• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
MISI TANPA NAMA

MISI TANPA NAMA

April 13, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
MISI TANPA NAMA

MISI TANPA NAMA

by SAME KADE
April 13, 2025
in Action
Reading Time: 23 mins read

Bab 1 – Bayangan di Tengah Malam

Hujan turun deras malam itu, membasahi atap-atap kumuh kawasan industri tua di pinggiran kota Elantra. Petir menyambar di kejauhan, sesekali menerangi siluet gedung-gedung tua yang telah lama ditinggalkan. Di antara bayang-bayang gelap dan denting logam berkarat, seorang pria menyelinap tanpa suara. Wajahnya tersembunyi di balik topeng hitam; pakaian serba gelap menyatu dengan malam. Ia hanyalah bayangan yang bergerak—tanpa suara, tanpa nama.

Komunikasi satu arah di telinganya hanya memancarkan suara serak pendek:
“Target berada di lantai tiga. Waktu: delapan menit. Hindari pembunuhan jika tidak diperlukan.”
Tanpa jawaban, sang agen mengangkat tangan, memberi isyarat kepada dirinya sendiri. Sudah menjadi kebiasaannya—gerakan kecil untuk mengatur fokus dan tempo. Ia tidak perlu bicara. Dalam dunia ini, nama adalah kelemahan. Identitas adalah peluru yang siap menembus punggung saat kau lengah.

Tangannya menyentuh dinding beton dingin saat ia bergerak cepat ke sisi bangunan, menghindari lampu sorot yang berputar perlahan dari menara pengawas. Ia mengeluarkan alat pemanjat magnetik dan dalam sekejap, tubuhnya melayang naik seperti laba-laba yang lapar. Setiap langkah diperhitungkan. Setiap nafas ditahan dalam irama.

Di lantai tiga, jendela pecah yang ditutupi seng menjadi pintu masuknya. Ia melompat ke dalam, mendarat tanpa suara di atas lantai kayu tua. Ruangan kosong itu berbau lembap dan penuh debu. Tapi ia tidak datang untuk menilai aroma. Ia mencari satu hal: data rahasia dari transaksi senjata ilegal yang konon akan memicu konflik berskala besar di Asia Tengah.

Di dalam ruangan sempit berisi monitor usang dan beberapa rak logam, seorang pria duduk dengan headphone, asyik mengutak-atik sinyal komunikasi. Ia tak sempat menoleh saat lengan hitam mencengkeram lehernya dan menyekapnya dalam senyap. Pria itu tak mati, hanya pingsan. Sang agen tidak membunuh jika tidak perlu. Itu prinsipnya. Atau… setidaknya itu yang ia yakini di awal kariernya.

Komputer berhasil diakses dengan alat saku miliknya. Data terenkripsi mulai terunduh ke flash drive. Angka di layar berjalan: 30%, 45%, 67%…

Klik.
Sebuah suara. Bukan dari komputer. Tapi dari balik pintu.

Ia menoleh cepat. Senjata laras pendek sudah di tangannya. Pintu terbuka perlahan. Cahaya senter menembus kegelapan.

“Siapa di sana?” suara pria, tegas, beraksen lokal.
Sang agen tidak menjawab. Ia sudah berada di balik dinding, napasnya teratur. Saat pria itu melangkah masuk dan melewati titik aman, satu gerakan cepat menjatuhkannya dengan pukulan ke tengkuk.
Flash drive: 100%.
Data selesai.

Namun saat ia berbalik untuk pergi, suara dari telinganya kembali terdengar—kali ini dengan nada panik.

“Evakuasi sekarang! Ada perubahan. Tim lawan telah menyadari penyusupan. Mereka kirim drone dan satuan khusus. Lari!”

Tanpa pikir panjang, ia melompat keluar jendela—tiga lantai turun—mengaktifkan parasut lipat yang memecah angin malam. Mendarat di atas kontainer besi, ia langsung berguling dan berlari. Sirine mulai meraung. Tembakan pertama terdengar, menghantam logam tempat ia berada beberapa detik sebelumnya.

Ia menyusup ke lorong-lorong gelap antara kontainer, bergerak seperti angin, seperti hantu yang tak pernah terlihat jelas. Tapi langkahnya mulai melambat. Bukan karena lelah—dia tidak boleh lelah. Tapi karena sesuatu terasa tidak beres.

Misi ini terlalu mudah. Informasi terlalu “terbuka”. Reaksi musuh terlalu cepat.
Itu bukan kesalahan sistem. Itu jebakan.

Saat ia mencapai titik evakuasi, mobil hitam telah menunggunya. Tapi bukan timnya. Dua pria bertubuh besar keluar, mengenakan seragam yang tidak dikenalnya. Tanpa aba-aba, mereka mengangkat senjata.

Agen itu tidak menunggu. Ia menjatuhkan granat asap dan melompat ke arah belakang. Ia harus lari. Tapi lebih dari itu—ia harus tahu.
Siapa yang mengkhianatinya?
Dan yang lebih penting—
Mengapa namanya tidak lagi terdaftar dalam sistem?

Dalam kegelapan malam, sang agen menghilang, membawa satu misi, satu pertanyaan besar, dan satu fakta tak terbantahkan: Ia bukan siapa-siapa. Tapi semua orang mencarinya.

Bab 2 – Operasi Gagal

Langkahnya cepat, hampir tak terdengar di atas atap-atap bangunan tua yang saling berdekatan. Asap dari granat yang dilemparkannya di titik evakuasi masih membubung di kejauhan, menciptakan pengalihan yang cukup untuk membuat musuh kehilangan jejaknya sementara. Tapi ia tahu, waktu bermain kucing dan tikus sudah habis.

“Echo-3, ini Komando. Laporkan status. Echo-3, apakah kamu mendengar?”

Suaranya terdengar di earpiece—seolah mendesak, seolah peduli. Tapi agen itu hanya mematikan transmisi. Ia bukan Echo-3. Ia bukan siapa-siapa. Dan setelah malam ini, ia tak yakin siapa yang bisa dipercaya.

Ia menuruni tangga darurat sebuah gedung kosong, masuk ke lorong gelap di antara reruntuhan bangunan pabrik kimia yang sudah lama ditinggalkan. Di salah satu sudut tembok berlumut, ia membuka celah tersembunyi, tempat penyimpanan peralatan darurat: ganti pakaian, peta analog, dan satu unit ponsel satelit sekali pakai.

