Raka lenyap dari radar, terakhir terlihat kabur lewat lorong bawah tanah.
Namun dunia melihat. Dunia tahu.
Sasha Virendra, proyek EIDOLON, dan seluruh jaringan kendali massal… telah dibongkar oleh hantu yang mereka coba lenyapkan: Unit 09.
Epilog – Bayangan yang Tersisa
“Tak semua pahlawan dikenang. Tapi jejak mereka mengubah arah dunia.”
Tiga Bulan Setelah Kejatuhan EIDOLON
Kota Jakarta perlahan pulih. Billboard kembali memutar iklan biasa. Warga mulai berdiskusi tanpa takut. Pemerintah sementara membentuk Komite Etika Teknologi, mencoba memulihkan kepercayaan yang hancur.
Tapi satu hal berubah selamanya:
Orang-orang mulai mempertanyakan segalanya.
Tentang data. Tentang kontrol. Tentang kebebasan berpikir.
Di antara reruntuhan LUMINA, mural-mural liar bermunculan: gambar wajah-wajah bertopeng, disertai satu kalimat:
“Kami ada karena kau tak melihat.” – Unit 09
Nasib yang Terpisah
Nara menghilang setelah operasi. Desas-desus mengatakan ia tinggal di pedalaman Asia Tengah, menyamar sebagai guru. Tapi beberapa sumber intel yakin: ia sedang menyusun kelompok baru.
Arjuna selamat dari luka parah dan kini menjalani hidup dengan identitas baru sebagai teknisi lokal di Nairobi. Ia masih menulis catatan kode tentang bagaimana AI bisa dikendalikan—oleh etika, bukan kekuasaan.
Raka?
Tak pernah ditemukan. Ada yang bilang ia meninggal. Ada yang percaya ia kini jadi hantu digital, menyusup ke server-server korporasi gelap untuk melumpuhkan sistem dari dalam.
Unit 09 tak bubar. Mereka hanya tak terlihat.
Kebangkitan yang Baru
Di akhir musim dingin, sebuah data dump muncul di dark net. Isinya adalah Blueprint SIFAR generasi keempat—sistem militer yang lebih kejam dari EIDOLON.
Bersama data itu, muncul pesan:
“Jika kau pikir EIDOLON adalah yang terakhir, maka kau belum mengenal yang menciptakannya.”
“Kita adalah Unit 09. Dan pertempuran ini belum selesai.”
Terakhir
Dunia bergerak lagi. Tapi bayangan tetap mengintai.
Karena kebenaran terbesar dari perang ini adalah:
Bukan tentang peluru. Bukan tentang teknologi. Tapi tentang siapa yang mengendalikan cerita.
Dan selama Unit 09 masih ada… cerita itu tidak akan ditulis sepihak.***