Jari-jarinya lincah mengetik kode. Nomor itu hanya digunakan untuk satu tujuan: ketika keadaan darurat, dan dia merasa dikhianati. Satu nada sambung. Dua. Lalu sambungan terputus sendiri.

“Nomor ini tidak terdaftar dalam jaringan.”

Ponsel itu langsung ia lempar ke lantai dan injak hingga retak. Matanya menatap gelap malam di depannya. Tidak ada suara kendaraan, tidak ada jejak kaki musuh. Tapi rasa sepi itu bukan menenangkan—itu mengancam. Seolah-olah dunia perlahan menghapus keberadaannya.

Ia mengambil nafas panjang. Langkahnya membawanya ke terowongan bawah tanah—salah satu jalur lama dari jaringan rel kereta barang. Tempat itu kini hanya dihuni tikus, genangan air, dan kenangan tentang operasi lama yang tak pernah tercatat.

Saat lampu kecil dari senter taktikalnya menyinari dinding, ia melihat simbol samar: segitiga terbalik dengan garis menyilang. Lambang itu hanya dikenal oleh mereka yang pernah ikut dalam program bayangan—proyek rahasia tanpa nama, tanpa negara, tanpa belas kasihan.

Ia menyusuri lorong sampai mencapai bunker kecil yang ia sembunyikan sendiri. Dari sana, ia membuka terminal tua, memeriksa flash drive yang ia dapatkan dari misi sebelumnya.

Data masih utuh.

Namun, saat ia mencoba membuka enkripsi, muncul notifikasi:

“Akses Ditolak – Otorisasi Tidak Valid”

Ia terdiam. Keningnya mengernyit.

Padahal, seluruh protokol keamanan berasal dari sistem yang ia gunakan selama bertahun-tahun. Tapi kini, kode otentikasinya ditolak. Seolah-olah identitasnya telah dihapus. Tidak hanya ditinggalkan. Tapi dihapus sepenuhnya—dari sistem, dari jaringan, dari ingatan organisasi.

Sebelum ia sempat menarik kesimpulan lebih jauh, alarm sunyi dari sistem pengawasan bunker berbunyi pelan. Gerakan terdeteksi di atas permukaan.

Ia membungkam lampu dan suara sistem, lalu bergerak ke posisi bertahan, senjata di tangan. Dari lubang kecil di dinding, ia bisa melihat tiga bayangan mendekat, senyap dan rapi. Gerakan profesional. Bukan tentara biasa. Bukan penjahat jalanan. Tapi pemburu.

Operasi ini bukan sekadar gagal. Ini eksekusi.

Ia tidak punya banyak pilihan. Jalur keluar utama sudah tak aman. Ia bergerak menuju lubang ventilasi sempit di sisi kiri bunker, merangkak dalam diam, membawa hanya senjata, satu pisau, dan flash drive—barang terakhir yang bisa memberinya jawaban.

Sementara itu, di dunia luar, media mulai melaporkan insiden “ledakan kecil” di kawasan industri Elantra. Tidak ada korban dilaporkan. Tidak ada bukti aktivitas ilegal. Seolah semua telah dibersihkan… dan disamarkan.

Di markas intelijen pusat, seorang pria tua berjas hitam menatap layar monitor.
“Target telah menyadari penghapusan identitasnya. Protokol Pembersihan dimulai. Tim Bayangan, kirim unit kedua. Tangkap jika mungkin, eliminasi jika perlu.”

Di sudut layar, hanya satu kata yang tertera:
SUBJEK: TIDAK TERDAFTAR

Malam semakin dalam. Langit Elantra diselimuti awan pekat, dan hanya satu pria tanpa nama yang tahu:
Ia tidak hanya ditinggalkan. Ia sekarang buruan.

Bab 3 – Jejak yang Terhapus

Cahaya pagi menyelinap masuk melalui celah-celah bangunan tua yang ia tinggali malam ini—sebuah rumah terbengkalai di daerah pemukiman yang dulu makmur, kini terlupakan oleh waktu dan sistem. Ia duduk bersandar di pojok ruangan, napasnya tenang, matanya waspada. Seakan tubuhnya istirahat, tapi pikirannya tidak.

Flash drive itu masih di tangannya. Ia telah mencoba empat metode untuk membuka datanya. Semuanya gagal. Semua akses menolak kode otorisasi yang dulu diberi oleh organisasi tempat ia bernaung.

Mereka menghapusku.
Pikirannya berputar. Itu lebih dari pengkhianatan. Ini penghapusan total. Semua jejak keberadaan, semua catatan misi, semua pencapaian, semua kegagalan—dihilangkan. Seolah dirinya tidak pernah ada.

Ia menatap bayangannya di kaca jendela yang retak. Wajah itu kini terasa asing. Siapa dirinya sebelum misi? Nama aslinya pun mulai terasa jauh.

Tiba-tiba, suara notifikasi kecil dari alat jammer pribadi yang ia letakkan di dekat pintu membuatnya tersentak. Seseorang mencoba melacak sinyal di area ini. Tidak biasa. Ini bukan metode orang awam.

Ia berdiri, mengambil ransel kecil berisi perlengkapan darurat. Ia tak bisa tinggal lebih lama. Tapi sebelum ia bergerak, langkah kaki terdengar di lantai bawah—berat, terlatih, dan sangat hati-hati.

Satu orang. Mungkin dua.

Ia menarik pisau kecil dari sepatu, menyelinap ke tangga kayu tua dan menyatu dengan bayangan. Saat pintu depan perlahan terbuka, hanya suara berderit pelan yang terdengar. Seorang pria berkacamata hitam dan jas lusuh melangkah masuk, membawa koper kecil.

“Jika kau masih hidup, dengar aku baik-baik,” kata pria itu, seolah bicara ke ruangan kosong.
“Aku bukan dari mereka. Tapi aku tahu siapa yang mencoba menghapusmu. Dan aku bisa bantu.”

Sang agen tak menjawab, tapi ia muncul dari bayang-bayang dengan ujung pisau di leher pria itu sebelum kalimatnya selesai.

“Siapa kamu? Dan kenapa aku tidak membunuhmu sekarang?”

Pria itu tetap tenang. Bahkan nyaris tersenyum.
“Namaku bukan urusanmu. Tapi aku dari sisi yang juga dibuang. Kita sama. Kau pikir hanya kau yang dihapus?”

Pisau itu masih di tempatnya, tapi tekanan mulai berkurang.

“Bicara.”

Pria itu meletakkan kopernya perlahan.
“Operasi ‘Ghost Cleanse’. Sebuah protokol rahasia. Mereka menghapus siapa pun yang tahu terlalu banyak. Biasanya hanya para pembelot yang dapat ‘tiket akhir’. Tapi kali ini, kau bukan pembelot. Kau justru terlalu efektif.”

Agen itu menarik napas pelan.
“Dan data ini?” tanyanya sambil mengangkat flash drive.
“Itu bukan data transaksi senjata. Itu adalah daftar nama. Agen bayangan dari berbagai negara. Termasuk yang sedang… dibersihkan. Kau salah satunya.”

Dunia serasa membeku sesaat. Ia mencoba mengingat wajah-wajah lama—rekan yang “hilang” tanpa jejak, misi yang ditutup tiba-tiba, laporan yang tidak pernah keluar. Semua mulai masuk akal.

“Siapa dalangnya?”

Pria itu menggeleng.
“Belum tahu. Tapi kita bisa cari bersama. Kau butuh tim. Dan aku butuh hidup.”

Setelah beberapa detik hening, agen itu mengangguk.
“Namaku tidak penting. Tapi aku butuh alasan untuk terus berjalan.”

Pria itu tersenyum samar.
“Bagus. Karena mereka tidak akan berhenti. Dan dunia butuh seseorang yang tak punya apa-apa untuk kehilangan.”

Di kejauhan, helikopter melintas. Tak terlihat dari permukaan. Tapi mereka tahu. Waktu mereka sedikit.

Malamnya, mereka bergerak. Menuju satu-satunya tempat yang menyimpan cadangan arsip fisik dari sistem: Stasiun Penampungan Data Kelas-Echo, di bawah reruntuhan markas lama. Jika ada satu tempat yang bisa menjelaskan semuanya, itu di sana.

Tapi ia tahu…
Semakin dekat ke kebenaran, semakin besar harga yang harus dibayar.

Dan ia sudah kehilangan segalanya—kecuali insting, senjata… dan satu tujuan:
Menjadi hantu yang menghantui para pengkhianat.

Bab 4 – Target Tak Terlihat

Hujan kembali turun di tengah malam yang membisu. Stasiun Penampungan Data Kelas-Echo tak tampak di permukaan. Ia tersembunyi jauh di bawah reruntuhan gedung pemerintah tua, bangunan yang pernah menjadi pusat komando regional, kini tinggal tumpukan beton, baja, dan kenangan berdarah.

Agen itu—yang kini benar-benar tanpa nama—berdiri di depan pintu baja setinggi dua meter yang terkubur sebagian oleh puing. Di sampingnya, pria berkacamata yang kemarin muncul sebagai “penyambung suara dari bayangan”, tengah sibuk membuka sistem keamanan analog yang sudah lama tak tersentuh.

“Sistem utama sudah mati. Tapi backupnya… masih bernapas,” gumam pria itu sambil mencabut kabel dari sebuah kotak distribusi tua dan menyambungkannya ke baterai portabel.

Klik.

Satu suara mekanis terdengar dari balik pintu. Kunci berputar perlahan. Bau karat dan udara lembap langsung menyergap saat pintu terbuka.

“Kita hanya punya waktu 12 menit sebelum sistem mati total. Setelah itu, semua informasi di dalam akan terkubur selamanya,” ujar pria itu.
“Apa yang kita cari?” tanya sang agen.

“Nama. Tapi bukan hanya daftar agen yang dihapus… kita cari penghapusnya.”

Mereka turun ke dalam lorong sempit, tangga spiral yang sudah rapuh. Lampu senter menyapu dinding yang dipenuhi kabel dan pipa bocor. Setiap langkah menimbulkan gema. Lorong itu seperti menelan suara mereka, dan mungkin—jiwa mereka.

Di dalam, ruangan utama terlihat seperti kamar jenazah digital. Rak-rak penuh hard disk, tape data, dan terminal tua menyala perlahan saat baterai mulai mengaliri sistem. Agen itu langsung menuju ke pusat kontrol. Jarinya menari cepat di atas keyboard tua, memasukkan kode override.

Layar menyala. File demi file bermunculan.

“Protokol Ghost Cleanse – Aktif sejak 7 bulan lalu,” gumamnya.
“Operator utama… tersembunyi. Penghapusnya tidak terdaftar sebagai personel.”

“Maksudmu?” tanya pria di belakangnya.

“Target kita… tidak terdaftar. Ia bukan dari dalam sistem. Tapi punya akses penuh.”
“Seperti bayangan…”
“…Yang menciptakan bayangan lain.”

Tiba-tiba, layar berkedip. Sebuah pesan muncul:

“ANDA TELAH TERLAMBAT.”
“DATA INI TELAH DITANDAI UNTUK PEMUSNAHAN.”
“PENGAMAT AKAN DATANG.”

“Keluar!” seru sang agen.

Terlambat.

Dari ventilasi udara, gas putih menyembur masuk. Sistem keamanan kuno diaktifkan dari jarak jauh—bukan oleh mereka. Pria berkacamata itu langsung terbatuk, jatuh ke lantai. Sang agen menendang pintu keluar darurat, membawa pria itu ke luar ruangan sebelum sistem benar-benar menyegel mereka di dalam.

Di luar, ia menyuntikkan penetral gas ke lengan pria itu. Masih sadar. Tapi lemah.

“Kita dijebak?”

“Bukan jebakan. Ini peringatan.”
“Dia tahu kita sudah mencium jejaknya.”

Sang agen menatap langit malam saat mereka keluar dari reruntuhan. Tak ada bintang. Hanya gelap. Tapi dalam gelap itu, ia tahu… seseorang sedang menonton.

Malam itu, dari kejauhan, kamera satelit kelas intelijen militer menangkap gambar dua bayangan meninggalkan area terlarang. Tak lama setelah itu, data di Stasiun Kelas-Echo meledak dalam ledakan kecil—cukup untuk menghapus jejak, tidak cukup untuk menarik perhatian publik.

Di layar monitor sebuah ruangan bawah tanah, seorang wanita dengan setelan putih dan rambut disanggul rapi menatap rekaman itu.

“Target mendekat terlalu cepat,” katanya dingin.
“Aktifkan Protokol SPECTER. Kirim pesan ke ‘Pembersih’. Berikan mereka perintah baru: Tangkap hidup-hidup. Kita butuh memorinya.”

Sementara itu, sang agen tahu satu hal:
Musuhnya bukan lagi organisasi.
Bukan sistem.
Tapi seseorang yang menyembunyikan dirinya begitu dalam, hingga tak ada nama untuk dikenang.
Tak ada identitas.
Hanya… penghapus.

Bab 5 – Kota Tanpa Aturan

Langit di atas Nox Haven selalu kelabu. Tak pernah benar-benar terang, tak pernah benar-benar gelap. Kota ini bukan milik siapa-siapa—tempat para eksil, pemburu bayaran, agen cuci tangan, dan pelarian dari sistem bersarang. Tak ada hukum, hanya aturan yang disepakati secara diam-diam. Kota ini adalah limbo, penampungan jiwa-jiwa yang ditolak dunia. Dan sekarang, kota ini adalah satu-satunya tempat yang bisa memberikan sang agen jawaban… atau membunuhnya perlahan.

Satu-satunya petunjuk yang ia dapat dari reruntuhan Stasiun Data Kelas-Echo adalah nama samar: “Sarka.”

Satu nama. Tanpa data, tanpa wajah. Tapi di dunia bayangan, satu nama bisa berarti nyawa, atau senjata.

Sang agen dan pria berkacamata—yang kini mulai memperkenalkan diri sebagai Grayson—berjalan di antara lorong-lorong gelap kota bawah tanah. Mereka mengenakan pakaian lusuh, menyamar sebagai pedagang teknologi ilegal.

“Siapa Sarka?” tanya sang agen sambil menatap layar kecil di tangannya.
“Kode. Di antara para mantan agen bayangan, dia dikenal sebagai ‘pemungut jejak’. Tukang jual data yang katanya bisa akses sistem yang bahkan sudah mati.”
“Kalau dia bisa mengakses data mati, bisa jadi dia juga bisa memanipulasinya. Termasuk… menghapus identitas.”

Grayson mengangguk pelan.
“Kau pikir dia dalangnya?”
“Aku pikir… dia pintu ke dalangnya.”

Mereka berhenti di depan sebuah klub bawah tanah—tak bertanda, tak ada penjaga. Tapi kamera tersembunyi di balik pilar beton mengikuti gerakan siapa pun yang masuk. Di dalam, suara musik menghantam seperti gelombang, tapi bukan musik biasa. Ritmenya diatur dengan gelombang alpha—senjata psikologis untuk menjaga pengunjung tetap dalam trans.

“Jangan bicara terlalu keras,” bisik Grayson. “Di tempat ini, kata bisa jadi peluru.”

Mereka bertemu dengan seorang wanita tua dengan wajah setengah ditutupi masker oksigen tua. Ia bukan Sarka, tapi ia adalah penjaga pintu—secara harfiah.

“Kode?”

Sang agen hanya menunjukkan bagian dalam pergelangan tangannya. Terlihat bekas luka lama—bekas chip yang pernah ditanam organisasi, lalu dicabut paksa. Wanita itu mengangguk pelan.

“Lantai 3. Ruang merah.”

Tangga sempit membawa mereka ke ruangan kecil penuh perangkat rusak dan kabel berceceran. Di tengahnya duduk seorang pria muda kurus, dengan mata merah menyala akibat pengaruh perangkat visual optik yang melekat di tengkoraknya. Ia mengenakan sarung tangan kontrol dengan simbol segitiga terbalik menyala redup.

“Kau Sarka?”

Pria itu tak menjawab langsung. Ia hanya tertawa kecil, lalu menunjuk ke layar hologram yang muncul di antara mereka. Ratusan nama dan wajah muncul… lalu terhapus satu demi satu.

“Kau salah satu dari mereka, ya?” gumamnya.
“Yang coba dilenyapkan.”

“Siapa dalangnya?”

Sarka menatap sang agen lama.
“Aku tak tahu siapa dalangnya. Tapi aku tahu siapa eksekutornya.”
“Siapa?”

Sarka menarik satu file dari layar—muncul wajah seorang wanita dengan mata tajam dan ekspresi dingin. Namanya:

Evelyn Kaine – mantan Direktur Bayangan

“Dia yang membuat Protokol SPECTER. Dialah yang pertama kali menghapus agen dari sistem. Dia yang memulai ‘pembersihan’.”

Sang agen membeku. Nama itu bukan asing. Evelyn Kaine adalah orang yang dulu merekrutnya. Yang mengangkatnya dari jalanan, melatihnya, dan mempersenjatainya. Ia adalah ibu ideologis bagi setiap agen bayangan.

“Dia mati lima tahun lalu…”

“Atau begitulah katanya. Tapi entah bagaimana, seseorang memakai wajahnya. Atau mungkin dia tak pernah benar-benar mati.”

Tiba-tiba, alarm terdengar di seluruh bangunan. Lampu berubah menjadi merah. Sarka langsung berdiri.

“Kita dilacak! Mereka sudah tahu kau di sini!”

Grayson menarik senjatanya, dan sang agen langsung mendorong meja ke arah pintu sebagai penghalang.

“Ada jalan keluar belakang?”

“Lurus, kiri, turun lift barang. Tapi cepat—mereka kirim tim pemburu.”

Mereka lari, suara peluru menghantam pintu ruang belakang. Ruangan itu meledak sebagian, dan pecahan data hologram berhamburan seperti kaca digital.

Di luar, Nox Haven berubah menjadi labirin. Agen itu berlari, membawa salinan data dari Sarka, sementara Grayson menahan satu penjaga dari tim pemburu. Dari kejauhan, terdengar suara wanita di earpiece salah satu musuh:

“Agen telah teridentifikasi. Perintah baru: hidup-hidup. Direktur ingin berbicara dengannya… secara langsung.”

“Evelyn Kaine masih hidup,” gumam agen itu di tengah kegelapan lorong, napasnya berat.

Jika itu benar, maka musuhnya bukan hanya organisasi yang membesarkannya—tapi penciptanya sendiri.

Dan dalam kota yang tak punya aturan, satu aturan baru telah lahir:

“Bunuh atau dibentuk ulang.”

Bab 6 – Bentuk Baru Seorang Pembunuh

Lorong itu gelap, bau besi tua dan lembap memenuhi udara. Sang agen bergerak cepat, menyusuri terowongan limbah bawah tanah Nox Haven, satu-satunya jalan keluar setelah penyergapan di klub data. Di tangannya, sebuah drive kecil dengan informasi dari Sarka—nama, lokasi, dan aktivitas terakhir Evelyn Kaine. Tapi yang paling penting: peta jalur komunikasi rahasia yang masih aktif.

Langkahnya tak goyah. Tapi pikirannya… pecah.

Evelyn Kaine.
Nama itu menghantui pikirannya seperti racun yang menetes pelan ke dalam kesadaran. Dulu, ia adalah panutan. Sekarang, wajah yang menghantui layar perintah kematian.

“Kalau dia masih hidup, berarti semua ini dirancang. Termasuk aku,” gumamnya.
“Mereka menciptakan monster. Tapi kali ini… aku memilih bentukku sendiri.”

Setelah keluar dari lorong, ia masuk ke bangunan tua bekas rumah jagal. Tempat itu kini digunakan sebagai bengkel dan tempat pembersihan identitas. Di sana, seorang wanita bertubuh kecil dengan tangan mekanis sedang merakit prostetik senjata.

“Kau datang dengan wajah lama,” kata wanita itu.
“Aku mau wajah baru.”
“Bukan sekadar topeng?”
“Bentuk baru. Nama baru. Tujuan baru.”

Wanita itu—dikenal sebagai RIN, tukang modifikasi bawah tanah—hanya mengangguk.
“Kau siap meninggalkan semuanya?”
“Semuanya sudah meninggalkan aku duluan.”

Tiga Hari Kemudian

Seseorang baru keluar dari bengkel Rin. Tubuh yang sama, tapi kini dilapisi lapisan baru: sistem pertahanan ringan tertanam di bawah kulit, sensor sinyal EM di belakang leher, dan pelacak sinyal suhu musuh yang ditanam di iris mata.

Namun perubahan terbesar… adalah cara ia melangkah.

Dulu ia berlari karena diburu.
Sekarang, ia berjalan karena berburu.

“Namamu?” tanya Rin terakhir kali sebelum ia pergi.

Agen itu menatap pantulan dirinya di kaca bengkel yang retak.
“Nama tak penting. Tapi jika mereka butuh menyebut aku lagi… katakan mereka harus takut pada Void.”

Malam itu, Void—nama barunya—berdiri di atap bangunan tua di pusat kota Nox Haven. Dari jarak 2 kilometer, ia mengamati pergerakan kendaraan hitam tanpa plat yang keluar-masuk sebuah gedung mirip pabrik. Di sana, menurut data Sarka, ada node komunikasi aktif milik Evelyn Kaine. Node itu tidak hanya menerima sinyal… tapi mengirim perintah.

Void menyusun rencana cepat. Ia tak punya waktu. Jika node itu tidak dinonaktifkan, sinyal pencarian terhadap dirinya akan makin kuat.

Tiga menit. Satu kesempatan. Tanpa suara.

Ia menyelinap melalui jalur atap dan masuk ke area ventilasi. Sensor suara ia nonaktifkan dengan emitor gelombang sonik buatan Rin. Di dalam ruang server, ia hanya butuh dua tembakan senapan senyap untuk melumpuhkan dua penjaga.

Ia langsung menancapkan alat penghenti sinyal ke pusat sistem. Tapi saat ia hendak keluar—

“Terlambat lagi, ya?”

Suara wanita itu terdengar dari speaker ruangan. Tenang. Dingin. Datar.

“Kau bisa mencuri data, Void. Tapi kau tidak bisa mencuri asal-usulmu.”

Void menegang. Ia tak menjawab.

“Aku melihatmu tumbuh. Kau bukan agen biasa. Kau adalah percobaan paling sempurna dari program Instinct Hybrid. Separuh manusia, separuh strategi. Tapi sekarang… kau mau melawan itu?”

Void mencabut alatnya, lalu menjawab pelan.

“Aku tak menolak asal-usulku. Aku hanya membakarnya agar aku bisa membangun ulang diriku… dari abunya.”

“Kau salah memilih jalan, anakku.”

“Aku bukan anakmu lagi.”

Layar hitam. Sinyal putus. Tapi sebelum Void pergi, ia tinggalkan satu pesan di sistem:

“Aku akan datang. Dan aku akan membawa neraka bersamaku.”

Di tempat lain, Evelyn Kaine berdiri di ruang observasi putih bersih, dikelilingi terminal dan pasukan berbaju hitam tanpa tanda pengenal. Di sebelahnya, seseorang berdiri diam, wajahnya tertutup topeng kaca.

“Void bergerak lebih cepat dari prediksi.”

“Itu bagus,” jawab Evelyn. “Biarkan dia mengira dia berburu. Padahal dia sedang masuk ke dalam labirin kita.”

Void keluar dari gedung itu tanpa suara. Langit mulai cerah di atas Nox Haven, meski hanya sementara. Tapi dalam dirinya, cahaya telah padam.

Sekarang, ia tak peduli lagi siapa dirinya dulu.
Yang ia tahu:

“Aku adalah pisau yang dilepaskan. Aku adalah misi yang tak punya nama.”
“Dan mereka… akan merasakan akibatnya.”

Bab 7 – Labirin Tanpa Pintu

Udara di kompleks Arkaid berat dan kering. Lokasi itu tersembunyi di balik pegunungan batu merah, terlindung oleh sistem kamuflase optik dan medan elektromagnetik yang mampu membelokkan sinyal satelit. Tak ada jalur darat yang bisa diakses tanpa izin. Tapi Void tak butuh jalur.

Ia turun dari langit malam—menumpang di salah satu drone supply militer yang ia sabotase dari jauh. Begitu dekat ke zona aman, ia meluncur turun dari perut drone dan mendarat di atap kompleks. Setiap gerakannya terlatih. Tenang. Tanpa keraguan.

Satu-satunya suara hanyalah detak jantungnya sendiri.

“Kompleks Arkaid,” pikirnya.
“Tempat lahirnya semua proyek tak bernama.”

01:23 AM.

Void merayap melalui ventilasi, melewati tiga titik penjagaan tanpa menyentuh tanah. Setiap sensor termal ia ganggu dengan alat interferensi medan dari modifikasi Rin. Di bawahnya, lorong-lorong putih steril penuh dengan pasukan berjubah hitam dan operator yang hanya bicara melalui kode.

Di salah satu ruangan kaca, ia melihat sesuatu—ruang uji coba penuh dengan cairan dalam tabung kaca tinggi. Di dalamnya… manusia.

Tapi bukan manusia biasa.

“Klon. Hasil dari Project Umbra…”

Semua wajah dalam tabung itu tampak familiar.

Satu wajah membuatnya berhenti.

Itu wajahnya sendiri.

Void berdiri kaku. Matanya menatap wajahnya sendiri, tenang dalam tidur buatan. Diberi label:

“U-13 // GENETIK STABIL // STATUS: CADANGAN”

Tangannya mengepal.
“Aku… bukan satu-satunya.”

Di balik kaca, sensor mulai menyala merah. Alarm senyap berbunyi. Void menyadari, ia bukan satu-satunya yang datang malam itu.

Seseorang mengaktifkan sistem lockdown dari dalam. Bukan untuk menghentikannya…
Tapi untuk menguncinya.

02:04 AM.

Void masuk ke pusat kontrol data. Layar-layar di depannya menampilkan hasil eksperimen: Project Umbra adalah program penciptaan agen tanpa identitas—tanpa kenangan, tanpa agenda, hanya kode perintah dan naluri bertahan hidup. Ia bukan dilatih menjadi pembunuh. Ia diprogram.

Ia membaca file terakhir yang terbuka:

“Unit-1 berhasil lepas kendali dan menciptakan kesadaran mandiri. Subjek saat ini dikenal dengan alias: VOID.”

Jadi… memang disengaja. Ia dibiarkan kabur.

Langkah kaki terdengar di luar ruangan. Pintu geser otomatis terbuka. Seorang pria bertubuh tegap masuk, wajahnya tertutup topeng putih berbentuk tengkorak.

“Akhirnya kau kembali.”

Void tak menjawab. Ia hanya menarik belatinya perlahan. Tapi pria itu mengangkat tangannya, melemparkan benda kecil ke lantai.

Boom.

Asap memenuhi ruangan. Tapi bukan asap biasa—ini asap pengacau otak.

Void mulai melihat kilasan memori:

— Seorang anak kecil menjerit.
— Ruangan putih.
— Evelyn Kaine berdiri, tersenyum.
— Suara: “Jangan beri dia nama. Nama membuat mereka merasa punya jiwa.”

Void jatuh ke lantai. Pikirannya terpental antara masa lalu dan realita. Tapi sebelum ia kehilangan kesadaran, ia menancapkan satu perangkat kecil ke dinding server.

“Kau boleh ambil tubuhku,” pikirnya.
“Tapi aku sudah kirim dataku ke luar.”

Sementara itu, di lokasi lain…

Grayson menerima transmisi terakhir Void. Ia melihat potongan data yang dikirim. Nama-nama. Proyek. Sisa lokasi fasilitas lain. Dan satu potongan suara:

“Kau bukan eksperimen yang gagal. Kau adalah awal yang sempurna.” – Evelyn Kaine.

Void bangun dengan tangan terborgol dan mata masih buram. Ia ada di ruangan putih. Seperti dulu. Seperti pertama kali ia sadar.

Di depannya… Evelyn Kaine. Wajahnya sama seperti terakhir kali ia ingat. Tapi tak satu pun kerutan menua. Ia seperti tak berubah.

“Kita akhirnya bisa bicara, tanpa peluru di antara kita,” katanya.

Void hanya menatap tajam.

“Apa ini?”
“Tempat asalmu. Dan juga… tujuanmu.”

Void tersenyum sinis.
“Tujuanku bukan di sini. Tapi kau bisa percaya satu hal…”

“…Aku akan membuat labirin ini runtuh. Mulai dari kepalamu.”

Bab 8 – Percobaan Terakhir

05:42 AM.

Ruang putih itu sunyi. Void duduk di kursi logam, tubuhnya dibelenggu oleh ikatan magnetik yang langsung terhubung ke sistem pusat fasilitas. Tapi matanya tetap tajam, dan pikirannya bekerja seperti mesin perang.

Di depannya, Evelyn Kaine berdiri. Wajahnya tenang, dingin, dan tak berubah oleh waktu. Di belakangnya, dua sosok berjubah hitam berdiri seperti patung.

“Kau bukan tawanan, Void,” katanya.
“Kau adalah hasil terbaik kami. Dan sekarang… kami butuhmu kembali.”

Void hanya menyeringai.

“Hasil yang tak bisa kau kendalikan.”

Evelyn mengaktifkan layar di sebelahnya. Terlihat rekaman—Void saat menyusup, membunuh, dan menghancurkan titik-titik data mereka. Tapi tidak hanya itu.

“Lihat dirimu. Kau berevolusi lebih cepat dari yang kami duga. Nalurimu, improvisasimu… bahkan kemampuanmu melawan protokol. Itu bukan kegagalan, Void. Itu… prototipe sempurna.”

Void menatap layar itu. Lalu berkata pelan:

“Jika aku prototipe sempurna, kenapa aku masih diikat?”

Kaine tersenyum kecil. “Karena kita belum selesai membentukmu.”

Ia memberi isyarat. Salah satu penjaga mengaktifkan program — arus listrik mengalir melalui borgol Void. Tapi yang mereka tak tahu adalah satu hal…

Void mengizinkan dirinya tertangkap.

Satu Hari Sebelumnya – Flashback Singkat

Di tangan Grayson, sebelum Void berangkat ke kompleks Arkaid, ia menyisipkan sesuatu ke dalam sistem miliknya—kode balik. Bila borgol tertentu aktif, sistem akan terhubung langsung ke hantu data di server cadangan milik Void. Dan dari sana… segala pintu akan terbuka.

“Kalau aku tertangkap, aktifkan protokol ‘Gelap Total’.”
“Dan setelah itu?”
“Setelah itu, biarkan mereka mencoba memahami mimpi buruk yang mereka ciptakan.”

Kembali ke Sekarang

Saat borgol Void mengalirkan listrik, sinyal kecil dikirim ke satu lokasi di bawah tanah fasilitas. Lampu mulai berkedip. Data rusak. Sistem mulai menunjukkan kesalahan.

Void menatap Kaine, lalu berkata:

“Kau kira ini ruang eksperimenmu? Tidak. Ini adalah kuburmu.”

Tiba-tiba, dinding di belakangnya meledak. Grayson masuk dengan senjata berat, diikuti oleh tim infiltrasi independen yang mereka rekrut dari Nox Haven — para eks-agen, para korban program Umbra.

“Saatnya reset segalanya.” kata Grayson.

Void mematahkan borgolnya, yang kini kehilangan daya karena sistem utama diganggu. Ia langsung menyambar senjata dari penjaga dan bergerak secepat petir.

06:04 AM. Pertempuran Dimulai.

Lorong-lorong kompleks berubah jadi medan perang. Alarm meraung. Void melaju seperti hantu—melumpuhkan setiap penjaga dengan presisi surgikal. Tapi ia tak membunuh sembarangan.

“Bukan lagi mesin pembunuh. Aku tentukan siapa yang hidup, siapa yang harus jatuh.”

Grayson mengarah ke ruang server pusat, Void menuju laboratorium. Ia tahu, Evelyn tak akan lari. Dia akan mencoba mengendalikan semuanya dari takhta datanya.

Dan benar saja—Evelyn berdiri di pusat ruang kontrol, dikelilingi layar-layar, masih tenang.

“Kau pikir kau bisa memusnahkan semua jejak masa lalumu?” katanya.
“Tidak.” jawab Void.
“Aku hanya ingin memilih masa depanku sendiri.”

Mereka bertarung. Tapi bukan fisik semata. Evelyn mengaktifkan sistem neuro-jammer—mengacaukan sinyal otak Void. Ia merasa tubuhnya berat, matanya buram. Tapi justru saat itu… memori asli muncul.

Ia teringat pertama kali Kaine meletakkan tangan di kepalanya saat kecil, berkata:

“Jika dunia ini tak memberi tempat untukmu, ciptakan duniamu sendiri.”

Void tersentak sadar.

“Kau benar.” katanya.
“Tapi aku tak akan ciptakan dunia atas dasar darah dan bayangan.”

Ia meraih senjatanya, menembak sistem neuro-jammer, dan menghancurkan panel pusat. Evelyn terlempar ke lantai. Void menatapnya… tapi tak membunuh.

“Hidup dengan kegagalanmu sendiri… jauh lebih menyakitkan.”

Void meninggalkan ruangan. Saat ia berjalan pergi, kompleks mulai hancur pelan-pelan. Grayson menyusul.

“Kau yakin tak mau membunuhnya?”
“Tidak. Tapi aku akan pastikan setiap sistem yang dia bangun, akan kubakar hingga ke dasar.”

07:18 AM. Kompleks Arkaid musnah.

Void dan Grayson berdiri di tebing, menyaksikan reruntuhan. Angin dingin meniup wajah mereka.

Grayson menepuk bahunya.
“Lalu, apa sekarang?”

Void menatap horizon. Di sana, dunia menunggu. Sistem-sistem lain. Proyek-proyek gelap lainnya. Tapi kali ini, ia tak akan lari.

“Sekarang?” katanya.
“Sekarang aku adalah bayangan dari bayangan mereka. Dan setiap nama yang tak diberi identitas… akan kupulihkan. Satu demi satu.”

Bab 9 – Kota yang Lupa

Dua minggu sejak Arkaid runtuh.

Void berdiri di atas bukit karang, menatap ke arah kota tua yang tersembunyi dalam kabut—Veridan.

Dulu, peta digital menghapus kota ini dari daftar terverifikasi. Tak ada data, tak ada koordinat. Tapi Grayson menemukan sesuatu dalam fragmen data Arkaid: satu node aktif, satu-satunya sinyal hidup dari kota yang dianggap sudah mati.

Dan satu nama muncul: Carya.

Bukan nama agen. Bukan nama program. Tapi… nama yang ia pernah ucapkan waktu kecil, entah dalam mimpi atau dalam mimpi buruk.

Hari Pertama di Veridan

Kota itu sunyi. Gedung-gedung tua berlumut, jendela pecah, jalan berdebu. Tapi tak sepenuhnya mati.

Ada orang-orang yang hidup di sana. Mereka berbicara pelan. Menunduk saat berjalan. Dan setiap kali Void bertanya tentang nama “Carya”, mereka langsung diam, seolah tak pernah mendengarnya—atau terlalu takut untuk mengakuinya.

Void merasa seperti kembali ke ruang putih… tapi kali ini, seluruh kota adalah labirin ingatan.

“Tempat ini… bukan hanya dibuang. Tempat ini dilupakan secara paksa.”

Malam Pertama.

Void menemukan tempat beristirahat di sebuah bangunan tua yang dulunya perpustakaan. Di antara rak-rak berdebu, ia menemukan satu buku kecil: tanpa sampul, tanpa judul, tapi halaman dalamnya dipenuhi tulisan tangan.

Potongan pertama yang terbaca:

“Carya adalah jantung dari kita. Tapi dia diserap oleh mereka. Diambil, dihapus, dikembalikan dalam bentuk mesin.”

Void terpaku. Ia membuka halaman lain, dan di sana… sebuah gambar. Sketsa wajah.

Itu wajahnya. Wajahnya sendiri. Tapi dengan nama di bawahnya: ‘Karya-07’.

Hari Kedua.

Void menyusuri panti tua di sudut kota. Di dalamnya, ia menemukan catatan lama: daftar anak-anak yang “diadopsi” oleh program. Semua nama tercoret, kecuali satu—nama yang ditulis ulang berkali-kali:

“Carya. Carya. Carya. Jangan lupa. Jangan percaya mereka.”

Void menatap cermin retak di ruangan itu, lalu pelan-pelan bicara sendiri:

“Aku bukan lahir dari sistem. Aku dicuri dari sini…”

Seseorang muncul di belakangnya.

Seorang wanita tua, dengan mata keruh dan tangan gemetar.

“Kau kembali,” katanya.
“Siapa kau?” tanya Void.
“Aku yang menyembunyikanmu, waktu mereka datang untuk mencabut ingatanmu. Aku tak bisa selamatkan semua… tapi aku simpan satu memori.”

Ia menyerahkan sebuah perangkat kecil. Chip tua.

Void menancapkannya ke alat pembaca data portabel. Satu video pendek terbuka.

Seorang anak kecil tersenyum di kamera, berdiri di depan pohon besar.
Di belakangnya, seorang wanita muda berbaju putih tertawa dan berkata: “Carya, cepat ke sini! Jangan hilang lagi!”

Void menjatuhkan alat itu. Wajah anak itu… dirinya. Dan wanita itu…

Evelyn Kaine. Tapi bukan dengan ekspresi dingin. Ia… tampak bahagia. Manusiawi.

Malam Kedua.

Void tak tidur. Ia hanya duduk di puncak bangunan, menatap kota yang dibangun di atas reruntuhan manusia. Ia mulai sadar… Evelyn bukan penciptanya. Evelyn adalah bagian dari sesuatu yang lebih dalam. Carya bukan proyek. Itu adalah identitas awalnya. Nama asli yang telah dikubur.

Dan mungkin… masih ada yang lain sepertinya.

Void berdiri di jalan utama Veridan, saat fajar mulai muncul.

Grayson muncul dari kejauhan, membawa kabar:

“Kita punya koordinat baru. Di bawah reruntuhan kota ini, ada sistem aktif. Jalur bawah tanah, disebut ‘Akar’.”

Void mengangguk.
“Kota ini lupa padaku. Tapi aku akan ingat semuanya… lalu membakar kenangan palsu yang mereka sisipkan.”

“Dan jika Carya memang aku… maka giliran aku memilih bentukku sendiri. Bukan buatan siapa pun.”

Bab 10 – Akar yang Berdarah

00:11 AM – Bawah Kota Veridan

Langkah kaki Void menggema di lorong bawah tanah yang disebut Akar. Lorong itu sempit, dindingnya dipenuhi kabel tua, sisa catatan kode yang dicoret-coret di tembok, dan bekas tanda proyeksi holografik yang sudah usang.

Tapi udara di sini… tidak mati. Mesin masih berdengung. Data masih berputar.

Grayson mengikutinya dari belakang, membawa alat sensor. Tiba-tiba alat itu berbunyi pelan.

“Ada energi aktif di bawah sana. Masih hidup.”

Void memutar kepalanya. “Bukan hanya mesin. Sesuatu menunggu kita.”

00:27 AM – Ruang Utama Sistem Akar

Di ujung lorong, mereka menemukan ruang besar yang pernah menjadi pusat otak kota Veridan. Di tengahnya, berdiri menara data berwarna merah tua, menyala pelan—seperti jantung yang masih berdetak. Di sekelilingnya, kapsul-kapsul tua berjajar, terhubung ke server utama.

Void mendekat. Di dalam kapsul pertama, sosok manusia setengah hidup, tubuhnya penuh kabel, wajahnya ditutup pelindung besi dengan label:

U-05 // “Ignis”

Grayson membaca data yang terpancar dari sistem. “Ini… klon lain. Seperti kamu.”

Void menatap layar. Ada total 13 kapsul. Tapi hanya satu yang kosong.

Miliknya.

00:41 AM – Sistem Terhubung

Void menancapkan alat portabel ke jaringan utama, memaksa sistem membuka file rahasia. Data mulai mengalir. Video muncul.

Rekaman menunjukkan Evelyn Kaine berbicara ke kamera:

“Proyek Umbra tak pernah berniat menciptakan agen. Kami menciptakan wadah—yang bisa diisi kesadaran siapa pun, lalu dihapus dan diisi ulang. Prototipe pertama: Carya. Tapi dia gagal… karena ia mengingat.”

Void gemetar. Grayson menatapnya.

“Kau bukan eksperimen biasa. Kau adalah satu-satunya yang berhasil menolak reset.”

01:04 AM – Serangan Tiba

Sistem tiba-tiba mengirim sinyal peringatan. Dari dalam kegelapan lorong, suara langkah berat mendekat. Tiga sosok besar muncul: Unit Bayangan, klon hasil modifikasi langsung dari basis data Void, tapi tanpa kehendak bebas.

Mereka menyerang tanpa suara.

Void bertarung seolah melawan dirinya sendiri. Gerakan mereka identik. Refleks mereka nyaris sama. Tapi ada satu hal yang membedakan:

Mereka tak punya tujuan. Hanya perintah.

Void menggunakan celah kecil: mereka bereaksi terhadap pola. Ia menciptakan anomali gerakan, berpura-pura lemah, lalu membalikkan keadaan. Satu per satu dikalahkan. Tapi bukan tanpa luka.

Grayson terluka di bahu. Void menariknya ke belakang server.

“Kita harus hancurkan sistem ini, sekarang.”

“Tunggu,” kata Grayson. “Ada satu file lagi.”

01:22 AM – File Terakhir: “CARYA.EXE”

Void membuka file itu. Di dalamnya… suara. Bukan video. Bukan data eksperimen. Tapi rekaman yang sangat manusiawi.

“Kalau kamu mendengar ini, berarti kamu telah menolak bentuk yang mereka pilihkan untukmu.”

“Aku adalah kamu. Tapi sebelum semua ini. Aku—kita—dulu percaya pada sesuatu. Bahwa dunia bisa berubah tanpa harus menghapus jati diri.”

“Jangan jadi mesin. Jadilah manusia, walau dunia ini mencoba membentukmu jadi senjata.”

Void menutup mata. Tangannya mengepal.

“Aku bukan Unit. Bukan klon. Bukan senjata.”

Ia menarik pelat detonator dari alat portabelnya. Menanamnya ke pusat server.

01:36 AM – Ledakan di Jantung Kota

Void dan Grayson keluar dari sistem Akar tepat saat ledakan membakar seluruh server. Jalan runtuh. Asap naik dari bawah kota Veridan. Semua kapsul—semua sisa eksperimen—lenyap bersama.

Void berdiri di reruntuhan.

“Kini tak ada lagi tempat untuk melupakan.” katanya.

Pagi Hari, Di Atas Kota Veridan

Matahari perlahan naik. Grayson duduk di samping Void yang masih terdiam.

“Apa selanjutnya?”

Void menarik napas dalam. Untuk pertama kalinya, dadanya terasa ringan.

“Tak ada lagi nama. Tak ada lagi misi yang ditulis orang lain.”

Ia mengangkat alat komunikasinya. Mengirim pesan ke saluran terbuka:

“Untuk siapa pun yang pernah jadi korban dari eksperimen mereka. Aku tahu kau di luar sana. Aku tahu kalian merasa sendiri. Tapi kita tidak lagi sendiri.”

“Namaku…”

(hening sebentar)

“…adalah Carya. Dan aku tidak akan berhenti sampai kalian semua bebas.”***

Source: Shifa Yuhananda
Tags: BrokenSystemClonedRebellionCyberpunkActionHumanOverWeaponIdentityReclamationMemoryVsMachineShadowProjectUndergroundRevolution
Previous Post

BAYANGAN DIBALIK JENDELA

Next Post

KAMAR NOMOR 13

Next Post

KAMAR NOMOR 13

BISIKAN DI TENGAH MALAM

BISIKAN DI TENGAH MALAM

BAYANGAN DI BALIK JENDELA

BAYANGAN DI BALIK JENDELA

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In